Berikut Ini 26 Persoalan Dalam UU KPK Hasil Revisi Yang Dinilai Berisiko Oleh KPK Dapat Melemahkan Lembaga Antirasuah Tersebut
Berikut Ini 26 Persoalan Dalam UU KPK Hasil Revisi Yang Dinilai Berisiko Oleh KPK Dapat Melemahkan Lembaga Antirasuah Tersebut
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini 26 Poin dari UU KPK Hasil Revisi
yang Berisiko Melemahkan KPK", https://nasional.kompas.com/read/2019/09/25/10382471/ini-
26-poin-dari-uu-kpk-hasil-revisi-yang-berisiko-melemahkan-kpk?page=all.
Penulis : Ardito Ramadhan
Editor : Diamanty Meiliana
Setidaknya ada 7 pasal yang paling disoroti oleh para demonstran yang turun ke jalan, yakni:
1. Pasal aborsi.
2. Pasal penghinaan Presiden.
3. Pasal pengenaan denda untuk gelandangan.
4. Pasal keteledoran memelihara hewan.
5. Pasal pidana untuk persetubuhan di luar nikah.
6. Pasal hukum adat.
7. Pasal kebebasan berpendapat pers.
Jika kita lihat lebih dalam, parlemen sebetulnya mengeluarkan RUU KUHP ini sebagai upaya
agar landasan hukum pidana Indonesia lepas dari bayang-bayang kolonial, juga sebagai usaha
menanamkan nilai-nilai nusantara pada tatanan hukum Indonesia. Para wakil rakyat menganggap
UU KUHP perlu direvisi karena UU KUHP merupakan turunan dari hukum Belanda sudah tidak
relevan dengan nilai-nilai
Namun, kurangnya sosialisasi dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) menyebabkan RUU KUHP menjadi
kontroversi di tengah masyarakat. Ada baiknya sebagai wakil rakyat, para anggota DPR lebih banyak
mendengar suara rakyat agar terjadi mufakat, sehingga DPR dapat menjadi jawaban bagi permasalahan-
permasalahan yang ada dalam masyarakat.
Beberapa hari terakhir ini kita menyaksikan bersama demostrasi dari berbagai elemen
masyarakat, terkhusus mahasiswa. Tujuannya DPR RI dan yang di daerah DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Isunya fokus pada beberapa RUU yang oleh Pemerintah dan DPR sepakat
untuk diketok palu alias disahkan. Setelah revisi RUU KPK tetap disahkan, beberapa RUU oleh
Presiden ditunda. Diantaranya ada RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan. Tulisan ini akan
konsen pada RUU KUHP ditengah pro kontra yang muncul, dan menjadi perhatian publik. Sejak
dipublis akan disahkan, muncul berbagai respon positif maupun negatif. Beberapa pasal yang
dinilai bermasalah kemudian viral bahkan memunculkan beragam meme, video kocak, termasuk
hastag seperti #tolakruukuhp dan #semuabisakena plus komentar miring, serta nyinyiran yang
tak terbilang jumlahnya didunia maya. Respon menerima atau menolak pada prinsipnya sah-sah
saja ditengah semua berhak berpendapat, dan realitas hukumnya tidak semua rasionalitas
pembuat undang-undang itu dapat diamini oleh 260an juta penduduk Indonesia.
Bicara RUU KUHP tentu harus memahami pula historinya kenapa RUU KUHP itu harus lahir.
Salahsatunya karena KUHP yang saat ini masih kita gunakan usianya sudah menginjak 3 abad.
KUHP ini merupakan Code Penal Perancis yang lahir 1791, kemudian ditiru oleh Belanda dalam
bentuk WvS (Wetboek van Strafrecht) tahun 1881. Resmi berlaku di Hindia Belanda 1918 dan
setelah memasuki era kemerdekaan, berdasarkan UU No 1 tahun 1946 KUHP ini berlaku di
Indonesia sampai dengan detik ini. Sebagai produk kolonial, bahkan lahir dari rahim Code Penal
Perancis diabad 17 silam maka tentu isinya menyesuaikan dengan zamannya, kebutuhan lokal,
termasuk nilai dan asas didalamnya. Betul ada penyesuaian dengan Indonesia tetapi sifatnya
parsial alias tambal sulam.
Spirit dari RUU KUHP sesungguhnya adalah melakukan penal reform atau pembaharuan hukum
pidana yang pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan
reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio
kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan criminal dan
kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Jadi upaya yang dilakukan oleh tim perumus RUU KUHP yang sudah diinisiasi sejak tahun 1963
era orde lama adalah melakukan pembaharuan KUHP yang sifatnya total dan bukan parsial
sebagaimana selama ini dilakukan. Misalnya hanya mengganti istilah gulden menjadi rupiah, lalu
memperluas asas territorial termasuk kapal dan pesawat udara dan lain sebagainya. Sementara
asas-asas dan nilai-nilai didalamnya masih berprinsip kolonial yang liberal dan individual.
