Anda di halaman 1dari 47

PROPOSAL PENELITIAN

Tentang :

PENINGKATAN PENGETAHUAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2


TANPA KOMPLIKASI MELALUI HOME PHARMACY CARE
TERHADAP KEBERHASILAN TERAPI OBAT
DI KOTA MADIUN

Disusun Oleh :
FIKANA IMROATUS SHOLIKAH / 1704101013

Dosen Pembimbing :
PURI RATNA KARTINI, S.KM.,M.EPID

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN SAINS
UNIVERSITAS PGRI MADIUN
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

i
DAFTAR ISI

COVER HALAMAN JUDUL.........................................................................i


DAFTAR ISI..................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................2
B. Kajian Masalah...................................................................................4
C. Rumusan Masalah...............................................................................5
D. Tujuan Penelitian................................................................................5
E. Manfaat Penelitian..............................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................6

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL .........................................................

BAB IVMETODE PENELITIAN....................................................................

A. Jenis Penelitian.....................................................................................
B. Rancang Bangun Penelitian..................................................................
C. Waktu dan Lokasi Penelitian................................................................
D. Populasi dan Sampel Penelitian............................................................
E. Variabel Penelitian................................................................................
F. Definisi Operasional dan Cara Pengukuran Variabel Penelitian..........

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Diabetes Mellitus menurut Fauci et al.(2008) dan Whitney et al.
(2008) merujuk pada ketidaksesuaian metabolisme yang ditandai oleh
kenaikan konsentrasi gula darah dan ketidaksusaian metabolisme insulin.
Pada tahun 2013, WHO merilis fakta penting mengenai diabetes mellitus,
yaitu 347 juta orang di seluruh dunia mengidap diabetes mellitus dengan
estimasi glukosa puasa ≥ 7.0 mmol / L atau sedang dalam pengobatan.
Berdasarkan data IDF pada tahun 2013, Indonesia menduduki peringkat
ke-7 dunia dari 10 besar negara dengan diabetes mellitus tertinggi.
Populasi penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2013
mencapai 5,8% atau sekitar 8,5 juta penduduk dengan rentang usia 20-79
tahun. Proporsi jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia pada
tahun 2013 masih didominasi oleh kaum perempuan dengan total sebesar
4,9 juta penderita atau lebih besar daripada kaum laki-laki yakni sebesar
3,6 juta penderita. Diperkirakan pada tahun 2035 dengan asumsi tanpa
adanya perbaikan, angka diabetes mellitus di Indonesia akan meningkat
sebesar 165% pada masing-masing gender. Hal ini sangat
memprihatinkan karena diabetes mellitus dapat meningkatkan resiko
penyakit kardiovaskuler yang akan menyebabkan kematian (WHO 2013).
Paradigma pelayanan kefarmasian saat ini telah meluas dari
pelayanan yang hanya berorientasi pada obat menjadi pelayanan yang
berorientasi pada pasien (Depkes RI, 2008). Salah satu aspek pelayanan
kefarmasian yang berorientasi pada pasien dan dapat diterapkan oleh
apoteker adalah pemberianhome care (Depkes RI, 2008). Apoteker
melalui home care diharapkan dapat memberikan suatu pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah untuk memantau efikasi
terapi, efek samping, interaksi obat, dan ketaatan pasien menggunakan
obat terutama pasien lanjut usia dan pasien dengan penyakit kronis
(Venturini et al., 2011).

3
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika
pankreas tidak dapat memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau
berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon kerja insulin secara efektif.
Prevalensi Dm menurut WHO pada tahun 2014 diperkirakan mencapai 9% dari
orang dewasa usia 18 tahun keatas dan 90% dari seluruh kasus DM merupakan
DM tipe 2 (WHO, 2015). Lebih dari 80% kematian akibat diabetes terjadi pada
masyarakat berpenghasilan rendah dan negara berkembang (WHO, 2014).
Indonesia menduduki rangking kelima jumlah penyandang DM terbanyak
dengan jumlah penderita sebanyak 9,1 juta (IDF, 2014) dengan prevalensi
jumlah penderita DM yang terdiagnosis dokter di Madiun 17.055 (DinKes
Madiun, 2018).
Pasien dengan penyakit kronis mempunyai kendala pada kepatuhan
minum obat. Penelitian Cramer (2004) menegaskan banyak pasien DM
mengambil obat dengan jumlah kurang dari yang ditentukan dan secara
keseluruhan tingkat kepatuhan penggunaan antidiabetik oral antara 36-93%.
Kondisi pengetahuan pasien, kondisi penyakit pasien, dan dukungan keluarga
dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan pasien dan akan berpengaruh pada
luaran klinik pasien (Morisky dan DiMatteo, 2011).
Penelitian menunjukkan bahwa edukasi oleh tenaga kesehatan dapat
mengubah perilaku pasien yang berperandalam meningkatkan kontrol gula
darah pasien (Norris et al., 2002). Home care meliputi pemberian konseling
yang bermanfaat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat dan
menekan angka kematian serta kerugian akibat penyakit DM baik dari segi
biaya maupun turunnya produktivitas pasien (Schnipperet al., 2006). Kepatuhan
pasien terhadap pengobatan sangat berperan dalam kontrol glukosa darah pasien
DM (Suppapitiporn et al., 2005). Kadar glukosa darah yang terkontrol dengan
baik dapat mengurangi risiko komplikasi akut maupun kronik (Mangesha,
2007).Pemberian konseling dalam home care akan mengurangi stres pasien
akibat DM dan terkontrolnya kadar glukosa darah pasien mendekati nilai yang
diharapkan serta pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup pasien
(Karlsen et al., 2004).

4
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian home
careoleh apoteker terhadap peningkatan kepatuhan, penurunan kadar GDSdan
peningkatan kualitas hidup pasien DM tipe 2.

1.2 Kajian Masalah


Diabetes Mellitus merupakan kondisi kronik yang terjadi karena tubuh
tidak dapat memproduksi insulin secara normal atau insulin tidak dapat bekerja
secara efektif. Insulin merupakan hormon yang dihasilkan oleh pankreas dan
berfungsi untuk memasukkan glukosa yang diperoleh dari makanan ke dalam sel
yang selanjutnya akan diubah menjadi energi yang dibutuhkan oleh otot dan
jaringan untuk bekerja sesuai fungsinya. Seseorang yang terkena Diabetes
Melitus tidak dapat menggunakan glukosa secara normal dan glukosa akan tetap
pada sirkulasi darah yang akan merusak jaringan. Kerusakan ini jika berlangsung
kronis akan menyebabkan terjadinya komplikasi, seperti penyakit
kardiovaskular, nefropati, retinopati, neuropati dan ulkus pedis (International
Diabetes Federation, 2012).
Penggunaan obat yang rasional mengharuskan pasien menerima
pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinis, dalam dosis yang diperlukan tiap
individu dalam kurun waktu tertentu dengan biaya yang paling rendah (WHO,
2012). Penyakit Diabetes Melitus dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang
membahayakan jiwa maupun mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Pada tahun
2000, jumlah penderita Diabetes Melitus mencapai 150 juta dan diperkirakan
pada tahun 2025 akan ada 300 juta orang dewasa dengan Diabetes Melitus
(Poretsky, 2002).
Tingginya angka kejadian serta pentingnya penanganan secara tepat
terhadap penyakit Diabetes Melitus dan komplikasi yang ditimbulkannya, maka
terapi Diabetes Melitus harus dilakukan secara rasional. Kerasionalan
pengobatan terdiri atas ketepatan terapi yang dipengaruhi proses diagnosis,
pemilihan terapi, pemberian terapi, serta evaluasi terapi. Evaluasi penggunaan
obat merupakan suatu proses jaminan mutu yang terstruktur dan dilakukan
secara terus menerus untuk menjamin agar obat-obat yang digunakan tepat,
aman dan efisien (Kumolosari et al., 2011).

