Anda di halaman 1dari 40

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Prinsip Dasar1


Kasus kegawatdaruratan obstetri ialah kasus obstetri yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janin. Kasus
ini menjadi penyebab utama kematian ibu, janin dan bayi baru lahir. Dari sisi obstetri
empat penyebab utama kematian ibu, janin dan bayi baru lahir, yaitu
a. Pendarahan,
b. Infeksi dan sepsis,
c. Hipertensi dan preeklamsia atau eklamsia, serta
d. Persalinan macet (distosia).
Persalinan macet hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung, sedangkan ketiga
penyebab yang lain dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas. Yang
dimaksudkan dengan kasus perdarahan disini termasuk kasus perdarahan yang
diakibatkan oleh perlukaan jalan lahir mencakup juga kasus ruptura uterus. Selain ke
empat penyebab kematian utama tersebut, masih banyak kasus gawat darurat obstetri
baik yang terkait langsung dengan kehamilan dan persalinan, misalnya emboli air
ketuban maupun yang tidak terkait langsung dengan kehamilan dan persalinan,
misalnya luka bakar, syok anafilaktik karena obat, dan cedera akibat kecelakaan lalu
lintas.
Manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan tersebut berbeda-beda dalam rentang
yang cukup jelas.
a. Kasus pendarahan dapat bermanifestasi mulai dari pendarahan berwujud bercak,
merembas, profus, sampai syok.
b. Kasus infeksi dan sepsis dapat bermanifestasi mulai dari pengeluaran cairan
pervaginam yang berbau, air ketuban hijau, demam, sampai syok.
c. Kasus hipertensi dan preklamsia atau eklampsia dapat bermanifestasi mulai dari
keluhan sakit atau pusing kepala, bengkak, penglihatan kabur, kejang-kejang
sampai koma atau pingsan atau tidak sadar.
d. Kasus persalinan macet, lebih mudah di kenal yaitu apabila kemajuan persalinan
tidak berlangsung sesuai dengan batas waktu yang normal, tetapi kasus persalinan
macet ini dapat merupakan manifestasi ruptura uterus.
e. Kasus gawatdarurat yang lain bermanifestasi klinik sesuai dengan penyebabnya.
Mengenal kasus gawatdarurat obstretri secara dini sangat penting agar pertolongan
yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat manifestasi klinik kasus gawat darurat
obstetri yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, mengenal kasus tersebut,
tidak selalu mudah di lakukan, bergantung pada pengetahuan, kemampuan daya pikir
dan daya analisis, serta pengalaman tenaga penolong. Kesalahan ataupun kelambatan
dalam menentukan kasus dapat berakibat fatal.
Dalam menangani kasus gawatdarurat, penentuan permasalahan utama (diagnosis)
dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang tidak
panik. Walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam
kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat dan terarah. Walaupun prosedur
pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan
hubungan menerima dan menangani pasien harus tetap diperhatikan.

2.2 Penilaian Awal1


Dalam menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam keadaan
kegawatdaruratan atau tidak, secara prinsip harus dilakukan pemeriksaan secara
sistematis meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan obstetri.
Dalam praktek oleh karena pemeriksaan sistematis yang lengkap membutuhkan waktu
agak lama, padahal penilaian harus dilakukan secara cepat, maka dilakukan penilaian
awal.
Penilaian awal ialah langkah pertama untuk menentukan dengan cepat kasus
obstetri yang di curigai dalam keadaan gawatdarurat dan membutuhkan pertolongan
segera dengan mengidentifikasi penyulit (komplikasi) yang dihadapi. Dalam penilaian
awal ini, anamnesis lengkap belum dilakukan.Anamnesis awal dilakukan bersama-sama
periksa pandang, periksa raba, dan penilaian tanda vital dan hanya untuk mendapatkan
informasi yang sangat penting berkaitan dengan kasus. Misalnya, apakah kasus
mengalami pendarahan, demam, tidak sadar, kejang, sudah mengejan atau bersalin
berapa lama, dan sebagainya. Fokus utama penilaian adalah apakah pasien mengalami
syok hipovolemik, syok septik, syok jenis lain (syok kardiogenik, syok neurologik dan
sebagainya) koma, kejang-kejang atau koma disertai kejang-kejang dan hal itu terjadi
dalam kehamilan, persalinan, pasca persalinan, atau masa nifas. Syok kardiogenik, syok
neurogenik dan syok anafilaktik jarang terjadi pada kasus obstetri. Syok kardiogenik
dapat terjadi pada kasus penyakit jantung dalam kehamilan atau persalinan. Angka
kematian sangat tinggi. Syok neurogenik dapat terjadi pada kasus inversio uteri sebagai
akibat rasa nyeri yang hebat yang disebabkan oleh tarikan kuat pada peritoneum, kedua
ligamentum infundibulopelvikum dan liganum rotundum. Syok anafilaktik dapat terjadi
pada kasus emboli air ketuban.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk penilaian awal sebagai berikut:
a. Penilaian dengan periksa pandang (inspeksi)
1. Menilai kesadaran penderita: Pingsan/koma, kejang-kejang, gelisah, tampak
kesakitan.
2. Menilai wajah penderita: Pucat, kemerahan, banyak berkeringat
3. Menilai pernafasan: Cepat, sesak napas
4. Menilai perdarahan dari kemaluan
b. Penilaian dengan periksa raba (palpasi)
1. Kulit: Dingin,demam
2. Nadi: Lemah/kuat
3. Kaki/tungkai bawah: Bengkak
c. Penilaian tanda vital
1. Tekanan darah, nadi, suhu, dan pernapasan
Hasil penilaian awal ini, berfokus pada apakah pasien mengalami syok
hipovolemik, syok septik, syok jenis lain, koma, kejang-kejang atau koma disertai
kejang-kejang menjadi dasar pemikiran apakah kasus mengalami penyulit perdarahan,
infeksi, hipertensi/preeklamsia/eklamsia, atau penyulit lain. Dasar pemikiran ini harus
dilengkapi dan diperkuat dengan melakukan pemeriksaan klinik lengkap, tetapi
sebelum pemeriksaan klinik lengkap selesai dilakukan, langkah-langkah untuk
melakukan pertolongan pertama sudah dapat dikerjakan sesuai hasil penilaian awal,
misalnya ditemukan kondisi syok, pertolongan pertama untuk mengatasi syok harus
sudah dilakukan.

2.3 Penilaian Klinik Lengkap1


Pemeriksaan klinik lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan
pemeriksaan obstetri termasuk pemeriksaan panggul secara sistematis meliputi sebagai
berikut:
a. Anamnesis: Diajukan pertanyaan kepada pasien atau keluarganya beberapa hal
berikut jawabanya dicatat dalam catatan medis
1. Masalah/keluhan utama yang menjadi alasan pasien datang ke klinik.
2. Riwayat penyakit atau masalah tersebut, termasuk obat-obatan yang sudah di
dapat
3. Tanggal hari pertama haid yang terakhir dan riwayat haid
4. Riwayat kehamilan sekarang
5. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu termasuk kondisi anaknya
6. Riwayat penyakit yang pernah di derita dan penyakit dalam keluarga
7. Riwayat pembedahan
8. Riwayat alergi terhadap obat.

b. Pemeriksaan fisik umum:


