Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN

DEFISIT PERAWATAN DIRI (DPD)

1. Kasus (diagnosa utama)


Defisit Perawatan Diri

2. Proses Terjadinya Masalah


A. Definisi
Defisit Perawatan Diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
hendaya dalam pemenuhan aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi,
berpakaian/berhias, makan dan bab/bak. Defisit perawatan diri adalah kegagalan
kemampuan pada seseorang untuk melaksanakan atau menyelesaikan aktivitas
kebersihan diri (Capernitto).
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan
sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya
jika tidak dapat melakukan perawatan diri ( Depkes 2000). Defisit perawatan diri
adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi,
berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Poter & Perry (2005), personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis.
Kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan Wartonah 2000).

B. Faktor Predisposisi
Perkembangan, keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.Biologis, penyakit kronis yang menyebabkan klien
tidak mampu melakukan perawatan diri.Kemampuan realitas turun, klien dengan
gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidak
pedulian dirinya dan lingkungan yang termasuk perawatan diri. Social, kurang
dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungan, situasi lingkungan
mempengaruhi kemampuan dalam merawat diri.

C. Faktor Presipitasi
Kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemasa, lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu parawatan diri.

D. Tanda dan gejala


1. Mandi/hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau
mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran ai mandi, mendapatkan
perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.
2. Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian, menanggalkan pakaian serta memperoleh atau menukar pakaian. Klien
juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, memilih
pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kaos kaki, mempertahankan
penampilan pada tingkat yang memuaskan, mengambil pakaian, dan mengenakan
sepatu.
3. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan
makanan, menangani perkakas, mengunah makanan, menggunakan alat
tambahan, mendapatkan makanan, membuka container, memanipulasi makanan
dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu memasukkannya ke mulut,
melengkapi makan, mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat,
mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
4. BAB/BAK (toileting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban
atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk
toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat, dan meniram toilet
atau kamar kecil.
3. Masalah Keperawatan
Masalah yang mungkin muncul:
1. Defisit perawatan diri
2. Harga diri rendah
3. Risti isolasi social

4. Data yang Perlu Dikaji

Masalah Data yang perlu dikaji


keperawatan
Defisit Perawatan Subjektif
Diri a. Klien mengatakan dirinya malas mandi karena
airnya dingin atau di RS tidak tersedia alat mandi
b. Klien mengatakan dirinya malas berdandan
c. Klien mengatakan ingin disuapi makan
d. Klien mengatakan membersihkan alat kelaminna
setelah BAK ataupun BAB

Objektif

a. Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri


ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki, dan berbau, serta kuku panjang dan kotor.
b. Ketidakmampuan berpakaian/berhias ditandai
dengan rambut acak-acakan, pakaian kotor dan
tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur
(laki-laki) atau tidak berdandan (wanita)
c. Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai
dengan ketidakmampuan mengambil makan
sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada
tempatnya
d. Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri
ditandai BAB/BAK tidak pada tempatna, tidak
membersihkan diri dengan baik setelah BAB/BAK

5. Diagnosa Keperawatan
Defisit perawatan diri
6. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Rencana tindakan keperawatan untuk klien
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
a. Mengkaji kemampuan klien melakukan klien perawatan diri meliputi mandi/
kebisahan diri, berpakaian/berhias, makan. Serta BAB/BAK secara mandiri.
b. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien


a. Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien.
b. Memberikan latihan cara melakukan mandi/kebersihan diri secara mandiri.
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien


a. Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien.
b. Memberikan latihan cara berpakaian/berhias secara mandiri.
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal harian klien.

Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien


a. Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien.
b. Memberikan latihan cara makan secara mandiri.
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal harian klien.

Strategi pelaksanaan 5 (SP 5) untuk klie


a. Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien.
b. Memberikan latihan cara BAB/BAK secara mandiri.
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal harian klien.

Tindakan keperawatan untuk klien


a. Mengkaji kemampuan melakukan perawatan diri yang meliputi mandi/
membersihkan diri, berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK secara
mandiri.
b. Memberikan latihan cara melakukan mandi/ membersihkan diri, berpakaian/
berhias, makan, BAB/BAK secara mandiri.
c. Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kurang
perawatan diri.

2. Tindakan Keperawatan Untuk Keluarga Klien


Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga
a. Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan
oleh klien untuk menjaga perawatan diri.

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga


a. Anjurkan keluarga untuk terlibat untuk merawat diri klien dan membantu
mengingkatkan klien dalam merawat diri (sesuai jadwal yang telah
disepakati).
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat klien yang mengalami defisit
perawatan diri.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga


a. Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan klien dalam
merawat diri.
b. Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

Tindakan keperawatan untuk keluarga klien


Keluarga dapat meneruskan melatih klien dan mendukung agar kemampuan klien
dalam perawatan dirinya meningkat. Serangkaian intervensi ini dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan
oleh klien agar dapat menjaga kebersihan diri.
b. Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat dan membantu klien dalam
merawat diri (sesuai jadwal yang telah disepakati)
c. Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan klien dalam
merawat diri.

LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

1. Kasus (diagnosa utama)


Risiko Bunuh Diri

2. Proses Terjadinya Masalah


A. Definisi
Bunuh diri adalah suatu keadaan di mana individu mengalami risiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap
diri sendri yang tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri
yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh dri, niatnya adalah kematian dan
individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan (Struart dan Sundeen,
1995).
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk
mengakhiri kehidupannya.Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh
diri memiliki 4 pengertian, antara lain:
1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional.
2. Bunuh diri dilakukan dengan intensi.
3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri.
4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif), misalnya
dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja
berada di rel kereta api.

B. Faktor Predisposisi
1. Diagnosa Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri
mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat
individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2. Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya risiko bunuh diri
adalah antipatip, implusif, dan depresi.
3. Lingkungan Psikososial
Factor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri di antaranya adalah pengalaman
kehilangan, kehilangan dukungan social, kejadian-kejadian negative dalam hidup,
penyakit kronis, perpisahan, atau bahkan perceraian. Kekuatan dukungan social
sangat penting dalam menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih
dahulu mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain.
4. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor penting
yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

C. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan pada stress berlebihan yang dialami oleh
individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Factor lain
yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai
orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang
emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.

D. Tanda dan Gejala


1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
5. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
6. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosisi
mematikan).
7. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah, dan
mengasingkan diri).
8. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikososial, dan menyalahgunakan alkohol).
9. Kesehatan fisik ( biasanya pada klien dengan penyakitan kronis atau terminal).
10. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan).
11. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
12. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
13. Pekerjaan.
14. Konflik interpersonal.
15. Latar belakang keluarga.
16. Orientasi seksual.
17. Sumber-sumber personal.
18. Sumber-sumber sosial.
19. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.

3. Masalah keperawatan
Masalah yang mungkin muncul:
a. Risiko bunuh diri.
b. Bunuh diri.
c. Isolasi sosial.
d. Harga diri rendah kronis.

4. Data yang Perlu Dikaji


Masalah Data yang perlu dikaji
keperawatan
Risiko bunuh Subjektif
diri  Mengungkapkan keinginan bunuh diri.
 Mengungkapkan keinginan untuk mati.
 Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
 Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari
keluarga.
 Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang dosis obat
yang mematikan.
 Mengungkapkan adanya konflik interpersonal.
 Mengungkapkan telah menjadi korban perilaku kekerasan saat
kecil.
Objektif
 Implusif.
 Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya sangat
penuh).
 Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis, dan
penyalahgunaan alkohol).
 Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit
terminal).
 Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau
kegagalan dalam karir).
 Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
 Status perkawinan yang tidak harmonis.

5. Diagnosa Keperawatan
Risiko bunuh diri.

6. Rencana Tindakan Keperawatan


1. Rencana Tindakan Keperawatn untuk klien secara umum
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.
 Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan klien.
 Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan klien.
 Melakukan contact treatment.
 Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri.
 Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri.

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien


 Mengidentifikasi aspek positif klien.
 Mendorong klien untuk berfikir positif terhadap diri.
 Mendorong klien untuk menghargai diri sebagi individu.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien


 Mengidentifikasi pola koping yang biasa dilakukan klien.
 Menilai pola koping yang biasa dilakukan.
 Mengidentifikasi pola koping ang konstruktif.
 Mendorong klien memilih pola koping yang konstruktif.
 Menganjurkan klien menerapkan pola koping konstruktif dalam kegiatan
harian.

Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien.


 Membuat rencana masa depan yang realistis bersama klien.
 Mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang realistis.
 Memberi dorongan klien melakukan kegiatan dalam rangka meraih masa
depan yang realistis.

2. Rencana Tindakan Keperawatan untuk keluarga.


Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.
 Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.
 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala perilaku bunuh diri yang dialami
klien beserta proses terjadinya.
 Menjelaskan cara-cara merawat klien perilaku bunuh diri.

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga.


 Melatih keluarga mempraktikan cara merawat klien perilaku bunuh diri.
 Melatih keluarga melakukan cara merawat klien perilaku bunuh diri.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga.


 Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum
obat.
 Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

1. Kasus (diagnosa utama)


Isolasi Sosial

2. Proses Terjadinya Masalah


A. Definisi
Suatu sikap di mana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain.
Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia
mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang
dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak
sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang, 2007)
Isolasi sosial merupakan keadaan di mana individu atau kelompok mengalami atau
merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain
tetapi tidak mampu untuk membuat kontak (Carpenito ,L.J, 1998: 381).
Menurut Rawlins, R.P & Heacock, P.E (1988 : 423) isolasi sosial menarik diri
merupakan usaha menghindar dari interaksi dan berhubungan dengan orang lain, individu
merasa kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan dalam berfikir,
berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan.

