SKRIPSI
MARIO REINZINI
0806455326
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
DEPOK
JUNI 2012
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
MARIO REINZINI
0806455326
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
DEPOK
JUNI 2012
ii
iii
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : ………………………………
Tanggal : ………………………………
iv
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, proses penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Penulisan
skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan dari mata kuliah Skripsi
yang terdapat dalam kurikulum program studi Teknik Elektro, Universitas
Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :
(1). Dr. Ir. Feri Yusivar M.Eng, selaku dosen pembimbing, serta dosen-dosen
lainnya, yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk
mengarahkan saya dalam penulisan skripsi ini;
(2). Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan berupa
dukungan moral maupun material;
(4). Sebastian Anthony, Fredric Varian Otto, Ivan Gumulia, Dian Susanti, Monika
Hendrawan, Alexandrina Vicky, Cinthia Aliwarga, Amelia Hartono dan Caroline
Dewi yang selalu memberikan semangat dan dukungan; dan juga bagi pihak-pihak
lain yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, saya berharap agar Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan dari semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini juga
dapat memberikan manfaat yang nyata bagi pengembangan ilmu pengetahuan di
masa yang akan datang.
Mario Reinzini
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis / pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : ………………………………….
Pada tanggal : ………………………………….
Yang menyatakan,
( Mario Reinzini )
vi
vii
viii
ix
xi
xii
Tabel 3.1 Tabel Keadaan Saklar pada Inverter Satu Fasa ..................................... 28
Tabel 3.2 Kombinasi Rangkaian dari Sistem Grid-Connected Inverter................ 40
Tabel 3.3 Penentuan Nilai Komponen pada Sistem Grid-Connected Inverter ... 104
Tabel 4.1 Letak Pole Sistem pada Titik Kerja Sel SuryA VPV = 261.1 Volt dan IPV
= 3.168 Ampere ................................................................................................... 115
xiii
xiv
xv
1
Universitas Indonesia
Grid connected ..., Mario Reinzini, FT UI, 2012
2
Universitas Indonesia
1.4 Tujuan
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini bertujuan untuk :
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada Gambar 2.1 diatas nampak bahwa algoritma MPPT akan mampu
menetapkan titik kerja yang optimal bagi modul sel surya. Sehingga tegangan
keluaran referensi sel surya akan menjadi pembanding bagi tegangan sel
surya yang terukur pada rangkaian (sistem). Adanya perbedaan antara nilai
referensi dari MPPT dengan nilai yang terukur akan menjadi suatu nilai error
yang kemudian akan dikendalikan, dimana proses kontrol ini akan
menghasilkan sinyal referensi bagi switching pada DC-DC Converter, yaitu
rangkaian boost converter.
Tegangan keluaran dari modul sel surya selanjutnya menjadi masukan
bagi rangkaian boost converter, dengan adanya rangkaian boost converter ini
maka diharapkan bahwa tegangan suplai dari sel surya akan dapat terjaga
pada titik kerja optimal sel surya.
6
Universitas Indonesia
Grid connected ..., Mario Reinzini, FT UI, 2012
7
Universitas Indonesia
ω ff
ω̂
Vdee* KI 1
KP + θˆ
s s
V dee V dss
VS
Kid I de I ds
K pd + I g r id
Vdsync V de* Vde − fb s I d err
Vde− ff
I d re f R(θˆ) I qs
Vqsync R−1(θˆ) I qe
V q*e Kiq I q err
K pq +
Vqe− fb s
Vqe− ff I q re f
Gambar 2.2 diatas dapat dilihat lebih jelas pada bagian lampiran.
Universitas Indonesia
= komponen sumbu-q dari tegangan sinusoidal sumber yang
ditransformasikan dengan Transformasi DQ
∗
= nilai
referensi
= nilai konstanta proporsional dari pengendali PI
= nilai konstanta integral dari pengendali PI
= asumsi awal dari nilai frekuensi sudut tegangan sinusoidal
sumber
= nilai estimasi frekuensi sudut tegangan sinusoidal sumber
Ɵ = nilai estimasi sudut fasa tegangan sinusoidal sumber
) = operator Transformasi DQ dengan parameter Ɵ
(Ɵ
• Transformasi DQ
! " = (Ɵ) ! "
(2.3)
) &'((Ɵ
$%&(Ɵ ) cos()
! " =# )! "
−&'((Ɵ ) $%&(Ɵ
) sin()
(2.4)
+ + sin()&'((Ɵ
cos() $%&*Ɵ )
! " =# )
− cos()&'((Ɵ ) + sin()$%&(Ɵ
)
(2.5)
cos() $%&*Ɵ + + sin()&'((Ɵ
)
! " = - # )
) − cos()&'((Ɵ
sin()$%&(Ɵ )
(2.6)
+
cos* − Ɵ
! " = - # )
)
sin( − Ɵ
(2.7)
Tujuan dari algoritma PLL ini ialah untuk menyamakan fasa antara
tegangan sinusoidal sumber, yang berasal dari jaringan listrik, dengan fasa
Universitas Indonesia
hasil estimasi maka tentunya nilai akan dibuat menjadi sama dengan nilai
. Sehingga persamaan (2.7) dapat dituliskan menjadi :
Ɵ
cos(0)
! " = - ! "
sin(0)
(2.8)
-
! " =. /
0
(2.9)
Dari persamaan (2.9) diatas nampak bahwa ketika sudut fasa hasil
estimasi sama dengan sudut fasa dari tegangan sinusoidal jaringan listrik
) maka nilai
( = Ɵ
akan sama dengan nilai amplitudo dari tegangan
sinusoidal jaringan listrik (-) sedangkan
akan sama dengan nol. Dalam
perancangan PLL ini maka nilai
akan terus menerus dibandingkan dengan
nilai
∗
, yang nilainya adalah nol, selama sudut fasa tegangan sinusoidal
jaringan listrik belum sama dengan sudut fasa hasil estimasi maka tentunya
akan ada perbedaan antara nilai
dengan nilai
∗
. Adanya perbedaan ini
yang kemudian akan dikendalikan dengan pengendali PI, hasil keluaran dari
pengendali PI ini adalah berupa frekuensi sudut kompensasi yang perlu
ditambahkan dengan nilai
agar diperoleh nilai
, yang kemudian
.
diintegralkan terhadap waktu sehingga diperoleh nilai sudut fasa estimasi Ɵ
Algoritma ini terus dilakukan berulang kali hingga dicapainya nilai parameter
=
∗
.
Blok algoritma current control akan memproses keluaran dari blok PLL,
yakni nilai estimasi amplitudo tegangan grid, frekuensi tegangan grid dan
sudut fasa tegangan grid. Ketiga hasil estimasi dari blok PLL ini kemudian
digunakan pada blok current control untuk dapat dihasilkannya tegangan
yang menghasilkan sinyal arus yang sinkron dengan sinyal tegangannya.
Berikut merupakan langkah-langkah algoritma current control yang
diilustrasikan melalui Gambar 2.2 diatas :
• Dilakukan pengukuran arus dari grid (012 ) , besarnya0 akan sama
dengan 012 . Sedangkan 0 merupakan sinyal arus dari grid yang
fasanya tertinggal 90° . Penggeseran fasa ini dilakukan dengan
menggunakan algoritma all pass filter (APF).
Universitas Indonesia
Nilai dari 567 inilah yang kemudian digunakan sebagai nilai referensi
tegangan bagi PWM generator untuk dapat membangkitkan sinyal-sinyal
pulsa bagi switching yang ada pada inverter.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Energi foton yang nampak pada Gambar 2.3 diatas adalah energi
cahaya yang diperoleh dari paparan sinar matahari ke sel surya. Ketika
energi cahaya tersebut dipaparkan pada elektron-elektron di pita
valensi, maka energi foton yang berupa partikel tersebut akan
menabrak elektron di pita valensi. Ketika energi foton yang diperoleh
dari paparan sinar matahari cukup kuat (energi foton lebih besar dari
pada energi band gap), maka energi foton tersebut akan mampu
membuat elektron pada pita valensi (VB) berpindah ke pita konduksi
(CB). Dengan adanya catu tegangan, dengan polaritas positif pada
bagian CB dan polaritas negatif pada bagian VB, maka akan membuat
elektron-elektron yang bergerak bebas pada bagian pita konduksi
bergerak terarah oleh adanya catu tegangan tadi. Pergerakan elektron
inilah yang menyebakan timbulnya aliran arus listrik yang kemudian
digunakan untuk berbagai kebutuhan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
IPh merupakan sumber arus sel surya yang diperoleh dari proses
konversi energi cahaya menjadi energi listrik, dimana besarnya nilai
arus yang dihasilkan oleh IPh ini akan sangat tergantung oleh besarnya
nilai irradiance (λ) dan suhu sel surya (TC). Irradiance sendiri
merupakan turunan radiasi cahaya terhadap waktu, yang menyatakan
daya yang dihasilkan dari radiasi elektromagnetik cahaya pada suatu
permukaan. Adapun persamaan IPh dapat dinyatakan melalui
persamaan berikut :
08: = (0= + K ? (TA − TBCD ))λEλBCD (2.11)
0; = 0 FGHI F S − 1S
(9JK L<M NJK )
OPQR
(2.12)
Persamaan arus saturasi (IS) dari sel surya dapat dinyatakan dalam
sebuah persamaan matematis yang memiliki hubungan dengan suhu
sel surya sebagai berikut :
` `
[ ]^ _ 3 b
0 = 0< U Z GHI \ d
QV aWXY aV
QWXY cO
(2.13)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sel surya yang menjadi acuan dalam penulisan skripsi ini adalah
sel surya produksi Kyocera dengan model KC50T (Kyocera KC50T
Datasheet), dimana nilai-nilai parameter karakteristik yang digunakan
pada sel surya produksi Kyocera ini ditunjukkan pada Tabel 2.1
berikut ini.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dimana :
NS = jumlah modul sel surya yang disusun seri
NP = jumlah modul sel surya yang disusun paralel
Universitas Indonesia
karakteristiknya sendiri, yang juga ikut dipengaruhi oleh parameter lain, yaitu
suhu lingkungan dan nilai irradiance. Sehingga, agar suatu modul sel surya
dapat beroperasi pada kondisi optimumnya, yaitu sel surya bekerja pada titik
tegangan dan arus tertentu yang menghasilkan daya keluaran yang
maksimum, maka diperlukannya suatu algoritma yang mampu menemukan
titik kerja dari sel surya yang optimal. Adapun algoritma yang dapat
digunakan untuk mencari titik kerja optimal dari sel surya dikenal dengan
Maximum Power Point Tracker (MPPT). Hingga kini telah banyak
dikembangkan berbagai algoritma MPPT yang dirancang untuk mencari titik
kerja optimum sel surya (Trishan Esram, 2007).
