Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH BIOFARMASI

“PERJALANAN OBAT DALAM TUBUH SEDIAAN


SUSTAINED RELEASE”

Dosen :Prof.Dr. Teti Indrawati, M.Si.,Apt.

Disusun oleh :

Shofa Marwah (15334094)

Rahmi Yuni (17334006)

Ni Wayan Dessy Puspha S. (17334007)

Rohemah (19334701)

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

2019

1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT karena


berkat rahmat dan karunia-nya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah
Biofarmasi yang membahas tentang Tablet Sustained Release. Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada dosen mata kuliah Biofarmasi yaitu Prof.Dr. Teti Indrawati, M.Si.,Apt.
yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah ini dengan
baik.

Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami mohon kritik serta saran yang membangun demi perbaikan di masa
depan. Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam tugas ini terdapat
kekurangan-kekurangan baik dari segi lainnya. Untuk itu kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Jakarta, Desember 2019

Penyusun

Kelompok I

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1
I.1. Latar Belakang...................................................................................................1
I.2. Rumusan Masalah..............................................................................................2
I.3. Tujuan ...............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................3
II.1. Anataomi dan Fisiologi Saluran Cerna.............................................................3
II.2. Mekanisme Pelepasan Sediaan Sustained Release...........................................5
II.3. Proses Liberasi, Adsobsi, Distribusi, dan Metabolisme...................................7
II.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi LADME................................................10
II.5. Evaluasi Sediann Tablet Sustained Release...................................................18
II.6. Kriteria Sediaan Yang Baik Tablet Susteined Release...................................22
BAB III PEMBAHASAN.............................................................................................23
BAB IV PENUTUP......................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................30

ii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Dalam beberapa tahun ini telah banyak terjadi perkembangan pengobatan penyakit
diberikan dengan berbagai bentuk sediaan obat diantaranya adalah dengan sediaan tablet.
Kebanyakan pada sebagian besar produksi obat diformulasi dengan pelepasan zat aktif yang
cepat, namun produk obat seperti ini tidak dapat mempertahankan kadar terapi obat dalam
darah dalam waktu yang panjang, oleh karena itu untuk mencapai dan mempertahankan
kadar terapi obat dalam darah dalam kurun waktu yang panjang diperlukan sistem
penghantaran obat beberapa kali sehari dalam satu unit dosis tunggal yang
menyebabkan frekuensi dalam mengkonsumsi obat juga berkurang.

Untuk mencapai sistem penghantaran obat tersebut maka telah terjadi


perkembangan produksi obat dari sistem konvensional ke sistem penghantaran
termodifikasi. Diantara berbagai macam produk sediaan termodifikasi salah satunya yang
populer adalah sediaan lepas lambat (sustained release). Sediaan ini memiliki beberapa
keuntungan dibandingkan sediaan konvensional, diantaranya yaitu dapat mengendalikan
fluktuasi kadar obat dalam darah, dapat menghantarkan jumlah obat yang lebih tinggi,
memperkecil kemungkinan pasien lupa meminum obat, selain itu tablet lepas lambat
(sustained release) juga mengurangi efek samping karena kadar obat dalam darah lebih
sedikit yang memasuki rentang toksik sehingga dapat memberikan keuntungan
terapeutik tersendiri bagi pasien.

Sediaan obat lepas lambat (sustained release) merupakan sediaan obat dengan
pelepasan obat yang diperlambat, sediaan terbuat dapat berupa sediaan yang diberikan secara
oral, parenteral, rektal dan lain-lain. Kebanyakan bentuk lepas lambat (sustained release)
dirancang supaya pemakaian satu unit dosis tunggal menyajikan pelepasan sejumlah obat
segera setelah pemakaiannya, secara tepat menghasilkan efek terapeutik yang diinginkan
secara berangsur - angsur dan terus menerus melepaskan sejumlah obat lainnya selama
periode waktu yang diperpanjang biasanya 8 sampai 12 jam.

