Di susun oleh:
I Kadek Agus Arjana Putra (014.06.0052)
Yusril Ilham Fahmi (014.06.0061)
Sandiana Indrajat (013.06.0053)
Pembimbing
dr. I Dewa Gede Oka Darsana, Sp.An
i
LAPORAN
KATA PENGANTAR
Puja dan Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan segala
limpahan nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “General
Anastesi Laringeal Mask Airway Pada Pasien Otitis Media Efusi”
Dalam penyusunan laporan ini, saya banyak mendapatkan bantuan, bimbingan,
masukan dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk itu dalam kesempatan ini, saya menyampaikan ucapan terma kasih kepada dosen yang
telah memberi arahan dan penjelasan tentang tata cara penulisan laporan ini.
Saya menyadari, penulisan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini.
Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Al-Azhar yang sedang menjalani preklinik di RSU Bangli.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………… i
Daftar Isi…………………………………………………………………………. ii
BAB I Pendahuluan
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi Anestesi dan Reanimasi……..…………………………………….. 3
2.2 Anatomi Telinga ...........……………………………………………………. 3
2.3 Tindakan Anestesi Pada Operasi Liang Telinga Secara Umum……………. 7
2.4 Permasalah pada operasi liang telinga………………………………………. 10
2.5 Prosedur Operasi Telinga Tengah.....................…….………………………. 12
2.6 Otitis Media Efusi……………………...……………………………………. 14
2.7 Laringeal Mask Airway…………………..…………………………………. 23
BAB III Laporan Kasus
3.1 Identitas Pasien………………………………………………………………. 37
3.2 Anamnesis……………………………………………………………………. 37
3.3 Pemeriksaan Fisik…………………………………………………….………. 39
3.4 Pemeriksaan Penunjang…………..………………………………………..…. 41
3.5 Persiapan Praanestesi…………………………………………………………. 42
3.6 Kesimpulan …………………..………………………………………………. 42
3.7 Penatalaksanaan …………………………..…………………………………. 43
BAB IV Pembahasan
4.1 Pembahasan ……..………………………………………..……………….…. 48
4.2 Premedikasi ……..………………………………………..………………….. 51
4.3 Induksi ……..……………………………………………..………………….. 52
4.4 Terapi analgetik post operasi ……………………………..………………….. 54
BAB V Penutup
5.1 Kesimpulan ……………………………..……………………...…………….. 55
Daftar Pustaka……………………………………………………………………. 56
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani yakni “an" (tidak, tanpa) dan
“aesthētos” (rasa, persepsi, kemampuan untuk merasa), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Sedangkan reanimasi berasal dari kata “re” berarti
kembali, dan “animasi/animation” yang berarti gerak/hidup. Awal mula penemuan dan
perkembangan anastesiologi terjadi pada tahun 1846. 8,10
Tindakan anastesi berarti memberikan pelayanan anastesia umum pada pasien yang
akan dilakukan pembedahan yang meliputi “trias anastesia” yakni hipnotik ( tidak sadarkan
diri=mati ingatan), analgesia (bebas nyeri=mati rasa), relaksasi otot rangka (mati gerak).
Akibat pengaruh obat anastetikum yang menimbulkan “efek trias anastesia” pasien akan
mengalami koma (tidak sadar), reflek-reflek proteksi menghilang akibat mati rasa dan
kelumpuhan otot rangka termasuk otot pernafasan, sehingga pasien sangat memerlukan
tindakan bantuan kehidupan selama prosedur anastesi/ bedah berlangsung, yakni
reanimasi/resusitasi atau bantuan nafas.8
Operasi Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT) adalah operasi yang paling umum
dilakukan dan sangat sering membutuhkan ahli bedah dan anestesi untuk berbagi ruang kerja
yang sama. Karenanya komunikasi antara kedua pihak sangat penting. Tracheal tube lebih
tidak mudah untuk lepas dari trakea selama prosedur ini daripada sebagian besar prosedur lain
karena Dokter bedah harus sering memindahkan kepala pasien untuk mencapai operasi.13
Prosedur telinga-hidung-tenggorokan (THT) merupakan prosedur yang unik
dikarenakan antara anestesiologis dan operator berbagi jalan nafas. Pengelolaan anestesi pada
pasien berpusat pada pengaturan jalan nafas. Kerjasama dan komunikasi antara operator dan
anestesiologis menjadi lebih penting disbanding pembedahan pada wajah dan leher.3
Membuat, memelihara dan menjaga jalan nafas pada kondisi anatomi yang abnormal
dan intervensi pembedahan yang simultan dapat menguji ketrampilan dan kesabaran ahli
anestesi. Tepatnya pengetahuan mendalam tentang anatomi jalan nafas dan apresiasi umum
prosedur THT akan membuktikan betapa bernilainya hal tersebut dalam menangani tantangan
para ahli anestesi ini. Penelitian terbaru tentang pertanggungjawaban medis mengklaim
melalui American Society of Anesthesilogist, bahwa faktor kesalahan manusia masih menjadi
penyebab terbanyak kematian dalam anestesi; masalah jalan nafas menyumbang lebih dari
1
30% kasus pada orang dewasa dan 43% kasus pada anak.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Gambar 2.1 Anatomi skematis daun telinga9
Heliks memanjang dibagian superior dan posterior membentuk helicalcrus pada
lobulus, mengelilingi antiheliks, konka, dan antitragus. Diantara heliks dan antiheliks
terdapat scaphoid fossa. Fossa triangular terletak diantara crura superior dan inferior dari
antiheliks. Pinna tertambat pada tulang cranial oleh kulit, tulang rawan, otot-otot
auricular, serta ligamen-ligamen ekstrinsik.9
Liang telinga memiliki panjang sekitar 2,5 cm dan diameter sekitar 0,6 cm. Liang
telinga sedikit berbentuk huruf S. Sepertiga lateral liang telinga merupakan tulang
