Anda di halaman 1dari 5

Sebutir Rindu dan Air Mata

Pada gelap gulita, pada malam-malam paling malam. Aku terjebak pada lantunan rindu padamu,
mulutku yang terus merapal lirih menyebut pelan namamu. Begitu terasa sesak di dada
sedhingga tak mampu ku tahan air mata. Terbaring menatap langit-langit kamar yang hitam pekat
sembari mengingat masa-masa kita yang kini mulai terasa pekat. Embusan demi embusan rokok
ku hisap. Berulang-ulang kali ku tersedak. Ingin rasanya berjumpa, menangis di pelukanmu,
menggenggam hangat untaian tanganmu. Meluruhkan segala rasa sakit yang ku alami setelah
ditinggalkanmu, melampiaskan segala rindu pada hangat senyumanmu. Namun apa daya, siapa
aku bagimu? Aku hanyalah orang yang pernah berjuang mati matian, mencintai habis-habisan
namun aku kau paksa pergi seperti sekarang. Namun, sungguh, masih adakah namaku dihatimu
sayang? Masih tergambar jelaskah kenangan-kenangan indah dulu bersamaku yang kini menjadi
genangan pada tiap sela mata dan pipiku? Bahagiakah kau saat ini setelah memutuskan
membuangku? Kau bilang kita takkan pernah bisa untuk bersama lagi, kau bilang kita takkan
mungkin untuk kembali lagi mengulang masa-masa indah itu. Ya, itu menurutmu. Karena
mungkin kau telah menemukan sosok penggantiku. Tapi apakah kau bahagia dengan pilihanmu
itu? Biar aku terbakar habis disini, terbakar habis oleh penghianatan mu itu, biar aku sendiri disini
meratapi kepergianmu yang sungguh membuatku hampir mati di bunuh rindu. Selamat
berbahagia wahai masa laluku, selamat menemukan yang baru. Dan nanti bila kau mendengar
kabar bahwa aku telah jatuh cinta kembali pada seseorang yang lain. Percayalah, aku
melewatinya dengan harus beratus-ratus kali menyakiti diri sendiri, berharap kau akan kembali,
dan pada akhirnya aku mati, perasaanku perlahan mati menerima kenyataan kau takkan pernah
bisa untuk kembali.
“Jika aku diberi kesempatan untuk meminta apapun kepada Tuhan walau hanya sekali. Sungguh
aku akan meminta untuk tetap mencintaimu.”
Sebuah Penghabisan

