Anda di halaman 1dari 15

Referat

PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA


MULTIPLE SCLEROSIS

Oleh :
Nadiah Mardhatillah Defani 1940312163
Rezy Pysesia Alfani 1840312716
Ulfa Syukrina 1840312752
Zilga Ekha Regina 1840312781

Preseptor :
dr. Sylvia Rachman, Sp.Rad (K)

BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2020
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT penulis ucapkan atas kehadirat-
Nya yang telah memberikan ilmu,akal, pikiran, dan waktu sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Gambaran Radiologis pada Multiple Sclerosis”
sebagai satu kegiatan ilmiah dalam pelaksanaan tahap kepaniteraan klinik radiologi di
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Sylvia Rachman, Sp.Rad (K)
selaku pembimbing yang telah membimbing kami dalam penulisan referat ini. Referat
ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan berbagi ilmu untuk dan oleh
dokter muda sebagai persiapan menjadi dokter umum di layanan primer nantinya.
Penulisan referat ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan
kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi semua pihak.

Padang, 15 Juni 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2. Batasan Masalah............................................................................................3
1.3. Tujuan Penulisan...........................................................................................3
1.4. Metode Penulisan..........................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................4
2.1 Anatomi Thorax.............................................................................................4
2.2 Fisiologi Paru.................................................................................................5
2.3 Definisi..........................................................................................................6
2.4 Epidemiologi.................................................................................................6
2.7 Patofiologi dan Patofigenesis COVID-19.....................................................8
2.8 Gejala Klinis COVID-19...................................................................................11
2.9 Diagnosis COVID-19..................................................................................13
2.10 Pemeriksaan Radiologi................................................................................17
2.11 Tatalaksana..................................................................................................32
BAB II.........................................................................................................................40
PENUTUP...................................................................................................................40
3.1 Kesimpulan..................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................41
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


