Anda di halaman 1dari 13

Berikut ini 26 persoalan dalam UU KPK hasil revisi yang dinilai berisiko oleh KPK dapat

melemahkan lembaga antirasuah tersebut: 1. Pelemahan Independensi KPK KPK diletakkan


sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif; Rumusan UU hanya mengambil sebagian dari
Putusan MK, namun tidak terbaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait kekuasaan
kehakiman dan lembaga yang bersifat constitutional important. Baca juga: Demo Mahasiwa
Tolak RKUHP dan UU KPK dalam Ulasan Media Internasional Pegawai KPK merupakan ASN,
sehingga ada resiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat
menjalankan tugasnya; 2. Bagian yang mengatur bahwa Pimpinan adalah penanggungjawab
tertinggi dihapus; 3. Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat
menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas, misal: berijazah sarjana hukum
atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang
hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan. 4. Kewenangan Dewan Pengawas masuk pada
teknis penanganan perkara, yaitu: memberikan atau tidak memberikan izin Penyadapan,
penggeledahan dan penyitaan. Bagaimana jika Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang
mengawasi Dewan Pengawas? Baca juga: KPK Tetap Ingin Berdialog dengan Jokowi Bahas UU
KPK Hasil Revisi 5. Standar larangan Etik dan anti konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas
lebih Rendah dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK. Pasal 36 tidak berlaku untuk Dewan
Pengawas, sehingga: Dewan Pengawas tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ yayasan
hingga jabatan profesi lainnya; Dewan Pengawas tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau
pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK Sementara itu pihak yang
diawasi diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan ancaman
pidana di UU KPK 6. Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak
hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun. Baca juga: Isu
Turunkan Jokowi Dinilai Sengaja Ganggu Fokus Aksi Tuntut Pembatalan UU KPK dan RUU
Lain Mahasiswa dari Universitas Diponegoro (Undip) berjalan kaki sambil membawa
membentangkan poster dan spanduk saat berunjuk rasa menolak UU KPK hasil revisi dan RUU
KUHP, di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/9/2019). Unjuk rasa yang diikuti ribuan
mahasiswa itu menuntut dilakukannya peninjauan kembali atas UU KPK hasil revisi ke
Mahkamah Konstitusi, dukungan terhadap KPK, dan menolak rencana pengesahan RUU KUHP.
ANTARA FOTO/R. Rekotomo/aww. Lihat Foto Mahasiswa dari Universitas Diponegoro
(Undip) berjalan kaki sambil membawa membentangkan poster dan spanduk saat berunjuk rasa
menolak UU KPK hasil revisi dan RUU KUHP, di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/9/2019).
Unjuk rasa yang diikuti ribuan mahasiswa itu menuntut dilakukannya peninjauan kembali atas
UU KPK hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi, dukungan terhadap KPK, dan menolak rencana
pengesahan RUU KUHP. ANTARA FOTO/R. Rekotomo/aww.(ANTARA FOTO/R
REKOTOMO) 7. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan
beresiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas Penindakan; 8. Salah satu
Pimpinan KPK pasca UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur
(kurang dari 50 tahun); Terdapat ketidakcermatan pengaturan untuk usia Pimpinan KPK minimal
50 tahun, padahal keterangan dalam kurung tertulis “empat puluh” tahun (Pasal 29 huruf e);
Alasan UU tidak berlaku surut terhadap 5 Pimpinan yang terpilih tidak relevan, karena Pasal 29
UU KPK mengatur syarat-syarat untuk dapat diangkat. Pengangkatan Pimpinan KPK dilakukan
oleh Presiden. Jika sesuai jadwal maka pengangkatan Pimpinan KPK oleh Presiden baru
dilakukan sekitar 21 Desember 2019, hal itu berarti UU Perubahan Kedua UU KPK ini sudah
berlaku, termasuk syarat umur minimal 50 tahun. Jika dipaksakan pengangkatan dilakukan,
terdapat resiko keputusan dan kebijakan yang diambil tidak sah. Baca juga: Isu Turunkan Jokowi
Dinilai Sengaja Ganggu Fokus Aksi Tuntut Pembatalan UU KPK dan RUU Lain 9.
Pemangkasan kewenangan Penyelidikan Penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan
terhadap seseorang ke Luar Negeri. Hal ini beresiko untuk kejahatan korupsi lintas negara dan
akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar negeri saat Penyelidikan berjalan; 10.
