Anda di halaman 1dari 34

ANALISIS KASUS TINDAK PIDANA PENYIRAMAN AIR

KERAS YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA POLISI

USULAN PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh:
Nama : Aditya Firdaus
NPM : 430200173321

SEKOLAH TINGGI HUKUM GALUNGGUNG TASIKMALAYA


2019/2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………………………………....i


DAFTAR TABEL…………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 5
1. Manfaat Teoritis ......................................................................... 5
2. Sumbangan Praktis ..................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 6
A. Pengertian Tinjauan Yuridis............................................................... 6
B. Pengertian Tindak Pidana................................................................... 6
1. Istilah Tindak Pidana .................................................................. 6
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana........................................................ 8
C. Tindak Pidana Penganiayaan.............................................................. 9
1. Pengertian Penganiayaan............................................................. 9
2. Unsur-Unsur Penganiayaan......................................................... 11
3. Jenis-Jenis Tindak Penganiayaan................................................ 13
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 22
A. Jenis Pendekatan Penelitian .............................................................. 22
B. Sumber dan Jenis Data ...................................................................... 22
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data.................................... 23
D. Analisis Data ...................................................................................... 24
E. Sistematika Pembahasan .................................................................... 25
F. Jadwal Penelitian................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA
IDENTITAS PENELITI

i
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ............................................................................. 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan dan
situasi yang tertentu oleh undang-undang dinyatakan terlarang, yang
karenanya telah terjadi dapat mengakibatkan penghukuman badan dan atau
moral bahkan perampasan sebagian kekayaan bagi pelakunya.
Hukum Pidana di Indonesia menjadi salah satu pedoman yang sangat
penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat dalam rangka menentukan perbuatan
yang terlarang dan memiliki sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya.
Ketentuan umum, kejahatan hingga dengan pelanggaran menjadi tiga bagian
penting yang termuat dalam KUHP. Kejahatan merupakan perbuatan yang
menyalahi etika dan moral sehingga dari suatu kejahatan yang dilakukan
seseorang maka tentu perbuatan tersebut memiliki dampak yang sangat
merugikan orang lain selaku subjek hukum.Terdapat berbagai tindak
kejahatan yang dipandang sebagai suatu perbuatan pidana. Meskipun
sebagaian besartindak kejahatan yang telah termuat dan di atur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara tegas memiliki
ancaman sanksi pidana, kejahatan menjadi suatu bentuk sikap manusia yang
harus kita kawal bersama dalam membangun kehidupan bermasyarakat yang
tertib dan aman. Salah satu bentuk kejahatan yang seringkali terjadi di sekitar
kita yakni kejahatan dalam bentuk kekerasan seperti penganiyaan. Maraknya
tindakan penganiayaan yang kita lihat dari berbagai sumber menjadi pertanda
bahwa hal tersebut tidak lepas dari perilaku masyarakat yang kurang
terkontrol baik itu yang dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan
pengaruh lingkungan pergaulan yang kurang baik. Perselisihan baik secara
personal ataupun kelompok dapat menjadi suatu faktor yang dapat
mengundang terjadinya tindak kekerasan yang berujung pada penganiayaan.

1
Selain itu, KUHP telah mengklasifikasikan beberapa pasal yang berkaitan
dengan penganiayaan dan

2
juga jenis ataupun bentuk penganiayaan yang tentu memiliki konsekuensi
pemidanaan yang berbeda pula. Dalam KUHP, delik penganiayaan
merupakan suatu bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain terhadap
fisik bahkan dapat berimbas pada hilangnya nyawa orang lain. Tidak hanya
itu, terdapatnya aturan pidana dari penganiyaan yang dapat menyebabkan
luka berat ataupun menyebabkan hilangnya nyawa orang lain jelas harus
dipandang sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan korbannya selaku
subjek hukum yang patut untuk mendapatkan keadilan. Ketentuan pidana
terhadap tindak pidana atau delikpenganiayaan sendiri telah termuat dalam
KUHP yakni pada Pasal 351 s/d Pasal 358. ( Nurindah Eka Fitriani,2017)
Air keras merupakan larutan asam kuat yang jika mengenai kulit akan
menimbulkan nyeri yang bisaj jadi akan membuat kulit mengalami luka
bakar. Cairan ini berbahan dari hidrogen dan klorida (HCL) atau asam klorida
yang biasa digunakan perindustrian zat–zat warna. Seperti contoh asam sulfat
yang digunakan untuk aki, asam klorida untuk membersihkan permukaan
logam sebelum disoldir, asam nitrat untuk menguji logam mulia, dan asam
fosfat untuk membuat garam fosfat. Dari kandungan ini yang membuat air
keras menjadi sangat berbahaya jika terkena kulit manusia. Zat kimia ini
sebenarnya diperuntukkan bagi kebutuhan industri.
Keasaman satuan pH (potential of Hydrogen) merupakan alat ukur untuk
mengetahui derajat keasaman. pH diukur pada skala dari 0 sampai 14. Air
murni netral, pada suhu 25 derajat Celcius, memiliki pH 7,0. Larutan dengan
pH kurang dari 7,0 menunjukkan sifat asam, dan larutan dengan pH lebih dari
7,0 dikatakan bersifat basa atau alkali. Air keras ini memiliki kandungan
kadar asam yang tinggi sehingga mempunyai sifat merusak. Setidaknya ada
empat jenis asam yang ada dalam kandungannya, seperti HCL (asam klorida),
HNO3 (asam nitrat), H3PO4 (asam fosfat), dan H2SO4 (asam sulfat).
Konsentrasi asam HCL biasanya sekitar 38 persen, HNO3 (68 persen),
H3PO4 (70 persen), dan H2SO4 (96 persen). Biasanya asam klorida
digunakan dalam produksi industri pewarna dan umum juga digunakan untuk
membersihkan permukaan logam sebelum disolder, serta menghilangkan