B. Faktor Predisposisi
1. Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang
harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan social. Bila tugas-
tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat fase
perkembangan social yang nantina akan dapat menimbulkan masalah.
2. Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan factor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan social. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam
berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasaan (double bind) yaitu suatu
keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam
keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar
keluarga.
3. Faktor sosial budaya
Isolasi social atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu
factor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan
oleh norma-norma yang salah dianut oleh keluarga di mana setiap anggota
kelurga yang tidak produktif seperti usia lanjut, berpenakit kronis, dan
penyandang cacat diasingkan dari lingkungan social.
4. Faktor biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya gangguan
dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat memengaruhi terjadinya
gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien skizofrenia yang
mengalami masalah dalam hubungan social memiliki struktur yang abnormal
pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam
limbic dan daerah kortikal.

C. Faktor presipitasi
Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh factor internal dan
eksternal seseorang. Faktor sterss prestisipasi dapat dikelompokkan sebagai berikut.
1. Faktor eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang ditimbulkan oleh
faktor sosial budaya seperti keluarga.
2. Faktor internal
Contohnya adalah stersor psikologis, yaitu stress terjadi akibat ansietas yang
berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu
untuk mengatasina. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntunan untuk berpisah
dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.
D. Tanda dan Gejala
1. Kurang spontan
2. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
3. Ekspresi wajah kurang berseri
4. Tidak merawat diri dan tidak mempehatikan kebersihan diri
5. Tidak ada atau kurang berkomunikasi verbal
6. Mengisolasi social
7. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
8. Asupan makanan dan minuman terganggu
9. Retensi urin dan fesef
10. Aktivitas menurun
11. Kurang energy (tenaga)
12. Rendah diri
13. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada posisi tidur)

3. Masalah keperawatan
Masalah yang mungkin muncul:
a. Isolasi social
b. Harga diri rendah kronis
c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
d. Koping individu tidak efektif
e. Koping keluarga tidak efektif
f. Intoleransi aktivitas
g. Defisit perawatan diri
h. Risiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
4. Data yang Perlu Dikaji
Masalah Data yang perlu dikaji
keperawatan
Isolasi social Subjetif
 Klien mengatakan malas bergaul dengan orang lain
 Klien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani perwat dan
meminta untuk sendiri
 Klien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain
 Tidak mau berkomunikasi
 Data tentang klien biasanya didapat dari keluarga yang
mengetahui keterbatasan klien (suami, istri, anak, ibu, ayah,
atau teman dekat

Objektif
 Kurang spontan
 Apatis (acuh terhadap lingkungan)
 Ekspresi wajah kurang berseri
 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
 Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
 Mengisolasi diri
 Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
 Asupan makan dan minuman terganggu
 Retensi urin dam feses
 Aktivitas menurun
 Kurang berenergi atau bertenaga
 Rendah diri
 Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus atau janin
(khususnya pada posisi tidur

5. Diagnosa Keperawatan
Isolasi social

6. Rencana Tindakan Keperawatan


1. Rencana Tindakan keperawatan untuk klien
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
a. Mengidentifikasi penyebab isolasi social
b. Berdiskusi dengan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain
c. Berdiskusi dengan klien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
d. Mengajarkan kepada klien tentang cara berkenalan dengan satu orang
e. Menganjurkan kepada klien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain dalam kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien


a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Memberikan kesempatan kepada klien mempraktikan cara berkenalan dengan satu
orang
c. Membantu klien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien


a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Memberikan kesempatan kepada klien berkenalan dua orang atau lebih
c. Menganjurkan kepada klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

2. Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga


Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga
a. Mendiskusikan masala hang dirasakan keluarga dalam merawat klien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi social beserta proses terjadinya
c. Menjelaskan cara-cara merawat klien isolasi sosial

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga


a. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat klien isolasi social
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat lansung kepada klien isolasi sosial

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga


a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
b. Menjelaskan follow up klien setelah pulang
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI

1. Kasus (diagnosa utama)


Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi

2. Proses Terjadinya Masalah


A. Definisi
Menurut Cook dan Fontaine (1987) perubahan persepsi sensori: halusinasi adalah
salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi sensori,
seperti palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghidungan.
Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Selain itu, perubahan persepsi
sensori tentang suatu objek, gambaran, dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya
rangsangan dari luar meliputi semua system penginderaan (pendengaran, penglihatan,
penciuman, perabaan, atau pengecapan).
Halusinasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada
pola stimulus yang mendekat (yang diprakarsai secara internal dan ekternal) disertai
dengan suatu pengurangan berlebih-lebihan atau kelainan berespons terhadap
stimulus (Towsend, 1998).
Halusinasi merupakan gangguan penyerapan/persepsi panca indra tanpa adanya
rangsangan dari luar. Gangguan ini dapat terjadi pada system penginderaan pada saat
kesadaran individu tersebut penuh dan baik. Maksudna rangsangan tersebut dari luar
dan dari individu sendiri. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang
tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Wilson,
1983).

Teori yang menjelaskan halusinasi (Stuart dan Sundeen, 1995)


a. Teori biokimia
Terjadinya sebagai respons metabolism stress ang mengakibatkan terlepasnya zat
halusinogenik neurotic (buffofenon dan dimethytransferase).
b. Teori psikoanalisis
Merupakan respons pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar ang
mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar.