1.2. Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis,
gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan radiologis, diagnosis banding dan
penatalaksanaan dari Multiple Sclerosis. Dalam referat ini pembahasan terutama
dititikberatkan pada peranan radiologi dalam diagnosis dan manajemen Multiple
Sclerosis.
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai
penyakit dan peranan radiologi dalam diagnosis dan manajemen Multiple Sclerosis.
1.4. Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah untuk menyingkirkan penyakit vaskuler kolagen, infeksi (Penyakit lyme,
sipilis), kelainan endokrin, kekurangan vitamin B-12, sarcoidosis, dan vaskulitis. Pemeriksaan dari
cairan serebro spinal digunakan untuk mendukung diagnosis dari sklerosis multipel. Adanya protein
dasar myelin di dalam cairan serebro spinal. Sebuah teknik neuroimaging terbaru, Magnetic
Resonance Spechtroscopy, bermanfaat dalam mengamati jumlah N-acetyl-aspartate pada pasien
dengan sklerosis multipel. N-acetyl-aspartate adalah suatu asam amino yang ditemukan di dalam
neuron dan aksons otak. Pada pasien dengan relapsing-remitting sklerosis multipel, jumlah N-
acetyl-aspartate menurun, menandakan adanya kerusakan axonal bagaimanapun, pada pasien
dengan secondary progresive sklerosis multipel dengan banyak kelainan, jumlah N-acetyl-aspartate
berkurang secara signifikan. Pada fakta, pasien dengan sklerosis multipel mempunyai jumlah yang
lebih rendah N-acetyl-aspartate bahkan di area otak sebelumnya secara alami, ketika dibandingkan
dengan jumlah N-acetyl-aspartate di dalam orang normal. 1
 Pemeriksaan Radiologi
 CT scan dapat memperlihatkan plak-plak yang menunjukan peningkatan yang abnormal
setelah suntikan larutan yodium. MRI scan lebih sensitif memperlihatkan lebih banyak
plak daripada CT scan, begitu juga lesi-lesi sampai sekecil 4×3 mm.
 MRI otak dan medula spinalis, yang dapat menunjukkan lesi plak demyelinisasi. Akan
tetapi, gambaran ini tidak spesifik untuk sklerosis multipel (penyakit pembuluh darah kecil
juga dapat menunjukkan gambaran serupa) dan beberapa pasien sklerosis multipel
mungkin mengalami negatif palsu pada MRI. Walaupun demikian, saat ini telah dibuat
suatu kriteria yang memungkinkan diagnosis sklerosis multipel setelah serangan klinis
pertama, berdasarkan gambaran MRI tertentu. 7Potensial bangkitan visual (visual evoked
potentials), yang dapat menunjukkan perlambatan konduksi sentral jalur visual, misalnya
akibat neuritis optik subklinis sebelumnya.7
 Pemeriksaan cairan serebrospinal, yang dapat menunjukkan perubahan nonspesifik
termasuk limfositosis dengan penyakit aktif, dan peningkatan protein (terutama
imunoglobulin). Pemeriksaan cairan serebrospinal yang lebih teliti untuk mendiagnosis
sklerosis multipel adalah deteksi pita oligoklonal dengan elektroforesis yang menunjukkan
sintesis lokal imunoglobulin dalam sistem saraf pusat. Akan tetapi, tes ini masih dapat
menunjukkan positif palsu pada keadaan imunologis atau infeksi lainnnya, dan pasien
sklerosis multipel jarang mengalami negatif palsu. 2
 Pemeriksaan tambahan
Beberapa pemeriksaan penunjang lainnya biasa juga dilakukan. Elektroensefalografi pada
minimal sepertiga kasus memperlihatkan abnormalitas yang tidak spesifik yang tidak memiliki
korelasi dengan gambaran status mental pasien. Serum darah memperlihatkan kadar
gamaglobulin yang meningkat dan perubahan imunoelektroforetik hanya selama serangan akut.
Tes serologik tidak banyak gunanya pada saat diagnosa klinis ditegakkan walaupun kenyataan
bahwa antibodi otak yang bersirkulasi dapat diperlihatkan pada seperempat sampai sepertiga
pasien. Sayangnya antibodi-antibodi ini adalah tidak spesifik, dapat ditemukan pada penyakit-
penyakit lain yang mana terjadi kerusakan jaringan otak. Sebagian besar dari pasien dengan
sklerosis multipel memperlihatkan titer antibodi yang tinggi terhadap virus campak dari pada
yang ditemukan pada populasi umum. Limfosit dari pasien-pasien ini lebih sering
memperlihatkan pengelompokan roset daripada sel-sel epitelial yang disuntik dengan virus
campak.2
Gambar 2. Hasil MRI pada sklerosis multipel.
Karena pemeriksaan diatas tidak ada yang 100% sensitif atau spesifik untuk sklerosis
multipel, maka pemeriksaan ini harus dipertimbangkan dan dinilai dengan baik. Pada pasien dengan
gejala sensorik minor, biasanya pemeriksaan penunjang diatas dapat ditunda dulu. Jika tidak ada
tanda fisik yang definitif, pasien dapat mengalami gejala tersebut kemungkinan dirinya mengalami
sklerosis multipel padahal tidak ada penyakit neurologis yang berarti. Selain itu, jika gejala
mengarah sklerosis multipel tanpa adanya keterbatasan fungsi, maka pemeriksaan dapat ditunda
dulu, terutama karena hingga saat ini belum ada terapi kuratif.
Pemeriksaan penunjang lebih penting dilakukan pada pasien dengan penyakit primer
progresif dimana kriteria klasik diagnosis klinis tidak dapat digunakan. Pada pasien ini biasanya
timbul gejala paraparesis spastik progresif. Pemeriksaan penunjang kasus ini adalah pencitraan
medula spinalis dengan MRI untuk menyingkirkan lesi yang menekan medula spinalis (misalnya
tumor), suatu diagnosis banding utama yang dapat diterapi. 2

A. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosa banding utama untuk menjadi pertimbangan tergantung pada manifestasi neurologis
dalam kasus:
a. Defisit saraf kranial mungkin saja berhubungan dengan berbagai jenis lesi fokal, seperti sebuah
tumor dermoid basis kranii, suatu tumor dari serebelopontine angel, suatu tumor di foramen
magnum, suatu optik glioma atau sphenoid wing meningioma dengan atrofi saraf optik, suatu
brainstem astrocytoma, brainstem encephalitis, dan lain-lain.
b. Suatu hemiplegia mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor otak atau stroke
c. Kejang paraparesis mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor saraf tulang belakang atau
cervical spondylotic myelopathy.
d. Paraparesis berulang mungkin saja berhubungan dengan suatu malformasi vaskular pada saraf
tulang belakang.
e. Gejala dari serebellar dan traktus piramidal, dan mungkin juga gejala dari batang otak, mungkin
saja berhubungan dengan suatu massa atau bentuk malformasi batang otak atau craniocervical
junction. Beberapa gejala sering kesalahan diagnosa sebagai sklerosis multipel. Bentuk
malformasi vaskuler batang otak, juga dapat menyebabkan gejala neurologis yang berubah-ubah
dengan onset usia pertengahan atau usia tua.
f. Keterlibatan dari berbagai area dari sistem saraf pusat mungkin saja berhubungan dengan penyakit
sistemik seperti sistemik lupus eritematosus, sarkoidosis, penyakit vaskuler, toxic
encephalomyelopathy, hypothyroidism, atau funicular myelosis.
g. Keterlibatan mata dan sistem saraf pusat mungkin saja berhubungan dengan suatu vaskulitis atau
intoksikasi. Uveitis ditemukan bersama-sama dengan kelainan neurologis dalam
uveoencephalomyelitis, suatu hal yang jarang, kiranya adalah sindrom virus dimana terjadi uveitis,
gangguan gaya berjalan, leukodermia, munculnya uban, ensepalitis, dan tanda meningeal yang
berubah-ubah.
h. Behcet’s disease dapat menyebabkan apththous ulcer, manifestasi okular, dan manifestasi saraf
pusat, terutama brainstem encephalitis.3,4,5