5
Berbagai komplikasi penyakit yang dapat mengakibatkan kematian serta
banyaknya penderita penyakit Diabetes Melitus yang diperkirakan meningkat,
1.3 Rumusan Masalah
BerdasarkanLatar belakang dan kajian masalah tersebut, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. apakah ada pengaruh yg signifikan peningkatan pengetahuan pasien dm
terhadap keberhasilan terapi obat?
2. Apakah ada pengaruh signifikan peningkatan pengetahuan melalui home
pharmacy care ?
3. Apakah home care memediasi antara peningkatan dengan keberhasilan
terapi ?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh yg signifikan peningkatan pengetahuan
pasien dm terhadap keberhasilan terapi obat.
2. Untuk mengetahui pengaruh signifikan home care terhadap keberhasilan
terapi obat.
3. Untuk mengetahui bahwa home care memediasi antara peningkatan
dengan keberhasilan terapi.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah dan
mengembangkan wawasan ilmu kefarmasian secara umu dan pengobatan rasinal
pada diabetes mellitus secara khusus, serta melengkapi informasi guna penelitian
yang lebih mendalam tentang peningkatan pengetahuan penderita diabetes
mellitus .
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan
bagi praktisi kesehatan, terutama dalam meningkatkan pengetahuan penderita
diabetes melotus guna mencapai keberhasilan terapi di Kota Madiun.

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 DEFINISI

Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit


metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi
insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan
fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah (Dipiro, et. al., 2015).
Diabetes Melitus adalah sindrom klinis yang ditandai dengan
hiperglikemia karena defisiensi insulin yang absolut maupun relatif.
Kurangnya hormon insulin dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel β
pankreas mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak
menyebabkan gangguan signifikan. Kadar glukosa darah erat diatur oleh
insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme. Hati sebagai
organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan glukosa sebagai
glikogen dan kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika dibutuhkan
(American Diabetes Association, 2012).

1.2 PATOFISIOLOGI

Diabetes melitus tipe 1 (5 - 10% kasus) biasanya terdapat pada


masa anak- anak atau awal memasuki usia dewasa dan menghasilkan
kerusakan yang dimediasi oleh autoimun pada sel β pankreas,
menghasilkan defisiensi insulin. Proses autoimun dimediasi oleh
makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi terhadap antigen sel β
(contoh: sel antibodi, antibodi insulin) (Dipiro, et. al., 2015). Pada
patofisiologi diabetes mellitus tipe 1, yang terjadi adalah tidak adanya
insulin yang dikeluarkan oleh sel yang berbentuk seperti peta pada
pankreas yang terletak di belakang lambung. Dengan tidak adanya

7
insulin, glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk
dirubah menjadi tenaga. Karena tidak bisa diserap oleh insulin, glukosa
ini terjebak dalam darah dan kadar glukosa dalam darah menjadi naik
(Homenta, 2012).

Diabetes melitus tipe 2 sebanyak 90% kasus diabetes dan biasanya


ditandai dengan kombinasi resistensi insulin dan defisiensi insulin.
Resistensi insulin dimanifestasikan oleh peningkatan lipolysis dan
produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan
penurunan serapan otot rangka glukosa. Sel β mengalami disfungsi
progresif dan menyebabkan memburuknya kontrol glukosa darah. DM
tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenic (kalori yang berlebihan,
olahraga tidak memadai, dan obesitas) ditumpangkan di atas rentan
genotip. Pada DM tipe 2 terjadi ganguan pengikatan glukosa oleh
reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehinga
penderita tidak tergantung pada pemberian insulin (Dipiro, et. al., 2015).
Kejadian lainnya pada diabetes melitus (1 - 2% kasus) mencakup
penyakit endokrin (contoh: akromegali, cushing syndrome), diabetes
gestasional (GDM) atau diabetes pada ibu hamil, dan obat-obatan
(glukokortikoid, niasin, α- interferon) (Dipiro, et. al., 2015).

1.3 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi


metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin
tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal,
atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya
berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria.
Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan
pengeluaran urine (poliuria) jika melewati ambang ginjal untuk ekskresi
glukosa yaitu ± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus (polidipsia). Rasa
lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat

8
kehilangan kalori (Price Sylvia Anderson 2005). Selain itu, menurut
Hans Tandra (2008), manifestasi klinis Diabetes Melitus yaitu:
1. Berat Badan Turun

Sebagai kompensasi dari dehidrasi dan banyak minum, seseorang


akan mulai banyak makan. Memang pada mulanya berat badan
makin meningkat, tetapi lama kelamaan otot tidak mendapat cukup
glukosa untuk tumbuh dan

mendapatkan energi. Maka jaringan otot dan lemak harus dipecah


untuk memenuhi kebutuhan energi. Berat badan menjadi turun,
meskipun banyak makan. Keadaan ini makin diperburuk oleh
adanya komplikasi yang timbul kemudian.
2. Lemah

Keluhan diabetes dapat berupa rasa capek, lemah, dan nafsu


makan menurun. Pada diabetes, gula bukan lagi sumber energi
karena glukosa tidak dapat diangkut kedalam sel untuk menjadi
energi.
3. Mata kabur

Glukosa darah yang tinggi akan menarik pula cairan dari dalam
lensa mata sehingga lensa menjadi tipis. Mata seseorang pun
mengalami kesulitan untuk fokus dan penglihatan jadi kabur.
Apabila seseorang bisa mengontrol glukosa darah dengan baik,
penglihatan bisa membaik karena lensa kembali normal.
4. Luka yang sukar sembuh

Penyebab luka yang sukar sembuh adalah:

a. infeksi yang hebat, kuman, atau jamur yang mudah tumbuh


pada kondisi gula darah yang tinggi.
b. kerusakan dinding pembuluh darah, aliran darah yang tidak
lancar pada kapiler (pembuluh darah kecil) yang menghambat
penyembuhan luka.

9
c. kerusakan saraf dan luka yang tidak terasa menyebabkan
penderita diabetes tidak menaruh perhatian pada luka dan
membiarkannya makin membusuk.
5. Rasa kesemutan

Kerusakan saraf yang disebabkan oleh glukosa yang tinggi


merusak dinding pembuluh darah dan akan mengganggu nutrisi
pada saraf. Karena yang rusak adalah saraf sensoris, keluhan yang
paling sering muncul adalah rasa semutan atau tidak berasa,
terutama pada tangan dan kaki. Selanjutnya bisa timbul rasa nyeri
pada anggota tubuh, betis, kaki, tangan, dan lengan.
6. Gusi merah dan bengkak

Kemampuan rongga mulut seseorang menjadi lemah untuk


melawan infeksi. Maka gusi membengkak dan menjadi merah,
muncul infeksi, dan gigi tampak tidak rata dan mudah tanggal.
7. Kulit terasa kering dan gatal

Kulit terasa kering, sering gatal, infeksi. Keluhan ini biasanya


menjadi penyebab seseorang datang memeriksakan diri ke dokter
kulit, lalu baru ditemukan adanya diabetes.
8. Mudah kena infeksi

Leukosit (sel darah putih) yang biasa dipakai untuk melawan


infeksi tidak dapat berfungsi dengan baik jika glukosa darah tinggi.
9. Gatal pada kemaluan

Infeksi jamur juga “menyukai” suasana glukosa tinggi. Vagina


mudah terkena infeksi jamur, mengeluarkan cairan kental putih
kekuningan, serta timbul rasa gatal.

