Anda di halaman 1dari 14

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

askep dalam mengatasi kegawatdaruratan berbagai sistem

Dosen Pengampuh : Irfandi Rahman , S.Kep ., Ners ., M.Kes

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

1. Imam Ahmadi
2. Dyah F. korompot
3. Reza Hitaha
4. Asinta ulim
5. Hawana
6. Anita yumame
7. Riyona Sitaniapessy
8. Samsia kelian
9. Febri Leuwol
10. Irtan H. Sikowai
11. Yansen M
12. Anafi

YAYASAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PAPUA (YPMP)


SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) PAPUA SORONG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
2020
BAB I 
PENDAHULUAN

Pertolongan penderita gawat darurat dapat terjadi dimana saja baik di dalam
rumah sakit maupun di luar rumah sakit, dalam penanganannya melibatkan tenaga
medis maupun non medis termasuk masyarakat awam. Pada pertolongan pertama
yang cepat dan tepat akan menyebabkan pasien/korban dapat tetap bertahan hidup
untuk mendapatkan pertolongan yang lebih lanjut.
Adapun yang disebut sebagai penderita gawat darurat adalah penderita yang
memerlukan pertolongan segera karena berada dalam keadaan yang mengancam
nyawa,sehingga memerlukan suatu pertolongan yang cepat, tepat, cermat untuk
mencegah kematian maupun kecacatan. Untuk memudahkan dalam pemberian
pertolongan korban harus diklasifikasikan termasuk dalam kasus gawat darurat,
darurat tidak gawat, tidak gawat tidak darurat dan meninggal.
Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana pasien
berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan hemodinamik adalah
trauma abdomen di mana secara anatomi organ-organ yang berada di rongga abdomen
adalah organ-organ pencernaan. Selain trauma abdomen kasus-kasus
kegawatdaruratan pada system pencernaan salah satunya perdarahan saluran cerna
baik saluran cerna bagian atas ataupun saluran cerna bagian bawah bila hal ini
dibiarkan tentu akan berakibat fatal bagi korban atau pasien bahkan bisa
menimbulkan kematian. Oleh karena itu kita perlu memahami penanganan
kegawatdaruratan pada system pencernaan secara cepat,cermat dan tepat sehingga
hal-hal tersebut dapat kita hindari.
BABII
PEMBAHASAN

A.DEFINISI PERDARAHAN SALURAN CERNA DAN


TRAUMA  ABDOMEN

Perdarahan saluran cerna yaitu perdarahan yang bisa terjadi dimana saja di
sepanjang saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Bisa berupa
ditemukannya darah dalam tinja atau muntah darah,tetapi gejala bisa juga
tersembunyi dan hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan tertentu. Saluran
perncernaan dibagi menjadi 2 yaitu, perdarahan saluran cerna bagian atas dan saluran
cerna bagian bawah. Saluran cerna bagian atas ( upper GI ) meliputi : mulut, faring,
esophagus dan lambung. Sedangkan saluran cerna bagian bawah ( lower GI)
meliputi : usus halus dan usus besar sampai anus.
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan
tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001 : 2476 )
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak
diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk
(Ignativicus & Workman, 2006).
B.     ETIOLOGI
1.    Perdarahaan saluran cerna
Perdarahan saluran cerna bagian atas ( upper GI ) umumnya dapat disebabkan
antara lain :
a.    Ulkus peptikum 
b.    Varises esophagus pada hipertensi portal 
c.    Gastritis erosive atau ulseratif :
ü Alcohol dalam jumlah besar
ü Obat-obatan  : salisilat, fenilbutazon, indometasin, kortikosteroid,
reserpin dosis besar (oral/parenteral).
ü Stress berat : penyakit intracranial, luka bakar, sepsis.
d.    Lain-lain : esofagitis, karsinoma lambung ( biasanya bersifat
perdarahan kronik ), ruptura aneurisma aorta, laserasi hepar ( hemobilia ),
uremi.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah ( lower GI) umumnya disebabkan
antara lain:
a.    Lesi daerah anus : hemoroid, fisura ani, fistula ani.
b.    Penyakit rectum dan usus besar : karsinoma, polip, radang ( colitis
ulseratif, penyakit crohn, amuba ) dan divertikulum.
c.    Penyakit jejunum dan ileum : volvulus, enterokolitis nekrotikans
( keduanya pada bayi baru lahir ), invaginasi ( bayi dan anak-anak < 2
tahun ), divertikulum Meckel  (perdarahan banyak dan berulang pada anak
dan dewasa muda), tifoid.
2.    Trauma tumpul abdomen
Dapat disebabkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk
pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).