1. Penilaian keadaan umum dan kesadaran penderita
2. Penilaian tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan)
3. Pemeriksaan kepala dan leher
4. Pemeriksaan dada (pemeriksaan jantung dan paru-paru)
5. Pemeriksaan perut (kembung, nyeri tekan atau nyeri lepas, tanda abdomen
akut, cairan bebas dalam rongga perut)
6. Pemeriksaan anggota gerak (antara lain edema tungkai bawah dan kaki)

c. Pemeriksaan obstetri
1. Pemeriksaan vulva dan perineum
2. Pemeriksaan vagina
3. Pemeriksaan serviks
4. Pemeriksaan rahim (besarnya,kelainan bentuk,tumor,dan sebagainya)
5. Pemeriksaan adneksa
6. Pemeriksaan his (frekuensi, lama, kekuatan, relaksasi, simetri dan dominasi
fundus)
7. Pemeriksaan janin
 Di dalam atau di luar rahim
 Jumlah janin
 Letak janin
 Presentasi janin dan turunnya presentasi seberapa jauh
 Posisi janin, moulage dan kaput suksedaneum (tangan, tali pusat, dan lain-
lain)
 Anomali kongenital pada janin
 Taksiran berat janin
 Janin mati atau hidup, gawat janin atau tidak

d. Pemeriksaan panggul
1. Penilaian pintu atas panggul
 Promontorium teraba atau tidak
 Ukuran konjugata diagonalis dan konjugata vera
 Penilaian linea inominata teraba berapa bagian atau teraba seluruhnya
2. Penilaian ruang tengah panggul
 Penilaian tulang sakrum (cekung atau datar)
 Penilaian dinding samping (lurus atau konvergen)
 Penilaian spina iskiadika (runcing atau tumpul)
 Ukuran jarak antarspina iskiadika (distansia interspinarum)
3. Penilaian pintu bawah panggul:
 Arkus pubis (lebih besar atau kurang dari 90 derajat)
 Penilaian tulang koksigis (kedepan atau tidak)
4. Penilaian adanya tumor jalan lahir yang menghalangi persalinan pervaginam
5. Penilaian panggul (panggul luas, sedang, sempit atau panggul patologik)

e. Penilaian imbang feto-pelvik


1. Imbang feto-pelvik baik atau disporoporsi sefalo-pelvik

2.4 Prinsip Umum Penanganan Syok Pendarahan1


Bila terjadi syok hemoragik dalam kebidanan, segera lakukan resusitasi, berikan
oksigen, infus cairan, dan transfusi darah dengan “crossmatched”
Diagnosis plasenta previa/solusio plasenta dapat dilakukan dengan bantuan USG.
Selanjutnya atasi koagulopati dan lakukan pengawasan janin dengan memonitor denyut
jantung janin. Bila terjadi tanda-tanda hipoksia, segera lahirkan anak.
Jika terjadi atonia uteri pascapersalinan segera lakukan masase uterus, berikan
suntukan metil-ergometrin (0,2 mg) dan oksitosin atau per infus (20-40 U/I), dan bila
gagal menghentikan pendarahan lanjutkan dengan ligasi hipogastrika atau histerektomi
bila anak sudah cukup. Kalau ada pengalaman dan tersedia peralatan, dapat dilakukan
embolisasi Iliaka Interna dengan bantuan transkateter. Semua laserasi yang ada
sebelumnya harus dijahit.

2.5 Diagnosis1
Keadaan syok ini banyak ditemukan oleh pendarahan yang banyak. Akibat
pendarahan pada kehamilan muda, misalnya abortus, kehamilan ektopik, dan penyakit
trofoblas (mola hidatidosa); pendarahan antepartum seperti plasenta previa, solusio
plasenta, ruptura uterus, dan pendarahan pascapersalinan karena atonia uteri dan
laserasi janin

2.6 Kasus
2.6.1 Asfiksia Neonatorum2
a. Definisi
Asfiksia adalah suatu keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat
bernafas secara spontan dan teratur yang ditandai dengan hipoksemia dan
asidosis. Asfiksia dapat terjadi karena kurangnya kemampuan organ
pernafasan bayi dalam menjalankan fungsinya, seperti pengembangan
paru-paru

b. Patofisiologis
1. Oksigensi Sel
2. Retensi karbondioksida berlebihan
3. Asidosis metabolik
Menilai dengan mengetahui bagaimana acara bayi memperoleh
oksigen yaitu :
1. Sebelum lahir
Paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk
mengeluarkan karbon dioksida.
2. Setelah lahir
Bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber oksigen
utama.

c. Etiologi
1. Faktor Ibu
 Preeklamsia dan eklamsia
 Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio pasenta)
 Partus lama atau partus macet
 Demam pada saat persalinan
 Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
 Kehamilan postmatur (setelah usia kehamilan 42 minggu)
2. Faktor Tali Pusat
 Lilitan tali pusat
 Tali pusat pendek
 Simpul tali pusat
3. Faktor Bayi
 Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
 Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia
bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
 Kelainan kongenital dan air ketuban bercampur mekonium

d. Klasifikasi dan Tanda Gejala


Klasifikasi berdasarkan nilai APGAR, yaitu
A: Appearance = Rupa ( warna kulit)
P : Pulse = Nadi
G : Grimace = Menyeringai
A : Activity = Keaktifan
R : Respiration = Pernafasan
Adapun pembagian asfiksia, yaitu
1. Asfiksia Berat ( Nilai APGAR 0-3)
 Frekuensi jantung kecil ( < 40 kali per menit)
 Tidak ada usaha nafas
 Tonus otot lemah bahkan tidak dapat memberikan reaksi jika
diberikan rangsangan
 Bayi tampak pucat bahkan sampai berwarna kelabu
 Terjadi kekurangan oksigen yang berlanjut sebelum atau sesudah
persalinan

2. Asfiksia Ringan (Nilai APGAR 4-6)


 Frekuensi jantung menurun menjadi 40-60 kali per menit
 Usaha nafas lambat
 Tonus otot biasanya dalam keadaan baik
 Bayi masih bisa bereaksi terhadap rangsanan yang diberikan
 Bayi nampak sianosis
 Tidak terjadi kekurangan oksigen yang bermakna selama proses
persalinan.
3. Bayi normal atau sedikit asfiksiasi (Nilai APGAR 7-9)
 Takipnea dengan nafas >60 kali per menit
 Bayi tampak sianosis
 Adanya retraksi iga
 Bayi merintih
 Adanya pernafasan cuping hidung
 Bayi kurang aktivitas
 Dari pemeriksaan auskultasi diperoleh hasil ronchi, rales dan
wheezing positif

e. Komplikasi
1. Komplikasi jangka pendek
 Hipoksia otak (keterlambatan menangis): Bayi baru lahir tidak
segera bernafas selama 5-6 menit.
2. Komplikasi jangka panjang
 Cidera otak: 30 menit
 Kerusakan kranial: 2 jam
 Kematian: Penurunan frekuensi jantung dan tekanan darah serta
bayi tidak kunjung bernafas
f. Penatalaksanaan
1. Pengaturan suhu lahir
2. Badan dan kepala neonatus hendaknya dikeringkan seluruhnya
dengan kain kering dan hangat
3. Bayi diletakkan telanjang dibawah lampu pemanas radiasi atau pada
tubuh ibunya.
4. Bayi dan ibu sebaiknya diselimuti dengan baik, namun harus
diperhatikan pula agar tidak terjadi pemanasan yang berlebihan pada
tubuh bayi.

2.6.2 Syok Obstetri


a. Definisi3
Kondisi dimana jantung tidak dapat menompa darah, pada sistem
sirkulasi perfusin terjadi kegagalan yang memadai ke organ-organ vital.
Syok adalah suatu keadaan disebabkan gangguan sirkulasi darah ke dalam
jaringan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi
jaringan dan tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme.
Penyebab terjadinya syok terbanyak dalam kebidanan yang terbanyak
adalah perdarahan, neuragonik, kardiogenik, endokstik/septik dan
anafilatik. Penyebab lainnya seperti emboli dan komplikasi anestesi dan
kombinasi.

