Anda di halaman 1dari 13

PERSPEKTIF

Volume XVI No. 2 Tahun 2011 Edisi April

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
ANGGOTA MILITER TNI
YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI
Haryo Sulistiriyanto
Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur
e-mail: @yahoo.com

ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk menentukan bentuk pertanggungjawaban pidana bagi anggota militer yang
melakukan kejahatan dan usaha desertir militer yang melakukan kejahatan karena desersi bisa kembali
ke kesatuan. Penelitian ini menggunakan penelitian normatif yang bergantung pada norma-norma hukum
yang terkandung dalam undang-undang dan keputusan dan norma-norma hukum yang terkandung dalam
keputusan-keputusan hukum dan pengadilan serta norma-norma yang ada di masyarakat. Sumber data yang
diperoleh dari litelatur-litelatur, peraturan perundangan yang berlaku dan keputusan Mahkamah Militer.
Analiis data menggunakan analisis deskriptif yang meliputi isi dan struktur hukum positif yang merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh para penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang digunakan
sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah hukum menjadi objek studi. Kajian ini menunjukkan bahwa
bentuk tanggung jawab pidana dapat desersi pidana barang yang membentuk kalimat dasar dari penjara,
itu dimaksud pada ayat 2 Pasal 6a KUHPM dan hukuman tambahan pemecatan dari dinas militer, ini ditur
dalam ayat 1 Pasal 6b KUHPM. Dan upaya yang dapat dilakukan oleh desertir militer yang melakukan
kejahatan itu diminta untuk didampingi oleh pengacara hukum.
Kata Kunci: kejahatan, desersi, militer

ABSTRACT
This study aims to determine the form of criminal liability for military members who committed the
crime and the efforts of military deserters who committed the crime for desertion could return to unity.
This research used normative research that relies on the legal norms contained in the legislation and the
decisions and the legal norms contained in legislation and court decisions as well as the norms that exist
in community. Source data obtained from litelatur-litelatur, applicable legislation and decisions of the
Military Court. Analiis data using descriptive analysis covering the content and structure of positive law
that is an activity undertaken by the authors to determine the content or meaning of the rule of law which
is used as a reference in resolving legal issues become the object of study. The results of this study show
that this form of criminal liability may be criminal desertion of goods which form the basic sentence of
imprisonment, it is stipulated in paragraph 2 of Article 6a KUHPM and an additional penalty of dismissal
from military service, this is ditur in paragraph 1 of Article 6b KUHPM. And efforts that can be done by
military deserters who committed the crime is asked to be accompanied by legal counsel.
Keywords: crime, desertion, military

PENDAHULUAN dilakukan dengan seadil-adilnya dan para praktisi


Suatu organisasi yang berdasarkan aturan dan hukum menilai putusan pengadilan militer dalam
menyertakan embel-embel ‘militer’ selama ini menjatuhkan hukuman bagi prajurit yang bersalah
dipandang sebagai organisasi yang tertutup oleh melakukan tindak pidana tergolong ringan.
sebagian besar masyarakat. Pandangan ini, tidak Dipandang dari segi hukum, anggota militer
menutup kemungkinan ditujukan kepada peradilan mempunyai kedudukan yang sama dengan anggota
militer yang selama ini dipandang oleh masyarakat masyarakat biasa, artinya sebagai warga negara
sebagai peradilan yang tertutup, sehingga baginya pun berlaku semua aturan hukum yang
memunculkan prasangka negatif dari masyarakat berlaku, baik hukum pidana, hukum perdata, acara
umum bahwa segala aktivitas pelaksanaan hukum pidana dan acara perdata. Bedanya masih diperlukan
terhadap oknum prajurit yang bersalah tidak peraturan yang lebih bersifat khusus yang lebih

82
Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer TNI yang Melakukan Tindak Pidana Desersi

keras dan lebih berat bagi anggota militer, hal itu demikian juga Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
dikarenakan ada beberapa perbuatan yang hanya tentang kekuasaan kehakiman pada Pasal 18 telah
dapat dilakukan oleh tentara saja bersifat asli pula menegaskan tentang peradilan militer sebagai
militer dan tidak berlaku bagi umum, misalnya: bagian dari kekuasaan kehakiman, sehingga tidak
menolak perintah dinas, melawan perintah atasan diragukan lagi bahwa peradilan militer adalah salah
(insubordinasi), dan desersi. satu komponen dan kekuatan dalam kekuasaan
Perbuatan pidana yang telah disebutkan di kehakiman di Indonesia.
atas mencerminkan sifat seorang militer yang Makna filosofi dibentuknya lembaga peradilan
mengabaikan etika dan aturan-aturan ketentuan militer tidak lain adalah untuk menindak para
hukum disiplin yang berlaku dalam lingkungan anggota TNI yang melakukan tindak pidana,
TNI. Seharusnya seorang prajurit wajib berada menjadi salah satu alat kontrol bagi anggota
di kesatuan secara terus menerus selama masa TNI dalam menjalankan tugasnya, sehingga
dinasnya dan tidak boleh menolak apalagi melawan dapat membentuk dan membina TNI yang kuat,
perintah kedinasan. Apabila ia ingin meninggalkan profesional dan taat hukum karena tugas TNI sangat
kesatuan untuk suatu keperluan maka harus ijin besar untuk mengawal dan menyelamatkan bangsa
terlebih dahulu sesuai dengan aturan-aturan yang dan negara.
berlaku dalam lingkungan TNI. Dalam sejarahnya peradilan militer sama seperti
Suatu syarat mutlak dalam kehidupan militer lembaga peradilan yang lain yaitu mempunyai
untuk menepati peraturan-peraturan TNI dan dua atap, yang secara administrasi keuangan dan
serta perintah kedinasan dari setiap atasan demi kepegawaian di bawah Departemen Pertahanan,
menegakkan kehidupan dalam militer yang penuh sementara secara pembinaan teknis di bawah
kesadaran tinggi. Jika hal-hal tersebut dilanggar Mahkamah Agung. Namun sistem dua atap tersebut
menunjukan militer yang tidak baik dan tidak mulai diakhiri dengan diterbitkannya Undang-
bertanggungjawab didalam menegakkan Sapta Undang No.35 Tahun 1999 tentang perubahan
Marga dan Sumpah Prajurit dan jika dipertahankan atas Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengenai
hanya akan mengguncangkan sendi-sendi kehidupan Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
disiplin dan ketertiban di lingkungan TNI. dimana dalam pasal 11 yang menjadi dasar hukum
Beberapa perbuatan yang bersifat berat sistem dua atap diubah menjadi: badan-badan
sedemikian rupa, apabila dilakukan oleh anggota peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
militer di dalam daerah tertentu ancaman hukuman- 10 ayat 1, secara organisatoris, administratif dan
nya dari hukum pidana umum dianggap terlalu finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah
ringan, karena militer adalah induk sebagian kecil Agung.
dari anggota masyarakat yang telah mempunyai Penegasan kebijakan satu atap (one roof system)
ketentuan-ketentuan lain dalam Peradilan tersendiri sejak amandemen Undang-Undang No.14 Tahun
yakni peradilan ketentaraan atau Peradilan Militer. 1970 diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun
Seiring cepatnya laju perkembangan informasi 1999, kemudian di amandemen lagi dengan Undang-
di masyarakat, muncul tantangan terhadap Undang No. 4 Tahun 2004 dan terakhir setelah
peradilan militer, terutama pengadilan militer, disahkannya Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
untuk dapat memenuhi tuntutan dari masyarakat tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak mengubah
akan keterbukaan informasi di Pengadilan Militer ketentuan apa pun mengenai sistem satu atap dalam
tanpa menanggalkan asas-asas dasar militer. Hal kekuasaan kehakiman sebagaimana ditegaskan
inilah yang tengah diupayakan oleh Pengadilan dalam Pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 masih
Militer agar dapat memenuhi rasa kepercayaan tetap mengatur tentang administrasi, dan finansial
masyarakat, terutama setelah berada di bawah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada
Mahkamah Agung Republik Indonesia. dibawahnya dalam hal ini peradilan umum, dengan
Kedudukan dan eksistensi peradilan militer beberapa peradilan khusus dibawahnya, peradilan
sebagai komponen dari kekuasaan kehakiman di agama, peradilan militer dan peradilan TUN
Indonesia sudah tidak diragukan lagi karena UUD berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia telah Maka, Peradilan Militer merupakan salah satu (sub
menjamin keberadaan peradilan militer itu dalam sistem) dari Peradilan Negara (sistem Peradilan
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 perubahan keempat, Indonesia) yang ditentukan oleh Undang-undang