Salah satu algoritma MPPT yang cukup banyak digunakan untuk
menetukan titik kerja optimal sel surya adalah metode Incremental
Conductance Method (ICM). Metode ICM ini banyak digunakan karena
beberapa alasan diantaranya ialah karena dianggap metode ICM relatif lebih
mudah dan dapat menentukan nilai maksimum yang reliable (Trishan Esram,
2007).
Metode ICM dalam menentukan titik kerja optimal sel surya ini adalah
dengan menggunakan sifat dasar suatu fungsi, dalam hal ini adalah fungsi
daya terhadap tegangan, yaitu fungsi tersebut akan mencapai nilai
maksimalnya ketika nilai turunan pertamanya (gradien) bernilai nol (Yan, Fei,
Jinjun, & Shanxu, 2008).
=0
8
9
(2.18)
dimana, P = V . I , maka :
= 0 9 + 9 = 0 + 9 = 0
(N9) 9 N N
9
(2.19)
= −9
N N
9
(2.20)
Algoritma MPPT dengan metode ICM ini akan terus menaikkan atau
menurunkan nilai tegangan kerja sel surya hingga diperoleh titik kerja yang
optimum, atau dengan kata lain hingga terpenuhinya persamaan (2.20) diatas
(Yan, Fei, Jinjun, & Shanxu, 2008). Namun perlu diketahui bahwa, metode
ICM ini akan memberikan nilai kenaikan atau penurunan tegangan kerja sel
Universitas Indonesia
surya yang konstan maka nilai tegangan kerja yang tercapai nantinya akan
berosilasi di sekitar titik kerja tegangan yang optimal.
Universitas Indonesia
= .
t v
u s
(2.13)
• 0= + 0< = 0
= − <.= . =
9V v
u
(2.14)
Universitas Indonesia
Dalam keadaan ini, besarnya perubahan arus yang terjadi ialah konstan
sehingga arus akan meningkat secara linear. Perubahan arus induktor
dinyatakan dalam persamaan :
= =
∆ t ∆ t 9j
∆u ;Q s
(2.16)
Ingat bahwa durasi waktu untuk switch tertutup adalah selama DT. Maka
persamaan (2.12) dapat ditulis menjadi :
(∆'s )7{| =
9j ;Q
s
(2.17)
= s . − s . =
t v v
u
(2.18)
• 0= = 0s − 0<
= − . 0s − . =
9V v v
u = <.=
(2.19)
Universitas Indonesia
0 −
v
0w 0 1y
# s ) = }v s
~ ! s " + # x)
=w −
v = 0
(2.20)
= <.=
Dalam keadaan ini, besarnya perubahan arus yang terjadi ialah konstan
sehingga arus akan meningkat secara linear. Perubahan arus induktor
dinyatakan dalam persamaan :
= (v3;)Q =
∆ t ∆
t 9j
∆u s
(2.21)
Ingat bahwa durasi waktu untuk switch tertutup adalah selama DT. Maka
persamaan (2.21) dapat ditulis menjadi :
(∆'s )|6 =
9j (v3;)Q
s
(2.22)
( + 1 − ) − (1 − ) = 0
Maka diperoleh VO sebagai :
= v3;
j 9
(2.23)
Universitas Indonesia
berikut ini :
x 6 =
;(v3;) <
(2.24)
=
∆9 ;
9 <=
(2.25)
Universitas Indonesia
Sinyal PWM yang nampak pada Gambar 2.9 diatas dapat dibentuk
dengan membandingkan antara sinyal referensi dengan sinyal carrier. Sinyal
referensi bisa berupa sinyal apapun yang ingin dijadikan referensi. Sedangkan
sinyal carrier merupakan sinyal yang berupa segitiga sama kaki maupun
sinyal gigi gergaji yang digunakan sebagai gelombang modulasi dan
komparator. Berikut merupakan gambar mengenai cara pembentukan sinyal
PWM.
Ketika sinyal referensi (bewarna biru pada Gambar 2.10) lebih besar
daripada gelombang modulasi (berupa sinyal segitiga sama kaki, bewarna
merah pada Gambar 2.10) maka sinyal PWM akan berada pada kondisi high
atau dengan kata lain bernilai 11.. Begitu pula sebaliknya, ketika sinyal
referensi bernilai lebih kecil dari gelombang modulasi maka sinyal PWM
akan berada pada kondisi low atau dengan kata lain bernilai 0. Pada Gambar
2.8 diatas, sinyal PWM yang terbentuk dinyatakan dengan warna hijau.
Universitas Indonesia
Pada Bab 3 ini akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai rancangan sistem
grid-connected inverter. Model kendali dari sistem grid-connected inverter juga
akan dijelaskan dan dilakukan uji simulasi pada Bab 3 ini, yakni tentang algoritma
MPPT, PLL dan current control. Selanjutnya, pemodelan sel surya juga dibentuk
berdasarkan dasar teori yang telah dibahas melalui Bab 2 sebelumnya. Berbagai
model kombinasi yang dimungkinkan terbentuk oleh sistem grid-connected
inverter ini dimodelkan dalam bentuk persamaan matematis sehingga dapat
dituliskan dalam bahasa pemrograman bahasa C dalam C-MEX untuk
kepentingan simulasi.
27
Universitas Indonesia
Grid connected ..., Mario Reinzini, FT UI, 2012
28
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
sel surya, yang dinyatakan oleh persamaan (2.16). Persamaan umum LPF
yang digunakan adalah :
=
Lv x
v
(3.1)
Dimana :
y = keluaran blok low pass filter
= konstanta waktu
x = masukan blok low pass filter
3.3.1 Kurva Karakteristik I-V dan P-V Model Sel Surya KC50T
Dengan digunakannya blok low pass filter pada model sel surya
ini maka model sel surya yang dirancang akan nampak pada Gambar
3.3 berikut ini.
Universitas Indonesia
Adapun masukan dari blok model statik sel surya ini adalah :
irradiance (Watt/m2), suhu lingkungan (Kelvin), arus sel surya,
tegangan sel surya dan jumlah panel sel surya yang digunakan.
Untuk menentukan apakah model sel surya yang dimodelkan kali
memiliki karakteristik sel surya pada umumnya, maka model sel surya
ini diuji coba pada kondisi pengujian standar, yakni pada suhu
lingkungan 25°C dan irradiance 1000 Watt/m2. Adapun jumlah panel
sel surya yang digunakan adalah sejumlah 15 panel yang disusun seri.
Jumlah ini dipilih dengan alasan untuk menyesuaikan dengan keadaan
hardware yang dimiliki oleh tim riset, sehingga kedepannya simulasi
ini dapat dijadikan acuan untuk pengembangan selanjutnya.
Universitas Indonesia
Gambar 3.5 Kurva P-V Model Sel Surya KC50T untuk 1 Modul Sel Surya
Universitas Indonesia
Gambar 3.6 Kurva I-V Model Sel Surya KC50T untuk 1 Modul Sel Surya
Universitas Indonesia
Gambar 3.7 Kurva P-V Model Sel Surya KC50T untuk 15 Modul Sel Surya
Gambar 3.8 Kurva I-V Model Sel Surya KC50T untuk 15 Modul Sel Surya
Universitas Indonesia
tegangan optimumnya berada pada nilai 261 Volt, nilai ini sesuai
dengan perkiraan perhitungan.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model sel surya yang
disimulasikan telah memiliki karakteristik dari model sel surya
Kyocera KC50T, baik yang dioperasikan sendiri maupun dengan 15
buah modul sel surya yang disusun secara seri.
&089 = −
∗
NJK NJK
(3.3)
Nilai 0
∗
merupakan keluaran dari model statik sel surya, yakni
dinyatakan melalui persamaan (2.17), dengan nilai Np = 1 (jumlah
modul sel surya yang dipasang paralel). Maka diperoleh persamaan :
K KJK
U JK LNJK <j Z LNJK <j
0 = − GHI − 1 − −
NJk Nj pj pj NJK
u 89
OcQV
<jk
(3.4)
Universitas Indonesia
Dimana,
- IPh dinyatakan oleh persamaan (2.11)
- IS dinyatakan oleh persamaan (2.13) dan (2.14)
Dimana,
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kombinasi Saklar
ke- S1 Dioda S2 S3 S6 S7
1 1 0 1 0 0 0
2 1 0 1 0 0 1
3 1 0 1 0 1 0
4 1 0 1 0 1 1
5 1 0 0 1 0 0
6 1 0 0 1 0 1
7 1 0 0 1 1 0
8 1 0 0 1 1 1
9 0 1 1 0 0 0
10 0 1 1 0 0 1
11 0 1 1 0 1 0
12 0 1 1 0 1 1
13 0 1 0 1 0 0
14 0 1 0 1 0 1
15 0 1 0 1 1 0
16 0 1 0 1 1 1
17 1 1 1 0 0 0
18 1 1 1 0 0 1
19 1 1 1 0 1 0
20 1 1 1 0 1 1
21 1 1 0 1 0 0
22 1 1 0 1 0 1
23 1 1 0 1 1 0
24 1 1 0 1 1 1
25 0 0 1 0 0 0
26 0 0 1 0 0 1
27 0 0 1 0 1 0
28 0 0 1 0 1 1
29 0 0 0 1 0 0
30 0 0 0 1 0 1
31 0 0 0 1 1 0
32 0 0 0 1 1 1
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Mode 1
• 0= = 0
9V
=0
u
(3.9)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.10)
• s[ = 0
Nt
u
=0 (3.11)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.12)
Universitas Indonesia
R1 1
I&L1 − L L 0 0 0 0 0
IL1
0
& 1 1
0
V
− 1 1 V
PV
0 0 0 0 0
C1 V 0
PV
V&C2 C1
& 0 0 0 0 0 0 0 C2 0
IL2 = I +
I& 0 0 0 0 0 0 0 IL2 0 (3.13)
& 0 L3
0 I 0
L3
0 0 0 0 0
IL4 L4
I& 0 0 0 0 0 0 0 IPV E
PV 71
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 2
IL1
Ipv
+
R1 L1 IC2 R2
IC1
Vpv L3 IL3 AC
C1 C2
IL2 RY IL4
RX L2 RZ L4
Universitas Indonesia
• 0= = 0
9V
u
=0 (3.16)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.17)
+ ( + ¡ ). 0s[ + x[ .