Pemangkasan kewenangan Penyadapan Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap
Penuntutan dan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi. Jika UU ini diberlakukan, ada 6
tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu, yaitu: Dari penyelidik yang menangani perkara ke
Kasatgas Dari Kasatgas ke Direktur Penyelidikan Dari Direktur Penyelidikan ke Deputi Bidang
Penindakan Dari Deputi Bidang Penindakan ke Pimpinan Dari Pimpinan ke Dewan Pengawas
Perlu dilakukan gelar perkara terlebih dahulu Terdapat resiko lebih besar adanya kebocoran
perkara dan lamanya waktu pengajuan Penyadapan, sementara dalam penanganan kasus korupsi
dibutuhkan kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT. Baca juga: Menit Demi
Menit Demo Mahasiswa Ricuh di DPR, Demonstran Melawan hingga Kehadiran Oknum
Perusuh Ribuan mahasiswa mengikuti aksi #GejayanMemanggil di Simpang Tiga Colombo,
Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (23/9/2019). Dalam aksi demonstrasi yang diikuti oleh
ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta itu, mereka menolak segala bentuk
pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi serta mendesak pemerintah dan DPR
mencabut UU KPK yang sudah disahkan. Lihat Foto Ribuan mahasiswa mengikuti aksi
#GejayanMemanggil di Simpang Tiga Colombo, Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin
(23/9/2019). Dalam aksi demonstrasi yang diikuti oleh ribuan mahasiswa dari berbagai
universitas di Yogyakarta itu, mereka menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya
pemberantasan korupsi serta mendesak pemerintah dan DPR mencabut UU KPK yang sudah
disahkan.(ANTARA FOTO/ANDREAS FITRI ATMOKO) 11. OTT menjadi lebih sulit
dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan Penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK;
12. Terdapat Pasal yang beresiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT
seperti saat ini lagi, yaitu: Pasal 6 huruf a yang menyebutkan, KPK bertugas melakukan: a.
Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi Hal ini sering kita
dengar diungkapkan oleh sejumlah politisi agar ketika KPK mengetahui ada pihak-pihak yang
akan menerima uang, maka sebaiknya KPK “mencegah” dan memberitahukan pejabat tersebut
agar tidak menerima suap. Baca juga: Viral Video dan Narasi KPK Briefing Mahasiswa
Demonstran, Ini Tanggapan KPK 13. Ada resiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait
Penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK Terdapat ketentuan pemusnahan seketika
penyadapan yang tidak terkait perkara, namun tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait,
ruang lingkup perkara dan juga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut; Ada
ancaman pidana terhadap pihak yang melakukan Penyadapan atau menyimpan hasil penyadapan
tersebut; Ancaman pidana diatur namun tidak jelas rumusan pasal pidananya. Baca juga:
Menelaah Sikap Jokowi, Mengapa Berbeda antara UU KPK dan RKUHP? 14. Ada risiko
Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri karena Pasal 38
ayat (2) UU KPK dihapus; Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan
koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi; Namun
di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada resiko Penyidik PNS di KPK berada
dalam koordinasi dan pengawasan Polri; 15. Berkurangnya kewenangan Penuntutan Pada Pasal
12 (2) tidak disebut kewenangan Penuntutan. Hanya disebut “dalam melaksanakan tugas
Penyidikan”, padahal sejumlah kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap Terdakwa.
Norma yang diatur tidak jelas dan saling bertentangan. Di satu sisi mengatakan hanya untuk
melaksanakan tugas Penyidikan, tapi di sisi lain ada kewenangan perlakuan tertentu terhadap
Terdakwa yang sebenarnya hanya akan terjadi di Penuntutan; Baca juga: Ekonom Sebut Revisi
UU KPK Malah Bikin Investor Kabur 16. Dalam pelaksanaan Penuntutan KPK harus
berkoordinasi dengan pihak terkait tapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud. 17.
Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status
ASN; 18. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil
atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan
Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa
kepastian mekanisme peralihan ke ASN; Baca juga: Ganjar Tanda Tangani Tuntutan Mahasiswa
Tolak UU KPK hingga RKUHP 19. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam
penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Dapat membuat KPK sulit
menangani kasus-kasus korupsi besar seperti: EKTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi
pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan
negara yang besar. Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP,
tidak terdapat batasan waktu untuk SP3, padahal KPK menangani korupsi yang merupakan
kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana umum. Baca juga: Demo Mahasiswa Tolak UU KPK
Ricuh, Motor Polisi Dibakar, Mobil Patroli Dirusak Seniman dan aktivis dari berbagai LSM
yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Aceh melakukan aksi tolak revisi undang-
undang (UU) KPK di tugu Taman Bustanus Salatin, Kota Banda Aceh, Selasa (17/9/2019). Aksi
yang disalurkan melalui berorasi, baca puisi, melukis mural, serta bernyanyi itu digelar sebagai
bentuk penolakan revisi UU KPK yang dilakukan DPR dan telah disetujui oleh Presiden Joko
Widodo. Lihat Foto Seniman dan aktivis dari berbagai LSM yang tergabung dalam Koalisi
Masyarakat Sipil Aceh melakukan aksi tolak revisi undang-undang (UU) KPK di tugu Taman
Bustanus Salatin, Kota Banda Aceh, Selasa (17/9/2019). Aksi yang disalurkan melalui berorasi,
baca puisi, melukis mural, serta bernyanyi itu digelar sebagai bentuk penolakan revisi UU KPK
yang dilakukan DPR dan telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo.(KOMPAS.com/RAJA
UMAR) 20. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan
secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini
menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara, seperti: Perlunya izin untuk
memeriksa pejabat tertentu. Baca juga: Palmerah-Senayan, Pagi Setelah Demo Mahasiswa di
DPR... Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU
KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan
kewenangan yang luar biasa; 21. Terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti: Pasal 69D yang
mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK
dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di Pasal II diatur UU ini
berlaku pada tanggal diundangkan. Baca juga: ICW Sebut UU KPK Hasil Revisi Jadi Pintu
Masuk bagi Investor Bermasalah 22. Hilangnya posisi Penasehat KPK tanpa kejelasan dan
aturan peralihan, apakah Penasehat menjadi Dewan Pengawas atau Penasehat langsung berhenti
saat UU ini diundangkan; 23. Hilangnya Kewenangan Penanganan Kasus Yang Meresahkan
Publik (pasal 11) Sesuai dengan putusan MK nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan
ini adalah wujud peran KPK sebagai trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain, untuk
dalam keadaan tertentu KPK dapat mengambil alih tugas dan wewenang serta melakukan
tindakan yang diperlukan dalam penanganan perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan
yang proses pemeriksaan yang tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum yang
meresahkan masyarakat. Baca juga: ICW Heran Jokowi Tak Cabut UU KPK, tetapi Minta RUU
Lain Ditunda 24. KPK hanya berkedudukan di Ibukota negara KPK tidak lagi memiliki harapan
untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah. Dengan sumber daya yang tersedia saat ini dan
wilayah kerja seluruh Indonesia KPK dipastikan akan tetap kewalahan menangani kasus korupsi
di seantero negeri. 25. Tidak ada penguatan dari aspek Pencegahan Keluhan selama ini tidak
adanya sanksi tegas terhadap Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN tetap tidak
diatur; Kendala Pencegahan selama ini ketika rekomendasi KPK tidak ditindaklanjuti juga tidak
terjawab dengan revisi ini. Seharusnya ada kewajiban dan sanksi jika memang ada niatan serius
memperkuat Kerja Pencegahan KPK; Baca juga: Artis-artis yang Protes UU KPK, RKUHP,
hingga Kecewa Sikap Jokowi 26. Kewenangan KPK melakukan Supervisi dikurangi, yaitu: pasal
yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan
terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan
pelayanan publik tidak ada lagi. Padahal korupsi yang terjadi di instansi yang melakukan
pelayanan publik akan disarakan langsung oleh masyarakat, termasuk korupsi di sektor
perizinan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini 26 Poin dari UU KPK Hasil Revisi
yang Berisiko Melemahkan KPK", https://nasional.kompas.com/read/2019/09/25/10382471/ini-
26-poin-dari-uu-kpk-hasil-revisi-yang-berisiko-melemahkan-kpk?page=all.
Penulis : Ardito Ramadhan
Editor : Diamanty Meiliana