Jenis halusinasi serta Data Objektif dan Subjektif


Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Dengar a. Bicara atau tertawa a. Mendengar suara-suara
(klien mendengar sendiri atau kegaduhan
suara/bunyi yang tidak b. Marah-marah tanpa b. Mendengar suara yang
ada hubungannya dengan sebab mengajak bercakap-cakap
stimulus yang c. Mendekatkan telinga c. Mendengar suara
nyata/lingkungan kearah tertentu menyuruh melaukan
d. Menutup telinga sesuatu yang berbahaya

Halusinasi Penglihatan a. Menunjuk-nunjuk ke Melihat bayangan, sinar,


(Klien melihat gambaran arah tertentu bentuk geomentris, kartun,
yang jelas/samar terhadap b. Ketakutan pada melihat hantu, atau monster
adanya stimulus yang sesuatu yang tidak
nyata dari lingkungan dan jelas
orang lain tidak
melihatnya
Halusinasi Penciuman a. Mengendus-endus Membaui bau-bauan seperti
(Klien mencium suatu bau seperti sedang bau darah, urine, feses, dan
yang muncul dari sumber membaui bau-bauan terkadang bau-bau tersebut
tertentu tanpa stimulus tertentu menyenangkan bagi klien
yang nyata b. Menutup hidung
Halusinasi Pengecapan a. Sering meludah Merasakan rasa seperti darah,
(Klien merasakan sesuatu b. Muntah urine, atau feses
yang tidak nyata,
biasanya, merasakan rasa
makanan yang tidak enak)
Halusinasi perabaan Mengaruk-garuk a. Mengatakan ada serangga
(Klien merasakan sesuatu permukaan kulit di permukaan kulit
pada kulitnya tanpa ada b. Merasa seperti tersengat
stimulus yang nyata) listrik
Halusinasi Kinestik Memegang kakinya yang Mengatakan bandanya
(Klien merasakan dalam dianggapnya bergerak melayang di udara
suatu ruangan atau sendiri
anggota badannya
bergerak
Halusinasi Viseral Memegang badannya Mengatakan perutnya
(Perasaan tertentu timbul yang dianggapnya mengecil setelah minum soft
dalam tubuhnya) berubah bentuk dan tidak drink
normal seperti biasanya

B. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

 Pikiran logis  Distorsi pikiran  Gangguan


 Presepsi actual  Ilusi proses pikir
 Emosi konsisten  Reaksi emosi  Halusinasi
 Perilaku sosial  Perilaku yang  Perilaku
 Berhubungan tidak biasa organisasi
sosial  Menarik diri  Isolasi sosial

C. Proses Halusinasi
1. Fase Pertama
Pasien merasa senang karena seperti ada yang mengajak bicara atau melihat
sesuatu. Pasien menikmati kondisinya.
2. Fase Kedua
Pasien mulai merasa terganggu. Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan.
Pasien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengendalikan jarak
dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda tanda
sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda tanda vital (denyut
jantung, pernafasan dan tekanan darah), kadang menyalahkan orang lain, mulai
merasa cemas.
3. Fase Ketiga
Pasien sulit membedakan yang benar-benar ada dan yang berupa bayangan,
bahkan pasien sudah dikuasai oleh halusinasinya. Pasien berhenti menghentikan
perlawanan terhadap halusinasi danmenyerah pada halusinasi tersebut. Disini
pasien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu
mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat
menegankan terutama jika akan berhubungan ddengan orang lain, pasien mulai
marah-marah.
4. Fase Keempat
Tingkat berat. Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak
mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.

D. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber
yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari
klien maupun keluarganya. Faktor predisposisi dapat meliputi:
1. Faktor perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
2. Faktor Sosialkultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa
disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan yang
membesarkannya.
3. Faktor biokimia
Mempunai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang
mengalami stress yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan suatu
zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimethtranferase (DMP).
4. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda
bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stress dan
kecemasan yang tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
5. Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.

E. Faktor prestisipasi
Faktor prestisipasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya.
Adanya rangsangan dari lingkungan, seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu
lama tidak diajak berkomunikasi objek yang ada dilingkungan, dan juga suasana sepi
terisolasi sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat
meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat
halusinogenik.

F. Tanda dan Gejala


1. Bicara, senyum, tertawa sendiri
2. Mengatakan mendengarkan suara, melihat, mengecap, menghirup (mencium) dan
merasa suatu yang tidak nyata.
3. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungannya
4. Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan tidak nyata
5. Tidak dapat memusatkan perhatian atau konsentrasi.
6. Sikap curiga dan saling bermusuhan.
7. Pembicaraan kacau kadang tak masuk akal.
8. Menarik diri menghindar dari orang lain.
9. Sulit membuat keputusan.
10. Ketakutan.
11. Tidak mau melaksanakan asuhan mandiri: mandi, sikat gigi, ganti pakaian,
berhias yang rapi.
12. Mudah tersinggung, jengkel, marah.
13. Menyalahkan diri atau orang lain.
14. Muka marah kadang pucat.
15. Ekspresi wajah tegang.
16. Tekanan darah meningkat.
17. Nafas terengah-engah.
18. Nadi cepat
19. Banyak keringat.

3. Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang mungkin muncul:
a. Risiko Tinggi perilaku kekerasan
b. Perubahan persepsi sensori: Halusinasi
c. Isolasi social
d. Harga Diri Rendah

4. Data yang Perlu Dikaji


Masalah Data yang perlu dikaji
Keperawatan
Perubahan Subjektif
persepsi  Klien mengatakan mendengar sesuatu
sensori :  Klien mengatakan melihat bayangan putih
Halusinasi  Klien mengatakan dirinya seperti disengat listrik
 Klien mencium bau-bauan yang tidak sedap, seperti feses
 Klien mengatakan kepalanya melayang diudara
 Klien mengatakan dirinya merasakan ada sesuatu yang berbeda
pada dirinya
Objektif
 Klien terlihat bicara atau tertawa sendiri saat dikaji
 Bersikap seperti mendengarkan sesuatu
 Berhenti bicara di tengah-tengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu
 Disorientasi
 Konsentrasi rendah
 Pikiran cepat berubah-ubah
 Kekacauan alur pikiran

5. Diagnosa Keperawatan
Perubahan persepi sensori :Halusinasi

6. Rencana Tindakan Keperawatan


1. Rencana Tindakan Keperawatan untuk Klien
 Tujuan/strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien:
a. Mengidentifikasi jenis halusinasi
b. Mengidentifikasi isi halusinasi
c. Mengidentifikasi waktu halusinasi
d. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi
e. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi
f. Mengidentifikasi respons klien terhadap halusinasi
g. Menganjurkan menghardik halusinasi
h. Menganjurkan klien memasukkan car menghardik halusinasi dalam jadwal
kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien


a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan
orang lain
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien


a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan (kegiatan
yang biasa dilakukan klien dirumah)
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegaiatan harian

 Tindakan keperawatan untuk klien


a. Membantu klien mengenali halusinasi
Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membant klien
mengenali halusinasinya. Perawat dapat berdiskusi dengan klien terkait isi
halusinasi (apa ang didengar atau dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi
terjadina halusinasi yang menyebabkan halusinasi muncul (komunikasinya
sama dengan pengkajian diatas).
b. Melatih klien mengontrol halusinasi
Perawat dapat melatih empat cara dalam mengendalikan halusinasi pada klien.
Keempat cara tersebut sudah terbukti mampu mengontrol halusinasi seseorang.
Keempat cara tersebut adalah menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan
orang lain, melakukan aktivitas yang terjadwal, dan mengonsumsi obat secara
teratur.

2. Rencana Tindakan Keperawatan untuk Keluarga Klien


 Tujuan/strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi yang dialami klien beserta
proses terjadinya
c. Menjelaskan cara-cara merawat klien halusinasi

Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga


a. Melatih keluarga mempraktikan cara merawat klien halusinasi
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat klien halusinasi
 Tindakan Keperawatan untuk keluarga klien
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dapat dilakukan melalui tiga tahap.
Tahap pertama adalah menjelaskan tentang masalah yang dialami oleh klien dan
pentingnya nilai keluarga untuk mendukung klien. Tahap kedua adalah melatih
keluarga untuk merawat klien, dan tahap ketiga yaitu melatih keluarga klien untuk
merawat klien secara langsung.
Informasi yang perlu disampaikan kepada keluarga meliputi pengertian
halusinasi, jenis halusinasi yang dialami oleh klien, tanda dan gejala halusinasi,
proses terjadinya halusinasi, cara merawat klien halusinasi (cara bekomunikasi,
pemberian obat, dan pemberian aktivitas kepada klien), serta sumber-sumber
pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau.

LAPORAN PENDAHUUAN

WAHAM

1. Kasus (diagnosa utama)


Perubahan Proses pikir : waham

2. Proses terjadinya masalah


A. Definisi
Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara kukuh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita
normal (Stuart dan Sundeen,1998).
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal
dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol (Depkes RI, 2000)
Waham adalah menyatakan bahwa suatu keyakinan tentang isi pikir yang tidak sesuai
dengan kenyataan atau tidak cocok dengan intelegensi dan latar belakang budayanya,
keyakinan tersebut dipertahankan secara kokoh dan tidak dapat di ubah. (Keliat, 2000).

B. Jenis Waham
1. Waham Kebesaran
Meyakini bahwa dirinya memiliki kekuasaan tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2. Waham Somatik
Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu, akan tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan.
3. Waham Nihilistik
Meyakini dirinya sudah tidak ada lagi di dunia, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
4. Waham Agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan.

5. Waham Curiga
Meyakini ada seseorang atau kelompok yang berusaha merugikan atau
mencederainya, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
6. Waham Siar Pikir
Keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan walaupun ia
tidak pernah mengungkapkan pikirannya kepada orang tersebut.
7. Waham Kontrol Pikir
Keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan diluar dirinya yang
tidak sesuai dengan kenyataan.
8. Waham Sisip Pikir
Keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan ke dalam pikirannya,
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

C. Faktor predisposisi
1. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang. Hal
ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi,
klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak
efektif.
2. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya
waham .
3. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan
ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.
4. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atropi otak, pembesaran ventrikel di otak, atau
perubahan pada sel kortikal dan limbik.