Nt Nt
• −<N; − . 0s − x . u u
=0
− R1 1 0 0 0 0 0
I&L1 L1 L1 0
& − 1 0 1 IL1
VPV C
0 0 0 0
V 0
C1 PV
V&C2 01 0 0 0 0 0
0 VC2 0
& + 0
IL2 = 0 0 0 0 0 0 0 IL2
(3.20)
I& R2 + RY + RZ
&L3 0 0 0 0 − 0 0 IL3 VGRID/ A51
A51 I V / A
IL4 R2 + RY + RZ L4 GRID 61
I& 0 0 0 0 0 0 IPV E71
PV A61
0 D72 0 0 0 0 D77
Universitas Indonesia
Dimana,
A£v = x3 + x4
A¦v = −x3 − x4
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 3
Universitas Indonesia
• 0= = 0s
9V v
= 0
u = s
(3.23)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.26)
R1 1
− L L1
0 0 0 0 0
1
I&L1 1 1 I
L1
0
& − C 0 0 0 0 0
C1 0
VPV 1 1 VPV
V&C2 0 0 0 0 0 0 V 0
& C2 + 0
C2
IL2 = R2 + RX + RY IL2
0 I 0
1 (3.27)
I& 0 0 − − 0 0
&L3 B51 B51 L3
R2 + RX + RY I 0
IL4 1
0 I
L4
I& 0 0 − 0 − 0
PV B51 B51 PV E71
0 0 0 0 0 0 0
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
B£v = x2 + x3
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
Universitas Indonesia
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 4
• 0= = 0s
9V v
u
= = 0s (3.30)
t t t t
Nt .F3v3 S.9V 3 .9^mnª 3F<« L<« S.Nt 3(< L<¬ ).Nt 3< . .Nt /
=
t t t t
u t .t
•
(s Ls L )
(3.31)
t
t t t
Nt .3 .9V L9^mnª 3<« . .Nt 3(< L<¬ ).FvL S.Nt L< .Nt /
=
t t t
u t .t
•
(s Ls L )
(3.32)
t
Universitas Indonesia
t t t
Nt .39V 3FvL S.9^mnª 3<« .Nt L(< L<¬ ). .Nt 3F< L< S.Nt /
=
t t t
u t .t
•
(s Ls L )
(3.33)
t
− R1 1 0 0 0 0 0
L L
1 1 1
1
− 0 0 0 0 0 0
C1 C1 0
I&L1 0 0 0
1
0 0
0 IL1 0
& C2 L
VPV VPV − .V
3
V&C2
L L3 L3 L4 GRID
−1 − 3 − (RX + RX ) − RZ
& L4 L4 − (R2 + RY ) L4 VC2 (3.34)
IL2 = 0 0 0 I + C41
I&
C 41 C41 C41 C41 IL2 VGRID
L4 L4 L3
& L3
- L4 − RX − (R2 + RY )(1 + ) C51
IL4 L2 L2 L2 RZ IL4 L
I& 0 0 0 I − (1 + 2 ).VGRID
PV C51 C51 C51 C51 PV L3
L2 L2
(R2 + RY ) − (RZ + RZ ) C61
−1 − RX
0 L3 L3 E71
0 0
C61 C61 C61 C61
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
x . x[
C41 = x + x[ +
x
C£v = x[ + x +
s .s
s
x . x
C61 = x + x +
x[
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Universitas Indonesia
Mode 5
• 0= = 0
9V
u
=0 (3.37)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.38)
• s[ = 0
Nt
u
=0 (3.39)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.40)
Universitas Indonesia
R1 1
I L1 − L
&
L1
0 0 0 0 0
I L1
0
& 1 0
VPV − 1 1 V
0 0 0 0 0
C 1 V 0
PV
V&C 2 C1
& 0 0 0 0 0 0 0 C2 0 (3.41)
IL2 = I +
I& 0 0 0 0 0 0 0 I L2 0
&L 3 0 L3
0 0 0 0 0 0 I 0
IL4 L4
I& 0 0 0 0 0 0 0 I PV E
PV 71
0 D 72 0 0 0 0 D 77
Dimana,
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 6
Universitas Indonesia
• 0= = 0
9V
=0
u
(3.44)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.45)
+ ( + ¡ ). 0s[ + x[ .
Nt Nt
• −<N; − . 0s − x . u u
=0
Universitas Indonesia
R1 1
− 0 0 0 0 0
I&L1 L1 L1 0
& − 1 0 1 IL1
VPV C1
0 0 0 0 0
C1 VPV
V&C2 0 0 0 0 0 0 0 VC2 0
&
IL2 = 0 0 0 0 0 0 0 IL2 + 0 (3.48)
I& R2 +RY +RZ
&L3 0 0 0 0 − 0 0 IL3 VGRID / A51
A51 I
IL4 L4 VGRID / A61
I& 0 R2 +RY +RZ
0 0 0 0 0 IPV E71
PV A61
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
A£v = x3 + x4
A¦v = −x3 − x4
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 7
Universitas Indonesia
• 0= = −0s
9V v
u
= − = 0s (3.51)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.54)
Universitas Indonesia
R1 1
− L L 0 0 0 0 0
1 1
I&L1 1 1 I
L1
0
& − C 0 0 0 0 0
C1 0
V
VPV
PV 1
V&C2 0 1
0 0 − 0 0 0 V 0
& C2 + 0 (3.55)
C2
IL2 = R +R +R I
0 I 0
1 L2
I& 0 0 − 2 X Y 0 0
&L3 B51 B51 L 3
I R2 + RX + RY I 0
L4 1
0 I
L4
I& 0 0 0 − 0
PV B51 B51 PV E71
0 0 0 0 0 0 0
0 D72 0 0 0 0 D71
Dimana,
B£v = x2 + x3
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 8
Universitas Indonesia
• 0= = −0s
9V v
u
= − = 0s (3.58)
t t t t
.FvL S.9V 3 .9^mnª 3F<« L<« S.Nt 3(< L<¬ ).Nt 3< . .Nt /
=
Nt t t t t
t .t
u
•
(s Ls L )
(3.59)
t
t t t
. .9V L9^mnª 3<« . .Nt 3(< L<¬ ).FvL S.Nt L< .Nt /
=
Nt t t t
t .t
u
•
(s Ls L )
(3.60)
t
t t t
.9V 3FvL S.9^mnª 3<« .Nt L(< L<¬ ). .Nt 3F< L< S.Nt /
=
Nt t t t
t .t
u
•
(s Ls L )
(3.61)
t
Universitas Indonesia
− R1 1 0 0 0 0 0
L L
11 1 1
− 0 0 0 0 0 0
C1 C1 0
I&L1 0 0 0 −
1
0 0
0 IL1 0
&
C L
VPV V
− L .VGRID
2 3
V&C2 L L L PV
1+ 3
−(RX + RX )3
−RZ 3
VC2
4
& L4 L4 −(R2 + RY ) L4
C (3.62)
IL2 = 0 0 0 IL2 +
41
C41 C41 C41 C41 VGRID
I& I
& L L L 3
L3
L4 −RX 4 −(R2 + RY )(1 + 4 ) C51
I
L4 I L2
L2 L2 L2 RZ
−(1 + ).VGRID
L4
I& 0 0 C 0 I
PV
PV 51 C 51 C 51 C 51 L3
L2 L2
(R2 + RY ) −(RZ + RZ ) C61
− RX
0 0 1 L3 L3 E71
0
C61 C61 C61 C61
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
x . x[
C41 = x + x[ +
x
C£v = x[ + x +
s .s
s
x . x
C61 = x + x +
x[
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Universitas Indonesia
Mode 9
• 0= = 0sv
9V v
= 0
u = sv
(3.65)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.66)
• s[ = 0
Nt
u
=0 (3.67)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.68)
Universitas Indonesia
R1 1 1
− − 0 0 0 0
I&L1 L1 L1 L1
1
I L1 − .VD
& 1 1 L1
VPV − C 0 0 0 0 0 VPV 0
V&C 2 1 C1
& 1 VC 2 0 (3.69)
0 0 0 0 0 0 +
I L2 = C 2 I L2 0
I& 0 0 0 0 0 0 0 IL 3 0
&L 3
IL4 0 0 0 0 0 0 0 IL 4 0
I& 0
PV 0 0 0 0 0 0 I PV E
0 71
D 72 0 0 0 0 D77
Dimana,
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 10
Universitas Indonesia
= = 089 − = 0sv
9JK v v
u
(3.71)
` `
• 0= = 0sv
9V v
= 0
u = sv
(3.72)
• s = 0
=0
Nt
u
(3.73)
Universitas Indonesia
R1 1 1
− L L1
−
L1
0 0 0 0
I&L1 1 1
1 I L1 − .VD
1
& − 0 0 0 0 0 L1
VPV C1 C1 VPV 0
V&C2 1
& C 0 0 0 0 0 0 VC2 0 (3.76)
I L2 = 02 I + 0
I& 0 0 0 0 0 0 L2
&L3 0
R2 + RY + RZ I L3 VGRID / A51
0 0 0 − 0 0
I L4 A51 I L4
V / A
I& R2 + RY + RZ I PV GRID 61
PV 0 0 0 0 0 0
A61 E71
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
A£v = x3 + x4
A¦v = −x3 − x4
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 11
Universitas Indonesia
= = 089 − = 0sv
9JK v v
u
(3.78)
` `
• s = 0
=0
Nt
u
(3.82)
Universitas Indonesia
− R1 1 − 1 0 0 0 0
L L L
1 1 1
1 I 1
I&L1 1 L1 − L .VD
& − C 0 0 0 0 0
C1 V 1
V
PV 1
PV 0
V&C2 1 0 0
1
0 0 0 VC2 0
& C2 C2 +
(3.83)
IL2 =
1 R2 + RX + RY IL2 0
I& 0 0 − − 0 0 0 I
B B51 L3 0
&
L3
51
I
IL4 0 1 R2 + RX + RY
0 − 0 − 0 0 IL4 0
I& B B51 PV E
PV 51
71
0 0 0 0 0 0 0
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
B£v = x2 + x3
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 12
Universitas Indonesia
= = 089 − = 0sv
9JK v v
u
(3.85)
` `
t t t
.3 .9V L9^mnª 3<« . .Nt 3(< L<¬ ).FvL S.Nt L< .Nt /
=
Nt t t t
t .t
u
•
(s Ls L )
(3.88)
t
t t t
.39V 3FvL S.9^mnª 3<« .Nt L(< L<¬ ). .Nt 3F< L< S.Nt /
=
Nt t t t
t .t
u
•
(s Ls L )
(3.89)
t
Universitas Indonesia
− R1 1
−
1
0 0 0 0
L L1 L1
11 1 − 1 .V
− 0 0 0 0 0 L1
D
C1 C1
0
I&L1 1 0 0
1
0 0
0 IL1
& C C2 0
VPV 2 V L3
V&C2
L3 L3 L3 PV − .VGRID
−1− −(RX +RX ) −RZ
& L4 L4 −(R2 +RY ) L4 VC2 L4
IL2 = 0 0 0 I + C41 (3.90)
I&
C41 C41 C41 C41 L2 VGRID
&L3 L L IL3
- L4 −RX 4 −(R2 +RY )(1+ 4 ) IL4 C51
IL4 L2 L2 L2 RZ
I& 0 0 0 I −(1+ L2 ).V
PV C51 C51 C51 C51 PV L3
GRID
L2 L2
(R2 +RY ) −(RZ +RZ ) C61
0 −1 −RX L3 L3
0 0 E71
C61 C61 C61 C61
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
x . x[
C41 = x + x[ +
x
C£v = x[ + x +
s .s
s
x . x
C61 = x + x +
x[
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Universitas Indonesia
Mode 13
= 0 − 0
9JK v v
u =` 89 =` sv
(3.92)
• 0= = 0sv
9V v
= 0
u = sv
(3.93)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.94)
• s[ = 0
Nt
=0
u
(3.95)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.96)
Universitas Indonesia
R1 1 1
− − 0 0 0 0
I&L1 L1 L1 L1
1
I L1 − .VD
& 1 1 L
VPV − C 0 0 0 0 0 VPV 10
V&C 2 1 C1
& 1 VC 2 0
0 0 0 0 0 0 +
IL2 = C 2 I L2 0 (3.97)
I& 0 0 0 0 0 0 0 I L3 0
&L 3
IL4 0 0 0 0 0 0 0 I L4 0
I& 0
PV 0 0 0 0 0 0 I PV E
0 71
D 72 0 0 0 0 D 77
Dimana,
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 14
Universitas Indonesia
= = 089 − = 0sv
9JK v v
u
(3.99)
` `
• 0= = 0sv
9V v
= 0
u = sv
(3.100)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.101)
+ ( + ¡ ). 0s[ + x[ .