rawan sedangkan duapertiga medialnya merupakan tulang keras. Bagian tulang rawan
dari liang telinga ini berbentuk relatif bulat pada individu yang masih muda dan sejalan
dengan pertambahan usia akan berubah menjadi lebih oval. Bagian tulang rawan ini
memiliki celah-celah kecil yang disebut fissura santorini yang dapat berperan sebagai
3
jalan penyebaran infeksi dari liang telinga ke kelenjar parotis dan mastoid. Struktur
tulang keras liang telinga dibentuk oleh bagian timpanik dan squamous dari tulang
temporal.1
Liang telinga di selimuti oleh kulit yang menghasilkan serumen (ear wax) dan
memiliki rambut di permukaannya. Tidak ada kelenjar keringat di liang telinga. Karena
letaknya yang terlindung, kulit liang telinga tidak bersentuhan atau bergesekan secara
alami sebagaimana kulit yang ada dipermukaan tubuh. Sehingga untuk
membersihkannya dibutuhkan mekanisme pembersihan sendiri untuk menyingkirkan sel-
sel mati dan serumen. Ada dua jenis sel yang berperan dalam sekresi serumen, yaitu sel
sebacea yang letaknya berdekatan dengan follikel rambut dan sel seruminous penghasil
serumen.1
Kulit di liang telinga memiliki persarafan yang tidak biasa. Reseptor sensorisnya
dipersarafi oleh empat saraf kranial (CN) yang berbeda, yaitu bagian mandibular dari
nervus Trigeminus (CN V), nervus facial (CN VII), nervus glossofaringeal (CN IX), dan
cabang auricular dari nervus vagus (CN X), yang mempersarafi dinding posterior dari
liang telinga dan membran timpani. Cabang saraf ini merupakan bagian dari Arnold’s
nerve, yang juga menerima kontribusi persarafan dari nervus glossofaringeus sehingga
beberapa individu akan mengalami refleks batuk saat kulit dari bagian dalam liang
telinga tersentuh. Persarafan oleh nervus glossofaringeus dan nervus vagus juga
mengakibatkan timbulnya efek pada jantung dan sirkulasi darah saat ada stimulasi
mekanis pada liang telinga, sehingga pada individu-individu yang sensitif dapat pingsan
saat telinganya dibersihkan dari serumen (ear wax).1
Telinga luar membantu transimisi suara menjadi lebih efisien mencapai membran
timpani dengan berperan sebagai resonator fungsional. Kontribusi akustik dari telinga
luar adalah meningkatkan transmisi serta frekuensi suara. Kedalaman serta bentuk liang
telinga yang berkelok-kelok melindungi membrane timpani serta struktur di telinga
tengah dan telinga dalam. Rambut di lateral liang telinga luar mencegah masuknya
benda asing berukuran kecil serta debris-debris dari luar.9
5
Anestesi umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan pipa endotrakea dan
nafas kendali. Hindari pemakaian N2O pada operasi timpanoplasti, karena NO akan
mempengaruhi tekanan pada liang telinga
5. Pemantauan selama anestesia, sesuao dengan standar pemantauan dasar intra
operatif
6. Terapi cairan dan transfuse darah
Diberikan cairan pengganti perdarahan apabila perdarahn yang terjadi
<20% dari perkiraan volume darah pasien dan apabila > 20%, diberikan transfuse
darah
7. Pemulihan anestesinya, sesuai dengan tatalaksana anestesi yang dipilih
8. Pasca anestesia, sesuai dengan tatalaksana pasien pasca anestesi dengan perhatian
khusus terhadap penanggulangan nyeri pasca bedah.8
6
(pleksus saraf servikal) menyuplai bagian medial bawah dari aurikula dan sebagian
meatus auditorius eksternus. Berkas aurikular N. Vagus berjalan diantara processus
mastoideus dan meatus auditorius eksternus untuk mensuplai konkha dan meatus
auditorius eksternus. Saraf utama aurikular dan aurikular (vagus) dapat diblok
dengan injeksi 2-3 ml lokal anestesi posterior ke saluran telinga (saraf utama
aurikular). Saraf tympani (N. Glossofaringeus) mensuplai cavum tympani dan
dapat dilakukan blok topikal dengan menginstalasi 4% lidokain. Ketika perforasi
luas membrane tympani, berhati-hati untuk tidak memasukan substansi beracun
kedalam canalis auditorius, karena dapat merusak ruang telinga tengah.2
Penambahan efinefrin pada lokal anestesi meningkatkan intensitas dan
durasi dari efek dan memberikan vasokonstriksi lokal, yang dapat menurunkan
perdarahan. Dosis aman bagi efinefrin adalah 0,1 mg (10 ml dalam konsentrasi
1:10.000) dan bila perlu dapat diulang setelah 20 menit.2
7
telinga dihubungkan dengan 0,6 – 3,0 % insiden paralisis n. facialis. Monitoring
intraoperative berupa bangkitan aktivitas electromyographic wajah dapat menjaga
fungsi n. facialis selama pembedahan pada mastoid atau area tulang temporal.13
8
diberikan pada pasien yang rentan. Pasien yang rentan termasuk di dalamnya
adalah dengan riwayat bedah otologik, otitis media akut atau kronik, sinusitis,
infeksi saluran nafas bagian atas, membesarnya adenoid, dan kondisi patologis
pada nasofaring. Menurunnya kepekaan, meningkatnya hambatan, dan tuli hantaran
telah ditemukan pada pasien yang diberikan anestesi N 2O untuk
adenotonsilektomi.7,16
Bulging eardrum dan “lifting of” graft membran timpani dapat terjadi selama
bedah tymphanoplasty. Tidak ditemukan kejadian penggunaan N2O (kurang
dari 50%) pada anestesi umum timpanoplasti tipe I yang mengganggu
penempatan graft atau hasil akhir prosedur pembedahan. Untuk
menghindarikomplikasi anestesiologi harus mengetahui batas konsentrasi N2O
sampai 50% dan menghentikan penggunaannya 15 menit sebelum menutup telinga
tengah.16
9
Anestesi umum, contoh dengan Laryngeal Mask Airway, cukup memuaskan.
