Anda di halaman 1dari 6

TRADISI UPACARA TINGKEBAN YANG DILAKUKAN OLEH

MASYARAKAT MATARAMAN

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Budaya

ABSTRAK

Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki keragaman budaya yang melimpah.
Tak terkecuali wilayah Indonesia yang terletak di daerah Jawa Timur khususnya wilayah
masyarakat Mataraman. Salah satu keragaman budaya tersebut adalah upacara tradisional,
bagi orang Jawa upacara tradisional dilakukan guna memenuhi kebutuhan spiritual supaya
eling marang purwa daksina. Upacara tradisional disini bertujuan untuk memperoleh
ketentraman hidup lahir batin. Disamping itu upacara tradisional dilakukan orang jawa dalam
rangka memperoleh solidaritas sosial, lila, dan legawa. Sedangkan peranan dari upacara
tradisional sendiri adalah untuk selalu mengingatkan manusia berkenaan dengan eksistensi
dan hubungan dengan lingkungan mereka. Adanya upacara tradisional, warga masyarakat
bukan hanya diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang
bersifat abstrak pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial. Salah satu upacara
tradisional khususnya di wilayah Mataraman adalah upacara tingkeban yang biasanya juga
disebut upacara mitoni. Upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada
kehamilan pertama kali.

Kata kunci : Mataraman, Tingkeban, Upacara Tradisional.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebudayaan dan adat istiadat yang berlangsung di wilayah Jawa Timur bagian barat
menerima banyak pengaruh dari budaya Jawa Tengah, masyarakat ini disebut sebagai
masyarakat Mataraman. Disebut demikian karena wilayah ini dulunya merupakan daerah
kekuasaan kesultanan Mataraman. Wilayahnya cukup luas membentang dari perbatasan
provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga Kabupaten Kediri. Masyarakatnya
menggunakan bahasa yang lebih halus, seperti masyarakat Jawa Tengah tapi tidak sehalus
mereka. Masyarakat Mataraman cenderung rasional dan tidak terpengaruh golongan maupun
ormas keagamaan. Wilayah Mataraman dapat dibedakan lagi ke dalam subwilayah
kebudayaan yang lebih kecil. Budayawan Dwi Cahyono membaginya menjadi Mataraman
Kulon (Barat),Mataraman Wetan (Timur), dan Mataraman Pesisir. Pembagian ini didasarkan
pada jejak sejarah dan budaya lokal yang berkembang di sana. Bahasa menjadi ciri yang
paling mudah untuk membedakan ketiganya. Dari segi kedekatan budayanya dengan Jawa
Tengah, Mataram Kulon lebih kuat. Bahasa sehari-hari yang digunakan lebih halus
dibandingkan Mataram Wetan. Wilayahnya merupakan bekas Keresidenan Madiun.
Masyarakat Jawa Mataraman ini pada umumnya masyarakat yang tinggal di wilayah
Kabupaten Ngawi, Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan,
Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten dan
Kota Blitar, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, dan
Kabupaten Bojonegoro.

Salah satu tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Mataraman adalah upacara
adat tingkeban. Upacara adat tingkeban sendiri merupakan sebuah upacara adat yang
dilakukan untuk ibu hamil yang usia kehamilannya memasuki tujuh bulan. Hal ini dilakukan
sebab masyarakat Mataraman percaya bahwa upacara tingkeban bertujuan untuk menolak
bala dan mohon keselamatan bagi anak yang sedang dikandung dan ibu yang sedang
mengandung. Perlengkapan upacara yang diperlukan adalah sebagai berikut :

 Golongan Bangsawan : sajen : tumpeng robyong, tumpeng gundul, sekul asrep –


asrepan, ayam hidup, satu buah kelapa, lima macam bubur, dan jajan pasar.
Kenduri : nasi majemukan, tujuh pasang nasi, pecel ayam, sayur menir, ketan
kolak, apem, nasi gurih, ingkung, nasi punar, ketupat, rujak, dan dawet, emping
ketan, air bunga dan kelapa tabonan.
 Golongan Rakyat Biasa : Sajen : sego jangan, jajan pasar, jenang abang putih,
jenang baro – baro, emping ketan, tumpeng robyong, sego golong, sego liwet, dan
bunga telon. Kenduri : sego gurih, sego ambengan, jajan pasar, ketan kolak,
apem, pisang raja, sego jajanan, tujuh buah tumpeng, jenang, kembang boreh, dan
kemenyan.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah upacara adat tingkeban itu?
1.2.2 Bagaimana proses pelaksanaan upacara tingkeban?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui, memahami, dan memperoleh
gambaran secara garis besar tentang upacara adat tingkeban di masyarakat
Mataraman.
1.3.2 Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui pengertian serta tujuan diadakannya upacara
tingkeban di masyarakat Mataraman.
 Untuk mengetahui proses pelaksanaan upacara tingkeban secara
detail.
BAB II
PEMBAHASAN

Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut
juga mitoni berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh, upacara ini dilaksanakan pada usia
kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Dalam upacara ini sang ibu yang
sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman dan di sertai doa yang bertujuan
untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi
yang akan dilahirkan selamat dan sehat.

Siraman yang di lakukan oleh para sesepuh sebanyak 7 orang termasuk ayah dan ibu
wanita hamil serta suami dari calon ibu. Siraman ini bermakna memohon doa restu agar
proses persalinan lancar dan anak yang akan dilahirkan selamat dan sehat jasmani dan rohani.
Lalu, dilanjutkan dengan upacara memasukan telur ayam dan cengkir gading. Calon ayah
memasukan telur ayam mentah ke dalam sarung/kain yang di kenakan oleh calon ibu melalui
perut sampai pecah kemudian menyusul kedua cengkir gading di teroboskan dari atas ke
dalam kain yang di pakai calon ibu sambil di terima di bawah oleh calon nenek dan kelapa
gading tersebut di gendong oleh calon nenek dan di letak kan sementara di kamar. Calon Ibu
mengenakan kain putih sebagai dasar pakaian pertama, kain tersebut melambangkan bahwa
bayi yang akan di lahirkan adalah suci dan mendapat berkah dari Tuhan YME. Calon Ibu
berganti baju 6 kali dengan di iringi pertanyaan “ sudah pantas belum?”, dan di jawab oleh
ibu ibu yang hadir “ belum pantas” sampai yang terakhir ke tujuh kali. Setelah selesai,
dilaksanakan pemutusan benang lawe atau janur yang di lingkarkan di perut calon ibu, di
lakukan oleh calon ayah dengan maksud agar bayi yang di kandung akan lahir dengan
mudah. Setelah upacara ganti busana Calon ibu duduk di atas tumpukan baju dan kain yang
tadi habis di gunakan. Calon Ayah menyuapi calon Ibu dengan nasi tumpeng dan bubur
merah putih sebagai symbol kasih sayang seorang suami dan calon ayah. Dilanjut dengan
mecah Kelapa gading yang tadi di bawa ke kamar, kembali di gendong oleh calon nenek
untuk di bawa keluar dan di letak kan dalam posisi terbalik untuk di pecah, Kelapa gading
nya berjumlah 2 dan masing masing di gambari tokoh Wayang Kamajaya dan Kamaratih.
Calon ayah memilih salah satu dari kedua kelapa tersebut. Lalu upacara ini diakhiri dengan
dodol rujak, Pada upacara ini, calon ibu membuat rujak di dampingi oleh calon ayah, para
tamu yang hadir membeli nya dengan menggunakan kereweng sebagai mata uang. Makna
dari upacara ini agar kelak anak yang di lahirkan mendapat banyak rejeki dan dapat
menghidupi keluarga nya.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari paparan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa paparan yang di tulis
sesuai dengan artikel “Tradisi Upacara Tingkeban yang Dilakukan Oleh Masyarakat
Mataraman” bahwa tradisi ini benar adanya dilakukan oleh masyarakat Mataraman. Karena
masyarakat daerah ini menganggap bahwa upacara ini harus dilakukan untuk keselamatan
serta kelancaran calon ibu dan juga bayinya pada saat proses melahirkan.

SARAN

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna. kedepannya penulis akan lebih
detail dalam pembuatan artikel dari segi penjelasan serta pencarian sumber-sumber yang
terpercaya dan tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.Masyarakat dan Budaya Mataraman.diakses pada tanggal 5 November 2019.

_______. Upacara Tingkeban Tujuh Bulanan. Diakses pada tanggal 5 November 2019.

Anda mungkin juga menyukai