Anda di halaman 1dari 6

TONSILITIS DIFTERI

Nama: Veronica Meidy

Nim: 1361050234

Stase: Farmasi
DEFINISI

Tonsilitis difteri adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring yang disebabkan
kuman corynebacterium diphtheria, kuman yang termasuk gram positif dan hidung di saluran
napas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Sering ditemukan pada anak berusia kurang
dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini.

EPIDEMIOLOGI

Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun setelah penggunaan
toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia
kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Pada setiap epidemic insidens
menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi,
mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk ekonomiyang rendah yang
tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian
umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.

ETIOLOGI

Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk
Gram positif dan hidup di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti
toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap
cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.

PATOFSIOLOGI

Kuman masuk melalui mukosa/ kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan
mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling
serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini
merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang
disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang
teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat
melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik
pada sel.
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit
dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini memungkinkan toksin
mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi dan mengandung
toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada
jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Toksin diphtheria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase. Hal ini
menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida
yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi
semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat
berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin,
membran juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas
membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode
penyembuhan. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus
pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan
pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang- cabang
tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap
organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi
pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,
terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati
toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi
otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput mielin. Nekrosis hati bias disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak
perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.

MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal dan gejala
akibat eksotoksin.
 Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri
menelan
 Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran ini dapat meluas ke
palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat
saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan
mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar
limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi(
bullneck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.
1. Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum
dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

DIAGNOSIS

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan


pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan
didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.
TERAPI

Anti Diphteria Serum (ADS)


Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria. Sebelumnya harus
dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat
kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam
semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000
secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam
faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala
konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila
tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan
intravena. Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit,
tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml dalam
waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Antimikrobal
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan produksi toksin.
Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan
eritromisin 40 mg/kg/hari.
Koritikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian
atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik. Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari,
p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.
Antiperetik untuk simtomatis. Karena peyakit ini menular, pasien harus diisolasi.
Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.

Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.


Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring
yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang
tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi
tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan
berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.

KOMPLIKASI

Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan
menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio kordis. Kelumpuhan
otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga
menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernafasan. Albuminuria
sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal.

RESEP

dr. veronica
1361050234
Jl. Raya Condet No 42
Batu ampar, Jakarta Timur
___________________________________________________________
No 1 Jakarta,30-10-2017
R/ Amoxicilin 200 mg
m.f pulv. dtd. NO XV
S 3 dd I pulv pc (habiskan)
__________________________________________________________ paraf
R/ Prednison 8 mg
Sacc Lactis q.s
m.f pulv. dtd. NO XXI
S 3 dd I pulv. pc
__________________________________________________________ paraf
R/ Parasetamol 160 mg
m.f pulv. dtd NO X
S 3 dd I pulv. feb dur
___________________________________________________________ paraf

Pro:…. (..th)
Daftar Pustaka

1. Kadun I Nyoman. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV. Infomedika, Jakarta.


2006.
2. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar
Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC: Jakarta. 1997.
3. Kornblut A,Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Paparella,Gluckman
S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and neck surgery. Philadelphia, WB Saunders
3rd edition, 1991: 2149-56

4. Soepardi Arsyad Efiaty dr sp. THT (K), dkk. Tonsilitis Difteri. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi keenam. Balai Penerbit
FKUI. 2007: 222

5. American Academy of Pediatrics. Red book: 2006 Report of the Commitee on Infectious
th
Diseases. 27 ed. American Academy of Pediatrics; 2006.

Anda mungkin juga menyukai