C.   PATOFISIOLOGI
1.    Perdarahan saluran cerna bagian atas
ü  Ulkus peptikum, perdarahan pada ulkus peptikum merupakan
manifestasi yang utama dari penyakit ini .
ü  Gastritis erosive tjd org yg mengkonsumsi alkohol & obat-obat
antiinflamasi dpt menyebabkan terjadinya erosi lambung. Erosi
lambung juga terjadi pada orang yang mengalami trauma berat,
pembedahan, & penyakit sistemik yang berat.7
ü  Varises & gastropati hipertensi portal, terjado secara mendadak
disebabkan oleh hipertensi portal yang terjadi sekunder akibat sirosis
hepar, kemudian akan menyebabkan perdarahan varises.
ü  Ruptur mukosa esofagogastrika (Sindrom Mallory Weiss),
perdarahan disebabkan karena laserasi mukosa.

2.    Perdarahan saluran cerna bagian bawah


ü  Lesi pd anus & rectum, perdarahan dapat terjadi karena feses yang
mengeras sehingga defekasi dilakukan dengan mengejan. Trauma
rectum & msuknya benda asing dalam rectum juga dapat menyebabkan
terjadinya hematochezia.
ü  Lesi pada colon, perdarahan terjadi karena karsinoma maupun polip
pada colon.
3.    Trauma tumpul
Pada trauma tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya
menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi
sering menimbulkan kerusakan organ multipel, seperti organ padat ( hepar,
lien, ginjal ) dari pada organ-organ berongga. (Sorensen, 1987)
Yang mungkin terjadi pada trauma abdomen adalah :

a.  Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat
kimia atau mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
lambung, maka terjadi perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma
dan timbul gejala peritonitis hebat.
Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul
gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang
biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala-gejala akut abdomen karena
perangsangan peritoneum.
Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil akhirnya adalah faeses, maka
jika kolon terluka dan mengalami perforasi perlu segera dilakukan
pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan, peritonium akan
terkontaminasi oleh bakteri dan faeses. Hal ini dapat menimbulkan
peritonitis yang berakibat lebih berat.

b.  Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat
menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada
trauma adalah alat-alat parenkim, mesenterium, dan ligamenta; sedangkan
alat-alat traktus digestivus pada trauma tumpul biasanya terhindar.
Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit dibandingkan
dengan trauma tajam, lebih-lebih pada taraf permulaan. Penting sekali
untuk menentukan secepatnya, apakah ada perdarahan dan tindakan segera
harus dilakukan untuk menghentikan perdarahan tersebut. Sebagai contoh
adalah trauma tumpul yang menimbulkan perdarahan dari limpa. Dalam
taraf pertama darah akan berkumpul dalam sakus lienalis, sehingga tanda-
tanda umum perangsangan peritoneal belum ada sama sekali. 
Dalam hal ini sebagai pedoman untuk menentukan limpa robek(ruptur
lienalis) adalah:
• Adanya bekas (jejas) trauma di daerah limpa
• Gerakkan pernapasan di daerah epigastrium kiri berkurang
• Nyeri tekan yang hebat di ruang interkostalis 9 - 10 garis aksiler depan
kiri.

Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen  →   Nyeri

Motilitas usus

       Disfungsi usus  →   Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih
 
                         
           Gangguan cairan                                         Nutrisi kurang dari
                                      dan eloktrolit                                      kebutuhan tubuh

