Tentang :
Disusun Oleh :
FIKANA IMROATUS SHOLIKAH / 1704101013
Dosen Pembimbing :
PURI RATNA KARTINI, S.KM.,M.EPID
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................2
B. Kajian Masalah...................................................................................4
C. Rumusan Masalah...............................................................................5
D. Tujuan Penelitian................................................................................5
E. Manfaat Penelitian..............................................................................5
A. Jenis Penelitian.....................................................................................
B. Rancang Bangun Penelitian..................................................................
C. Waktu dan Lokasi Penelitian................................................................
D. Populasi dan Sampel Penelitian............................................................
E. Variabel Penelitian................................................................................
F. Definisi Operasional dan Cara Pengukuran Variabel Penelitian..........
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diabetes Mellitus menurut Fauci et al.(2008) dan Whitney et al.
(2008) merujuk pada ketidaksesuaian metabolisme yang ditandai oleh
kenaikan konsentrasi gula darah dan ketidaksusaian metabolisme insulin.
Pada tahun 2013, WHO merilis fakta penting mengenai diabetes mellitus,
yaitu 347 juta orang di seluruh dunia mengidap diabetes mellitus dengan
estimasi glukosa puasa ≥ 7.0 mmol / L atau sedang dalam pengobatan.
Berdasarkan data IDF pada tahun 2013, Indonesia menduduki peringkat
ke-7 dunia dari 10 besar negara dengan diabetes mellitus tertinggi.
Populasi penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2013
mencapai 5,8% atau sekitar 8,5 juta penduduk dengan rentang usia 20-79
tahun. Proporsi jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia pada
tahun 2013 masih didominasi oleh kaum perempuan dengan total sebesar
4,9 juta penderita atau lebih besar daripada kaum laki-laki yakni sebesar
3,6 juta penderita. Diperkirakan pada tahun 2035 dengan asumsi tanpa
adanya perbaikan, angka diabetes mellitus di Indonesia akan meningkat
sebesar 165% pada masing-masing gender. Hal ini sangat
memprihatinkan karena diabetes mellitus dapat meningkatkan resiko
penyakit kardiovaskuler yang akan menyebabkan kematian (WHO 2013).
Paradigma pelayanan kefarmasian saat ini telah meluas dari
pelayanan yang hanya berorientasi pada obat menjadi pelayanan yang
berorientasi pada pasien (Depkes RI, 2008). Salah satu aspek pelayanan
kefarmasian yang berorientasi pada pasien dan dapat diterapkan oleh
apoteker adalah pemberianhome care (Depkes RI, 2008). Apoteker
melalui home care diharapkan dapat memberikan suatu pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah untuk memantau efikasi
terapi, efek samping, interaksi obat, dan ketaatan pasien menggunakan
obat terutama pasien lanjut usia dan pasien dengan penyakit kronis
(Venturini et al., 2011).
3
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika
pankreas tidak dapat memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau
berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon kerja insulin secara efektif.
Prevalensi Dm menurut WHO pada tahun 2014 diperkirakan mencapai 9% dari
orang dewasa usia 18 tahun keatas dan 90% dari seluruh kasus DM merupakan
DM tipe 2 (WHO, 2015). Lebih dari 80% kematian akibat diabetes terjadi pada
masyarakat berpenghasilan rendah dan negara berkembang (WHO, 2014).
Indonesia menduduki rangking kelima jumlah penyandang DM terbanyak
dengan jumlah penderita sebanyak 9,1 juta (IDF, 2014) dengan prevalensi
jumlah penderita DM yang terdiagnosis dokter di Madiun 17.055 (DinKes
Madiun, 2018).
Pasien dengan penyakit kronis mempunyai kendala pada kepatuhan
minum obat. Penelitian Cramer (2004) menegaskan banyak pasien DM
mengambil obat dengan jumlah kurang dari yang ditentukan dan secara
keseluruhan tingkat kepatuhan penggunaan antidiabetik oral antara 36-93%.
Kondisi pengetahuan pasien, kondisi penyakit pasien, dan dukungan keluarga
dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan pasien dan akan berpengaruh pada
luaran klinik pasien (Morisky dan DiMatteo, 2011).