3
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaiman Anatomi, Fisiologi saluran cerna ?
2. Bagiamana sirkulasi dari pemberian obat sustained release?
3. Bagaimana Liberasi, Absorbsi, Distribusi dan Metabolisme ?
4. Bagaiman Faktor –faktor yang memepengaruhi Liberasi, Absorbsi, Distribusi, dan
Metabolisme?
5. Bagaimana Evaluasi dari Liberasi,Absorbsi, Distribusi, dan Metabolisme?

I.3 Tujuan
1. Memahami Anatomi, Fisiologi saluran cerna.
2. Memahami sirkulasi dari pemberian obat sediaan sustained release.
3. Memahami bagaimana Liberasi, Absorbsi,Distribusi dan Metabolisme
4. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi Liberasi, Absorbsi, Distribusi,dan
Metabolisme
5. Memahami evaluasi dari Liberasi, Absorbsi, Distribusi, dan Metabolisme

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi dan Fisiologi Saluran Pencernaan


Saluran cerna dimulai dari mulut (oral cavity), tenggorokan, kerongkongan(esofagus,
lambung (gaster atau stomach), usus halus, usus besar, rektum dan anus. Ada beberapa organ
yang fungsinya mengeluarkan enzim yang berguna untuk mencerna makanan. Organ-organ
tersebut letaknya di luar saluran pencernaan seperti pankreas, hati (liver), dan kandungan
empedu (gall bladder) anatomi saluran cerna dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Anatomi Tubuh Manusia

1. Mulut : mengandung sejumlah air liur berkisar 0,5-1 liter perhari dengan keasaman antara
6,7-7. Darah vena dari mulut menuju ke jantung kemudian ke hati. Vaskularisasi getah
bening berasal dari semua bagian mulut, pembuluh mencapai limfonoduli yang tersebar,
sehingga dapat membantu absorpsi dan ditribusi zat aktif tertentu.

2. Esofagus berupa tabung yang berotot panjangnya sekitar 25 cm dan diameternya 2 cm


dimulai dari belakang rongga mulut sampai ke lambung yang dibatasi oleh cardia lambung
dan sphincter pharingo-oesophagia yang membuka pada saat menelan selama 0,5-1 detik.
Dialiri oleh arteria esofagus dan pembuluh balik vena porta, bagian superior dialiri oleh
sistem vena cava superior.

5
3. lambung : normal orang dewasa merupakan kantong yang pada saat kosong memiliki
volume sekitar 1-1,5 liter, panjang 25 cm dan 10 cm dan dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
cardia atau kelenjar jantung, fundus atau gastrik , dan pilorus. Keasamaan cairan lambung
sangat bervariasi, dari 0,5- 9 sesuai dengan kandungan lambung. Sup lai darah di lambung
berasal dari arteri selika, debit darah ke lambung sekitar 250/menit. Sejalan dengan vena
darah arteri menuju hati melalui vena porta, dan pembuluh getah bening di saluran cerna
berasal dari jaringan submukosa dan subserosa.

4. Usus halus: merupakan lanjutan dari lambung yang terdiri atas duodenum, jejunum, dan
ileum yang bebas bergerak dengan diameter antar 2-3 cm dan panjang keseluruhan usus halus
antara 5-9 m (akan berkurang dengan adanya regangan otot yang melingkri peritoneum).
Duodenum relatif pendek (sekitar 12 jari) yang terdiri beberapa simpangan. Jejunum dan
ileum panjangnya sekitar 6m yang terbentuk atas 14-15 lipatan. Lapisan yang paling dalam
mukosa sangat berperan pada absorpsi obat. Mukosan usus halus berbentuk lipatan-lipatan
yang di sebut valvulae connvientes yang tingginya sekitar 0,75-1 mm dan selalu bergerak
sehingga luas perrmukaan mukosa menjadi besar sekitar 40-50m2.

5. Getah pankreas dikeluarkan sebanyak 500-1000 ml/24 jam yang mengandung enzim
proteolitik dalam bentuk tidak aktif yang menjadi aktif yang terdapat di usus adalah
amilase,lipase, kolesterol, esterase, enzim proteolitik, tripsin, kimotripsin,karboksi peptidase,
ribonuklease, dan deokinuklease.