    
 Kelemahan fisik
      ↓
Gangguan mobilitas fisik

D.   MANIFESTASI KLINIS

1.    Saluran pencernaan
Gambaran kliniknya berbeda-beda tergantung pada :
1.  Letak sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus
2.  Kecepatan dan jumlah perdarahan
3-  Keadaan penderita sebelum perdarahan
Hematemesis ialah dimuntahkannya darah dari mulut, darah dapat berasal dari
saluran cerna bagian atas atau darah dari luar yang tertelan (epistaksis,
hemoptisis, ekstraksi gigi, tonsilektomi). Tergantung pada lamanya kontak
dengan asam lambung, darah dapat berwarna merah, coklat atau hitam.
Biasanya tercampur sisa makanan dan bereaksi asam.
Melena ialah feces berwarna hitam seperti ter karena tercampur darah
;umumnya terjadi akibat perdarahan saluran cerna bagian atas yang lebih dari
50-100ml dan biasanya disertai hematemesis. Melana tanpa hematemesis
terjadi pada perdarahan jejunum atau ileum asalkan perjalanannya dalam usus
lambat. Biasanya melena berlangsung 1-3 hari, lalu berangsur normal
meskipun darah samar mungkin menetap sampai 3-8  hari (perdarahan <50 ml,
diketahui dengan tes benzidin).
Hematokezia ialah keluarnya darah segar dari anus umumya terjadi akibat
perdarahan saluran cerna bagian bawah. Dapat juga disebabkan perdarahan
saluran cerna bagian atas yang besar dan cepat disalurkan melalui usus. 
2.    Trauma tumpul
Gambaran kliniknya antara lain :
ü  Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat
timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan
nyeri lepas.
ü  Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang
disebabkan oleh iritasi.
ü  Cairan atau udara dibawah diafragma
Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini
ada saat pasien dalam posisi rekumben.
ü  Mual dan muntah
ü  Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)
Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock
hemoragi

E.   PROSEDUR DIAGNOSTIK

1.    Perdarahan saluran pencernaan bagian atas

ü  Anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium


Dilakukan anmnesis yang teliti dan bila keadaan umum penderita lamah
atau kesadaran menurun maka dapat diambil aloanamnesis. Perlu
ditanyakan riwayat penyakit dahulu, misalnya hepatitis, penyakit hati
menahun, alkoholisme, penyakit lambung, pemakaian obat-obat
ulserogenik dan penyakit darah seperti: leukemia dan lain-lain. Biasanya
pada perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan pecahnya
varises esofagus tidak dijumpai adanya keluhan rasa nyeri atau pedih di
daerah epigastrium dan gejala hematemesis timbul secara mendadak. Dari
hasil anamnesis sudah dapat diperkirakan jumlah perdarahan yang keluar
dengan memakai takara yang praktis seperti berapa gelas, berapa kaleng
dan lain-lain. Pemeriksaan fisik penderita perdarahan saluran makan
bagian atas yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum, kesadaran,
nadi, tekanan darah, tanda-tanda anemia dan gejala-gejala hipovolemik
agar dengan segera diketahui keadaan yang lebih serius seperti adanya
rejatan atau kegagalan fungsi hati. Disamping itu dicari tanda-tanda
hipertensi portal dan sirosis hepatis, seperti spider naevi, ginekomasti,
eritema palmaris, caput medusae, adanya kolateral, asites,
hepatosplenomegali dan edema tungkai. Pemeriksaan laboratorium seperti
kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit, sediaan darah hapus, golongan
darah dan uji fungsi hati segera dilakukan secara berkala untuk dapat
mengikuti perkembangan penderita.

ü  Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik dilakukan dengan pemeriksaan esofagogram
untuk daerah esofagus dan diteruskan dengan pemeriksaan double contrast
pada lambung dan duodenum. emeriksaan tersebut dilakukan pada
berbagai posisi terutama pada daerah 1/3 distal esofagus, kardia dan
fundus lambung untuk mencari ada/tidaknya varises. Untuk mendapatkan
hasil yang diharapkan, dianjurkan pemeriksaan radiologik ini sedini
mungkin, dan sebaiknya segera setelah hematemesis berhenti.

ü  Pemeriksaan endoskopik
Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendoskop, maka pemeriksaan
secara endoskopik menjadi sangat penting untuk menentukan dengan tepat
tempat asal dan sumber perdarahan. Keuntungan lain dari pemeriksaan
endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto untuk dokumentasi,
aspirasi cairan, dan biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik. Pada
perdarahan saluran makan bagian atas yang sedang berlangsung,
pemeriksaan endoskopik dapat dilakukan secara darurat atau sedini
mungkin setelah hematemesis berhenti.

ü  Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati


Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat mendeteksi
penyakit hati kronik seperti sirosis hati yang mungkin sebagai penyebab
perdarahan saluran makan bagian atas. Pemeriksaan ini memerlukan
peralatan dan tenaga khusus yang sampai sekarang hanya terdapat dikota
besar saja.

