Anda di halaman 1dari 8

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan reproduksi adalah

suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh yang tidak semata-mata

bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala hal yang berhubungan dengan

sistem reproduksi dan fungsi-fungsinya serta prosesnya. Salah satu gejala terjadinya

kelainan atau penyakit pada organ reproduksi adalah keputihan. Masalah keputihan

dapat mengganggu penderita baik secara fisik maupun mental. Keputihan yang

memberi dampak adalah keputihan patologis yang disebabkan oleh infeksi pada

vagina (jamur, bakteri, parasit, virus) sehingga diperlukan pengobatan

(Prawirohardjo, 2011).

Masalah kesehatan mengenai reproduksi wanita yang buruk telah mencapai

33% dari jumlah total beban penyakit yang menyerang pada wanita di seluruh dunia.

Berdasarkan data penelitian tentang kesehatan reproduksi, didapatkan 75% wanita di

dunia pernah mengalami keputihan, paling tidak sekali seumur hidup dan 45%

diantaranya bisa mengalami keputihan sebanyak dua kali atau lebih, sedangkan pada

kaum wanita yang berada di Eropa angka keputihan sebesar 25%, dimana 40-50%

akan mengalami kekambuhan (NCBI, 2015).

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa 5% remaja di dunia

terjangkit Penyakit Menular Seksual (PMS) dengan gejala keputihan setiap tahunnya,

1
2

bahkan di Amerika Serikat 1 dari 8 remaja (Badaryati, 2012). Berdasarkan data

SKRRI (2007, dalam Badaryati, 2012) menunjukkan pada wanita dengan rentang usia

15-24 tahun mengalami keputihan sebanyak 31,8%. Sejalan dengan hasil Survei

Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia bekerja sama dengan World

Population Foundation Indonesia diketahui remaja putri pada tahun 2011, 65%

diantaranya pernah mengalami keputihan (Bahari, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa

remaja putri mempunyai resiko tinggi mengalami keputihan.

Secara umum di Indonesia 75% wanita pernah mengalami keputihan minimal

satu kali dalam hidupnya dan setengah diantaranya mengalami keputihan sebanyak

dua kali atau lebih. Hal ini berkaitan dengan cuaca yang lembab yang mempermudah

wanita Indonesia mengalami keputihan, dimana cuaca yang lembab dapat

mempermudah berkembangnya infeksi jamur. Keputihan beresiko terjadi pada

remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa yang

ditandai adanya pertumbuhan dan perkembangan dari usia 10-19 tahun (BKKBN,

2015). Pada remaja terjadi perubahan-perubahan fisiologis khususnya daerah organ

reproduksi. Banyak dampak buruk yang akan terjadi pada kesehatan reproduksi

remaja, jika remaja tidak mengetahui permasalahan seputar organ reproduksinya

(Maghfiroh, 2015).

Ada beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya keputihan pada wanita

khususnya pada remaja, diantaranya adalah kurangnya pengetahuan remaja tentang

keputihan, menjaga kebersihan vagina, penggunaan sabun pembersih vagina dan

penggunaan pantyliner. Studi menunjukkan bahwa Candidia Albicans merupakan


3

yang paling banyak didiagnosa sebagai penyebab keputihan pada kalangan wanita

muda dan sekitar 15-30% dari perempuan yang mengunjungi dokter dengan berbagai

keluhan permasalahan kesehatan reproduksi yang ditandai dengan keputihan

(Monalisa, dkk, 2012). Sedangkan menurut (Iswati, 2013) kejadian keputihan sering

disebabkan oleh bakteri kandidosis vulvovagenitis dikarenakan banyak perempuan

yang tidak mengetahui cara membersihkan daerah vaginanya, penyebab lainnya

adalah vaginitis bacterial dan trichomonas vaginalis. Khusus di Indonesia data

terkait tentang wanita yang mengalami keputihan sulit untuk diperoleh, hal ini dapat

dimaklumi karena sedikit sekali wanita yang memeriksakan kesehatan organ

reproduksinya ke fasilitas kesehatan.