83
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 2 Tahun 2011 Edisi April

dan mempunyai kedudukan yang sederajat dan untuk melaksanakan tugas Negara dibidang
setingkat dengan lingkungan Peradilan lainnya. menyelenggarakan Pertahanan Negara yang
TNI merupakan alat Negara yang bertugas ditundukkan dan diberlakukan Hukum Militer.
mempertahankan, melindungi, dan memelihara Aspek diberlakukannya Hukum Militer
keutuhan dan kedaulatan Negara. Setiap Negara bagi prajurit TNI inilah yang memposisikan
memerlukan angkatan bersenjata yang tangguh dan Peradilan Militer sebagai peradilan khusus dalam
professional untuk melindungi keutuhan wilayah, sistem penyelenggaraan peradilan Negara yang
menegakkan kedaulatan, melindungi warga negara- berdampingan dengan ketiga peradilan lainnya.
nya dan menjadi perekat persatuan bangsa. Oleh karena itu Peradilan Militer dalam perbuatan
Dalam Pasal 1 ketetapan MPR No.VI/MPR/ memeriksa dan mengadili tidak berpuncak dan
2000 tentang kedudukan TNI dan Polri secara diawasi oleh Mabes TNI atau Dephankam tetapi
kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan berpuncak di Mahkamah Agung. Dalam hal beracara
fungsi masing-masing yaitu TNI sebagai alat negara di Peradilan Militer diatur dengan ketentuan khusus
bertugas di bidang pertahanan Negara yang terdiri yaitu Hukum Acara Peradilan Militer sebagaimana
dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun
(TNI-AD), Tentara Nasional Indonesia Angkatan 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam kehidupan
Laut (TNI-AL), dan Tentara Nasional Indonesia militer, disiplin harus dengan penuh keyakinan,
Angkatan Udara (TNI-AU), dan Polri sebagai alat patuh dan taat dengan berpegang teguh kepada
negara yang tugasnya lebih berorientasi kepada sendi-sendi yang sudah dinyatakan pada setiap
penciptaan keamanan dan ketertiban masyarakat prajurit TNI dalam sapta marga dan sumpah prajurit
guna melindungi, mengayomi, melayani masyarakat yang bunyinya: (1) Kami Warga Negara Kesatuan
serta menegakkan hukum. Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila.
Dipisahkannya Polri dari TNI (dulu ABRI) (2) Kami Patriot Indonesia, pendukung serta
akan membawa implikasi hukum bagi anggota pembela ideologi Negara yang bertanggung jawab
Polri yang melakukan tindak pidana yaitu tidak dan tidak mengenal menyerah. (3) Kami Kesatria
lagi diadili di Peradilan Militer, tetapi Peradilan Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang
Umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran
Tap MPR No. VII/MPR/ 2000, yaitu bahwa anggota dan keadilan.(4) Kami Prajurit Tentara Nasional
Polri tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dan Indonesia, adalah Bhayangkari Negara dan Bangsa
TNI tunduk pada kekuasan Peradilan Militer. Indonesia. (5) Kami Prajurit Tentara Nasional
Ketetapan MPR No. VII/MPR/ 2000 tersebut Indonesia, memegang teguh disiplin, patuh dan
telah ditindaklanjuti pada tanggal 8 Januari 2002, taat kepada Pimpinan serta menjunjung tinggi sikap
dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 dan kehormatan Prajurit. (6) Kami Prajurit Tentara
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Nasional Indonesia, mengutamakan keperwiraan
Indonesia dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a, anggota di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa
Polri bukan lagi Prajurit TNI tetapi sebagai Pegawai siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa. (7)
Negeri sehingga pelanggaran tindak pidana yang Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, setia dan
dilakukan anggota Polri menjadi yuridiksi Peradilan menempati janji serta Sumpah Prajurit.
Umum (Pasal 29 ayat 1 UU No.2/2002). Tindak Demi Allah saya bersumpah/berjanji: (1) Bahwa
pidana yang dilakukan anggota Polri setelah 8 saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik
Januari 2002 sudah tidak diadili lagi oleh Peradilan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Militer di seluruh Indonesia, karena Oditur Militer Undang Dasar 1945. (2) Bahwa saya akan tunduk
tidak menyerahkan atau melanjutkan perkara ke kepada hukum dan memegang teguh disiplin
Pengadilan Militer, tetapi mengembalikan berkas keprajuritan. (3) Bahwa saya akan taat kepada
perkara ke penyidik Polisi Militer untuk selanjutnya atasan dengan tidak membantah perintah atau
dikembalikan ke Provos Polri. putusan. (4) Bahwa saya akan menjalankan segala
Peradilan Militer diberi wewenang oleh Undang- kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab
Undang sebagai peradilan khusus yang memeriksa kepada Tentara dan Negara Republik Idonesia. (5)
dan mengadili tindak pidana yang dilakukan Bahwa saya akan memegang segala rahasia Tentara
oleh golongan penduduk yang tersusun secara sekeras-kerasnya.
organis dalam TNI, yang secara khusus dibentuk Seorang anggota TNI dituntut untuk sebersih

84
Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer TNI yang Melakukan Tindak Pidana Desersi