2.    Trauma tumpul

ü  Riwayat
Dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila mungkin dari
penderitanya sendiri, orang sekitar korban, pembawa ambulans, polisi,
atau saksi-saksi lainnya, sesegera mungkin, bersamaan dengan usaha
resusitasi.

ü  Penemuan
Trauma tumpul pada abdomen secara tipikal menimbulkan rasa nyeri
tekan, dan rigiditas otot, pada daerah terjadinya rembesan darah atau isi
perut. Tanda-tanda ini dapat belum timbul hingga 12 jam atau lebih pasca
trauma, sehingga kadanga-kadang diperlukan pengamatan yang terus-
menerus yang lebih lama. Nyeri yang berasal dari otot dan tulang,
mungkin malah tak terdapat tanda-tanda objektif yang dapat menunjukan
perlukaan viseral yang luas. Fraktur pada iga bagian bawah sering kali
menyertai perlukaan pada hati dan limpa. Pemeriksaan rektum secaga
digital, dapat menimbulkan adanya darah pada feses
ü  Test Laboratorium
Secara rutin, diperiksa hematokrit, hitung jenis leukosit, dan urinalisis,
sedangkan test lainnya dilakukan bila diperlukan. Nilai-nilai amilase
urine, dan serum dapat membantu untuk menentukan adanya perlukaan
pankreas atau perforasi usus.

ü  Foto Sinar X
·         Film polos abdomen dapat menunjukkan adanya udara bebas
intraperitoneal, obliterasi bayangan psoas, dan penemuan-penemuan
lainnya yang pada umunya tak khas. Fraktur prosesus transversalis
menunjukan adanya trauma hebat, dan harus mengingatkan kita pada
kemungkinan adanya perlukaan viseral yang hebat.
·         Film dada dapat menunjukkan adanya fraktur iga, hematotorak,
pnemotorak, atau lainnya yang berhubungan dengan perlukaan thorak
·         Penderita dengan tauma tumpul sering memerlukan foto thorak
sinar X tengkorak, pelvis, dan anggota gerak lainnya.
·         Studi kontras pada saluran kemih diperlukan bila terdapat
hematuria.
·         Foto sinar X dengan kontras pada saluran pencernaan atas dan
bawah, diperlukan pada kasus tertentu.
·         C.T Scan abdomen sangat membantu pada beberapa kasus, tetapi
inibelim banyak dilakukan.
·         Angiografi dapat memecahkan teka-teki tantang perlukaan pada
limpa, hati, dan pakreas. Pada kenyataanya, angiografi abdominal
jarang dilakukan.

F.    PENATALAKSANAAN MEDIS

1.    Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)


Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas dapat dibagi atas:
a.    Penatalaksanaan umum/suportif
b.    Penatalaksanaan khusus
c.    Usaha menghilangkan faktor agresif
d.    Usaha meningkatkan faktor defensif
e.     Penatalaksanaan bedah