Vagal henti jantung dapat terjadi bila area ‘vagal’ pada membran timpani (disuplai oleh
serabut auricular) terangsang, dimana dapat dihindari dengan pemberian atropin.13
Beberapa jenis analgesi diperlukan pada seluruh anak yang diobati tanpa rawat
inap. Derkay dkk menemukan bahwa dapat digunakan tetes telinga saat operasi yang
telah dicampur dengan 4% lidokain, penggunaan analgesik oral preoperasi dapat
memberikan sedikit manfaat. Pemberian oral preoperasi berupa acetaminofen, atau
acetaminophen dengan codein, dan bahkan buthorphanol intranasal direkomendasikan
sama efektifnya.13 Otitis media kronis (OM) ditandai dengan demam dan sakit telinga
(baik ada atau tidak discharge telinga) dan sering terjadi pada anak-anak. Ini sering
terjadi dan berhubungan dengan saluran pernapasan atas baik berasal dari virus atau
bakteri. Dalam banyak kasus OM merespon merespon antibiotik, namun infeksi
berulang biasanya memerlukan operasi, yang memerlukan pembuatan sebuah lubang di
gendang telinga (miringotomi) untuk mengurangi tekanan dan mengalirkan sekresi
telinga tengah.13
Sebuah tekanan kecil penyama logam (equalizing metal) atau tabung plastik
(plastic tube) umumnya dimasukkan untuk menjaga lubang terbuka dan mencegah
akumulasi cairan. Tabung ini berada di lubang tersebut selama enam bulan dan akan
terlepas secara spontan.13 Tak menutup kemungkinan terkadang harus diangkat dengan
operasi jika memiliki dampak buruk. Bedah untuk penempatan tabung ini membutuhkan
watu yang sangat singkat tetapi membutuhkan anak untuk tetap diam. 2 Anestesi untuk
penyisipan tekanan penyama (equalizing) atau tabung miringotomi biasanya
menggunakan induksi inhalasi anestesi dengan halotan atau sevoflurane dengan atau
tanpa nitrous oxide (jika tersedia) dan oksigen. N2O dapat membuat distensi pada
gendang telinga dan membuatnya lebih mudah bagi dokter bedah.13
10
45mg / kg, intranasal fentanyl 2mcg / kg atau intramuskular morfin 0.1mg / kg sampai
dengan jumlah 2mg).13
Patofisiologi
Patofisiologi OME bersifat multifaktorial antara lain infeksi virus atau bakteri,
gangguan fungsi tuba Eustachius, status imunologi, alergi, faktor lingkungan dan sosial.
Dugaan yang sering dikemukakan dan diperkirakan berperan pada mekanisme terjadinya
OME adalah gangguan fungsi tuba dan mukosa telinga tengah sebagai organ target
alergi.14
Gangguan Fungsi Tuba
Gangguan fungsi tuba menyebabkan mekanisme aerasi ke rongga telinga tengah
terganggu, drainase dari rongga telinga ke rongga nasofaring terganggu dan gangguan
mekanisme proteksi rongga telinga tengah terhadap refluks dan rongga nasofaring.
Akibat gangguan tersebut rongga telinga tengah akan mengalami tekanan negatif.
Tekanan negatif di telinga tengah menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan
11
selanjutnya terjadi transudasi. Selain itu terjadi infiltrasi populasi sel-sel inflamasi dan
sekresi kelenjar. Akibatnya terdapat akumulasi sekret di rongga telinga tengah. Inflamasi
kronis di telinga tengah akan menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis dan
destruksi tulang. Obstruksi tuba Eustachius yang menimbulkan teradinya tekanan negatif
di telinga tengah akan diikuti retraksi membran timpani. Orang dewasa biasanya akan
mengeluhkan adanya rasa tak nyaman, rasa penuh alau rasa tertekan dan akibatnya
timbul gangguan pendengaran ringan dan tinitus. Anak-anak mungkin tidak muncul
gejala seperti itu. Jika keadaan ini berlangsung dalam jangka waktu lama cairan akan
tertarik keluar dari membran mukosa telinga tengah, menimbulkan keadaan yang kita
sebut dengan otitis media serosa. Kejadian ini sering timbul pada anak-anak
berhubungan dengan infeksi saluran napas atas dan sejumlah gangguan pendengaran
mengikutinya.14
Infeksi
Infeksi bakteri merupakan faktor penting dalam patogenesa terjadinya OME
sejak dilaporkan adanya bakteri di telinga tengah. Streptococus pneumonia, haemophilus
influenzae, moraxella catarrhalis dikenal sebagai bakteri patogen terbanyak ditemukan
dalam telinga tengah. Meskipun hasil yang didapat dari kultur lebih rendah. Penyebab
rendahnya angka ini diduga karena: 14
a) Penggunaan antibiotik jangka lama sebelum pemakaian ventilation tube akan
mengurangi proliferasi bakteri patogen,
b) sekresi imunoglobulin dan lisosim dalam efusi telinga tengah akan menghambat
proliferasi bakteri patogen,
c) Bakteri dalam efusi telinga tengah berlaku sebagai biofilm.
Status Imunologi
Faktor imunologis yang cukup berperan dalam OME adalah sekretori lg A.
Imunoglobulin ini diproduksi oleh kelenjar di dalam mukosa kavum timpani. Sekretori
Ig A terutama ditemukan pada efusi mukoid dan dikenal sebagai suatu imunoglobulin
yang aktif bekerja dipermukaan mukosa respiratorik. Kerjanya yaitu menghadang kuman
agar tidak kontak langsung dengan permukaan epitel, dengan cara membentuk ikatan
komplek. Kontak langsung dengan dinding sel epitel adalah tahap pertama dari penetrasi
kuman untuk infeksi jaringan, Dengan demikian Ig A aktif mencegah infeksi kuman.14
Alergi
Bagaimana faktor alergi berperan dalam menyebabkan OME masih belum jelas.
Akan tetapi dari gambaran klinis dipercaya bahwa alergi memegang peranan. Dasar
12
pemikirannya adalah analogi embriologik, dimana mukosa timpani berasal sama dengan
mukosa hidung. Setidak-tidaknya manifestasi alergi pada tuba Eustachius merupakan
penyebab oklusi kronis dan selanjutnya menyebabkan efusi.14
Namun, dari penelitian kadar Ig E yang menjadi kriteria alergi atopik, baik
kadarnya dalam efusi maupun dalam serum tidak menunjang sepenuhnya alergi sebagai
penyebab. Etiologi dan patogenesis otitis media oleh karena alergi mungkin disebabkan
oleh satu atau lebih dari mekanisme dibawah ini:14
a) mukosa telinga tengah sebagai organ sasaran (target organ)
b) pembengkakan oleh karena proses inflamasi pada mukosa tuba Eustachius
c) obstruksi hidung oleh karena proses inflamasi, dan
d) aspirasi bakteri nasofaring yang terdapat pada sekret alergi ke dalam ruang telinga
tengah.
Diagnosis
Diagnosis OME tidak mudah dan terdapat perbedaan yang bermakna sesuai
dengan kecakapan klinisi, khususnya di tingkat pelayanan primer atau dokter anak yang
mendiagnosisnya. Gejala OME tidak ada yang sensitif maupun spesifik, banyak anak
justru tanpa gejala. Pemeriksaan fisik pada penderita OME berpotensi tidak akurat
karena kesan subyektif gambaran membran timpani sulit dinilai. Belum lagi anak-anak
sulit diajak kerjasama dalam pemeriksaan. Dalam mendiagnosis diperlukan kejelian dari
pemeriksa. Ini disebabkan keluhan yang tidak khas terutama pada anak-anak, Biasanya
orang tua mengeluh adanya gangguan pendengaran pada anaknya, guru melaporkan
bahwa anak mempunyai problem pendengaran, kemunduran dalam pelajaran di sekolah,
bahkan dalam gangguan wicara dan bahasa. Seringkali OME ditemukan secara tidak
sengaja pada saat skrining pemeriksaan telinga dan pendengaran di sekolah-sekolah.