“kertas putih” dari perbuatan pribadi yang tercela di bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana.
mata para anggota militer sendiri maupun utamanya Selanjutnya Bapat dan SPH dikirimkan ke Papera
di kalangan masyarakat. Perbuatan atau tindakan dengan dilampiri Skeppera (Surat Keputusan
dengan dalih atau bentuk apapun yang dilakukan Penyerahan Perkara) untuk dimintakan tandatangan
oleh anggota TNI baik secara perorangan maupun ke Papera. Setelah menerima Skeppera Oditur
kelompok yang melanggar ketentuan-ketentuan Militer membuat Surat dakwaan, kemudian
hukum, norma-norma lainnya yang berlaku dalam melimpahkan perkara ke Pengadilan Militer
kehidupan atau bertentangan dengan peraturan dan berdasarkan rencana sidang dari Pengadilan
kedinasan, disiplin, tata tertib di lingkungan TNI Militer, Oditur membuat surat panggilan kepada
pada hakekatnya merupakan perbuatan atau tindakan terdakwa dan para saksi yang berisi tentang hari,
yang merusak wibawa, martabat dan nama baik tanggal, waktu, perkara disidangkan, dan setelah
TNI yang apabila perbuatan atau tindakan tersebut perkara diputus terdakwa dinyatakan bersalah serta
dibiarkan terus, dapat menimbulkan ketidak- perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap oditur
tentraman dalam masyarakat dan menghambat segera melaksanakan eksekusi kepada terdakwa
pelaksanaan pembangunan dan pembinaan TNI. untuk melaksanakan pidana.
Untuk itu setiap anggota TNI harus tunduk Peningkatan tindak pidana desersi yang
dan taat terhadap ketentuan-ketentuan hukum dilakukan oleh militer, secara tidak langsung telah
yang berlaku bagi militer yaitu Kitab Undang- menggambarkan merosotnya kadar disiplin prajurit
Undang Hukum Pidana Militer (selanjutnya di- dan penegakan kedisiplinan prajurit. Sementara
sebut KUHPM), Kitab Undang-Undang Hukum itu sudah merupakan pedoman bagi setiap prajurit
Disiplin Militer (KUHDM), Peraturan Disiplin TNI bahwa disiplin adalah tiang, tulang punggung
Militer (PDM) dan peraturan-peraturan lainnya. dan napas dalam kehidupan militer. Apabila kadar
Peraturan hukum Militer inilah yang diterapkan disiplin sudah tidak ada, akan berpengaruh terhadap
kepada semua Prajurit TNI baik Tamtama, Bintara, pembinaan kesatuan yang pada akhirnya akan
maupun Perwira yang melakukan suatu tindakan banyak terjadinya pelanggaran tidak masuk dinas
yang merugikan kesatuan, masyarakat umum dan tanpa ijin sehingga terbengkalainya tugas-tugas
negara yang tidak terlepas dari peraturan lainnya yang dibebankan kepada masing-masing Prajurit.
yang berlaku juga bagi masyarakat umum.
Salah satu tindak pidana yang paling sering TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK
dilakukan dalam lingkungan TNI adalah tindak PIDANA MILITER
pidana desersi, dimana prajurit TNI tersebut Tindak pidana Militer adalah tindak pidana
melakukan perbuatan menarik dirinya dari yang dilakukan oleh subyek militer, terdiri dari:
pelaksanaan kewajiban dinasnya. Dalam mengadili (1) Tindak Pidana Militer Murni (Zuiver Militaire
pelaku tindak pidana desersi sebelum di serahkan ke Delict). Tindak pidana militer murni adalah suatu
Pengadilan, Oditur militer diberi wewenang untuk tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang
bertindak sebagai penuntut umum yang mempunyai militer, karena sifatnya khusus untuk militer. (2)
tugas dan wewenang melakukan penuntutan Tindak Pidana Militer Campuran (Germengde
dalam perkara pidana. Oditur yang ditunjuk dalam Militaire Delict).
mengadili anggota TNI setelah menerima berkas Tindak pidana militer campuran adalah suatu
perkara dari penyidik (Polisi Militer) terlebih dahulu perbuatan yang dilarang yang pada pokoknya
melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain,
isi berkas perkara tersebut setelah berkas perkara seangkan ancaman hukumanya dirasakan terlalu
dinyatakan lengkap maka Oditur militer akan ringan apabila perbuatan itu dilakukan oleh seorang
mengolah berkas perkara dengan membuat Bapat militer. Oleh karena itu diatur lagi dalam KUHPM
(Berita Acara Pendapat) yang berisi keterangan disertai ancaman hukuman yang lebih berat,
para saksi, keterangan tersangka dan barang bukti disesuaikan dengan keadaan yang khas militer.
serta kesimpulan dari Oditur tentang tindak pidana Jadi walaupun di dalam KUHP sudah diatur di
yang terjadi dan pasal yang disangkakan kemudian dalam Pasal 52 tentang pemberatan ancaman pidana,
Kepala Oditurat Militer membuat SPH (Saran ancaman pidana yang diatur dalam KUHP tersebut
Pendapat Hukum) yang ditujukan kepada Papera masih dirasakan belum memenuhi rasa keadilan.
(Perwira penyerah Perkara) yang isinya menyatakan Oleh karena itu perlu diatur dalam KUHPM secara

85
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 2 Tahun 2011 Edisi April

khusus. Pengertian khusus itu adalah ketentuan- selama-lamanya. Bahwa dalam kehidupan sehari-
ketentuan yang hanya berlaku bagi anggota militer hari, seorang militer dituntut kesiapsiagaannya
saja dan dalam keadaan tertentu pula. di tempat ia harus berada, tanpa ia sukar dapat
diharapkan padanya untuk menjadi militer yang
PENGERTIAN TINDAK PIDANA DESERSI mampu menjalankan tugasnya.
Desersi adalah tidak beradanya seorang militer Dalam kehidupan militer, tindakan-tindakan
tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat ketidakhadiran pada suatu tempat untuk
dan waktu yang sudah ditentukan oleh dinas, menjalankan dinas ditentukan sebagai suatu
dengan lari dari kesatuan dan meninggalkan kejahatan, karena penghayatan disiplin merupakan
dinas kemiliteran, atau keluar dengan cara pergi, hal yang sangat urgen dari kehidupan militer
melarikan diri tanpa ijin. Perbuatan tersebut adalah karena disiplin merupakan tulang punggung dalam
suatu perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam kehidupan militer. Lain halnya dengan kehidupan
kehidupan militer. (www.googlesearch.com.) organisasi bukan militer, bahwa perbuatan tersebut
Istilah Desersi, terdapat dalam KUHPM, BAB bukan merupakan suatu kejahatan, melainkan
III tentang Kejahatan-Kejahatan yang Merupakan sebagai pelanggaran disiplin organisasi.
Suatu Cara Bagi Seorang Militer Menarik Diri dari Apabila dicermati makna dari rumusan perbuatan
Pelaksanaan Kewajiban-Kewajiban Dinas. Tindak menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-
pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang kewajiban dinasnya, secara sepintas perbuatan
secara khusus dilakukan oleh seorang militer karena tersebut menunjukkan bahwa ia tidak akan kembali
bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan ketempat tugasnya yang harus ditafsirkan bahwa
undang-undang. Perbuatan atau kejahatannya pada diri prajurit terkandung kehendak bahwa ia
tersebut diatur dalam Pasal 87 KUHPM, yaitu: tidak ada lagi keingginan untuk tetap berada dalam
Ayat 1: Diancam karena desersi, militer: ke-1, dinas militer.
Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk
selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANG-
menghindari bahaya perang, menyeberang ke GUNGJAWABAN MILITER
musuh atau memasuki dinas militer pada suatu Pengertian pertanggungjawaban secara umum
negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan adalah merupakan bentuk tanggung jawab seseorang
untuk itu. Ke-2, Yang karena salahnya atau dengan atas tindakan yang dilakukannya. Sedangkan
sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam untuk pertanggungjawaban pidana merupakan
waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, bentuk pemidanaan pelaku dengan maksud untuk
dalam waktu perang lebih lama dari empat hari. Ke- menentukan apakah seseorang tersangka dapat
3, Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana
tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan yang terjadi atau tidak.
sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang Dari sudut terjadinya suatu tindakan yang
diperintahkan, seperti yang diuraikan dalam pasal terlarang (diharuskan), seseorang akan dimintai
85 nomor 2. pertanggung jawaban pidana atas tindakan-tindakan
Bahwa hakikat dari tindak pidana desersi harus tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum.
dimaknai bahwa pada diri prajurit yang melakukan Dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka
desersi harus tercermin sikap bahwa ia tidak ada hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab
lagi keinginanya untuk berada dalam dinas militer. (toerekeningsvatbaar) pada umumnya: (1) Keadaan
Maksudnya seorang Militer yang karena salahnya jiwanya: tidak terganggu oleh penyakit terus-
atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran menerus atau sementara (temporair), tidak cacat
tanpa ijin tanpa ada suatu alasan untuk menghindari dalam pertumbuhan (gagu/idiot), tidak terganggu
bahaya perang dan menyeberang ke musuh atau karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap,
dalam keadaan damai tidak hadir pada tempatnya pengaruh bawah sadar, melindur, mengigau karena
yang telah ditentukan untuk melakukan tugas demam. (2) Dengan perkataan lain bahwa subjek
yang dibebankan kepadanya. Perbuatan yang dalam keadaan sadar, kemampuan jiwanya: dapat
bersangkutan pergi meninggalkan kesatuan dalam menginsyafi hakekat dari tindakannya, dapat
batas tenggang waktu minimal 30 hari secara menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut,
berturut-turut atau perbuatan menarik diri untuk apakah akan dilaksanakan atau tidak, dapat

