Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan sensori persepsi.

Pasien yang mengalami halusinasi biasanya merasakan sensori palsu berupa suara,

penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan (Direja, 2011). Sensori dan persepsi

yang dialami pasien tidak bersumber dari kehidupan nyata, tetapi dari diri pasien itu

sendiri. Dapat disimpulkan bahwa pengalaman sensori tersebut merupakan sensori

persepsi palsu.

Menurut data WHO (2016), Secara global di perkirakan 350 juta orang yang terkena

gangguan jiwa. Terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena

bipolar, 21 juta terkena skizofrenia halusinasi. Gangguan jiwa tersebar hampir merata di

seluruh dunia, termasuk di wilayah Asia Tenggara. Berdasarkan data dari World Health

Organization, hampir satu per tiga dari penduduk di wilayah Asia Tenggara pernah

mengalami gangguan neuropsikiatri (Yosep, 2011).

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES RI) tahun 2018,

gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap negara tidak

hanya di Indonesia saja. Beban penyakit atau burden of disase penyakit jiwa di tanah air

masih cukup besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas tahun 2018, menunjukkan

bahwa prevalensi gangguan jiwa berat adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000

orang.

Berdasarkan data dari bagian Medical Record di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi

Sulawesi Utara, jumlah pasien gangguan jiwa yang tercatat di Rumah Sakit Jiwa pada

tahun 2017 sebanyak 201 orang yang dirawat inap dan pada tahun 2018 dari bulan Januari
hingga April tercatat 73 pasien yang dirawat inap diruang perawatan kabela tahun 2017 di

dapatkan data bahwa jumlah penderita gangguan halusinasi sebanyak 58 pasien.

Sedangkan pasien yang mengalami gangguan halusinasi selalu meningkat setiap tahunnya.

Pada tahun 2019 bulan Februari didapatkan pasien yang mengalami halusinasi di ruangan

kabela dan sebanyak 16 pasien (Dinkes Provinsi Sulawesi Utara 2019).

Chaery (2009) menyatakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan oleh pasien yang

mengalami halusinasi merupakan kehilangan kontrol dirinya. Pasien akan mengalami

panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi. Pada situasi ini pasien dapat

melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide),bahkan merusak

lingkungan Untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan halusinasi, dibutuhkan

penanganan yang tepat.

Data di rumah sakit jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2012 menunjukkan

bahwa pasien rawat inap yang menderita halusinasi memiliki presentasi 78% dari jumlah

pasien rawat inap seluruhnya di tahun tersebut. Data lain menunjukkan bahwa jumlah

penderita halusinasi pada bulan Januari 2012 yaitu: 128 orang, bulan Februari 2012: 90

orang, bulan Maret 2012: 132 orang, serta bulan April 2012: 140 orang, dengan 70% di

antaranya memiliki diagnosis keperawatan halusinasi pendengaran. Dengan banyaknya

angka kejadian halusinasi, semakin jelas bahwa dibutuhkan peran perawat untuk

membantu pasien agar dapat mengontrol halusinasi dan mampu bercakap dengan orang

lain.

Peran perawat dalam menangani halusinasi di rumah sakit antara lain melakukan

penerapan standar asuhan keperawatan, terapi aktivitas kelompok, dan melatih keluarga

untuk merawat pasien dengan halusinasi. Standar asuhan keperawatan mencakup

penerapan strategi pelaksanaan halusinasi. Strategi pelaksanaan merupakan penerapan


standar asuhan keperawatan terjadwal yang diterapkan pada pasien yang bertujuan untuk

mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani (Fitria, 2009).

Strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi mencakup kegiatan mengenal halusinasi,

mengajarkan pasien menghardik halusinasi, minum obat dengan teratur, bercakap-cakap

dengan orang lain saat halusinasi muncul, serta melakukan aktivitas terjadwal untuk

mencegah halusinasi (Keliat, 2010).

Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Carolina (2009) menunjukkan bahwa

dengan penerapan TAK yang sesuai standar dapat membantu menurunkan tanda dan

gejala halusinasi sebesar 14% Kemampuan kognitif pasien meningkat 47% serta

kemampuan psikomotor sebanyak 48%. Sulastri (2010) dalam penelitiannya terhadap 30

responden didapatkan bahwa penerapan TAK mampu bercakap dengan orang lain, gejala

halusinasi pasien. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pada kelompok

intervensi terjadi peningkatan nilai kemampuan bercakap dengan orang lain, sedangkan

pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan. Hasil dari kedua penelitian tersebut

sama-sama menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan pasien dalam mengontrol

halusinasi dan kemampuan bercakap dengan orang lain sebelum dan setelah diterapkan

strategi pelaksanaan halusinasi.

Tingginya angka penderita gangguan jiwa yang mengalami halusinasi merupakan

masalah serius bagi dunia kesehatan dan keperawatan di Indonesia. Penderita halusinasi

jika tidak ditangani dengan baik akan berakibat buruk bagi klien sendiri, keluarga, orang

lain dan lingkungan. Melihat besarnya peranan perawat dalam penanganan pasien

halusinasi dan faktor pengetahuan yang sangat berpengaruh dalam kinerja perawat untuk

melakukan tindakan yang tepat dalam pemberian TAK pada klien halusinasi, sehingga

penulis tertarik untuk meneliti. ” Pengaruh aktivitas kelompok sesi III terhadap
kemampuan bercakap dengan orang lain pada pasien ganguan jiwa dengan halusinasi di

ruangan kabela RSJ Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado”.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat Pengaruh aktivitas kelompok sesi III terhadap kemampuan bercakap

dengan orang lain pada pasien ganguan jiwa dengan halusinasi di ruangan kabela RSJ

Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk menganalisis Pengaruh aktivitas kelompok sesi III terhadap kemampuan

bercakap dengan orang lain pada pasien ganguan jiwa dengan halusinasi di ruangan

kabela RSJ Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi kemampuan bercakap dengan orang lain pada pasien

ganguan jiwa dengan halusinasi sebelum dilakukan aktifitas kelompok sesi III di

ruangan kabela Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado

b. Untuk mengidentifikasi kemampuan bercakap dengan orang lain pada pasien

ganguan jiwa dengan halusinasi sesudah dilakukan aktifitas kelompok sesi III di

ruangan kabela Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado

c. Untuk menganalisis Pengaruh aktivitas kelompok sesi III terhadap kemampuan

bercakap dengan orang lain pada pasien ganguan jiwa dengan halusinasi di ruangan

kabela RSJ Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado


D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan memberi

sumbangan ilmiah serta merupakan salah satu bahan acuan.