Penelitian menunjukkan bahwa edukasi oleh tenaga kesehatan dapat
mengubah perilaku pasien yang berperandalam meningkatkan kontrol gula
darah pasien (Norris et al., 2002). Home care meliputi pemberian konseling
yang bermanfaat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat dan
menekan angka kematian serta kerugian akibat penyakit DM baik dari segi
biaya maupun turunnya produktivitas pasien (Schnipperet al., 2006). Kepatuhan
pasien terhadap pengobatan sangat berperan dalam kontrol glukosa darah pasien
DM (Suppapitiporn et al., 2005). Kadar glukosa darah yang terkontrol dengan
baik dapat mengurangi risiko komplikasi akut maupun kronik (Mangesha,
2007).Pemberian konseling dalam home care akan mengurangi stres pasien
akibat DM dan terkontrolnya kadar glukosa darah pasien mendekati nilai yang
diharapkan serta pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup pasien
(Karlsen et al., 2004).
4
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian home
careoleh apoteker terhadap peningkatan kepatuhan, penurunan kadar GDSdan
peningkatan kualitas hidup pasien DM tipe 2.
5
Berbagai komplikasi penyakit yang dapat mengakibatkan kematian serta
banyaknya penderita penyakit Diabetes Melitus yang diperkirakan meningkat,
1.3 Rumusan Masalah
BerdasarkanLatar belakang dan kajian masalah tersebut, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. apakah ada pengaruh yg signifikan peningkatan pengetahuan pasien dm
terhadap keberhasilan terapi obat?
2. Apakah ada pengaruh signifikan peningkatan pengetahuan melalui home
pharmacy care ?
3. Apakah home care memediasi antara peningkatan dengan keberhasilan
terapi ?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh yg signifikan peningkatan pengetahuan
pasien dm terhadap keberhasilan terapi obat.
2. Untuk mengetahui pengaruh signifikan home care terhadap keberhasilan
terapi obat.
3. Untuk mengetahui bahwa home care memediasi antara peningkatan
dengan keberhasilan terapi.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah dan
mengembangkan wawasan ilmu kefarmasian secara umu dan pengobatan rasinal
pada diabetes mellitus secara khusus, serta melengkapi informasi guna penelitian
yang lebih mendalam tentang peningkatan pengetahuan penderita diabetes
mellitus .
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan
bagi praktisi kesehatan, terutama dalam meningkatkan pengetahuan penderita
diabetes melotus guna mencapai keberhasilan terapi di Kota Madiun.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 DEFINISI
1.2 PATOFISIOLOGI
7
insulin, glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk
dirubah menjadi tenaga. Karena tidak bisa diserap oleh insulin, glukosa
ini terjebak dalam darah dan kadar glukosa dalam darah menjadi naik
(Homenta, 2012).
8
kehilangan kalori (Price Sylvia Anderson 2005). Selain itu, menurut
Hans Tandra (2008), manifestasi klinis Diabetes Melitus yaitu:
1. Berat Badan Turun
Glukosa darah yang tinggi akan menarik pula cairan dari dalam
lensa mata sehingga lensa menjadi tipis. Mata seseorang pun
mengalami kesulitan untuk fokus dan penglihatan jadi kabur.
Apabila seseorang bisa mengontrol glukosa darah dengan baik,
penglihatan bisa membaik karena lensa kembali normal.
4. Luka yang sukar sembuh
9
c. kerusakan saraf dan luka yang tidak terasa menyebabkan
penderita diabetes tidak menaruh perhatian pada luka dan
membiarkannya makin membusuk.
5. Rasa kesemutan
10
2 jam plasma glukosa atau 2-h plasma glucose (2-h PG) setelah tes
toleransi glukosa 75 gram atau oral glucose tolerance test (OGTT) atau
kriteria A1C (Umpierrez et al., 2014).
FPG, 2-hPG setelah 75-g OGTT dan A1C sesuai untuk pengujian
diagnostik, akan tetapi tidak semua individu perlu dilakukan test
tersebut. Efikasi dari intervensi untuk pencegahan diabetes tipe 2
terutama telah ditunjukkan pada individu dengan toleransi glukosa
terganggu atau impaired glucose tolerance (IGT), tidak untuk individu
dengan isolated impaired fasting glucose (IFG) atau pasien prediabetes
berdasarkan A1C (Cefalu et al., 2017)
11
diabetes. Kesesuaian antara FPG dan PG 2-jam tidak selalu
sesuai, sama halnya antara A1C dan tes glukosa. Sejumlah
penelitian telah mengungkapkan bahwa, dibandingkan dengan
FPG dan A1C, nilai PG 2-jam mendiagnosis lebih banyak
penderita diabetes (Cefalu et al., 2017)
2. A1C
12
glukosa sama. Meskipun ada beberapa data yang saling
bertentangan, orang Afrika Amerika mungkin juga memiliki
kadar albumin fruktosamin dan albumin yang lebih tinggi dan
kadar 1,5- anhidroglukitol lebih rendah, menunjukkan bahwa
muatan glikemiknya (terutama secara postprandial) mungkin
lebih tinggi. Asosiasi A1C dengan risiko komplikasi tampak
serupa di Afrika, Amerika dan kulit putih non- Hispanik (Draznin
et al., 2013 dan Arnold et al., 2016).