Nt Nt
• −<N; − . 0s − x . u u
=0
R1 1 1
− L L − L 0 0 0 0
I&L1 1 1
1 IL1 − .VD
1 1 1
& − 0 0 0 0 0 L1
VPV C1 C1 VPV 0
V&C2 1
& C 0 0 0 0 0 0 VC2 0
IL2 = 02 +
I& 0 0 0 0 0 0 IL2 0 (3.104)
R2 + RY + RZ IL3
& 0
L3
0 0 0 − 0 0 VGRID / A51
IL4 A51 IL4
I& R2 + RY + RZ IPV VGRID / A61
PV 0 0 0 0 0 0 E71
A61
0 D72 0 0 0 0 D77
Universitas Indonesia
Dimana,
A£v = x3 + x4
A¦v = −x3 − x4
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 15
Universitas Indonesia
9V v v
= 0 − 0
u = sv = s
(3.107)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.110)
R1 1 1
− L L1
−
L1
0 0 0 0
1 1 I 1
I&L1 1 L1 − L .VD
& − C 0 0 0 0 0
C1 1
VPV 1 1 1 VPV 0
V&C2 0 0 − 0 0 0 V 0
& C2 C2 C2
+
(3.111)
IL2 =
1 R2 + RX + RY IL2 0
I& 0 0 − 0 0 0 I
B51 B51 L3 0
&L3 I
I L4 0 1 R2 + RX + RY
I& 0 0 − 0 0 I L4 0
PV B51 B51 PV E
0 0 0 0 0 0 0 71
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
B£v = x2 + x3
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Universitas Indonesia
Mode 16
= 0 − 0
9JK v v
u =` 89 =` sv
(3.113)
t t t t
.FvL S.9V 3 .9^mnª 3F<« L<« S.Nt 3(< L<¬ ).Nt 3< . .Nt /
=
Nt t t t t
t .t
u
•
(s Ls L )
(3.115)
t
t t t
. .9V L9^mnª 3<« . .Nt 3(< L<¬ ).FvL S.Nt L< .Nt /
=
Nt t t t
t .t
u (s Ls L )
• (3.116)
t
t t t
.9V 3FvL S.9^mnª 3<« .Nt L(< L<¬ ). .Nt 3F< L< S.Nt /
=
Nt t t t
t .t
u (s Ls L )
• (3.117)
t
Universitas Indonesia
− R1 1 − 1 0 0 0 0
L L L1
11 1 1 − 1 .V
− 0 0 0 0 0 L1
D
C1 C1
0
I&L1 1 0 0 −
1
0 0
0 IL1
& C C2 0
V
PV 2 VPV L3
V&C2
L L3 L3 − .VGRID
1+ 3 −(RX + RX ) − RZ
& L4 L4 − (R2 + RY ) L4 VC2 L4
IL2 = 0 0 0 I + C41
I&
C41 C41 C41 C41 I
L2
VGRID (3.118)
& L3 L4 L4 L3
L4 −RX −(R2 + RY )(1 + ) IL4 C51
IL4 L2 L2 L2 RZ
I& 0 0 0 I −(1 + L2 ).V
PV C51 C51 C51 C51 PV L3
GRID
L2 L2
(R2 + RY ) −(RZ + RZ ) C61
1 −RX L3 L3
0 0 0 E71
C61 C61 C61 C61
0 D72 0 0 0 0 D77
x . x[
Dimana,
C41 = x + x[ +
x
C£v = x[ + x +
s .s
s
x . x
C61 = x + x +
x[
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Universitas Indonesia
Mode 17
• 0= = 0
9V
u
=0 (3.121)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.122)
• s[ = 0
Nt
=0
u
(3.123)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.124)
Universitas Indonesia
R1 1
0
I&L1 − L L1
0 0 0 0
I L1
0
& 1 0
VPV − 1 1 V
0 0 0 0 0
C1 V 0
PV
V&C 2 C1
& 0 0 0 0 0 0 0 C2 0
IL2 = I + (3.125)
I& 0 0 0 0 0 0 0 IL2 0
&L 3 0 L3
0 0 0 0 0 0 I 0
IL 4 L4
I& 0 0 0 0 0 0 0 I PV E
PV 71
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 18
Universitas Indonesia
• 0= = 0
9V
u
=0 (3.128)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.129)
+ ( + ¡ ). 0s[ + x[ .
Nt Nt
• −<N; − . 0s − x . u u
=0
Universitas Indonesia
R1 1
− L 0 0 0 0 0
IL1 1 L1
& 0
& − 1 1 IL1
VPV C1
0 0 0 0 0 0
C1 VPV
V&C2 0 0 0 0 0 0 0 VC2 0
& +
IL2 = 0 0 0 0 0 0 0 IL2
0 (3.132)
I& R2 + RY + RZ
&L3 0 0 0 0 − 0 0 L3
I VGRID / A51
A51 I V / A
IL 4 R2 + RY + RZ L4 GRID 61
I& 0 0 0 0 0 0 IPV E71
PV A61
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
A£v = x3 + x4
A¦v = −x3 − x4
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 19
Universitas Indonesia
• 0= = 0
9V
u
=0 (3.135)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.138)
Universitas Indonesia
Dimana,
B£v = x2 + x3
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 20
Universitas Indonesia
• 0= = 0
9V
u
=0 (3.142)
t t t t
Nt .FvL S.9ª 3 .9^mnª 3F<« L<« S.Nt 3(< L<¬ ).Nt 3< . .Nt /
=
t t t t
u t .t
•
(s Ls L )
(3.143)
t
t t t
. .9ª L9^mnª 3<« . .Nt 3(< L<¬ ).FvL S.Nt L< .Nt /
=
Nt t t t
t .t
u (s Ls L )
• (3.144)
t
t t t
.9ª 3FvL S.9^mnª 3<« .Nt L(< L<¬ ). .Nt 3F< L< S.Nt /
=
Nt t t t
t .t
u (s Ls L )
• (3.145)
t
− R1 1 0 0 0 0 0
L L 0
11 1 1 0
− 0 0 0 0 0
I&L1 C1 C1 0
& 0 0 0 0 0 0 0 IL1 L3 L3
VPV L3 L3 V 1 + .VD − .VGRID
−(RX +RX ) −RZ PV L4 L4
V&C2 L4 −(R2 + RY ) L4
& 0 0 0 C2
0 V C41 (3.146)
IL2 = C41 C41 C41 I + L
I& L4 L4 L2 4 L .VD +VGRID
&L3
−RX −(R2 +RY )(1 + ) IL3 2
L2 L2 RZ
IL4 0 0 0 0 IL4 C51
I& C51 C51 C51 I L
PV VD −(1 + ).VGRID
2
PV L2 L2 L3
(R2 +RY ) −(RZ +RZ )
0 0 −RX L3 L3 C61
0 0
C61 C61 C61 E
0 D
D77
71
72 0 0 0 0
Universitas Indonesia
Dimana,
x . x[
C41 = x + x[ +
x
C£v = x[ + x +
s .s
s
x . x
C61 = x + x +
x[
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 21
Universitas Indonesia
• 0= = 0
9V
u
=0 (3.149)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.150)
• s[ = 0
Nt
=0
u
(3.151)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.152)
R1 1
0
I&L1 − L L1
0 0 0 0
I L1
0
& 1 0
VPV − 1 1 V
0 0 0 0 0
C1 V 0
PV
V&C 2 C1
& 0 0 0 0 0 0 0 C2 0
IL2 = I + (3.153)
I& 0 0 0 0 0 0 0 IL2 0
&L 3 0 L3
0 0 0 0 0 0 I 0
IL 4 L4
I& 0 0 0 0 0 0 0 I PV E
PV 71
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Universitas Indonesia
Mode 22
• 0= = 0
9V
u
=0 (3.156)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.157)
+ ( + ¡ ). 0s[ + x[ .