2. Bagi lokasi penelitian

Penelitian ini di harapkan dapat menjadi bahan masukan bagi semua pihak

khususnya perawat yang bekerja di rumah sakit khusus daerah provinsi Sulawesi Utara

dalam membantu klien untuk mampu bercakap dengan orang lain pada pasien

gangguan jiwa dengan halusinasi.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan memberi

sumbangan ilmiah serta merupakan salah satu bahan acuan bagi peneliti selanjutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Halusinasi

1. Pengertian

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai

dengan perubahan sensori persepsi; halusinasi merasakan sensasi palsu berupa suara,

penglihatan, penciuman, perabaan atau penghidungan. Klien merasakan stimulus yang

sebenarnya tidak ada (Keliat, 2010).

Berdasarkan Dermawan & Rusdi, 2013 halusinasi adalah gerakan penyerapan

(persepsi) panca indera tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua

sistem panca indera terjadi pada saat kesadaran individu penuh atau baik.

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan

internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau

pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata (Farida,

2010).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud halusinasi

adalah persepsi salah satu gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan

perubahan persepsi sensori seseorang yang hanya mengalami rangsang internal

(pikiran) tanpa disertai adanya rangsang eksternal (dunia luar) yang sesuai.
2. Jenis – jenis halusinasi

Menurut Farida ( 2010 ) halusinasi terdiri dari tujuh jenis:

a. Halusinasi Pendengaran

Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk

kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien,

bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami

halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien

disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan.

b. Halusinasi Penglihatan

Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun,

bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bisa yang menyenangkan atau

menakutkan.

c. Halusinasi Penghidu atau Penciuman

Membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses, parfum atau bau yang

lain. Ini sering terjadi pada seseorang pasca serangan stroke, kejang atau dimensia.

d. Halusinasi Pengecapan

Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.

e. Halusinasi Perabaan

Merasa mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa

tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

f. Halusinasi Cenesthetik

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan

atau pembentukan urine.

g. Halusinasi Kinestetika

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak


3. Tahapan halusinasi

Tahapan halusinasi (Dermawan & Rusdi, 2013) sebagai berikut :

a. Tahap I (comforting):

Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum halusinasi

merupakan suatu kesenangan dengan karakteristik :

1) Klien mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.

2) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas.

3) Pikiran dan pengalaman masih dalam kontrol kesadaran.

b. Tahap II (Condeming):

Menyalahkan, tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi menyebabkan

rasa antipasti dengan karakteristik :

1) Pengalaman sensori menakutkan.

2) Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut.

3) Mulai merasa kehilangan kontrol.

4) Menarik diri dari orang lain.

c. Tahap III (Controlling):

Mengontrol, tingkat kecemasan berat, pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak

lagi dengan karakteristik :

1) Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya (halusinasi).

2) Isi halusinasi menjadi atraktif.

3) Kesepian bila pengalaman sensori berakhir.

4) Perintah halusinasi ditaati.

5) Sulit berhubungan dengan orang lain.

6) Perhatian terhadap lingkungan berkurang, hanya beberapa detik.

7) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan berkeringat.
d. Tahap IV (Conquering):

Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi, klien tampak panik. Karakteristiknya

yaitu suara atau ide yang datang mengancam apabila tidak diikuti.

Perilaku klien :

1) Perilaku panik.

2) Resiko tinggi mencederai.

3) Agitasi atau kataton.

4) Tidak mampu berespon terhadap lingkungan.

Teori tahapan halusinasi ini dikuatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sihotang

dengan judul “Perubahan gejala halusinasi pasien jiwa sebelum dan sesudah TAK

stimulasi persepsi halusinasi di RS Grhasia Provinsi DIY” bahwa gejala halusinasi pada

responden penelitian ditunjukan pada 4 tahapan halusinasi yaitu tahapan komforting,

kondeming, kontroling dan konkuering.

4. Etiologi Halusinasi

(Dermawan & Rusdi, 2013) etiologi halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi, yaitu :

a. Dimensi fisik

Halusinasi dapat meliputi kelima indera, tetapi yang paling sering ditemukan

adalah halusinasi pendengar, halusinasi dapat ditimbulkan dari beberapa kondisi

seperti kelelahan yang luar biasa. Pengguna obat-obatan, demam tinggi hingga

terjadi delirium intoksikasi, alkohol dan kesulitan-kesulitan untuk tidur dan dalam

jangka waktu yang lama.

b. Dimensi emosional

Terjadinya halusinasi karena ada perasaan cemas yang berlebih yang tidak dapat

diatasi. Isi halusinasi berupa perintah memaksa dan menakutkan yang tidak dapat
dikontrol dan menentang, sehingga menyebabkan klien berbuat sesuatu terhadap

ketakutan tersebut.

c. Dimensi intelektual

Penunjukkan penurunan fungsi ego. Awalnya halusinasi merupakan usaha ego

sendiri melawan implus yang menekan dan menimbulkan kewaspadaan mengontrol

perilaku dan mengambil seluruh perhatian klien.

d. Dimensi sosial

Halusinasi dapat disebabkan oleh hubungan interpersonal yang tidak memuaskan

sehingga koping yang digunakan untuk menurunkan kecemasan akibat hilangnya

kontrol terhadap diri, harga diri, maupun interaksi sosial dalam dunia nyata sehingga

klien cenderung menyendiri dan hanya bertuju pada diri sendiri.

e. Dimensi spiritual

Klien yang mengalami halusinasi yang merupakan makhluk sosial, mengalami

ketidakharmonisan berinteraksi. Penurunan kemampuan untuk menghadapi stress

dan kecemasan serta menurunnya kualitas untuk menilai keadaan sekitarnya. Akibat

saat halusinasi menguasai dirinya, klien akan kehilangan kontrol terhadap

kehidupanya.

Dermawan & Rusdi, 2013 terjadi halusinasi disebabkan karena

a. Teori psikoanalisa

Halusinasi merupakan pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar yang

mengancam, ditekan untuk muncul akan sabar.

b. Teori biokimia
Halusinasi terjadi karena respon metabolisme terhadap stress yang

mengakibatkan dan melepaskan zat halusinogenik neurokimia seperti bufotamin dan

dimetyltransferase.

5. Rentang Respons

Respon Adaptif Respon Maladaptif

- Pikiran kadang - Gangguan pikiran


- Pikiran Logis
menyimpang waham
- Persepsi Akurat
- Ilusi - Halusinasi
- Emosi konsistensi
- Reaksi emosional berlebih - Kesulitan untuk
dengan pengalaman
atau
berkurang memproses halusinasi
- Perilaku sesuai
Perilaku
- aneh atau tidak - Ketidakteraturan
- Hubungan sosial
lazim Perilaku

- Menarik diri - Isolasi sosial


Skema 2.1 Rentang respon neurobiologis menurut Stuart (2010)

Keterangan rentang respon menurut Farida (2010) yaitu :

a. Pikiran logis yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.

b. Persepsi akurat yaitu proses diterimanya rangsangan melalui panca indra yang

didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang

ada di dalam maupun di luar dirinya.

c. Emosi konsisten adalah manifestasi perasaan yang konsisten atau efek keluar disertai

banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.

d. Perilaku sesuai yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam menyelesaikan

masalah masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya umum yang

berlaku.

e. Hubungan sosial yaitu hubungan yang dinamis menyangkut antara individu dan

individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerja sama.

f. Proses pikiran kadang terganggu (ilusi) yaitu interprestasi yang salah atau

menyimpang tentang penyerapan (persepsi) yang sebenarnya sungguh – sungguh

terjadi karena adanya rangsang panca indra.

g. Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,

menghindari dengan orang lain.

h. Emosi berlebihan atau kurang yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar berlebihan

atau kurang.

i. Perilaku tidak sesuai atau tidak biasa yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata

dalam menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial atau

budaya umum yang berlaku.

j. Waham adalah sesuatu keyakinan yang salah dipertahankan secara kuat atau terus

menerus namun tidak sesuai dengan kebenaran.


k. Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan

internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi

atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata.

l. Isolasi sosial yaitu menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dan

berinteraksi.