1.4 DIAGNOSIS DIABETES

Diabetes dapat didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma,


baik glukosa plasma puasa atau fasting plasma glucose (FPG) atau nilai

10
2 jam plasma glukosa atau 2-h plasma glucose (2-h PG) setelah tes
toleransi glukosa 75 gram atau oral glucose tolerance test (OGTT) atau
kriteria A1C (Umpierrez et al., 2014).

1. FPG ≥126 mg/dL (7 mmol/L). Fasting didefinisikan sebagai tidak adanya

pemasukan kalori sedikitnya 8 jam


2. 2 jam PG ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L) selama OGTT, menggunakan
glukosa yang mengandung 75 gram glukosa anhidrat yang terlarut dalam
air
3. A1C ≥ 6.5 % (48 mmol/mol). Pengujian dilakukan di laboratorium

dengan metode NGSP dan dengan standar DCCT assay


4. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik,

gula plasma acak ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

FPG, 2-hPG setelah 75-g OGTT dan A1C sesuai untuk pengujian
diagnostik, akan tetapi tidak semua individu perlu dilakukan test
tersebut. Efikasi dari intervensi untuk pencegahan diabetes tipe 2
terutama telah ditunjukkan pada individu dengan toleransi glukosa
terganggu atau impaired glucose tolerance (IGT), tidak untuk individu
dengan isolated impaired fasting glucose (IFG) atau pasien prediabetes
berdasarkan A1C (Cefalu et al., 2017)

Test yang sama dapat digunakan untuk skrining dan diagnosis


diabetes dan untuk mendeteksi individu prediabetes. Diabetes dapat
diidentifikasi sepanjang spektrum skenario klinis pada individu yang
berisiko rendah yang kebetulan melakukan tes glukosa, pada individu
yang diuji berdasarkan penilaian risiko diabetes, dan pada pasien
simtomatik (Cefalu et al., 2017).

1. Fasting dan 2-Hour Plasma Glucose

FPG dan PG 2 jam dapat digunakan untuk mendiagnosis

11
diabetes. Kesesuaian antara FPG dan PG 2-jam tidak selalu
sesuai, sama halnya antara A1C dan tes glukosa. Sejumlah
penelitian telah mengungkapkan bahwa, dibandingkan dengan
FPG dan A1C, nilai PG 2-jam mendiagnosis lebih banyak
penderita diabetes (Cefalu et al., 2017)
2. A1C

A1C memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan FPG


dan OGTT, termasuk kenyamanan yang lebih besar (puasa tidak
diperlukan), stabilitas preanalitik yang lebih baik, dan gangguan
sehari-hari yang lebih sedikit selama stres dan penyakit. Namun,
sensitivitas A1C yang lebih rendah, memerlukan biaya yang lebih
besar, keterbatasan tes A1C terbatas di daerah tertentu dan
korelasi yang tidak sempurna antara A1C dan glukosa rata-rata
pada individu tertentu (Gillaizeau et al, 2013).
Saat menggunakan A1C untuk mendiagnosis diabetes, penting
untuk mengenali bahwa A1C adalah ukuran tidak langsung dari
kadar glukosa darah rata-rata dan mempertimbangkan faktor lain
yang dapat mempengaruhi glikemia hemoglobin secara tidak
langsung, seperti usia, ras atau etnis, dan anemia atau
hemoglobinopati (Cefalu et al., 2017).
3. Umur

Studi epidemiologi yang menjadi dasar untuk mendiagnosis


diabetes menggunakan A1C hanya pada populasi dewasa. Oleh
karena itu, masih belum jelas apakah A1C dapat digunakan untuk
mendiagnosis diabetes pada anak-anak dan remaja (Gillaizeau et
al, 2013).
4. Ras atau Etnik

Tingkat A1C dapat bervariasi dengan ras / etnis secara


independen dari glikemia. Sebagai contoh, orang Afrika Amerika
mungkin memiliki kadar A1C yang lebih tinggi daripada orang
kulit putih non-Hispanik meskipun kadar glukosa puasa dan total

12
glukosa sama. Meskipun ada beberapa data yang saling
bertentangan, orang Afrika Amerika mungkin juga memiliki
kadar albumin fruktosamin dan albumin yang lebih tinggi dan
kadar 1,5- anhidroglukitol lebih rendah, menunjukkan bahwa
muatan glikemiknya (terutama secara postprandial) mungkin
lebih tinggi. Asosiasi A1C dengan risiko komplikasi tampak
serupa di Afrika, Amerika dan kulit putih non- Hispanik (Draznin
et al., 2013 dan Arnold et al., 2016).
5. Hemoglobinopathies/Red Blood Cell Turnover

Menafsirkan kadar A1C dengan adanya hemoglobinopati tertentu


mungkin bermasalah. Untuk pasien dengan hemoglobin abnormal
tapi perputaran normal red blood cell turnover, seperti sickle cell
trait, tes A1C tanpa gangguan dari hemoglobin abnormal harus
digunakan. Dalam kondisi yang terkait dengan peningkatan red
blood cell turnover, seperti kehamilan (trimester kedua dan
ketiga), hemodialisis, kehilangan darah atau transfusi baru-baru
ini, atau terapi eritropoietin, hanya kriteria glukosa darah yang
dapat digunakan untuk mendiagnosis diabetes (Cefalu et al.,
2017) darah rata-rata dan mempertimbangkan faktor lain yang
dapat mempengaruhi glikemia hemoglobin secara tidak langsung,
seperti usia, ras atau etnis, dan anemia atau hemoglobinopati
(Cefalu et al., 2017).
6. Umur

Studi epidemiologi yang menjadi dasar untuk mendiagnosis


diabetes menggunakan A1C hanya pada populasi dewasa. Oleh
karena itu, masih belum jelas apakah A1C dapat digunakan untuk
mendiagnosis diabetes pada anak-anak dan remaja (Gillaizeau et
al, 2013).
7. Ras atau Etnik

Tingkat A1C dapat bervariasi dengan ras / etnis secara


independen dari glikemia. Sebagai contoh, orang Afrika Amerika

13
mungkin memiliki kadar A1C yang lebih tinggi daripada orang
kulit putih non-Hispanik meskipun kadar glukosa puasa dan total
glukosa sama. Meskipun ada beberapa data yang saling
bertentangan, orang Afrika Amerika mungkin juga memiliki
kadar albumin fruktosamin dan albumin yang lebih tinggi dan
kadar 1,5- anhidroglukitol lebih rendah, menunjukkan bahwa
muatan glikemiknya (terutama secara postprandial) mungkin
lebih tinggi. Asosiasi A1C dengan risiko komplikasi tampak
serupa di Afrika, Amerika dan kulit putih non- Hispanik (Draznin
et al., 2013 dan Arnold et al., 2016).
8. Hemoglobinopathies/Red Blood Cell Turnover

Menafsirkan kadar A1C dengan adanya hemoglobinopati tertentu


mungkin bermasalah. Untuk pasien dengan hemoglobin abnormal
tapi perputaran normal red blood cell turnover, seperti sickle cell
trait, tes A1C tanpa gangguan dari hemoglobin abnormal harus
digunakan. Dalam kondisi yang terkait dengan peningkatan red
blood cell turnover, seperti kehamilan (trimester kedua dan
ketiga), hemodialisis, kehilangan darah atau transfusi baru-baru
ini, atau terapi eritropoietin, hanya kriteria glukosa darah yang
dapat digunakan untuk mendiagnosis diabetes (Cefalu et al.,
2017) tipe 2 sering membutuhkan keseimbangan kalori untuk
meningkatkan berat badan (DiPiro, 2015). Dianjurkan diet
dengan komposisi makanan yang seimbang dalam hal
karbohidrat, lemak dan protein sesuai dengan kecukupan gizi
yang baik sebagai berikut:

 Karbohidrat : 60-70%

 Protein : 10-15%

 Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi,


umur, stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan
untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal (DEPKES

14
RI, 2005).
2. Olah Raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga


kadar gula darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga
berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat
bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Disarankan olah raga yang
bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,
Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-
85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan
kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga
yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda,
berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak
dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan
pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-
10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa (DEPKES RI, 2005). Selain itu
latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan kontrol
glikemik dan dapat mengurangi faktor risiko kardiovaskular,
membantu untuk penurunan berat badan atau pemeliharaan, dan
meningkatkan kesehatan (DiPiro, 2015).