Setidaknya ada 7 pasal yang paling disoroti oleh para demonstran yang turun ke jalan, yakni:
1. Pasal aborsi.
2. Pasal penghinaan Presiden.
3. Pasal pengenaan denda untuk gelandangan.
4. Pasal keteledoran memelihara hewan.
5. Pasal pidana untuk persetubuhan di luar nikah.
6. Pasal hukum adat.
7. Pasal kebebasan berpendapat pers.
Jika kita lihat lebih dalam, parlemen sebetulnya mengeluarkan RUU KUHP ini sebagai upaya
agar landasan hukum pidana Indonesia lepas dari bayang-bayang kolonial, juga sebagai usaha
menanamkan nilai-nilai nusantara pada tatanan hukum Indonesia. Para wakil rakyat menganggap
UU KUHP perlu direvisi karena UU KUHP merupakan turunan dari hukum Belanda sudah tidak
relevan dengan nilai-nilai
Namun, kurangnya sosialisasi dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) menyebabkan RUU KUHP menjadi
kontroversi di tengah masyarakat. Ada baiknya sebagai wakil rakyat, para anggota DPR lebih banyak
mendengar suara rakyat agar terjadi mufakat, sehingga DPR dapat menjadi jawaban bagi permasalahan-
permasalahan yang ada dalam masyarakat.
Beberapa hari terakhir ini kita menyaksikan bersama demostrasi dari berbagai elemen
masyarakat, terkhusus mahasiswa. Tujuannya DPR RI dan yang di daerah DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Isunya fokus pada beberapa RUU yang oleh Pemerintah dan DPR sepakat
untuk diketok palu alias disahkan. Setelah revisi RUU KPK tetap disahkan, beberapa RUU oleh
Presiden ditunda. Diantaranya ada RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan. Tulisan ini akan
konsen pada RUU KUHP ditengah pro kontra yang muncul, dan menjadi perhatian publik. Sejak
dipublis akan disahkan, muncul berbagai respon positif maupun negatif. Beberapa pasal yang
dinilai bermasalah kemudian viral bahkan memunculkan beragam meme, video kocak, termasuk
hastag seperti #tolakruukuhp dan #semuabisakena plus komentar miring, serta nyinyiran yang
tak terbilang jumlahnya didunia maya. Respon menerima atau menolak pada prinsipnya sah-sah
saja ditengah semua berhak berpendapat, dan realitas hukumnya tidak semua rasionalitas
pembuat undang-undang itu dapat diamini oleh 260an juta penduduk Indonesia.