D. Faktor presipitasi
1. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok.
2. Faktor biokimia
Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi penyebab
waham pada seseorang.
3. Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi masalah
sehingga klien mengembangkan kopping untuk menghindari kenyataan yang
meneyenangkan.

E. Tanda dan gejala


1. Menolak makan
2. Tidak ada perhatian pada perawatan diri
3. Ekspresi wajah sedih/ gembira/ketakutan
4. Gerakan tidak terkontrol
5. Mudah tersinggung
6. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
7. Tidak bisa membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan
8. Menghindar dari orang lain
9. Mendominasi pembicaraan
10. Berbicara kasar
11. Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan

3. Masalah Keperawatan
A. Masalah keperawatan yang mungkin muncul
a. Resiko tinggi perilaku kekerasan
b. Perubahan proses piker : waham
c. Isolasi sosial
d. Harga diri rendah

4. Data Yang Pelu Dikaji

Masalah keperawatan Data yang perlu dikaji


Perubahan proses pikir : Subjektif :
waham kebesaran  Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang
yang paling hebat
 Klien mengatakan bahwa ia memiliki kebesaran
akau kekuasaan khusus

Objektif :
 Klien terus berbicara tentang kemampuan yang
dimilikinya
 Pembicaraan klien cenderung berulang-ulang
 Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.

5. Diagnosa keperawatan
Perubahan proses pikir : waham kebesaran

6. Rencana tindakan keperawatan


A. Rencana tindakan keperawatan pada klien
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
 Membantu orientasi realitas
 Berdiskusi tentang kemampuan yang dimiliki
 Melatih kemampuan yang dimiliki

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien


 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
 Berdiskusi tentang kemapuan yang dimiliki
 Melatih kemapuan yang dimiliki

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien


 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
 Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur
 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian

Tindakan keperawatan untuk klien


 Tidak mendukung atau membantah waham klien
 Yakinkan klien dalam keadaan aman
 Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari
 Diskusikan kebutuhan psikologis / emosional yang tidak terpenuhi karena dapat
menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah
 Jika klien terus menerus mebicarakan wahamnya, dengarkan tanpa memberikan
dukungan atau menyangkal sampai klien berhenti membicarakannya
 Berikan pujian bila penampilan klien dan orientasi klien sesuai dengan realitas
 Diskusikan dengan klien kemampuan realitas yang dimilikinya pada saat yang lalu
dan saat ini
 Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan yang dimilikinya
 Diskuikan kebutuhan psikologis/ emosional yang tidak terpenuhi sehingga
menimbulkan kecemasan rasa takut dan marah
 Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional klien
 Berbicara dalam konteks realitas
 Bila klien mampu memperlihatkan kemampuan positifnya
 Berikan pujian yang sesuai
 Jelaskan pada klien tentang program pengobatannya (manfaat, dosis obat, jenis dan
efek samping obat yang diminum serta cara meminum obat yang benar )
 Diskusikan akibat yang terjadi bila klien berhenti minum obat tanpa konsultasi

B. Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga


Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga
 Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala waham yang dialami klien beserta proses
terjadinya
 Menjelaskan cara-cara merawat klien waham

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga


 Melatih keluarga mempraktikan cara merawat klien waham
 Melatih keluarga melakukan cara merawat klien waham
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga
 Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
 Menjelaskan follow up klien setelah pulang

Tindakan keperawatan untuk keluarga klien


 Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami klien
 Diskusikan dengan keluarga tentang cara merawat klien waham dirumah, follow up
dan keteraturan pengobatan, serta lingkungan yang tepat untuk klien.
 Diskusikan dengan keluraga tentang obat klien (nama obat, dosis, frekuensi, efek
samping, dan akiibat penghentian obat
 Diskusikan dengan keluarga kondisi klien yang memerlukan bantuan.

LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN
1. Kasus (diagnosa utama)
Perilaku kekerasan

2. Proses Terjadinya Masalah


A. Definisi
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan di mana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995). Menurut Carpenito tahun 2000, perilaku
kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya
langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain.

B. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang
factor predisposisi perilaku kekerasan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Teori Biologik
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat implus agresif. System limbik
sangat terlibat dalam memnstimulus timbulnya perilaku bermusuhan dan
respons agresif.
b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996) menyatakan
bahwa berbagai neurtransmiter (epinefrin, norepinefrin, dopamine,
asetilkolon, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan
menghambat implus agresif. Peningkatan hormone androgen dan norepinefrin
serta penurunana serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal
merupakan factor predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku
agresif pada seseorang.

c. Pengaruh genetic, menurut penelitian perilaku termasuk sangat erat kaitanna


dengan genetic termasuk genetic tipe karotipe XYY, yang umumnya dimiliki
oleh penghuni penjara perilaku tindakan criminal (narapidana)
d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai gangguan
serebral , tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus temporal), trauma
otak, penyakit ensefalitis, epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan
2. Teori Psikologik
a. Teori psikoanalatik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhina kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah.
b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari,
individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap perilaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-
anak tanpa factor predisposisi biologic
3. Teori sosialkultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan
factor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.