Pada tiap langkahku, pada tiap hari-hariku sungguh bayangan tentangmu masih tetap menghiasi
kemanapun arah kaki ini melangkah, dan sungguh di ingatanku hanya senyumanmu lah yang
menyinari. Di keramaian pun sungguh mata ini tak pernah hilang fokus untuk mencari hadirmu
yang sekiranya dapat kulihat walau dari kejauhan. Malam-malam ku pun sibuk untuk
memikirkanmu, percayalah tak pernah satu malam pun aku berhenti menggambar wajahmu
dalam tiap pejam khayalku. Jari- jemariku pun tak pernah lepas untuk membuat puisi tentangmu.
Seakan segalanya tentangmu, melihat wanita di bonceng oleh lelaki di jalan pun aku selalu takut
dan menyangka bahwa itu kamu. Disaat orang ingin berkumpul ria, bercanda ria menikmati
obrolan-obrolan klasik mereka sambil meminum sebotol alkohol. Aku memilih untuk menyendiri
bercerita pada kopi, menulis karangan dan puisi untuk menggambarkan betapa indahnya
hadirmu kala itu. Mari kita mengenang untuk sejenak tentang kita di kala itu. Boleh ya? Apakah
kau masih ingat bagaimana awalnya kita bisa memutuskan untuk bersama pada waktu itu,
dengan saling menyayangi, saling mencintai, saling memahami, saling melengkapi dan juga saling
selalu ada disaat apapun yang terjadi diantara kehidupan kita bedua. Indah ya dulu, seakan dunia
terasa berada dalam genggaman tangan kita. Setiap hari kita habiskan untuk jalan-jalan
mengelilingi kota, berkunjung pada tempat-tempat yang mengenyangkan perut atau hanya
sekedar berbincang dan terduduk menikmati kopi dan angin malam di terasmu itu. Sungguh aku
masih ingat bagaimana caramu berjalan, bagaimana caranya kau tersenyum, bagaimana caramu
tertawa dan bagaimana caramu menyapaku dengan hangat dan caramu menatapku dengan
teduh yang menenangkan. Apakah kau sekarang rindu itu semua seperti hal nya aku yang
merindukan semua itu? Aku pun masih ingat saat aku terpaksa pergi meninggalkan kota untuk
mengejar cita-citaku dan pada malam sebelum itu aku pamit kepadamu, lalu kau menangis
sambil memelukku dan melepas kepergianku di depan teras rumah mu. Sungguh hal terberat dan
hal yang tak pernah bisa kulakukan adalah meninggalkanmu, tak pernah sedikitpun aku berniat
atau berencana meninggalkanmu pada kala itu. Sebelum akhirnya kau sendiri yang memutuskan
dan meminta kita untuk berpisah. Sontak aku terkejut dan hanya bisa terdiam merenung. Dan
bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa kurangkah selama ini rasa cinta, tulus dan setia yang
sebelumnya tak pernah kuberikan pada siapapun selain pada hatimu? Mungkin saat itu aku dan
kamu terbawa emosi, seharusnya kita bisa melewati masalah itu semua dan tidak berakhir rumit
seperti ini, kisah yang seharusnya berakhir indah, kisah yang membuat iri pasangan-pasangan
lain melihat betapa harmonis nya kita pada waktu itu dan kini yang tersisa hanya tinggal kisah
usang yang kekal dalam kenang dan ingatan. Andai saja pada waktu itu kita mampu meredamkan
ego masing-masing, mungkin kita tak akan serumit seperti ini,ketika pergi tapi tidak benar-benar
pergi, melepas juga tidak benar-benar merasa melepas, seperti cerita yang sudah usai namun
perasaan yang tak kunjung pudar. Dan kini yang tersisa hanyalah pertanyaan-pertanyaan
diantara kita tentang apakah nanti di akhir; semesta mengijinkan kita untuk bersatu lagi? Atau
kah kemarin kita hanyalah sepasang yang dipertemukan lalu sengaja dipisahkan dulu oleh
semesta agar kelak nanti saat kita dipersatukan kembali, kita sudah lebih siap dan saling mengerti
bahwa mengikuti ego dan nafsu sendiri, hanya akan membawa hubungan kita pada kehancuran.
Entahlah apapun jawaban nya nanti oleh semesta. Aku hanya ingin berpesan padamu lewat
tulisan ini. “Terima kasih kau dulu sudah bersedia mencintai orang sepertiku, terima kasih dulu
kau sudah suka rela berusaha untuk mau berjuang bersamaku, terima kasih telah mengajarkan
ku banyak arti, sebab darimu aku pernah merasakan arti dari cinta sejati itu seperti apa dan juga
sebab dari kepergianmu lah aku belajar dan mengerti tentang puncak tertinggi dari mencintai
seseorang adalah dengan mengikhlaskan. Dan sungguh pernah diberi kesempatan untuk
mengenal dan memilikimu walau hanya sesaat adalah hal terindah yang pernah terjadi di
sepanjang hidup dan matiku.” Selamat tinggal wahai kekasih hatiku, selamat tinggal kenangan
denganmu, senyumku melepaskan kau pergi wahai orang yang kucintai didunia ini, atas nama
rindu, kutulis sebuah pengakuan, mewakili suara yang sekarang tak pernah mampu ku
ucapkan.”Aku mencintaimu”. Dan jika ternyata setelah menulis ini aku mati terlebih dahulu
darimu, itu artinya aku mati dalam “Mengenangmu.”
“Mungkin kau sudah lupa, mungkin kau sudah tak ingat lagi kita pernah bersama, mungkin kau
sudah bahagia, mungkin juga tak ingin menengok kembali lagi. Hanya saja apabila suatu saat kau
bimbang dan tak punya siapa-siapa, maka pulanglah. Aku akan tetap selalu ada untukmu.”

-Alvito Gunawan.

Cianjur, 27 Maret 2020

Anda mungkin juga menyukai