Anda di halaman 1dari 10

Referat Stase Bedah Anak

Pembimbing : dr. Rizky Diposarosa, SpB, SpBA

Presentan : dr. Alfie Barkah Akhsan

Timing Operasi Pada Kasus Bedah Anak

Pendahuluan

Penentuan waktu (timing) operasi pada pembedahan merupakan suatu faktor yang penting,
termasuk juga pada bidang Bedah Anak. Untuk memperoleh hasil yang optimal, penentuan
waktu operasi yang tepat merupakan suatu hal yang penting. Pada pembahasan kali ini akan
dibahas mengenai beberapa jenis kelainan yang sering dijumpai pada bidang Bedah Anak
dengan penekanan pada penentuan waktu operasi.

Faktor-faktor yang menentukan waktu pembedahan :

1. Kondisi Awal

 menurut kegawatdaruratannya :

(i) kelompok cito, seperti akut abdomen, obstruksi intestinal dengan berbagai
penyebabnya, tension pneumothorax, dan macam-macam emergensi pada neonatal
seperti empisema lobaris congenital, atresia esophagus dengan atau tanpa fistula
tracheoesofageal, dan hernia diaframatika congenital

(ii) kelompok Intermediate, seperti hernia inguinalis, atresia biliaris, ekstropik bladder,
tumor-tumor, hidronephrosis, meningokele, dan hydrocephalus.

(iii) kelompok elektif, seperti hernia diafragmatika congenital, omphalocele besar,


anomaly jantung yang mengancam jiwa.

2. Kondisi umum Pasien

 Baik hemodinamik, metabolik, respirasi

3. Riwayat Penyakit

 neonatus yang membutuhkan follow up dan tidak membutuhkan suatu tindakan


pembedahan dulu. Seperti hemangioma kapillare, hidrocele congenital, hernia
umbilikalis dan tumor sternomastiod

4. Mengerti tentang patofisiologi

 Seperti undencensus testis


5. Ukuran penderita

 Seperti kondisi malformasi anorektal, hipospadia, penyakit hirschsprung’s


disease dan cleft palate

6. Anestesi dan teknik bedah yang lebih baik

7. Respon fisiologi pada bedah

 Dengan data yang lebih lengkap pada efek yang lama pada fisiologi dan
perkembangan kepribadian anak yang dioperasi, maka waktu pembedahan yang
optimal mengalami perubahan

 Pembedahan Cito :

 Kasus Trauma, obstruksi intestinal, peritonitis, atresia esophagus dengan atau


tanpa fistula tracheoesofageal, hernia diafragmatika congenital, foreign bodies,
torsio testis, omphalocele yang rupture dan gatroschizis, malformasi anorektal
letak rendah dan kolostomy untuk anomaly anorektal letak tinggi.

Hernia Inguinalis

Hernia inguinalis merupakan permasalahan yang cukup banyak ditemukan pada praktik
bedah anak dengan insidensi antara 3.5-5%, bahkan 9-11% pada kasus premature. Hernia
inguinalis lebih banyak didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan
dengan rasio sekitar 5-10:1. 60% kasus hernia inguinal ditemukan pada sisi kanan, 30% pada
sisi kiri dan 10% ditemukan bilateral.1

Penegakan diagnosis hernia inguinal umumnya dapat dilakukan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pasien umumnya datang dengan keluhan benjolan pada lipat paha yang
dapat keluar masuk apabila pasien mengejan, menangis atau batuk. Keluhan jarang disertai
dengan rasa nyeri; namun apabila terdapat keluhan nyeri yang disertai gejala lain seperti
pasien gelisah, benjolan padat dan nyeri, kemerahan pada lipat paha dan skrotum serta
terdapat muntah dan gangguan makan maka perlu dicurigai adanya suatu inkarserasi pada
hernia. Apabila pasien datang dengan riwayat yang jelas namun penemuan pada
pemeriksaan fisik meragukan, disarankan untuk dilakukan observasi dan pemeriksaan ulang
dalam 2-3 minggu.2

Waktu untuk melakukan tindakan pada hernia inguinalis asimptomatik tidak terlalu ketat;
tindakan dapat dikerjakan secara elektif. Apabila dalam pemeriksaan didapatkan tanda
inkarserasi atau strangulasi maka harus dilakukan tindakan eksplorasi dengan segera. Pada
bayi premature, disarankan untuk sesegera mungkin dilakukan tindakan, oleh karena
insidensi inkarserasi yang tinggi. Beberapa ahli bedah juga melakukan eksplorasi pada sisi
kontralateral dari hernia inguinalis dengan rentang usia pasien sampai dengan 6 tahun oleh
karena tingginya angka hernia bilateral, namun hal ini masih menjadi perdebatan di antara
ahli bedah.2