KUHP TIGA ABAD

Bicara RUU KUHP tentu harus memahami pula historinya kenapa RUU KUHP itu harus lahir.
Salahsatunya karena KUHP yang saat ini masih kita gunakan usianya sudah menginjak 3 abad.
KUHP ini merupakan Code Penal Perancis yang lahir 1791, kemudian ditiru oleh Belanda dalam
bentuk WvS (Wetboek van Strafrecht) tahun 1881. Resmi berlaku di Hindia Belanda 1918 dan
setelah memasuki era kemerdekaan, berdasarkan UU No 1 tahun 1946 KUHP ini berlaku di
Indonesia sampai dengan detik ini. Sebagai produk kolonial, bahkan lahir dari rahim Code Penal
Perancis diabad 17 silam maka tentu isinya menyesuaikan dengan zamannya, kebutuhan lokal,
termasuk nilai dan asas didalamnya. Betul ada penyesuaian dengan Indonesia tetapi sifatnya
parsial alias tambal sulam.

Reorientasi dan Reformasi

Spirit dari RUU KUHP sesungguhnya adalah melakukan penal reform atau pembaharuan hukum
pidana yang pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan
reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio
kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan criminal dan
kebijakan penegakan hukum di Indonesia.

Jadi upaya yang dilakukan oleh tim perumus RUU KUHP yang sudah diinisiasi sejak tahun 1963
era orde lama adalah melakukan pembaharuan KUHP yang sifatnya total dan bukan parsial
sebagaimana selama ini dilakukan. Misalnya hanya mengganti istilah gulden menjadi rupiah, lalu
memperluas asas territorial termasuk kapal dan pesawat udara dan lain sebagainya. Sementara
asas-asas dan nilai-nilai didalamnya masih berprinsip kolonial yang liberal dan individual.
Berbeda jauh dengan nilai-nilai Pancasila kita yang menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Oleh karenanya RUU KUHP yang ingin dibangun adalah sebuah mahakarya nasional anak
bangsa yang selaras dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat
Indonesia.
Menurut Muladi, sebagai Tim Penyusun RUU KUHP, sejak dicetuskan 1963, sudah 17 anggota
tim penyusun yang wafat. Sudah melewati 13 Menteri Kehakiman. Artinya ini RUU bukan
barang karbitan yang dibuat kemarin sore, dan bukan pula didesain oleh orang yang bukan
ahlinya. Namun bukan pula menyebut ini karya sempurna karena tak ada gading yang tak retak.
Namun menolak RUU KUHP yang seolah salah semuanya, terlebih karena belum membacanya
secara konfrehensif juga terlihat tidak arief. Penundaan pengesahan RUU KUHP ini diambil sisi
positifnya guna menuju arah penyempurnaan. Disisi lain juga bentuk sosialisasi dan edukasi
secara tidak langsung sekaligus membuka mata publik perihal peraturan yang nanti akan
diberlakukan kepadanya. Namun kiranya proses ini tidak memakan waktu yang lama lagi.
Sehingga kita memiliki KUHP Nasional dan tentunya jalur konstitusional melalui MK tetap
terbuka untuk menggugat.

Pasal Kontroversial

Meskipun tulisan singkat ini tidak dapat membedah lengkap, namun sekilas dapat penulis
sampaikan beberapa point penting beberapa pasal yang viral dan dikritik publik. Sebelum lebih
jauh, penulis sampaikan dulu bahwa RUU KUHP terdiri atas dua buku, yakni buku satu tentang
ketentuan umum ada 187 Pasal dan buku dua tentang tindak pidana ada 627 Pasal. Jadi ada 814
pasal dalam RUU KUHP. Pertama soal penghinaan Presiden/Wapres. Pasal ini dipandang akan
membuat penguasa anti kritik dan menjadi alat guna mengkriminalisasi. Namun perlu dipahami
bahwa RUU merumuskan bahwa ini adalah delik aduan dan bukan tindak pidana jika dilakukan
untuk kepentingan umum atau membela diri. Kedua, soal perzinahan. Sebenarnya pasal ini
adalah perluasan dari KUHP lama, dimana dihilangkan kalimat “yang sudah kawin”. Selama ini
dikatakan zina jika salahsatunya terikat tali perkawinan. Padahal norma agama dan kesusilaan
kita menormakan zina itu termasuk didalamnya yang sesama jomblo alias tidak terikat
perkawinan. Jadi pasal ini justru sejalan dengan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat kita. Ketiga,
soal pasal aborsi. Harus dipahami bahwa ada prinsip lex specialis, yakni UU Kesehatan. Artinya
korban perkosaan atau darurat medis dikecualikan untuk pemidanaan atas praktik aborsi.

Keempat, perihal peragaan alat kontrasepsi. Sebenarnya di KUHP yang lama sudah ada, namun
perumus kemudian mengatur larangan didepan anak, dan pengecualian untuk petugas KB,
pencegahan penyakit menular, untuk pendidikan dan penyuluhan. Kelima, tentang kumpul kebo.
Penulis menilai sudah sejalan dengan norma social kita dan menjadi pendorong bagi pemerintah
untuk kelompok marjinal dan rentan dalam akses akta nikah. Kemudian ini menjadi delik aduan
yang hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, anak, orang tua dan kepala desa sepanjang tidak
ada hubungan kekerabatan.Kelima, soal pemerkosaan dalam ikatan pernikahan. Kepentingan
yang dilindungi adalah dari perbuatan kekerasan. Betul hubungan suami istri adalah soal privat.
Namun saat terjadi kekerasan dan paksaan maka negara harus mengintervensi dengan
mengkriminalisasi perbuatan tersebut. Keenam, soal delik santet. Sesungguhnya jika membaca
utuh pasalnya, yang diatur adalah delik penawaran untuk melakukan santet. Jadi seperti larangan
menjual jimat seperti dalam KUHP sekarang. Artinya pembuktinnya bukan soal gaibnya, tetapi
soal penawarannya atau menjadikannya sebagai mata mencarian. Inilah yang dipidana. Terakhir,
ketujuh soal ungags yang berkeliaran. Sebenarnya ini bersumber dari Pasal 548 KUHP lama, dan
tetap dipertahannya dengan modifikasi dan perubahan sanksinya, karena dalam praktiknya
perbuatan seperti ini terjadi dan merugikan orang lain.
Demikian sedikit berbagi pengetahuan perihal RUU KUHP dan tentunya pro kontra adalah
sesuatu yang wajar, terlebih pada sebuah produk hukum yang didalamnya berusaha
mengakomodir berbagai kepentingan yang begitu heterogen di negeri kita tercinta.

