Anda di halaman 1dari 13

Analisis Kewirausahaan dan Model Pembelajaran Kewirausahaan

yang ada di Indonesia & Amerika Serikat


Oleh :
Andrian Syahputra - 1919 3004
Abdul Meizar – 1919 3001
2020
Di dunia, negara-negara bisa terbagi menjadi negara maju, atau negara berkembang.

Negara maju adalah sebutan untuk negara yang menikmati standar hidup yang relatif
tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Contoh-contoh negara yang
bisa dikatakan sebagai negara maju antara lain, Amerika Serikat, Hong Kong, Belanda,
Portugal, Spanyol dan masih banyak lagi. Sedangkan

Negara berkembang adalah sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang


rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, dan indek perkembangan manusia yang
kurang dibandingkan dengan norma global. Contoh Negara berkembang: Meksiko,
India, Malaisya dan Indonesia.
Salah satu indikator negara maju adalah tingginya angka wirausahawan di negara
tersebut. Amerika adalah salah satu negara yang sukses mencetak banyak
pengusaha. Jiwa entrepreneur atau wirausaha di Negeri Paman Sam cukup tinggi.
Alhasil banyak wirausaha sukses berasal di negara ini dan produk-produk
ciptaannya bisa dinikmati oleh jutaan orang di seluruh dunia.

BANDUNG, KOMPAS.com — Rasio jumlah pengusaha dengan penduduk di


Amerika Serikat sangat tinggi, mencapai 12 persen. Jumlah penduduk Amerika
Serikat saat ini sebanyak 309,24 juta orang, sekitar 37 juta orang di antaranya
adalah pengusaha.
Amerika Serikat sebagai negara maju memiliki perbedaan karakteristik budaya
kewirausahaan dibandingkan dengan negara Indonesia. Berdasarkan dimensi budaya
Geert Hofstede terdapat enam perbedaan karakteristik budaya kewirausahaan, yaitu :

1. Power Distance

Masyarakat Indonesia cenderung memiliki power distance yang tinggi yakni sebesar
78, sedangkan masyarakat Amerika Serikat cenderung memiliki power distance yang
rendah yakni sebesar 40. Hal tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat
ketidaksamaan kuasa (power) antara pemimpin dan pengikutnya.

Kepatuhan pengikut seringkali menjadi hal yang diutamakan oleh pemimpin.


Akibatnya, kesenjangan antara si kaya dan si miskin dianggap sebagai hal yang
natural.
2. Individualism

Tingkat individualisme di Indonesia sangat rendah yakni sebesar 14


poin, khususnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang
mencapai angka 91 poin. Hal ini menjadi peluang bagi
berkembangnya social entrepreneurship di Indonesia, terutama melalui
lembaga semacam koperasi atau selfhelp group (komunitas swadaya
masyarakat) yang mengutamakan semangat kebersamaan antar-
anggota, yaitu patungan modal bersama, bekerja bersama, dan sejahtera
bersama.
3. Masculinity

Dalam hal masculinity, masyarakat Indonesia lebih rendah daripada


Amerika Serikat. Aspek budaya ini mengacu pada tingkat kompetisi,
orientasi terhadap prestasi, dan keberhasilan, yang ditentukan oleh
kesuksesan menjadi pemenang atau yang terbaik di lapangan.

Sistem nilai seperti ini dimulai di sekolah dan berlanjut hingga


seseorang masuk ke sebuah organisasi. Hal ini secara langsung
menunjukkan masyarakat Indonesia tidak terlalu suka berkompetisi dan
cenderung peduli pada kondisi orang lain.
4. Uncertainty Avoidance

Budaya ini merefleksikan masyarakat Indonesia yang secara umum tidak


menyukai risiko dan cenderung menghindari masalah atau konflik.

5. Long Term Orientation

Skor tinggi di Indonesia (yaitu 62) menunjukkan Indonesia memiliki


budaya pragmatis berupa pendambaan kondisi kehidupan yang
terjamin dalam jangka panjang, misalnya menjadi pegawai negeri sipil.
6. Indulgence

Skor 38 dalam dimensi ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki


budaya menahan diri. Masyarakat dengan skor rendah dalam dimensi ini
memiliki kecenderungan untuk bersifat sinis dan pesimistis. Berbeda
dengan masyarakat yang senang memanjakan dirinya, masyarakat
Indonesia kurang memberi penekanan pada pemanfaatan waktu luang
untuk memanjakan dirinya, dan cenderung mengontrol pemuasan
keinginannya.
 Di luar negeri banyak universitas mempunyai suatu program khusus dalam mempelajari

bidang kewirausahaan, sehingga ada suatu embrio young entrepreneur.