Nt Nt
• −<N; − . 0s − x . u u
=0
Universitas Indonesia
R1 1
− 0 0 0 0 0
I&L1 L1 L1 0
& − 1 0 1 IL1
VPV C1
0 0 0 0 V 0
C1 PV
V&C2 0 0 0 0 0 0
0 VC2 0
& + 0 (3.160)
IL2 = 0 0 0 0 0 0 0 IL2
I& R2 + RY + RZ I V / A
&L3 0 0 0 0 − 0 0 L3 GRID 51
I A51 I V / A
L4 R2 + RY + RZ L4 GRID 61
I& 0 0 0 0 0 0 IPV E71
PV A61
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
A£v = x3 + x4
A¦v = −x3 − x4
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Universitas Indonesia
Mode 23
• 0= = 0
9V
=0
u
(3.163)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.166)
Universitas Indonesia
R1 1
− L L 0 0 0 0 0
IL1 1
& 0
1 IL1
1
& − 1 0 0 0 0 0 0
VPV C1 C1 VPV
V&C2 0 0 0 0 0 0
0 VC2 0
& R2 + RX + RY + − V /B
=
IL2 0 0 0 − 0 0 0 IL2 D 51 (3.167)
I& B51 IL3 − VD /B51
&L3 R2 + RX + RY
IL4 0 0 0 0 − 0 0 IL4 0
B51
I&
0 PV E71
I
PV 0 0 0 0 0 0
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
B£v = x2 + x3
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Universitas Indonesia
Mode 24
• 0= = 0
9V
=0
u
(3.170)
t t t t
.F3v3 S.9ª 3 .9^mnª 3F<« L<« S.Nt 3(< L<¬ ).Nt 3< . .Nt /
=
Nt t t t t
t .t
u
•
(s Ls L )
(3.171)
t
t t t
.3 .9ª L9^mnª 3<« . .Nt 3(< L<¬ ).FvL S.Nt L< .Nt /
=
Nt t t t
t .t
u (s Ls L )
• (3.172)
t
t t t
.39ª 3FvL S.9^mnª 3<« .Nt L(< L<¬ ). .Nt 3F< L< S.Nt /
=
Nt t t t
t .t
u (s Ls L )
• (3.173)
t
Universitas Indonesia
− R1 1 0 0 0 0 0
L L 0
11 1 1 0
− 0 0 0 0 0
IL1 C1
& C1 0
& 0 0 0 0 0 0 0 IL1 L3 L3
VPV L3 L3 V −1− .VD − .VGRID
−(RX +RX ) −RZ PV L4 L4
V&C2 L4 −(R2 +RY ) L4
& 0 0 0 0 VC2 C41
IL2 = C41 C41 C41 I + (3.174)
I& L4 L4 L2 −L4 L .VD +VGRID
&L3
−RX −(R2 +RY )(1+ ) IL3 2
L2 L2 RZ
IL4 0 0 0
0 L4 I C 51
I& C51 C51 C51 I L
PV −VD −(1+ ).VGRID
2
PV L2 L2 L3
(R2 +RY ) −(RZ +RZ )
0 0 −RX L3 L3 C
0 0 61
C61 C61 C61 E
0 D
D71
71
72 0 0 0 0
Dimana,
x . x[
C41 = x + x[ +
x
C£v = x[ + x +
s .s
s
x . x
C61 = x + x +
x[
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Universitas Indonesia
Mode 25
• sv = 0
Nt`
=0
u
(3.175)
• 0=v = 089
9JK v
= 0
u =` 89
(3.176)
• 0= = 0
9V
=0
u
(3.177)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.178)
• s[ = 0
Nt
=0
u
(3.179)
• s = 0
Nt
u
=0 (3.180)
Universitas Indonesia
mode kombinasi yang keduapuluhlima ini dapat ditulis dalam bentuk matriks
ruang keadaan seperti pada persamaan (3.181) berikut ini.
I&L1 0 0 0 0 0 0 0 I 0
& 0 0 1 L1
VPV 0
0 0 0 0
VPV C1
V&C2 0 0 0 0 0 0 0 0
& VC2
I L2 + 0
(3.181)
IL2 = 0 0 0 0 0 0 0
I& 0 0 IL3 0
&L3
0 0 0 0 0
IL4 0 0 0 0 0 0 0 IL4 0
I& I
PV 0 D72 0 0 0 0 D77 PV E71
Dimana,
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 26
Universitas Indonesia
• sv = 0
Nt`
u
=0 (3.182)
• 0=v = 089
9JK v
= 0
u =` 89
(3.183)
• 0= = 0
9V
u
=0 (3.184)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.185)
+ ( + ¡ ). 0s[ + x[ .
Nt Nt
• −<N; − . 0s − x . u u
=0
0 0 0 0 0 0 0
I&L1 1 IL1 0
& 0 0 0 0 0 0
C1 0
VPV 0 0 0 0 0 0 0 VPV
V&C2 V 0
& 0 0 0 0 0 0 0 C2
I L2 = R2 + RY + RZ I L2 + 0 (3.188)
I& 0 0 0 0 − 0 0 I
&L3 A51 L3 VGRID / A51
R2 + RY + RZ
IL4 0 0 0 0 0
I V /A
0 L4 GRID 61
I& A61 IPV E71
PV 0 D 0 0 0 0 D77
72
Universitas Indonesia
Dimana,
A£v = x[ + x
A¦v = −x[ − x
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Ev = 08: − 0 ( − 1)
*(89°Eo ) + 089° . +
M = exp _ b
. . =
Mode 27
• sv = 0
=0
Nt`
u
(3.189)
• 0=v = 089
9JK v
= 0
u =` 89
(3.190)
Universitas Indonesia
• 0= = 0s
9V v
= 0
u = s
(3.191)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.194)
0 0 0 0 0 0 0
1
I&L1 0 0 0 0 0 0
C1 IL1 0
& 0
VPV 0 0 0
1
0 0 0 VPV
V&C2 C2 VC 2 0
& 1 R2 + RX + RY (3.195)
IL2 = 0 0 − − 0 0 0 I L2 + 0
I& B51 B51
I L3 0
&L3 1 R2 + R X + RY
I L4 0 0 − B 0 − 0 0 I L4 0
B51
I&
0 PV E71
51 I
PV 0 0 0 0 0 0
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
B£v = x + x[
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Ev = 08: − 0 ( − 1)
Universitas Indonesia
*(89°Eo ) + 089° . +
M = exp _ b
. . =
Mode 28
• sv = 0
=0
Nt`
u
(3.196)
• 0=v = 089
9JK v
u
= = 089 (3.197)
`
• 0= = 0s
9V v
= = 0s
u
(3.198)
t t t t
.F3v3 S.9V 3 .9^mnª 3F<« L<« S.Nt 3(< L<¬ ).Nt 3< . .Nt /
=
Nt t t t t
t .t
u
•
(s Ls L )
(3.199)
t
t t t
.3 .9V L9^mnª 3<« . .Nt 3(< L<¬ ).FvL S.Nt L< .Nt /
=
Nt t t t
t .t
u (s Ls L )
• (3.200)
t
t t t
.39V 3FvL S.9^mnª 3<« .Nt L(< L<¬ ). .Nt 3F< L< S.Nt /
=
Nt t t t
t .t
u (s Ls L )
• (3.201)
t
Universitas Indonesia
0 0 0 0 0 0 0
0 1
0 0 0 0 0 0
C1
0
1
I&L1 0 0 0 0 0 0
&
C2 IL1 0
L
VPV −1−
L3 L
−(RX +RX 3 ) −RZ 3
L V − .V
3
PV L4 GRID
V&C2 L4 L4 −(R2 +RY ) L4
& 0 0 0 VC2 (3.202)
IL2 = C41 C41 C41 C41 I + C41
V
I& L2
L L GRID
- L4 −RX 4 −(R2 +RY )(1+ 4 ) IL3
&L3 L2 L2 L2 RZ
C51
IL4 0 0
0 IL4 L
I& C51 C51 C51 C51 I −(1+ 2 ).VGRID
PV L L PV L3
(R2 +RY ) 2 −(RZ +RZ 2 )
−1 −RX L3 L3 C61
0 0 0
C61 C61 C61 C61 E71
0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
x . x[
Cv = x + x[ +
x
s .s
C£v = x[ + x +
s
x . x
C¦v = x + x +
x[
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Ev = 08: − 0 ( − 1)
*(89°Eo ) + 089° . +
M = exp _ b
. . =
Universitas Indonesia
Mode 29
• sv = 0
=0
Nt`
u
(3.203)
• 0=v = 089
9JK v
= 0
u =` 89
(3.204)
• 0= = 0
9V
=0
u
(3.205)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.206)
• s[ = 0
Nt
=0
u
(3.207)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.208)
Universitas Indonesia
I&L1 0 0 0 0 0 0 0 0
& 0 0 1 I L1
VPV
0 0 0 0 0
C1 VPV
V&C 2 0 0 0 0 0 0 0 VC 2 0
&
I L 2 = 0 0 0 0 0 0 0 IL2 + 0 (3.209)
I& 0 0
0 0 0 0 0 I L 3 0
&L 3
I L 4 0 0 0 0 0 0 0 IL4 0
I& I
PV 0 D72 0 0 0 0 D77 PV E 71
Dimana,
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Mode 30
Universitas Indonesia
• sv = 0
=0
Nt`
u
(3.210)
• 0=v = 089
9JK v
= 0
u =` 89
(3.211)
• 0= = 0
9V
=0
u
(3.212)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.213)
+ ( + ¡ ). 0s[ + x[ .
Nt Nt
• −<N; − . 0s − x . u u
=0
Universitas Indonesia
0 0 0 0 0 0 0
I&L1 1 I
L1
0
& 0 0 0 0 0 0
C1 0
VPV V
V&C2 0 0 0 0 0 0 0 PV
V 0
& 0 0 0 0 0 0 0 C2
IL2 = R2 + RY + RZ I + 0
I& 0 0 0 0 − 0 0 IL2 (3.216)
&L3 A51 L3 VGRID/ A51
R2 + RY + RZ
IL4 0 0 0 0 0
0
IL4 VGRID/ A61
I& A61 IPV E71
PV 0 D72 0 0 0 0 D77
Dimana,
A£v = x[ + x
A¦v = −x[ − x
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Ev = 08: − 0 ( − 1)
*(89°Eo ) + 089° . +
M = exp _ b
. . =
Mode 31
Universitas Indonesia
• sv = 0
=0
Nt`
u
(3.217)
• 0=v = 089
9JK v
= 0
u =` 89
(3.218)
• 0= = −0s
9V v
=− 0
u = s
(3.219)
• s = 0
Nt
=0
u
(3.222)
0 0 0 0 0 0 0
1
I&L1 0 0 0 0 0 0
C1 IL1 0
& 0
VPV 0 0 0
1
− 0 0 0 VPV
V&C2 C2 VC2 0
& 1 R2 + RX + RY
IL2 = 0 0 − 0 0 0 I L2 + 0 (3.223)
I& B51 B51
IL3 0
&L3 R2 + R X + RY
0 IL4 0
1
IL4 0 0 B 0 − 0
B51
I&
0 PV E71
51 I
PV 0 0 0 0 0 0
0 D72 0 0 0 0 D77
Universitas Indonesia
Dimana,
B£v = x + x[
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Ev = 08: − 0 ( − 1)
*(89°Eo ) + 089° . +
M = exp _ b
. . =
Mode 32
• sv = 0
Nt`
=0
u
(3.224)
• 0=v = 089
9JK v
u
= = 089 (3.225)
`
• 0= = −0s
Universitas Indonesia
9V v
=− 0
u = s
(3.226)
t t t t
.FvL S.9V 3 .9^mnª 3F<« L<« S.Nt 3(< L<¬ ).Nt 3< . .Nt /
=
Nt t t t t
t .t
u
•
(s Ls L )
(3.227)
t
t t t
. .9V L9^mnª 3<« . .Nt 3(< L<¬ ).FvL S.Nt L< .Nt /
=
Nt t t t
t .t
u (s Ls L )
• (3.228)
t
t t t
.9V 3FvL S.9^mnª 3<« .Nt L(< L<¬ ). .Nt 3F< L< S.Nt /
=
Nt t t t
t .t
u (s Ls L )
• (3.229)
t
0 0 0 0 0 0 0
0 0 1
0 0 0 0 0
C1
0
1
0 0 0 − 0 0 0
I&L1 C2 L1
I 0
& L L3 L3 − L3 .V
VPV 1+ 3 −(RX + RX ) −RZ VPV L4 GRID
V&C2 L4 L4 −(R2 +RY ) L4
& 0 0 0 VC2
(3.230)
C41 C41 C41 C41 + C
IL2 =
41
L L I
L2 V
I& L4 −RX 4 −(R2 +RY )(1 + 4 ) IL3
GRID
&L3 L2 L2 L2 RZ C
0 IL4
51
IL4 0 0 L
I −(1 + ).VGRID
2
I& C51 C51 C51 C51
PV PV L3
L L
(R2 +RY ) 2 −(RZ +RZ 2 )
1 −RX L3 L3 C 61
0 0 0 E71
C61 C61 C61 C61
0 D72 0 0 0 0 D77
x . x[
Dimana,
Cv = x + x[ +
x
s .s
C£v = x[ + x + s
Universitas Indonesia
x . x
C¦v = x + x +
x[
1 0 . .