3
karat dan kerak besi baja. Pada dasarnya, asam jenis ini terkandung dalam
tubuh manusia namun kadarnya yang rendah. Cairan ini diproduksi dinding
lambung untuk memproses pencernaan makanan. Selain itu, dinding lambung
juga ada sel goblet yang berfungsi menghasilkan semacam lapisan lendir
untuk melindungi dari HCL. Sehingga HCL tidak merusak lambung.
Jika mengenai kulit, air keras mampu membuat kulit dehidrasi, inilah yang
menyebabkan kulit terasa panas. Air yang mengalir akan mampu
mendinginkan jaringan di sekitar kulit. Bahkan, jika cairan menyentuh mata
maka hendaknya segera siram dengan air hangat selama 20 menit. Dengan
menghirup uapnya saja, harus buru-buru ke tempat dengan sirkulasi udara
segar. Apalagi, hal itu jika sampai terminum, korban jika masih sadar
dianjurkan untuk minum air putih du gelas. Namun setelah itu perlu
dilakukan penindakan medis. Sementara itu, jika larutan ini terhirup, bisa
berakibat sangat toksik, bahkan kematian. Iritasi berat bisa terjadi pada
hidung dan tenggorokan. Gejalanya berupa batuk, napas sesak, dan dada
seperti tertekan. Jika korban masih bisa selamat terkadang mereka harus
menanggung trauma fisik maupun psikologis karena cacat. Pasalnya, larutan
tersebut akan membuat jaringan kulit meleleh sehingga putihnya tulang
terlihat. Jika lukanya cukup dalam, terkadang kulit pun bisa hancur.
Asam sulfat atau sulphuric acid adalah asam mineral kuat tak berwarna
dengan sifat korosif yang tinggi. Asam sulfat dapat larut dalam air dalam
berbagai perbandingan. Asam sulfat sangat berbahaya bila terkena jaringan
kulit karena sifatnya yang korosif, dan dengan sifatnya sebagai penarik air
yang kuat (pendehidrasi) akan menimbulkan luka seperti luka bakar pada
jaringan kulit. Semakin tinggi konsentrasi asam sulfat semakin bertambah
bahayanya. Walaupun asam sulfat tersebut encer, akan tetap mampu
mendehidrasi kertas jika tetesan asam sulfat dibiarkan di kertas dalam waktu
lama. ( Nanda Febrianto, 2019)
Saat ini, berbagai macam tindakan teror telah merambah hingga ke pejabat
publik di Indonesia. Ancaman demi ancaman didapatkan oleh penegak
hukum karena membongkar kasus-kasus tertentu ataupun menetapkan para

4
tersangka lalu mempidanakan orang tersebut, kini menjadi bumerang bagi
penegak hukum ataupun bagi pihak yang mendukung pihak tertentu. Tidak
hanya meneror menggunakan bom rakitan yang dibuat oleh oknum tertentu
yang ditujukan kepada beberapa pihak, tetapi serangan teror melalui aksi
pengeroyokan, penembakan, penusukan, penyiraman air keras bahkan teror
melalui teknologi seperti Short Message Service (SMS), bahkan melalui
media sosialpun kini telah merambah kepada aksi teror. Semua ini dilakukan
oleh oknum yang tidak bertanggungjawab dan ingin mencelakakan seseorang
yang merugikan dirinya ataupun ada indikasi untuk melemahkan penegakan
hukum yang sedang berlangsung di Indonesia. Di pertengahan semester
pertama tahun 2017, yaitu pada Hari Selasa, 11 April 2017 tepatnya ba’da
shalat shubuh, Novel Baswedan, seorang pejabat publik dibidang penegakan
hukum yang menjabat sebagai salah satu Penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang resmi menjadi penyidik tetap pada tahun 2014, telah
menjadi korban aksi teror yang dilakukan oleh Orang Tak Dikenal (OTK)
dengan cara disiram oleh air keras yang diketahui berjenis Asam Sulfat
(H2SO4). Novel Baswedan, pria kelahiran Semarang pada 22 Juni 1977 ini
merupakan lulusan dari Akademi Kepolisian pada tahun 1998. Setahun
kemudian beliau bertugas di Bengkulu hingga tahun 2005, dimana pada tahun
2004 ia menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Bengkulu yang berpangkat
Komisaris. Dari situlah, Novel ditarik ke Bareskrim Mabes Polri. Kemudian,
pada Januari 2007 ia ditugaskan sebagai penyidik untuk KPK. Lalu, pada
tahun 2014, Novel resmi diangkat menjadi penyidik tetap oleh KPK. Sepak
terjang Novel Baswedan sebagai seorang Penyidik KPK sudah tidak
diragukan lagi, berbagai aktivitas korupsi maupun suap yang dilakukan oleh
pejabat publik berhasil ia tuntaskan, serta berhasilnya tim KPK melakukan
Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pejabat publik yang menerima
suap.
Beberapa kasus besar yang berhasil diungkap oleh Novel ialah, pada tahun
2009, Novel memimpin penyergapan terhadap Bupati Buol yang saat itu

5
terjerat kasus suap proses perizinan kebun sawit. Selanjutnya, ia juga berhasil
mengungkap kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang yang terjadi pada tahun