Berbeda jauh dengan nilai-nilai Pancasila kita yang menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Oleh karenanya RUU KUHP yang ingin dibangun adalah sebuah mahakarya nasional anak
bangsa yang selaras dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat
Indonesia.
Menurut Muladi, sebagai Tim Penyusun RUU KUHP, sejak dicetuskan 1963, sudah 17 anggota
tim penyusun yang wafat. Sudah melewati 13 Menteri Kehakiman. Artinya ini RUU bukan
barang karbitan yang dibuat kemarin sore, dan bukan pula didesain oleh orang yang bukan
ahlinya. Namun bukan pula menyebut ini karya sempurna karena tak ada gading yang tak retak.
Namun menolak RUU KUHP yang seolah salah semuanya, terlebih karena belum membacanya
secara konfrehensif juga terlihat tidak arief. Penundaan pengesahan RUU KUHP ini diambil sisi
positifnya guna menuju arah penyempurnaan. Disisi lain juga bentuk sosialisasi dan edukasi
secara tidak langsung sekaligus membuka mata publik perihal peraturan yang nanti akan
diberlakukan kepadanya. Namun kiranya proses ini tidak memakan waktu yang lama lagi.
Sehingga kita memiliki KUHP Nasional dan tentunya jalur konstitusional melalui MK tetap
terbuka untuk menggugat.
Pasal Kontroversial
Meskipun tulisan singkat ini tidak dapat membedah lengkap, namun sekilas dapat penulis
sampaikan beberapa point penting beberapa pasal yang viral dan dikritik publik. Sebelum lebih
jauh, penulis sampaikan dulu bahwa RUU KUHP terdiri atas dua buku, yakni buku satu tentang
ketentuan umum ada 187 Pasal dan buku dua tentang tindak pidana ada 627 Pasal. Jadi ada 814
pasal dalam RUU KUHP. Pertama soal penghinaan Presiden/Wapres. Pasal ini dipandang akan
membuat penguasa anti kritik dan menjadi alat guna mengkriminalisasi. Namun perlu dipahami
bahwa RUU merumuskan bahwa ini adalah delik aduan dan bukan tindak pidana jika dilakukan
untuk kepentingan umum atau membela diri. Kedua, soal perzinahan. Sebenarnya pasal ini
adalah perluasan dari KUHP lama, dimana dihilangkan kalimat “yang sudah kawin”. Selama ini
dikatakan zina jika salahsatunya terikat tali perkawinan. Padahal norma agama dan kesusilaan
kita menormakan zina itu termasuk didalamnya yang sesama jomblo alias tidak terikat
perkawinan. Jadi pasal ini justru sejalan dengan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat kita. Ketiga,
soal pasal aborsi. Harus dipahami bahwa ada prinsip lex specialis, yakni UU Kesehatan. Artinya
korban perkosaan atau darurat medis dikecualikan untuk pemidanaan atas praktik aborsi.
Keempat, perihal peragaan alat kontrasepsi. Sebenarnya di KUHP yang lama sudah ada, namun
perumus kemudian mengatur larangan didepan anak, dan pengecualian untuk petugas KB,
pencegahan penyakit menular, untuk pendidikan dan penyuluhan. Kelima, tentang kumpul kebo.
Penulis menilai sudah sejalan dengan norma social kita dan menjadi pendorong bagi pemerintah
untuk kelompok marjinal dan rentan dalam akses akta nikah. Kemudian ini menjadi delik aduan
yang hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, anak, orang tua dan kepala desa sepanjang tidak
ada hubungan kekerabatan.Kelima, soal pemerkosaan dalam ikatan pernikahan. Kepentingan
yang dilindungi adalah dari perbuatan kekerasan. Betul hubungan suami istri adalah soal privat.
Namun saat terjadi kekerasan dan paksaan maka negara harus mengintervensi dengan
mengkriminalisasi perbuatan tersebut. Keenam, soal delik santet. Sesungguhnya jika membaca
utuh pasalnya, yang diatur adalah delik penawaran untuk melakukan santet. Jadi seperti larangan
menjual jimat seperti dalam KUHP sekarang. Artinya pembuktinnya bukan soal gaibnya, tetapi
soal penawarannya atau menjadikannya sebagai mata mencarian. Inilah yang dipidana. Terakhir,
ketujuh soal ungags yang berkeliaran. Sebenarnya ini bersumber dari Pasal 548 KUHP lama, dan
tetap dipertahannya dengan modifikasi dan perubahan sanksinya, karena dalam praktiknya
perbuatan seperti ini terjadi dan merugikan orang lain.
