Anda di halaman 1dari 4

Obat Herbal

Written by Administrator
There are no translations available.

Alami Belum Tentu Aman


Berkebalikan dengan perkembangan zaman, pola hidup kebanyakan orang semakin hari semakin
kurang baik. Salah satu faktornya adalah tekanan kehidupan yang sangat tinggi sehingga sebagian
besar orang membiasakan kehidupan serba instan. Hal ini tentu saja mempengaruhi kesehatan
mereka.

Kehidupan serba instan ini misalnya terlihat pada kebiasaan menggunakan kendaraan yang
menyebabkan jarangnya kegiatan berjalan kaki. Makanan yang dikonsumsi pun banyak yang
merupakan makanan instan. Kecepatan dan rasa merupakan fokus utama, tanpa memikirkan efek
jangka panjang maupun gizi yang perlu diserap.

Tak ayal, hal tersebut menimbulkan penyakit yang tak pandang usia dan pada akhirnya membawa
banyak orang pada berbagai jenis pengobatan, mulai dari pengobatan medis, pengobatan alternatif,
bahkan hingga yang sifatnya supranatural pun dicoba. Seiring dengan ini, konsumsi obat-obat
sintetik pun sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, penggunaan obat
tersebut kini menimbulkan keraguan disebabkan munculnya efek samping yang tidak diinginkan.
Hal ini mendorong adanya paradigma untuk memaksimalkan pengobatan ‘kembali kepada
alam’. Obat herbal, demikian istilahnya di masyarakat.

Namun, tahukah Anda bahwa obat herbal tidak selamanya baik bagi kesehatan?

Let’s check it out!

Istilah herbal biasanya diidentikan dengan tumbuh-tumbuhan yang tidak berkayu atau dengan kata
lain perdu. Dalam dunia pengobatan, istilah herbal berkenaan dengan segala jenis tumbuhan dan
atau seluruh bagian-bagiannya yang mengandung satu atau lebih bahan aktif yang dapat
digunakan sebagai obat (therapeutic). Contohnya adalah mengkudu hutan atau Morinda citrifolia
dengan kandungan moridin (berguna sebagai bahan aktif anti kanker) dan pegagan atau Centela
asiatica dengan kandungan asiaticosidem (berguna untuk mengatasi permasalahan kulit dan
meningkatkan IQ). Pengertian obat herbal adalah obat dari tumbuhan yang diproses atau diekstrak
sedemikian rupa sehingga menjadi serbuk, pil, atau cairan. Dalam proses pembuatannya, obat
herbal tidak menggunakan zat kimia sintetik .

Berdasarkan sudut pandang farmakognosi, obat herbal dapat dibagi menjadi tiga. Kelompok
pertama adalah jamu. Jamu merupakan tumbuhan yang diekstrak dan dijadikan sebagai obat,
namun belum teruji secara klinis maupun pra-klinis. Pada umumnya jamu dipilih karena resep
tradisional turun-temurun untuk kesehatan ataupun pengobatan. Yang kedua adalah obat herbal
terstandar. Kelompok ini sudah terspesifikasi, maksudnya yang terdapat di dalam obat tersebut
adalah senyawa penting untuk penyakit tertentu saja sehingga lebih efektif untuk pengobatan.
Selain itu, obat ini sudah teruji secara pra-klinis atau dengan kata lain sudah diuji di dalam sel
makhluk hidup lain (hewan). Yang ketiga adalah fitofarmaka. Kelompok ini paling baik
kualitasnya karena dibuat dengan pengolahan senyawa tertentu untuk pengobatan tertentu pula
sehingga zat-zat yang tidak perlu tidak akan ikut terkonsumsi. Obat ini telah teruji secara klinis,
yakni sudah pernah diujicobakan pada manusia sehingga kualitasnya terjamin .