2011. Pada kasus itu melibatkan diantaranya Bendahara Umum Partai


Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Pada tahun 2011 juga Novel berhasil
mengungkap kasus suap pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia
senilai Rp 20,8 miliar yang menyeret eks Deputi Gubernur BI, Miranda S
Goeltom. Selain itu, Novel juga terlibat dalam membongkar kasus suap dalam
tubuh penegakan hukum, yakni kasus suap Ketua MK Akil Mochtar. Serta
kasus mega proyek yang saat ini sedang ditangani oleh Novel Baswedan ialah
kasus korupsi e-KTP yang diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun.
Terbongkarnya kasus-kasus korupsi mega proyek yang ditangani oleh
Novel Baswedan, diduga menjadi salah satu indikasi terjadinya peneroran
terhadap salah satu penyidik KPK ini. Terutama, ikut andilnya Novel
Baswedan menangani kasus korupsi e-KTP hingga ditunjuk sebagai Kepala
Satuan Tugas kasus e-KTP menjadi indikasi, penyiraman air keras terhadap
Novel ada kaitannya dengan kasus yang sedang ditanganinya saat ini. (Dedek
Ferdian, 2017)
Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Analisis Kasus Tindak Pidana Penyiraman Air Keras yang
Dilakukan Oleh Anggota Polisi”.
B. Rumusan Masalah
Berpijak pada latar belakang yang penulis paparkan, maka pembatasan
objek bahasan dalam proposal ini perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk
mengarahkan pembahasan agar terfokus pada permasalahan yang diangkat.
Untuk itu secara umum objek bahasan atau permasalahan tersebut dapat
penulis rumuskan yaitu :
1. Bagaimana Hukuman Pidana yang Berlaku terhadap kasus teror dengan
penyiraman air keras yang dilakukan kepada Novel Baswedan ?

6
2. Apakah hukuman pidana tersebut sesuai dengan Undang-Undang yang
telah ditetapkan?

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui penjatuhan pidana yang diberikan terhadap pelaku
teror menggunakan air keras terhadap Novel Baswedan dan kesesuaian
hukuman pidana tersebut dengan Undang-Undang yang berlaku.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Dari segi teoritis, dapat memberikan sumbangan teoritis bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, dalam hal ini
perkembangan dan kemajuan Ilmu Hukum Pidana. Diharapkan penulisan
ini dapat dijadikan referensi tambahanbagi para akademisi, penulis, dan
para kalangan yang berminat dalam kajian bidang yang sama.
Karya akhir ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu dalam Kriminologi karena berusaha untuk menjelaskan suatu
penghukuman yang salah yang diberlakukan oleh pemerintah dalam
upaya mengurangi angka kejahatan terhadap lasus teror dengan
penganiayaan.
2. Sumbangan praktis
Dari segi praktis, dapat dijadikan masukan dan sumber informasi
bagi pemerintah dan lembaga yang terkait, terutama bagi para aparat
penegak hukum dalam rangka penerapan supremasi hukum. Juga dapat
dijadikan sumber informasi dan referensi bagi para pengambil kebijakan
guna mengambil langkah strategis dalam pelaksanaan penerapan hukum.
Bagi masyarakat luar, penulisan ini dapat dijadikan sebagai sumber
informasi dan referensi untuk menambah pengetahuan.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
pemahaman terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya mengenai
kasus teror dengan penganiayaan. Serta memberikan ancaman pada

7
masyarakat luas bahwa kasus teror dengan penganiayaan harus
dihilangkan dari Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tinjauan Yuridis


Tinjauan yuridis berasal dari kata “tinjauan” dan “yuridis”. Tinjauan
berasal dari kata tinjau yang artinya mempelajari dengan cermat. Kata
tinjau mendapat akhiranan menjadi tinjauan yang artinya perbuatan
meninjau. Pengertian kata tinjauan dapat diartikan sebagai kegiatan
pengumpulan data, pengolahan, dan analisa secara sistematis. Sedangkan
yuridis diartikan sebagai menurut hukum atau yang ditetapkan oleh
undang-undang. Jadi, tinjauan yuridis dapat diartikan sebagai kegiatan
pemeriksaan yang teliti, pengumpulan data atau penyelidikan yang
dilakukan secara sistematis dan objektif terhadap sesuatu menurut atau
berdasarkan hukum dan undang-undang.
Adapun pengertian lain dari Tinjauan Yuridis jika dikaji menurut
hukum pidana, adalah dapat kita samakan dengan mengkaji hukum pidana
materiil yang artinya kegiatan pemeriksaan yang teliti terhadap semua
ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang tindakan-tindakan
mana yang dapat dihukum, delik apa yang terjadi, unsur-unsur tindak
pidana terpenuhi, serta siapa pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan
terhadap tindak pidana tersebut dan pidana yang dijatuhkan terhadap
pelaku tindak pidana tersebut.
B. Pengertian Tindak Pidana
1. Istilah tindak pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin

8
delictum. Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa
Belanda berarti ”sebagian dari kenyataan” atau ” een gedeelte van
werkelijkheid” sedangkan ”strafbaar” berarti ” dapat dihukum”,
sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar feit” itu dapat