 Perananperguruan tinggi hanya sekedar menjadi fasilitator dalam memotivasi,

mengarahkan dan penyedia sarana prasarana dalam mempersiapkan sarjana yang

mempunyai motivasi kuat, keberanian, kemampuan serta karakter pendukung dalam

mendirikan bisnis baru.

 Peranan perguruan tinggi dalam memotivasi sarjananya menjadi wirausahawan muda

sangatlah penting. Masalahnya adalah bagaimana pihak perguruan tinggi

mampumelakukan peranannya dengan benar dan mampu menghasilkan sarjana yang

siap berwirausaha.
 Peranan pihak perguruan tinggi dalam menyediakan suatu wadah yang

memberikan kesempatan memulai usaha sejak masa kuliah sangatlah


penting, sesuai dengan pendapat Thomas Zimmerer bahwa memulai
bisnis, bisa pada saat masa kuliah berjalan, akan tetapi yang lebih penting
adalah bagaimana peranan perguruang tinggi dalam hal memotivasi
mahasiswanya untuk tergabung dalam wadah tersebut.

 Karena tanpa memberikan gambaran secara jelas apa saja manfaat

berwirausaha, maka besar kemungkinan para mahasiswa tidak ada yang


termotivasi untuk memperdalam keterampilan berbisnisnya.

 Oleh karena itu, pihak perguruan tinggi juga perlu mengetahui faktor yang

paling dominan memotivasi mahasiswa dalam berwirausaha.


 Hasil penelitian mengatakan bahwa ada 3 faktor paling dominan dalam

memotivasi sarjana menjadi wirausahawan yaitu :

1. Faktor kesempatan,

2. Faktor kebebasan,

3. Faktor kepuasan hidup.

Faktor itulah yang membuat mereka menjadi wirausahawan.


 Sedangkan di Indonesia, jika dibandingkan, kurikulum kewirausahaan di perguruan
tinggi Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan universitas-universitas
terkemuka di Kanada, Amerika, dan Jepang.

 Di Jepang, misalnya, hasil kreasi mahasiswa tentang suatu produk dikembangkan


dan didorong oleh penyelenggara perguruan tinggi dengan menghubungkannya
pada lembaga keuangan (modal ventura) serta pasar yang akan menerima produk
tersebut.

 Di Indonesia sebetulnya banyak mahasiswa yang menghasilkan inovasi baru, tapi


sayangnya inovasi tersebut tidak berlanjut menjadi suatu produk atau jasa yang
dapat dipasarkan dengan baik.

 Ini suatu indikasi belum adanya integrated link serta belum adanya jiwa dan
semangat entrepreneurship pada penyelenggara perguruan tinggi.
Sumber :

1. https://inet.detik.com/cyberlife/d-2135747/indonesia-negeri-yang-amat-social

2. https://www.wartaekonomi.co.id/read135745/6-perbedaan-karakteristik-
kewirausahaan-indonesia-dibanding-as.html

3. https://www.google.co.id/search?safe=strict&ei=ltudXrSpFpm6rQHP77AY&q=individuali
sme+di+indonesia&oq=Individualism+indonesia&gs_lcp=CgZwc3ktYWIQARgAMgYIABA
HEB4yBggAEAcQHjIGCAAQBxAeMgYIABAHEB4yBggAEAcQHjIGCAAQBxAeMgYIABAHEB4y
BggAEAcQHjIICAAQCBAHEB4yCAgAEAcQBRAeOgQIABBHUPS9IFj0vSBg1tIgaABwAngAgA
GNAYgBjQGSAQMwLjGYAQCgAQKgAQGqAQdnd3Mtd2l6&sclient=psy-ab

4. https://journal.sociolla.com/lifestyle/pengertian-toxic-masculinity

5. http://revinaseptiyanti.blogspot.com/2013/10/perbandingan-perkembangan-wirausaha-
di.html

6. Sihombing, S. O., & Pongtuluran, F. D. (2013). Pengidentifikasian dimensi-dimensi


budaya Indonesia: pengembangan skala dan validasi. Sustainable Competitive
Advantage (SCA), 1(1).

7. Husna, A. F. (2015). Analisis Desain Website Terhadap Budaya Pendekatan Teori


Hofstede. Elinvo (Electronics, Informatics, and Vocational Education), 1(1), 1-8.

Anda mungkin juga menyukai