6. Usus besar panjangnya 1,4 -1,8 m dengan diameter kearah distal yang semakin membesar,
bagian usus besar yang menaik (kolon asenden) panjangnya 15cm mulai dari sekum besar
dengan diamter 6 cm, bagian yang membesar dan usus bantu. Bagian melintang (transversal)
panjangnya 50cm dengan diameter 4-5 cm, bagian ini mulai dari sudut hepatik (fleksura
hepatika) menuju limpa (lien) yang sebagiannya menempel dilambung.

Obat yang yang diberikan peroral dalam berbagai bentuk baik bentuk cair.(larutan,
suspensi,emulsi)maupun bentuk padat (serbuk. Granul, kapsul, tablet, dan lain-lain), setelah
masuk ke dalam saluran cerna akan mengalami proses pelepasan, pelarutan, dan difusi
dengan cairan saluran cerna baru kemudian terjadi proses absorpsi.

6
II.2. Mekanisme Pelepasan Sediaan Sustained Release

II.3.1. Single unit


Menggunakan satu mekanisme dimana dalam sistem pelepasan obat dapat dilakukan
dengan cara :
1.Modifikasi Kimia
Jika suatu obat dibutuhkan dalam dosis yang terus menerus, maka masalah utama
adalah kelarutan. Jika bahan obat diabsobsi secara konsisten baik seluruhnya ataupun
sebagian melalui saluran gastrointestinal, maka dengan menurunkan kelarutan dari bahan
tersebut akan memperpanjang waktu melarut. Dengan cara ini obat akan diabsorbsi lebih
lambat dengan periode waktu yang panjang, dan efek terapeutik menjadi lebih panjang
dengan menggunakan derivat / turunan dari obat yang mempunyai daya larut lebih rendah.
Efek toksik dapat diturunkan serta memperpanjang masa kerja obat.

Gambar 2. Profil obat sustained


release dalam darah

TL = Toxic Limit

ThL= Therapy Limit

2. Tablet Erosi (Erosion Tablet)


Tablet erosi adalah tablet yang tidak hancur, tapi mengalami erosi / pengikisan pada
saat mengalami kontak dengan medium disolusi
3.Sistem Matriks (Matrix system)
Matriks merupakan sebuah bentuk dari campuran bahan obat, bahan tambahan, dan
polimer yang tercampur secara homogen dalam bentuk padat.Prinsip dasar matriks pertama
kali dikembangkan oleh Higuchi (1963).

7
4. Swellable Matrice (Hydrogel)
Hydrogel didefinisikan ‘jaringan polimer hidrofilik yang dapat menyerap molekul air
secara signifikan (> 20 % dari bobot kering) tanpa ikut melarut dan kehilangan bentuk /
strukturnya’. Polimer ini umumnya terdiri dari tipe tersambung silang, dimana swelling dapat
disebabkan oleh faktor lain seperti tekanan van der wall, kristalisasi, ikatan hidrogen, ataupun
ikatan ion.

Gambar 4. Prinsip mekanisme matriks


hydrogel

5.Tablet Mengapung (Floatable tablet)


Salah satu kendala yang timbul pada bentuk sustained release adalah waktu
pengosongan lambung. Hal ini berbeda dari satu pasien ke pasien yang lain, dari kondisi
orang yang berpuasa dan tidak berpuasa, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu maka dibuat
tablet yang dapat mengapung di dalam cairan lambung.
6.Tekanan Osmotik (Osmotic pump)
Prinsip tekanan osmotic dapat dilihat pada gambar 4.Inti tablet (core tablet) yang
mengandung bahan obat dan elektrolit (contoh; NaCl) dilapisi dengan film yang dapat
ditembus oleh molekul air (water permealbe) tetapi tidak larut dalam air. Pada bagian luar
tablet tersebut dibuat lubang dengan seksama (diameter tertentu) sampai lapisan film. Pada
saat kontak dengan cairan pelarut (contoh; air), cairan pelarut akan masuk ke dalam tablet
(dengan cara difusi pada awalnya melalui lubang yang dibuat).
Elektrolit dan obat akan terlarut dan membentuk larutan jenuh dan akan menghasilkan
tekanan osmotik yang akan mendorong obat keluar melalui lubang. Tekanan osmtoik ini
dipengaruhi oleh kelarutan elektrolit, ekivalensi ion, dan temperatur.