6. Mekanisme Koping

Mekanisme Koping menurut Stuart (2010) yaitu perilaku yang mewakili upaya

untuk melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon

neurologis maladaptif meliputi :

a. Regresif berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi

ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas hidup sehari – hari.

b. Proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan karancuan persepsi.

c. Menarik diri.

7. Proses terjadinya Masalah

Halusinasi terjadi karena klien tersebut pada dasarnya memiliki koping yang tidak

efektif terhaap berbagai stresor yang menimpanya. Kondisi yang timbul karena kondisi

di atas adalah klien cnderung akan menarik diri dari lingkungan dan terjadilah isolasi

sosial. Kesendirian tersebut jika berlangsung lama akan menimbulkan halusinasi dan

semakin lama klien akan semakin menikmati dan asik dengan halusinasinya itu. Karena

adanya hal yang tidak nyata akan muncul perintah yang bisa menyuruh klien merusak

diri sendiri dan lingkungan di sekitarnya (Keliat, 2010).

8. Masalah keperawatan

Keliat (2010) menerangkan bahwa 4 masalah keperawatan pada gangguan

halusinasi, diantaranya adalah risiko mencederai diri, gangguan sensori atau persepsi,

isolasi sosial: menarik diri, gangguan pemeliharaan kesehatan.


9. Tindakan keperawatan pasien halusinasi

Berdasarkan Dermawan & Rusdi (2013) tindakan keperawatan pada pasien

halusinasi terdiri dari tindakan keperawatan untuk pasien dan tindakan keperawatan

untuk keluarga.

a. Tindakan keperawatan untuk pasien meliputi:

1) Tujuan tindakan meliputi pasien mampu mengenali halusinasi yang dialaminya,

pasien dapat mengontrol halusinasinya, pasien mengikuti program pengobatan

secara obtimal.

2) Tindakan keperawatan meliputi:

a) Membantu pasien mengenali halusinasi

Untuk membantu pasien mengenali halusinasi, dapat dilakukan dengan cara

diskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar atau dilihat),

waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang

menyebabkan halusinasi munculdan respon pasien saat halusinasi muncul.

b) Melatih pasien mengontrol halusinasi

Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi, dapat melatih

pasien dalam 4 cara yang dapat mengendalikan halusinasi, diantaranya adalah :

 Menghardik halusiasi

Merupakan upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara

menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatin untuk mengatakan tidak

terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan halusinasinya.


Jika ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan dan tidak

mengikuti halusinasi yang muncul.

Kemungkinan halusinasi yang muncul kembali tetap ada, namun dengan

kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk mengikuti apa yang ada dalam

halusinasinya. Tahap tindakan keperawatan meliputi menjelaskan cara

menghardik, memperagakan cara menghardik, meminta pasien

memperagakan ulang, memamtau penerapan cara ini, menguatkan perilaku

pasien.

 Bercakap-cakap dengan orang lain

Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan

orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi

distraksi. Fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan

yang dilakukan dengan orang lain tersebut, sehingga salah satu cara yang

efektif untuk mengontrol halusinasi adalah dengan menganjurkan pasien

untuk bercakap-cakap dengan orang lain.

 Melakukan aktivitas yang terjadwal

Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan memiliki bayak

waktu luang untu sendiri yang dapat mencetuskan halusinasi. Pasein dapt

menyusun jadwal dari bangun pagi sampai tidur malam. Tahapannya adalah

menjelaskan pentingnya beraktivitas, yang teratur untuk mengatasi

halusinasi. Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan pasien, melatih

melakukan aktivitas, menyusun jadwal aktivitas sehari-hari, membantu

pelaksanaan jadwal kegiatan, memberi penguata pada perilaku yang positif.

 Menggunakan obat secara teratur


Untuk menghindari kekambuhan atau muncul kembali halusinasi, pasien

perlu memgkonsumsi obat secara teratur dengan tindakan menjelaskan

manfaat obat, menjelaskan akibat putus obat, menjelaskan cara

mendapatkan obat atau berobat dan jelaskan cara menggunakan dengan 5

benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis).

3) Tindakan keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP):

a) SP 1 P : membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara mengontrol

halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik.

b) SP 2 P : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap

dengan orang lain.

c) SP 3 P : melatih pasien mengontrol halusinasi melaksanakan aktivitas

terjadwal.

d) SP 4 P : melatih pasien menggunakan obat secara teratur.

b. Tindakan keperawatan untuk keluarga meliputi:

Tindakan keperawatan untuk keluarga memiliki tujuan agar keluarga dapat terlibat

dalam perawatan pasien baik di rumah sakit maupun di rumah serta keluarga dapat

menjadi sisitem pendukung yang efektif untuk pasien.

1) Tindakan keperawatan

Keluarga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan asuhan keperawatan

halusinasi. Dukungan keluarga selama pasien dirawat di rumah sakit sangat

dibutuhkan sehingga pasien termotivasi untuk sembuh. Perawat memberikan

pendidikan kesehatan kepada kelurga agar menjadi pendukung yang efektif pada

pasien.
2) Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan pendekatan strategi pelaksanaan

(SP):

a) SP 1 keluarga : pendidikan kesehatan tentang gangguan halusinasi.

b) SP 2 keluarga : melatih keluarga praktik merawat pasien langsung didepan

pasien.

c) SP 3 keluarga : membuat perencanaan pulang bersama keluarga.

10. Evaluasi Tindakan Keperawatan

Evaluasi Tindakan keperawatan menurut Keliat (2010) yaitu evaluasi merupakan

suatu proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada

klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan

keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi dua yaitu evaluasi

proses atau formatif dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau

sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan umum

yang telah ditentukan.evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan

SOAP, sebagai pola pikir:

S = respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.

O = respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan

A = analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah

masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan

masalah yang ada.

P = perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien.

B. Konsep Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

1. Pengertian kelompok

Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang

lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Keliat & Akemat, 2011).
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam rancangan

waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu. Fokus terapi

kelompok adalah membuat sadar diri (self-awareness), peningkatan hubungan

interpersonal, membuat perubahan atau ketiganya (Keliet & Akemat, 2011).