b. Diagnosis
1. Tekanan darah sistolik ,90 mmHg
2. Nadi lemah >100 kali/menit
3. Pernapasan >30 kali/menit
4. Jumlah urin <30 ml/jam
5. Pucat
6. Kulit dingin dan lembab
7. Gelisah
8. Bingung
9. Penurunan kesadaran

c. Faktor Predisposisi3
Yang dicurigai atau antisipasi kejadian syok jika terjadi kondisi :
1. Gagal Jantung
2. Trauma
3. Infeksi berat (abortus septik, karioannionitis metritis)
4. Perdarahan pada kehamilan muda
5. Perdarahan pada kehamilan lanjut
6. Perdarahan pada saat persalinan
7. Perdarahan pasca persalinan

d. Tatalaksana Umum3
1. Mencari bantuan tenaga kesehatan lain
2. Pastikan jalan napas bebas
3. Berikan oksigen
4. Posisikan tubuh agar miring ke kiri
5. Tubuh dihangatkan
6. Pasang infus intravena dengan ukuran jarum terbesar
7. Berikan cairan NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan cepat (15-20
menit) sebanyak 1 liter
8. Pantau jumlah urin yang keluar dengan memasang kateter
9. Lanjutkan pemberian cairan sampai 2 liter dalam 1 jam pertama, atau
hingga 3 liter dalam 2-3 jam (pantau kondisi ibu dan tanda vital)
Catatan: Pemberian cairan berlebihan akan memperburuk kondisi
pasien yang mengalami syok kardiogenik (frekuensi nadi semakin
cepat dan makin sesak)
10. Anamnesis pasien dan lakukan pemeriksaan fisik yang lebih lengkap
secara simultan, kemudian beri tatalaksana yang tepat sesuai
penyebab terjadinya syok.
11. Pantau TTV pasien setiap 15 menit.
12. Pantau keseimbangan cairan dan turunkan kecepatan infus menjadi
0,5 ml/menit (8-10 tetes/menit), bila mengalami pembengkakan pada
pipi akan sesak.
13. Tanda-tanda bahwa kondisi ibu sudah stabil atau ada perbaikan
adalah sebagai berikut :
• Denyut nadi <90 kali/menit
• Status mental membaik (gelisah berkurang)
• Produksi urin >30 ml/jam
14. Setelah kehilangan cairan dikoreksi (frekuensi nadi <100 kali/menit
dan tekanan darah sistolik >100 mmHg), pemberian infus
dipertahankan dengan kecepatan 500 mL tiap 3-4 jam (40-50
tetes/menit)
Catatan : Dalam penatalaksanaa syok akibat perdarahan dibutuhkan
infus dengan kecepatan yang lebih tinggi mungkin. Usahakan untuk
mengganti 2-3 kali lipat jumlah cairan yang diperkirakan hilang.
15. Pertimbangkan merujuk ibu ke rumah sakit atau fasilits kesehatan
yang lebih lengkap.1

Respon
Terhadap
Tipe Syok
Penyebab Pemberian
Cairan

 Perdaraghan
Hipovelmik  Muntah Berespon
 Dehidrasi

 Penyakit jantung istemik


 Gangguan iramana Tidak berespon
Kardiogenik jantung kondisi atau kondisi
memburuk berat memburuk
 Kelainan katup jantung

 Syok sepsis
Distributif  Syok anafilatik Berespon
 Syok neurogenik

Obstruktif  Tamponade jantung Dapat berespon


atau tidak
 Pneumotoraks tension berespon

e. Penanganan Syok dalam kebidanan


Prinsip pertama dalam penanganan kegawadaruratan medis dalam
kebidanan atau setiap kegawadaruratan adalah ABC yang terdiri atas
menjaga fungsi saluran nafas (Airway), pernafasan (Breathing), dan
sirkulasi darah (Circulation). Jika situasi tersebut terjadi diluar rumah
sakit, pasien harus segera dikirim atau dirujuk ke rumah sakit dengan
segera dan aman.

f. Jenis-Jenis Syok
1. Syok Hemoragik
Syok hemoragik adalah suatu syok yang disebabkan oleh
perdarahan yang banyak yang dapat disebabkan oleh perdarahan
antepartum seperti plasenta previa, solusio plasenta dan ruptura
uterus, juga disebabkan oleh perdarahan pasca persalinan seperti
atonia laserasi serviks/vagina.
 Klasifikasi Pendarahan

Jumlah
Kelas Gejala Klinik
Perdarahan

 Tekanan darah dan nadi nomal


I 15% (Ringan)  Test Tile (+)

 Takikardi-Takipnea
 Tekanan nadi <30
20-25%  Tekanan sistolik rendah
II
(sedang)  Pengisian darah kalpiler lambat

III 30-35% (berat)  Kulit dingin, berkerut, pucat


 Tekanan darah sangat rendah
 Gelisah
 Oliguria (<30 ml/jam)
 Asidosis metabolic (pH,7,5)

 Hipertensi berat
40-45% (sangat  Hanya nadi karotis yang teraba
IV  Syok irreversible
berat)

 Penanganan
Jika terjadi syok, tindakan yang harus segera dilakukan antara
lain:
1. Cari dan hentikan segera penyebab perdarahan
2. Bersihkan saluran napas dan beri oksigen atau pasang selang
endotrakheal
3. Naikkan kaki kaki ke atas untuk meningkatkan aliran darah
ke sirkulasi sentral
4. Pasang 2 set infus atau lebih untuk transfusi, cairan infus dan
obat-obat IV, bagi pasien yang syok. Jika sulit mencari
vena, lakukan/pasang kanul intrafemoral
5. Kembalikan volume darah dengan :
a. Darah segar (whole blood) dengan Cross-matched dari
grup yang sama, kalau tidak bersedia berikan darah O
sebagai life-saving.
b. Larutan kristaloid: Seperti ringer laktat, larutan garam
fisiologis atau glukosa 5%. Larutan-larutan ini
mempunyai waktu penuh (half life) yang pendek dan
pemberian yang berlebihan dan menyebabkan oedema
paru.
c. Larutan koloid: Dekstran 40 atau 70, fraksi protein
plasma (plasma protein fraction), atau plasma segar.
6. Terapi obat-obatan
a. Analgesik: Morfin 10-15 mg IV jika ada rasa sakit,
kerusakan jarigan atau gelisah
b. Kortikosteroid: Hidrokortison 1 g atau dekstamson 20
mg IV pelan-pelan. Cara kerjanya masih kontoversia,
dapat menurunkan resistensi perifer dan meningkatkan
kerja jantung dan meningkatkan perfusi jaringan.
c. Sodium Bikarbonat: 100mEq IV jika terdapat asidosis
d. Vasopresor: Untuk menaikkan tekanan darah dan
mempertahankan perpusi renal
 Dopamine: 2,5 mg/kg/menit IV sebagai pilihan
utama
 Beta-adrenergik stimulant: Isoprenalin 1 mg dalam
500ml glukosa 5% IV infuse pelan-pelan.
7. Monitoring
a. Central venous pressure (CVP) normal 10-12 cm air.
b. Nadi
c. Tekanan darah
d. Produksi urin
e. Tekanan kapiler paru normal : 6-8 Torr
f. Perbaikan klinik : pucat, sianosis, sesak, keringat dingin
dan kesadaran.

 Penanganan dalam Kebidanan


1. Bila terjadi syok hemoragik dalam kebidanan, segera
lakukan resusitasi, berikan oksigen, infus cairan dan
transfusi darah dengan crossmathed.
2. Diagnosis plasenta previa/solusio plasenta dapat dilakukan
dengan bantuan USG. Selanjutnya atasi koagulopati dan
lakukan pengawasan janin dengan memonitor denyut
jantung janin. Bila terjadi tanda-tanda hipoksia, segera
lahirkan anak
3. Jika terjadi atonia uteri pascapersalinan segera lakukan
masase uterus, berikan suntikan metal-ergomatrin (0,2 mg)
IV dan oksitosin IV atau per infus (20-40 U/I), dan apabila
gagal menghentikan perdarahan lanjutkan dengan ligasi
hipogastrika atau historektomi bila anak sudah cukup.

