Anda di halaman 1dari 5

LENTERA JIWAKU

PENUNTUN ZIARAH JIWA YANG RESAH

MONDAY, AUGUST 4, 2014

RENUNGAN MIDODARENI

Renungan Ibadat/Misa Midodareni

Pasutri Marsel Maring & Lusinta Sianturi

Teks Bacaan: Tob.8,5-10; Yoh.2,1-11

Malang, Jumat 8 Agustus 2014

Buka

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, pada malam yang kudus, menjelang pernikahan Bapak
Marsel dengan Ibu Lusi, kita diundang ke rumah ini untuk bersama-sama memohon berkat kepada
Tuhan agar semua persiapan yang telah direncanakan dalam rangka pelaksanaan pernikahan dapat
terlaksana dengan baik, lancar dan sesuai dengan rencana. Pernikahan adalah hal yang sangat kudus,
oleh karenanya marilah kita dukung dengan sepenuh hati ibadat pada malam hari ini dengan terlebih
dahulu memohon ampun atas kesalahan dan dosa kita.

Renungan

Sebagai catatan awal, saya harus mengatakan bahwa khotbah, renungan yang bernada nasihat tidak
mungkin saya sampaikan kepada pasangan bapak Marsel dan Ibu Lusi. Alasannya, sederhana
keduanyanya sudah mengalami suka duka, pahit manisnya hidup berkeluarga dan umur saya kurang
pas untuk memberi petuah. Saya kira petuah yang tepat akan didapatkan besok dari imam yang akan
meneguhkan pernikahan. Karena itu, yang saya sampaikan mungkin lebih tepat sebagai cerita saja
dan penjelasan tentang latar belakang peristiwa malam ini.

Harian Kompas Minggu, 2012 memuat sebuah cerita pendek berjudul Pemanggil Bidadari. Cerita
pendek itu mengisahkan kebiasaan seorang nenek yang membangunkan cucunya yang masih remaja
tengah malam dan mengajaknya keluar dari rumah. Pada saat semua warga terlelap dalam tidur
sang nenek mengadakan rutual memanggil bidadari. Semula sang cucu tidak memahamai apa yang
dilakukan sang nenek. Lama-lama ia mendapat penjelasan dari neneknya bahwa warga kampungnya
membutuhkan suasana hidup yang rukun dan damai. Suasana rukun dan damai untuk warga
kampung hanya akan terjadi kalau semua keluarga di kampung itu diberi damai.

Menurut sang nenek, damai itu hanya bisa diturunkan dari langit melalui bidadari, dan untuk itu
mereka harus dipanggil dalam upacara yang disebut upaca memanggil bidadari. Sang cucu menjadi
sangat percaya karena setelah upcara dibuat tampak ribuan kunang-kunang terbang dari langit dan
tampak turun di setiap rumah di kampung mereka. Sang nenek, menjelaskan bahwa saat bidadari
turun dalam rupa kunang-kunang bidadari menyiram serbuk kedamian dalam mimpi setiap orang
yang tertidur lelap. Terlebih lagi serbuk kedamaian itu dimasukkan ke dalam semua janin yang
tengah dikandung warga di kampung itu. Sebelum sang nenek meninggal itu berpesan kepada
cucunya agar melanjutkan ritual memanggil bidadari itu biar kehidupan warga terjamin aman dan
damai. Dalam waktu enam bulan setelah nenek meninggal sang cucu merasa putus asa karena
kehilangan neneknya sehingga upacara tidak dibuat. Akibatnya, warga kampung terlibat dalam
berbagai masalah dan saling bermusuhan. Ketika upacara dibuat lagi, serentak warga kampung
rukun kembali.

Itu sebuah kisah kerinduan manusia akan rasa damai dan damai itu harus selalu diusahakan,
diperjuangkan. Pembawa damai dalam konteks cerita pendek tadi adalah para bidadari.

Tema dan ujud perjumpaan kita malam ini adalah midodareni. Sejauh yang dapat saya pelajari dalam
ilmu bahasa dan sastra, kata modidareni adalah kata bahasa Jawa yang berarti serangkaian upacara
bagi calon pengantin perempuan menjelang upacara pernikahan. Kata midodareni yang dipakai
masyarakat Jawa sesungguhnya diambil dari kata bahasa Sansekerta yaitu kata Widyadhara yang
terbentuk dari tiga unsur yaitu Wid (yang mengetahui), ya (yang harus) dan dhara (yang membawa).
Jadi, Widyadhara berarti membawa sesuatu yang harus diketahui, membawa pengetahuan. Dalam
perkembangan kata itu widayadhara mengalami perubahan menjadi widodari atau widadari (Jawa).
Dari bentuk widodari/widadari muncul kata bidodari atau bidadari. Pergantian huruf w menjadi b
mengikuti hukum pertukaran bunyi dalam ilmu bahasa (hukum b-m-w) seperti kata watu/batu;
wiwir/bibir; waja/baja. Bidadari berarti putri, dewi dari khayangan, perempuan jelita. Dengan
demikian upacara midadareni, widadareni, bidadareni malam ini berkaitan dengan kata bidadari.
Lalu bagaimana konsep ini masuk dalam upacara.