C. Faktor prestisipasi
1. Internal adalah semua factor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunnya
percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol, dan lain-lain
2. Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis, dan
lain-lain.

D. Tanda dan Gejala


1. Fisik: mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal rahan mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal: mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar dan ketus.
3. Perilaku: menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
4. Emosi: tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan,
dan menuntut.
5. Intelektual: mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual: menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran
7. Perhatian: bolos, menarik diri, dan melakukan penyimpangan seksusal

3. Masalah keperawatan
Masalah yang mungkin muncul:
a. Perilaku kekerasan
b. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
d. Harga diri rendah kronis
e. Isolasi social
f. Berduka disfungsional
g. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif
h. Koping keluarga inefetif

4. Data yang Perlu Dikaji


Masalah keperawatan Data yang perlu dikaji
Perilaku kekerasan Subjektif
 Klien mengancam
 Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
 Klien mengatakan dendam dan jengkel
 Klien mengatakan ingin berkelahi
 Klien menyalahkan dan menuntut
 Klien meremehkan
Objektif
 Mata melotot/pandangan tajam
 Tangan mengepal
 Rahang mengatup
 Wajah memerah dan tegang
 Postur tubuh kaku
 Suara keras

5. Diagnosa Keperawatan
Perilaku kekerasan

6. Rencana Tindakan Keperawatan


1. Rencana tindakan keperawatan untuk klien
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
a. Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
b. Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
c. Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan
d. Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
e. Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan
f. Membantu klien mempraktikkan latihan cara mengontrol fisik I
g. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Startegi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien


a. Mengevalusi jadwal kegiatan harian klien
b. Melatih klien menontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II
c. Menganjurkan klien memasukka dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien


a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien


a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spriritual
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 5 (SP 5) untuk klien


a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara minum obat
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Tindakan keperawatan untuk klien


a. Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi di masa lalu
dan saat ini
b. Diskusikan perasaan klien ika terjadi penyebab perilaku kekerasan
c. Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekerasan, baik
kekerasan fisik, psikologis, social, spiritual maupun intelektual
d. Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa dilakukan pada saat
marah baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan
e. Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku marahnya
f. Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan baik secara fisik
(pukul kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obat-obatan, social atau verbal
(dengan mengungkapkan kemarahannya secara asertif), ataupun spiritual (shalat
atau berdoa sesuai keyakinan klien).

2. Perilaku tindakan kekerasan keperawatan untuk keluarga


Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala perilaku yang dialami klien beserta
proses terjadinya
c. Menjelaskan cara-cara merawat klien perilaku kekerasan

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga


a. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien perilaku kekerasan.
b. Melatih keluarga melakuka cara merawat klien perilaku kekerasan
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien
a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat.
b. Menjelaskan follow up klien setelah pulang

Tindakan keperawatan untuk keluarga


a. Diskusikan bersama keluarga masalah yang dirasakan kelurga dalam merawat
klien
b. Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan meliputi penyebab, tanda
dan gejala, perilaku yang muncul, serta akibat dari perilaku tersebut
c. Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan perilaku kekerasan
d. Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar melakukan tindakan yang
telah diajarkan oleh perawat.
e. Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada klien bila anggota keluarga
dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
f. Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila klien
menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.
g. Diskusikan bersama keluarga klien kondisi-kondisi klien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain.

LAPORAN PENDAHULUAN

HARGA DIRI RENDAH (HDR)

1. Kasus (diagnosa utama)


Harga Diri Rendah

2. Proses Terjadinya Masalah


A. Definisi
Harga diri rendah merupakan perasaan negative terhadap diri sendiri, hilangnya
percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998).
Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk
kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya, pesimis,
tidak ada harapan dan putus asa (Depkes RI, 2000).

B. Faktor Predisposisi
1. Penolakan orang tua.
2. Harapan orang tua yang tidak realistis.
3. Kegagalan yang berulang kali.
4. Kurang mempunyai tanggung jawab personal.
5. Ketergantungan pada orang lain.
6. Ideal diri tidak realistis

C. Faktor Presipitasi
Faktor prestisipasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
serta menurunnya produktifitas. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis ini
dapat terjadi secara situasional maupun kronik.
Gangguan harga diri rendah dapat terjadi secara :
1. Situasional yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu
karena sesuatu (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba).
Pada klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah, karena :
a. Privacy yang kurang diperhatikan, misalnya: pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan (pencukuran pubis,
pemasangan kateter, pemeriksaan perneal).
b. Harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena
dirawat/ sakit/ penyakit.
c. Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya berbagai
pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai tindakan tanpa
persetujuan.

2. Kronik yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu
sebelum sakit/ dirawat. Klien ini mempunyai cara berfikir yang negatif. Kejadian
sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respons yang maladaptif.Kondisi ini dapat ditemukan pada klien
gangguan fisik yang kronis atau pada klien gangguan jiwa.Dalam tinjauan life
span history klien, penyebab HDR adalah kegagalan tumbuh kembang, misalnya
sering disalahkan, kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima
dalam kelompok.