a.    Penatalaksanaan umum atau suportif


Penatalaksanaan ini memperbaiki keadaan umum dan tanda vital. Yang paling
penting pada pasien perdarahan SCBA adalah memberikan resusitasi pada
waktu pertama kali datang ke rumah sakit. Kita harus secepatnya memasang
infus untuk pemberian cairan kristaloid (seperti NaCL 0.9% dan lainnya)
ataupun koloid (plasma expander) sambil menunggu darah dengan/tanpa
komponen darah lainnya bila diperlukan. Selang nasogastrik perlu dipasang
untuk memonitor apakah perdarahan memang berasal dari SCBA dan apakah
masih aktif berdarah atau tidak dengan melakukan bilasan lambung tiap 6 jam
sampai jernih.
Pasien harus diperiksa darah perifer (hemoglobin, hematokrit, leukosit dan
trombosit) tiap 6 jam untuk memonitor aktifitas perdarahan. Sebaiknya bila
dicurigai adanya kelainan pembekuan darah seperti Disseminated
Intravascular Coagullation (DIC) dan lainnya, harus dilakukan pemeriksaan
pembekuan darah seperti masa perdarahan, masa pembekuan, masa
protrombin, APTT, masa trombin, Burr Cell, D dimmer dan lainnya. Bila
terdapat kelainan pembekuan darah harus diobati sesuai kelainannya. Pada
penderita dengan hipertensi portal dimana perdarahan disebabkan pecahnya
varises esofagus dapat diberikan obat somatostatin atau oktreotide. Pada
perdarahan non varises yang masif,
dapat juga diberikan somatostatin atau oktroetide tetapi jangka pendek 1-2 hari
saja. Pada prinsipnya, urutan penatalaksanaan perdarahan SCBA dapat
mengikuti anjuran algoritme penatalaksanaan dari Konsensus Nasional
Indonesia atau Palmer atau Triadapafilopoulos.
Selain pengobatan pada pasien perdarahan perlu diperhatikan pemberian
nutrisi yang optimal sesegera mungkin bila pasien sudah tidak perlu
dipuasakan lagi , dan mengobati kelainan kejiwaan/psikis bila ada dan
memberikan edukasi mengenai penyakit pada pasien dan keluarga misal
memberi tahu mengenai penyebab perdarahan dan bagaimana cara-cara
pencegahaan agar tidak mengalami perdarahan lagi.
b.    Penatalaksanaan khusus
Penatalaksanaan khusus merupakan penatalaksanaan hemostatik
perendoskopik atau terapi embolisasi arteri.
Terapi hemostatik perendoskopik yang diberikan pada pecah varises esofagus
yaitu tindakan skleroterapi varises perendoskopik (STE) dan ligasi varises
perendoskopik (LVE). Pada perdarahan karena kelainan non varises,
dilakukan suntikan adrenalin di sekitar tukak atau lesi dan dapat dilanjutkan
dengan suntikan etoksi-sklerol atau obat fibrinogen-trombin atau dilakukan
terapi koagulasi listrik atau koagulasi dengan heat probe atau terapi laser, atau
koagulasi dengan bipolar probe atau yang paling baik yaitu hemostatik
dengan terapi metal clip.
Bila pengobatan konservatif, hemostatik endoskopik gagal atau kelainan
berasal dari usus halus dimana skop tak dapat masuk dapat dilakukan terapi
embolisasi arteri yang memperdarahi daerah ulkus.
Terapi ini dilakukan oleh dokter spesialis radiologi intervensional.
c.    Usaha menghilangkan faktor agresif
Usaha yang diperlukan untuk menghilangkan faktor agresif pada perdarahan
SCBA karena kelainan non varises antara lain :
a. Memperbaiki/menghindari faktor predisposisi atau risiko seperti gizi, stres,
lingkungan, sosioekonomi
b. Menghindari/menghentikan paparan bahan atau zat yang agresif seperti
asam, cuka, OAINS, rokok, kortikosteroid dan lainnya
c. Memberikan obat yang dapat mengurangi asam lambung seperti antasida,
antimuskarinik, penghambat reseptor H2 (H2RA), penghambat pompa proton
(PPI). PPI diberikan per injeksi bolus intra vena 2-3 kali 40 mg/hari atau bolus
intra vena 80 mg dilanjutkan kontinu infus drip 8 mg/jam selama 12 jam
kemudian intra vena 4 mg/jam sampai 5 hari atau sampai perdarahan berhenti
lalu diganti oral 1-2 bulan. Alasan mengapa PPI diindikasikan pada
perdarahan non varises, karena PPI dapat menaikkan pH diatas 6 sehingga
menyebabkan bekuan darah yang terbentuk tetap stabil, tidak lisis
d. Memberikan obat eradikasi kuman Helicobacter pylori dapat berupa terapi
tripel dan terapi kuadrupel selama 1- 2 minggu :
Terapi tripel : 
1. PPI + amoksisilin + klaritromisin
2. PPI + metronidazol + klaritromisin
3. PPI + metronidazol + tetrasiklin
Terapi kuadrupel, bila tripel gagal :
1. Bismuth + PPI + amoksisilin + klaritromisin
2. Bismuth + PPI + metronidazol + klaritromisin
3. Bismuth + PPI + tetrasiklin + metronidazole (untuk daerah
resistensi tinggi klaritromisin)
d.    Usaha meningkatkan faktor defensif
Usaha ini dilakukan dengan memberikan obat-0bat yang meningkatkan faktor
defensif selama 4 – 8 minggu antara lain :
a. Sukralfat 3 kali 500-1000 mg per hari
b. Cetraxate 4 kali 200 mg per hari
c. Bismuth subsitrat 2 kali 2 tablet per hari
d. Prostaglandin eksogen 2-3 kali 1 tablet per hari
e. Tephrenone 3 kali 50 mg per hari
f. Rebamipide 3 kali 100 mg per hari
e.    Penatalaksanaan bedah/operatif
Penatalaksanaan bedah/operatif merupakan penatalaksanaan yang cukup
penting bila penatalaksanaan konservatif dan khusus gagal atau memang
sudah ada komplikasi yang merupakan indikasi pembedahan. Biasanya
pembedahan dilakukan bila pasien masuk dalam :