86
Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer TNI yang Melakukan Tindak Pidana Desersi

mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. dengan Pasal 31 Bab II Buku I KUHPM dan Pasal
(Sianturi, 1985: 249) 8 UU Hukum Disiplin Prajurit ABRI yang berlaku
Untuk pengertian pertanggung jawaban militer, untuk seluruh militer/TNI baik mengenai norma-
tidak diatur secara tertulis dalam peraturan normanya maupun mengenai sanksinya, diadakan
perundang-undangan. Jadi dapat disimpulkan penyatuan.
dengan mengkaitkannya pada pertanggungjawaban Adapun bentuk pertanggung-jawaban pidana
pidana, bahwa pertanggungjawaban militer adalah bagi anggota militer yang melakukan tindak
kemampuan bertanggungjawab yang dilakukan oleh pidana dapat diselesaikan menurut hukum disiplin
anggota militer atas kesalahan yang dilakukan. atau penjatuhan sanksi pidana melalui Peradilan
Hakikat pertanggungjawaban pidana bagi Militer. Hukuman disiplin militer merupakan
seorang militer, pada dasarnya lebih merupakan tindakan pendidikan bagi seorang militer yang
suatu tindakan penjeraan atau pembalasan selama dijatuhi hukuman yang tujuannya sebagai
terpidana akan diaktifkan kembali dalam dinas tindakkan pembinaan (disiplin) militer. Sedangkan
militer setelai selesai menjalani pidana. Seorang pidana militer lebih merupakan gabungan antara
militer (eks narapidana) yang akan kembali aktif pendidikan militer dan penjeraan, selama terpidana
tersebut harus menjadi seorang militer yang tidak dipecat dari dinas militer.
baik dan berguna baik karena kesadaran sendiri Penyelesaian menurut hukum disiplin dilakukan
maupun sebagai hasil tindakan pendidikan yang dalam hal tindak pidana yang dilakukan sedemikian
ia terima selama dalam rumah penjara militer ringan sifatnya dan bukan merupakan perbuatan
(pemasyarakatan militer). Seandaianya tidak tindak pidana, tetapi bertentangan dengan perintah
demikian halnya, maka pemidanaan itu tiada kedinasan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan
mempunyai arti dalam rangka pengembaliannya tata kehidupan prajurit (pelanggaran disiplin),
dalam masyarakat militer. sehingga perkaranya dapat diselesaikan di luar
Hal seperti itu perlu menjadi dasar pertimbangan Pengadilan, misalnya: datang terlambat waktu apel,
hakim untuk menentukan perlu tidaknya penjatuhan tidak menghormati atasan dan berpakaian kurang
pidana tambahan pemecatan terhadap terpidana di rapi.
samping dasar-dasar lainnya yang sudah ditentukan. Seorang militer yang telah melakukan
Jika terpidana adalah seorang non-militer, maka pelanggaran-pelanggaran yang telah disebutkan
hakekat pelaksanaan pertanggungjawaban pelak- di atas dapat dimintai bentuk pertanggungjawaban
sanaan pidananya sama dengan yang diatur dalam pidana berupa hukuman disiplin yang terdapat
KUHAP. (Sianturi, 1985: 69) dalam pasal 8 UU Hukum Disiplin Prajurit ABRI
Anggota militer dalam tindak pidana desersi berupa: (a) teguran, (b) penahanan ringan paling
dapat dipidana jika perbuatannya telah memenuhi lama 14 (empat belas) hari, (c) penahan berat paling
unsur-unsur rumusan tindak pidana desersi, lama 21 (dua puluh satu) hari.
sedangkan untuk kemampuan bertanggungjawab Pidana militer bertujuan untuk pendidikan
tidak begitu dipertimbangkan karena pelaku militer dan penjeraan kepada pelaku tindak pidana,
adalah seorang militer. Hukum menganggap dimana tindak pidana pada umumnya dirasakan
militer tersebut memang jelas mampu bertanggung menggangu keseimbangan masyarakat. Penjatuhan
jawab karena keadaan batin seorang militer saat pidana dalam tindakan pidana dianggap perlu
melakukan perbuatan pidana dianggap dalam sebagai alat terakhir atau senjata pamungkas kepada
keadaan sehat dan normal. pelaku. Bentuk pertanggungjawaban pidana bagi
prajurit TNI yang melakukan tindak pidana diatur
DASAR HUKUM DAN BENTUK dalam Pasal 6 KUHPM yaitu: (1) Pidana Pokok:
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (a) Pidana Mati. Pasal 255 Hukum Acara Pidana
MILITER Militer (selanjutnya disebut HAPMIL) menentukan
Pertanggungjawab pudana adalah dengan bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut
menerima segala pemidanaan yang telah diberikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
kepada pelaku. Dalam hal ini untuk pemidanaan berlaku dan tidak di muka umum. Jika terpidana
atau sanksi bisa berupa pidana pemecatan, mati adalah seorang anggota TNI, maka sewaktu
penurunan pangkat atau pencabutan hak-hak pelaksanaan pidana mati berpakaian dinas harian
tertentu. Hal tersebut diatur dalam Pasal 6 sampai tanpa pangkat dan tanda kehormatan. (b) Pidana

87
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 2 Tahun 2011 Edisi April