9
10

diterjemhakan sebagai” sebagian dari suatu kenyataan yang dapat


dihukum. (Lamintang, 1997)
Menurut Amir Ilyas, tindak pidana merupakan suatu istilah yang
mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum sebagai
istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri
tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai
pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam
lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti
yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat
memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan
masyarakat. (Amir Ilyas, 2018).
Terdapat beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa)
mengenai pengertian Strafbaar feit, antara lain sebagai berikut:
a. Menurut Simons, Strafbaar feit yaitu suatu tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.
b. Pompe, Strafbaar feit yaitu suatu pelanggaran norma (gangguan
terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak
sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan
hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum.
c. Hasewinkel Suringa, Strafbaar feit yaitu suatu perilaku manusia
yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan
hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan
oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
bersifat memaksa yang terdapat didalam undang-undang.
Sedangkan menurut beberapa pakar hukum pidana di Indonesia,
pengertian tindak pidana adalah sebagai berikut :
11

a. Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh


suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar
larangan tersebut.
b. Roeslan Saleh, menyatakan bahwa perbuatan pidana adalah
perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang
tidak boleh atau tidak dapat dilakukan.
c. Wirjono Prodjodikoro, Beliau mengemukakan definisi tindak
pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
pidana
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan kedalam tiga
bagian yaitu:
a. Ada perbuatan (mencocoki rumusan delik)
Artinya perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang
dilarang oleh undang undang. Jika perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku tidak memenuhi rumusan undang-undang atau belum
diatur dalam suatu undang-undang maka perbuatan tersebut
bukanlah perbuatan yang bias dikenai ancaman pidana.
b. Melawan hukum
Menurut Simons, melawan hukum diartikan sebagai
“bertentangan dengan hukum”, bukan saja terkait dengan hak orang
lain (hukum subjektif), melainkan juga mencakup Hukum Perdata
dan Hukum Administrasi Negara. Sifat melawan hukum dapat
dibagi menjadi 4 (empat) jenis, yaitu: (I Made Widnyana, 2010)
1) Sifat melawan hukum umum
Ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana
yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana.
Perbuatan pidana adalah kelakuan yang termasuk dalam
rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
12

2) Sifat melawan hukum khusus


Ada kalanya kata “bersifat melawan hukum” tercantum
secara tertulis dalam rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum
merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidana. Sifat melawan
hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik
dinamakan sifat melawan hukum khusus. Juga dinamakan “sifat
melawan hukum facet”.
3) Sifat melawan hukum formal
Istilah ini berarti semua bagian yang tertulis dari
rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk
dapat dipidana).
4) Sifat melawan hukum materiil
Sifat melawan hukum materiil berarti melanggar atau
membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi
oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu.
5) Tidak ada alasan pembenar
Meskipun suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
memenuhi unsur dalam undang-undang dan perbuatan tersebut
melawan hukum, namun jika terdapat “alasan pembenar”, maka
perbuatan tersebut bukan merupakan “perbuatan pidana”.
C. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Narkotika
1. Pengertian Peredaran Narkotika
Pengertian peredaran adalah suatu proses, siklus, kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang menyalurkan/memindahkan sesuatu (barang,
jasa, informasi, dan lain-lain). Peredaran dapat juga diartikan sebagai
impor, ekspor, jual beli di dalam negeri serta penyimpanan dan
pengangkutan. Narkotika adalah zat yang dibutuhkan oleh umat
manusia terkait dengan kepentingan ilmiah. Sebagai sarana kebutuhan
medis yang penggunaannya secara terukur dibawah kendali medis yang
untuk kepentingan penelitianmaupun pertolongan kesehatan. Namun
13

demikian, dalam perkembangannya menjadi barang haram karena telah


diedarkan secara gelap dan disalahgunakan untuk kepentingan di luar
medis serta berdampak terhadap gangguan kesehatan. ( H. Dadang
Hawari, 2003)
Di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, tindak pidana Narkotika digolongkan kedalam tindak pidana
khusus karena tidak disebutkan di dalam KUHP, pengaturannya pun
bersifat khusus. Istilah Narkotika bukan lagi istilah asing bagi
masyarakat mengingat begitu banyaknya berita baik dari media cetak
maupun elektronik yang memberitakan tentang kasus-kasus mengenai
narkotika. Dan dengan pemberian sanksi pidana mati bagi para
pelakunya. Narkotika atau nama lazim yang diketahui oleh orang awam
berupa narkoba tidak selalu diartikan negatif, didalam ilmu kedokteran
Narkotika dengan dosis yang tepat digunakan sebagai obat bagi pasien.
Selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang
merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif.
( Taufik Makarao, 2005)
Sudarto mengatakan bahwa kata Narkotika berasal dari perkataan
Yunani “Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.”
Sementara menurut Pasal 1 angka 1 UU Narkotika pengertian
Narkotika adalah: “Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.”
Narkotika mengacu pada sekelompok senyawa kimia yang
berbahaya apabila digunakan tidak pada dosis yang tepat. Bahaya itu
berupa candu dan ketagihan yang tidak bisa berhenti. Hal ini dikarenak di
dalam narkotika terkandung senyawa adiktif yang bersifat adiksi bagi
pemakainya. Penggunaan narkotika dapat menyebabkan hilangnya
14