2. Syok Endotoksik (Syok Septik)


Suatu gangguan menyeluruh pembuluh darah disebabkan oleh
lepasnya toksin. Penyebab utama adalah infeksi bakteri gram
negative. Syok septik dalam obsetrik dapat disebabkan oleh hal-hal
berikut1:
a. Abortus septik
b. Infeksi pasca persalinan
c. Sisa plasenta
d. Sepsis peurperalis
e. Pielonefritis akut
 Prinsip penanganan syok septik
1. Diagnosisi dini
2. Terapi antibiotika yang adekuat
3. Kontrol atau pengangkatan sumber infeksi
4. Resusitasi hemodinamik dan suportif
5. Kortikosteroid (untuk kematangan paru janin)
6. Kontrol ketat kadar glukosa (tight glycemic control)
7. Ventilator dengan tidal volume yang rendah pada Acute
Respiratory Distress Sindrome (ARDS)
1
 Penanganan
Untuk mengebalikan fungsi sirkulasi dan oksigenisasi
jaringan perlu dilakukantindakan-tindakan :
1. Penggantian kehilangan darah: Dengan darah segar (Whole
blood) jika tersedia atau dengan koloid atau kristaloid.
Pengukuran CVP wajib untuk mencegah sirkulasi yang
overload.
2. Kortikosteroid seperti :
a. Hidrokastison 1g IV/6jam
b. Deksametason 20mg diikuti dengan 200mg/hari via
infus
3. Beta-adrenergenik stimulant: Seperti isoprenalin yang
menyebabkan dilatasi arteriol, meningkatkan frekuensi
jantung dan stroke volume dan memperbaiki perfusi
jaringan.
4. Catatan: Volume darah harus normal sebelum pengobatan
5. Oksigen: Jika ada gangguan pernapasan.
6. Aminofilin: Meningkatkan pernapasan dengan
menghilangkan broncospasmus
1
 Eradikasi Infeksi
1. Terapi Antibiotika
a. Lakukan pemeriksaan kultur dan tes sensitifikasi
b. Harus segera dimulai secara IV sampai hasil kultur
didapat, terapi harus meliputi spectrum kuman yan luas.
Regime
Antiniotika Kerja Dosis
n

Ampisilin
Gr (+) acrobik dan 500-
atau
Gr (-) koskus 1000mg/6jam
Sefalosporin
Reg.1
Gentamisin Gr (-) basil 80mg/8jam

Metronidazol Anaerob 500mg/8jam

Gr(+) dan Gr (-)


Klindamisin 600mg/6jam
Reg 2 aerobic

Gentamisin Gr (-) aerobik 80 mg/8 jam

2.6.3 Distosia Bahu


a. Definisi
Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana setelah kepala dilahirkan,
bahu anterior tidak dapat lewat di bawah simfisis pubis. Kondisi ini
merupakan kegawatdaruratan obstetri karena bayi dapat meninggal jika
tidak segera dilahirkan3. Dilaporkan bahwa normalnya pengeluaran
kepala-ke-tubuh pada umumnya adalah 24 detik, jika waktu >60 detik
dapat diartikan sebagai distosia bahu.4
b. Mekanisme
Dalam persalinan normal, bahu melewati lubang pelvis dalam miring
atau diameter transversal. Dalam kasus distosia bahu yang mana ada
penahanan untuk memasuki ke dalam pelvis. Diameter untuk bahu janin
atau bisakromial diameter adalah 12,4 cm dan harus cukup nyaman untuk
melewati lebarnya diameter dari lubang pelvis. Bahu harus cukup
fleksibel untuk melewatinya.5 Tanda distosia bahu yang harus diamati

penolong persalinan adalah1


1. Kepala bayi sudah lahir, tetapi bahu tertahan dan tidak dapat
dilahirkan
2. Kepala bayi sudah lahir, tetapi tetap menekan vulva dengan kencang
3. Dagu tertarik dan menekan perineum
4. Traksis pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap
tertahan di kranial simfisis pubis

c. Kejadian dan Kerusakan4,5


Komplikasi distosia bahu pada janin adalah fraktur tulang (klavikula
dan humerus), cedera pleksus brankhialis, dan hipoksia yang dapat
menyebabkan kerusakan permanen di otak. Dislokasi tulang servikalis
yang fatal dapat terjadi akibat melakukan tarikan dan putaran pada kepala
dan leher. Fraktur tulang pada umumnya dapat sembuh sempurna tanpa
sekuele, apabila didiagnosis dan diterapi yang memadai. Cedera pleksus
brankhialis dapat membaik dengan berjalannya waktu. Pada ibu,
komplikasi yang dapat terjadi adalah pendarahan akibat lasersi jalan lahir,
episiotomi, ataupun atonia uteri. Kerusakan dari distosia bahu meningkat
dari meningkatnya berat janin dan meningkatnya umur kehamilan.
Obesitas pada kehamilan adalah kasus tersering yang menyebabkan
distosia bahu (BMI >30, atau berat badan saat melahirkan >90kg).
Peningkatan berat badan pada saat kehamilan menyebabkan kerusakan
yang lebih besar.

d. Faktor Prediposisi3
1. Waspadai terjadinya distosia bahu pada persalinan berisiko
Antepartum Intrapartum
Riwayat distosia bahu sebelumnya Kala I persalinan memanjang
Makrosomia >4500 g Secondary arrest
Diabetes melitus Kala II persalinan memanjang
IMT >30 kg/m2 Augmentasi oksitosin
Persalinan pervaginam yang
Induksi persalinan ditolong

2. Identifikasi dan obati diabetes pada ibu. Tawarkan persalinan elektif


dengan induksi maupun seksio sesarea pada ibu dengan diabetes yang
usia kehamilannya mencapai 38 minggu dan bayinya tumbuh normal.
3. Selalu bersiap bila sewaktu-waktu terjadi distosia bahu.
4. Kenali adanya distosia seawal mungkin. Upaya mengejan, menekan
suprapubis atau fundus, dan traksi berpotensi meningkatkan risiko
cedera pada janin.

e. Tatalaksana3
1. Tatalaksana Umum
a. Minta bantuan tenaga kesehatan lain, untuk menolong persalinan
dan resusitasi neonatus bila diperlukan. Bersiaplah juga untuk
kemungkinan perdarahan pascasalin atau robekan perineum
setelah tatalaksana.
b. Lakukan manuver McRobert. Dalam posisi ibu berbaring
telentang, mintalah ia untuk menekuk kedua tungkainya dan
mendekatkan lututnya sejauh mungkin ke arah dadanya. Mintalah
bantuan 2 orang asisten untuk menekan fleksi kedua lutut ibu ke
arah dada.
c. Mintalah salah seorang asisten untuk melakukan tekanan secara
simultan ke arah lateral bawah pada daerah suprasimfisis untuk
membantu persalinan bahu.
d. Dengan memakai sarung tangan yang telah didisinfeksi tingkat
tinggi, lakukan tarikan yang mantap dan terus menerus ke arah
aksial (searah tulang punggung janin) pada kepala janin untuk
menggerakkan bahu depan di bawah simfisis pubis.

2. Tatalaksana Khusus
a. Jika bahu masih belum dapat dilahirkan:
 Buatlah episiotomi untuk memberi ruangan yang cukup
untuk memudahkan manuver internal.
 Pakailah sarung tangan yang telah di disinfeksi tingkat
tinggi, masukkan tangan ke dalam vagina pada sisi punggung
bayi.
 Lakukan penekanan di sisi posterior pada bahu posterior
untuk mengadduksikan bahu dan mengecilkan diameter
bahu.
 Rotasikan bahu ke diameter oblik untuk membebaskan
distosia bahu.
 Jika diperlukan, lakukan juga penekanan pada sisi posterior
bahu anterior dan rotasikan bahu ke diameter oblik.
b. Jika bahu masih belum dapat dilahirkan setelah dilakukan
tindakan di atas:
• Masukkan tangan ke dalam vagina.
• Raih humerus dari lengan posterior, kemudian sembari
menjaga lengan tetap fleksi pada siku, pindahka lengan ke
arah dada. Raih pergelangan tangan bayi dan tarik lurus ke
arah vagina. Manuver ini akan memberikan ruangan untuk
bahu anterior agar dapat melewati bawah simfisis pubis.
c. Jika semua tindakan di atas tetap tidak dapat melahirkan bahu,
terdapat manuver-manuver lain. Namun manuver-manuver ini
hanya boleh dikerjakan oleh tenaga terlatih