Penjara. Pidana Penjara ancaman hukumanya apabila yang bersangkutan melakukan kejahatan
minimum satu hari dan maksimum lima belas jabatan yang dihubungkan dengan Pasal 52 dan 52a
tahun, yang pelaksanaan hukumannya bagi militer KUHP. Ke-2, hak memasuki angkatan bersenjata
dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer adalah Pencabutan hak untuk memasuki angkatan
(Masmil). (c) Pidana Kurungan. Pidana kurungan bersenjata, apabila menurut pertimbangan hakim
ancaman hukumannya minimum satu hari dan bahwa orang tersebut tidak layak untuk berada
maksimum satu tahun. Terhadap terpidana yang dalam masyarakat militer. Ke-3 hak memilih dan
dijatuhkan pidana kurungan dalam peraturan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
kepenjaraan diadakan perbedaan, dimana kepada aturan-aturan umum adalah pencabutan hak untuk
terpidana kurungan diberikan pekerjaan di dalam memilih dan dipilih hal ini biasanya dijatuhkan
tembok rumah pemasyarakatan dan pekerjaan terhadap seorang prajurit yang melakukan tindak
yang diberikan lebih ringan dibandingkan dengan pidana politi yang bertentangan dengan ideologi
terpidana yang dijatuhi hukuman penjara. (d) Negara terutama terhadap aktivis Gerakan 30
Pidana Tutupan. Pidana tutupan adalah pidana September, maka pada umumnya terhadap mereka
yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana dicabut haknya untuk memilih dan dipilih.
dalam rangka melaksanakan tugas Negara, tetapi
melakukannya secara berlebihan. Pidana tersebut TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK
dalam KUHPM dimaksudkan untuk meng-imbangi PIDANA DESERSI
itikad baik dari terpidana. Di Indonesia baru satu Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas
kali dijatuhkan yaitu pada perkara peristiwa 3 kesalahan pelaku, pemidanaan dalam tindak
Juli 1946, hukuman pidana tidak dilaksanakan. pidana desersi bertujuan untuk perubahan perilaku
(2) Pidana Tambahan: (a) Pemecatan dari dinas terpidana dikemudian hari, dimana pencegahan dan
militer dengan atau tanpa pencabutan haknya sekaligus rehabilitasi sebagai sasaran yang harus
untuk memasuki Angkatan Bersenjata. Dalam dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena
rangka penjatuhan pidana tambahan pemecatan tujuan pemidanaan bagi anggota militer yang
dari dinas militer, sebaiknya pemecatan itu agar melakukan tindak pidana desersi lebih merupakan
diikuti dengan pencabutan haknya untuk memasuki suatu bukan tindakan penjeraan atau pembalasan
angkatan bersenjata. Karena kalau tidak diikuti selama terpidana (militer) tersebut akan kembali
dengan kata dicabut haknya untuk memasuki aktif, sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni
angkatan bersenjata, maka yang bersangkutan untuk mencegah agar militer tersebut tidak
setelah dipecat dari suatu angkatan dikhawatirkan melakukan kejahatan kembali. Sistem pemidanaan
masuk angkatan yang lain. Pemecatan tersebut bagi seorang militer yang melakukan suatu tindak
menurut hukum berakibat hilangnya semua hak- pidana militer diatur dalam suatu ketentuan sistem
hak yang diperolehnya dari angkatan bersenjata pemidanaan khusus yang diatur didalam KUHPM
selama dinasnya yang dahulu. Penjatuhan pidana Berdasarkan pada ketentuan Pasal 87 KUHPM
pemecatan disamping pidana pokok dipandang ada dua bentuk disersi yaitu: (1) Bentuk desersi
hakim militer sudah tidak layak lagi dipertahankan murni, yaitu desersi karena tujuan antara lain: (a)
dalam kehidupan masyarakat militer dan apabila Pergi dengan maksud menarik diri untuk selama-
tidak dijatuhkan pidana pemecatan dikhawatirkan lamanya dari kewajiban dinas. Arti dari untuk
kehadiran terpidana nantinya dalam militer setelah ia selamanya ialah tidak akan kembali lagi ke tempat
menjalani pidananya, akan menggoncangkan sendi- tugasnya. Dari suatu kenyataan bahwa pelaku telah
sendi ketertiban dalam masyarakat. (b) Penurunan bekerja pada suatu jawatan atau perusahaan tertentu
pangkat. Di dalam praktek, penjatuhan hukuman tanpa suatu perjanjian dengan kepala perusahaan
penurunan pangkat ini jarang diterapkan, karena tersebut bahwa pekerjaan itu bersifat sementara
dirasakan kurang adil dan tidak banyak manfaatnya sebelum ia kembali ke kesatuannya. Bahkan jika
dalam rangka pembinaan militer, terutama bagi si pelaku itu sebelum pergi sudah mengatakan
Bintara Tinggi dan Perwira-perwira. (c) Pencabutan tekadnya kepada seorang teman dekatnya tentang
hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 Ayat 1 maksudnya itu, kemudian tidak lama setelah
nomor ke 1,2 dan 3 KUHP. Ke-1, hak memegang pergi ia ditangkap oleh petugas, maka kejadian
jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu adalah tersebut sudah termasuk kejahatan desersi. Dari
Pencabutan hak untuk memegang jabatan biasanya kewajiban-kewajiban dinasnya, maksudnya jika

88
Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer TNI yang Melakukan Tindak Pidana Desersi