D. Tanda dan Gejala


1. Mengkritik diri sendiri
2. Perasaan tidak mampu
3. Pandangan hidup yang pesimistis
4. Tidak menerima pujian
5. Penurunan produktivitas
6. Penolakan terhadap kemampuan diri
7. Kurang memperhatikan perawatan diri
8. Berpakaian tidak rapi
9. Selera makan berkurang
10. Tidak berani menatap lawan bicara
11. Lebih banyak menunduk
12. Bicara lambat dengan nada suara lemah

3. Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang mungkin muncul:
a. Harga diri rendah kronis
b. Koping individu tidak efektif
c. Isolasi social
d. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
e. Risti perilaku kekerasan

4. Data yang perlu dikaji


Masalah Data yang perlu dikaji
Keperawatan
Harga diri rendah Subjektif
kronis  Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna
 Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu
 Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk
beraktivitas atau bekerja
 Mengungkapkan dirinya malas melakukan perawatan
diri (mandi, berhias, makan atau tolileting)

Objektif
 Mengkritik diri sendiri
 Perasaan tidak mampu
 Pandangan hidup yang pesimistis
 Tidak menerima pujian
 Penurunan produktivitas
 Penolakan terhadap kemampuan diri
 Kurang memperhatikan perawatan diri
 Berpakaian tidak rapi
 Berkurang selera makan
 Tidak berani menatap lawan bicara
 Lebih banyak menunduk
 Bicara lambat dengan nada suara lemah

5. Diagnosa Keperawatan
Gangguan konsep diri: Harga diri rendah kronis

6. Rencana Tindakan Keperawatan


1. Rencana Tindakan Keperawatan pada klien
 Tujuan/strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
b. Membantu klien menilai kemampuan yang masih dapat dilakukan
c. Membantu klien menentukan kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan
kemampuan klien
d. Melatih klien sesuai dengan kemampuan yang dipilih
e. Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien
f. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien


a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Melatih kemampuan kedua
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

 Tindakan keperawatan untuk klien


a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimilikinya
Perawat dapat melakukan hal-hal berikut untuk membantu klien
mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang masih dimilikinya, yaitu:
1) Mendiskusikan bahwa klien masih memiliki sejumlah kemampuan dan
aspek positi seperti kegiatan klien di rumah, adanya keluarga dan
lingkungan terdekat klien
2) Beri pujian yang realistis atau nyata dan hindarkan penilaian yang negative
setiap kali bertemu dengan klien

b. Membant klien dalam menilai kemampuan yang dapat digunakan


Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan saat
ini setelah mengalami bencana
2) Bantu klien menyebutkanna dan beri penguatan terhadap kemampuan diri
yang berhasil diungkapkan klien
3) Perlihatkan respons yang kondusif dan jadilah pendengar yang aktif

c. Membantu klien agar dapat memilih atau menetapkan kegiatan sesuai dengan
kemampuan. Tindakan keperawatan ang dapat dilakukan adalah:
1) Mendiskusikan dengan klien beberapa aktivitas yang dapat dilakukan dan
dipilih sebagai kegiatan yang akan klien lakukan sehari-hari.
2) Bantu klien menetapkan aktivitas yang dapa dilakukan secara mandiri.
Tentukan aktivitas-aktivitas yang memerlukan bantuan minimal dan
bantuan penuh dari keluarga atau lingkungan terdekat klien.
3) Melatih kegiatan klien yang sudah dipilih sesuai kemampuan
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
a) Mendiskusikan dengan klien untuk menetapkan urutan kegiatan (ang
sudah dipilih klien) yang akan dilatihkan
b) Bersama klien dan keluarga memperagakan beberapa kegiatan yang
akan dilakukan klien
c) Berikan dukungan dan pujian yang nyata pada setiap kemajuan yang
diperlihatkan klien
4) Membantu klien agar dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan
kemampuannya
Untuk mencapai tujuan dari tindakan keperawatan tersebut, saudara dapat
melakukan hal-hal berikut
a) Memberi kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilatihkan
b) Beri puian atas aktivitas atau kegiatan yang dapat dilakukan setiap hari
c) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap aktivitas
d) Menyusun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama klien dan
keluarga
e) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
setelah melaksanakan kegiatan
f) Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang dilakukan
klien

2. Rencana Tindakan keperawatan pada keluarga


 Tujuan/strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami klien
beserta proses terjadinya

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga


a. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien harga diri rendah
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien harga diri
rendah

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga


a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat
b. Menjelaskan follow up klien setelah pulang

 Tindakan keperawatan untuk keluarga


a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien
b. Jelaskan kepada keluarga tentang kondisi klien yang mengalami gangguan
konsep diri: harga diri rendah kronis
c. Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang dimiliki klien
d. Jelaskan cara merawat klien dengan gangguan konsep diri: harga diri kronis
e. Demonstrasikan cara merawat klien dengan gangguan konsep diri: harga diri
rendah kronis
f. Bantu keluarga menyusun rencana kegiatan klien rumah

Anda mungkin juga menyukai