2.6.4 Prolapse Tali Pusat


a. Definisi 3,4
Prolapse tali pusat terjadi ketika tali pusat keluar dari uterus sebelum
janin. Sekitar 0.1 – 0.6% dari kelahiran, tali pusat menurun pada
pembukaan. Pembuluh darah di tali pusat bisa tertahan karena adanya
tekanan pada saat melahirkan. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan otak
atau kematian pada saat kelahiran.
Prolapse tali pusat dapat diklarifikasikan sebagai berkut1
1. Tali pusat terkemuka, bila tali pusat berada di bawah bagian terendah
janin dan ketuban masih intak
2. Tali pusat menumbung, bila tali pusat keluar melalui ketuban yang
sudah pecah ke serviks, dan turun ke vagina
3. Occult prolapse, tali pusat berada di samping bagian terendah janin
turuk ke vagina. Tali pusat dapat teraba atau tidak, ketuban dapat
pecah atau tidak

b. Prevalensi Prolaps Tali Pusat 1,3


Faktor etiologi prolapse tali pusat meliputi beberapa faktor yang
sering berhubungan dengan ibu, janin, plasenta, tali pusat, dan iatrogenik
1. Ukuran tali pusat yang terlalu panjang
2. Malpresentasi, seperti kelahiran sungsang
3. Polihidramnion
4. Anomali kongenital janin
5. Multipara
6. Prematur, atau BB <2500 g
7. Amniotomi
8. Solusio plasenta
9. Ketuban pecah dini

c. Diagnosis3
1. Pemeriksaan tali pusat dilakukan pada setiap pemeriksaan dalam saat
persalinan.
2. Setelah ketuban pecah, lakukan lagi pemeriksaan tali pusat bila ibu
memiliki faktor risiko. Bila ibu tidak memiliki faktor risiko dan
ketuban jernih, pemeriksaan tali pusat tidak perlu dilakukan.
3. Jika pecah ketuban terjadi spontan, denyut jantung janin normal, dan
tidak ada faktor risiko prolapse tali pusat, pemeriksaan vagina tidak
perlu dilakukan bila ketuban jernih.
4. Setelah ketuban pecah, periksa pula denyut jantung janin. Curigai
adanya prolapse tali pusat bila ada perubahan pola denyut jantung
janin yang abnormal setelah ketuban pecah atau amniotomi.
5. Prolapse tali pusat dapat dipastikan bila:
• Tali pusat tampak atau teraba pada jalan lahir lebih rendah dari
bagian terendah janin (tali pusat terkemuka, saat ketuban masih
utuh)
• Tali pusat tampak pada vagina setelah ketuban pecah (tali pusat
menumbung, saat ketuban sudah pecah)

e. Tatalaksana
• Tatalaksana Umum
1. Tali Pusat Terkemuka
Tekanan tali pusat oleh bagian terendah janin dapat
diminimalisasi dengan posisi knee chest atau Trendelenburg.
Segera rujuk ibu ke fasilitas yang menyediakan layanan seksio
sesarea.
2. Tali Pusat Menumbung
Perhatikan apakah tali pusat masih berdenyut atau tidak. Jika
sudah tidak berdenyut, artinya janin telah mati dan sebisa
mungkin pervaginam tanpa tindakan agresif. Jika tali pusat masih
berdenyut:
• Berikan oksigen.
• Hindari memanipulasi tali pusat. Jangan memegang atau
memindahkan tali pusat yang tampak pada vagina secara
manual
• Posisi ibu Trendelenburg atau knee-chest.
• Dorong bagian terendah janin ke atas secara manual untuk
mengurangi kompresi pada tali pusat.
• Segera rujuk ibu ke fasilitas yang melayani seksio sesarea.
Pada saat proses transfer dengan ambulans, posisi knee chest
kurang aman, sehingga posisikan ibu berbaring ke kiri.

• Tatalaksana Khusus
1. Di rumah sakit, bila persalinan pervaginam tidak dapat segera
berlangsung (persalinan kala I), lakukan seksio sesarea.
Penanganan yang harus dikerjakan adalah sebagai berikut:
• Dengan memakai sarung tangan steril/disinfeksi tingkat
tinggi (DTT), masukkan tangan melalui vagina dan dorong
bagian terendah janin ke atas.
• Tangan yang lain menahan bagian terendah di suprapubis
dan nilai keberhasilan reposisi.
• Jika bagian terendah janin telah terpegang kuat di atas
rongga panggul, keluarkan tangan dari vagina dan letakkan
tangan tetap di atas abdomen sampai operasi siap.
• Jika tersedia, berikan salbutamol 0,5 mg IV secara perlahan
untuk mengurangi kontraksi uterus.
2. Bila persalinan pervaginam dapat segera berlangsung (persalinan
kala II), pimpin persalinan sesegera mungkin.
• Presentasi kepala: Lakukan ekstraksi vakum atau cunam
dengan episiotomi
• Presentasi sungsang: Lakukan ekstraksi bokong atau kaki
lalu gunakan forsep Piper atau panjang untuk mengeluarkan
kepala.
• Letak lintang: Segera siapkan seksio sesaria
• Siapkan segera resusitasi neonatus

2.6.5 Disproporsi Kepala Panggul (Cephalopelvic Disproportion)


a. Definisi3,5
Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah hambatan lahir yang
diakibatkan oleh disparitas ukuran kepala janin dan pelvis maternal.
Hambatan ini terjadi akibat kepala janin terlalu besar, sedangkan ukuran
panggul ibu lebih kecil dari ukuran kepala.. Kemungkinan terbesar yang
mendapatkan masalah CPD ini adalah primigravida dibandingkan dengan
multigravida yang pada kehamilan sebelumnya mempunyai persalinan
yang normal, tetapi ini tidak bisa dijadikan aturan, jika pada kehamilan
sebelumnya mempunyai ukuran bayi yang lebih kecil. Hal ini bisa
dikontrol jika bidan mempunyai manajemen yang baik pada ibu hamil
yang diabetes. Jika CPD tidak bisa bisa dideteksi, kemungkinan akan
terjadi obstruksi kelahiran, yang menyebabkan ruptura uterus dan
kematian ibu dan bayi

b. Diagnosis
1. Terhentinya kemajuan pembukaan serviks dan penurunan kepala
walaupun his adekuat. CPD terjadi akibat janin terlalu besar dan/atau
panggul ibu kecil.
2. Waspadai CPD terutama pada keadaan:
• Arkus pubis < 900
• Teraba promontorium
• Teraba spina iskhiadika
• Teraba linea innominata
• Pada primigravida bagian terbawah tidak masuk ke pintu atas
panggul pada usia > 36 minggu
• Kondisi medis (memiliki rickets atau osteomalasia yang mana
meiliki efek pada bentuk dan ukuran panggul)
• Cacat tulang, seperti skoliosis
• Patang tulang pada panggul yang kemungkinan bisa merubah
bentuk dan ukuran panggul

c. Pada kasus ini, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan


1. Tinggi badan perempuan – terutama jka tingginya kurang dari 150 cm
2. Ukuran janin jika terlalu besar
3. Indeks massa tubuh perempuan
Untuk kasus ini, biasanya tenaga kesehatan memantaunya dengan
partograf. Partograf bisa digunakan untuk melihat perkembangan janin.
Dengan melihat perkembangan janin, tenaga kesehatan bisa
memperkirakan kelainan pada persalinan.

d. Tatalaksana3
• Tatalaksana Umum
1. Lakukan seksio sesarea bila ditemukan tanda CPD.
2. Pada kasus bayi mati, embriotomi atau kraniotomi dapat menjadi
pilihan tindakan bila syarat terpenuhi dan petugas memiliki
kompetensi. Syarat melakukan embriotomi:
• Janin sudah mati, kecuali pada kasus hidrosefalus
• Pembukaan serviks > 7 cm
• Ketuban sudah pecah
• Jalan lahir normal
• Tidak terdapat tanda-tanda ruptura uterus
• Tatalaksana Khusus : -