kesadaran dan si pengguna dapat dengan mudah melupakan segala


permasalahan yang dihadapi. ( Mardani, 2009)
Pada awalnya, zat Narkotika memang diperuntukkan
penggunaannya untuk kepentingan umat manusia khususnya dibidang
ilmu pengetahuan dan pengobatan, dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi, obat-obatan semacam Narkotika
juga semakin berkembang pula cara pengolahan dan peredarannya.
(Julianan Lisa, Nengah Sutrisna)
Namun belakangan diketahui bahwa zat-zat yang terkandung
didalam Narkotika memiliki daya kecanduan yang bisa menimbulkan
efek ketergantungan. Dengan demikian, diperlukan jangka waktu yang
agak lama untuk melakukan pengobatan, pengawasan, dan pengendalian
guna menyembuhkan orang yang sudah terikat dengan Narkotika.
( Mardani, 2009)
2. Jenis-jenis Tindak Pidana Narkotika
Umumnya, jenis-jenis tindak pidana Narkotika dapat dibedakan
menjadi berikut ini:
a. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Narkotika Tindak
pidana penyalahgunaan Narkotika dibedakan menjadi dua macam
yaitu perbuatannya untuk orang lain dan untuk diri sendiri.
b. Tindak pidana yang menyangkut produksi dan jual beli Narkotika
Tindak pidana yang menyangkut produksi dan jual beli disini
bukan hanya dalam arti sempit, akan tetapi termasuk pula perbuatan
ekspor impor dan tukar menukar Narkotika.
c. Tindak pidana yang menyangkut pengangkutan Narkotika Tindak
pidana dalam arti luas termasuk perbuatan membawa, mengirim,
mengangkut, dan mentrasito Narkotika. Selain itu, ada juga tindak
pidana di bidang pengangkutan Narkotika yang khusus ditujukan
kepada nahkoda atau kapten penerbang karena tidak melaksanakan
tugasnya dengan baik sebagaimana diatur dalam Pasal 139 UU
Narkotika, berbunyi sebagai berikut: Nakhoda atau kapten
15

penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
d. Tindak pidana yang menyangkut penguasaan Narkotika
e. Tindak pidana yang menyangkut tidak melaporkan pecandu
Narkotika Orang tua atau wali memiliki kewajiban untuk
melaporkan pecandu Narkotika. Karena jika kewajiban tersebut tidak
dilakukan dapat merupakan tindak pidana bagi orang tua atau wali
dan pecandu yang bersangkutan.
f. Tindak pidana yang menyangkut label dan publikasi seperti yang
diketahui bahwa pabrik obat diwajibkan mencantumkan label pada
kemasan narkotika baik dalam bentuk obat maupun bahan baku
Narkotika (Pasal 45). Kemudian untuk dapat dipublikasikan Pasal 46
UU Narkotika syaratnya harus dilakukan pada media cetak ilmiah
kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. Apabila tidak
dilaksanakan dapat merupakan tindak pidana.
g. Tindak pidana yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan
narkotika barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana
dilakukan penyitaan untuk dijadikan barang bukti perkara
bersangkutan dan barang bukti tersebut harus diajukan dalam
persidangan. Status barang bukti ditentukan dalam putusan
pengadilan. Apabila barang bukti tersebut terbukti dipergunakan
dalam tindak pidana maka harus ditetapkan dirampas untuk
dimusnahkan.
Dalam tindak pidana Narkotika ada kemungkinan barang bukti yang
disita berupa tanaman yang jumlahnya sangat banyak, sehingga tidak
mungkin barang bukti tersebut diajukan kepersidangan semuanya.
Dalam hal ini, penyidik wajib membuat berita acara sehubungan
16

dengan tindakan penyidikan berupa penyitaan, penyisihan, dan


pemusnahan kemudian dimasukkan dalam berkas
perkara.Sehubungan dengan hal tersebut, apabila penyidik tidak
melaksanakan tugasnya dengan baik merupakan tindak pidana.
h. Tindak pidana yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur
tindak pidana dibidang Narkotika tidak seluruhnya dilakukan oleh
orang dewasa, tetapi ada kalanya kejahata ini dilakukan pula
bersama-sama dengan anak dibawah umur (belum genap 18 tahun
usianya). Oleh karena itu perbuatan memanfaatkan anak dibawah
umur untuk melakukan kegiatan Narkotika merupakan tindak
pidana.
3. Penggolongan Narkotika
a. Narkotika Golongan I
Dalam penggolongan narkotika, zat atau obat golongan I
mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Oleh karena itu didalam penggunaannya hanya
diperuntukkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan
tidak dipergunakan dalam terapi. Pengertian pengembangan ilmu
pengetahuan, termasuk didalamnya untuk kepentingan pendidikan,
pelatihan, keterampilan dan penelitian serta pengembangan. Dalam
penelitian dapat digunakan untuk kepentingan medis yang sangat
terbatas.
Golongan I (tidak digunakan dalam pengobatan hanya
digunakan dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,
jumlahnya ada 65 jenis) contoh : Heroin, Kokain, Extacy, Opium,
Sabu-Sabu, Ganja. (Balai Penerbit Badan Narkotika Nasional, 2009)
b. Narkotika Golongan II
Narkotika pada golongan ini adalah narkotika yang
berkhasiat terhadap pengobatan dan digunakan sebagai pilihan
terakhir dan dapat dipergunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
17

pengembangan ilmu pengetahuan. narkotika golongan ini


mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Golongan II (digunakan dalam pengobatan tapi terbatas,
jumlahnya ada 86 jenis) contoh : Morfin, Petidina, Fentamil,
Alfametadol, Alfentanil, Bezetidin, Alliprodina. (Balai Penerbit
Badan Narkotika Nasional, 2009)
c. Narkotika Golongan III
Narkotika golongan ini adalah Narkotika yang berkhasiat
dalam pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan menyebabkan ketergantungan.
Golongan III (digunakan dalam pengobatan, jumlahnya ada
13), contoh : Kodein, Polkodina, Dionima, Buprenorfina. (Balai
Penerbit Badan Narkotika Nasional, 2009)
4. Unsur-unsur Tindak Pidana Narkotika
Tindak pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111
sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak
disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang Narkotika bahwa
tindak pidana yang diatur didalamnya adalah kejahatan, akan tetapi
tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam
undangundang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau
narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan,
maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan kepentingan tersebut
sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang
ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat
membahayakan bagi jiwa manusia. (Supramono, 2001)
Menurut Soedjono Dirjosisworo, penggunaan Narkotika secara
legal hanya bagi kepentingan kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu
pengetahuan. Menteri Kesehatan dapat memberi ijin lembaga ilmu
pengetahuan dan atau lembaga pendidikan untuk membeli atau
18

menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun


menguasai tanaman papaver, koka dan ganja. ( Nikmah Rosidah, 2011)
Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana adalah
sebagai berikut:
a. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman (Pasal
111);
b. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman (Pasal 112);
c. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika golongan I (Pasal 113);
d. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika
golongan I (Pasal 114);
e. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika
golongan I (Pasal 115);
f. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan
Narkotika golongan I untuk digunakan orang lain (Pasal 116);
g. Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika golongan II (Pasal 117);
h. Tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika golongan II (Pasal 118);
i. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika
golongan II (Pasal 119);
j. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika
golongan II (Pasal 120);
19

k. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan


Narkotika golongan II terhadap orang lain atau memberikan
Narkotika golongan II untuk digunakan orang lain (Pasal 121);
l. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika golongan
III (Pasal 122);
m. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika golongan
III (Pasal 123);
n. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika dalam
golongan III(Pasal 124);
o. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika
golongan III (Pasal125);
p. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika golongan III terhadap orang lain atau memberikan
Narkotika golongan III untuk digunakan orang lain (Pasal 126);
q. Setiap penyalahguna (Pasal 127 Ayat (1)) , Narkotika golongan I
bagi diri sendiri dan Narkotika golongan II bagi diri sendiri;
r. Narkotika golongan III bagi diri sendiri ;
s. Pecandu Narkotika yang belum cukup umur (Pasal 55 Ayat (1)
yang sengaja tidak melapor (Pasal 128);
t. Setiap orang tanpa hak melawan hukum (Pasal 129)
1) Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
2) Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
3) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
20

4) Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito prekursor


Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Sedangkan untuk sanksi pidana dan pemidanaan terhadap tindak
pidana Narkotika adalah sebagai berikut:
a. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan, penjara
dalam waktu tertentu/seumur hidup, dan pidana mati), pidana
tambahan (pencabutan izin usaha/pencabutan hak tertentu), dan
tindakan pengusiran (bagi warga Negara asing).
b. Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara Rp.
800.000.000,00(delapan ratus juta rupiah) sampai Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana
Narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun
dan seumur hidup.
c. Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara
kumulatif (terutama penjara dan denda);
d. Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana
minimal khusus (penjara maupun denda);
e. Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului
dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi,
dilakukan oleh korporasi dilakukan dengan menggunakan anak
belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive).
D. Macam-Macam Sanksi Dalam Undang-Undang Narkotika
1. Pengertian Sanksi Pidana.
Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan
kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan
perbuatan pidana. Jenis-jenis pidana ini sangat bervariasi, seperti
pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan
dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan baran-barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana
tambahan. Tujuan dari sanksi pidana menurut Bemmelen adalah untuk
21

mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan


kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan
tertentu membinasakan.
2. Jenis-Jenis Sanksi Pidana.
Secara eksplisit bentuk-bentuk sanksi pidana tercantum dalam
pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk sanksi pidana ini dibedakan antara
pidana pokok dan pidana tambahan.
E. Teori Pemidanaan
Istilah Pemidanaan berasal dari inggris yaitu comdemnation theory.
Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada pelaku yang telah
melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana merupakan: “Perbuatan
yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam
pidana itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu
keadaan atau kejadian yang ditimbulkan kelakuan orang sedangkan
ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian
itu”. Teori-teori pemidanaan pada dasarnya merupakan perumusan dasar-
dasar pembenaran dan tujuan pidana. Secara tradisional teori-teori
pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok teori, yaitu :
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Aliran ini menganggap sebagai dasar dari hukum pidana
adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding atauvergeltung).
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan
atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi pada perbuatan
dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori retributif
mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampau,
yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang telah
dilakukan. ( Teguh Prasetyo, 2013)
Immanuel Kant berpendapat, pembalasan atas suatu perbuatan
melawan hukum adalah suatu syarat mutlak menurut hukum dan
keadilan, hukuman mati terhadap penjahat yang melakukan
pembunuhan berencana mutlak dijatuhkan. Oleh karena itulah maka
22

teori ini disebut teori absolut Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan
hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat
suatu pidana menurut teori ialah pembalasanPenganut dari teori ini
ialah Immanuel Kant dan Leo Polak. Teori ini mengatakan bahwa
kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana
dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Kant mengatakan bahwa
konsekuensi tersebut adalah suatu akibat logis yang menyusul tiap
kejahatan. ( Pipin Syarifin, 2008)
Menurut rasio praktis, maka tiap kejahatan harus disusul oleh
suatu pidana. Oleh karena menjatuhkan pidana itu sesuatu yang
menurut rasio praktis, dengan sendirinya menyusul suatu kejahatan
yang terlebih dahulu dilakukan, maka menjatuhkan pidana tersebut
adalah sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis. ( Djoko Prakoso dan
Nurwachid, 2016)
Menjatuhkan pidana itu suatu syarat etika, sehingga teori Kant
menggambarkan pidana sebagai suatu pembalasan subjektif belaka.
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori ini muncul sebagai reaksi keberatan terhadap teori absolut.
Menurut teori ini, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan
absolut dari keadilan.Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai,
tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu sebagaimana yang telah dikutip dari J. Andenles, dapat
disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social
defense). ( Marlina,2011)
Bertitik tolak pada dasar pemikiran bahwa tujuan utama pidana
adalah alat untuk menyelenggarakan, menegakkan dan
mempertahankan serta melindungi kepentingan pribadi maupun
publik dan mempertahankan tata tertib hukum dan tertib sosial dalam
masyarakat (rechtsorde; social orde) untuk prevensi terjadinya
kejahatan. Maka dari itu untuk merealisasikannya diperlukan
23