Pada dasarnya, pengobatan dengan obat herbal dilakukan melalui pendekatan yang bersifat
holistik, yaitu tubuh manusia dipandang memiliki suatu sistem harmoni yang selalu seimbang .
Apabila ada salah satu bagian tubuh bermasalah, akan timbul pula masalah pada bagian tubuh
yang lain. Obat herbal di sini bekerja dengan cara memberi energi pada organ tubuh dan kelenjar
tertentu serta menyeimbangkan kondisi tubuh sehingga membantu mengembalikan keharmonisan
dan keseimbangan tubuh secara keseluruhan. Dalam aplikasinya, pengobatan dengan obat herbal
diarahkan untuk menjaga dan mempertahankan sistem imun tubuh untuk melawan patogen (bibit
penyakit) dari luar.

Banyak orang beranggapan bahwa obat herbal lebih aman daripada obat sintetik karena efek
sampingnya lebih kecil. Dari sini timbul anggapan bahwa mengonsumsi obat herbal dalam jangka
panjang tidak akan menimbulkan komplikasi dalam tubuh kita. Betulkah demikian?

Ketidaktepatan menggunakan obat herbal sering kali dijumpai saat ini, baik disebabkan kesalahan
informasi yang ada, maupun anggapan yang keliru mengenai penggunaan obat herbal sehingga
tidak jarang justru obat herbal malah menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Harapan
untuk sembuh pun sirna karena timbul masalah-masalah baru.

Dalam hal ini, ada beberapa contoh tanaman obat yang perlu diperhatikan, misalnya daun seledri
(Apium graveolens). Tanaman ini mampu menurunkan darah tinggi, namun apabila dosisnya
berlebih dapat menurunkan tekanan darah secara drastis. Oleh karena itu, jangan mengonsumsi
lebih dari satu gelas perasan seledri untuk sekali minum. Selain itu, minyak dari tanaman jarak
(Oleum recini) dapat digunakan untuk mengobati masalah pencernaan, namun jika
penggunaannya tidak terukur akan menyebabkan iritasi saluran pencernaan. Lain pula dengan keci
beling (Strobilantus crispus), tanaman ini dapat mengobati batu ginjal, namun apabila dikonsumsi
lebih dari 2 gram sekali minum dapat menimbulkan iritasi saluran kemih . Pada beberapa pasien
yang mengonsumsi tanaman tersebut untuk pengobatan batu ginjal, ditemukan adanya sel-sel
darah merah dengan jumlah melebihi batas normal pada urinnya. Hal ini mungkin disebabkan
daun kecibeling merupakan diuretik kuat sehingga dapat menimbulkan iritasi pada saluran kemih.
Contoh lainnya adalah buah pare. Seorang pria penderita diabetes mendadak mengalami impotensi
setelah rutin mengonsumsi buah pare untuk menurunkan gula darahnya. Setelah dilakukan
penelusuran, ternyata hal itu disebabkan buah pare yang dikonsumsi adalah mentah dan
overdosis . Hal ini juga harus diperhatikan pada pengonsumsian buah mahkota dewa dan temu
putih yang dijadikan andalan untuk penumpas sel kanker. Pasien yang mengonsumsi secara
berlebihan mengalami sakit tenggorokan mendadak dan juga mengalami pendarahan. Faktanya,
biji mahkota dewa memang tidak boleh dikonsumsi karena sangat beracun. Selain itu, buah
mahkota dewa dan temu putih tidak boleh diminum selagi haid karena akan memperhebat
pendarahan. Hal ini berkaitan dengan khasiatnya yang memang menumpas sel kanker sekaligus
menggerus dinding rahim . Fenomena lain terjadi pada Ginkgo, herbal yang makin laris untuk
memompa daya ingat itu juga tidak aman seratus persen. Terapi herbal itu hanya akan efektif jika
penurunan daya ingat disebabkan oleh melemahnya aliran darah ke otak. Kondisi seperti ini bisa
diperbaiki dengan konsumsi Ginkgo. Bagaimana jika melemahnya daya ingat disebabkan oleh
faktor lain, misalnya ketidakseimbangan hormonal? Tentu saja hal ini dapat menimbulkan efek
negatif.