1.6.2 Terapi Farmakologi

Apabila terapi non farmakolgi belum berhasil mengendalikan


kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan terapi
farmakologi, baik dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi
insulin, atau kombinasi keduanya.
1. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi


menjadi 5 golongan:
a) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan
Glinid

15
 Sulfonilurea

Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu


ditemukan. Sampai beberapa tahun yang lalu, dapat
dikatakan hampir semua obat hipoglikemik oral merupakan
golongan sulfonilurea. Obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk
penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan normal
dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis
sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya
tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan
tiroid.
Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi
insulin di kelenjar pancreas, oleh sebab itu hanya efektif
apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat
berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi
setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea
disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar
pancreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan
perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat
glukosa (atau kondisi hiperglikemia) gagal merangsang
sekresi insulin, senyawa- senyawa obat ini masih mampu
meningkatkan sekresi insulin. Oleh sebab itu, obat-obat
golongan sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita
diabetes yang kelenjar pankreasnya masih mampu
memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat
sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan sel-sel β
Langerhans kelenjar

pancreas, pemberian obat-obat hipoglikemik oral golongan


sulfonilurea tidak bermanfaat. Pada dosis tinggi,
sulfonilurea menghambat degradasi insulin oleh hati.
Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus

16
cukup baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah
diabsorpsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel.
Dalam plasma sebagian terikat pada protein plasma
terutama albumin (70-90%).
Efek samping obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya rendah,
antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan
syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare,
sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala.
Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung,
ataksia dan lain sebagainya. Gejala hematologik termasuk
leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan anemia
aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida
dapat meningkatkan ADH (Antidiuretik Hormon).
Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau
diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal
atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-
obat hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang.
Banyak obat yang dapat berinteraksi dengan obat-obat
sulfonilurea, sehingga risiko terjadinya hipoglikemia harus
diwaspadai. Obat atau senyawasenyawa yang dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat-
obat hipoglikemik sulfonilurea antara lain: alkohol, insulin,
fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon,
oksifenbutazon, probenezida, dikumarol, kloramfenikol,
penghambat MAO (Mono Amin Oksigenase), guanetidin,
steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat.

Penggunaan obat-obat hipoglikemik oral golongan


sulfonilurea harus hatihati pada pasien usia lanjut, wanita
hamil, pasien dengan gangguan fungsi hati, dan atau
gangguan fungsi ginjal. Klorpropamida dan glibenklamida
tidak disarankan untuk pasien usia lanjut dan pasien

17
insufisiensi ginjal. Untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal masih dapat digunakan glikuidon, gliklazida, atau
tolbutamida yang kerjanya singkat.
 Wanita hamil dan menyusui, porfiria, dan ketoasidosis
merupakan kontra indikasi bagi sulfonilurea.
 Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada
penderita diabetes yuvenil, penderita yang kebutuhan
insulinnya tidak stabil, dan diabetes melitus berat.
 Obat-obat golongan sulfonilurea cenderung
meningkatkan berat badan. Ada beberapa senyawa obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea yang saat ini.
Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea generasi
pertama yang dipasarkan sebelum 1984 dan sekarang
sudah hampir tidak dipergunakan lagi antara lain
asetoheksamida, klorpropamida, tolazamida dan
tolbutamida. Yang saat ini beredar adalah obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea generasi kedua
yang dipasarkan setelah 1984, antara lain gliburida
(glibenklamida), glipizida, glikazida, glimepirida, dan
glikuidon. Senyawa-senyawa ini umumnya tidak terlalu
berbeda efektivitasnya, namun berbeda dalam
farmakokinetikanya, yang harus dipertimbangkan
dengan cermat dalam pemilihan obat yang cocok untuk
masing-masing pasien dikaitkan dengan kondisi
kesehatan dan terapi lain yang tengah dijalani pasien
(DEPKES RI, 2005).

Tabel 2. Obat Hipoglikemik Oral Golongan Sulfonilurea

Obat Hipoglikemik Oral Keterangan

Gliburida Memiliki efek hipoglikemik

18
yang poten sehingga pasien perlu
(Glibenklamida) diingatkan untuk melakukan jadwal
makan yang ketat. Gliburida
dimetabolisme dalam hati, hanya
25% metabolit diekskresi melalui
ginjal, sebagian besar diekskresi
melalui empedu dan dikeluarkan
Contoh Sediaan: bersama tinja. Gliburida efektif
dengan pemberian dosis tunggal.
 Glibenclamide (generik) Bila pemberian dihentikan, obat akan
bersih keluar dari serum setelah 36
 Abenon (Heroic)
jam. Diperkirakan mempunyai efek
 Clamega (Emba Megafarma) terhadap agregasi trombosit. Dalam
 Condiabet (Armoxindo) batas-batas tertentu masih dapat
diberikan pada beberapa pasien
 Daonil (Aventis)
dengan kelainan fungsi hati dan
 Diacella (Rocella) ginjal.
 Euglucon (Boehringer
Mannheim, Phapros)
 Fimediab (First Medipharma)

 Glidanil (Mersi)

 Gluconic (Nicholas)

 Glimel (Merck)

 Hisacha (Yekatria Farma)

 Latibet (Ifars)

 Libronil (Hexpharm Jaya)

 Prodiabet (Bernofarm)

 Prodiamel (Corsa)

 Renabetic (Fahrenheit)

19
 Semi Euglucon (Phapros,
Boeh. Mannheim)
 Tiabet (Tunggal IA)

Glipizida Mempunyai masa kerja yang


lebih lama dibandingkan dengan
glibenklamid tetapi
lebih pendek dari pada
klorpropamid. Kekuatan
hipoglikemiknya jauh lebih besar
Contoh Sediaan: dibandingkan dengan tolbutamida.
Mempunyai efek menekan produksi
 Aldiab (Merck) glukosa hati dan meningkatkan
jumlah reseptor insulin. Glipizida
 Glucotrol (Pfizer)
diabsorpsi lengkap sesudah
 Glyzid (Sunthi Sepuri) pemberian per oral dan dengan cepat
 Minidiab (Kalbe Farma) dimetabolisme dalam hati menjadi
metabolit yang tidak aktif. Metabolit
 Glucotrol
dan kira-kira 10% glipizida utuh
diekskresikan melalui ginjal.
Glikazida Mempunyai efek hipoglikemik
sedang sehingga tidak begitu sering
menyebabkan efek hipoglikemik.
Mempunyai efek anti agregasi
trombosit yang lebih poten. Dapat
diberikan pada penderita gangguan
Contoh Sediaan: fungsi hati dan ginjal yang ringan.