2. Tujuan dan fungsi kelompok

Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain

serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptive. Kekuatan kelompok ada

pada kontribusi dari setiap anggota dan pemimpin dalam mencapai tujuannya.

Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu

sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah. Kelompok terapeutik

membantu mengatasi stres emosi, penyakit fisik kritis, tumbuh-kembang, atau

penyesuaian social (Keliat, 2011)

3. Komponen kelompok

a. Struktur Kelompok.

Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan

keputusan, dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga

stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam

kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu

oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.

b. Besar Kelompok.

Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya

berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kelompok kecil menurut Stuart dan
Laraia (2010) adalah 7-10 orang, menurut Lencester (2012) adalah 10-12 orang,

sedangkan menurut Rawlins, Williams, dan Beck (2011) adalah 5-10 orang. Jika

anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat

kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu

kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi.

c. Lama Sesi

Waktu optimal untuk sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah

dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi (Stuart & Laraia, 2011).

Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja, dan

finishing berupa terminasi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat

satu kali/dua kali perminggu atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan.

d. Komunikasi

Salah satu tugas pemimpin kelompok yang terpenting adalah mengobservasi dan

menganalisis pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan

balik untuk memberi kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika yang

terjadi. Pemimpin kelompok dapat mengkaji hambatan dalam kelompok, konflik

interpersonal, tingkat kompetisi, dan seberapa jauh anggota kelompok mengerti serta

melaksanakan kegiatan yang dilaksanakan.

e. Peran Kelompok

Pemimpin perlu mengobservasi peran yang terjadi dalam kelompok. Ada tiga

peran dan fungsi kelompok yang ditampilkan anggota kelompok dalam kerja

kelompok yaitu (Stuart & Laraia, 2010) maintenance roles, task roles, dan

individual role. Maintenance Roles yaitu peran serta aktif dalam proses kelompok

dan fungsi kelompok. Task Roles yaitu fokus pada penyelesaian tugas. Individual

role adalah self-centered dan distraksi pada kelompok.


f. Peran Perawat dalam TAK

Menurut Purwaningsih & Karlina (2010) menjelaskan bahwa peran perawat jiwa

profesional dalam pelaksanaan TAK pada penderita skizofrenia adalah

1) Peran perawat sebagai penyusun program terapi yang digunakan sebagai

pedoman dan acuan pelaksanaan TAK.

2) Peran perawat bertugas sebagai leader dan co-leader, meliputi tugas menganalisa

dan mengobservasi pola-pola komunikasi yang terjadi dalam kelompok,

membantu anggota kelompok untuk menyadari dinamisnya kelompok, menjadi

motivator, membantu kelompok menetapkan tujuan dan membuat peraturan serta

mengarahkan dan memimpin jalannya TAK.

3) Peran Perawat sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok

sebagai anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota

kelompok lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan.

4) Peran perawat sebagai observer meliputi mencatat serta mengamati respon

penderita, mengamati jalanya proses TAK dan menangani peserta atau anggota

kelompok yang drop out.

5) Peran perawat dalam mengatsi masalah yang timbul selama pelaksanaan

TAK. Kemungkinan akan timbul sub kelompok, kurangnya keterbukaan, resistesi

baik individu maupun kelompok dan adanya anggota keompok yang drop out.

Untuk mengatasai permasalahan tersebut tergantung pada jenis kelompok terapis,

kontrak dan kerangka teori yang mendasari TAK tersebut.

g. Kekuatan Kelompok

Kekuatan adalah kemampuan anggota kelompok dalam memengaruhi

berjalannya kegiatan kelompok. Untuk menetapkan kekuatan anggota kelompok


yang bervariasi diperlukan kajian siapa yang paling banyak mendengar dan siapa

yang membuat keputusan dalam kelompok.

h. Norma Kelompok

Norma adalah standar perilaku yang ada pada kelompok. Pengharapan terharap

perilaku kelompok pada masa yang akan dating berdasarkan pengalaman masa lalu

dan saat ini. Pemahaman tentang norma kelompok berguna untuk mempengaruhi

pengaruhnya terhadap komunikasi dan interaksi dalam kelompok. Kesesuaian

perilaku anggota kelompok dengan norma kelompok, penting dalam menerima

anggota kelompok. Anggota kelompok yang tidak mengikuti norma dianggap

pemberontak dan ditolak anggota kelompok lain (Keliat, 2011).

i. Kekohesifan

Kekohesifan adalah kekuatan anggota kelompok berkerja sama dalam mencapai

tujuan. Hal ini mempengaruhi anggota kelompok untuk tetap betah dalam kelompok.

Apa yang membuat anggota kelompok tertarik dan puas terhadap kelompok, perlu

diidentifikasi agar kehidupan kelompok dapat dipertahankan.

4. Perkembangan kelompok

a. Fase prakelompok

Hal penting yang harus diperhatikan ketika memulai kelompok adalah tujuan dari

kelompok. Ketercapaian tujuan sangat dipengaruhi oleh perilaku pemimpin dan

pelaksanaan kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk itu perlu

disusun proposal atau panduan pelaksanaan kegiatan kelompok.

Garis besar isi proposal adalah daftar tujuan umum dan khusus; daftar pemimpin

kelompok disertai kehliannya; daftar kerangka teoritis yang akan digunakan

pemimpin untuk mencapai tujuan; daftar criteria anggota kelompok; uraian proses

seleksi anggota kelompok; uraian struktur kelompok: tempat sesi, waktu sesi, jumlah
anggota, jumlah sesi, perilaku anggota yang diharapkan, dan perilaku pemimpin

yang diharapkan; uraian tentang proses evaluasi anggota kelompok dan kelompok;

uraian alat dan sumber yang dibutuhkan; uraian dana yang dibutuhkan. Proposal

dapat pula berupa pedoman atau panduan menjalankan kegiatan kelompok.

b. Fase awal kelompok

1) Tahap orientasi

Pada tahap ini pemimpin kelompok lebih aktif dalam memberi pengarahan.

Pemimpin kelompok mengorientasikan anggota pada tugas utama dan melakukan

kontrak yang terdiri dari tujuan, kerahasiaan, waktu pertemuan, struktur,

kejujuran dan aturan komunikasi, misalnya hanya satu orang yang berbicara pada

satu waktu, norma perilaku, rasa memiliki atau kohesif antara anggota kelompok

diupayakan terbentuk pada fase orientasi.

2) Tahap konflik

Peran dependen dan independen terjadi pada tahap ini, sebagian ingin

pemimpin yang memutuskan dan sebagian ingin pemimpin lebih mengarahakan

atau sebaliknya anggota ingin berperan sebagai pemimpin. Ada pula anggota

yang netral dan dapat membantu menyelesaikan konflik peran yang terjadi.