5. Hemoglobinopathies/Red Blood Cell Turnover
13
mungkin memiliki kadar A1C yang lebih tinggi daripada orang
kulit putih non-Hispanik meskipun kadar glukosa puasa dan total
glukosa sama. Meskipun ada beberapa data yang saling
bertentangan, orang Afrika Amerika mungkin juga memiliki
kadar albumin fruktosamin dan albumin yang lebih tinggi dan
kadar 1,5- anhidroglukitol lebih rendah, menunjukkan bahwa
muatan glikemiknya (terutama secara postprandial) mungkin
lebih tinggi. Asosiasi A1C dengan risiko komplikasi tampak
serupa di Afrika, Amerika dan kulit putih non- Hispanik (Draznin
et al., 2013 dan Arnold et al., 2016).
8. Hemoglobinopathies/Red Blood Cell Turnover
Karbohidrat : 60-70%
Protein : 10-15%
Lemak : 20-25%
14
RI, 2005).
2. Olah Raga
15
Sulfonilurea
16
cukup baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah
diabsorpsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel.
Dalam plasma sebagian terikat pada protein plasma
terutama albumin (70-90%).
Efek samping obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya rendah,
antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan
syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare,
sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala.
Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung,
ataksia dan lain sebagainya. Gejala hematologik termasuk
leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan anemia
aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida
dapat meningkatkan ADH (Antidiuretik Hormon).
Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau
diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal
atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-
obat hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang.
Banyak obat yang dapat berinteraksi dengan obat-obat
sulfonilurea, sehingga risiko terjadinya hipoglikemia harus
diwaspadai. Obat atau senyawasenyawa yang dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat-
obat hipoglikemik sulfonilurea antara lain: alkohol, insulin,
fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon,
oksifenbutazon, probenezida, dikumarol, kloramfenikol,
penghambat MAO (Mono Amin Oksigenase), guanetidin,
steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat.
17
insufisiensi ginjal. Untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal masih dapat digunakan glikuidon, gliklazida, atau
tolbutamida yang kerjanya singkat.
Wanita hamil dan menyusui, porfiria, dan ketoasidosis
merupakan kontra indikasi bagi sulfonilurea.
Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada
penderita diabetes yuvenil, penderita yang kebutuhan
insulinnya tidak stabil, dan diabetes melitus berat.
Obat-obat golongan sulfonilurea cenderung
meningkatkan berat badan. Ada beberapa senyawa obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea yang saat ini.
Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea generasi
pertama yang dipasarkan sebelum 1984 dan sekarang
sudah hampir tidak dipergunakan lagi antara lain
asetoheksamida, klorpropamida, tolazamida dan
tolbutamida. Yang saat ini beredar adalah obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea generasi kedua
yang dipasarkan setelah 1984, antara lain gliburida
(glibenklamida), glipizida, glikazida, glimepirida, dan
glikuidon. Senyawa-senyawa ini umumnya tidak terlalu
berbeda efektivitasnya, namun berbeda dalam
farmakokinetikanya, yang harus dipertimbangkan
dengan cermat dalam pemilihan obat yang cocok untuk
masing-masing pasien dikaitkan dengan kondisi
kesehatan dan terapi lain yang tengah dijalani pasien
(DEPKES RI, 2005).
18
yang poten sehingga pasien perlu
(Glibenklamida) diingatkan untuk melakukan jadwal
makan yang ketat. Gliburida
dimetabolisme dalam hati, hanya
25% metabolit diekskresi melalui
ginjal, sebagian besar diekskresi
melalui empedu dan dikeluarkan
Contoh Sediaan: bersama tinja. Gliburida efektif
dengan pemberian dosis tunggal.