 Diamicron (Darya Varia)

 Glibet (Dankos)

 Glicab (Tempo Scan Pacific)

20
 Glidabet (Kalbe Farma)

 Glikatab (Rocella Lab)

 Glucodex (Dexa Medica)

 Glumeco (Mecosin)

 Gored (Bernofarm)
 Linodiab (Pyridam)

 Nufamicron (Nufarindo)

 Pedab (Otto)

 Tiaglip (Tunggal IA)

 Xepabet (Metiska Farma)

 Zibet (Meprofarm)

 Zumadiac (Prima Hexal)


Glimepirida Memiliki waktu mula kerja
yang pendek dan waktu kerja yang
lama, sehingga umum diberikan
dengan cara pemberian dosis
tunggal. Untuk pasien yang berisiko
tinggi, yaitu pasien usia lanjut,
pasien dengan gangguan ginjal atau
Contoh Sediaan: yang melakukan aktivitas berat dapat
diberikan obat ini. Dibandingkan
 Amaryl dengan glibenklamid, glimepirid
lebih jarang menimbulkan efek
hipoglikemik pada awal pengobatan
Glikuidon Mempunyai efek hipoglikemik
sedang dan jarang menimbulkan
Contoh Sediaan: serangan hipoglikemik. Karena
hampir seluruhnya diekskresi melalui
 Glurenorm empedu dan usus, maka dapat

21
(Boehringer Ingelheim) diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati dan ginjal yang
agak berat

 Glinid

Mirip dengan sulfonilurea, glinid menurunkan glukosa


lebih rendah dengan merangsang sekresi insulin pankreas,
tetapi pelepasan insulin tergantung glukosa dan akan hilang
pada konsentrasi glukosa darah rendah. Ini bisa mengurangi
potensi untuk hipoglisemi parah. Agen ini menghasilkan
pelepasan insulin fisiologis lebih banyak dan lebih hebat
menurunkan glukosa post-prandial dibandingkan dengan
sulfonilurea durasi panjang. Pengurangan A1C rata-rata 0,8%
menjadi 1%. Obat-obatan ini dapat digunakan untuk
memberikan peningkatan sekresi insulin saat makan (bila
diperlukan) dengan tujuan glikemik. Obat-obat ini sebaiknya
diberikan sebelum makan (sampai 30 menit sebelumnya).. Jika
ada waktu makan yang dilewatkan, maka obat ini juga tidak
diminum. Saat ini tidak ada penyesuaian dosis yang
diperlukan untuk lansia.
1 Repaglinide (Prandin): dimulai pada 0,5-2 mg secara oral
dengan dosis maksimum 4 mg tiap makan (Sampai empat
kali sehari atau 16 mg / hari).
2 Nateglinide (Starlix): diberikan 120 mg secara oral tiga
kali sehari sebelum makan. dosis awal dapat diturunkan
sampai 60 mg tiap makan pada pasien yang A1C
mendekati target terapi ketika terapi dimulai.

b) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan


Tiazolidindion (TZD)
 Metformin

22
Metformin meningkatkan sensitivitas insulin dari hati dan
jaringan perifer (otot) untuk meningkatkan penyerapan
glukosa. Hal ini mengurangi tingkat A1C 1,5% menjadi 2%,
tingkat FPG 60 sampai 80 mg / dL (3,3-4,4 mmol / L), dan
mempertahankan kemampuan untuk mengurangi tingkat FPG
sangat tinggi yaitu (> 300 mg / dL atau> 16,7 mmol / L).
Metformin mengurangi trigliserida plasma dan low-densit

dansederhana meningkatkan high-density lipoprotein

(HDL) kolesterol (2%). Metformin tidak


menyebabkan hipoglisemia ketika digunakan sendirian
Metformin digunakan dalam obesitas / kelebihan berat badan
DM
tipe 2 pasien (jika ditoleransi dan tidak kontraindikasi) karena
satu- satunya obat antihiperglikemik oral yang terbukti
mengurangi risiko kematian total.
Efek samping yang paling umum adalah abdominal
discomfort, stomach upset, diare, dan anoreksia. Efek ini dapat
diminimalkan dengan mentitrasi dosis perlahan dan
menggunakannya bersama makanan. Extended-release
metformin (Glucophage XR) dapat mengurangi efek samping
GI. Asidosis laktat jarang terjadi dan dapat diminimalkan
dengan menghindari penggunaan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal (kreatinin serum 1,4 mg / dL atau lebih
[ ≥124 μmol / L] pada wanita dan 1,5 mg / dL atau lebih
[ ≥133 μmol / L] pada laki- laki), gagal jantung kongestif atau
kondisi predisposisi hipoksemia atau asidosis laktat bawaan.
a. Metformin aksi cepat (Glucophage) diberikan 500 mg dua
kali sehari dengan makanan (atau 850 mg sekali sehari)
dan ditingkatkan 500 mg tiap minggu (atau 850 mg tiap
2 minggu) sampai dicapai total 2000 mg/hari. Dosis
harian maksimum yang dianjurkan adalah 2550 mg/hari.

23
b. Metformin lepas lambat (Glucophage XR) bisa dimulai
dengan 500 mg dengan makanan sore hari dan
ditingkatkan 500 mg tiap minggu sampai total 2000
mg/hari. Jika kontrol suboptimal bisa didapat dengan
dosis sekali sehari pada dosis maksimum, bisa diberikan
dosis 100 mg dua kali sehari.
 Tiazolidindion (TZD)

Obat ini meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan


otot, hati, dan lemak secara tidak langsung.. Ketika diberikan
selama 6 bulan dengan dosis maksimal, pioglitazone dan
rosiglitazone mengurangi lipoprotein (LDL) kolesterol
sebesar 8% menjadi 15%

A1C oleh ~ 1,5% dan FPG dari 60 menjadi 70 mg / dL (3,3-


3,9 mmol / L). Efek maksimum tidak dapat dilihat sampai 3
sampai 4 bulan terapi.
Pioglitazone menurunkan trigliserida plasma sebesar 10%
sampai 20%, sedangkan rosiglitazone cenderung tidak
berpengaruh. Pioglitazone tidak menyebabkan peningkatan
yang signifikan pada LDL kolesterol, sedangkan kolesterol
LDL dapat meningkat 5% sampai 15% dengan rosiglitazone.
Retensi cairan dapat terjadi, dan edema perifer dilaporkan
dalam 4% sampai 5% pasien. Ketika digunakan dengan
insulin, angka kejadian edema adalah ~ 15%. Glitazones
merupakan kontraindikasi pada pasien dengan kelas New York
Heart Association III atau gagal jantung IV dan harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan kelas I atau
gagal jantung II atau lainnya yang mendasari penyakit jantung.
Berat badan 1,5 sampai 4 kg tidak lazim. Jarang terjadi,
kenaikan yang cepat dari sejumlah berat badan sehingga bila
terjadi dimungkin memerlukan penghentian terapi. Glitazones
juga telah dikaitkan dengan kerusakan hati, peningkatan patah

24
tulang, dan sedikit peningkatan risiko kanker kandung kemih.
a. Pioglitazone (Actos): dimulai dengan dosis 15 mg per oral
sekali sehari; dosis maksimum 45 mg / hari.
b. Rosiglitazone (Avandia): dimulai dengan dosis 2 sampai 4
mg oral sekali sehari; dosis maksimum 8 mg / hari dan
dosis 4 mg dua kali sehari dapat mengurangi A1C sebesar
0,2% hingga 0,3% lebih atau 8 mg diminum sekali sehari.

3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.