Perasaan bermusuhan yang ditampilkan, baik antar anggota kelompok maupun

anggota dengan pemimpin dapat terjadi pada tahap ini. Pemimpin perlu

memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif, dan membantu

kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku yang tidak

produktif, seperti menuduh anggota tertentu sebagai penyebab konflik.

3) Tahap kohesif
Setelah tahap konflik, anggota kelompok merasakan ikatan yang kuat satu

sama lain. Perasaan positif akan semakin sering diungkapkan. Pada tahap ini,

anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim

satu sama lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan kemampuan anggota

kelompok dalam melakukan penyelesaian masalah.

Pada tahap akhir fase ini, tiap anggota kelompok belajar bahwa perbedaan

tidak perlu ditakutkan. Mereka belajar persamaan dan perbedaan, anggota

kelompok akan membantu pencapaian tujuan yang menjadi suatu realitas.

c. Fase kerja

Pada fase ini kelompok sudah menjadi tim. Walaupun mereka bekerja keras

tetapi menyenangkan bagi anggota dan pemimpin kelompok. Kelompok menjadi

stabil dan realistis. Tugas utama pemimpin adalah membantu kelompok mencapai

tujuan dan tetap menjaga kelompok ke arah pencapaian tujuan. Serta mengurangi

dampak dari faktor apa saja yang dapat mengurangi produktifitas kelompok. Selain

itu pemimpin juga bertindak sebagai konsultan.

Beberapa problem yang mungkin muncul adalah subgroup, conflict, self

disclosure, dan resistance. Beberapa anggota kelompok menjadi sangat akrab,

berlomba mendapat perhatian pemimpin, tidak ada lagi kerahasiaan karena

keterbukaan yang tinggi dan keengganan berubah perlu didefinisikan pemimpin

kelompok agar segera melakukan strukturisasi. Pada akhir fase ini, anggota

kelompok menyadari produktifitas dan kemampuan yang bertambah disertai

kepercayaan diri dan kemandirian. Pada kondisi ini kelompok segera masuk ke fase

berikut, yaitu perpisahan

d. Fase terminasi
Terminasi dapat sementara (temporal) atau akhir. Terminasi dapat pula terjadi

karena anggota kelompok atau pemimpin kelompok keluar dari kelompok. Evaluasi

umumnya difokuskan pada jumlah pencapaian baik kelompok maupun individu.

Pada tiap sesi dapat pula dikembangkan instrumen evalusai kemampuan individual

dari anggota kelompok. Terminasi dapat dilakukan pada akhir tiap sesi atau

beberapa sesi yang merupakan paket dengan memperhatikan pencapaian tertentu.

Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok akan

digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari. Pada akhir sesi, perlu

dicatat atau didokumentasikan proses yang terjadi berupa notulen. Juga

didokumentasikan pada catatan implementasi tindakan keperawatan tentang

pencapaian dan perilaku yang perlu dilatih pada klien diluar sesi.

5. TAK stimulasi persepsi

a. Pengertian

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang

menggunakan aktivitas yang menggunakan aktivitas mempersepsikan berbagai

stimulasi yang terkait dengan pengalaman dengan kehidupan untuk didiskusikan

dalam kelompok (Keliat, 2011). Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan

persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.

Dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi dibagi dalam 5

sesi, yaitu sesi I klien mengenal halusinasi, sesi II klien mengontrol halusinasi

dengan menghardik, sesi III klien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap

dengan orang lain, sesi IV klien mengontrol halusinasi dengan cara melakukan
aktivitas terjadwal dan sesi V klien mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum

obat.

b. Tujuan

1) Tujuan umum

Klien dapat meningkatkan kemampuan diri dalam mengontrol halusinasi

dalam kelompok secara bertahap.

2) Tujuan khusus

Tujuan khusus pemberian TAK ini diharapkan klien dapat mengenal

halusinasi, klien dapat mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, klien

dapat mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain, klien

dapat mengontrol halusinasi dengan cara melakukan aktivitas terjadwal dan klien

dapat mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat.

c. Sesi yang digunakan

Sesi yang digunakan dalam pelaksanaan TAK persepsi terdiri dari 5 sesi yaitu

sesi I klien mengenal halusinasi, sesi II mengontrol halusinasi dengan cara

menghardik, sesi III mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, sesi IV

mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap dan sesi V mengontrol halusinasi

dengan cara patuh minum obat.

Teori ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ragatika (2013)

dengan judul “Perbedaan TAK stimulasi dan stimulasi sensori terhadap kemampuan

mengontrol halusinasi: menghardik di RSJ Dr. Amino Gondohutomo Semarang”


dengan hasil pemberian TAK stimulasi persepsi sesi I dan II efektif diberikan pada

pasien halusinasi dalam kemampuan mengontrol halusinasi: menghardik.

d. Klien

Pelaksanaan TAK memiliki kriteria yaitu kriteria klien antara lain klien gangguan

orientasi realita yang mulai terkontrol dan klien yang mengalami perubahan

persepsi.

Proses seleksi pada TAK antara lain dengan mengobservasi klien yang masuk

kriteria, mengidentifikasi klien yang masuk kriteria, mengumpulkan klien yang

masuk kriteria dan membuat kontrak dengan klien yang setuju ikut TAK, meliputi:

menjelaskan tujuan TAK pada klien, rencana kegiatan kelompok dan aturan main

dalam kelompok.

e. Kriteria Hasil

Pelaksanaan TAK ini terdapat 3 kriteria hasil yaitu evaluasi struktur, evaluasi

hasil dan evaluasi proses. Evaluasi struktur meliputi kondisi lingkungan tenang,

dilakukan ditempat tertutup dan memungkinkan klien untuk berkonsentrasi terhadap

kegiatan, posisi tempat dilantai menggunakan tikar, peserta sepakat untuk mengikuti

kegiatan, alat yang digunakan dalam kondisi baik, leader, Co-leader, Fasilitator dan

observer berperan sebagaimana mestinya.

Evaluasi proses terdiri dari leader dapat mengkoordinasi seluruh kegiatan dari

awal hingga akhir, leader mampu memimpin acara, co-leader membantu

mengkoordinasi seluruh kegiatan, fasilitator mampu memotivasi peserta dalam

kegiatan, fasilitator membantu leader melaksanakan kegiatan dan bertanggung jawab

dalam antisipasi masalah, observer sebagai pengamat melaporkan hasil pengamatan

kepada kelompok yang berfungsi sebagai evaluator kelompok dan peserta mengikuti

kegiatan yang dilakukan dari awal hingga akhir.