8
Gambar 5. Mekanisme tekanan osmotik

II.3.2. Multiple Unit.


Bentuk majemuk dari sustained dapat dilakukan dengan cara mikroenkapsulasi, dengan
mekanisme dari sistem matriks ganda, penyalutan molekul obat (film, campuran film), sistem
pompa osmotik ganda, dan tablet mikrokapsul.

II.3.3. Mucoadhesive System


Menggunakan prinsip dari bioadhesi untuk memaksimalkan pelepasan obat. Bioadhesi
merupakan peristiwa dimana jaringan biologis melekat pada pada jaringan lain yang meliputi
biologis dan non-biologis. Jika tempat terjadinya bioadhesi berada pada membrane mukosa,
maka disebut mucoadhesive. Produk lepas terkontrol memungkinkan lokalisasi obat pada
daerah saluran GI mucoadhesive yang dapat memperpanjang kontak obat dengan membran
absorbsi dan lokalisasi penghantaran obat ke organ target.
Dalam pemberian sistem pelepasan obat terkontrol beberapa hal menjadi pertimbangan
yang perlu diperhatikan.Hal ini meliputi rute pemberian obat, tipe pelepasan obat, penyakit
yang diderita, pasien, lama terapi, dan karakteristik obat. Faktor-faktor ini saling
berhubungan yang akan menentukan pemilihan untuk rute pemberian, formulasi dari
pelepasan obat, dan lama terapi. Karakteristik obat sangat penting kaitannya dengan
formulasi bentuk sediaan sustained release, sifat fisikokimia dan faktor biologi dari obat
merupakan hal yang sangat penting.

II.3. Proses Liberasi, Absorbsi,Distribusi dan Metabolisme


Proses yang dialami oleh obat mulai dari diberikan sampai pada bentuk terlarut dan
diabsopsi dikenal dengan fase biofarmasi. Obat dalam sirkulasi darah akan didistribusikan ke
seluruh tubuh serta mengalami proses metabolisme dan ekskresi. Proses distribusi,
metabolisme, dan ekskresi ini dikenal dengan fase disposisi atau fase penurunan kadar obat
dalam darah. Semua proses yang dialami obat mulai fase biofarmasi dan fase disposisi
dikenal dengan fase farmakokinetik berlangsung secara berkesinambungan.
A. Fase Biofarmasetika

9
Fase biofarmasetik tergantung pada banyak faktor yang belum jelas mekanismenya
terutama hal-hal yang menyangkut kefarmasian serta perbedaan fisiopatologis organ atau
jalur pemberian obat. Fase biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama yaitu
Liberasi (pelepasan), Disolusi (pelarutan) dan Absorpsi (Penyerapan), disingkat LDA.
a. Liberasi (Pelepasan)
Apabila seorang penderita menerima obat berarti ia mendapatkan zat aktif yang
diformulasi dalam bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu. Obat pada mulanya merupakan
depot zat aktif yang jika mencapai tempat penyerapan akan segera diserap (Drug delivery
system). Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan tergantung pada jalur
pemberian dan bentuk sediaan serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat
aktif dipengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis dan mekanis pada tempat pemasukan
obat, misalnya gerak peristaltik usus dan hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau
yang kenyal (tablet, suppositoria, dan lain-lain).
b. Disolusi (Pelarutan)
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua adalah pelarutan zat
aktif yang terjadi secara progresif yaitu pembentukan dispersi molekuler dalam air. Tahap
kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga
diterapkan pada obat-obatan yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak, tetapi
yang terjadi di sini adalah proses esktraksi (penyarian). Setelah pemberian sedian
larutan,dapat timbul endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat
perubahan pH dan endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi. Dengan demikian
pemberian sediaan larutan tidak selalu dapat mengakibatkan penyerapan yang segera.
c. Absorpsi (Penyerapan)
Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetik dan awal fase farmakokinetik, jadi
tahap ini benar-benar merupakan masuknya zat aktif dalam tubuh yang aturan-aturannya
ditengarai oleh pemahaman keteresediaanhayati. Penyerapan zat aktif tergantung pada
berbagai parameter, terutama sifat fisiko-kimia molekul obat. Absorpsi ini tergantung juga
pada tahap sebelumnya yaitu saat zat aktifnya berada dalam fase biofarmasetik. Dengan
demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari
sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat.
B. Fase Farmakokinetika
Fase farmakokinetik ini merupakan salah satu unsur penting yang menentukan profil
keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan yang selanjutnya menentukan aktivitas terapetik
obat.Secara skematis perjalanan obat dalam tubuh terdiri dari empat tahap yaitu : Absorpsi