Berdasarkan hasil penelitian dari Panda, 2013 bahwa dari 50 orang remaja di

kawasan Asia Selatan terutama India yang terdeteksi Trikomoniosis Vaginalis

sebanyak 3 kasus (6%) dan Candida Albicans dalam 26 kasus (52%). Terinfeksi

Trikomoniosis Vaginalis dan Candidia Albicans sebanyak 4 kasus (8%). Hampir 83%

penyebab keputihan adalah bakteri Candidia Albicans yang banyak terjadi pada

remaja dan berasal dari daerah pedesaan.

Penelitian lainnnya dilakukan di salah satu rumah sakit tersier kabupaten

Bareilly di wilayah timur India. Responden adalah wanita dalam kelompok usia (15-

49 tahun) yang pernah berkunjung ke pelayanan obstetri dengan keluhan keputihan.

Sebanyak 270 wanita dengan keputihan, vaginosis bakteri adalah gangguan yang

paling umum terlihat (36,68%). Ditemukan keputihan berlebihan (87,8%), terus

menerus (64,8%) dan berbau busuk (60,4%) di sebagian besar wanita. Ini
4

memmperkuat asumsi bahwa wanita kurang menyadari kebersihan organ

reproduksinya sendiri sebagai kebutuhan yang harus dilakukan (SCOPMED, 2014).

Hasil penelitian Mokodongan 2015 pada 4 SMA di Manado dan

Kotamobagu, 41 responden (64,1%) berpengetahuan buruk tentang keputihan.

Sejalan dengan penelitian Setyorini (2015), tentang hubungan tingkat pengetahuan

tentang keputihan dengan kejadian keputihan pada remaja putri, dari 200 responden

ditemukan 74 reponden (37%) berpengetahuan kurang dan 59 responden (79,7%)

diantaranya mengalami keputihan.

Penelitian Triyani, R, 2013 di SMPN 1 Salatiga dari 135 responden terdapat

82 responden (60,7%) menggunakan sabun pembersih vagina, dan dari 82 responden

yang menggunakan sabun pembersih vagina terdapat 72 responden (53,3%) yang

mengalami keputihan. Sedangkan hasil penelitian Persia 2015 tentang Hubungan

Pemakaian Pantyliner dengan Kejadian Fluor Albus pada Siswi SMA di Kota Padang

didapatkan bahwa responden yang memakai pantyliner mengalami fluor albus

(69,2%).

Hasil penelitian Mariza 2014 tentang faktor resiko yang berhubungn dengan

kejadian flour albus pada siswi di SMPN 1 di Kota Bandar Lampung, dengan sampel

sebanyak 259 orang. Dari 69 responden (26,6%) yang kategori kebersihan

kewanitaannya tidak baik 37 responden (53,6%) mengalami keputihan, dari 35

responden (13,5%) yang menggunakan sabun pembersih vagina dengan kategori

tidak baik 26 responden (74,3%) diantaranya mengalami keputihan dan dari 11


5

responden (4,2%) yang menggunakan pantyliner dengan kategori tidak baik

ditemukan 8 responden (72,7%) yang mengalami keputihan.

Sejalan dengan teori menurut Soebachman (2012) agar selalu menjaga

kebersihan diri, terutama kebersihan alat kelamin. Rambut pubis yang terlalu tebal

bisa menjadi tempat bersarangnya kuman. Membasuh bagian sensitif vagina dengan

air bersih setiap kali buang air dan pada saat mandi, membasuh vagina dengan cara

yang benar, yaitu dengan gerakan dari depan ke belakang. Ini akan menghindari

masuknya kuman dari anus ke alat kelamin. Penggunaan sabun pembersih vagina

tidak dianjurkan karena dapat mengganggu kestabilan pH disekitar vagina dan

pemakaian pantyliner juga tidak dianjurkan, lebih baik membawa celana dalam

pengganti dari pada menggunakan pantyliner setiap hari.

Pentingnya remaja mengetahui tentang keputihan adalah agar wanita

khususnya remaja mengetahui tentang keputihan, tanda dan gejala keputihan,

penyebab, dan dapat membedakan antara keputihan fisiologis dan patologis sehingga

wanita dapat mencegah, menangani dan segera melakukan pemeriksaan apabila

terdapat tanda dan gejala keputihan yang tidak normal. Masalah organ reproduksi

remaja khususnya mengenai keputihan perlu mendapat perhatian yang serius.