Pasal 278
Setiap orang yang membiarkan unggas yang di ternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah
ditaburi benih dan tanah milik orang lain.
SANKSI :
Denda paling banyak Rp 10 Juta.
Pasal ini dikhawatirkan akan timbulkan kegaduhan di masyarakat

                                                                                         Pasal 432
Setiap orang Bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang menggangu ketertiban umum.
SANKSI :
Denda paling banyak Rp 1 Juta.
Pasal ini dinilai multitafsir dan rawan bias menghakimi warga yang berada di jalanan.
Ada Pula Pasal yang dianggap terlalu masuk ke Ranah Privat dan tidak berpihak pada
perempuan.

                                                                                         Pasal 417 ayat 1


Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami
istrinya dipidana karena perzinaan.
SANKSI :
Pidana Penjara paling lama 1 tahun atau denda Rp 10 Juta.

                                                                                         Pasal 419 ayat 1


Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan.
SANKSI :
Pidana Penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 10 Juta.
Ada juga Pasal yang dinilai diskriminatif terhadap korban pemerkosaan.
 
                                                                                          Pasal 470 ayat 1
Setiap Perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungganya atau meminta orang lain
menggugurkan atau mematikan kandungganya.
SANKSI :
Pidana Penjara paling lama 4 Tahun.

                                                                                          Pasal 471 ayat 1


Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengn
persetujuan
SANKSI :
Pidana Penjara paling lama 5 Tahun. Pasal-Pasal berikut ini juga dinilai mengancam kebebasan
PERS.

                                                                                          RKUHP ( Pasal  219 )


Setiap yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga
terlihat oleh umum. Atau memperdengarkan Rekaman sehingga terdengar oleh umum. Yang
berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden
dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 Tahun 6 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. Yakni maksimal Rp
200 Juta.

                                                                                          RKUHP ( Pasal 241 )    


Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar
sehingga terlihat oleh umum. Atau mendengarkan Rekaman sehingga terdengar oleh umum.
Atau menyebarluaskan dengan Sarana Teknologi Informasi yang berisi penghinaan diketahui
umum yang berakibat terjadinya keonaran atau kerusuhan dalam Masyarakat dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 Tahun atau dipidana denda paling banyak Kategori V. Yakni paling
banyak sebesar Rp 500 Juta.
Ada pula Pasal yang dinilai melemahkan upaya Pemberantasan Korupsi.
Koruptor Bakal mendapat Hukuman Penjara yang lebih ringan.

                                                                  TERKAIT PERBUATAN MEMPERKAYA DIRI  

RKUHP
Pasal 604
- Ancaman Penjara Minimum 2 Tahun.
- Sanksi denda Minimum Rp 10 Juta.

 
UU

Pasal 2

- Ancaman Penjara Minimum 4 Tahun.

- Sanksi denda Minimum Rp 200 Juta.

TERKAIT PENYELENGARAAN NEGARA YANG MENERIMA HADIAH ATAU JANJI

RKUHP

Pasal 607 AYAT 2

- Ancaman Maksimal Pidana Penjara Selama 4 Tahun.

- Sanksi denda Maksimal 200 Juta.

UU TIPIKOR
Advertisment

Pasal 11

- Ancaman Maksimal Pidana Penjara Selama 5 Tahun Sanksi denda Maksimal

  250 Juta.

RKUHP Bakal disahkan oleh DPR pada 24 September 2019 Mendatang. Bagaimana tanggapan,
menurut kalian ?

Harapan nya saya untuk DPR( Dewan Perwakilan Rakyat ) memberikan inspirasi yang baik
kepada Masyarakat, Anak Pelajar & Mahasiswa. Kedepannya lebih baik dari sebelumnya,
Bertanggung Jawab dan Amanah nya.