Hernia Umbilikal

Hernia umbilical merupakan kelainan yang sering dijumpai oleh ahli bedah umum maupun
bedah anak. Berbeda dengan hernia tipe lain, hernia umbilical dapat beresolusi tanpa
adanya tindakan operasi, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya penyulit sama
seperti hernia lainnya.3

Hernia umbilical dapat menutup dengan spontan dan dianggap aman untuk menunggu
selama 3-4 tahun untuk terjadinya penutupan; penelitian lain menunjukkan bahwa 50%
hernia umbilical yang persisten sampai usia 4-5 tahun dapat menutup pada usia 11 tahun.
Insidensi dari penyulit seperti inkarserasi dan strangulasi amat jarang. Penggunaan alat-alat
yang dimaksudkan untuk mempercepat reduksi dan penutupan defek ternyata tidak
bermanfaat serta hanya akan mengakibatkan kerusakan pada kulit.4

Defek Dinding Abdomen

Defek dinding abdomen merupakan suatu tantangan tersendiri bagi ahli bedah anak yang
sering dijumpai dalam praktik sehari-hari. Penatalaksanaan kasus pasien dengan defek
dinding abdomen saat ini amat terbantu dengan adanya modalitas pencitraan, antibiotic
modern, terapi nutrisi dan unit perawatan intensif. Angka pasti dari insidensi defek dinding
abdomen belum dapat diperoleh dengan pasti, namun dari data yang ada diperoleh angka
sekitar 1:2000-4000 kelahiran hidup, dimana kasus gastroschizis lebih banyak dibandingkan
terhadap omfalokel dengan rasio 2-3:1.6

Etiologi pasti dari defek dinding abdomen pada manusia belum dapat diidentifikasi dengan
pasti. Walaupun demikian, terdapat beberapa teori yang didasarkan pada ilmu embriologi
dan perkembangan. Pada omfalokel, diperkirakan terjadi kegagalan pertumbuhan
mesoderm lateral pada usia kehamilan 4-7 minggu sehingga menimbulkan suatu defek
somatopleural yang menjadi karakteristik suatu omfalokel. Gastroskizis muncul oleh karena
kelemahan dari dinding abdomen yang disertai dengan rupture sekunder dan herniasi dari
organ viscera abdominal; disolusi cepat dari vena umbilikalis dekstra yang terjadi di luar
periode organogenesis dapat menimbulkan suatu daerah dengan kelemahan pada
mesenkim dimana organ intraabdominal dapat berherniasi dan ruptur.6
Gambar 1 A. Omfalokel B. Gastroskizis

Diagnosis defek dinding abdomen dapat ditegakkan prenatal melalui ultrasonografi,


walaupun bukan merupakan indikasi untuk terminasi kehamilan. Omfalokel dan gastroskizis
dapat dikenali dengan mudah pada saat lahir. Omfalokel tampak berupa defek sentral pada
dinding abdomen berukuran lebih dari 4 cm yang diselubungi oleh suatu kantung dengan
tali pusat menempel pada puncak kantung tersebut. Kantung berisi organ intraabdominal
normal, termasuk diantaranya hepar. Kantung tidak selalu intak; 10-18% kantung
mengalami rupture in utero dan 4% rupture intrapartum. Gastroskizis tampak berupa defek
pada dinding abdomen yang terletak di bagian kanan dari umbilicus dengan adanya eviserasi
dari organ intraabdominal.6

Tabel 1 Perbedaan Karakteristik Omfalokel dan Gastroskizis

Penatalaksanaan defek dinding abdomen secara umum dimulai sesegera mungkin. Tindakan
pertama yang dilakukan adalah preservasi dari kantung amnion atau usus dengan
menggunakan kasa basah atau silo, manajemen cairan dan pemberian antibiotic. Pada kasus
omfalokel dengan kantung kecil dan sedang dapat dilakukan penutupan sesegera
mungkin,baik secara primer maupun secara bertahap dengan penggunaan silo. Pada kasus
dengan kantung berukuran besar atau keadaan tidak memungkinkan untuk dilakukan
operasi, dapat diberikan Betadine atau Silver Sulfadiazine topical untuk memicu
pembentukan eschar dan epidermal; hernia residual yang terjadi dapat dioperasi pada saat
pasien berusia 1 tahun. Pada kasus gastroskizis penutupan juga dilakukan sesegera
mungkin; apabila tidak memungkinkan, dapat terlebih dahulu dilakukan reduksi bertahap
dengan menggunakan bantuan silo.5