Agen-agen ini mencegah pemecahan sukrosa dan


karbohidrat kompleks di intestinal kecil, sehingga
memperlama absorpsi karbohidrat. Ini berefek langsung pada
berkurangnya konsentrasi glukosa post prandial (40–50
mg/dL; 2.2–2.8 mmol/L) sementara

glukosa puasa relatif tidak berubah GDP (~ 10%


pengurangan). Efek pada kontrol glikemi cukup moderat,
dengan rerata pengurangan HbA1C 0,3-1%.
Efek samping paling umum adalah perut kembung, diare,
dan kejang abdominal, yang bisa dikurangi dengan
memperlambat titrasi dosis. Jika hipoglikemia terjadi ketika
digunakan bersama dengan agen hipoglikemi (sulfonilurea
atau insulin), produk glukosa oral atau parenteral (dextrosa)
atau glukagon harus diberikan karena obat akan menginhibit
pemecahan dan absrpsi molekul gula yang lebih komplek
(seperti, sukrosa).
Acarbose (Precose) dan miglitol (Glyset) didosiskan
serupa. Terapi dimulai dengan dosis sangat rendah (25 mg
dengan satu sehari) dan ditingkatkan bertahap (selama
sebulan) sampai maksimal 50 mg tiga kali sehari untuk pasien
60 kg atau lebih, dan 100 mg tiga kali sehari untuk pasien
diatas 60 kg. Obat ini digunakan secara bersamaan dengan

25
makanan untuk menghambat aktivitas enzim.

4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

DPP-4 inhibitor sebagian mengurangi glukagon


postprandially tidak tepat ditinggikan dan merangsang sekresi
insulin glukosa tergantung. pengurangan A1C rata-rata 0,7%
sampai 1% pada dosis maksimum.

Obat-obatan yang ditoleransi dengan baik, berat badan


netral, dan tidak menimbulkan efek samping GI.
hipoglikemia ringan mungkin terjadi, tapi DPP-4 inhibitor
tidak meningkatkan risiko hipoglikemia sebagai monoterapi
atau dikombinasikan dengan obat yang memiliki insiden rendah
hipoglikemia. Urtikaria dan / atau edema wajah dapat terjadi
pada 1% dari pasien, dan penghentian dibenarkan. kasus yang
jarang terjadi sindrom Stevens-Johnson telah dilaporkan.
Saxagliptin menyebabkan pengurangan terkait dosis di

jumlah limfosit mutlak; pemberhentian harus dipertimbangkan


jika infeksi berkepanjangan terjadi.
a. Sitagliptin (Januvia): Biasa dosis 100 mg per oral sekali
sehari. Gunakan 50 mg setiap hari jika ClCr 30 sampai 50
mL / menit dan 25 mg setiap hari jika ClCr kurang dari 30
mL / menit.
b. Saxagliptin (Onglyza): Usual dosis 5 mg secara oral
setiap hari. Mengurangi 2,5 mg setiap hari jika ClCr
kurang dari 50 mL / menit atau kuat CYP-3A4 / 5
inhibitor yang digunakan secara bersamaan.
c. linagliptin (Tradjenta): 5 mg oral sehari-hari; penyesuaian
dosis tidak diperlukan di insufisiensi ginjal atau dengan
terapi obat bersamaan.
d. Alogliptin (Nesina): Biasa dosis 25 mg sekali sehari.

26
Penurunan untuk 12,5 mg sehari ketika ClCr kurang dari
60 mL / menit dan 6,25 mg ketika ClCr kurang dari 30
mL / menit.

5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat


antidiabetes oral jenis baru yang menghambat reabsorpsi
glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat
transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin.

27
Tabel 1. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia
di Indonesia

Efek Penurunan
Golongan Cara Kerja Utama Samping
Obat Utama HbA1c

Meningkatkan sekresi BB naik


Sulfonilurea insulin 1,0-2,0%

hipoglikemia

KLL

Meningkatkan sekresi BB naik


Glinid insulin 0,5-1,5%

hipoglikemia

Menekan Dispepsia,
produksi diare,
glukosa hati &
Metformin 1,0-2,0%
menambah sensitifitas
terhadap insulin
asidosis laktat

Penghambat Menghambat absorpsi Flatulen, tinja


glukosa 0,5-0,8%

Alfa- lembek
Glukosidase

Menambah sensitifitas
Tiazolidindion terhadap insulin Edema 0,5-1,4%

Meningkatkan sekresi

28
Penghambat insulin,
menghambat sekresi
Sebah, 0,5-0,8%
glukagon
muntah
DPP-IV

Nenghambat
Penghambat reabsorpsi glukosa di

SGLT-2 tubuli distal ginjal ISK 0,5-0,9%

(PERKENI,2015)

6) Obat Antihiperglikemia Suntik

A. Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita


DMTipe Pada DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar
pankreas penderita

rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai


penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat
insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme
karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal.
Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak
memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata
memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.
 Mekanisme Kerja Insulin

Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan


langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta,
yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh

29
melalui peredaran darah.
Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah
membantu transpor glukosa dari darah ke dalam sel.
Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak
dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya,
glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh
kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat
memproduksi energi sebagaimana seharusnya.
Disamping fungsinya membantu transport glukosa
masuk ke dalam sel, insulin mempunyai pengaruh yang
sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme
karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme protein dan
mineral.insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan
lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk
ke dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam
modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu
sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan
pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas pada
berbagai organ dan jaringan tubuh.
 Prinsip Terapi Insulin

Indikasi

 Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin


eksogen karena produksi insulin endogen oleh sel-sel β
kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak ada

 Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga


membutuhkan terapi insulin apabila terapi lain yang
diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa
darah
 Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat,
tindakan pembedahan, infark miokard akut atau stroke
 DM Gestasional dan penderita DM yang hamil

30
membutuhkan terapi insulin, apabila diet saja tidak
dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
 Ketoasidosis diabetik

 Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan


sindroma hiperglikemia hiperosmolar non-ketotik.
 Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau
yang memerlukan suplemen tinggi kalori untuk
memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara
bertahap memerlukan insulin eksogen untuk
mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
normal selama periode resistensi insulin atau ketika
terjadi peningkatan kebutuhan insulin.
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

 Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO

(DEPKES RI, 2005)

 Penggolongan Sediaan Insulin

Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang


tersedia, yang terutama berbeda dalam hal mula kerja
(onset) dan masa kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk
terapi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut
juga insulin reguler
2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)

3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat

4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin)

Respon individual terhadap terapi insulin cukup


beragam, oleh sebab itu jenis sediaan insulin mana yang
diberikan kepada seorang penderita dan berapa frekuensi

31
penyuntikannya ditentukan secara individual, bahkan
seringkali memerlukan penyesuaian dosis terlebih dahulu.
Umumnya, pada tahap awal diberikan sediaan insulin
dengan kerja sedang, kemudian ditambahkan insulin
dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah
makan. Insulin kerja singkat diberikan sebelum makan,
sedangkan Insulin kerja sedang umumnya diberikan satu
atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan subkutan.
Namun, karena tidak mudah bagi penderita untuk
mencampurnya sendiri, maka tersedia sediaan campuran
tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja
sedang (NPH).
Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6
menit, tetapi memanjang pada penderita diabetes yang
membentuk antibodi terhadap insulin. Insulin
dimetabolisme terutama di hati, ginjal dan otot. Gangguan
fungsi ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar insulin
di dalam darah (IONI, 2000).
Tabel 3. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja
(PERKENI, 2015)

Punca Lama
Jenis Insulin Awitan Kemasan
k
(onset)
Efek Kerja

Kerja Cepat (Rapid-Acting) (Insulin Analog)

Insulin Lispro

(Humalog®)
Pen/cartridge
Insulin Aspart
Pen, vial
(Novorapid®)