D72 = − −
o . : . o . . . 7 .
1 0 . . .
D = − − −
: . . . = .
Ev = 08: − 0 ( − 1)
*(89°Eo ) + 089° . +
M = exp _ b
. . =
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 3.44 Grafik VPV dan VPV Referensi dari Metode ICM
Universitas Indonesia
Gambar 3.45 Grafik VPV pada Suhu Konstan dan Variasi Irradiance
Gambar 3.46 Grafik IPV pada Suhu Konstan dan Variasi Irradiance
Pada Gambar 3.45 dan 3.46 diatas nampak bahwa ketika t<2s dan
irradiance bernilai 1000 Watt/m2, tegangan optimal sel surya adalah
261 Volt dengan arus yang dihasilkan sebesar 3.17 Ampere.
Sedangkan ketika irradiance bernilai 800 Watt/m2, tegangan optimal
sel surya adalah 265 Volt dengan arus yang dihasilkan sebesar 2.54
Ampere. Ketika irradiance naik menjadi 1200 Watt/m2, tegangan
optimal sel surya menjadi 256.75 Volt dengan arus yang dihasilkan
sebesar 3.8 Ampere.
Universitas Indonesia
Gambar 3.47 Grafik PPV pada Suhu Konstan dan Variasi Irradiance
Melalui Gambar 3.47 nampak bahwa nilai daya keluaran sel surya
juga berubah-ubah terhadap adanya variasi nilai irradiance. Ketika
nilai irradiance pada 1000 Watt/m2 maka daya keluaran sel surya
berada pada nilai 827.37 Watt. Saat nilai irradiance turun menjadi 800
Watt/m2 maka daya keluaran sel surya berada pada nilai 673.1 Watt
dan ketika nilai irradiance naik menjadi 1200 Watt/m2 dihasilkan
daya keluaran sel surya menjadi 975.65 Watt.
Dari uji simulasi yang dipaparkan pada bagian sub-sub-bab 3.5.3 ini
dapat simpulkan bahwa metode ICM dapat berfungsi sebagai algoritma
MPPT, karena telah mampu menemukan titik kerja optimal dari sel surya
pada suatu kondisi lingkungan yang konstan maupun yang mengalami
perubahan. Metode ICM ini mampu memberikan nilai titik kerja optimal
tegangan sel surya (VPV Referensi) baru yang sesuai dengan keadaan
lingkungan.
Model kontrol pengendali I-P yang dibangun juga telah dapat
memberikan hasil yang baik. Pengendali I-P ini dapat mengoreksi adanya
perbedaan nilai antara VPV dengan VPV Referensi, sehingga pada akhirnya
akan dapat diperoleh nilai VPV yang menyamai dengan nilai VPV Referensi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada Bab 3 telah dijelaskan mengenai rancangan dan model kendali dari
sistem grid-connected inverter untuk penerapan pada sel surya. Model sel surya
juga telah dibangun beserta dengan algoritma MPPT metode ICM, pada Bab 3
juga telah dilakukan uji simulasi bahwa algoritma MPPT dengan metode ICM
telah berhasil menentukan titik kerja tegangan sel surya yang optimal.
Maka pembahasan selanjutnya adalah analisis dan simulasi dari sistem grid-
connected inverter untuk penerapan pada pembangkit listrik tenaga surya. Pada
Bab 4 ini akan dilakukan simulasi dari : rangkaian grid-connected inverter hanya
dengan menggunakan algoritma MPPT ; rangkaian grid-connected inverter
dengan menggunakan algoritma MPPT, algoritma PLL dan current control ;
rangkaian grid-connected inverter hanya dengan menggunakan algoritma PLL dan
current control.
113
Universitas Indonesia
Grid connected ..., Mario Reinzini, FT UI, 2012
114
Universitas Indonesia
Tabel 4.1 Letak Pole Sistem pada Titik Kerja Sel Surya
VPV = 261.1 Volt dan IPV = 3.168 Ampere
Universitas Indonesia
116
Universitas Indonesia
117
Tabel 4.1 diatas menunjukkan letak pole dari tiap kombinasi sistem
ketika sel surya dalam keadaan optimal (VPV = 261.1 Volt dan IPV = 3.168
Ampere), nampak bahwa untuk setiap kombinasi letak pole berada pada
daerah kiri (left half plane, LHP) yang menunjukkan bahwa sistem berada
pada kondisi stabil. Namun perlu menjadi perhatian bahwa walaupun nilai
pole secara mayoritas berada pada LHP tetap ada nilai pole yang berada pada
origin, yakni yang bernilai 0. Adanya pole yang berada pada origin tentu
akan menambah jumlah orde sistem (tipe sistem), yang juga akan
memberikan nilai steady-state error yang lebih baik. Dari nilai-nilai pada
Tabel 4.1 diatas, kini akan digambarkan letk-letak pole sistemnya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
algoritma MPPT dengan metode ICM, blok pengendali I-P dan blok
pembentukkan sinyal PWM.
Metode kendali untuk sinyal saklar 1 dilakukan dengan menggunakan
blok algoritma MPPT, blok pengendali I-P dan blok pembangkit pulsa PWM.
Sedangkan metode kendali inverter (untuk sinyal saklar 2 hingga sinyal saklar
5) dilakukan dengan menggunakan referensi berupa gelombang sinusoidal,
belum digunakannya algoritma PLL dan current control.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada simulasi di bagian sub-bab ini akan dilihat bagaimana kerja dari
sistem grid-connected inverter ketika hanya sel surya yang menyuplai ke
beban (detik ke-2.5) dan ketika sel surya bersamaan dengan grid menyuplai
beban (grid-connected, terjadi pada detik ke-3.5).
300
250
Tegangan [Volt]
200
150
100
50
0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5
-50
Waktu [detik]
Gambar 4.4 Tegangan Sel Surya Versus Tegangan Referensi ICM pada
Simulasi dengan Algoritma MPPT
Universitas Indonesia
300 7
250 6
Tegangan [Volt]
Arus [Ampere]
200 5
150 4
100 3
50 2
0 1
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5
-50 0
Waktu [detik]
Universitas Indonesia
Gambar 4.5 diatas menunjukkan grafik tegangan sel surya (VPV, bewarna
biru), grafik tegangan DC Link atau tegangan pada kapasitor C2 (VDC Link
atau VC2, bewarna merah) dan grafik arus keluaran sel surya (IPV, bewarna
hijau).
Tampak pada gambar bahwa tegangan sel surya awalnya mengalami
osilasi (sebelum detik 0.5), hal ini menunjukkan bahwa terjadinya pencarian
nilai tegangan sel surya optimal melalui algoritma MPPT yang diterapkan.
Setelah 1.2 detik, barulah tegangan sel surya berosilasi disekitar titik kerja
optimal sel surya, bersesuaian dengan nilai tegangan sel surya referensi yang
diberikan oleh blok algoritma MPPT. Osilasi tegangan sel surya ini terjadi
karena adanya penambahan maupun pengurangan dari nilai tegangan sel
surya yang konstan pada algoritma MPPT.
• Sebelum detik ke-2.5 : tegangan sel surya dibantu dengan algoritma
MPPT mencari titik kerja optimal dari sel surya, yang akhirnya nilai
VPV mencapai dan berada tetap pada suatu nilai yaitu di sekitar 260.5
Volt. Jika dibandingkan dengan nilai titik kerja optimal sel surya pada
kondisi pengujian standar, ditunjukkan oleh Gambar 3.45, yang
berada pada nilai 261 Volt maka nampak bahwa blok algoritma MPPT
telah berhasil mencari titik kerja optimal dan membuat sel surya
bekerja pada titik kerja optimal tersebut.
Disamping itu, nilai keluaran tegangan dari rangkaian boost converter
juga nampak mencapai 320 Volt sesaat setelah nilai tegangan sel surya
telah mencapai nilai 260.5 Volt. Nilai tegangan kapasitor C2 (V_C2)
ini lebih besar dibanding dengan tegangan masukan dari rangkaian
boost converter, yakni tegangan sel surya. Dalam teori elektronika
daya, rangkaian boost converter digunakan untuk meningkatkan
tegangan keluarannya relatif terhadap tegangan masukannya. Adanya
peningkatan nilai dari tegangan keluaran ini tentu juga dipengaruhi
oleh besarnya nilai kapasitansi kapasitor C2, nilai duty cycle dan
besarnya tegangan masukan rangkaian boost converter.
Sedangkan nilai arus keluaran sel surya akan mengikuti
karakteristiknya bersesuaian dengan nilai VPV.
Universitas Indonesia
Jika ditinjau dari nilai daya yang disuplai oleh modul sel surya, maka
melalui Gambar 4.5 berikut akan ditampilkan nilai daya keluaran dari sel
surya.