Untuk menegakkan diagnosis OME dilakukan dengan anammnesis, otoskopi,
timpanomentri, audiometri atau audiologi.14
Anamnesis
OME senng terjadi pada anak- anak, walau demikian penvakit imi jarang
menimbulkan keluhan. Riwayat penyakit ini biasanya diketahui dari orang tua ataupun
guru anak-anak tersebut. Keluhan yang disampaikan adalah sikap acuh terhadap suara
disekitarnya, gangguan atau keterlambatan bicara juga prestasi belajar anak yang
semakin menurun. Pada anak-anak yang lebih besar atau orang dewasa biasanya
13
dirasakan adanya rasa yang tidak nyaman pada telinga (terasa penuh), suara yang
bergema pada telinga, mungkin juga didapatkan tinitus. Anammesis tidak didapatkan
keluhan tanda-tanda adanya infeksi. Tidak didapatkan demam.14
Riwayat penyakit perlu digali secara lengkap dan dicari faktor-faktor resiko
terjadinya OME pada penderita. Status imunologi, status gizi, riwayat alergi pasien dan
keluarganya serta kelainan kongenital yang menyertai misal palatoskizis merupakan
faktor yang harus mendapatkan perhatian pada pasien yang dicurigai menderita OME.14
Otoskopi
Otoskopi dilakukan untuk menilai kondisi, warna, dan translusensi membran
timpani. Macam-macam perubahan atau kelainan yang terjadi pada membran timpani
dapat dilihat sebagaimana berikut:14
a) Membran timpani yang suram dan berwama kekuningan yang mengganti gambaran
tembus cahaya selain itu letak segitiga refiek cahaya pada kuadran antero inferior
memendek, mungkin saja didapatkan pula peningkatan pembuluh darah kapiler pada
membran timpani tersebut. Pada kasus dengan caian mukoid atau mukopurulen
membran timpani berwarna lebih muda (krem),
b) Membran timpani retraksi yaitu bila manubrium malei terlihat lebih pendek dan
lebih horisontal, membran kelihatan cekung dan refleks cahaya memendek, Warna
mungkin akan berubah agak kekuningan.
c) Atelektasis, membran timpam biasanya tipis, atropi dan mungkin menempel pada
inkus, stapes dan promontorium, khususnva pada kasus-kasus yang sudah lanjut,
biasanya kasus seperti ini karena disfungsi tuba Eustachius dan OME yang sudah
berjalan lama.
d) Membran timpani dengan sikatrik, suram sampai retraksi berat disertai bagian yang
atropi didapatkan pada otitis media adesif oleh karena tenjadi jaringan fibrosis
ditelinga tengah sebagai akibat proses peradangan sebelumnya yang berlangsung
lama. Keadaan ini dapat sebagai komplikasi otitis media supuratif atau OME non
supuratif yang menyebabkan rusaknya mukosa telinga tengah. Waktu penyembuhan
terbentuk jaringan fibrotik yang menimbulkan perlekatan.
e) Gambaran air fluid fevels atau bubles biasanya ditemukan pada OME yang berisi
cairan serus,
14
f) Membran timpani berwarna biru gelap atau ungu diperlihatkan pada kasus
hematotimpanum yang disebabkan oleh fraktur fraktur tulang temporal, leukimia,
tumor vaskuler telinga tengah. Sedang wama biru yang lebih muda mungkin
disebabkan oleh barotrauma.
g) Gambaran lain adalah ditemukannya sikatrik dan bercak kalsifikasi,
b) terdapat perubahan warna membran timpani akibat refleksi dari adanya cairan
didalam kavum timpani,
c) membran timpani tampak lebih menonjal,
d) membran retraksi atau atelcktasis,
e) didapatkan air fluid levels atau bubles, atau
f) mobilitas membran berkurang atau fiksasi.
Otoskop pneumatik/Otosko Siegel
Otoskopi pneumatik diperkenalkan pertama kali oleh Siegle, bentuknya relatif
tidak berubah sejak pertama diperkenalkan pada tahun 1864. Alat ini dilengkapi dengan
dua macam kaca pembesar yaitu Brucnings diagnostic head untuk diagnostik dan
Frenzel operating head untuk tindakan ringan, yang bisa dihubungkan dengan bola karet
untuk membuat tekanan negatif atau positif pada meatus akustikus eksternus.
Mempunyal enam spekulum telinga dengan berbagal ukuran, yang bisa disesuaikan
dengan ukuran meatus akustikus eksternus dan untuk penerangannya dipakai lampu
kepala.14
Otoskopi pneumatik selain bisa melihat jenis perforasi, jaringan patologi, dan
15
untuk embrana timpan yang masih utuh bisa juga dilihat gerakannya (mobilitas) dengan
jalan memberi tekanan positif maka membrina timpani akan bergerak ke medial dan bila
diberi tekanan negatif maka membrana timpani akan bergerak ke lateral. Otoskopi
preumatik merupakan standar fisik diagnostik pada OME.14
16
Gambar 2.5 Gambaran tiga tipe timpanogram.
Audiometri
Dari pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan nilai ambang tulang dan
udara. Secara garis besar interpretasi audiogram adalah sebagai berikut:14
a) Tuli konduksi bila hantaran tulang lebih baik dan hantaran udara sebesar 10 dB
dengan hantaran udara diatas 20 dB.
b) Tuli persepsi, bila hantaran tulang sama dengan hantaran udara, keduanya tidak
normal atau lebih dari 70 dB.
c) Tuli campuran, bila hantaran tulang berkurang (diatas 20 dB) namun masih lebih
bak dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih,
Gangguan pendengaran lebih sering ditemukan pada pasien OME dengan cairan
yang kental (glue ear). Meskipun demikian beberapa studi mengatakan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara cairan serus dan kental terhadap gangguan
pendengaran, sedangkan volume cairan yang ditemukan didalam telinga tengah lebih
berpengaruh.14
Pasien-pasien dengan OME pada audiogram sering ditemukan gangguan
pendengaran dengan tuli konduksi ringan sampai sedang sehingga tidak begitu
berpengarih dengan kehidupan sehari-hari. Tuli bilateral persisten lebih dari 25 dB dapat
mengganggu perkembangan intelektual dan kemampuan berbicara anak. Bila hal ini
dibiarkan bisa saja ketulian bertambah berat yang berakibat buruk bagi pasien. Akibat
17
buruk ini dapat berupa gangguan lokal pada telinga maupun gangguan yang lebih umum,
seperti gangguan perkembangan bahasa dan kemunduran dalam pelajaran sekolah.