10
(Penyerapan), Distribusi (Penyebaran), Metabolisme dan Ekskresi (Pengeluaran) yang
keseluruhannya membentuk sistem yang lebih dikenal dengan singkatan A.D.M.E.
a. Absorpsi (Penyerapan)
Absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat ke
dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik.
Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila molekul zat aktif berada dalam bentuk terlarut.

b. Distribusi (Penyebaran)
Setelah molekul zat aktif masuk ke dalam peredaran darah, maka selanjutnya zat aktif
tersebut akan disebarkan ke seluruh bagian tubuh, sama halnya dengan molekul lain dalam
fase aquous mampu menyaring secara ultra dan melewati sawar membran. Dalam
penyebarannya, secara kualitatif dan kuantitatif sifat fisiko-kimia zat aktif sangat menentukan
afinitasnya, sedangkan peredaran darah yang menyebar ke seluruh jaringan tubuh
menunjukkan jalur penyebarannya.
Tahap ini merupakan ciri khusus dari suatu zat aktif yang masuk ke dalam tubuh pada
kondisi tertentu. Tahap penyebaran ini sangat peka terhadap berbagai pengaruh yang terkait
dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi sesudahnya yaitu peniadaan, serta terkait
pula dengan komposisi biokimia serta keadaan fisio-patologi subjeknya, di samping itu perlu
diingat kemungkinan adanya interaksi dengan molekul lainnya, kecuali interaksi dengan zat
aktif lain atau perubahan proses diatas, maka semua pengaruh yang mengubah aktivitas
terapik dapat berpengaruh pada tahap penyebaran.
Seperti pada setiap tahap sistem A.D.M.E. maka tahap penyebaran zat aktif merupakan
fenomena dinamik yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan penurunan kadar zat aktif
(kecuali jika terjadi proses keseimbangan semu akibat pemberian obat terus menerus).
Pengertian akumulasi atau penimbunan, terutama penimbunan bahan toksik harus dijajagi
dari sudut pandang dinamik, maksudnya melihat perbedaan antara kecepatan masuk dan
kecepatan keluar. Sebenarnya penimbunan bahan toksik merupakan efek racun atau hasil
fatal sebagai akibat lambat atau sangat lambatnya laju pengeluaran dibandingkan laju
penyerapan. Pengertian keadaan tunak atau keadaan seimbang dalam farmakokinetik, berarti
laju penyerapan sama dengan laju peniadaan.
c. Metabolisme dan Ekskresi (Pengeluaran)
Adanya molekul asing di dalam tubuh akan memaksa organ tubuh agar melenyapkan
molekul asing tersebut. Pengeluaran molekul zat aktif yang tidak berubah merupakan proses
peniadaan melalui jalan keluar tubuh yaitu melalui saluran seperti halnya molekul endogen.

11
Ginjal dan air kemih merupakan sistem pengeluaran yang klasik, tetapi harus diingat peranan
pengeluaran dengan feses (baik secara langsung atau melalui empedu), juga jangan dilupakan
peranan khusus paru, kulit (keringat dan penggantian kulit) serta peranan kelenjar susu dan
air susu. Detoksifikasi metabolik, yaitu perubahanhayati zat aktif dengan proses enzimatik
dari zat aktif yang selanjutnya dikeluarkan, merupakan proses peniadaan global. Metabolisme
terjadi secara kimiawi dan kinetik metabolisme dan kinetik pengeluarannya merupakan
kinetik peniadaan.