Evaluasi hasil diharapkan dari kelompok mampu menjelaskan apa yang sudah

digambarkan dan apa yang dilihat dan menyampaikan halusinasi yang dirasakan

dengan jelas.

f. Antisipasi Masalah

Hasil penelitian Ragatika (2013) mengguankan antisipasi masalah oleh

Purwaningsih & Karlina (2010) yaitu pelaksanaan TAK terdapat penangan pada

klien yang tidak aktif dalam aktivitas TAK diantaranya adalah dengan memanggil

klien dan memberi kesempatan pada klien untuk menjawab sapaan perawat atau

klien lain. Bila klien meninggalkan kegiatan tanpa izin, maka panggil nama klien

dan tanyakan alasan klien meninggalkan kegiatan, apabila klien lain ingin ikut maka

berikan penjelasan bahwa kegiatan ini ditujukan kepada klien yang telah dipilih,

katakan pada klien bahwa ada kegiatan lain yang mungkin didikuti oleh klien

tersebut, jika klien memaksa beri kesempatan untuk masuk dengan tidak memberi

pesan pada kegiatan ini.

6. TAK stimulasi sensori

a. Pengertian

Terapi aktivitas kelompok (TAK) adalah aktivitas membantu anggotanya untuk

mengatasi identitas hubungan yang kurang efektif dan mengubah tingkah laku yang

adaptif (Keliat, 2010). Terapi aktivitas kelompok (TAK) adalah salah satu upaya

untuk memfasilitasi psikoterapi terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama

untuk memantau dan meningkatkan hubungan antar anggota. Terapi aktivitas

kelompok stimulasi sensori adalah upaya menstimulasi semua panca indra (sensori)

agar memberi respons yang adekuat.


b. Tujuan

Tujuan umum TAK stimulasi sensori adalah klien dapat berespons terhadap

stimulus pancaindra yang diberikan.Tujuan khususnya meliputi klien mampu

berespon terhadap suara yang di dengar, klien mampu berespons terhadap gambar

yang dilihat dan klien mampu mengekspresikan perasaan melalui gambar.

c. Karakteristik klien

Klien dengan masalah perubahan sensori persepsi : halusinasi yang sudah di

mulai melakukan interaksi interpersonal.

d. Antisipasi masalah

Purwaningsih & Karlina (2010) menerangkan bahwa terdapat masalah yang

mungkin timbul dalam TAK ini antara lain:

1) Keterbukaan yang kurang, tindakan berupa : Terapi baik leader, co-leader,

maupun fasilitator harus berusaha memotivasi klien dengan memberikan

pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka.

2) Berikan dukungan dan rasa nyaman kepada klien sehingga klien mampu

mengekspresikan perasaannya dengan leluasa.

3) Resistensi baik individu maupun kelompok, tindakan berupa: Peran fasilitator

sangat diperlukan untuk menciptakan suasana yang mendukung keberhasilan

suatu terapi.

4) Pasien lain yang bukan kelompok TAK ingin ikut TAK, tindakan berupa: peran

fasilitator sangat diperlukan untuk mengalihkan perhatian pasien yang lain

dengan bantuan perawat, misalnya dengan memberikan permainan menggambar

agar pasien kembali ke kamarnya sehingga tidak mengganggu jalannya TAK


5) Pasien memaksa ingin ikut TAK, tindakan berupa : fasilitator berusaha

membujuk agar klien tetap ditempat untuk mengikuti TAK hingga selesai. Jika

tidak bias maka fasilitator mengantarkan kembali keruangannya.

C. Konsep Kemampuan Pasien

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang

bersangkutan. Skiner (2013) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku

merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar)

Perilaku yang dipelajari oleh klien untuk mengontrol halusinasi dimulai dengan

memberikan pengetahuan tentang halusinasi (klien mengenal halusinasi), meliputi jenis,

isi, frekuensi, waktu, situasi munculnya halusinasi dan respon klien terhadap halusinasi

yang muncul serta klien mengenal bahwa stimulus yang dialaminya hanya oleh dirinya

sendiri dan tidak realita. Setelah itu, klien diajarkan mengontrol halusinasi dengan cara

bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas terjadwal, dan patuh minum obat.

Agar klien mampu mengontrol halusinasinya secara mandiri perlu dilakukan latihan setiap

hari secara terjadwal sehingga tindakan yang dilakukan menjadi budaya klien untuk

mengontrol halusinasi di saat halusinasi muncul. Jadwal yang telah ditetapkan bersama

klien akan dievaluasi oleh perawat secara terus menerus hingga klien mampu melakukan

secara mandiri.

Perubahan perilaku yang diharapkan pada klien dengan gangguan sensori persepsi

halusinasi adalah klien mampu melakukan apa yang telah diajarkan untuk mengontrol

halusinasinya. Pembelajaran tentang perilaku sehat pasien tentang cara mengontrol

halusinasi dilakukan oleh perawat melalui asuhan keperawatan yang diberikan. Asuhan

akan diberikan dalam 4 kali pertemuan dan pada setiap pertemuan klien akan memasukan

kegiatan yang telah dilatih ke dalam jadwal kegiatan harian klien. Diharapkan klien

melatih kegiatan yang telah diajarkan untuk mengatasi masalah sebanyak 2-3 kali sehari.
Jadwal kegiatan akan dievaluasi oleh perawat pada pertemuan selanjutnya. Melalui jadwal

yang telah dibuat akan dievaluasi tingkat kemampuan klien mengatasi masalahnya, tingkat

kemampuan klien akan dikelompokan menjadi 3 yaitu mandiri, jika klien melaksanakan

kegiatan tanpa dibimbing dan tanpa disuru bantuan, jika klien mengetahui dan

melaksanakan kegiatan tapi belum sempurna atau melaksanakan kegiatan dengan

diigatkan dan tergantung, jika klien tidak mengetahui dan tidak melaksanakan kegiatan

(Keliat, 2010).

Klien dikatakan telah memiliki kemampuan mengontrol halusinasi bila telah memiliki

kemampuan secara kognitif, efektif dan psikomotor. Klien dikatakan mampu mengontrol

halusinasi jika klien telah mengenal halusinasi yang dialaminya, mampu menyebutkan

keempat cara mengontrol halusinasi, mampu mempraktekkan keempat cara yang telah

diajarkan, dan melakukan latihan sesuai jadwal

Kemampuan yang perlu dimiliki klien halusinasi untuk mengontrol halusinasi adalah

sebagai berikut:

1. Menghardik

Mengatakan “Stop” hingga halusinasi pergi merupakan salah satu cara menghardik

halusinasi, atau katakan untuk tenang atau “Pergi” melawan atau menentang halusinasi

dapat dilakukan untuk membantu klien mengatasi masalahnya (Kneisl, 2011).

2. Bercakap-cakap dengan orang lain

Mendengarkan dan mengobservasi merupakan kunci keberhasilan intervensi pada klien

halusinasi yang dialaminya. Klien biasanya tidak menyampaikan pengalaman

halusinasinya kepada orang lain karena mereka akan mendapatkan respon negatif dari

orang lain terhadap pengalaman halusinasinya. Pengalaman halusinasi dapat menjadi

masalah bagi klien yang tidak dapat menyampaikan pengalamannya tersebut kepada
orang lain (Stuart & Laraian, 2010). Sehingga penting bagi klien untuk belajar

bagaimana caranya menyampaikan pengalaman halusinasi kepada orang lain. Klien

dianjurkan bercakap-cakap dengan orang lain menjelang halusinasi dirasakan akan

muncul. Klien diajarkan bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain tentang

kondisi yang dialaminya saat itu. Misalnya :”.....saya mulai mendengar suara-suara,

tolong bicara dengan saya” (BC-CMHN, 2013).