Pasien dengan tuli konduksi yang lebih berat mungkin sudah didapatkan fiksasi atau
putusnya rantai osikel.14
LMA Klasik
Tidak seperti jalan nafas supraglotik, tersedia dalam berbagai ukuran, yang cocok
untuk semua penderita mulai dari bayi sampai dengan dewasa. Suatu metode
18
pemasangan LMA klasik dengan teknik standar direkomendasikan oleh Dr Archie Brain.
Setelah deflasi cuff secara penuh, LMAdimasukkan dengan bantuan indek jari menekan
masker kearah cranioposterior melewati kurva palatofaringeal, dilanjutkan kearah caudal
sampai dirasakan adanya tahanan di mana ujung masker memasuki upper esophageal
sphincterKeberhasilan LMA yang klasik mendorong munculnya berbagai jenis LMA
lainnya dengan beberapa tujuan tertentu seperti untuk intubasi buta disertai dengan akses
ke lambung (Proseal LMA).
LMA Proseal
LMA proseal dengan akses lambung dapat mendekomprasi lambung seketika
LMA dipasang. LMA proseal lebih sesuai secara anatomis untuk jalan nafas dan lebih
cocok untuk ventilasi tekanan positif.Jenis LMA proseal memberikan dua keuntungan:
(1) adanya akses ke lambung memungkinkan untuk memasukkan selang lambung dan
kemudian dekompresi lambung; (2) desain ulang terhadap balon LMA memungkinkan
19
untuk mengembangkan balon LMA lebih besar dan posisi balon LMA yang lebih tepat
terhadap jalan nafas. 5,7
LMA Fast Track
LMA Fastrach terdiri dari sutu tube stainless steel yang melengkung ( diameter
internal 13 mm ) yang dilapisi dengan silicone, connector 15 mm, handle, cuff, dan suatu
batang pengangkat epiglotis. Perbedaan utama antara LMA clasic dan LMA Fastrach
yaitu pada tube baja, handle dan batang pengangkat epiglottic. Nama lain dari Intubating
LMA : Fastrach. Laryngeal mask yang dirancang khusus untuk dapat pula melakukan
intubasi tracheal. Sifat ILMA : airway tube-nya kaku, lebih pendek dan diameternya
lebih lebar dibandingkan cLMA. Ujung proximal ILMA terdapat metal handle yang
berfungsi membantu insersi dan membantu intubasi, yang memungkinkan insersi dan
manipulasi alat ini. Di ujung mask terdapat ”pengangkat epiglotis”, yang merupakan
batang semi rigid yang menempel pada mask. ILMA didesign untuk insersi dengan
posisi kepala dan leher yang netral. Ukuran ILMA : 3 – 5, dengan tracheal tube yang
terbuat dari silicone yang dapat dipakai ulang, dikenal : ILMA tube dengan ukuran : 6,0
– 8,0 mm internal diameter.
ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan patologi esofagus bagian
atas karena pernah dilaporkan kejadian perforasi esofagus. Intubasi pada ILMA bersifat
20
”blind intubation technique”. Setelah intubasi direkomendasikan untuk memindahkan
ILMA. Nyeri tenggorok dan suara serak biasanya ringan, namun lebih sering terjadi pada
pemakaian ILMA dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan penting dalam
managemen kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok untuk pasien dengan
cedera tulang belakang bagian cervical. Dan dapat dipakai selama resusitasi
cardiopulmonal.
Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA mirip dengan intubasi
konvensional dengan menggunakan laryngoscope. Kemampuan untuk insersi ILMA dari
belakang, depan atau dari samping pasien dan dengan posisipasien supine, lateral atau
bahkan prone, yang berarti bahwa ILMA merupakan jalan nafas yang cocok untuk
insersi selama mengeluarkan pasien yang terjebak.
21
Kontraindikasi Penggunaan LMA11
Kondisi-kondisi berikut ini merupakan kontraindikasi penggunaan LMA :
1. Resiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (hernia hiatus, ileus intestinal)
2. Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher (misalnya artitis
rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis), menyebabkan memasukkan LMA
lebih jauh ke hipopharynx sulit.
3. Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar
4. Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya
5. Kelainan pada oropharynx (misalnya hematoma, dan kerusakan jaringan)
6. Ventilasi paru tunggal.
22
Gambar 2.9 Posisi LMA
23
Gambar 2.11 Cara pemasangan LMA dengan introducer
Gambar Teknik Insersi LMA
a. LMA dalam keadaan siap untuk diinsersi. Balon harus dalam keadaan kempes dan
rim membelakangi lubang LMA. Tidak boleh ada lipatan pada ujung LMA.
b. Insersi awal LMA dengan melihat langsung, ujung masker ditekan terhadap palatum
durum. Jari tengah dapat digunakan untuk menekan dagu kebawah. Masker ditekan
kearah depan terus maju ke dalam pharynx untuk memastikan bahwa ujungnya tetap
datar dan menolak lidah. Dagu tidak perlu dijaga agar tetap terbuka bila masker
telah masuk kedalam mulut. Tangan operator yang tidak terlibat proses intubasi
dapat menstabilisasi occiput.
c. Dengan menarik jari sebelahnya dan dengan sedikit pronasi dari lengan bawah,
biasanya dengan mudah akan dapat mendorong masker. Posisi leher tetap flexi dan
kepala tetap extensi.
d. LMA ditahan dengan tangan sebelah dan jari telunjuk kemudian diangkat. Tangan
menekan LMA ke bawah dengan lembut sampai terasa tahanan. 7
Keberhasilan insersi LMA tergantung dari hal-hal detail sebagai berikut : 7
1. Pilih ukuran yang sesuai dengan pasien dan teliti apakah ada kebocoran pada balon
LMA
2. pinggir depan dari balon LMA harus bebas dari kerutan dan menghadap keluar
berlawanan arah dengan lubang LMA
3. lubrikasi hanya pada sisi belakang dari balon LMA
24
4. pastikan anastesi telah adekuat (baik general ataupun blok saraf regional) sebelum
mencoba untuk insersi. Propofol dan opiat lebih memberikan kondisi yang lebih
baik daripada thiopental.