2.6.6 Persalinan Macet


a. Definisi1
Secara harfiah, persalinan macet berarti persalinan yang sulit dan
ditandai oleh terlalu lambatnya kemajuan persalinan. Secara umum,
persalinan yang abnormal sering terjadi apabila terdapat disproporsi antara
bagian presentasi janin dan jalan lahir. Kelainan persalinan ini adalah
konsekuensi empat kelainan yang dapat berdiri sendiri atau berkombinasi :
1. Kelainan gaya dorongan (ekspulsi) baik akibat gaya uterus yang
kurang kuat atau kurangnya koordinasi untuk melakukan pendaratan
dan dilatasi serviks (disfungsi uterus), maupun kurangnya upaya otot
volunteer selama persalinan kala II.
2. Kelainan tulang panggul ibu, yaitu panggul sempit.
3. Kelainan presentasi, posisi, atau perkembangan janin.
4. Kelainan jaringan lunak saluran reproduksi yang membentuk
halangan bagi turunnya janin.
Persalinan macet dapat terjadi akibat beberapa kelainan tertentu yang
melibatkan serviks, uterus, janin, tulang panggul ibu atau obstruksi lain di
jalan lahir. Kelainan-kelainan ini telah secara mekanitis disederhanakan
oleh American College Of Obstetricians and Gynecologists (1995)
menjadi tiga kategori :
1. Kelainan kekuatan (power), kontraktilitas uterus dan upaya ekspulsif
ibu.
2. Kelainan yang melibatkan janin (passenger).
3. Kelainan jalan lahir (passage).
Kombinansi dari abnormalitas ini, sering berinteraksi untuk
menyebabkan persalinan disfungsional.

b. Tanda Klinis Umum Pada Wanita dengan Persainan yang Tidak Efektif
 Dilatasi serviks atau penurunan janin yang tidak adekuat
1. Persalinan lama (kemajuan lambat)
2. Persalinan yang berhentu (tidak ada kemajuan)
3. Gaya ekspulsif kurang memadai (mendorong kurang efektif)
 Disproporsi fetopelvik
1. Persalinan memanjang (kemajuan lambat)
2. Persalinan macet (tidak ada kemajuan)
3. Gaya eksplusif kurang memadai (mendorong kurang efektif)

c. Mekanisme Persalinan Macet


Pada akhir kehamilan, kepala janin untuk melewati jalan lahir harus
merasuki uterus bagian bawah yang relatif lebih tebal dan serviks yang
tidak berdilatasi. Otot fundus uteri kurang berkembang dan tenaganya
yang kurang. Kontraksi uterus, resistensi serviks, dan tekanan ke depan
yang dihasilkan akibat majunya bagian janin merupakan faktor yang
mempengaruhi kemajuan persalinan kala I.
Namun setelah dilatasi serviks sempurna hubungan mekanis antara
ukuran kepala janin dan posisi serta kapasitas pelvis, yang dikenal dengan
proporsi fetopelvik menjadi lebih jelas terlihat saat janin mulai turun (saat
kala II tercapai).
Malfungsi otot uterus dapat disebabkan akibat uterus yang terlalu
distensi atau persalinan yang terhambat dan mungkin keduanya.
d. Diagnosis3
 Distosia pada kala I fase aktif
Abnormalitas persalinan secara klinis berupa kemajuan janin
lebih lambat dari normal atau berhentinya kemajuan komplit. Handa
dan Laros (1903) mendiagnosis penghentian fase aktif yang diartikan
sebagai tidak adanya dilatasi selama 2 jam atau lebih. WHO
menyarankan penggunaan patograf penatalaksanaan kehamilan.
Dalam patograf, pertambahan diartikan dilatasi serviks kurang dari
1cm/jam selama paling sedikit 4 jam. Jika lebih dari 4 jam dapat
disimpulkan bahwa persalinan fase aktif telah gagal.
 Fase ekspulsi (kala II) memanjang
Tidak ada kemajuan penurunan bagian terendah janin pada
persalinan kala II. Dengan batasan waktu :
1. Maksimal 2 jam untuk nulipara dan 1 jam untuk multipara
2. Maksimal 3 jam untuk nulipara dan 2 jam untuk multipara
Umumnya digunakan analgesia epidural dan biasanya dilakukan
untuk sebagian besar kehamilan dengan kala dua yang memanjang
(>2 jam)

e. Tabel Ikhtisar Kriteria Diagnosisi dan Penatalaksanaan Distosia


Pola Persalinan Nulipara Multipara Terapi di Terapi di Rumah
Puskesm Sakit
as
Kelainan
pembukaan
serviks
a. Kemajuan <1,2 cm/jam <1,5 cm/jam a. Dukungan dan
pembukaan RUJUK terapi ekspektatif
(dilatasi) serviks
b. Kemajuan <1 cm/jam <2 cm/jam b. Seksio sesaria
turunnya bagian bila CPD atau
rendah obstruksi
Partus Macet
a. Fase deselerasi >3 jam >1 jam a.Infus okstitosin,
(kala II) bila tak ada
memanjang kemajuan.,
b. Terhentinya >2 jam >2 jam lakukan seksio
pembukaan RUJUK sesaria
(dilatasi) b. Seksio
c. Terhentinya >1 jam >1 jam sesaria bila CPD
penurunan bagian atau obstruksi.
terendah
d. Kegagalan Tidak ada Tidak ada
penurunan bagian penurunan penurunan
terendah pada fase pada fase
deselerasi deselerasi
atau Kala II atau Kala II

f. Faktor Prediposisi
 Bayi :
a. Kepala janin yang besar
b. Hidrosefalus
c. Presentasi wajah, bahu, alis
d. Malposisi persisten
e. Kembar yang terkunci (terkunci pada daerah leher)
f. Kembar siam
 Jalan lahir :
1. Panggul kecil karena menstruasi
2. Deformitas panggul karena trauma atau polio
3. Tumor daerah panggul
4. Infeksi virus di perut atau uterus
5. Jaringan parut (dari sirkumsisi wanita)

g. Tatalaksana3
 Tatalaksana Umum
Segera rujuk ibu ke rumah sakit yang memiliki pelayanan seksio
sesaria.
 Tatalaksana Khusus
1. Tentukan penyebab persalinan lama.
a. Power: His tidak adekuat (his dengan frekuensi <3x/10
menit dan durasi setiap kontraksinya <40 detik)
b. Passenger: Malpresentasi, malposisi, dan janin besar
c. Passage: Panggul sempit, kelainan serviks atau vagina,
tumor jalan lahir
d. Gabungan dari faktor-faktor di atas sesuailan tatalaksana
dengan peyebab dan situasi.
2. Sesuaikan tatalaksana dengan penyebab dan situasi.
Prinsip umum :
a. Lakukan augmentasi persalinan dengan oksitosin dan/atau
amniotomi bila terdapat gangguan power. Pastikan tidak ada
gangguan passenger atau passage.
b. Lakukan tindakan operatif (forsep, vakum atau seksio
sesaria) untuk gangguan passenger dan/atau passage, serta
untuk gangguan power yang tidak dapat dilatasi oleh
augmentasi persalinan.

h. Kompliaksi pada Ibu dan Janin dengan Distosia


 Komplikasi pada Ibu
1. Ruptura uterus
Penipisan segmen bawah uterus rahim yang abnormal
menimbulkan bahaya serius selama persalinan lama. Jika
disproporsi sangat jelas sehingga tidak ada penurunan, segmen
bawah Rahim menjadi sangat terenggang dan dapat diikui oleh
ruptura.
2. Cincin retraksi patologis
Cincin yang teralokasi atau kontriksi uterus berkembang dalam
kaitannya dengan persalinan lama, menyebabkan peregangan dan
penipisan nyata segmen bawah uterus. Terlihat jelas sebagai
indentasi uterus dan menandakan akan terjadi ruptura segmen bawah
uterus.
3. Pembentukan fistula
Hubungan abnormal antara dua tempat yang berepitel. Lubang
fistula tersebut dapat mengeluarkan nanah ataupin kotoran saat
BAB.
4. Cidera dasar panggul
Terjadi karena selama kelahiran terkena langsung oleh kepala
janin dan tekanan ke arah bawah dari usaha meneran ibu. Kekuatan
meregang ini dan dasar panggul yang terdistensi menyebabkan
perubahan fungsional dan anatomisa pada otot, saraf, dan jaringan
ikat.
5. Cidera saraf pascapartus pada ekstremitas bawah
Biasanya disebabkan oleh posisi kaki yang tidak tepat pada
penopang kaki, terutama selama persalinan kala II yang lama.
 Komplikasi Perinatal
Serupa dengan ibu, insiden sepsis peripartum pada janin
meningkat pada persalinan yang lama. Cedera mekanis lebih sering
terjadi karena cidera lebih bersifat operatif dan traumatik.