Glibenclamide (generik) Bila pemberian dihentikan, obat akan
bersih keluar dari serum setelah 36
Abenon (Heroic)
jam. Diperkirakan mempunyai efek
Clamega (Emba Megafarma) terhadap agregasi trombosit. Dalam
Condiabet (Armoxindo) batas-batas tertentu masih dapat
diberikan pada beberapa pasien
Daonil (Aventis)
dengan kelainan fungsi hati dan
Diacella (Rocella) ginjal.
Euglucon (Boehringer
Mannheim, Phapros)
Fimediab (First Medipharma)
Glidanil (Mersi)
Gluconic (Nicholas)
Glimel (Merck)
Latibet (Ifars)
Prodiabet (Bernofarm)
Prodiamel (Corsa)
Renabetic (Fahrenheit)
19
Semi Euglucon (Phapros,
Boeh. Mannheim)
Tiabet (Tunggal IA)
Glibet (Dankos)
20
Glidabet (Kalbe Farma)
Glumeco (Mecosin)
Gored (Bernofarm)
Linodiab (Pyridam)
Nufamicron (Nufarindo)
Pedab (Otto)
Zibet (Meprofarm)
21
(Boehringer Ingelheim) diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati dan ginjal yang
agak berat
Glinid
22
Metformin meningkatkan sensitivitas insulin dari hati dan
jaringan perifer (otot) untuk meningkatkan penyerapan
glukosa. Hal ini mengurangi tingkat A1C 1,5% menjadi 2%,
tingkat FPG 60 sampai 80 mg / dL (3,3-4,4 mmol / L), dan
mempertahankan kemampuan untuk mengurangi tingkat FPG
sangat tinggi yaitu (> 300 mg / dL atau> 16,7 mmol / L).
Metformin mengurangi trigliserida plasma dan low-densit
23
b. Metformin lepas lambat (Glucophage XR) bisa dimulai
dengan 500 mg dengan makanan sore hari dan
ditingkatkan 500 mg tiap minggu sampai total 2000
mg/hari. Jika kontrol suboptimal bisa didapat dengan
dosis sekali sehari pada dosis maksimum, bisa diberikan
dosis 100 mg dua kali sehari.
Tiazolidindion (TZD)
24
tulang, dan sedikit peningkatan risiko kanker kandung kemih.
a. Pioglitazone (Actos): dimulai dengan dosis 15 mg per oral
sekali sehari; dosis maksimum 45 mg / hari.
b. Rosiglitazone (Avandia): dimulai dengan dosis 2 sampai 4
mg oral sekali sehari; dosis maksimum 8 mg / hari dan
dosis 4 mg dua kali sehari dapat mengurangi A1C sebesar
0,2% hingga 0,3% lebih atau 8 mg diminum sekali sehari.
25
makanan untuk menghambat aktivitas enzim.
26
Penurunan untuk 12,5 mg sehari ketika ClCr kurang dari
60 mL / menit dan 6,25 mg ketika ClCr kurang dari 30
mL / menit.
27
Tabel 1. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia
di Indonesia
Efek Penurunan
Golongan Cara Kerja Utama Samping
Obat Utama HbA1c
hipoglikemia
KLL
hipoglikemia
Menekan Dispepsia,
produksi diare,
glukosa hati &
Metformin 1,0-2,0%
menambah sensitifitas
terhadap insulin
asidosis laktat
Alfa- lembek
Glukosidase
Menambah sensitifitas
Tiazolidindion terhadap insulin Edema 0,5-1,4%
Meningkatkan sekresi
28
Penghambat insulin,
menghambat sekresi
Sebah, 0,5-0,8%
glukagon
muntah
DPP-IV
Nenghambat
Penghambat reabsorpsi glukosa di
(PERKENI,2015)
A. Insulin
29
melalui peredaran darah.
Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah
membantu transpor glukosa dari darah ke dalam sel.
Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak
dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya,
glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh
kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat
memproduksi energi sebagaimana seharusnya.
Disamping fungsinya membantu transport glukosa
masuk ke dalam sel, insulin mempunyai pengaruh yang
sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme
karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme protein dan
mineral.insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan
lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk
ke dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam
modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu
sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan
pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas pada
berbagai organ dan jaringan tubuh.
Prinsip Terapi Insulin
Indikasi
30
membutuhkan terapi insulin, apabila diet saja tidak
dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
Ketoasidosis diabetik
31
penyuntikannya ditentukan secara individual, bahkan
seringkali memerlukan penyesuaian dosis terlebih dahulu.