5. posisikan kepala pasien dengan posisi sniffing
6. gunakan jari telunjuk untuk menuntun balon LMA sepanjang palatum durum terus
turun sampai ke hipofarynx sampai terasa tahanan yang meningkat. Garis hitam
longitudinal seharusnya selalu menghadap ke cephalad (menghadap ke bibir atas
pasien)
7. kembangkan balon dengan jumlah udara yang sesuai
8. pastikan pasien dalam anastesi yang dalam selama memposisikan pasien
9. obstruksi jalan nafas setelah insersi biasanya disebabkan oleh piglotis yang terlipat
kebawah atau laryngospame sementara
10. hindari suction pharyngeal, mengempeskan balon, atau mencabut LMA sampai
penderita betul-betul bangun (misalnya membuka mulut sesuai perintah).
Malposisi LMA
Keuntungan dan Kerugian LMA dibandingkan dengan Face Mask atau ETT 11
Keuntungan Kerugian
Dibandingkan - Tangan operator bebas - Lebih invasif
dengan Face Mask - Lebih leluasa pada operasi THT - Resiko trauma pada jalan nafas
- Lebih mudah untuk lebih besar
mempertahankan jalan nafas - Membutuhkan keterampilan
- Terlindung dari sekresi jalan nafas baru
- Trauma pada mata dan saraf wajah- Membutuhkan tingkat anastesi
lebih sedikit lebih dalam
- Polusi ruangan lebih sedikit - Lebih membutuhkan
kelenturan TMJ (temporo-
mandibular joint)
- Difusi N2O pada balon
- Ada beberapa kontraindikasi
Dibandingkan dg- Kurang invasive - Meningkatkan resiko aspirasi
ETT - Anestesi yang dibutuhkan lebih gastrointestinal
dangkal - Tidak aman pada pasien
- Berguna pada intubasi sulit obisitas berat
- Trauma pada gigi dan laryngx- Maksimum PPV (positive
rendah pressure ventilation) terbatas
- Mengurangi kejadian- Keamanan jalan nafas kurang
bronkhospasme dan laryngospasme terjaga
- Tidak membutuhkan relaksasi otot - Resiko kebocoran gas dan
- Tidak membutuhkan mobilitas polusi ruangan lebih tinggi
leher - Dapat menyebabkan distensi
- Mengurangi efek pada tekanan lambung
introkular
27
- Mengurangi resiko intubasi ke
esofagus atau endobronchial
28
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Telinga terasa tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang:
29
Pasien perempuan usia 39 tahun datang sadar ke RSU Bangli dengan keluhan
telinga terasa tersumbat dan penurunan pendengaran pada telinga kanan. Keluhan
dirasakan sudah cukup lama sekitar satu tahun belakangan. Pasien mengatakan keluhan
telinga tersumbat dirasakan terus menerus setiap hari dan semakin memberat sehingga
pasien merasa kurang pendengaran bahkan sampai kadang-kadang tidak dapat
mendengar. Pasien mengatakan keluhan dirasakan secara tiba-tiba sekitar satu tahun
yang lalu dan perlahan-lahan dirasakan semakin memberat dan mengganggu aktivitas.
Pasien juga mengatakan sejak beberapa hari ini telinganya terasa nyeri yang dirasakan
secara terus menerus dan mengganggu pasien. Pasien mengatakan keluhan tidak
membaik baik saat istirahat ataupun beraktivitas. Pasien tidak pernah megalami keluhan
yang sama sebelumnya. Keluhan lain seperti batuk, pilek, pusing disangkal.
30
- Riwayat keluarga mengalami keluhan yang sama seperti pasien saat ini, disangkal
oleh pasien
Riwayat Pengobatan : Dekongestan
Riwayat social : merokok (-), alkohol (-), gigi lubang (-),
gigi goyang (-)
B1 (Brain) : E4 V5 M6
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, kedua pupil isokor.
B2 (Breath) :
Inspeksi : Bentuk simetris, gerak pernafasanstatis dan dinamis simetris,
tetraksi sela iga (-).
Palpasi : Fremitus vocal dan taktil simetriskanan dan kiri, tidak
teraba massa, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi -/-, wheezing -/-.
B3 (Blood) :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba sela iga kelima linea midklavikuka
sinistra
31
Perkusi : Batas jantung kiri sela iga V linemidklavikula sinistra, Batas jantung
kanan sela iga V linea parasternal dextra, Batas pinggang jantung sela iga II linea
parastelnal sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler, tidak ditemukangallop
maupun murmur.
B4 (Blader) : Urine Spontan
B5 (Bowel) :
Inspeksi : Perut simetris kanan dan kiri, datar, tidak ada ditemukan sikatrik
dan massa.
Auskultasi : Bising usus (+) 8x/menit menurun.
Palpasi : Nyeri tekan (+) Mc Burney. Turgor kulit baik hepar tidak teraba
mebesar.
Perkusi : Terdengar timpani pada seluruh lapang abdomen
B6 (Bone) : Akral hangat, fraktur (-).
LEMON
• Look eksternal :
• Trauma wajah (-)
• Lebar jarak gigi seri dan bawah normal
• Lidah lebar (-)
• Obesitas (-)
• Evaluated
• Jarak gigi seri atas dan bawah 3 jari
• Jarak hyoid mental 3 jari
• Jarak hyoid thyroid 2 jari
• Mallampati
• Skor 1
• Obstruksi
• Epiglositis (-)
• Peritonsilar abses (-)
• Trauma (-)
• Neck
• Mobilitas leher bebas
32
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Darah Lengkap :
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Rutin
Leukosit 8,6 3.5– 10/uL
Hemoglobin 14,9 12 – 16 g/dL
Hematokrit 44,2 37 – 47 %
Eritrosit 5,24 4,3 – 6,0 juta/uL
Trombosit 278. 150 – 400/uL
MCV 84,3 75 – 100 fl
MCH 28,4 25 – 35 pg
MCHC 33,7 31- 38 g/dL
Faal Hemostasis
3.6 Kesimpulan
33
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka
didapatkan:
- Diagnosis pre operatif : Otitis Media Eksudatif Dextra
- Status operatif : ASA I
- Jenis operasi : Miringotomi
- Jenis anestesi : General Anastesi Laringeal Mask Airway
3.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengaan status fisik ASA I dilakukan tindakan anestesi dan diberikan
terapi anestesi yaitu :
a. Pramedikasi :
Sedatif : Midazolam 0,05 – 0,1 mg/KgBB 3 mg (IV)
Analgetik : Ketorolac 0,5mg/KgBB 30 mg (IV)
Antiemetik : Ondancentron 0,05-0,1 mg/KgBB 4 mg (IV)
Ranitidine 1-2 mg/KgBB 50 mg (IV)
b. Induksi :
Fentanyl 1-2 µg/KgBB 100 µg (IV)
Propofol 2-2,5mg/KgBB150 mg (IV)
c. Intubasi :
Laringeal Mask Airway ukuran 4
d. Maintenence :
N2O : O2 : Sevofluran : 60: 40 : 2 vol%
Terapi cairan
Maintenance (M) = BB x kebutuhan cairan per jam
= 63 x 1cc/jam
= 63 cc/jam
34
=189 cc
Midazolam 3 mg
Ketorolac 30 mg IV
Ondancetron 4 mg IV
Ranitidine 50 mg IV
35
sudah hilang.