2.6.7 Ruptura Uterus


a. Definisi1,5
Ruptura uterus adalah masalah serius dalam kegawatdaruratan
obstetri yang bisa menyebabkan kematian pada janin dan/atau pada ibu.
Ruptura uterus atau robeknya dinding rahim terjadi akibat terlampauinya
daya regang miometrium. Pada bekas seksio sesarea, risiko terjadinya
ruptura uterus lebih tinggi.

b. Aspek1
Adapun beberapa dari segi aspek, yaitu
1. Aspek anatomik
Berdasarkan lapisan dinding yang terkena ruptura uterus dibagi
menjadi
• Ruptura uterus komplit: Ketiga lapisan dinding rahim tetap sobek
• Ruptura uterus inkomplit: Lapisan serosanya atau perineumnya
masih utuh
2. Aspek sebab
Berdasarkan sebab mengapa terjadi robekan pada rahim, ruptura
uterus dibagi menjadi
• Ruptura uterus spontan: Terjadi pada rahim yamng utuh oleh
karena kekuatan his semata
• Ruptura uterus violentia: Ada manipulasi tenaga tambahan lain
seperti induksi atau stimulasi partus dengan oksitoksin atau yang
sejenis, atau dorongan yang kuat pada fundus dalam persalinan
• Ruptura uterus traumatika: Disebabkan trauma pada abdomen
seperti kekerasan dalam rumah tangga dan kecelakaan lalu lintas
3. Aspek keutuhan rahim
Ruptura uterus dapat terjadi pada uterus yang masih utuh, tetapi
bisa terjadi pada uterus yang bercacat misalnya pada parut bekas
bedah sesar atau parut jahitan ruptura uterus yang pernah terjadi
sebelumnya (histerorafia), miomektomi yang dalam sampai ke rongga
rahim, akibat kerokan yang terlalu dalam, reseksi kornu atau bagian
interstisial dari rahim, metroplasti, rahim yang rapuh akibat telah
banyak meregang misalnya pada grandemultipara, atau pernah
hidramnion atau kehamilan ganda, uterus yang kurang berkembang
kemudian menjadi hamil dan sebagainya
4. Aspek waktu
Yang dimaksudkan dengan waktu disini ialah dalam masa hamil
atau pada waktu bersalin. Ruptura nyeri dapat terjadi dalam masa
kehamilan misalnya karena trauma atau pada rahim yang bercacat,
sering pada bekas bedah sesar klasik. Kebanyakan ruptura uterus
terjadi dalam persalinan kala I atau kala II dan pada partus percobaan
bekas seksio sesarea, terlebih pada kasus yang his nya diperkuat
dengan oksitiksin atau prostaglandin dan yang sejenis
5. Aspek sifat
Rahim robek tanpa menimbulkan gejala yang jelas (silent) seperti
pada ruptura yang terjadi pada parut bedah sesar klasik dalam masa
hamil tua. Parut itu merekah sedikit demi sedikit dan pada akhirnya
robek tanpa menimbulkan pendarahan yang banyak dada rasa nyeri
yang tegas. Sebaliknya, kebanyakan ruptura uterus terjadi dalam
waktu yang cepat dengan tanda-tanda serta gejala yang jelas dan akut,
misalnya ruptura uterus yang terjadi dalam kala I atau kala II akibat
dorongan atau pacuan oksitoksin. Kantong kehamilan ikut robek dan
janin terdorong masuk ke dalam rongga peritoneum. Terjadi
pendarahan internal yang banyak dan perempuan bersalin tersebut
merasa sangat nyeri hingga syok.
6. Aspek paritas
Ruptura uterus dapat terjadi pada perempuan yang baru pertama
kali hamil (nulipara) sehingga sedapat mungkin padanya diusahakan
histerorafia apabila lukanya rata dan tidak infeksi. Terhadap ruptura
uterus pada multipara umumnya lebih baik dilakukan histeroktomi
atau jika keadaan umumnya jelek dan luka robekan pada uterus tidak
luas dan tidak compang-camping, robekan pada uterus dijahit kembali
dilanjutkan dengan tubektomi.
7. Aspek gradasi
Kecuali akibat kecelakaan, ruptura uterus tidak terjadi mendadak.
Peristiwa robekan yang umumnya terjadi pada segmen bawah rahim
di dahului oleh his yang kuat tanpa kemajuan dalam persalinan
sehingga batas antara korpus dan segmen bawah rahim yaitu
lingkaran retraksi yang fisiologik naik bertambah tinggi menjadi
lingkaran Bandl yang patologik, sementara ibu yang melahirkan itu
merasa sangat cemas dan ketakutan oleh karena menahan nyeri his
yang kuat. Pada saat ini penderita berada dalam stadium ruptura
uterus iminens. Apabila keadaan yang demikian berlanjut dan tidak
terjadi atonia uteri sekunder, maka pada giliranya dinding segmen
bawah rahim yang rendah sangat tipis itu robek. Peristiwa ini disebut
ruptura uterus spontan

c. Diagnosis
Ruptura uterus iminens mudah dikenal pada ring van Bandl yang
semakin tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis dan keadaan ibu yang
gelisah takut karena nyeri abdomen atau his kuat yang berkelanjutan
disertai tanda-tanda gawat janin. Gambaran klinik ruptura uterus adalah
khas sekali. Oleh sebab itu pada umumnya tidak sukar menetapkan
diagnosisnya batas dasar tanda-tanda klinik yang telah diuraikan. Untuk
menetapkan apakah ruptura itu komplit perlu dilanjutkan dengan periksa
dalam. Pada ruptura uterus komplit jari-jari tangan pemerikasa dapat
melakukan beberapa hal sebagai berikut
1. Jari-jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding
perut yang licin
2. Dapat meraba pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagan depan di
segmen bawah rahim
3. Dapat memegang usus halus
4. Dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung jari
tangan dalam sehingga ujung-ujung jari tangan luar saling mudah
meraba ujung jari dalam

d. Penanganan1
Dalam menghadapi masalah ruptura uterus sangat perlu diperhatikan
dan dilaksanakan oleh setiap pengelola persalinan di mana pun persalinan
itu berlangsung. Pasien risiko tinggi haruslah dirujuk agar persalinannya
berlangsung dalam rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup dan
diawasi dengan penuh dedukasi oleh petugas berpengalaman. Bila telah
terjadi ruptura uterus tindakan terpilih hanyalah histeroktomi dan
resusitasi serta antibiotikan yang sesuai. Diperlukan infus aliran kristloid
dan tranfusi darah yang banyak, tindakan antisyok, serta pemberian
antibiotik spektrum luas, dan sebagainya. Jarang sekali dilakukan
histerorafia kecuali bila luka robek masih bersih dan rapih dan pasiennya
belum punya anak hidup
2.6.8 Komplikasi Kala III
 Atonia Uteri
a. Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontaksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:
1. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua
wanita yang bersalin.
2. Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600µg) segera
setelah bayi lahir
b. Faktor Predisposisinya
1. Regangan rahim berlebihan kerena kehamilan gemeli,
polihidramnion, atau anak terlalu besar.
2. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep.
3. Kehamilan grade-multipara.
4. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau penderita
penyakit menahun.
5. Infeksi intrauterin (korioamnionitis).
6. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
c. Diagnosis
Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri di diagnosis,
angka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1.000 cc yang
sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalan
uterus dan harus diperhitungkan dalan kalkulasi pemberian darah
pengganti.
d. Tindakan
 Sikap Trendelenburg, memasang venous line,dan memberikan
oksigen.
 Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara:
a. Mamase fundus uteri dengan memasang puting susu.
b. Pemberian oktitosin dan turunan ergot melalui suntikan
secara IM., IV, atau SC.
c. Memberikan derivat prostaglandin F2α (carboprost
tromenthamine) yang kadang memberikan efek samping
berupa diare, hipertensi, mual muntah, febris, dan takikardia.
d. Pemberian misoprostol 800-1.000µg per-rektal.
e. Kompresi bimanual eksternal dan atau internal.
f. Kompresi aorta abdominalis
g. Pemasangan “tampo kondom”, kondom dalam kavum uteri
disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan
diisi dengan cairan infus 200 ml yang akan mengurangi
pendarahan dan menghindari tindakan operatif.
Catatan: tindakan pemasangan tampo kasa utero-vaginal
tidak dianjurkan dan hanya bersifat temporer sebelum
tinakan bedah kerumah sakit rujukan.
h. Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk
dilakukan tindakan operatif laparatomi dengan pilihan bedah
konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan
histerektomi. Alternatifnya berupa:
1. Ligasi arteria uterina atau artenia ovarika
2. Operasi ransel B Lynch
3. Histerektomi supravaginal
4. Histerektomi total abdimonal