Selanjutnya, tanaman echinacea yang biasa digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh
melawan flu sebaiknya tidak dikonsumsi oleh mereka yang mempunyai gangguan autoimun
karena akan meningkatkan kerja sistem imun yang sudah terlalu aktif.

Suatu tanaman dapat dikategorikan sebagai tanaman obat jika telah melewati beberapa uji dan
penelitian seperti penelitian fisik, kimiawi, farmakologis, biologis, dan uji toksisitas (racun).
Tanaman obat yang tidak memenuhi ketentuan di atas, yaitu bahan bakunya belum terstandarkan,
mudah tercemar, higroskopis, dan voluminous terhadap berbagai mikroorganisme dikatakan
belum layak menjadi obat yang dapat dikonsumsi.

Pada beberapa obat yang berasal dari tumbuhan, bisa jadi kandungan zat aktifnya sangat sedikit.
Maka tidak menutup kemungkinan ada pula senyawa selain zat aktif yang ikut terkonsumsi pula.
Zat tersebut tidak berkhasiat, namun dapat pula mengganggu aktivitas biologis atau bahkan toksik
untuk tubuh. Setiap tanaman memiliki jumlah dan jenis kandungan kimia berbeda. Kandungan
beberapa zat kimia tertentu pada obat herbal dapat pula menimbulkan efek samping dan sifat
toksik. Efek samping itu bisa disebabkan oleh zat itu sendiri maupun kontaminan (seperti pestisida
dan zat pengotor) atau zat sintesis yang ditambahkan.

Pada tanaman obat sebetulnya terdapat pula penangkal atau penetral efek samping yang mungkin
timbul. Hal ini terlihat misalnya pada kunyit. Kunyit memiliki zat yang merugikan tubuh, namun
di dalam kunyit ada pula zat yang menekan dampak negatif tersebut . Lain halnya dengan tebu,
meskipun perasan air tebu memiliki senyawa saccharant yang berfungsi sebagai anti diabetes,
namun penderita diabetes (kencing manis) tetap saja tidak boleh mengonsumsi gula hasil
pemurnian tebu . Jadi, meskipun setiap tumbuhan ada zat penangkal efek sampingnya, perlu
diperhatikan pula beberapa hal lain dari tumbuhan itu sendiri seperti jenis dan kandungan zat
kimia tertentu yang ada di dalamnya.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengonsumsi obat herbal. Salah satunya adalah
konsentrasi obat herbal. Jika setelah diekstrak konsentrasinya lebih pekat, maka yang perlu
dikonsumsi hanya sedikit. Beberapa obat herbal dapat rusak atau mengalami penguraian oleh
panas, cahaya, dan udara (bereaksi dengan oksigen). Waspadalah, apabila belum lebih dari satu
jam mengonsumsi herbal muncul gejala mual, diare, pusing, dan berkeringat deras! Hentikan
konsumsi obat herbal dan segera konsultasikan kepada ahli herbal atau dokter.

Efek toksik obat herbal dapat dihindari jika cara pemakaiannya benar dan sudah teruji secara
praklinik serta klinik. Selain itu, standardisasi obat herbal lebih tepat dilakukan jika diterapkan
kaidah “Cara yang Benar” pada proses pembibitan hingga produksi. Bukan hanya itu,
pemerintah dalam hal ini BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) harus berperan aktif
dalam pengawasan. Khasiat dan keamanan obat herbal harus sudah teruji sebelum obat-obat
tersebut mendapat izin edar. Hingga kini, jumlah obat herbal terstandar diketahui ada 19 produk
dan fitofarmaka baru 5 produk . Oleh karena itu, telitilah sebelum membeli serta harus pintar dan
selektif dalam mengonsumsi. Terutama terhadap kuantitas obat herbal, jenis, zat yang terkandung,
dan efek lainnya terhadap tubuh.

Anda mungkin juga menyukai