36
memperhatikan : nafas
adekuat, hemodinamik stabil,
saturasi, volume tidal.
Jika syarat terpenuhi,
keluarkan udara dari cuff dan
mengeluarkan LMA.
Memasang goedel (oral
airway)
Gas N2O dan Sevoflurane
dimatikan, dan gas O2
dinaikkan menjadi 6%
(oksigenasi) dengan
menggunakan face mask.
Melihat saturasi pasien,
melihat dada pasien baik
atau tidak dalam bernapas.
Menilai skor aldrete, bila
skor ≥8 pasien dapat
dipindahkan ke ruangan
perawatan.
Gas O2 dihentikan
Pelepasan alat monitoring
(saturasi dan tensimeter)
Pasien dipindahkan ke
Recovery Room
37
operasi.
Menilai skor aldrete, bila
skor ≥8 pasien dapat
dipindahkan ke ruangan
perawatan.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan
dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi. Pasien
Perempuan 39 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi miringiotimi pada
tanggal 30 Juli 2019 dengan diagnosis otitis media eksudatif dextra. Persiapan operasi
dilakukan pada tanggal 30 Juli 2019. Dari anamnesis terdapat keluhan telinga terasa
tersumbat dan penurunan pendengaran pada telinga kanan. Keluhan dirasakan sudah
cukup lama sekitar satu tahun belakangan. Pasien mengatakan keluhan telinga tersumbat
dirasakan terus menerus setiap hari dan semakin memberat sehingga pasien merasa
kurang pendengaran bahkan sampai kadang-kadang tidak dapat mendengar. Pasien
mengatakan keluhan dirasakan secara tiba-tiba sekitar satu tahun yang lalu dan perlahan-
lahan dirasakan semakin memberat dan mengganggu aktivitas. Pasien juga mengatakan
sejak beberapa hari ini telinganya terasa nyeri yang dirasakan secara terus menerus dan
38
mengganggu pasien. Pasien mengatakan keluhan tidak membaik baik saat istirahat
ataupun beraktivitas. Pasien tidak pernah megalami keluhan yang sama sebelumnya.
Keluhan lain seperti batuk, pilek, pusing disangkal. Pemeriksaan fisik dari tanda vital
didapatkan; tekana darah 110/80 mmHg, nadi 80x/menit; respirasi 20x/menit; suhu
36,2OC, Vas 3. Dari pemeriksaan laboratorium yang dilakukan tanggal 30 Juli 2019
dalam batas normal. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA I yaitu penyakit bedah tanpa disertai
penyakit sistemik.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi. Aspirasi isi lambung,
penyebab, akibat dan gejalanya dapat dibedakan oleh 3 bahan aspirat yaitu berupa asam,
partikel (sisa makanan) dan bakteri. Secara umum aspirasi dapat dicegah dengan
mencegah isi lambung agar tidak masuk ke faring, aspirasi yang di faring dijaga tidak
masuk trakhea dan paru. Selain bahan aspirat, volume isi lambung menentukan
keparahan akibat aspirasi sehingga jumlah yang cairan masuk paru diupayakan menjadi
lebih sedikit. Timbulnya reaksi akibat aspirasi asam dapat terlihat segera setelah kejadian
atau gejala yang timbulnya lambat. Aspirasi asam lambung terjadi 2 fase yaitu trauma
pada jaringan dan reaksi keradangan. Dalam waktu 5 detik, asam akan bereaksi dengan
mukosa trakhea dan alveoli, dan dalam waktu 15 detik telah terjadi netralisasi. Enam jam
kemudian akan kehilangan lapisan sel superfisial yang bersilia dan yang tidak bersilia.
Regenerasi terjadi dalam waktu 3 hari, dan dalam waktu 7 hari terjadi regenerasi yang
sempurna pada sel yang mengalami kerusakan. Sel alveolar tipe II sangat peka terhadap
asam hidroklorid dan mengalami kerusakan dalam waktu 4 jam setelah terjadinya
aspirasi. Peningkatan lisophophosphatidyle choline yang cepat dalam 4 jam setelah
aspirasi asam mengakibatkan peningkatan permiabilitas alveolar dan cairan paru (lung
water). Peningkatan cairan paru mengakibatkan menurunkan compliance paru,
menurunkan kemampuan perfusi-ventilasi paru. Pada fase kedua, ditandai dengan
pelepasan sitokin sitokin inflamasi yag terangsang dengan adanya zat asam seperti TNFα
dan interleukin-8. Hal ini akan merangsang ekspresi sel adhesion molecule L-selectin
dan beta-2 integrins pada neutrofil, and intercellular adhesion molecules (ICAM) pada
endothel paru yang selanjutnya merangsang reaksi peradangan (neutrophilic
inflammatory response).6,12
Akibatnya memicu reaksi peradangan yang menyeluruh yang memungkinan
terjadinya kegagalan kardiopulmoner. Aspirasi isi lambung secara bersamaan
39
menyebabkan terjadi fokus peradangan dan reaksi tubuh terhadap benda asing dengan
kerusakan jaringan secara menyeluruh akibat asam. Partikel dan asam lambung bekerja
sama secara sinergis menyebabkan kebocoran kapiler alveolar. Aspirasi partikel besar
dari isi lambung, akan menimbulkan gejala obstruksi jalan napas, dan dalam waktu
pendek dapat terjadi kematian pasien, oleh karena itu partikel tersebut harus segera
dikeluarkan, dan dilakukan oksigenasi dan ventilasi untuk menghindari hipoksia, dan
segera dilakukan intubasi untuk mencegah aspirasi selanjutnya. Isi lambung tidak steril
sehingga aspirasi yang terjadi dapat disertai bakteri. 60-100% terdiri dari kuman anaerob.