Berdasarkan skema fase yang dilamani obat, perjalanan obat sediaan tablet sustained
release itu adalah dimana tablet sustained releas akan pecah (liberasi) secara perlahan dalam
saluran cerna dalam waktu hanya 12 jam. Lalu zat aktif akan berdifusi kepermukaan dan
terlarut dari bentuk sediaan hingga membentuk larutan obat yang akan berikatan dengan
reseptor ditempat kerja.

II.4. Faktor Yang Mempengaruhi LADME


Fasa Farmakokinetika dalah fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke organ
yang ditentukan, setelah obat dilepas dari bentuk sediaan. Obat harus di absorbsi ke dalam
darah, yang akan segera di distribusikan melalui tiap-tiap jaringan dalam tubuh. Dalam
darah obat dapat mengikat protein darah dan mengalami metabolisme, terutama dalam
melintasi hepar (hati). Meskipun obat akan didistribusikan melalui badan, tetapi hanya sedikit
yang tersedia untuk diikat pada struktur yang telah ditentukan.

12
Skema Farmakonetik

A. Absorpsi
Absorpsi adalah transfer suatu obat dari tempat pemberian ke dalam aliran darah.
Kecepatan dan efesiensi absorbsi tergantung pada cara pemberian. Untuk intravena, absorbs
sempurna yaitu dosis total obat seluruhnya mencapai sirkulasi sistemik. Proses absorbsi
sangat penting dalam menentukan efek obat. Pada umumnya obat yang tidak diabsobsi tidak
menimbulkan efek, kecuali antasida dan obat yang bekerja local. Proses absorbs terjadi
diberbagai tempat pemberian obat, seperti saluran cerna, otot, rangka, paru-paru, kulit dan
sebagainya. Transfer obat dari saluran cerna tergantung pada sifat-sifat kimianya, obat-obat
bisa diabsorbsi dari saluran cernasecara difusi pasif atau transport aktif.
Absorpsi dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain :
1. Kelarutan obat

13
Agar dapat diabsorpsi, obat harus dalam larutan. Obat yang diberikan dalam larutan akan
lebih cepat diabsorbsi daripada yang harus larut dulu dalam cairan tubuh sebelum
diabsorbsi. Obat yang sukar sekali larut akan sukar diabsorbsi pada saluran
gastrointestinal.
2. Kemampuan difusi melalui sel membrane
Semakin mudah terjadi difusi dan makin cepat melintasi sel membrane, makin cepat obat
diaborbsi.
3. Kosentrasi obat
Semakin tinggi kosentrasi obat dalam larutan, makin cepat diabsorbsi.
4. Sirkulasi pada letak absorpsi
Jika tempat absorpsi mempunyai banyak pembuluh darah, maka absorpsi obat akan lebih
cepat dan lebih banyak. Misalnya pada injekasi anestesi local ditambah adrenalin yang
dapat menyebabkan vasokonstriksi, dimaksudkan agar absorbs obat diperlambat dan
efeknya lama.
5. Luas permukaan kontak obat
Obat lebih cepat diabsorbsi olehi bagian tubuh yang mempunyai luas permukaan yang
besar, misalnya endetarium paru-paru, mokusa usus, dan usus halus.
6. Bentuk sediaan cair
Kecepatan absorbs obat tergantung pada kecepatan pelepasan obat dari bahan
pembawanya. Urutan kecepatan obat dari bentik peroral sebagai berikut : larutan dalam air
– serbuk - kapsul - tablet bersalut gula - tablet bersalut enteric.
Beberapa hal sebagai contoh dimana bentuk obat mempengaruhi absorbsi :
 Absorbsi obat dapat diperpanjang dengan penggunaan bentuk obat long-acting.
 Kecepatan absorbs injeksi dapat diturunkan dengan menggunakan suspense atau
emulsi, untuk obat yang sukar larut.
 Absorbs obat dapat dipercepat dengan memperkecil ukuran partikel.
 Jumlah dan sifat bahn pengikat serta bahan penghacur, tekanan tablet akan
mempenggaruhi absorbs obat dalam bentuk tablet,
7. Rute cara pemberian obat
Rute cara pemakaian obat bermacam-macam antara lain :
 Melalui mulut (oral)
 Melalui sublingual (dibawah lidah) atau buccal (antara gusi dan pipi)
 Melalui rectal