Gambar 2 A-E Staged Reduction dari Gastroskizis

Hirschprung’s Disease

Hirschprung disease (HD), atau juga sering disebut dengan megakolon congenital
merupakan suatu kelainan congenital dimana terjadi kegagalan dari migrasi sel neural crest
pada kolon; kegagalan tersebut akan mengakibatkan gangguan motilitas kolon. Insidensi HD
adalah 1 dari 5000 kelahiran hidup dengan anak laki-laki 4 kali lebih berisiko dari
perempuan.7

Dari anamnesis, gambaran yang khas dari HD adalah anak terlambat mengeluarkan
mekonium. Selain itu dapat juga ditemukan keluhan konstipasi kronis dan gangguan tumbuh
kembang.Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai distensi abdomen, bowel contour disertai
dengan peristaltic, muntah dan enterokolitis nekrotikans. Pemeriksaan penunjang yang
dapat membantu penegakan diagnosis adalah pemeriksaan barium enema, manometri
anorektal serta biopsy rectum.8
Gambar 3 Gambaran Radiologis dari HD

Penanganan HD secara operatif dapat dikerjakan apabila diagnosis HD sudah tegak. Prinsip
penanganan dari HD adalah reseksi dari segmen aganglionik serta identifikasi segmen
ganglionik untuk kemudian dilakukan anastomosis. Tindakan dilakukan dalam dua atau tiga
tahap. Tahap pertama adalah dengan melakukan leveling colostomy untuk diversi sekaligus
menentukan zona transisi. Tahapan berikutnya, yang dikerjakan 6-12 bulan kemudian,
adalah reseksi dari segmen aganglionik dan anastomosis koloanal. Kolostomi dapat ditutup
pada tahap kedua atau dilakukan tersendiri. Saat ini sudah mulai banyak dikerjakan tindakan
primary pull-through, di mana tindakan dilakukan dalam satu tahap saja; tindakan ini lebih
disenangi, terlebih lagi sejak diperkenalkan teknik operasi per laparoskopi.8

Gambar 4 Gambaran Kolon pada HD


Malformasi Anorektal

Malformasi anorektal (MAR) merupakan suatu kelainan di mana tidak ditemukan adanya
anus yang sempurna, dengan atau tanpa fistula. Angka kejadian dari kelainan ini adalah 1 :
5000 kelahiran hidup.9

Diagnosis dari MAR ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, di mana tidak
didapatkan anus yang sempurna dengan atau tanpa fistula. Kelainan lain yang dapat
dijumpai adalah perut kembung dan fistula. Pada MAR juga perlu dinilai adanya kelainan lain
(contoh : sindroma VACTERL). Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakan
diagnosis dan penentuan tindakan adalah Foto polos abdomen, USG dan fistulografi. 9

Pada pasien dengan MAR, dalam 16-24 jam pertama perlu ditentukan tipe dari MAR pada
pasien. Pada MAR letak tinggi atau intermedia, perlu dilakukan kolostomi terlebih dahulu
dan dilanjutkan dengan PSARP 4-8 minggu kemudian. Apabila letak rendah maka dapat
dilakukan PSARP minimal tanpa kolostomi. Pada bayi pria dan wanita terdapat perbedaan
pada penatalaksanaannya. Algoritma penatalaksanaan dari MAR selengkapnya dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.10

Gambar 5 Algoritma Penatalaksanaan MAR pada Anak Laki-Laki


Gambar 6 Algoritma Penatalaksanaan MAR pada Anak Perempuan

Hipospadia

Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan di mana meatus uretra terletak pada permukaan
ventral penis, proksimal dari ujung glans. Berdasarkan lokasi meatus, hipospadia dapat
dibagi menjadi bentuk distal, intermedia dan proksimal. Insidensi dari hipospadia bervariasi
antara 0.8 – 8.2 per 1000 kelahiran bayi laki-laki hidup, dengan angka yang paling banyak
diambil adalah 1 per 250 kelahiran bayi laki-laki hidup.11

Diagnosis dari hipospadia dapat ditegakkan per inspeksi dengan melihat letak meatus uretra
permukaan ventral penis, proksimal dari ujung glans. Gambaran lain yang sering menyertai
hipospadia adalah chordae yang berat, hooded foreskin, kelainan glans serta defisiensi pada
kulit bagian ventral. Pada hipospadia juga perlu dicari kelainan penyerta seperti hernia
inguinalis atau undescended testis.11

Gambar Klasifikasi Hipospadia


Koreksi hipospadia dikerjakan melalui tindakan operasi. Terdapat berbagai macam teknik
operasi yang dapat dikerjakan untuk koreksi hipospadia (Mathieu, MAGPI, King, Duplay,
Snodgrass, Onlay dan sebagainya); semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu penis yang lurus,
penempatan meatus pada ujung glans, glans yang simetris, neouretra berkaliber seragam serta
penutupan kulit yang baik. Saat ini sudah dimungkinkan untuk dilakukan koreksi pada 6 bulan
pertama. Walau demikian, kebanyakan ahli bedah memilih untuk melakukan koreksi pada
usia 6-12 bulan.11