Universitas Indonesia
Ppv
Daya Keluaran Sel Surya [Watt] 900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5
Waktu [detik]
Dari Gambar 4.6 nampak bahwa nilai daya keluaran yang disuplai oleh
sel surya bersesuaian dengan karakteristik sel surya yang sebelumnya telah
dibahas pada sub-sub-bab 3.3.1 dan dapat mencapai rating daya disekitar nilai
827 Watt. Hal ini menunjukkan bahwa modul sel surya yang digunakan pada
simulasi ini telah dapat memberikan suplai daya yang sesuai dengan
karakterisitik dari modul sel surya itu sendiri. Awalnya daya keluaran sel
surya mengalami osilasi dan terus meningkat, hal ini terjadi karena melalui
algoritma MPPT nilai titik kerja sel surya masih dalam tahap pencarian.
Ketika nilai titik kerja optimal sel surya ditemukan maka nilai daya keluaran
sel surya cenderung konstan disekitar nilai 827 Watt. Pada detik ke-3.5 daya
keluaran sel surya menurun hingga 650 Watt, hal ini terjadi karena adanya
penurunan pada nilai tegangan sel surya (nampak pada Gambar 4.4); dimana
penurunan tegangan sel surya ini terjadi sebagai imbas dari grid-connected.
Selanjutnya melalui Gambar 4.7, 4.8 dan 4.9 berikut ini akan ditampilkan
grafik tegangan yang disuplai dari modul sel surya ke beban (V_Beban, lihat
kembali Gambar 3.1) dan nilai arus yang disuplai ke beban (I_L2, lihat
Universitas Indonesia
kembali Gambar 3.1). Idealnya, nilai arus dan tegangan ini adalah sefasa
sehingga menghasilkan suplai daya ke beban yang maksimal.
80
Arus [Ampere]
100
40
0 0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 -40
-100
-80
-120
-200
-160
-300 -200
Waktu [detik]
200 4
Tegangan [Volt]
Arus [Ampere]
100 2
0 0
2,45 2,55 2,65 2,75 2,85 2,95
-100 -2
-200 -4
-300 -6
Waktu [detik]
Universitas Indonesia
40
Arus [Ampere]
100
20
0 0
3,45 3,55 3,65 3,75 3,85 3,95 -20
-100
-40
-60
-200
-80
-300 -100
Waktu [detik]
Universitas Indonesia
suplai dari grid tidak sepenuhnya menyuplai beban, tapi juga akan melalui
induktor L2.
Nilai impedansi beban (R2, RY dan L3) lebih besar apabila dibandingkan
dengan nilai impedansi induktor L2 (L2 dan RX), dimana nilai impedansi
beban bernilai 101.42 Ohm sedangkan impedansi induktor L2 bernilai 10
Ohm. Hal ini tentu akan membuat nilai arus suplai dari grid akan lebih
banyak melewat impedansi induktor L2 dibandingkan dengan nilai arus yang
melewati impedansi beban induktor L3.
Setelah detik ke-3.5 juga nampak bahwa nilai tegangan dan arus yang
disuplai menjadi lebih besar relatif terhadap nilai yang disuplai ketika detik
ke-2.5, hal ini dikarenakan setelah detik ke-3.5 terdapat dua sumber yang
digunakan untuk memberikan suplai ke beban. Adanya nilai arus dan
tegangan yang tidak sefasa ini muncul karena tidak digunakannya metode
kendali algoritma PLL dan current control. Algoritma PLL digunakan untuk
dapat mendeteksi besarnya nilai amplitudo, frekuensi dan sudut fasa dari
sinyal tegangan grid, yang kemudian ketiga parameter ini digunakan dalam
algoritma current control untuk dapat menghasilkan sinyal arus yang sinkron
dengan sinyal tegangannya.
Tentunya sistem grid-connected inverter yang ingin dibangun adalah
sistem grid-connected yang menghasilkan arus dan tegangan suplai yang
sinkron dengan suplai dari grid, sehingga modul sel surya dapat memberikan
suplai daya yang maksimal ke beban.
Universitas Indonesia
200 4
Tegangan [Volt]
Arus [Ampere]
100 2
0 0
3 3,25 3,5 3,75 4
-100 -2
-200 -4
-300 -6
Waktu [detik]
Gambar 4.10 diatas menunjukkan grafik tegangan dan arus yang terukur
pada beban pada cuplikan detik ke-3 hingga detik ke-4. Sebelum detik ke-3
suplai tegangan dan arus diperoleh dari modul sel surya, sedangkan setelah
detik ke-3.5 suplai tegangan dan arus diperoleh dari modul sel surya dan
jaringan listik. Saat suplai diperoleh dari modul sel surya, nilai tegangan
beban mencapai nilai 200 Volt dan arus sebesar 2 Ampere; sedangkan saat
grid-connected nilai tegangan beban mencapai nilai 220 Volt dan 2.2
Ampere. Tentunya setelah detik ke-3.5 nilai tegangan dan arus pada beban
akan menjadi lebih tinggi karena mendapat suplai dari dua sumber, yakni sel
surya dan grid.
Universitas Indonesia
menentukan titik kerja optimal dari sel surya. Algoritma PLL dan current
control akan mengatur sinyal kendali saklar 2 hingga saklar 5; dalam
fungsinya untuk menghasilkan sinyal tegangan yang perlu disuplai ke beban
sehingga menghasilkan sinyal arus yang sefasa dengan sinyal tegangannya.
Adapun rancangan simulasi yang dilakukan pada sub-bab ini ditunjukkan
melalui gambar berikut ini.
Universitas Indonesia
500
400
300
200
100
0
-100 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7 7,5 8
-200
-300
-400
Waktu [detik]
Gambar 4.12 Tegangan Sel Surya versus Tegangan Referensi ICM pada
Simulasi dengan Algoritma MPPT, PLL dan current control
Universitas Indonesia
Gambar 4.13 Nilai Duty Cycle pada Simulasi dengan Algoritma MPPT, PLL
dan current control
Universitas Indonesia
Arus [Ampere]
500 3
400 2,5
300
200 2
100 1,5
0
-100 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7 7,5 8 1
-200
0,5
-300
-400 0
Waktu [detik]
Universitas Indonesia
200 100
Tegangan [Volt]
Arus [Ampere]
100 50
0 0
2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7 7,5 8
-100 -50
-200 -100
-300 -150
Waktu [detik]
200 4
Tegangan [Volt]
Arus [Ampere]
100 2
0 0
2,45 2,55 2,65 2,75 2,85 2,95
-100 -2
-200 -4
-300 -6
Waktu [detik]
Universitas Indonesia
200 100
Tegangan [Volt]
Arus [Ampere]
100 50
0 0
3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7 7,5 8
-100 -50
-200 -100
-300 -150
Waktu [detik]
Gambar 4.15, 4.16 dan 4.17 menunjukkan besarnya arus yang disuplai ke
beban dan besarnya tegangan pada beban. Sebelum detik ke-2.5, saklar 6 dan
saklar 7 masih berada dalam keadaan OFF sehingga tidak ada nilai arus dan
tegangan yang terukur. Saat detik ke-2.5, maka saklar 6 berada dalam
keadaan ON yakni sel surya memberikan suplai ke beban. Gambar 4.16
(perbesaran 1) menunjukkan adanya besaran arus dan tegangan yang disuplai
adalah sefasa, sehingga memberikan suplai daya yang maksimal. Saat detik
ke-3.5, saklar 7 berada dalam keadaan ON sehingga sistem dalam keadaan
grid-connected; dalam keadaan ini arus dan tegangan yang disuplai nampak
pada Gambar 4.17 (perbesaran 2).
Besarnya arus yang disuplai oleh sel surya dengan besarnya tegangan
yang terukur pada beban menunjukkan adanya hasil yang tidak maksimal,
yakni tidak tercapainya suplai daya yang maksimal ketika dalam keadaan
grid-connected. Arus induktor L2 juga menunjukkan keanehan, seharusnya
nilai arus induktor L2 merupakan sinyal AC.
Universitas Indonesia
200 4
Tegangan [Volt]
Arus [Ampere]
100 2
0 0
2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7 7,5 8
-100 -2
-200 -4
-300 -6
Waktu [detik]
250 4
150
Tegangan [Volt]
Arus [Ampere]
2
50
0
-50 2,5 2,625 2,75 2,875 3
-2
-150
-250 -4
-350 -6
Waktu [detik]
Universitas Indonesia
200 4
Tegangan [Volt]
Arus [Ampere]
100 2
0 0
7,75 7,875 8
-100 -2
-200 -4
-300 -6
Waktu [detik]
Melalui Gambar 4.18, 4.19 dan 4.20 diatas, ditunjukkan besarnya arus
dan tegangan yang terukur pada beban. Gambar 4.18 menggambarkan
besarnya arus dan tegangan pada beban mulai dari awal simulasi hingga akhir
simulasi, di detik ke-8. Tampak bahwa sebelum detik ke-2.5 tidak adanya
nilai arus dan tegangan yang terukur, hal ini dikarenakan saklar 6 dan 7 masih
dalam keadaan OFF. Setelah detik ke-2.5, saklar 6 dalam keadaan ON, maka
besarnya arus dan tegangan pada beban ditunjukkan oleh Gambar 4.19
(perbesaran dari Gambar 4.18), arus yang mengalir mencapai nilai 2 Ampere
dan tegangan beban sebesar 210 Volt. Pada detik ke-3.5, saklar 7 dalam
keadaan ON, sistem kini dalam keadaan grid-connected sehingga besarnya
arus dan tegangan pada beban juga meningkat sebagai imbas digunakannya
dua sumber. Gambar 4.20 menunjukkan besarnya arus mencapai 2.2 Ampere
dan tegangan beban berada pada nilai 220 Volt.
Melalui simulasi pada sub-bab 4.3 ini penulis menyadari bahwa
diperlukannya suatu metode kendali yang dapat melakukan pengaturan naik
turunnya nilai arus sel surya referensi pada algoritma current control
berdasarkan nilai tegangan yang terukur pada kapasitor C2 (VDC Link).
Universitas Indonesia
Pada simulasi di bagian sub-bab ini akan juga akan dilihat bagaimana
kerja dari sistem grid-connected inverter ketika hanya sel surya yang
menyuplai ke beban (detik ke-0.7) dan ketika sel surya bersamaan dengan
grid menyuplai beban (grid-connected, terjadi pada detik ke-1.2). Parameter
masukan dan keluaran dari simulasi kali ini sama seperti yang telah
dijelaskan pada simulasi di sub-bab 4.2 sebelumnya.
Universitas Indonesia
Pada simulasi ini, saklar 6 akan berada dalam keadaan ON pada detik ke-
0.7 dan saklar 7 berada dalam keadaan ON pada detik ke-1.2.