32
Pen
Insulin Glulisin 5-15 menit 1-2 jam 4-6 jam

(Apidra®)
Kerja Pendek (Short-Acting) (Insulin Manusia, Insulin Reguler )

Humulin®
R Vial,
Actrapid® 30-60 2-4 jam 6-8 jam pen/cartridge
Sansulin® menit

Kerja Menengah (Intermediate-Acting) (Insulin Manusia, NPH)

Humulin N®
Insulatard® Vial,
Insuman Basal® pen/cartridge
1,5–4 jam 4-10 jam 8-12 jam

Kerja Panjang (Long-Acting) (Insulin Analog)

Insulin Glargine

Hampir
(Lantus®) 1–3 jam tanpa
Pen
Insulin 12-24
puncak
Detemir jam
(Levemir®)
Kerja Ultra Panjang (Ultra Long-Acting)
(Insulin Analog)

Hampir Sampa

33
Degludec (Tresiba®)* 30-60 tanpa i 48
menit
puncak jam

Campuran (Premixed) (Insulin


Manusia)
70/30 Humulin®
(70%
NPH, 30% reguler) 30-60 menit 3–12 jam

70/30 Mixtard® (70%

NPH, 30% reguler)

Campuran (Premixed, Insulin


Analog)
75/25 Humalogmix®

(75% protamin lispro,


12-30 menit 1-4 jam
25% lispro)

70/30 Novomix®
(70%
NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro. Nama
obat disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia. [Dimodifikasi dari
Mooradian et al. Ann Intern Med. 2006;145:125- 34].

3) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan


pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat
bekerja sebagai perangsang pengelepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang
biasanya terjadi pada pengobatan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek
samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa
sebah dan muntah (PERKENI,2015).

34
4) Terapi Kombinasi

Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik


secara terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet
tunggal, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme
kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran
kadar glukosa darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan
kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dari kelompok yang
berbeda atau kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan.

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang


banyak dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.
Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan
sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut
dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Pada
keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan.

Gambar 1. Alogaritme pemakaian obat


hipoglikemik

35
1.1 EVALUASI HASIL TERAPI

Untuk mengikuti kontrol kadar glikemik jangka panjang selama 3


bulan terakhir, mengukur kadar A1C setidaknya dua kali dalam setahun
pada pasien yang memenuhi tujuan pengobatan dengan rejimen terapi
yang stabil.
Terlepas dari rejimen insulin yang dipilih, buat penyesuaian pada
total dosis insulin harian berdasarkan pengukuran kadar A1C dan gejala
seperti poliuria, polidipsia, dan penambahan atau kehilangan berat
badan. Penyesuaian insulin yang lebih baik dapat ditentukan berdasarkan
hasil pengukuran SMBG (Self Monitoring of Blood Glucose) yang sering
dilakukan.Tanyakan ke pada pasien yang menerima insulin tentang
pemahaman mengenai gejala hipoglikemia paling sedikit setiap setahun
sekali. Dokumentasikan frekuensi hipoglikemia dan perawatan yang

36
diperlukan.
Pantau pasien yang menerima insulin sebelum tidur untuk
hipoglikemia dengan menanyakan adanya keringat pada malam hari,
palpitasi, mimpi buruk, serta hasil SMBG.
Untuk pasien dengan DM tipe 2, dapatkan urinalisis rutin saat
didiagnosis sebagai tes skrining awal untuk albuminuria. Jika positif, tes
urine 24 jam dapat digunakan sebagai penilaian kuantitatif yang
membantu dalam mengembangkan rencana perawatan. Jika urinalisis
negatif untuk protein, tes untuk mengevaluasi keberadaan
mikroalbuminuria dianjurkan.
Dapatkan profil lipid pada setiap tindak lanjut kunjungan jika tidak
pada sasaran, setiap tahun jika stabil dan sesuai sasaran, atau setiap 2
tahun jika profil tersebut menunjukkan risiko rendah.
Lakukan dan catat ujian kaki biasa (setiap kunjungan), penilaian
albumin urin (setiap tahun), dan pemeriksaan mata yang meluas (tahunan
atau lebih sering bila disertai dengan kelainan).
Memberikan vaksin influenza tahunan dan menilai pemberian
vaksin pneumokokus dan vaksin hepatitis B bersamaan dengan
pengelolaan faktor risiko kardiovaskular lainnya (misalnya, merokok dan
terapi antiplatelet) (Dipiro et al., 2015).

37
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

(Y)

(X) H1 Keberhasilan Terapi

Peningkatan Pengetahuan

H2 H3

Materi Home Pharmacy Care

(Z) 1. Definisi
2. Gejala
3. Faktor Resiko
4. Kadar Gula Darah
5. Jenis Obat
6. Cra Penyuntikan Insulin
7. Penggunaan Obat Secara
rutin
8. Efek Samping
9. Makanan yang
diperbolehkan dan yang tidak
Keterangan :

= Tidak diteliti 1. Komplikasi


2. Interaksi Obat
3. Penggolongan Diabetes
= Diteliti
Keterangan Gambar :

Berdasarkan Kerangka Konseptual tersebut, Variabel X yang merupakan


Peningkatan pengetahuan penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Tanpa Komplikasi
ini dilakukan dengan cara pemberian Pre Test . Variabel Z yang meliputi
memberian materi Home pharmacy Care yang berisi Definisi, Gejala, Faktor
Resiko, Kadar Gula Darah, Jenis Obat, Cra Penyuntikan Insulin, Penggunaan
Obat Secara rutin, Efek Samping, Makanan yang diperbolehkan dan yang tidak ,
Digunakan untuk memperkuat Variabel X guna mempengaruhi Variabel Y yaitu
Keberhasilan Terapi.

3.2 Hipotesis

Menurut para ahli H1 : Diduga X berpengaruh terhadap Y

H1 : Diduga Ada pengaruh yg signifikan peningkatan pengetahuan pasien dm terhadap


keberhasilan terapi obat

H2 : Diduga Ada pengaruh signifikan peningkatan pengetahuan melalui home pharmacy


care

H3 : Diduga Home care memediasi antara peningkatan dengan keberhasilan terapi


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode


eksperimen semu (Quasi Eksperimen). “Metode penelitian
merupakan cara pemecahan masalah penelitian yang
dilaksanakan secara terencana dan cermat dengan maksud
mendapatkan fakta dan kesimpulan agar dapat memahami,
menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan keadaan”
Syamsuddin dan Damayanti (2011:14). Dari pengertian diatas
peneliti menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dalam
pelaksanaan penelitian ini.
Pendekatan kuantitatif biasanya dipakai untuk menguji satu
teori, untuk menyajikan suatu fakta atau mendeskripsikan
statistik, untuk menunjukan hubungan antar variabel, dan ada
pula yang bersifat mengembangkan konsep. Dalam penelitian
kuantitatif terbagi lagi menjadi penelitian eksperimen,
deskriptif korelasional, evaluasi, dan lain sebagainya.