Kriptorkidismus (Undescended Testis/UDT)

Kriptorkidismus atau UDT merupakan suatu keadaan dimana testis tertahan pada beberapa
tempat pada jalur penurunan normalnya, mulai dari ginjal sampai scrotum. Penyebab
kelainan ini belum jelas, mungkin disebabkan oleh gubernakulum testis yang abnormal,
defek testis intrinsik atau defisiensi stimulasi hormon gonadotropin.12

Keluhan utama pada anak dengan UDT adalah tidak ditemukannya testis pada skrotum, baik
uni maupun bilateral. Keluhan tersebut seringkali disertai dengan keluhan massa di daerah
inguinal, searah dengan jalur turunnya testis serta adanya atrofi dari skrotum. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dikerjakan untuk membantu penegakan diagnosis adalah USG, CT-
Scan, MRI dan venografi gonadal. Pemeriksaan kadar hormon dapat dikerjakan untuk
menyingkirkan diagnosis banding anorkhia.12

Gambar Proses Turunnya Testis Menuju Skrotum

Prinsip penatalaksanaan UDT adalah penempatan testis pada skrotum dengan fungsi
hormonal dan kosmetik sebaik mungkin. Tindakan dapat ditunda sampai dengan usia anak 9
- 12 bulan, dengan alasan bahwa dalam periode tersebut testis masih mungkin turun serta
dalam periode tersebut secara histopatologis belum dijumpai adanya perubahan yang
mengarah pada keganasan. Perkecualian adalah pada kasus di mana juga didapatkan hernia
inguinal; pada kasus tersebut koreksi dari UDT dapat dikerjakan bersamaan dengan repair
hernia. Koreksi definitive UDT sebaiknya dikerjakan pada usia anak 1-2 tahun.13
DAFTAR PUSTAKA

1. Jona JZ. Inguinal Hernia and Hydrocele. Dalam Arensman RM, Bambini DA, Almond
PS. Vademecum Pediatric Surgery. Landes Bioscience. Texas. 2000.
2. Snyder CL. Inguinal Hernias and Hydroceles. Dalam Holcomb GW, Murphy JP.
Ashcraft’s Pediatric Surgery. Philadelphia. 2010.
3. Bambini DA. Umbilical Anomalies. Dalam Arensman RM, Bambini DA, Almond PS.
Vademecum Pediatric Surgery. Landes Bioscience.Texas. 2000.
4. Weber TR. Umbilical and Other Abdominal Wall Hernias. Dalam Holcomb GW,
Murphy JP. Ashcraft’s Pediatric Surgery. Philadelphia. 2010.
5. Geissler GH. Abdominal Wall Defect. Dalam Arensman RM, Bambini DA, Almond PS.
Vademecum Pediatric Surgery. Landes Bioscience.Texas. 2000.
6. Kelleher C, Langer JC. Congenital Abdominal Wall Defects. Dalam Holcomb GW,
Murphy JP. Ashcraft’s Pediatric Surgery. Philadelphia. 2010.
7. Arensman RM. Hirschprung’s Disease. Dalam Arensman RM, Bambini DA, Almond PS.
Vademecum Pediatric Surgery. Landes Bioscience.Texas. 2000.
8. Georgeson KE. Hirschprung’s Disease. Dalam Holcomb GW, Murphy JP. Ashcraft’s
Pediatric Surgery. Philadelphia. 2010.
9. Almond PS. Anorectal Malformation. Dalam Arensman RM, Bambini DA, Almond PS.
Vademecum Pediatric Surgery. Landes Bioscience.Texas. 2000.
10. Levitt MA, Pena A. Imperforate Anus and Cloacal Malformation. Dalam Holcomb GW,
Murphy JP. Ashcraft’s Pediatric Surgery. Philadelphia. 2010.
11. Murphy JP. Hypospadia. Dalam Holcomb GW, Murphy JP. Ashcraft’s Pediatric
Surgery. Philadelphia. 2010.
12. Jona JZ. Cryptorchidism: The Undescended Testis. Dalam Arensman RM, Bambini DA,
Almond PS. Vademecum Pediatric Surgery. Landes Bioscience.Texas. 2000.
13. Copp HL, Shortliffe HL. Undescended Testis and Testicular Cancer. Dalam Holcomb
GW, Murphy JP. Ashcraft’s Pediatric Surgery. Philadelphia. 2010.

Anda mungkin juga menyukai