Dalam berbagai kajian tentang sastra yang berbicara tentang dunia mitologi dikenal kisah-kisah
mitis magis dalam bentuk mitos-mitos yang berbicara perihal kehidupan para dewa dan dewi.
Midodareni adalah upacara yang berlatarkan mitos masyakarat Jawa. Upacara midodareni berkaitan
dengan mitos Dewi Nawangwulan dan Joko Tarub. Dalam mitos itu digambarkan bahwa pernikahan
Joko Tarub dengan Dewi Nawangwulan berakhir dengan perpisahan karena kebohongan Joko Tarub
diketahui Dewi Nawangwulan. Sang dewi yang merasa dibohongi memutuskan untuk kembali ke
kahyangan dan berjanji akan turun ke bumi saat putrinya, Dewi Nawangsih menikah. Dengan
demikian, upacara midodareni sesungguhnya diambil dari cerita tentang turunnya Dewi
Nawangwulan dengan rombongan para dewi untuk menemui putrinya, Dewi Nawangsih yang
menikah. Dalam perkembangannya midodareni dimaknai dan diartikan sebagai upacara menyambut
rombongan bidadari dari khayangan yang datang memberi kekuatan kepada pengantin perempuan
sekaligus datang merias, mempercantik, dan menyempurnakan calon pengantin perempuan.

Dalam bacaan pertama kita mendengarkan kisah perkawinan Tobia putra tunggal pasangan Tobit
dan Hana. Keluarga Tobit adalah salah satu keluarga yang di tawan ke Babel dan mendapat banyak
cobaan: sakit, matanya buta, dan hidup serba kekurangan. Dalam perjalanan Tobia didampingi
malaikat Rafael yang menampakkan diri sebagai seorang pemuda bernama Azariya. Atas nasihat
malaikat Rafael yang menyamar sebagai Azariya Tobia diminta agar menyimpan empedu dan hati
ikan yang ditangkap Tobia saat menyebrang sungai Tigris. Empedu ikan dapat menjadi obat berbagai
penyakit dan hati ikan bisa digunakan untuk mengusir setan.

Dalam perjalanan itulah Tobia bertemu dengan Sara putri tunggal Raguel. Tobia jatuh cinta pada
Sara tetapi takut mati karena Sara memang sudah pernah diperistri oleh 7 laki-laki, tetapi semua
mati sebelum menghampiri Sara karena Sara dikuasai Asmodeus, setan pembunuh. Atas nasihat
malaikat Rafael Tobia menjadikan Sara sebagi istrinya. Tobia diminta agar membakar hati ikan biar
selamat dari serangan setan Asmodeus. Doa Tobia dan Sara tidak lain memhonkan ketenangan dan
kedamaian hidup sebagai suami istri seperti yang kita dengarkan tadi. Di sini kita melihat bahwa
pasangan Tobia dan Sara diselamatkan karena Tuhan yang hadir dalam diri malaikat Rfael senantiasa
memberikana pertolongan pada waktunya. Berjalan bersama Tuhan selalu menguatkan dan
membebaskan.

Kisah kehadiran Tuhan dalam kehidupan yang membebaskan dalam bahasa yang lain disampikan
penginjil Yohanes dalam episode pernikahan di Kana. Kemelut yang membayangi tuan pesta nikah di
kota Kana teratasi karena Yesus hadir di sana. Persediaan anggur sebagai menu utama perjamuan
nikah menipis, kecemasan mendera tuan pesta. Tidak ada orang yang mencari jalan keluar. Untung
ada dan hadir seorang Ibu yaitu Maria. Tidak bisa dibanyangkan kisah akhir pesta seandainya Maria
tidak hadir di sana. Tidak bisa dibanyangkan bagaimana malunya tuan pesta di hadapan para tamu
yang datang. Sekali lagi untung ada seorang Ibu, Maria. Kata-kata Maria, singkat sederhana, tetapi
ksta-katanya merupakan rumusan inti masalah saat itu. ”Mereka kehabisan Anggur”. Kata-kata
Maria ini tanpa penjelasan panjang lebar. Yesus menangkap signal dan pesan hati seorang ibu.
Alhasil mukjizat pertama ditunjukkan dalam konteks kekurangan dalam perjamuan nikah. Di sinilah
kita harus dan mesti peran pengantara Maria antara manusia dengan Tuhan, melalui Maria kepada
Yesus (per Mariam ad Jesum). Bahwa kita bisa meminta langsung kepada Yesus itu tidak perlu
dipersoalkan tetapi kisah di kota Kana jelas mematahkan setiap argumentasi yang menolak
kehadiran Maria. Menolak Maria, ibarat orang mengakui dan menerima beras tetapi menolak padi
sebagai asal beras. Karena itu, kehadiran Maria dalam hidup berkeluarga dengan segala
persoalannya menjadi sangat penting.