Sunarti (2009:95) “Metode eksperimen merupakan


metode penelitian yang menguji hipotesis berbentuk hubungan
sebab-akibat melalui pemanipulasian variable independen dan
menguji perubahan yang diakibatkan oleh pemanipulasian
tersebut.” Maka metode eksperimen ini digunakan untuk
mengukur perubahan yang terjadi setelah dilakukannya
pemnipulasian. Selain itu, metode eksperimen ini dilaksanakan
dengan tujuan agar hipotesis yang telah dirumuskan pada bab I
dapatterbukti.
4.2 Rancang Bangun Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi experimental


dengan one group pretest posttest design. Penelitian ini tidak
menggunakan kelas pembanding namun sudah menggunakan tes
awal sehingga besarnya efek atau pengaruh Home Pharmacy Care
dapat diketahui secara pasti. Dalam penelitian ini, subyek
penelitian terlebih dahulu diberikan tes awal (pretest) untuk
mengetahui sejauh mana kemampuan awal siswa sebelum
diberikan pengetahuan tentang Diabetes melitus.. Setelah diberikan
tes awal, selanjutnya kepada penderita tersebut diberikan
perlakuan, yaitu pemberian pengetahuan tentang Penyakit Diabetes
Melitus. Setelah selesai, selanjutnya kepada seluruh penderita
diberikan tes akhir (posttest) untuk mengetahui sejauh mana
pengaruh Home pharmacy Care terhadap Peningkatan pengatahuan
penderita guna mencapai keberhasilan Terapi.
Secara sederhana, desain penelitian yang digunakan dapat
digambarkan sebagai berikut:
O1------- X--------O2

Keterangan:

O1 : tes awal (pretest)

O2 : tes akhir (post test)

X : Pengetahuan Tentang DM
4.3 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan bulan Januari samapai dengan bulan Februari


2021. Lokasi Penelitian ini adalah di Puskesmas Oro Oro Ombo Kota Madiun,
Provinsi Jawa Timur

4.4 Populasi dan Sampel Penelitian

4.4.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi


merupakan sumber data dan informasi untuk kepentingan
penelitian atau sekelompok subjek, baik manusia, nilai, tes,
benda atau peristiwa. Noor (2011:147) mengutarakan bahwa
populasi digunakan untuk menyebutkan seluruh
elemen/anggota dari suatu wilayah yang menjadi sasaran
penelitian atau merupakan keseluruhan dari objek penelitian.
Adapun Populasi dari penelitian ini adalah Seluruh mpenderita
diabetes tipe 2 tanpa komplikasi di Kota Madiun
4.4.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.


Dalam penelitian ini penulis menggunakan sampel dengan
cara sampel bertujuan (purposive sampling). Menurut
Sugiyono (2010:118) “Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.” Mengacu
pada pendapat Sugiyono apabila peneliti melakukan penelitian
terhadap populasi yang besar, sementara peneliti memiliki
keterbatasan maka peneliti menggunkan teknik pengambilan
sampel. Tujuannya agar penulis dalam mengambil subjek
bukan didasarkan atas strata, random atau daerah, tetapi
didasarkan atas adanya tujuan penelitian.
Berdasarkan penjelasan diatas sampel dalam penelitian ini
adalah :
Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 tanpa komplikasi di Salah satu Puskesmas di
Kota Madiun yaitu Puskesmas Oro Oro Ombo dengan Kriteria terntentu yang
telah di tentukan peneliti :

- Penderita DM Tipe 2 tnpa komplikasi

- Usia 40-70 tahun

- Memiliki latar belakang min SMA dan bukan bidang kesehatan

- Kriteria Ekslusi :

- Diabetes gestasional

- Responden yang tidak mengikuti kegiatan secara menyeluruh

4.4 3 Besar Sampel

4.4.4 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan Sampel pada penelitian ini adalah Tidak
secara acak atau Non random diambil dengan purpose sampling .
Pertama dilakukan pemilihan terhadap Penderita Diabetes Melitus
Tipe 2 tanpa Komplikasi di Puskesmas Oro Oro Ombo kemudian
dari daftar tersebut ditentukan dengan criteria yang telah dibuat oleh
peneliti
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Variabel Terikat/ dependen
Variabel Terikat dalam Penelitian ini adalah Keberhasilan Terapi melalui
Home Pharmacy Care yang ditandai jika penderita memiliki nilai Kadar Gula
sesaatnya normal .
4.5.2 Variabel Bebas/ Independen
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Peningkatan pengetahuan kepada
penderita DM Tipe 2 .
4.5.2 Variabel Intervening
Variabel Intervening dalam penelitian ini adalah Materi Home Pharmacy
Care .
4.6 Kerangka Operasional
-
4.7 Definisi Operasional, dan Cara Pengukuran Variabel

No Variabel Definisi Operasional Pengukuran Kategori Skala


1. Variabel Terikat
1 Keberhasilan Terapi Gula darah Dengan alat tes 1. Normal
sesaat penderita gula darah 2. Tidak Nomal
DM normal
3. Variabel Bebas
1 Pasien DM Tipe 2 Di Puskesmas Oro Data Diperoleh 1. Tidak Nominal
Tanpa komplikasi di Oro Ombo dengan dari Puskesmas 2. Ya
Kota Madiun pasien DM Tipe 2 Oro Oro Ombo
3. Variabel Intervening
1 Materi Dilakukan di Pre test dan 1.Meningkat Ordinal
Home Pharmacy Puskesmas Oro oro
Post Test kan pengetahuan
Care Ombo 2.Tidak
berpengaruh

DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. 2012. Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus. Diabetes Care volume 35 Supplement 1 : 64-
71.
Arnold P, Scheurer D, Dake AW, et al. Hospital Guidelines for Diabetes
Management and the Joint Commission-American Diabetes
Association Inpatient Diabetes Certification. Am J Med Sci
2016;351:333–341

Cefalu, William T., Bakris, George., Blonde, Lawrence., et al. American


Diabetes Association, Standards of Medical Care In Diabetes-
2017. The Journal of Clinical and Applied Research and Education
volume 40 supplement 1, 2017; 512-513

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care


Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik IndonesiaDirektorat Bina Farmasi Komunitas Dan
Klinik. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta : Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan
Dipiro, Cecily V., Barbara G. Wells, Joseph T DiPiro, and Terry L.
Schwinghammer. 2015. Pharmacotherapy Handbook 9th Ed.
United States: McGraw-Hill Education.
Dipiro, J.T, Talbert, R.L, Yee, G.C, Matzke G.R, Wells, B.G, Posey

L.M. 2009. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 7th


Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Draznin B, Gilden J, Golden SH, et al.; PRIDE investigators. Pathways


to quality inpatient man- agement of hyperglycemia and diabetes: a
call to action. Diabetes Care 2013;36:1807–1814

Gillaizeau F, Chan E, Trinquart L, et al. Com- puterized advice on drug


dosage to improve prescribing practice. Cochrane Database Syst
Rev 2013;11:CD002894
Homenta, Heriyannis dr. 2012. Diabetes Mellitus Tipe 1. The seventh
report of the Joint National Committee on prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure. Hypertension,
42:1206-52.
Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 (IONI 2000). Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Departeman Kesehatan
Republik
Indonesia, 2000WHO. 1999. Definition, Diagnosis and
Classification of Diabetes Mellitus and its Complications. Report
of a WHO ConsultationPart 1: Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus.

MIMS. 2012. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT. Bhuana


Ilmu Populer (Kelompok Gramedia)

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengendalian dan


Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI.
Jakarta. 2015
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk Praktis: Terapi Insulin
Pada Pasien Diabetes Melitus, PB. PERKENI. Jakarta. 2015
Price Sylvia Anderson, 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, EGC, Jakarta.

Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Jakarta:


Leskonfi. Sukandar E.Y., Andarjati R., Sigit J.I., Adyana I.K., Setiadi
A.A.P., Kusnandar.

2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI.


Tandra, hans. (2008). Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang
Diabetes. PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.

Umpierrez GE,ReyesD,SmileyD,etal.Hospital discharge algorithm based


on admission HbA1c for the management of patients with type 2
di- abetes. Diabetes Care 2014;37:2934–2939

Anda mungkin juga menyukai