Gabungan kuman aerob dan anaerob sering dijumpai pada aspirasi pneumoni yang
terjadi di rumah sakit. Pseudomonas aeroginosa, Klebsiella dan Escheresia colli
merupakan kuman gram negatif yang banyak dijumpai sebagai penyebab pneumonia
nosokomial. Staphylococcus aureus merupakan kuman gram positif yang patogen.
Kuman gram negatif yang dijumpai pada pemakaian ventilator, 34% berasal dari aspirasi
isi lambung dan sekret orofaring, dan diduga merupakan penyebab kematian pneumonia
pasca bedah. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi.5,12
Pemilihan teknik anestesi pada pasien adalah anastesi umum dengan pemasangan
laryngeal mask airway. Alasan pemilihan teknik anestesi ini berdasarkan indikasi
sebagai berikut:
- Lokasi pembedahan pada daerah kepala (telinga).
- Posisi pasien saat operasi adalah terlentang
- Induksi dan pemeliharaan anestesi pada pembedahan cukup lama
- Manipulasi yang dilakukan yaitu manipulasi liang telinga.
- Jenis kelamin pasien, dimana perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih
besar dari laki-laki.
- Pada pemeriksaan fisik dan penunjang diketahui keadaan pasien baik
Pasien masuk ke ruang operasi pada pukul 11.30 WITA dilakukan pemasangan
monitoring tekanan darah, nadi, saturasi, dengan hasil tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
80x/menit, dan SpO2 100%. Pada pasien ini, urutan tindakan anastesi dimulai dari
preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif.
Pasien diberikan obat-obat premedikasi bertujuan untuk menimbulkan rasa nyaman
bagi pasien, mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus, memperlancar
induksi, mengurangi dosis obat anestesia, mengurangi rasa sakit dan gelisah paska
bedah, menimbulkan amnesia retrograde
Pada pasien ini, obat-obatan yang dipilih adalah sebagai berikut:
40
4.2 Premedikasi
- Analgesik : ketorolac injeksi 30 mg (IV)
- Konsentrasi 30 mg/ml dalam dalam 1 Ampul 1 ml
Diberikan secara intravena.Dosis untuk bolus intravena harus diberikan
selama minimal 15 detik.Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV
maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam
1 hingga 2 jam.Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis awal yang
dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 10–30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila
diperlukan dosis maks 90mg/hari, pada manula, gangguan faal ginjal, dan BB <50kg
dibatasi maks 60mg/hari. Efek pemberian obat ini yaitu menghambat biosintesis
prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat
dimana mekanisme kerjanya menghambat enzim siklooksogenase (COX 1). Selain
menghambat sintese prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2 sehingga
memiliki efek anti inflamasi. Pada pasien ini diberikan ketorolac injeksi 30 mg IV
dengan tujuan untuk mendapatkan efek analgesia yang terkandung dalam ketorolac
sehingga dapat mengurangi nyeri pada pasien.5,12
4.3 Induksi
- Fentanyl injeksi 100 mcg (IV)
Konsentrasi 0,05 mg/ml dalam 1 ampul 2 ml, dosis 12mcg/kgBB
Fentanyl, golongan obat opioid analgetik poten yang terutama bekerja sentral
pada sistem saraf pusat, sehingga mengakibatkan meningkatnya ambang batas nyeri,
mengurangi persepsi nyeri menghambat serabut saraf nyeri ascending,
menyebabkan depresi nafas dan sedasi.Pada dosis lazim kesadaran pasien menurun
dan khasiat analgetiknya yang kuat.Onset 30-120 detik dengan durasi 30-60 menit.
Dosis 1-2 mcg/kgBB IV. Tujuan dari pemberian fentanyl adalah untuk
meningkatkan kualitas analgesia intraoperative dan dapat menghasilkan onset 1
sampai 2 menit dan dari analgesia berdurasi 30 menit sampai 1 jam.12
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Otitis media efusi (OME) adalah suatu penumpukan cairan dalam telinga tengah
dengan membrane timpani yang masih utuh tanpa disertai tanda-tanda infeksi akut.
Adanya cairan di dalam telinga tengah mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran.
Dalam banyak kasus OM merespon merespon antibiotik, namun infeksi berulang
biasanya memerlukan operasi, yang memerlukan pembuatan sebuah lubang di gendang
telinga (miringotomi) untuk mengurangi tekanan dan mengalirkan sekresi telinga tengah.
Anestesi umum, contoh dengan Laryngeal Mask Airway, cukup memuaskan. Sebuah
tekanan kecil penyama logam (equalizing metal) atau tabung plastik (plastic tube)
umumnya dimasukkan untuk menjaga lubang terbuka dan mencegah akumulasi cairan.
Tabung ini berada di lubang tersebut selama enam bulan dan akan terlepas secara
spontan.
Pemilihan teknik anestesi pada pasien ini adalah anastesi umum dengan
pemasangan laryngeal mask airway. Alasan pemilihan teknik anestesi ini berdasarkan
lokasi pembedahan, posisi pasien saat operasi, induksi dan pemeliharaan anestesi, dan
manipulasi.
5.2 Saran
Pada terapi pembedahan otitis media efusi (OME) sebaiknya menggunakan
general anestesia dengan pemasangan laryngeal mask airway. Sebaiknya pemantauan
post operatif nausea dan vomiting (PONV) pada pasien miringotomi menggunakan obat
44
potensial antiemesis salah satunya yakni ondancetron 0,05 mg/KgBB. Untuk terapi
analgetik post op nyeri akut sebaiknya menggunakan WFSA analgetik ladder.
DAFTAR PUSTAKA
45
12. Ting,H.Paul. Intravenous Anesthetic. Available at :
http://anesthesiologyinfo.com/articles/01072002.php. Accesed : 21 Februari 2019
13. Olutoyin O.A.George. Anesthesia for ear, nose, and throat (ENT) surgery.
Chapter17.p(469-470).Anesthesia Care of Pediatric patient.2014.
14. Widodo, Agus., Soepriyadi. 2008. Diagnosing Otitis Media With Effusion. Surabaya:
Universitas Airlangga.
15. Miller’s Anesthesia. Ronald D Milller, International Edition, Volume 2. 2010. p(2364-
66).
16. Paul GB. Bruce FC. Clinical Anesthesia. 5th. 2001. p(1002-3).
17. David EL, David LB. Anesthesia for Otorhinolaryngologic (Ear, Nose, Throat)
Surgery. Anesthesiology. 2nd. 2012. p(1226-28)
46