pelaku itu pergi dari kesatuannya, dengan maksud syarat-syarat yang telah ditetapkan di dalam
untuk selama-lamanya dan tidak menjalankan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
tugas dan kewajiban sebagai seorang militer, maka 1997 (selanjutnya disingkat dengan UU Hukum
perbuatan itu adalah desersi. (b) Pergi dengan Disiplin Prajurit ABRI). Yang dimaksud dengan
maksud menghindari bahaya perang. Maksudnya pelanggaran disiplin prajurit adalah ketidaktaatan
seorang militer yang kepergiannya itu dengan dan ketidakpatuhan yang sungguh-sungguh pada
maksud menghindari bahaya dalam pertempuran diri prajurit yang bersendikan Sapta Marga dan
dengan cara melarikan diri, dalam waktu yang Sumpah Prajurit untuk melaksanakan tugas dan
tidak ditentukan, tindakan yang demikian dapat kewajiban sesuai dengan aturan-aturan atau tata
dikatakan sebagai desersi dalam waktu perang. kehidupan prajurit.
(c) Pergi dengan maksud menyeberang ke musuh. Pelanggaran disiplin prajurit sesuai dengan
Untuk menyebrang ke musuh adalah maksud atau ketentuan Pasal 5 UU Hukum Disiplin Prajurit
tujuan dari pelaku untuk pergi dan memihak pada ABRI meliputi pelanggaran hukum disiplin
musuh yang tujuannya dapat dibuktikan (misalnya murni dan pelanggaran hukum disiplin tidak
sebelum kepergianya ia mengungkapkan kepada murni. Pelanggaran disiplin murni adalah setiap
teman-teman dekatnya untuk pergi memihak perbuatan yang bukan merupakan tindak pidana,
musuh), maka pelaku telah melakukan desersi. (d) tetapi bertentangan dengan perintah kedinasan
Pergi dengan tidak sah memasuki dinas militer atau peraturan kedinasan atau perbuatan yang
asing. Pengertian memasuki dinas militer apabila tidak sesuai dengan tata kehidupan prajurit,
tujuan pelaku bermaksud memasuki kekuasaan contohnya: terlambat apel, berpakaian kurang rapi
lain pasukan, laskar, partisan dan lain sebagainya atau baju tidak dikancingkan atau kotor, berambut
dari suatu organisasi pemberontak yang berkaitan gondrong dan sepatu tidak disemir. Jenis hukuman
dengan persoalan spionase, tindakan tersebut sudah untuk pelanggaran ini berupa hukuman disiplin
termasuk melakukan kejahartan desersi. (2) Bentuk prajurit berupa tindakan fisik atau teguran lisan
desersi karena waktu, yaitu: (a) Tidak hadir dengan untuk menumbuhkan kesadaran dan mencegah
tidak sah karena kesalahannya, lamanya melebihi terulangnya pelanggaran ini seperti push up dan lari
30 hari waktu damai, contoh: seorang militer yang keliling lapangan.
melakukan kejahatan ketidakhadiran yang disengaja Sedangkan pelanggaran hukum disiplin tidak
atau dengan sengaja dalam waktu damai selama murni adalah setiap perbuatan yang merupakan
30 hari berlanjut. (b) Tidak hadir dengan tidak tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya
sah karena kesalahannya, lebih lama dari empat sehingga dapat diselesaikan secara hukum disiplin
hari dalam masa perang, contoh seorang militer prajurit. Yang dimaksud dengan sedemikian ringan
yang melakukan kejahatan ketidakhadiran dengan sifatnya adalah tindak pidana yang diancam dengan
sengaja di saat Negara dalam keadaan sedang pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau
berperang atau militer tersebut sedang ditugaskan kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
kesatuannya didaerah konflik. paling tinggi Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah),
Menurut Sugiarto, selaku Hakim Militer III-12 perkara sederhana dan mudah pembuktiannya serta
Surabaya, jika ketidakhadiran dengan sah dilakukan tindak pidana yang terjadi tidak akan mengakibatkan
kurang dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak- terganggunya kepentingan TNI atau kepentingan
tidaknya satu hari maka belum bisa dikatakan umum, contohnya: Penganiayaan ringan yang
sebagai tindak pidana desersi tetapi disebut tidak tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
hadir tanpa ijin yang dapat diselesaikan secara menjalankan pekerjaan. Jenis hukuman untuk
hukum disiplin prajurit. Adapun yang dimaksud pelanggaran ini berupa hukuman disiplin prajurit
tidak hadir tanpa ijin selama satu hari disini adalah berupa penahanan ringan paling lama selama 14
selama 24 jam. Sebagai patokan untuk menentukan (empat belas hari) atau penahanan berat paling lama
ketidakhadiran itu dihitung mulai tidak hadir saat 21 (dua puluh satu hari). Yang berhak menjatuhkan
apel, atau pada saat dibutuhkan atau penting tidak semua jenis hukuman disiplin kepada setiap prajurit
hadir pada tempatnya yang telah ditentukan untuk yang berada di bawah wewenang komandonya
melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. adalah Komandan atau Atasan yang berhak
Terhadap Prajurit TNI yang akan dijatuhi Menghukum (selanjutnya disebut Ankum) yang
hukuman disiplin perbuatannya harus memenuhi dilaksanakan dalam sidang disiplin.

89
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 2 Tahun 2011 Edisi April

Desersi merupakan suatu tindak pidana militer tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa
murni dan bukan merupakan pelanggaran disiplin pandangan yaitu: (a) Teori absolut (retributif);
sehingga untuk penyelesaian tidak bisa diselesaikan Teori absolut memandang bahwa pemidanaan
melalui saluran hukum disiplin Prajurit dan harus merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah
diselesaikan melalui sidang pengadilan. Oleh dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan
karena itu yang berhak mengadili tindak pidana dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri.
desersi adalah Hakim Militer, Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam
Sedangkan bagi prajurit TNI yang terlibat hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena
masalah perdata (baik sebagai Tergugat maupun orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang
penggugat) maka untuk penyelesaian melalui peng- merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai
adilan dilingkungan peradilan umum, dan apabila suatu pembalasan kepada orang yang melakukan
yang dihadapi adalah masalah yang ada hubungan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk
dengan perceraian maupun waris menurut hukum memuaskan tuntutan keadilan. (b) Teori teleologis
islam maka penyelesaian melalui peradilan Agama. (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan
mengenai Gugatan tata usaha Militer, apabila ada sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi
orang atau badan hukum perdata yang merasa diru- sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk
gikan atas dikeluarkannya suatu keputusan yang melindungi masyarakat menuju kesejahteraan
dikeluarkan badan atau pejabat Tata Usaha militer masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya,
maka sesuai dengan hukum acara Tata Usaha yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan
Militer Bab V Undang-undang Nomor31 tahun kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan
1997) Gugatan diajukan, ke Pengadilan Militer absolut atas keadilan. (c) Teori retributif-teleologis
Tinggi. Namun sampai saat ini Peradilan tata Usaha memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat
militer belum terwujud, karena belum ada Peraturan plural, karena menggabungkan antara prinsip-
pemerintahnya, sebagaimana dalam penjelasan prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai
Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 Pasal 353 satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana
dijelaskan selambat-lambatnya dalam waktu 3 pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh
(tiga) tahun sejak diundangkannya Undang-undang pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam
ini maka harus ada Peraturan pemerintahnya. menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter
Melihat pada ketentuan Pasal 87 KUHPM teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik
yang berbunyi: “Militer yang karena salahnya atau moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan
dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa perilaku terpidana di kemudian hari.
ijin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh Pandangan teori ini menganjurkan adanya
hari”. kemungkinan untuk mengadakan artikulasi
terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan
BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat
MILITER KARENA TINDAK PIDANA utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus
DESERSI rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai
Menentukan tujuan pemidanaan menjadi sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana
persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif,
menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk maka perangkat tujuan pemidanaan adalah: (a)
melakukan pembalasan atas tindak pidana yang Pencegahan umum dan khusus; (b) Perlindungan
terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari masyarakat; (c) Memelihara solidaritas masyarakat
proses pidana adalah pencegahan tingkah laku dan (d) Pengimbalan atau pengimbangan.
yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua Secara singkat, “sistem pemidanaan” dapat
pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan diartikan sebagai “sistem pemberian atau
memerlukan formulasi baru dalam sistem penjatuhan pidana”. Sistem pemberian/penjatuhan
atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. pidana (sistem pemidanaan) itu dapat dilihat
Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa dari 2 (dua) sudut: (1) Dari sudut fungsional
diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang (dari sudut bekerjanya/berfungsinya/prosesnya),
pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai: (a)
yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan)