pemidanaan, yang dimana menurut sifatnya adalah: menakuti,


memperbaiki, atau membinasakan.
Teori relatif ini berasal pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu
preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention)
untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan
terpisah dari masyarakat, tujuan preventif yaitu mencegah, mencegah
bukalah tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan
yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat. Tujuan menakuti
(detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan
kejahatan.Tujuan ini dibedakan tiga bagian, yaitu yang bersifat
individual, tujuan bersifat publik dan bersiat jangka panjang.
Tujuan deterrence yang bersifat individual dimaksud agar
pelaku menjadi jerah untuk kembali melakukan kejahatan. Sedangkan
tujuan deterrence yang bersifat publik adalah agar anggota masyarakat
lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Dan tujuan deterrence
jangka panjang atau long term deterrence adalah agar dapat memelihara
sikap masyarakat terhadap pidana.
Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah
sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan,
sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya
sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai -nilai yang ada
dimasyarakat. ( Teguh Prasetyo, 2013)
Menurut teori ini, maka dasar pemidanaan adalah pertahanan
tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu, tujuan dari pemidanaan adalah
menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum.
Sifat prevensi dari pemidanaan ialah prevensi umum dan prevensi
khusus.
3. Teori Gabungan
Dengan menyikapi keberadaan dari teori Absolut dan teori Relatif,
maka muncullah teori ketiga yakni Teori Gabungan yang
menitikberatkan pada pandangan bahwa pidana hendaknya didasarkan
24

pada tujuan pembalasan namun juga mengutamakan tata tertib dalam


masyarakat, dengan penerapan secara kombinasi yang menitik beratkan
pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur lainnya maupun
dengan mengutamakan keseimbangan antara kedua unsur ada. Teori
Gabungan ini dibagi dalam tiga golongan, yaitu :
1) Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi membalas
tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk
dapat mempertahankan tata tertib masyarakat. Pendukung teori ini
adalah Pompe.
2) Teori gabungan yang menitik beratkan pada pertahanan tata tertib
masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari pada suatu penderitaan
yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan
oleh terpidana. Menurut pendukung teori ini, Thomas Aquino, yang
menjadi dasar pidana itu ialah kesejahteraan umum.
3) Teori gabungan yang menganggap kedua asas tersebut harus dititik
beratkan sama. Penganutnya adalah De Pinto. Selanjutnya oleh Vos
diterangkan,karena pada umumnya suatu pidana harus memuaskan
masyarakat maka hukum pidana harus disusun sedemikian rupa
sebagai suatu hukum pidana yang adil, dengan ide pembalasannya
yang tidak mungkin diabaikan baik secara negatif maupun secara
positif.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua
macam pendekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan
yuridis empiris.
1. Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan
cara mempelajari teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan
dengan masalah. Pendekatan normatif atau pendekatan kepustakaan
adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. (Soerjono
Soekanto, 2009)
2. Pendekatan yuridis empiris atau penelitian sosiologi hukum, yaitu
pendekatan yang mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa
sikap, penilaian, perilaku, yang berkaitan dengan masalah yang diteliti
dan yang dilakukan dengan cara melakukan penelitian dilapangan.
Pendekatan Empiris tidak bertolak belakang dari hukum positif tertulis
(perundang-undangan) sebagai data sekunder, tetapi dari perilaku nyata
sebagai data primer yang diperoleh dari lokasi penelitian lapangan (field
researh). (Abdulkadir Muhammad, 2011)
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara
data yang diperoleh langsung dari lapangan data yang diperoleh dari bahan
pustaka. Sumber data yang digunakan dalam penulisan proposal skripsi
ini, adalah sebagai berikut : ( Soerjono Soekanto, 1986)
1. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari masyarakat.
Dengan demikian, data primer merupakan data yang diperoleh dari
studi lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok penulisan.

25
26

2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mempelajari
peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, dan dokumen yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Bahan hukum primer yaitu data yang diambil dari sumber aslinya
yang berupa undang-undang yang memiliki otoritas tinggi yang
bersifat mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer terdiri
dari:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang
Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana
3) Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang
memberikan keterangan terhadap bahan hukum primer dan
diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya atau dengan kata
lain dikumpulkan oleh pihak lain, dapat berupa Putusan
Pengadilan. (Peter Mahmud Marzuki, 2005)
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder yang lebih dikenal dengan nama acuan
bidang hukum,misal kamus hukum, indeks majalah hukum, jurnal
penelitian hukum dan penelitian yang berwujud laporan dan buku-
buku hukum. ( Soerjono Soekanto, 1986)
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini
ditempuh prosedur sebagai berikut:
27

a. Studi Pustaka (Library reseach)


Dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mencatat,
memahami dan mengutip data-data yang diperoleh dari beberapa
literatur berupa buku-buku, dan peraturan hokum yang berkaitan
dengan pokok bahasan.
b. Studi Lapangan (field research)
Studi ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh data
primer yang dilakukan dengan menggunakan metode wawancara
(interview).
2. Prosedur Pengolahan Data
Data yang terkumpul, diolah melalui pengolahan data dengan
tahap-tahap sebagai berikut:
a. Editing yaitu data yang diperoleh diolah dengan cara pemilahan data
dengan cermat dan selektif sehingga diperoleh data yang relevan
dengan pokok masalah.
b. Klasifikasi data yaitu menempatkan data menurut kelompok-kelompok
yang ditentukan sehingga diperoleh data yang obyektif dan sistematis
sesuai dengan pokok bahasan secara sistematis.
c. Sistematika data yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data
ditentukan dan sesuai dengan pokok bahasan secara sistematis.
D. Analisis Data
Data yang telah diolah, dianalisis dengan menggunakan cara deskriptif
kualitatif yaitu dengan memberikan pengertian terhadap data yang menurut
kenyataan dan diperoleh di lapangan sehingga benar-benar menyatakan
pokok permasalahan yang ada analisis data yang digunakan dengan
menjabarkan secara rinci kenyataan atau keadaan atas suatu objek dalam
bentuk kalimat guna memberikan gambaran permasalahan yang diajukan
sehingga memudahkan untuk ditarik kesimpulan.
28

E. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa
bab yang mana pada setiap bab ada pembagian sub bab yang masing-
masing sub bab mempunyai penjelasan masing-masing yaitu:
BAB I: Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, dan manfat penelitian.
BAB II: adalah tinjauan pustaka. Pada bab ini memaparkan
mengenai pengertian tinjauan yuridis, pengertian tindak pidana, tinjauan
umum mengenai tindak pidana narkotika, macam-macam sanksi dalam
undang-undang narkotika, teori pemidanaan.
BAB III: adalah pemaparan mengenai metode penelitian yang akan
dilakukan yange berisi pendekatan masalah, sumber dan jenis data,
prosedur pengumpulan dan pengolahan data, analisis data, sistematika
pembahasan, dan jadwal penelitian.
BAB IV: merupakan bab yang menjelaskan mengenai hasil dan
pembahasan mengenai penelitian yang terlah dilakukan.
BAB V: merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran.
29

F. Jadwal Penelitian
Tabel 3.1
Jadwal Penelitian

N Kegiatan Periode
o Juni Juli Agustus September Oktober
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengumpulan
Outline
2 Penyerahan
Proposal
Penelitian
3 Sidang Proposal
4 Pengumpulan
Data Penelitian
dan Bimbingan
5 Pengumpulan
Hasil Penelitian
6 Sidang Hasil
Penelitian
7 Perbaikan Hasil
Penelitian
8 Pengumpulan
Revisi Hasil
Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Andi ayub Saleh. Tamasya Penemuan Hukum Dalam Law In Book And Law In
Action Menuju Penemuan Hukum , Jakarta, Yarsif Watampone, hlm 76
Amir Ilyas, 2012, Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta
dan Pukap Indonesia, Yogyakarta, hlm. 18
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-Aspek Perkembangan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hlm.51
Fadhillah, Ahmad Rizki, 2018, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pengedar
Narkotika Yang Dilakukan Oleh Residivis Dihubungkan Dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Bandung: Fakultas Hukum Unpas.
H.Dadang Hawari, Penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (Jakarta: FKUI,
2003), hlm.12.
I Made Widnyana, 2010, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska,
Jakarta, hlm. 57
Mardani. Hukum Aktual. Bogor: Ghalia Indonesia. 2009, hlm. 16-21
Mahmud Mulyadi, “Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan Dalam
Penegakan Hukum Pidana Indonesia” Medan: Repository USU, 2006. Hal. 6.
Marlina, Hukum Penitensier (Bandung: Refika Aditama, 2011). hlm. 27-28.

Muhammad Abdulkadir. Hukum dan Penelitan Hukum, Bandung: PT. Citra


Aditya Bakti, 2004,hlm. 73.
Nawawi Barda Arif, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan,Citra Aditya Bakti, Bandung. 2011. hlm.306
Nikmah Rosidah. Asas-Asas Hukum Pidana. Magister semarang, 2011 , hlm 10
Nugroho, Tri Fajar, 2016, Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Pelaku Pengedar
Narkotika, Lampung: Universitas Lampung.
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra
Adya Bakti, Bandung, hlm. 181
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Group,
2005, hlm. 142
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2008). hlm.
23.

Ridha Ma’roef, 1987, Narkotika, Masalah dan Bahayanya, PT. Bina


Aksara, Jakarta, hlm. 15

30
R.Soema Dipradja. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, Alumni, hlm 6
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Jakarta: Balai Lektur
Mahasiswa, hal. 56
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum Cet ke-3. Jakarta:UI. Press.
1986, hlm. 125
Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum.Jakarta: Rajawali 1983, hlm.124.
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 13-14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
Press,1986, hlm. 11.
Soerjono Soekanto.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.Jakarta.
Raja Grafindo Persada. 1983. hlm.4-5
Soedjono Dirjosisworo, 1990, Hukum Narkotika di Indonesia, Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti. Hlm.24
Sudarto, 1990, Hukum Pidana, Purwokerto, Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, hlm. 23.
Supramono, 2001, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm. 5
Syamsul Hidayat, 2010, Pidana Mati di Indonesia, Genta Press, Yogyakarta,
hlm.1
Taufik Makarao, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta, hlm. 17
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana (Bandung: Nusa Media,
2013). Hlm 87

Tiem Ahli, Pedoman Petugas Penyuluh Pencegahan Pemberantasan


Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (Jakarta: Balai Penerbit Badan
Narkotika Nasional, 2009), hlm.53-54
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang tindak pidana narkotika
Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung.
2009. hlm.57

31

Anda mungkin juga menyukai