 Retensio Plasenta
Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga
bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut
sebagai plasenta akreta inkreta bila plasenta menembus miometrium dan
disebut plasenta perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetrium.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau
setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon
yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta yang masih
ada pendarahan dari ostrium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim
sudah baik dan robekan jalan rahim sudah terjahit. Untuk itu, harus
dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual/digital atau
kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang ditimbulkan setelah
pendarahan dapat diberi transfusi darah sesuia dengan keperluannya.
 Robekan atau Perlukaan Jalan Lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan
trauma. Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi,
robekan perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perinei totalis
(sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks,
darah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan, yang terberat , ruptura uterus.
Perdarahan yang terjadi saat kontraksi terus baik, biasanya, karena ada
robekan atau sisa plasenta. Perdarahan kerena ruptura uterus dapat diduga
pada persalinan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris
resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas inraabdominal.
Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan
lampu yang cukup serta spekulum dan memperhatikan kedalaman luka.
Bila penderita kesakitan dan tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat
anestesi untuk ketenangan dan keamanan saat melakukan hemostatis.

 Inversio Uterus
a. Faktor – Faktor
Kegawatdarutan pada kala III yang dapat menimbulkan
pendarahan adalah terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah
keadaan yang dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan
keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit
sampai komplit.
Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya
atonia uteri, serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan
yang menarik fundus kebawah (misalnya karena plasenta akreta,
inkreta dan perkreta, yang tali pusatnya ditarik keras kebawah) atau
ada tekanan pada fundus uteri dari atas (manuver Crede) atau tekanan
intra abdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau
bersin)

Inversio uteri ditandai dengan:


1. Syok karena kesakitan
2. Perdarahan banyak bergumpal
3. Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa
plasenta yang masih melekat.
4. Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila
kejadiannya cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil
akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi.
b. Tindakan
1. Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk
cairan/darah pengganti dan pemberian obat.
2. Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk
melemaskan uterus yang terbalik sebelum dilakukan reposisi
manual yaitu mendorong endometrium keatas masuk kedalam
vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam
uterus pada posisi normaknya.
3. Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila
berhasil dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan
uterotonika lewat infus atau IM. Tangan tetap dipertahankan agar
konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru
dilepaskan.
4. Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan
keperluannya.
5. Intervensi darah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras
menyebabkan manuver diatas tidak bisa dikerjakan, maka
dilakukan laparatomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan
histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis.

1
 Pendarahan karena Gangguan Pembekuan Darah
a. Penyebab
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal
hemostatis yang abormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan
memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan
terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta
perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial thomboplastin time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta,
kematian janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban,
dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan
produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan
heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid).
b. Pencegahan
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan
mengatasi setiap penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga
pada saat hamil dan persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan
optimal.
2. Mengenal faktor predisposisi PP seperti multiparitas, anak besar,
hamil kembar, hidramnion, bekas seksio, ada riwayat PPP
sebelumnya dan kehamilan resiko tinggi lainnya yang resikonya
akan muncul saat persalinan.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan
partus lama.
4. Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit
rujukan.
5. Kehamilan resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan
terlatih dan menghindari persalinan dukun.
6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi
PPP dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.

2.7 Prinsip Umum dalam Merujuk Kasus Gawat Darurat Obstetri


a. Pastikan jalan napas bebas
Harus diyakini bahwa jalan napas tidak tersumbat. Jangan memberikan cairan
atau makanan ke dalam mulut karena pasien sewaktu-waktu dapat muntah dan
cairan muntahan dapat terhisap masuk ke dalam paru-paru (aspirasi).
b. Pemberian oksigen
Oksigen diberikan dalam kecepatan 6-8 liter/menit. Inkubasi ataupun ventilasi
tekana positif hanya dilakukan kalau ada indikasi yang jelas.
c. Pemberian cairan intravena
Cairan intravena diberikan pada tahap awal untuk mempersiapkan
mengantisipasi kalau kemudian pertambahan cairan dibutuhkan. Pemberian cairan
infus intravena selanjutnya baik jenis cairan, banyaknya cairan yang diberikan, dan
kecepatan pemberian cairan harus sesuai dengan diagnosis kasus. Pengukuran
banyaknya cairan infus yang diberikan sangat penting.
d. Pemberian transfusi darah
Pada kasus perdarahan yang banyak, terlebih lagi apabila disertai syok,
transfusi darah sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan jiwa penderita. Walaupun
demikian, transfusi darah bukan tanpa resiko dan bahkan dapat berakibat
komplikasi yang berbahaya dan fatal. Oleh sebab itu, keputusan untuk memberikan
transfusi darah harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
e. Pasang kateter kandung kemih
Kateter kandung kemih dipasang untuk mengukur banyaknya urin yang keluar
guna menilai fungsi ginjal dan keseimbangan pemasukan dan pengeluaran cairan
tubuh. Lebih baik pakai kateter foley.
f. Pemberian antibiotika
Pada kasus syok, pemberian antibiotika intervena lebih diutamakan sebab
lebih cepat menyebarkan obat ke jaringan yang terkena infeksi. Pemberian
antibiotika per oral diberikan apabila pemberian intravena dan intramuskular tidak
dapat dilakukan dan pasien tidak dalam kondisi syok, pada infeksi ringan, atau
untuk mencegah infeksi yang belum timbul, tetapi diantisipasi dapat terjadi sebagai
komplikasi. Profilaksis antibiotika ialah pemberian antibotika untuk pencegahan
infeksi pada kasus tanpa tanda-tanda dan gejala infeksi. Antibiotika diberikan
dalam dosis tunggal.
g. Obat pengurang rasa nyeri
Pemberian obat rasa nyeri jangan sampai menyembunyikan gejala yang sangat
penting untuk menentukan gejala diagnosis. Hindarilah sedasi kelebihan. Obat
narkotika dapat menekan pernapasan. Hindarilah penggunaan narkotika pada kasus
yang dirujuk tanpa di dampingi petugas kesehatan, terlebih lagi petugas tanpa
kemampuan untuk mengatasi depresi pernapasan.
h. Penanganan masalah utama
Penyebab utama kegawatdaruratan kasus harus ditentukan diagnosisnya dan
ditangani sampai tuntas secepatnya setelah kondisi pasien memungkinkan untuk
segera ditindak.
i. Rujukan
Apabila fasilitas medik ditempat kasus diterima terbatas untuk menyelesaikan
kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus harus dirujuk ke fasilitas
kesehatan lain yang lebih lengkap.

DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2014
2. Novi, Karlina, dkk. Keterampilan Dasar Kebidanan 2. Bogor: In Media, 2014
3. WHO, POGI, HOGSI, PB IBI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Edisi Pertama. Jakarta: Kementian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013
4. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, et al. Williams Obstetrics. 24 th ed. New York:
McGraw-Hill, 2014
5. MacDoland S, Magil-Cuerden J. Mayes Midwifery. 14 th ed. Netherlands: Elsevier, 2012

Anda mungkin juga menyukai