90
Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer TNI yang Melakukan Tindak Pidana Desersi

untuk fungsionalisasi/ operasionalisasi/ konkretisasi FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN


pidana. (b) Keseluruhan sistem (aturan perundang- TINDAK PIDANA DESERSI
undangan) yang mengatur bagaimana hukum Berdasar pada penelitian yang telah penulis
pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara lakukan, mendapatkan keterangan bahwa tindakan
konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) desersi itu dilakukan oleh anggota militer TNI
pidana. Dengan pengertian demikian, maka sistem yang dipacu oleh beberapa faktor. Yang mana
pemidanaan identik dengan sistem penegakan faktor penyebabnya pasti tidak tunggal, selalu ada
hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum motif-motif yang bersifat pribadi, dan juga karena
Pidana Materiel/Substantif, sub-sistem Hukum pengaruh lingkungan. Hasil laporan pelaksanaan
Pidana Formal dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan program kerja Pengadilan Militer III-12 Surabaya
Pidana. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu menerangkan bahwa seorang prajurit TNI
kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin melakukan tindak pidana desersi disebabkan oleh
hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara faktor eksternal (dari luar) dan Faktor internal (dari
konkret hanya dengan salah satu sub-sistem itu. dalam).
Pengertian sistem pemidanaan yang demikian Faktor internal biasanya bersifat pribadi berupa
itu dapat disebut dengan “sistem pemidanaan ketidaksiapan mental untuk menjadi seorang
fungsional” atau “sistem pemidanaan dalam arti prajurit, masuk TNI karena memenuhi keinginan
luas”. (2) Dari sudut norma-substantif (hanya orangtua, tugas yang terlalu berat dan tidak
dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sesuai, ketidahharmonisan dalam rumah tangga
sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai: (a) serta kebiasaan hidup tidak teratur dengan latar
Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana belakang tertentu sebelum menjadi prajurit bisa
materiel untuk pemidanaan; atau (b) Keseluruhan juga menjadi pemicu, bisa juga kekeliruan cara
sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pandang awal dalam memilih profesi prajurit, yang
pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana. dalam kenyataannya ternyata tak seindah yang
Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan dibayangkan sebelumnya.
peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) Sedangkan faktor eksternal disini dikarenakan
yang ada di dalam KUHP maupun UU khusus di karena lingkungan. Gangguan lingkungan juga
luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu memberikan pengaruh besar, terutama jika ternyata
kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari menjadi prajurit itu melelahkan, sementara
“aturan umum” (“general rules”) dan “aturan imbalan ekonominya terbatas. Maka, kadangkala
khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat beberapa oknum terlibat dalam tindak kriminal,
di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat seperti banyak hutang disana-sini sehingga ia lebih
di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU memilih pergi meninggalkan kesatuan daripada
Khusus di luar KUHP. menyelesaikan masalahnya. Itu tentu kejadian yang
Pemidanaan dalam tindak pidana desersi sangat memprihatinkan, tetapi sekaligus tantangan
bertujuan untuk perubahan perilaku terpidana untuk meminimalkannya. Masalah tersebut bukan
dikemudian hari, dimana pencegahan dan sekaligus hanya mencoreng pribadi, tetapi juga menodai
rehabilitasi sebagai sasaran yang harus dicapai kebanggaan korps. Sepanjang yang kita tahu, sikap
oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuan tegas selalu dikedepankan oleh TNI untuk menjaga
pemidanaan bagi anggota militer yang melakukan martabat prajurit dengan penegakan hukum.
tindak pidana desersi lebih merupakan suatu
bukan tindakan penjeraan atau pembalasan selama BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN
terpidana (militer) tersebut akan kembali aktif, MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK
sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk PIDANA DESERSI
mencegah agar militer tersebut tidak melakukan Tindak pidana desersi merupakan suatu tindak
kejahatan kembali. Sistem pemidanaan bagi seorang pidana militer murni yang dilakukan oleh seorang
militer yang melakukan suatu tindak pidana militer prajurit karena bersifat melawan hukum dan
diatur dalam suatu ketentuan system pemidanaan bertentangan dengan undang-undang. Oleh karena
khusus yang diatur didalam KUHPM. itu tindak pidana desersi merupakan suatu tindak
pidana bukan pelanggaran yang perlu dijatuhi
pidana, maka bentuk pertanggungjawaban desersi

91
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 2 Tahun 2011 Edisi April

diatur dalam Pasal 6 KUHPM berupa: Tentang Peradilan Militer yang selengkapnya
Pidana pokok: Pidana penjara, hal ini diatur berbunyi: Pasal 215: (1) Untuk kepentingan
dalam Pasal 6a ayat 2 KUHPM yang pelaksanaan pembelaan perkaranya, tersangka atau terdakwa
hukumannya bagi militer dilaksanakan di Lembaga berhak mendapat bantuan hukum di semua tingkat
Pemasyarakatan Militer (Masmil). pemeriksaan. (2) Bantuan hukum sebagaimana
Pidana tambahan: Pemecatan dari dinas militer, dimaksud pada ayat (1) diutamakan dari dinas
hal ini diatur di Pasal 6 b ayat 1 KUHPM. Penjatuhan bantuan hukum yang ada di lingkungan Angkatan
pidana pemecatan di samping pidana pokok Bersenjata. (3) Tata cara pemberian bantuan
dipandang hakim militer sudah tidak layak lagi hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diatur
dipertahankan dalam kehidupan masyarakat militer lebih lanjut dengan keputusan Panglima. Pasal
dan apabila tidak dijatuhkan pidana pemecatan 216: (1) Penasihat hukum yang mendampingi
dikhawatirkan kehadiran terpidana nantinya tersangka di tingkat penyidikan atau terdakwa di
dalam militer setelah ia menjalani pidananya, akan tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan harus
menggoncangkan sendi-sendi ketertiban dalam atas perintah atau seizin Perwira Penyerah Perkara
masyarakat. atau penjabat lain yang ditunjuknya. (2) Penasihat
Dasar Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana ukum, yang mendampingi terdakwa sipil dalam
tambahan pemecatan terdapat dalam Pasal 26 persidangan perkara koneksitas, harus seizin kepala
KUHPM yang bunyinya: pengadilan.
Pasal 26 (1)Pemecatan dari dinas militer, Pasal 217: (1) Dalam hal tersangka atau terdakwa
dapat dijatuhkan oleh hakim berbarengan dengan disangka atau didakwa melakukan tindak pidana
setiap putusan pen-jatuhan pidana penjara kepada yang diancam dengan pidana mati atau diancam
seorang militer yang berdasarkan kejahatan yang dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun atau
dilakukan dipandangnya tidak layak lagi tetap lebih, Perwira Penyerah Perkara atau pejabat lain
dalam kehidupan militer. (2) Pemecatan tersebut yang ditunjuknya wajib menunjuk penasihat hukum
menurut hakim berakibat hilangnya semua hak- bagi tersangka atau terdakwa. (2) Setiap penasihat
hak yang diperolehnya dari Angkatan Bersenjata hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
selama dinasnya yang dahulu, dengan pengecualian dimaksud pada ayat (1) memberikan bantuannya
bahwa hak pension hanya akan hilang dalam hal- dengan cuma-cuma atau pro deo (3)Penasihat
hal yang disebutkan dalam peraturan pension yang hukum berhak mengirim dan menerima surat
berlaku bagi terpidana. (3) Apabila pemecatan dari tersangka atau terdakwa setiap kali di-
tersebut berbarengan dengan pencabutan hak kehendaki olehnya. Pasal 218: (1) Penasihat hukum
untuk memasuki Angkatan bersenjata, menurut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 berhak
hukum juga berakibat hilangnya hak untuk meng-hubungi dan berbicara dengan tersangka
memiliki dan memakai bintang-bintang, tanda- atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan
tanda kehormatan medali-medali atau tanda-tanda untuk kepentingan pembelaan perkaranya dengan
pengenalan, sepanjang kedua-duanya disebut pengawasan oleh pejabat yang bersangkutan sesuai
terakhir diperolehnya berkenaan dengan dinasnya dengan tingkat pemeriksaan.(2) Penasihat hukum
yang dahulu. yang terbukti menyalahgunakan haknya, dalam
pembicaraan dengan tersangka atau terdakwa,
UPAYA ANGGOTA MILITER UNTUK sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik oditur
KEMBALI KE KESATUAN atau petugas Rumah Tahanan Militer memberikan
Upaya seorang militer yang mela-kukan peringatan kepadanya. (3) Apabila peringatan
suatu tindak pidana desersi ada 2, yaitu: dapat sebagaiman dimaksud ayat (2) dilanggar, hubungan
didampinggi oleh penasihat hukum dari seorang selanjutnya dilarang.
atau lebih penasehat hukum untuk mendampinginya Dalam hal anggota TNI menggunakan bantuan
dalam persidangan dan mengajukan upaya hukum. hukum dari penasihat hukum dari luar dinas, maka
Pemberian bantuan hukum dan nasehat hukum penasehat hukum tersebut harus terlebih dahulu
kepada anggota TNI adalah atas perintah dan mendapat persetujuan atau ijin dari papera, dan
seijin Papera (Perwira Penyerah Perkara) yang sedapat mungkin bagi prajurit TNI yang terlibat
diatur dalam ketentuan Pasal 215 sampai dengan masalah hukum bantuan hukum diutamakan dari
Pasal 218 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 dinas hukum angkatan. Peran Penasehat hukum