14
 Melalui parental
 Melalui endotel paru-paru
 Melalui kulit (efek local), topical
 Melalui urogenital (efek local)
 Melalui vaginal (efek local)

B. Distribusi
Obat setelah diabsorbsi akan tersebar melalui sirkulasi darah keseluruh badan. Dalam
peredarannya, kebanyakan obat-obat di distribusikan melalui membrane badan dengan cara
yang relative lebih muda dan lebih cepat dibanding dengan eliminasi atau pengeluaran obat.
Distribusi adalah proses suatu obat yang secara reversible meninggalkan aliran darah
dan masuk ke interstisium (cairan ekstrasel) dan/atau ke sel-sel jaringan. Pengiriman obat
dari plasma ke interstinum terutama tergantung pada aliran darah, permeabilitas kapiler,
derajat ikatan ion obat tersebut dengan protein plasma atau jaringan dan hidrofobisitas dari
obat tersebut.
Factor-faktor penting yang berhubungan dengan distribusi obat antara lain :
1. Perfusi darah melalui jaringan
Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi sangat luas.Perfusi yang tinggi
adalah pada daerah paru-paru, hati, ginjal, jantung, otak dan daerah yang perfusinya
rendah adalah lemak dan tulang.Sedangkan perfusi pada otot dan kulit adalah sedang.
Perubahan dalam aliran kecepatan darah (sakit jantung) akan mengubah perfusi organ
seperti hati, ginjal dan berpengaruh terhadap kecepatan eliminasi obat.
2. Kadar gradien, pH dan ikatan zat dengan makromolekul
Penetrasi obat tergantung pada luasnya kadar gradient, bentuk yang dapat berdifusi
bebas, factor seperti pH gradient dan ikatan pada konstituen intraseluler akan
mempengaruhi akumulasi dalam jaringan.
3. Partisi ke dalam lemak
Obat yang larut dalam lipid dapat mencapai kosentrasi yang tinggi dalam jaringan
lemak. Obat akan disimpan oleh larutan fisis dalam lemak netral. Jumlah lemak adalah
15% dari berat badan dan merupakan tempat penyimpanan untuk obat. Lemak juga
mempunyai peranan dalam membatasi efek senyawa yang kelarutannya dalam lemak
adalah tinggi dengan bekerja sebagai akseptor obat selama fase redistribusi.
4. Transfer aktif

15
Pemasukan ke dalam jaringan dapat juga terjadi dengan proses transport aktif.
Metadon, propanolol dan amfetamin diangkut ke dalam jaringan paru-paru oleh proses
aktif. Hal ini merupakan mekanisme yang penting untuk pemasukan obat tersebut yang
besar dalam paru-paru.
5. Sawar
Distribusi obat ke susunan syaraf pusat dan janin harus menembus sawar khusus yaitu
sawar darah otak dan sawar uri. Sawar darah otak, penetrasi obat dari peredaran darah ke
dalam ruang ekstraseluler susunan saraf sentral dan cairan cerebrospinal dibatasi atau
ditentukan oleh keadaan permukaan absorbs.

a. Ikatan obat dengan protein plasma


Factor yang penting dalam distribusi obat adalah ikatannya dengan protein plasma yang
merupakan makromolekul. Banyak obat terikat dengan protein di dalam plasma darah dan
jaringan lain. Umumnya ikatannya merupakan proses reversible dan akan berpengaruh
terhadap ketersediaan obat.

Protein yang terdapat dalam plasma dan mengadakan ikatan dengan obat adalah
albumin. Bentuk persamaan obat dengan protein dapat dituliskan sebagai berikut :

Obat + protein plasma kompleks obat-protein plasama

Ikatan senyawa kompleks obat tersebut akan berdisosiasi, hingga bentuk obat tersebut
dapat diekskresikan.