Saran saya dengan adanya permasalahan tentang Pasal-Pasal Kontroversial sementara


Rancangan KUHP di tunda/di Batalkan, karena ada beberapa Pasal yang masih PRO dan
KONTRA, kemungkinan RUU KUHP masih di proses. Jadi atau tidak nya Pasal-Pasal
Kontroversial terbaru tidak sepakat oleh Para Mahasiswa Demo Seluruh Indonesia Tolak RUU
KUHP dan RUU KPK dengan adanya Pasal-Pasal terbaru nya.

Demikian yang Saya tulis dalam artikel ini, Mohon Maaf apabila ada Kekurangan/Kelebihan
dalam artikel ini. Saya mengaharapkan Para Pembaca memberikan Kesimpulan/kritik tersebut,
Saya ucapkan terima kasih.
Semoga Bermanfaat dan Berkah untuk Para Pembaca.
anja DPR bersama pemerintah sepakat menunda pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RKUHP). Alasannya lantaran masih terdapat perdebatan pada sejumlah pasal
sehingga rumusan normanya perlu diatur lebih detail. Termasuk pula dengan pola penentuan
ancaman pidana dalam RKUHP. Atas dasar itu, DPR memperpanjang pembahasan RKUHP pada
masa sidang berikutnya.

Tercatat, sebanyak 12  isu yang terpending dan  menjadi fokus dalam pembahasan RKUHP.
Pertama, terkait dengan rumusan hukum yang hidup di dalam masyarakat alias living law.
Pengaturan living law dalam RKUHP diatur dalam Pasal 2 ayat (1). Kepala Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) Prof Enny Nurbaningsih selaku tim dari pemerintah berpendapat
living law berlaku di tempat hukum hidup serta sepanjang tidak diatur dalam UU. Rumusan ini
mesti sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45 dan asas-asas hukum
umum sebagaimana diakui masyarakat yang beradab.

Fakta di tengah masyarakat, di beberapa daerah tertentu memang masih berlaku ketentuan
hukum yang tidak tertulis. Bahkan, berlaku sebagai hukum pidana adat. Dalam rangka
memberikan dasar hukum bagi pidana adat, maka diperlukan kompilasi dalam bentuk peraturan
presiden yang berasal dari peraturan daerah. Namun perdebatan masih panjang antara Panja
RKUHP dan tim pemerintah. Karena itu, living law masuk dalam daftar pending isu.

“Kompilasi tersebut memuat hukum yang berlaku dalam masyaarakat yang dikualifikasi sebagai
tindak pidana adat,” ujarnya dalam dalam laporan singkat Rapat Timus dan Timsin Komisi III 
dengan pemerintah dalam pembagasan RKUHP sebagaimana dikutip dari situs resmi Aliansi
Nasional Reformasi KUHP.

Kedua, ketentuan tentang pidana mati. Pengaturan pidana mati dituangkan dalam Pasal 67.
Namun perkembangan pembahasan diperbaiki menjadi Pasal 73 dan 129 terkait pengaturan
hukuman pidana mati. Pengaturan pidana mati dalam hukum positif memang menjadi pro kontra.
Dalam RKUHP, pidana mati bukanlah pidana pokok, tetapi, pidana yang bersifat khusus dan
diancamkan secara alternatif. 

Menurut Prof Enny, penjelasan pengaturan pidana mati sudah dirumuskan. Karena itu, pidana
mati tidak termasuk dalam urutan pidana pokok, namun ditentukan dalam pasal tersendiri.
Dengan kata lain, pidana mati menjadi pidana pilihan terakhir sebagai upaya dalam melindungi
masyarakat. Pidana mati merupakan jenis hukuman yang paling berat yang diancamkan secara
alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau ancaman hukuman 20 tahun.

 
“Pidana mati dapat dijatuhkan secara bersyarat dengan masa percobaan. Sehingga dalam
tenggang waktu percobaan terpidana bisa memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak
dilaksanakan, diganti dengan perampasan kemerdekaan, seumur hidup dan pidana 20 tahun,”
ujarnya.

Ketiga, tentang usia. Dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a menyebutkan, “Dengan tetap
mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan Pasal 60, pidana
penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan sebagai berikut: a. terdakwa
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 75 (tujuh puluh lima) tahun;”.

Menurut Prof Enny, berdasarkan ketentuan pasal tersebut perlu dipertimbangkan batasan usia
untuk tidak menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan yakni pemenjaraan. Karena itu, perlu
disepakati diganti tetap dengan  rumusan norma pasal sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (1)
huruf a.