92
Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer TNI yang Melakukan Tindak Pidana Desersi

disini adalah untuk membela hak-hak terdakwa karena ditangkap. (d) Selama Terdakwa melakukan
baik dalam tingkat pemeriksaan di penyidikkan desersi melakukan tindak pidana lain. (e) Terdakwa
maupun dipersidangan. Di dalam Persidangan peran mengulangi lagi perbuatannya melakukan desersi.
penasehat hukum adalah mendampingi terdakwa Di dalam memutuskan desersi, hakim
dalam hal mengajukan ekspesi/keberatan terhadap mempertimbangkan hukuman yang akan
dakwaan Oditur Militer, mengajukan pledoi dijatuhkan kepada terdakwa supaya bisa kembali
(pembelaan) atas tuntutan Oditur, mengajukan ke kesatuannya hakim dalam menjatuhkan perkara
duplik atas replik Oditur dan hak-hak lain terdakwa mempertimbangkan hal-hal yang meringankan
misalnya mengajukan upaya hukum atas putusan sebagai berikut: (a) Terdakwa berterus terang
Majelis Hakim. sehingga memperlancar jalannya persidangan.
Upaya hukum merupakan hak dari pihak (b) Terdakwa kembali ke kesatuannya denga cara
yang berkepentingan, karena itu pula pihak yang menyerahkan diri. (c) Terdakwa masih muda dan
bersangkutan sendiri yang harus aktif dengan baru pertama melakukan tindak pidana.
mengajukannya kepada pengadilan yang diberi
kekuasaan jika ia menghendakinya. Seperti yang PENUTUP
diketahui, undang-undang memberi kemungkinan Bentuk pertanggungjawaban tindak pidana
bagi terdakwa yang dijatuhi hukuman untuk desersi dapat berupa pidana pokok pokok yaitu
menolak atau tidak menerima putusan yang pidana penjara dan pidana tambahan pemecatan
dijatuhkan pengadilan. Dalam Hukum Acara dari dinas militer, hal tersebut telah diatur dalam
Pidana Militer (selanjutnya disebut HAPMIL) ketentuan Pasal 6 KUHPM. Upaya yang dapat
dibedakan antara upaya hukum biasa: permintaan dilakukan oleh anggota militer yang melakukan
pemeriksaan tingkat banding diatur dalam Pasal tindak pidana desersi adalah meminta untuk
219-230 HAPMIL, pemeriksaan tingkat kasasi didampingi oleh penasehat hukum dan mengajukan
yang diatur dalam Pasal 231-244 HAPMIL dan upaya hukum untuk menolak atau tidak menerima
upaya hukum luar biasa: Pemeriksaan tingkat kasasi putusan yang dijatuhkan pengadilan.
demi kepentingan hukun diatur dalam Pasal 245-
247 HAPMIL, pemeriksaan peninjauan kembali. DAFTAR PUSTAKA
putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum BUKU
tetap diatur dalam Pasal 248-253 HAPMIL. Ali, Zainudin, 2009, Metode Penelitian Hukum,
Sinar Grafika
HAL-HAL YANG MEMBERATKAN DAN C.S.T.Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2004,
MERINGANKAN HUKUMAN Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya
Sebelum menjatuhkan putusan, Majelis Hakim Paramita.
harus benar-benar cermat dalam menilai dan Harahap, M. Yahya, 2000, Pembahasan dan
mempertimbangkan kekuatan pembuktian dalam Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta:
proses Persidangan. Disamping itu tujuan Majelis Sinar Grafika.
Hakim menjatuhkan pidana tidaklah semata-mata Moeljatno, 2000, Azas-Azas Hukum Pidana.
hanya memidana orang-orang yang bersalah Jakarta: Bina Aksara
melakukan tindak pidana, tetapi juga mempunyai Siantury, S.R., 1985, Hukum Pidana Militer di
tujuan untuk mendidik agar yang bersangkutan Indonesia, Jakarta: Alumni AHM PTHM.
dapat insyaf kembali ke jalan yang benar sehingga ___________, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di
menjadi warga negara dan prajurit yang baik sesuai Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni
dengan falsafah Pancasila dan Sapta Marga. Oleh AHM PTHM.
karena itu sebelum Majelis Hakim menjatuhkan Salam, Moch. Faisal, 2002, Hukum Acara Peradilan
pidana atas diri Terdakwa perlu memper- Militer di Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
timbangkan hal-hal yang dapat memberatkan Saleh, Roeslan, 1983, Perbuatan Pidana dan
yaitu: (a) Perbuatan Terdakwa bertentangan Pertanggungjawaban. Jakarta: Rineka Cipta.
dengan nilai-nilai yang ada dalam Sapta marga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985,
dan Sumpah Prajurit (b) Perbuatan Terdakwa dapat Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja
merusak sendi-sendi kehidupan disiplin Prajurit di Grafindo Persada.
kesatuannya. (c) Kembalinya Terdakwa ke kesatuan Sjarif, Amiroedin, 1996, Hukum Disiplin Militer

93
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 2 Tahun 2011 Edisi April

Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta HANDOUT


Samego, Indria, 2002, TNI di Era Perubahan, Rini, Indrati, Handout Metodologi Penelitian
Jakarta: Erlangga. Hukum, 2007
Mulyono, 2007, Unsur-Unsur Tindak Pidana. Wahyudi, Eko, Handout Presentasi Kejahatan
Jakarta. Ekonomi, 2009

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LAPORAN PROGRAM KERJA


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Laporan Pelaksanaan Program Kerja Pengadilan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, 2006, Militer III-12 Surabaya Tahun 2009-2010.
Bandung: Citra Umbara.
Markas Besar TNI Angkatan Darat Direktorat WEBSITES
Hukum, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kamus Istilah Militer. http: www. Googlesearch.com.
Militer, 1985, Jakarta. Diakses tanggal 5 Agustus 2010 Pukul 11.22.46
Markas Besar TNI Angkatan Darat Direktorat www.dilmil-surabaya.go.id. Diakses tanggal 18
Hukum, Kitab Undang-Undang Disiplin Militer, Oktober 2010 Pukul 12:30:55
1999, Jakarta.
Markas Besar TNI Angkatan Darat Direktorat
Hukum, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer, 1999.

94

Anda mungkin juga menyukai