Umumnya, pada tahap awal diberikan sediaan insulin
dengan kerja sedang, kemudian ditambahkan insulin
dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah
makan. Insulin kerja singkat diberikan sebelum makan,
sedangkan Insulin kerja sedang umumnya diberikan satu
atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan subkutan.
Namun, karena tidak mudah bagi penderita untuk
mencampurnya sendiri, maka tersedia sediaan campuran
tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja
sedang (NPH).
Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6
menit, tetapi memanjang pada penderita diabetes yang
membentuk antibodi terhadap insulin. Insulin
dimetabolisme terutama di hati, ginjal dan otot. Gangguan
fungsi ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar insulin
di dalam darah (IONI, 2000).
Tabel 3. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja
(PERKENI, 2015)
Punca Lama
Jenis Insulin Awitan Kemasan
k
(onset)
Efek Kerja
Insulin Lispro
(Humalog®)
Pen/cartridge
Insulin Aspart
Pen, vial
(Novorapid®)
32
Pen
Insulin Glulisin 5-15 menit 1-2 jam 4-6 jam
(Apidra®)
Kerja Pendek (Short-Acting) (Insulin Manusia, Insulin Reguler )
Humulin®
R Vial,
Actrapid® 30-60 2-4 jam 6-8 jam pen/cartridge
Sansulin® menit
Humulin N®
Insulatard® Vial,
Insuman Basal® pen/cartridge
1,5–4 jam 4-10 jam 8-12 jam
Insulin Glargine
Hampir
(Lantus®) 1–3 jam tanpa
Pen
Insulin 12-24
puncak
Detemir jam
(Levemir®)
Kerja Ultra Panjang (Ultra Long-Acting)
(Insulin Analog)
Hampir Sampa
33
Degludec (Tresiba®)* 30-60 tanpa i 48
menit
puncak jam
70/30 Novomix®
(70%
NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro. Nama
obat disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia. [Dimodifikasi dari
Mooradian et al. Ann Intern Med. 2006;145:125- 34].
34
4) Terapi Kombinasi
35
1.1 EVALUASI HASIL TERAPI
36
diperlukan.
Pantau pasien yang menerima insulin sebelum tidur untuk
hipoglikemia dengan menanyakan adanya keringat pada malam hari,
palpitasi, mimpi buruk, serta hasil SMBG.
Untuk pasien dengan DM tipe 2, dapatkan urinalisis rutin saat
didiagnosis sebagai tes skrining awal untuk albuminuria. Jika positif, tes
urine 24 jam dapat digunakan sebagai penilaian kuantitatif yang
membantu dalam mengembangkan rencana perawatan. Jika urinalisis
negatif untuk protein, tes untuk mengevaluasi keberadaan
mikroalbuminuria dianjurkan.
Dapatkan profil lipid pada setiap tindak lanjut kunjungan jika tidak
pada sasaran, setiap tahun jika stabil dan sesuai sasaran, atau setiap 2
tahun jika profil tersebut menunjukkan risiko rendah.
Lakukan dan catat ujian kaki biasa (setiap kunjungan), penilaian
albumin urin (setiap tahun), dan pemeriksaan mata yang meluas (tahunan
atau lebih sering bila disertai dengan kelainan).
Memberikan vaksin influenza tahunan dan menilai pemberian
vaksin pneumokokus dan vaksin hepatitis B bersamaan dengan
pengelolaan faktor risiko kardiovaskular lainnya (misalnya, merokok dan
terapi antiplatelet) (Dipiro et al., 2015).
37
BAB 3
(Y)
Peningkatan Pengetahuan
H2 H3
(Z) 1. Definisi
2. Gejala
3. Faktor Resiko
4. Kadar Gula Darah
5. Jenis Obat
6. Cra Penyuntikan Insulin
7. Penggunaan Obat Secara
rutin
8. Efek Samping
9. Makanan yang
diperbolehkan dan yang tidak
Keterangan :
3.2 Hipotesis
METODE PENELITIAN
Keterangan:
X : Pengetahuan Tentang DM
4.3 Waktu dan Lokasi Penelitian
4.4.1 Populasi
- Kriteria Ekslusi :
- Diabetes gestasional
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. 2012. Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus. Diabetes Care volume 35 Supplement 1 : 64-
71.
Arnold P, Scheurer D, Dake AW, et al. Hospital Guidelines for Diabetes
Management and the Joint Commission-American Diabetes
Association Inpatient Diabetes Certification. Am J Med Sci
2016;351:333–341