3. Melakukan aktivitas

Melakukan aktivitas merupakan salah satu cara mengontrol halusinasi. Melibatkan

pasien untuk melakukan aktivitas akan membantu pasien mengalihkan perhatian dan

menghadirkan kembali pada dunia realita (Carson, 2011).

4. Patuh minum obat

Pasien halusinasi umumnya mempunyai respon yang baik terhadap pengobatan dengan

antipsikotik tunggal, terbukti dari perbaikan gejala positif pada 30-40% penderita

setelah 1 atau 2 bulan pengobatan. Pada pasien dengan kepatuhan minum obat yang

kurang perlu diberikan injeksi long acting dari jenis obat anti psikotik generasi kedua

(Sinaga, 2010).

Kekambuhan penderita halusinasi sering terjadi ketika mereka menghentikan

pengobatan karena telah merasa lebih baik, lupa, atau merasa tidak penting untuk

minum obat secara teratur. Merupakan hal penting bagi klien halusinasi mengikuti

program pengobatan secara teratur sesuai anjuran dokter. Keluarga perlu juga

memahami tentang pemberian obat bagi penderita halusinasi (Stuart & Laraia, 2011).

Cara yang dapat digunakan untuk mengatahsi halusinasi, selain dari tindakan

keperawtan adalah penggunaan obat (Carson, 2010).


BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Pre Test Post Test


Kemampuan Aktivitas Kemampuan
bercakap dengan kelompok sesi III bercakap dengan
orang lain orang lain
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Pengaruh aktivitas kelompok sesi III terhadap
kemampuan bercakap dengan orang lain pada pasien ganguan jiwa
dengan halusinasi di ruangan kabela RSJ Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang
Manado

B. Hipotesis

Ho : Tidak ada Pengaruh aktivitas kelompok sesi III terhadap kemampuan bercakap

dengan orang lain pada pasien ganguan jiwa dengan halusinasi di ruangan kabela

RSJ Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado

Ha : Ada Pengaruh aktivitas kelompok sesi III terhadap kemampuan bercakap dengan

orang lain pada pasien ganguan jiwa dengan halusinasi di ruangan kabela RSJ Prof.

Dr. V. L. Ratumbuysang Manado

C. Defenisi Oprasional

Tabel 3.2 Definisi Operasional Pengaruh aktivitas kelompok sesi III terhadap kemampuan
bercakap dengan orang lain pada pasien ganguan jiwa dengan halusinasi di
ruangan kabela RSJ Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur


Operasional
Aktivitas Kegiatan untuk Observasi - -
kelompok sesi melatih responden pasien saat
III untuk aktivitas
mempersepsikan kelompok
stimulus persepsi sesi III
yang tersedia atau
dari hasil
pengalaman,
mampu mengenal
halusinasi dan
mampu bercakap
dengan orang lain
Kemampuan Kemampuan yang Lembar Tidak mampu Ordinal
bercakap dimiliki pasien observasi bercakap
dengan orang halusinasi untuk dengan orang
lain mengontrol lain ≤ 16
halusinasi dengan
cara bercakap – Mampu
cakap dengan bercakap
orang lain dengan orang
lain ≥ 16

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan one group pretest-postest yaitu penelitian yang

melihat pengaruh perlakuan yang diberikan kepada satu kelompok subjek, kelompok

subjek tersebut diobservasi sebelum diberikan perlakuan atau intervensi, kemudian


diobservasi lagi setelah diberikan intervensi atau perlakuan (Sugiyono, 2010). Intervensi

pada respon hanya pada satu kelompok tanpa pembanding. Efektif perlakuan dinilai

dengan cara membandingkan nilai pre test dengan pos test.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan di Ruangan Kabela RSJ Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang

Manado

2. Waktu Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari – Februari 2020

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan gangguan jiwa Halusinasi

yang di rawat dengan jumlah 16 orang di di ruangan kabela RSJ Prof. Dr. V. L.

Ratumbuysang Manado

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien jiwa halusinasi di ruangan kabela

RSJ Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado berjumlah 16 pasien.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen atau alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini berupa angket

yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada konsep dan teori terkait, yang

berisi data umum dan pernyataan yang berhubungan dengan pengaruh aktivitas kelompok

sesi III dengan kemampuan bercakap dengan orang lain. Adapun instrumen penelitian

yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Data Identitas Pasie Halusinasi


2. Observasi pada saat di lakukan Aktivitas kelompok sesi III

3. Lembar Observasi.

E. Teknik Pengolahan Data

Adapun langkah-langkah pengolahan data adalah sebagai berikut:

1. Editing (pemeriksaan kembali), melakukan pemeriksaan pada setiap kuesioner yang di

isi oleh responden untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan dalam pengisian

kuesioner.

2. Coding (Pengkodean), memberikan kode pada setiap jawaban dalam kuesioner yang di

isi oleh responden untuk memudahkan dalam entri data.

3. Tabulating, yaitu mentabulasi data berdasarkan kelompok data yang telah ditentukan

kedalam master tabel.

4. Processing (proses / entri data), yaitu melakukan entri data dari kuesioner kedalam

paket program komputer yaitu program SPSS.

5. Cleaning (pembersihan Data), yaitu pengecekan kembali data yang sudah dientri

apakah ada kesalahan atau tidak.

F. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat di lakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi dan frekuensi

dari variable independen dan dependen, dan di sajikan dalam bentuk tabel dan

diinterprestasikan. Bertujuan untuk mengetahui proporsi masing-masing variabel yang

diteliti.

2. Analisa bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

ada hubungan atau korelasi (Notoadmodjo, 2010). Analisis bivariat ini berfungsi

mengetahui pengaruh Terapi Aktivitas kelompok sesi III terhadapat kemampuan

bercakap dengan orang. Uji statistika yang akan digunakan adalah uji t atau t test untuk

mengetahui ada tidaknya perbedaan antara masing – masing variable dan uji t atau t test

yang digunakan adalah paired-sampel t-test. Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 (nilai Alpha)

berarti Ho diterima atau tidak ada perbedaan peristaltik usus sebelum dan sesudah

dilakukan TAK sesi III. Jika nilai signifikansi < 0,05 (nilai Alpha) berarti Ho ditolak

atau ada perbedaan dalam saat dilakukan TAK sesi III.