Demikian sedikit berbagi pengetahuan perihal RUU KUHP dan tentunya pro kontra adalah
sesuatu yang wajar, terlebih pada sebuah produk hukum yang didalamnya berusaha
mengakomodir berbagai kepentingan yang begitu heterogen di negeri kita tercinta.
Pasal 278
Setiap orang yang membiarkan unggas yang di ternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah
ditaburi benih dan tanah milik orang lain.
SANKSI :
Denda paling banyak Rp 10 Juta.
Pasal ini dikhawatirkan akan timbulkan kegaduhan di masyarakat
Pasal 432
Setiap orang Bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang menggangu ketertiban umum.
SANKSI :
Denda paling banyak Rp 1 Juta.
Pasal ini dinilai multitafsir dan rawan bias menghakimi warga yang berada di jalanan.
Ada Pula Pasal yang dianggap terlalu masuk ke Ranah Privat dan tidak berpihak pada
perempuan.
RKUHP
Pasal 604
- Ancaman Penjara Minimum 2 Tahun.
- Sanksi denda Minimum Rp 10 Juta.
UU
Pasal 2
RKUHP
UU TIPIKOR
Advertisment
Pasal 11
250 Juta.
RKUHP Bakal disahkan oleh DPR pada 24 September 2019 Mendatang. Bagaimana tanggapan,
menurut kalian ?
Harapan nya saya untuk DPR( Dewan Perwakilan Rakyat ) memberikan inspirasi yang baik
kepada Masyarakat, Anak Pelajar & Mahasiswa. Kedepannya lebih baik dari sebelumnya,
Bertanggung Jawab dan Amanah nya.
Demikian yang Saya tulis dalam artikel ini, Mohon Maaf apabila ada Kekurangan/Kelebihan
dalam artikel ini. Saya mengaharapkan Para Pembaca memberikan Kesimpulan/kritik tersebut,
Saya ucapkan terima kasih.
Semoga Bermanfaat dan Berkah untuk Para Pembaca.
anja DPR bersama pemerintah sepakat menunda pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RKUHP). Alasannya lantaran masih terdapat perdebatan pada sejumlah pasal
sehingga rumusan normanya perlu diatur lebih detail. Termasuk pula dengan pola penentuan
ancaman pidana dalam RKUHP. Atas dasar itu, DPR memperpanjang pembahasan RKUHP pada
masa sidang berikutnya.
Tercatat, sebanyak 12 isu yang terpending dan menjadi fokus dalam pembahasan RKUHP.
Pertama, terkait dengan rumusan hukum yang hidup di dalam masyarakat alias living law.
Pengaturan living law dalam RKUHP diatur dalam Pasal 2 ayat (1). Kepala Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) Prof Enny Nurbaningsih selaku tim dari pemerintah berpendapat
living law berlaku di tempat hukum hidup serta sepanjang tidak diatur dalam UU. Rumusan ini
mesti sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45 dan asas-asas hukum
umum sebagaimana diakui masyarakat yang beradab.
Fakta di tengah masyarakat, di beberapa daerah tertentu memang masih berlaku ketentuan
hukum yang tidak tertulis. Bahkan, berlaku sebagai hukum pidana adat. Dalam rangka
memberikan dasar hukum bagi pidana adat, maka diperlukan kompilasi dalam bentuk peraturan
presiden yang berasal dari peraturan daerah. Namun perdebatan masih panjang antara Panja
RKUHP dan tim pemerintah. Karena itu, living law masuk dalam daftar pending isu.
“Kompilasi tersebut memuat hukum yang berlaku dalam masyaarakat yang dikualifikasi sebagai
tindak pidana adat,” ujarnya dalam dalam laporan singkat Rapat Timus dan Timsin Komisi III
dengan pemerintah dalam pembagasan RKUHP sebagaimana dikutip dari situs resmi Aliansi
Nasional Reformasi KUHP.
Kedua, ketentuan tentang pidana mati. Pengaturan pidana mati dituangkan dalam Pasal 67.
Namun perkembangan pembahasan diperbaiki menjadi Pasal 73 dan 129 terkait pengaturan
hukuman pidana mati. Pengaturan pidana mati dalam hukum positif memang menjadi pro kontra.
Dalam RKUHP, pidana mati bukanlah pidana pokok, tetapi, pidana yang bersifat khusus dan
diancamkan secara alternatif.
Menurut Prof Enny, penjelasan pengaturan pidana mati sudah dirumuskan. Karena itu, pidana
mati tidak termasuk dalam urutan pidana pokok, namun ditentukan dalam pasal tersendiri.
Dengan kata lain, pidana mati menjadi pidana pilihan terakhir sebagai upaya dalam melindungi
masyarakat. Pidana mati merupakan jenis hukuman yang paling berat yang diancamkan secara
alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau ancaman hukuman 20 tahun.