B. TATALAKSANA

1. Terapi simptomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya adalah. 6,7
a. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program exercise
seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika ada kekakuan,
spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin,
dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.
b. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin memberikan respon
yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat diberikan antikonvulsan atau
amitriptilin.
c. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan pemberian terapi
infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi problem apakah
kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat antikolinergik
Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya
infeksi.
d. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasienSklerosis Multipeldan
harus diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi. Inkontinensia fekal cukup
jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat
membantu spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan
antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi
bersamaan.
e. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido, gangguan
disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi panas dapat
terjadi. Pada beberapa pasien Multipel sklerosis, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi
dengan sildenafil.
f. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien dengan Multipel
sklerosis. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien
dengan depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
yang memiliki efek sedative yang lebih kecil disbanding antidepresan lain. Amitriptilin
dapat digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.
g. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan medikasi.
Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang bekerja
sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki efek yang bagus pada pasien Multipel
sklerosis. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga
dapat menghilangkan kelelahan pada pasien Multipel sklerosis. Amantadine memiliki efek
anti influenza A dan baik diberikan pada Oktober hingga Maret.
2. Terapi relaps
Pengobatan yang diakui terbaik, disamping pengobatan nonfarmakologik, saat ini adalah
dengan interferon beta berupa injeksi Betaseron 250 mcg subkutan selang sehari. Penelitian
Benefit yang dilaporkan awal oktober 2005 menunjukan, bahwa selama lima tahun terjadi
penurunan angka kejadianSklerosis Multipelhingga 50% dengan dua tahun pengobatan pada
kasus yang sebelumnya adalah kemungkinan multipel sklerosis. Walaupun belum ada terapi
kuratif untuk multipel sklerosis, namun terdapat tiga aspek penting dalam tatalaksana:
- tatalaksana relaps akut,
- modifikasi perjalanan penyakit,
- kontrol gejala.8
Tatalaksana Relaps Akut
Relaps pada seorang pasien yang cukup berat dan mengakibatkan keterbatasan fungsi,
misalnya karena kelemahan anggota gerak atau gangguan visual, dapat diterapi dengan
kortikosteroid. Saat ini kortikosteroid diberikan dalam bentuk metilprednisolon dosis tinggi baik
secara intravena maupun oral (500 mg–1 g per hari selama 3–5 hari ). Pengobatan ini dapat
memperbaiki penyembuhan tetapi bukan derajat penyembuhan dari eksaserbasi. Steroid jangka
panjang belum terbukti mempengaruhi keadaan perjalanan penyakit alamiah. 8
Pada pasien dengan Multipel sklerosis, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk
meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy. Perawatan pendukung
berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial, masukan dari perawat, dan partisipasi dalam
patient support group merupakan bagian dari perawatan kesehatan dengan pendekatan tim dalam
pengelolaan Multipel sklerosis.
Disease-Modifying Therapies
a. Interferon beta
Berdasarkan guideline NICE, pasien RRMS direkomendasikan untuk mendapatkan terapi
Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta 1a maupun 1b. Beta interferon dapat mengurangi
jumlah lesi inflamasi 50-80% yang terlihat pada MRI. Tipe SPMS juga direkomendasikan
untuk mendapatkan terapi Interferon Beta.
b. Glatiramer asetat
Obat ini didesain untuk berkompetisi dengan myelin basic protein. Pemberian Glatiramer
Asetat 20mg/hari subkutan dapat menurunkan frekuensi relaps pada RRMS.
c. Fingolimod
Obat ini merupakan satu-satunya obatSklerosis Multipeldalam sediaan oral. Fingolimod
diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Atau dapat menjadi pilihan berikutnya apabila
pengobatan RRMS dengan Interferon beta tidak memberikan hasil yang memuaskan. 1
d. Natalizumab
Merupakan suatu antibodi monoklonal yang diberikan pada kasus-kasusSklerosis
Multipelyang agresif. Pada kasus RRMS yang tidak memberikan hasil optimal dengan
Interferon Beta, GA maupun Fingolimod maka terapi dapat dialihkan ke Natalizumab, atau
pada kasus-kasus yang intoleran terhadap obat-obat sebelumya. Natalizumab tergolong
dalam obat lini kedua dalam terapi Multipel sklerosis.
e. Mitoxantrone
Obat antikanker ini dapat menurunkan frekuensi relaps dan menahan progresifitas Multipel
sklerosis. Mitoxantrone direkomendasikan pada RRMS yang sangat aktif atau SPMS yang
sangat progresif. Mitoxantrone tergolong dalam obat lini ke 3 dalam terapi Multipel
sklerosis. Untuk tipe PPMS hingga saat ini tidak ada terapi yang direkomedasikan. Terapi
hanya bersifat simptomatis.
f. Fenitoin
Fenitoin yang merupakan obat antiepileptic. Dalam uji coba nya fenitoin bersifat
neuroprotective terhadap degenerasi serabut saraf retina pada pasien neuritis optic. Fenitoin
yang bekerja sebagai sodium channel blocker. Pada daerah inflamasi, akson akan dipenuhi
oleh sodium dan menyebabkan masuknya calcium ke dalam sel yang menyebabkan
kematian sel. Dengan pemberian fenitoin sebagai sodium channel blocker maka dapat
mencegah kematian sel. Dosis yang dipergunakan dalam penelitian 15 mg/kgbb selama 3
hari dan dilanjutkan 4 mg/kgbb dalam 13 minggu. Hasil penelitian menunjukkan pasien
neuritis optic yang diberikan fenitoin dalam 3 bulan dapat mencegah 30% lebih baik
dibanding dengan pemberian placebo.9
3. Terapi Tahap Lanjut
Pasien denganSklerosis Multipeltahap lanjut mungkin membutuhkan keterlibatan tim
neurorehabilitasi. Pasien dengan penyakit yang berat membutuhkan penanganan menyeluruh
yang sesuai untuk pasien paraplegia, terutama perawatan yang teliti pada daerah yang mengalami
tekanan. Perburukan gangguan berkemih mungkin memerlukan kateterisasi uretra atau
suprapubik.
Tim dari berbagai multidisiplin biasanya meliputi spesialis penyakit saraf, urologi, ilmu
pengobatan mata, neuropsikologi, dan pekerjaan sosial.
Perlunya pembedahan pada kasus ekstrem yaitu:
• Tenotomi untuk terapi spastisitas dan spasme fleksor
• Stimulasi kolumna dorsalis untuk rasa nyeri
• Talamotomi stereotaktil untuk ataksia serebelar berat. 1,8