300 5
Tegangan [Volt]
250 4
Arus [Ampere]
200 3
150 2
100 1
50 0
0 -1
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
Waktu [detik]
Universitas Indonesia
Pada detik ke-0.7, saklar 6 berada dalam keadaan ON dan sel surya mulai
memberikan suplai pada beban. Hal ini berimbas pada menurunnya nilai
tegangan VC2, karena saklar 1 OFF maka nilai VPV juga ikut mengalami
penurunan. Pada detik ke-1.2, saklar 7 berada dalam keadaan ON dan sel
surya berada dalam keadaan grid-connected. Dalam keadaan ini grid tidak
hanya memberikan suplai ke beban tetapi juga ikut mempengaruhi nilai
tegangan VC2. Pada keadaan grid-connected nilai tegangan VC2 mengalami
lonjakan dan kemudian menjadi relatif lebih stabil pada detik ke-2.2 di
kisaran nilai 312 Volt. Naik-turunnya nilai VPV dalam keadaan grid-
connected juga ikut mempengaruhi turun-naiknya nilai dari arus sel surya.
200
10
150
100
Tegangan [Volt]
Arus [Ampere]
5
50
0 0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
-50
-5
-100
-150
-10
-200
-250 -15
Waktu [detik]
Universitas Indonesia
100 2
Arus [Ampere]
50 1
0 0
-50 0,7 0,8 0,9 1 1,1 -1
-100 -2
-150 -3
-200 -4
-250 -5
Waktu [detik]
50 1 Arus [Ampere]
0 0
2,4 2,5 2,6 2,7 2,8
-50 -1
-100 -2
-150 -3
-200 -4
-250 -5
Waktu [detik]
Gambar 4.23, 4.24 dan 4.25 diatas menunjukkan nilai arus yang disuplai
sel surya (arus induktor L2) dan tegangan yang terukur pada beban. Pada
Universitas Indonesia
Gambar 4.23, sebelum detik ke-0.7 belum ada nilai arus dan tegangan yang
terukur dikarenakan saklar 6 dan saklar 7 yang masih dalam keadaan OFF.
Gambar 4.24 menunjukkan perbesaran dari Gambar 4.23, khususnya setelah
detik ke-0.7, ditunjukkan bahwa ketika sel surya memberikan suplai kepada
beban maka besarnya arus yang disuplai dengan tegangan yang terukur pada
beban adalah sefasa sehingga akan memberikan suplai daya yang maksimal.
Arus yang terukur sebesar 1.1 Ampere dan tegangan sebesar 130 Volt.
Pada Gambar 4.25 diberikan perbesaran dari Gambar 4.23, khususnya
setelah detik ke-2.4, yakni ketika sistem dalam keadaan grid-connected. Nilai
arus suplai yang mengalir melalui induktor L2 mencapai 3 Ampere dan
tegangan yang terukur pada beban mencapai 220 Volt.
Awalnya arus induktor L2 mengalami osilasi, terlihat melalui Gambar
4.23, namun setelah detik ke-2.2 maka arus dan tegangan relatif stabil dan
sefasa. Dalam keadaan grid-connected nampak bahwa arus yang disuplai oleh
sel surya mengalami kenaikan maupun penurunan, tentunya hal ini
merupakan imbas dari naik turunnya tegangan pada kapasitor C2 (yang
dipengaruhi juga oleh tegangan sel surya), sebagaimana nampak pada
Gambar 4.22. Penting menjadi catatan bahwa adanya kesamaan fasa antara
nilai arus yang disuplai (arus induktor L2) dengan nilai tegangan yang terukur
pada beban (tegangan induktor L3) menunjukkan adanya suplai daya
maksimal dari sel surya.
Universitas Indonesia
Arus [Ampere]
100 2
50 1
0 0
-50 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 -1
-100 -2
-150 -3
-200 -4
-250 -5
Waktu [detik]
Arus [Ampere]
100 2
50 1
0 0
-50 0,65 0,775 0,9 1,025 1,15 -1
-100 -2
-150 -3
-200 -4
-250 -5
Waktu [detik]
Universitas Indonesia
Arus [Ampere]
50 1
0 0
2,4 2,5 2,6 2,7 2,8
-50 -1
-100 -2
-150 -3
-200 -4
-250 -5
Waktu [detik]
Gambar 4.26, 4.27 dan 4.28 diatas menampilkan grafik tegangan dan
arus yang terukur pada beban. Melalui gambar diatas nampak bahwa arus dan
tegangan pada beban adalah sefasa, sehingga mengindikasikan suplai daya
yang maksimal. Saat hanya sel surya yang memberikan suplai (Gambar 4.27)
nampak bahwa nilai tegangan hanya berkisar 130 Volt, nilai ini cukup
berbeda jauh dengan nilai tegangan ketika dalam keadaan grid-connected
(Gambar 4.28) yang bernilai 220 Volt. Adanya drop tegangan ini disebabkan
karena penggunaan komponen induktor L2 yang cukup besar, yakni bernilai
10/2/pi/50 Henry (ditampilkan pada Tabel 3.3) atau sekitar 31.8 miliHenry.
Nilai induktor L2 yang relatif besar ini, dibandingkan dengan penggunaan
induktor yang biasanya dalam orde mikro, dianggap sebagai penentu
terjadinya drop tegangan tersebut.
Dari hasil simulasi ini menujukkan bahwa sistem grid-connected inverter
memiliki peforma yang baik ketika digunakannya algoritma PLL dan current
control untuk pengaturan sinyal saklar pada inverter namun tidak
digunakannya metode ICM untuk metode kendali sinyal saklar 1 membuat
belum tercapainya titik kerja sel surya yang optimal.
Universitas Indonesia
Dalam skripsi ini, beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain adalah
sebagai berikut :
• Sistem grid-connected inverter yang dibangun merupakan sistem yang
terdiri dari modul sel surya, rangkaian boost converter, inverter, rangkaian
beban dan jaringan listik (grid).
• Model sel surya yang digunakan dalam simulasi ini mengacu pada sel
surya Kyocera KC50T. Hasil simulasi dari model sel surya yang dibangun
telah menghasilkan kurva karakteristik yang sesuai dengan sel surya
KC50T.
• Uji simulasi algoritma MPPT dengan metode ICM juga telah dilakukan
dan terbukti mampu melakukan pencarian titik kerja optimal sel surya
pada kondisi lingkungan yang bervariasi.
• Algoritma phase locked loop (PLL) yang digunakan adalah algoritma PLL
digital yang menggunakan perhitungan berbasis besaran tegangan listrik.
Algoritma PLL dan current control diterapkan sebagai metode kendali
sinyal bagi inverter, guna menghasilkan nilai tegangan referensi bagi
PWM generator.
• Simulasi grid-connected inverter dengan menggunakan algoritma ICM
berbasis rangkaian boost converter belum dapat menghasilkan arus suplai
yang sefasa dengan tegangan pada beban. Namun algoritma ICM yang
diterapkan pada simulasi terbukti telah mampu mencari titik kerja optimal
dari sel surya pada kondisi lingkungan yang bervariasi dan berubah-ubah.
• Simulasi grid-connected inverter dengan menggunakan algoritma ICM,
PLL dan current control belum dapat menghasilkan suplai arus yang
sefasa dengan tegangan pada beban, perlu digunakan suatu metode kendali
yang dapat melakukan pengaturan naik turunnya nilai arus sel surya
referensi pada algoritma current control berdasarkan nilai tegangan yang
terukur pada kapasitor C2 (VDC Link).
145
Universitas Indonesia
Grid connected ..., Mario Reinzini, FT UI, 2012
146
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Bae, H., Lee, S., Choi, K., Cho, B., & Jang, S. (2009). Current Control Design for
a Grid-Connected Photovoltaic/Fuel Cell DC-AC Inverter. Proceedings of
Applied Power Electronics Conference and Exposition , 1945-1950.
Chen, Y., & Smedley, K. (2006). Three-Phase Boost-Type Grid-Connected
Inverters. Proceedings of Applied Power Electronics Conference and Exposition .
Hart, D. W. (1997). Introduction to Power Electronics. Indiana: Prentice-Hall
International, Inc.
Huo, Q., Kong, L., Wei, T., Zhang, G., & Kong, L. (2008). A New Method for the
Photovoltaic Grid-connected Inverter Control. Proceedings of Electric Utility
Deregulation and Restructuring and Power Technologies Conference , 2626-
2629.
Kyocera KC50T Datasheet. (n.d.). Kyocera Corporation.
Langton, C. (1998). Intuitive Guide to Principles of Communications. Retrieved
April 20, 2012, from Complextoreal: http://complextoreal.com/
Lin, L. K. (2009). A Hybrid Wind/Solar Energy Converter. SIM University.
Liu, X., & Lopes, L. A. (2004). An Improved Perturbation and Observation
Maximum Power Point Tracking Algorithm for PV Arrays. 35th Annual IEEE
Power Electronics Specialists Conference , 2005-1010.
Luque, A., & Hegedus, S. (2003). Status, Trends, Challenges and the Bright
Future of Solar Electricity from Photovoltaics. In Handbook of Photovoltaic
Science and Engineering (pp. 1-41). John Wiley & Sons, LTD.
Staff, M. S. (2000, October 1). Motion System Design. Retrieved May 2012, from
Motion System Design Web site: http://motionsystemdesign.com/engineering-
basics/pulse-width-modulation-1000/index.html
Syaifudin, Y. (2011). Peningkatan Performasi Algoritma Digital Phase Locked
Loop untuk Sinkronisasi Gelombang pada Sistem Grid Connected Photovoltaic.
Trishan Esram, P. L. (2007). Comparison of Photovoltaic Array Maximum Power
Point Tracking Techniques. Proceedings of Transactions On Energy Conversion .
Tsai, H.-L., Tu, C.-S., & Su, Y.-J. (2008). Development of Generalized
Photovoltaic Model Using MATLAB/SIMULINK. WCECS .
Xiao, W., Dunford, W. G., Palmer, P. R., & Capel, A. (2007). Regulation of
Photovoltaic Voltage. IEEE Transactions on Industrial Electronics Vol. 54 ,
1365-1374.
Universitas Indonesia
Yan, Z., Fei, L., Jinjun, Y., & Shanxu, D. (2008). Study on Realizing MPPT by
Improved Incremental Conductance Method with Variable Step-size. Proceedings
of Industrial Electronics Application 3rd IEEE Conference , 547-550.
Yi, K., & Lu fa, Y. (2009). The Perturbation and Observation's method based on
the P-V rate of curve. Proceedings of Computational Intelligence and Software
Engineering Conference , 1-4.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
151
Universitas Indonesia
152
Universitas Indonesia
153
Universitas Indonesia
154
ω ff
ωˆ
Vdee* KI 1
KP + θˆ
s s
V dee V dss
VS
Kid I de I ds
* K pd + I g r id
Vdsync V de
Vde − fb s I derr
Vde − ff R(θˆ)
−1
I dref I qs
Vqsync R (θˆ) I qe
*
V qe Kiq I qerr
Universitas Indonesia