“Pidana mati dapat dijatuhkan secara bersyarat dengan masa percobaan. Sehingga dalam
tenggang waktu percobaan terpidana bisa memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak
dilaksanakan, diganti dengan perampasan kemerdekaan, seumur hidup dan pidana 20 tahun,”
ujarnya.
Ketiga, tentang usia. Dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a menyebutkan, “Dengan tetap
mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan Pasal 60, pidana
penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan sebagai berikut: a. terdakwa
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 75 (tujuh puluh lima) tahun;”.
Menurut Prof Enny, berdasarkan ketentuan pasal tersebut perlu dipertimbangkan batasan usia
untuk tidak menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan yakni pemenjaraan. Karena itu, perlu
disepakati diganti tetap dengan rumusan norma pasal sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (1)
huruf a.
Keempat, tentang pengertian dan istilah. Tim pemerintah, kata Prof Enny, telah melakukan
perbaikan terhadap semua pengertian dan istilah. Karena itu, tim pemerintah melakukan
penyempurnaan dengan seluruh peraturan perundangan terkait.
Alasannya antara lain terdapat ketentuan terkait kewajiban hakim mempertimbangkan keadaan
memberatkan dan meringankan terdakwa dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Begitu pula dengan
Pasal 8 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal lainnya, ketentuan
pembatasan faktor meringankan atau memberatkan pidana dalam RKUHP malahan membatasi
keebasan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Keenam, mendirikan organisasi yang mengatur ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme.
Dalam perkembangan pembahasan memang telah dilakukan perbaikan dalam Pasal 220
-sebelumnya diatur dalam Pasal 207- khususnya huruf a, yakni mendirikan organisasi yang
menganut ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Alasannya, terhadap orang yang
mendirikan organisasi jelas maksudnya, sehingga frasa diketahui atau patut diduga keras tidak
diperlukan lagi. Begitu pula dengan rumusan huruf b.
Ketujuh, tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Pengaturan terhadap
tindak pidana martabat presiden dan wapres diatur dalam Pasal 238-240. Bila di draf
sebelumnya, ancaman dalam Pasal 238 selama 5 tahun, kini menjadi 9 tahun. Begitu pula dengan
Pasal 239 yang tadinya tidak terdapat ayat, kini menjadi dua ayat. Perbaikan rumusan pasal
dilakukan dalam rangka mengakomodir putusan MK No.013-022 Tahun 2009 serta diskusi
dengan berbagai ahli.
Kedelapan, aspek kesusilaan. Pasal tersebut belakangan memang menjadi sorotan publik. Tak
saja soal pengaturan palarangan hubungan sejenis, namun juga delik yang dapat dijadikan
mekanisme proses hukum. Misalnya, banyak masyarakat menyorot Pasal 484 ayat (1) huruf e.
Sebab melalui pengaturan pasal tersebut, perumus melakukan overkriminalisasi. Pasal tersebut
yang dikhawatirkan adalah laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam
perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. Begitu pula dengan Pasal 488 dan 495 menjadi
sorotan banyak masyarakat.
Kesembilan, tentang perjudian. Pengaturan pemidanaan terhadap tindak pidana perjudian diatur
dalam Pasal 505. Kesepuluh, tentang ketentuan peralihan. Di masa transisi bagi lembaga penegak
hukum terhadap tindak pidana khusus dari UU di luar KUHP diperlukan pembahasan mendalam.
Karena itulah KPK tetap berwenang melakukan tugas penegakan hukum pro justicia terhadap
kasus korupsi.
Kesebelas, terkait dengan judul Rancangan Undang-Undang (RUU). Internal tim pemerintah
menyepakati judul ‘Undang-Undang Hukum Pidana’. Namun, kata Prof Enny, dapat disebut
sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Keduabelas, tentang ketentuan bab tindak
pidana khusus. Khusus delik khusus dalam RKUHP dibatasi dengan tindak pidana hak asasi
manusia, terorisme, korupsi, pencucian uang, narkotika dan psikotropika. Alasannya mulai
memiliki dampak viktimisasi besar, hingga didukung oleh konvensi internasional.
Terkait isu-isu pending ini, Anggota Panja RKUHP Arsul Sani mengatakan, pihaknya membuka
ruang masukan dari masyarakat. Ia berharap masukan masyarakat tersebut sudah tidak dalam
bentuk wacana, tetapi, masukan dalam bentuk rumusan pasal. “Kami membuka diri. Maka
ajukan saja ke Komisi III untuk RDPU (rapat dengar pendapat umum). Tapi ketika datang,
jangan dalam bentuk perspektif wacana. Tapi tawaran (konkrit) rumusan pasal-pasal alternatif,”
pungkasnya.