C. KOMPLIKASI

1. Depresi
2. Kesulitan dalam menelan
3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
5. Membutuhkan kateter
6. Osteoporosis
7. Infeksi saluran kemih5

D. PROGNOSIS

Prognosis untuk seseorang denganSklerosis Multipeltergantung pada subtipe penyakit; jenis


kelamin individu, ras, umur, gejala awal, dan derajat kerusakan. Harapan hidup dari penderita
multipel sklerosis, untuk tahun-tahun awal, saat ini hampir sama halnya dari pada orang normal. Hal
ini disebabkan terutama karena peningkatkan metoda dari pencegahan progresif penyakit, seperti
fisioterapi dan terapi bicara, bersama-sama dengan penanganan yang menangani komplikasi umum,
seperti radang paru-paru dan infeksi saluran kemih. Meskipun demikian, setengah kematian dari
pasien denganSklerosis Multipeladalah secara langsung berhubungan dengan komplikasi dari
penyakit, sementara 15% lebih berhubungan dengan bunuh diri. Secara umum sangatlah sulit untuk
meramalkan prognosis multipel sklerosis. Setiap individu memiliki variasi kelainan, tetapi sebagian
besar pasien denganSklerosis Multipelbisa mengharapkan 95% harapan hidup normal. Beberapa
penelitian telah menunjukankan pasien yang mempunyai sedikit serangan di tahun pertama setelah
diagnosis, interval yang lama antar serangan, pemulihan sempurna dari serangan, dan serangan yang
berhubungan dengan saraf sensoris (misalnya., baal atau perasaan geli) cenderung untuk memiliki
prognosis yang lebih baik. Pasien yang sejak awal memiliki gejala tremor, kesukaran dalam berjalan,
atau yang mempunyai serangan sering dengan pemulihan yang tidak sempurna, atau lebih banyak
lesi yang terlihat oleh MRI scan sejak dini, cenderung untuk mempunyai suatu tingkat penyakit yang
lebih progresif.1

BAB II
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

1. Chamberlin, Stacey L. Narins, Bringham. 2005. The Gale Encyclopedia of Neurological


Disorders vol.2. Detroit: Thompson Gale.
2. Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi edisi ke-8. Jakarta: Erlangga Medical
Series.
3. Mumenthaler, Mark. Mattle, Heinrich. Taub, Elsan. 2004. Neurology fourth edition.
Switzerland: Thieme.
4. Simon R. 2009. Motor Deficit. Clinical Neurology.7 th. McGraw Hill. USA.
5. Multipel sklerosis. Pubmed Health Medicine. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001747/
6. Luzzio, Christhoper. 2017. Mutiple Sclerosis : Practice Essentials, Background,
Pathophysiology. Emedicine Medscape.
7. About Multipel sklerosis. 2012. Bayer HealthCare Pharmaceuticals. Available from:
http://www.multiplesclerosis.com/global/about_ms.php
8. Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi edisi ke-8. Jakarta: Erlangga Medical
Series.
9. Phenythoin Neuroprotection in Multipel sklerosis. 2015. Medscape References. Available
from: http://www.medscape.com/viewarticle/843393#vp_1
DAFTAR PUSTAKA
1.

Anda mungkin juga menyukai