a. Keadaan gawat I sampai II


b. Komplikasi stenosis pilorus-duodenum, perforasi, tukak duodenum
refrakter
Yang dimaksud dengan gawat I adalah bila perdarahan SCBA dalam 8 jam
pertama membutuhkan darah untuk transfusi sebanyak 2 liter, sedangkan
gawat II adalah bila dalam 24 jam pertama setelah gawat I pasien masih
membutuhkan darah untuk transfusi sebanyak 2 liter.
2.    Perdarahan saluran cerna bagian bawah ( SCBB )
Penatalaksanaan perdarahan SCBB tentunya akan bervariasi tergantung pada
penyebab atau lesi sumber perdarahan, dampak hemodinamik yang telah terjadi
pada waktu masuk rumah sakit, pola perdarahan yang bersifat akut atau telah
berlangsung lama/kronik.
Riwayat Penyakit
Nilai dalam anamnesis apakah perdarahan/darah tersebut bercampur dengan feses
(seperti terjadi pada kolitis atau lesi di proksimal rektum) atau terpisah/menetes
(terduga hemoroid), pemakaian antikoagulan, atau terdapat gejala sistemik lainnya
seperti demam lama (tifoid, kolitis infeksi), menurunnya berat badan (kanker),
perubahan pola defekasi (kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid intema,
angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi, iskemia mesenterial), tenesmus ani
(fisura, disentri). Apakah kejadian ini bersifat akut, pertama kali atau berulang,
atau kronik, akan membantu ke arah dugaan penyebab atau sumber perdarahan.

Pemeriksaan Fisik
Segera nilai tanda vital, terutama ada tidaknya renjatan atau hipotensi postural
(Tilt test). Jangan lupa colok dubur untuk menilai sifat darah yang keluar dan ada
tidaknya kelainan pada anus (hemoroid interna, tumor rektum). Pemeriksaan fisis
abdomen untuk menilai ada tidaknya rasa nyeri tekan (iskemia mesenterial),
rangsang peritoneal (divertikulitis), massa intraabdomen (tumor kolon, amuboma,
penyakit Crohn). Pemeriksaan sistemik lainnya: adanya artritis (inflammatory
bowel disease), demam (kolitis infeksi), gizi buruk (kanker), penyakit jantung
koroner (kolitis iskemia).
Laboratorium
Segera harus dinilai adalah kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, dan kalau
sarana lengkap waktu protrombin. Laboratorium lain sesuai indikasi. Penilaian
hasil laboratorium harus disesuaikan dengan keadaan klinis yang ada. Penilaian
kadar hemoglobin dan hematokrit, misalnya pada perdarahan akut dan masif, akan
berdampak pada kebijakan pilihan jenis darah yang akan diberikan pada proses
resusitasi.
Anoskopi/Rektoskopi
Pada umumnya dapat segera mengetahui sumber perdarahan tersebut bila berasal
dari perdarahan hemoroid interna atau adanya tumor rektum. Dapat dikerjakan
tanpa persiapan yang optimal.
Sigmoidoskopi
Perdarahan dari sigmoid (misalnya tumor sigmoid) masih mungkin dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan ini dengan hanya persiapan laksan enema
(YAL) atau klisma, mengingat darah dalam lumen usus itu sendiri sudah bersifat
laksan.
Kolonoskopi
Pada keadaan yang bersifat elektif dengan persiapan yang optimal, pemeriksaan
ini dapat dengan relatif mudah mengidentifikasi sumber perdarahan di seluruh
bagian kolon sampai ileum terminal. Tetapi pada keadaan perdarahan aktif, lumen
usus penuh darah (terutama bekuan darah), maka lapang pandang kolonoskop
akan terhambat. Diperlukan usaha yang berat untuk membersihkan lumen kolon
secara kolonoskopi. Sering sekali lumen skop tersumbat total sehingga
pemeriksaan harus dihentikan. Tidak jarang hanya dapat menyumbangkan
informasi adanya demarkasi atau batas antara lumen kolon yang bersih dari darah
dan diambil kesimpulan bahwa letak sumber perdarahan di distal demarkasi
tersebut
Push Enteroskopi
Pemeriksaan ini dilakukan melalui SCBA dan melewati ligamentum Treitz serta
dapat mengidentifikasi perdarahan pada usus kecil. Sarana ini masih sangat jarang
di Indonesia.
Barium Enema (colon in loop)
Pada keadaan perdarahan akut dan emergensi, pemeriksaan ini tidak mempunyai
peran. Bahkan kontras yang ada akan memperlambat rencana pemeriksaan
kolonoskopi (kontras barium potensial dapat menyumbat saluran pada skop) atau
skintigrafi (kontras barium akan mengacaukan interpretasi) bila diperlukan. Serta
tidak ada tambahan manfaat terapeutik. Tetapi pada keadaan yang elektif,
pemeriksaan ini mampu mengidentifikasi berbagai lesi yang dapat diprakirakan
sebagai sumber perdarahan (tidak dapat menentukan sumber perdarahan).
Angiografi/Arteriografi
Injeksi zat kontras lewat kanul yang dimasukkan melalui arteri femoralis dan
arteri mesenterika superior atau inferior, memungkinkan visualisasi lokasi sumber
perdarahan. Dengan teknik ini biasanya perdarahan arterial dapat terdeteksi bila
lebih dari 0,5 ml per menit. Arteriografi dapat dilanjutkan dengan embolisasi
terapeutik pada pembuluh darah yang menjadi sumber perdarahan.