Keempat, tentang pengertian dan istilah. Tim pemerintah, kata Prof Enny, telah melakukan
perbaikan terhadap semua pengertian dan istilah. Karena itu, tim pemerintah melakukan
penyempurnaan dengan seluruh peraturan perundangan terkait.

Kelima, alasan memperingan dan memperberat pidana. Pemerintah berpendapat faktor


memperingan dan memperberat ternyata tidak perlu pengaturan dalam bab khusus. Sebab
dikhawatirkan bakal menimbulkan kesulitan hakim dalam menerapkan pemberian vonis
hukuman.

Alasannya antara lain terdapat ketentuan terkait kewajiban hakim mempertimbangkan keadaan
memberatkan dan meringankan terdakwa dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Begitu pula dengan
Pasal 8 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal lainnya, ketentuan
pembatasan faktor meringankan atau memberatkan pidana dalam RKUHP malahan membatasi
keebasan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Keenam, mendirikan organisasi yang mengatur ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme.
Dalam perkembangan pembahasan memang telah dilakukan perbaikan dalam Pasal 220
-sebelumnya diatur dalam Pasal 207- khususnya huruf a, yakni mendirikan organisasi yang
menganut ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Alasannya, terhadap  orang yang
mendirikan organisasi jelas maksudnya, sehingga frasa diketahui atau patut diduga keras tidak
diperlukan lagi. Begitu pula dengan rumusan huruf b.

Ketujuh, tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Pengaturan terhadap
tindak pidana martabat presiden dan wapres diatur dalam Pasal 238-240. Bila di draf
sebelumnya, ancaman dalam Pasal 238 selama 5 tahun, kini menjadi 9 tahun. Begitu pula dengan
Pasal 239 yang tadinya tidak terdapat ayat, kini menjadi dua ayat. Perbaikan rumusan pasal
dilakukan dalam rangka mengakomodir putusan MK No.013-022 Tahun 2009 serta diskusi
dengan berbagai ahli.

Kedelapan, aspek kesusilaan. Pasal tersebut belakangan memang menjadi sorotan publik. Tak
saja soal pengaturan palarangan hubungan sejenis, namun juga delik yang dapat dijadikan
mekanisme proses hukum. Misalnya, banyak masyarakat menyorot Pasal 484 ayat (1) huruf e.

Sebab melalui pengaturan pasal tersebut, perumus melakukan overkriminalisasi. Pasal tersebut
yang dikhawatirkan adalah laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam
perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. Begitu pula dengan Pasal 488 dan 495 menjadi
sorotan banyak masyarakat.

Kesembilan, tentang perjudian. Pengaturan pemidanaan terhadap tindak pidana perjudian diatur
dalam Pasal 505. Kesepuluh, tentang ketentuan peralihan. Di masa transisi bagi lembaga penegak
hukum terhadap tindak pidana khusus dari UU di luar KUHP diperlukan pembahasan mendalam.
Karena itulah KPK tetap berwenang melakukan tugas penegakan hukum pro justicia terhadap
kasus korupsi.

Kesebelas, terkait dengan judul Rancangan Undang-Undang (RUU). Internal tim pemerintah
menyepakati judul ‘Undang-Undang Hukum Pidana’. Namun, kata Prof Enny, dapat disebut
sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Keduabelas, tentang ketentuan bab tindak 
pidana khusus. Khusus delik khusus dalam RKUHP dibatasi dengan tindak pidana hak asasi
manusia, terorisme, korupsi, pencucian uang, narkotika dan psikotropika. Alasannya mulai
memiliki dampak viktimisasi besar, hingga didukung oleh konvensi internasional.

Terkait isu-isu pending ini, Anggota Panja RKUHP Arsul Sani mengatakan, pihaknya membuka
ruang masukan dari masyarakat. Ia berharap masukan masyarakat tersebut sudah tidak dalam
bentuk wacana, tetapi, masukan dalam bentuk rumusan pasal. “Kami membuka diri. Maka
ajukan saja ke Komisi III untuk RDPU (rapat dengar pendapat umum). Tapi ketika datang,
jangan dalam bentuk perspektif wacana. Tapi tawaran (konkrit) rumusan pasal-pasal alternatif,”
pungkasnya.

Anda mungkin juga menyukai