Disusun oleh :
DOSEN PENGAMPU
Dr. Fahmi Rizal, M.Pd., M.T.
Dr. Wakhinuddin, M. Pd
Ketika kekuasaan VOC berakhir pada penghujung abad ke-18 pendirian sekolah-sekolah
dilanjutkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan atas keturunan, bangsa, dan status
sosial. Sekolah Pertama untuk anak-anak Eropa dibuka di Jakarta pada 1817, kemudian menyusul
berbagai sekolah lainnya. Akan tetapi, setelah lebih dari dua abad berkuasa sejak zaman VOC,
baru pada tahun 1853 Belanda mendirikan sekolah kejuruan, yaitu Ambachts School van Soerabaia
(Sekolah Pertukangan Surabaya) yang diperuntukan bagi anak-anak Indo dan Belanda, disusul
kemudian oleh sekolah serupa di Jakarta pada 1856. Kedua sekolah ini diselenggarakan oleh
swasta. Baru pada tahun 1860, Pemerintah Hindia Belanda mengusahakan Sekolah Pertukangan
di Surabaya untuk golongan Eropa. Bagi anak-anak Pribumi, hingga saat itu belum ada sekolah
serupa.
Di luar Akademi Pelayaran yang didirikan tahun 1743, Sekolah Pertukangan di Surabaya
yang berdiri pada tahun 1853 itulah sebagai sekolah kejuruan pertama di Indonesia. Bila sekolah
ini menjadi patokan, maka hingga sekarang sekolah kejuruan di Indonesia telah berusia satu
setengah abad.
Akademi Maritim (Pelayaran) yang paling tua di Asia. Didirikan tahun 1743 dan
diresmikan Gubernur Jenderal van Imhoff sebagai penggagasnya. Kampusnya terletak di samping
bangunan (sekarang jadi) Toko Merah, yang sekaligus merupakan tempat tinggal van Imhoff pada
saat itu. Kepala Admnistrasinya dijabat Letnan J. Van Biesum yang bertugas sebagai sekretaris
merangkap Kepala Perpustakaan. Setelah dua tahun, tepatnya 17 Desember 1745, akademi ini
mengangkat Paulus-Pauluz, Kepala Pembuat peta Laut sebagai Gubernur Academie de Marine
pertama dengan pangkat Kapten. Tetapi karena melakukan penyelewengan, ia dipecat tahun 1750.
Akademi ini merekrut sejumlah opsir muda bangsa Eropa sebagai karyawannya.
Untuk menjadi mahasiswa akademi ini, harus memenuhi syarat-syarat antara lain, harus
lahir dari perkawinan yang sah dan berkelakuan baik, berumur 12 hingga 14 tahun, beragama
Kristen Protestan, pernah menjalani pelayaran minimal 6 bulan dan mengenal beberapa istilah
dalam dunia pelayaran. Khusus bagi pelaut yang bekerja pada kapal-kapal VOC yang kapalnya
tiba di Batavia harus mendaftarkan diri ke akademi ini dan wajib mengikuti kuliah. Mereka
disebut Cadets. Masa pendidikannya selama 4 tahun dengan jumlah kadet dibatasi 24 orang setiap
angkatan. Materi pelajarannya meliputi teori dan praktik yang semuanya diatur dalam jadwal ketat
dengan jam belajar yang pasti untuk 4 hari kelja. Pukul 05.00 pagi bangun tidur, setengah jam
kemudian sarapan pagi. Pukul 06.00 wajib mengikuti kebaktian pagi, kemudian pukul 07.00-12.00
berlangsung jam pelajaran bahasa Latin, bahasa Moor, navigasi dan menulis. Pukul 12.00-13.00
makan siang dan istirahat, kemudian 13.00-17.00 dengan materi menggambar, seni membangun
kapal dan juru mudi kapal. Khusus hari Rabu dan Sabtu, diberikan pelajaran teologi, dansa, main
anggar, menunggang kuda, dan latihan menggunakan senjata.
Selama mengikuti pendidikan, diberlakukan disiplin militan yang keras bagi semua kadet.
Pelanggar disiplin dikenakan sanksi atau denda yang tidak ringan. Pada jam tidur malam,
terkadang dilakukan patroli mendadak. Kadet yang tertangkap sedang iseng membaca bacaan
terlarang dengan menggunakan lilin atau bermain kartu, dikenakan hukuman berupa: dikurung 4
hari dengan kaki terendam di dalam air, dan hanya boleh mendapatkan nasi tanpa sayur dan lauk
pauk. Bagi kadet yang meninggalkan tugasnya, akan ditawan di Pulau Onrust atau Pulau Edam di
Teluk Jakarta. Dan untuk memperoleh makanan, mereka harus bisa bekerja pada salah satu
galangan kapal yang ada di sana. Sementara uang saku mereka selama menjalani hukuman, jatuh
ke tangan akademi.
Tahun 1743-1755 akademi ini ditempatkan di rumah ganda atau Toko Merah, agar para
perwira kapal-kapal niaga Kumpeni dididik dengan lebih baik. Untuk memperoleh biaya bagi
akademi yang baru, pengadilan disuruh menjatuhkan hukuman menyetor sejumlah uang kepada
kas lembaga ini. Maka, banyak nahkoda dan pejabat yang melakukan kesalahan didenda dan uang
itu digunakan untuk akademi ini. Setelah itu, diadakan pajak khusus atas tontonan, misalnya
sabung ayam dan wayang potehi. Lembaga yang didirikan tahun 1743 ini ditutup tahun 1755
dengan alasan sedikit muridnya, sehingga biaya operasional menjadi mahal.