Dua tahun lalu ketika saya memimpin perayaan Ekaristi di gereja Kana bersama rombongan peziarah
ada hal istimewa yang saya rasakan. Pertama, bahagia karena berkesempatan merayakan Misa di
tempat Yesus melakukan Mukjizat yang pertama. Kedua, saat pasutri membaharui janji pernikahan
mereka di gereja Kana suasana haru dan tangis skacita terjadi di sana. Ketika suami-istri saling
menyerahkan bunga kepada pasangannya tampak wajah yang ceria seakan memancarkan tekad
untuk terus mengabadikan cinta mereka dan saksinya adalah Altar gereja Kana. Semuanya tampak
enggan meninggalkan gereja Kana yang menjadi tempat Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya.

Kita semua berharap bahwa pasangan Marsel dan Lusi mengalami sukacita dan kegembiraan karena
senantiasa ditemani rombongan bidadari, malaikat Rafael, dan Maria, dan Yesus sendiri. Semoga.

Tobit .8,5-10

Pada malam perkawinannya, Tobia berkata kepada Sara: “Kita ini keturunan orang suci. Kita tidak
boleh kawin seperti orang yang tak mengenal Allah”. Maka mereka berdoa, agar tetap sehat
walafiat. Kata Tobia: “Terpujilah Engkau, Allah leluhur kami. Hendaknya langit dan bumi memuji
Engkau: mata air, sungai dan laut beserta segala makhluk yang hidup di dalamnya. Engkau telah
membentuk Adam dari tanah dan memberikan Hawa kepadanya sebagai teman hidup. Engkau tahu,
ya Tuhan, bahwa aku tidak mengawini Sara ini karena dorongan hawa nafsu. Aku mengawini dia
untuk memperoleh keturunan, agar nama-Mu terpuji untuk selama-lamanya.” Lalu Sara juga berdoa:
“Kasihanilah kami, ya Tuhan, kasihanilah kami. Semoga kami tetap sehat walafiat dan bersama-sama
mencapai umur panjang.” Demikianlah sabda Tuhan.

U: Syukur kepada Allah.

Injil Yohanes 2,1-11

Pada hari ketiga ada perkawinan di Kana yang di Galilea, dan ibu Yesus ada di situ; Yesus dan murid-
murid-Nya diundang juga ke perkawinan itu. Ketika mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata
kepada-Nya: "Mereka kehabisan anggur." Kata Yesus kepadanya: "Mau apakah engkau dari pada-Ku,
ibu? Saat-Ku belum tiba." Tetapi Iibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: "Apa yang dikatakan
kepadamu, buatlah itu!" Di situ ada enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut
adat orang Yahudi, masing-masing isinya dua tiga buyung. Yesus berkata kepada pelayan-pelayan
itu: "Isilah tempayan-tempayan itu penuh dengan air." Dan mereka pun mengisinya sampai penuh.
Lalu kata Yesus kepada mereka: "Sekarang cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta." Lalu
mereka pun membawanya. Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu
-- dan ia tidak tahu dari mana datangnya, tetapi pelayan-pelayan, yang mencedok air itu,
mengetahuinya -- ia memanggil mempelai laki-laki, dan berkata kepadanya: "Setiap orang
menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas minum, barulah yang kurang baik;
akan tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai sekarang." Hal itu dibuat Yesus di Kana
yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tanda-Nya dan dengan itu Ia telah menyatakan
kemuliaan-Nya, dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya.

BONE RAMPUNG at 2:02 AM

No comments:

Post a Comment

Home

View web version

ABOUT ME

My photo

BONE RAMPUNG

Seorang Putra NTT, Pernah Belajar Filsafat (1987-1991) dan Teologi (1992-1995) di STFK Ledalero,
Maumere Flores. Alumnus Universitas Sanata Dharma (1996-2000), Menjadi Guru Mata Pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP dan SMA Seminari Pius XII Kisol, Flores sejak tahun 2001-2012.
Pertengahan tahun 2012-pertengahan 2014 mengikuti pendidikan Pascasarjana di Universitas Negeri
Malang. Penulis Buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan 2. Kini menjadi Dosen pada Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP St.Paulus Ruteng, Flores, NTT.

View my complete profile


Powered by Blogger.

Anda mungkin juga menyukai