Meskipun secara umum keputihan tidak mengancam jiwa, namun bila keputihan

patologis tidak diatasi dapat menyebabkan konsekuensi serius seperti infertilitas

(ketidaksuburan), hamil di luar kandungan (kehamilan ektopik), gangguan

menstruasi, dan kanker leher rahim (Rabiu, dkk, 2010).


6

Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi menjadi bekal remaja

dalam berperilaku sehat dan bertanggung jawab, namun tidak semua remaja

memperoleh informasi yang cukup dan benar tentang kesehatan reproduksi.

Keterbatasan pengetahuan ini memberikan peluang terhadap remaja untuk

berperilaku berisiko yang mengancam kesehatan organ reproduksi. Salah satu upaya

yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan kesehatan reproduksi di

kalangan remaja yaitu melalui program Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan

Reproduksi Remaja (PIK-KRR), namun masalah kesehatan reproduksi khususnya

keputihan masih terus terjadi pada remaja.

Penelitian Daiyah (2004) di SMU Negeri 2 Medan dari 58 responden hanya

25,86% yang menjaga kebersihan organ reproduksi bagian luar dengan baik, artinya

74,14% responden tidak melakukan pencegahan keputihan dengan baik. Kurangnya

pengetahuan dan informasi yang tepat tentang kesehatan organ reproduksi

diperkirakan menjadi salah satu penyebab kurangnya perhatian terhadap kesehatan

organ reproduksi

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik di Sumatera Utara tahun 2015 bahwa

jumlah penduduk usia >15 tahun sebanyak 9.351.041 jiwa yang terdiri dari laki-laki

sebanyak 4.611.630 jiwa dan perempuan 4.739.411 jiwa, dari jumlah perempuan

tersebut diperkirakan sebanyak 75% remaja mengalami keputihan. Sedangkan di

Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2014 sebanyak 274.905 jiwa dan sebanyak

45% pernah mengalami keputihan (DINKES Provinsi Sumatera Utara, 2015).


7

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 16 Maret 2017,

hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada 24 orang dari 259 orang total

seluruh siswi kelas VII dan VIII, diantaranya 12 orang kelas VII dan 12 orang kelas

VIII MTsN Batang Toru ternyata seluruh siswi (100%) pengetahuannya tentang

keputihan masih dalam kategori kurang, 19 orang (79,17%) kebersihan organ

kewanitannya dalam kategori tidak baik dan didapatkan data 22 orang (91,67%)

menggunakan sabun pembersih vagina, 13 orang (54,17%) memakai pentyliner, dan

hanya 2 orang (8,33%) yang tidak menggunakan sabun pembersih vagina dan juga

memakai pentyliner. Dari 24 orang, 19 orang (76,17%) mengalami keputihan, 14

orang (58,33%) diantaranya mengalami keputihan patologis sesuai dengan keluhan

jumlah cairan banyak, kental, berwarna kuning/kehijauan, berbau dan terasa gatal

setiap hari.

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti

tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian keputihan pada siswi MTsN

Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2017.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan penelitian ini

adalah “Apakah faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian keputihan pada

siswi MTsN Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2017?”.


8

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian keputihan pada siswi MTsN Batang Toru Kabupaten Tapanuli

Selatan tahun 2017.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1.4.1. Bagi Pihak Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak

sekolah untuk memberikan pendidikan kesehatan pada siswa tentang

kesehatan reproduksi khususnya keputihan.

1.4.2. Bagi Dinas Kesehatan Tapanuli Selatan, Dinas Pendidikan

Tapanuli Selatan dan Departemen Agama Tapanuli Selatan

Sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan penanganan

masalah kesehatan reproduksi melalui program TRIAD KRR.

1.4.3. Bagi Siswi

Sebagai media informasi dalam mengenal keputihan sebagai upaya

pencegahan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada

umumnya dan remaja khususnya.

1.4.4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar atau bahan

perbandingan sebagai referensi ilmiah untuk melakukan penelitian

yang akan datang berkaitan dengan keputihan.

Anda mungkin juga menyukai