G. Etika Penelitian

Dalam penelitian ini harus mengadahkan rekomendasi dari Universitas Pembangunan

Indonesia Manado dan Program studi Ilmu Keperawatan serta permintaan ijin dari pihak

Rumah Sakit terutama Kepala Ruangan Dahlia. Dilokasi tempat penelitian

setelah mendapat persetujuan dari institusi tempat penelitian maka peneliti berhak untuk

melakukan penelitian dengan langkah – langka sebagai berikut:

1. Persetujuan penelitian (informed consent)

Merupakan cara persetujuan antar peneliti dengan responden peneliti dengan

memberikan lembar persetujuan penelitian (consent form) sebelum penelitian

dilakukan. Tujuan informed consent adalah agar responden mengetahui maksud dan

tujuan penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Subjek yang

bersedia menjadi responden diminta untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi

responden dan subjek yang menolak tidak dipaksa untuk berpartisipasi dalam penelitian

ini.

2. Tanpa nama (Anonimity)


Menjaga kerahasian indentitas responden, peneliti tidak mencamtumkan nama

responden pada lembar kuesioner yang diisi oleh peneliti. Lembar tersebut hanya diberi

kode berupa urutan angka.

3. Kerahasian (Confidentiality)

Informasi yang telah diberikan responden di dalam kuesioner, hanya diketahui oleh

responden dan peneliti, sehingga informasi responden dijamin oleh peneliti.


DAFTAR PUSTAKA

Carolina. (2009). Perilaku Kekerasan, dari http://repository.usu.ac.id/ bitstream/


123456789/27602/ 6/Chapter%20I.pdf,

Carson.v.b.(2000). Mental Health Nursina :The Nurse Patien Journey. Philadelphia: W.B.
Sauders company.

Chaery, I. (2009). TAK: Persepsi Sensori. Skripsi. http://www.schizophrenia.com/

Data Rekapitulasi RSKD Provinsi Sulawesi Utara 2019

Dermawan, R., & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.

Depkes RI. 2014. Hasil Riskesdas 2014- Departeman Kesehatan Republik Indonesia. Diakses
dari: http://www.depkes.go.id/resource/download/general/Hasil%20Riskesdas%
202013.pdf

Direja, A.H.S. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Fitria, N. (2009), Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Keliat, B.A, dkk. 2010. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Keliat dan Akemat. 2010. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : EGC

Kneisl, C. R, Wilson, H. S. & Trigoboff, E. (2011). Contemporary Psychiatric Mental Health


Nursing New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Liputan 6.com Edisi 9 Oktober 2014

Notoatmodjo, S. 2009. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta.

Purwaningsih dan Karlina. 2010. Asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta: Mitra cendeka.

Sinaga, B R. 2010. Skizofrenia dan diagnosis banding. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Skinner, B. F. (2013). Ilmu pengetahuan dan perilaku manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sulastri, Emi. 2010. Psikoterapi Islam Terhadap Penderita Skizofrenia Aksis IV. Skripsi
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Stuart, G.W& Laraia, M.T. (2010). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (7 th Ed)
St. Louis: Mosby

Y. D. Farida Kusumawati. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarata : Salemba Medika.
Yosep. 2011. Keperawatan Jiwa, Edisi 4. Jakarta : Refika Aditama

WHO. (2013). The World Health Report: 2013 mental health.

www.who.int/mental_health.
Lampiran 2

Lembar Angket Penelitian

Tanggal/Waktu Penelitian :

Data Responden

1. No. Responden :

2. Umur :

3. Jenis Kelamin :

4. Lama Rawat :

Lampiran 3

AKTIVITAS KELOMPOK MENGONTROL HALUSINASI

SESI III
A. Tujuan

1. Klien mengenal halusinasi

2. Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi

3. Klien mengenal frekuensi halusinasi

4. Klien mengenal perassan bila mengalami halusinasi

B. Setting

1. Kelompok berada diruang yang tenang

2. Klien duduk melingkar

C. Alat

1. Spidol

2. Papan tulis (white borad)

D. Metode

1. Diskusi

2. Tanya jawab

E. Langkah – langkah kegiatan

1. Persiapan

a. Memilih klien sesuai dengan indikasi yaitu klien dengan perubahan sensori persepsi;

halusinasi

b. Membuat kontrak dengan klien

c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

2. Orientasi

a. Salam terapeutik: terapis mengucapkan salam

b. Evaluasi validasi : terapis menanyakan perasaan peserta hari ini


c. Kontrak :

1) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan

2) Terapis menjelaskan aturan main:

a) masing masing klien memperkenalkan diri nama, nama panggilan

b) jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta izin pada

terapis

c) lama kegiatan 45 menit

d) setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir

3. Kerja

a. Terapis memperkenalkan diri (nama dan nama panggilan). Terapis meminta klien

memperkenalkan nama dan nama panggilan secara berurutan, dimulai dari klien

yang berada di sebelah kiri terapis, searah jarum jam.

b. Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu masing-masing klien

membagi pengalaman tentang halusinasi yang mereka alami dengan menceritakan :

1) Isi halusinasi

2) Waktu terjadinya

3) Frekuensi halusinasi

4) Perasaan yang timbul saat mengalami halusinasi.

c. Meminta klien menceritakan halusinasi yang dialami secara berurutan dimulai dari

klien yang ada di sebelah kiri terapis, seterusnya bergiliran searah jarum jam.

d. Saat seorang klien menceritakan pengalaman hausinasi, setelah cerita selesai terapis

mempersilakan klien lain untuk bertanya sebanyak-banyaknya 3 pertanyaan.

e. Lakukan kegiatan (b) sampai semua klien selesai mendapat giliran.

f. Setiap kali klien bisa menceritakan halusinasiny, terapis memberikan pujian.

4. Terminasi
a. Evaluasi

1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK

2) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan anggota kelompok

b. Rencana tindak lanjut

1) Terapis menganjurkan kepada peserta jika mengalami halusinasi segera

menghubungi perawat atau teman lain .

c. Kontrak yang akan dating

1) Terapis membuat kesepakatan dengan klien kegiatan TAK berikutnya yaitu

belajar mengontrol halusinasi.

2) Terapis membuat kesepakatan dengan klien waktu dan tempat TAK berikutnya.

F. Evaluasi dan dokumentasi

No Nama Menyebut Menyebut Menyebut Menyebut Mengikuti

pasien isi waktu situasi perasaan saat kegiatan


halusinasi terjadi terjadi halusinasi sampai

halusinasi halusinasi selesai


1 Tn.
2 Tn.
3 Tn.
4 Tn.
5 Tn.
6 Tn.
7 Tn.
8 Tn.
9 Tn.
10 Tn.

Petunjuk :

1. Tulis nama pangilan klien yang ikut aktivitas kelompok sesi 1 pada kolom nama

pasein

2. Untuk setiap pasien, beri penilaian tentang kemampuan mengenal halusinasi : isi,

waktu, situasi, dan perasaan. Beri tanda (V) jika pasien mampu dan beri tanda (X)

jika pasien tidaak mampu.

Anda mungkin juga menyukai