Blood Flow Scintigraphy (Nuclear Scintigraphy) 


Darah pasien diambil dan dilabel dengan zat radioaktif (99m.technitium),
kemudian dimasukkan kembali ke dalam tubuh. Darah yang berlabel tersebut akan
bersirkulasi dan keluar pada daerah/lokasi lesi. Tehnik ini dilaporkan dapat
mendeteksi perdarahan yang relatif sedikit (0,1 ml per menit). Scanning diambil
pada jam 1 dan 4 setelah injeksi darah berlabel serta 24 jam setelah itu atau sesuai
dengan prakiraan terjadinya perdarahan. Sehingga dapat mendeteksi perdarahan
yang bersifat intermiten dengan cara mengambil scanning pada jam-jam tertentu.
Operasi Laparatomi Eksplorasi
Tentunya proses operasi secara langsung dapat mengidentifikasi sumber
perdarahan. Tetapi masalahnya adalah kapan tindakan ini akan dilakukan sebagai
modalitas diagnostik sekaligus terapeutik, bagaimana pertimbangan toleransi
operasi bagi pasien dan sejauh mana kemudahan untuk mengidentifikasi sumber
perdarahan durante operasi. Secara nyata dalam praktek penatalaksanaannya di
rumah sakit, hal ini sering menimbulkan kontroversi. Keadaan ini membutuhkan
koordinasi multidisiplin yang terkait. Pada dasarnya laparatomi eksplorasi
diindikasikan bila perdarahan hebat yang tidak dapat diatasi secara konservatif.
Perdarahan berulang pada keadaan yang sudah teridentifikasi sumber perdarahan
pada pemeriksaan kolonoskopi, arteriografi, atau scanning, juga tidak memerlukan
intervensi operasi. Risiko operasi akan menurun bila pada operasi tersebut dapat
dilakukan identifikasi sumber perdarahan per kolonoskopik, baik sebelum maupun
durante operasi.
3.    Trauma tumpul abdomen 
ü  Abdominal paracentesis
Menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritonium, merupakan
indikasi untuk laparotomi.
ü  Pemeriksaan laparoskopi
Mengetahui secara langsung penyebab abdomen akut.
ü  Pemasangan NGT
Memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma abdomen.
ü  Pemberian antibiotik
Mencegah infeksi.
ü  Laparotomi

Anda mungkin juga menyukai