C. Metabolisme
Metabolisme sering disebut biotransformasi dan merupakan suatu istilah yang
menggambarkan metabolism obat. Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi
terlebih dahulu agar dapat dikeluarkan dari badan. Pada dasarnya tiap obat merupakan zat
asing yang tidak diinginkan oleh badan dan badan berusaha merombak zat tersebut menjadi
metabolit yang bersifat hidrofil agar lebih lancar diekskersikan melalui ginjal, jadi reaksi
biotransformasi yang merupakan peristiwa detoksifikasi.
Reaksi biotransformasi dapat berupa oksidasi, hidrolisa dan konjugasi. Biotransformasi
berlangsung terutama di hati, di saluran pencernaan, tetapi beberapa obat mengalami
biotransformasi di ginjal, plasma dan mukosa intestinal, meskipun secara kuantitatif letak
tersebut dipandang tidak penting,

16
Perubahan yang terjadi disebabkan oleh reaksi enzim dan digolongkan menjadi 2 fase,
yaitu fase pertama merupakan reaksi perubahan yang asintetik dan fase kedua merupakan
reaksi konjugasi.
Dalam metabolisme senyawa asli mengalami perubahan kimiawi dan dianggap sebagai
mekanisme eliminasi obat, meskipun masalah ekskresi metabolit tetap ada. Kebanyakan
metabolit mempunyai sifat partisi yang nyata berbeda dibanding dengan senyawa aslinya
terutama sifat lipofilnya menurun. Senyawa baru tersebut mudah diekskresikan karena tidak
segera diabsorbsi dari cairan tubuli ginjal. Metabolism dapat berpengaruh terhadap aktivitas
biologi dari obat dengan bermacam-macam cara. Kebanyakan aktivitas farmakologi dapat
menurun atau hilang setelah mengalami metabolism. Hal tersebut dapat digunakan untuk
menentukan lama maupun intensitas aksi obat. Pada beberapa obat yang disebut produk tidak
aktif secara biologi, tetapi metabolisme obat itu dapat mengaktifkan obatnya dalam hal ini
dimaksudkan agar tujuan terapi dapat tercapai.
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolism obat
1. Faktor genetic
Adanya variasi genetic yang mempengaruhi tingkat aktivitas enzim
akanmemberikan pula variasi dalam kecepatan metabolism obat. Variasi genetic ini
bisa dalam bentuk variasi enzim yang berperan penting dalam ikatan atau transport
obat.
2. Faktor umur dan jenis kelamin
Beberapa penelitian membuktikan adanya pengaruh kecepatan metabolism
obat karena pengaruh umur dan jenis kelamin. Pada orang tua (rata-rata 77 tahun)
waktu paruh antipirin dan phenilbutazon masing-masing 45% dan 29% lebih besar
dibanding control (rata-rata 26 tahun). Oleh Alvares ditunjukkan bahwa kecepatan
metabolism obat pada anak-anak hapir dua kali lebih besar dibanding orang
dewasa.Alasan yang dipakai untuk menjelaskan keadaan ini adalah adanya perbedaan
pada perbandingan berat hati terhadap berat badan. Pada anak-anak umur 2 tahun,
harga rasio ini (40-50%) lebih besar, sedang pada anak-anak umur 6 tahun 30% lebih
besar dibanding orang dewasa.
Walaupun pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolism baru
dilaporkan terjadi pada tikus, tetapi oleh O’ Malley ditunjukkan bahwa kecepatan
metabolism obat pada wanita lebih besar dibanding pria.
3. Faktor interaksi obat

17
Beberapa obat disebabkan oleh sifat lipofiliknya yang sangat tinggi, tidak saja
diterima oleh enzim pada tempat aktifnya tetapi secara tidak spesifik berikatan dengan
membrane lipofil pada reticulum endoplasma. Pada keadaan ini mereka dapat
menginduksi enim mikrosom, atau secara kompetitif dapat menghambat metabolism
obat lain yang diberikan bersama-sama. Hal ini dapat menyebabkan eek terapi suatu
obat menjadi menurun, atau menyebabkan efek toksik pada obat-obat dengan indeks
terapi yang sempit. Sebagai contoh pada orang yang rutin diberi barbiturate,
sedatihipnotik atau tranquilizer akan mempercepat metaolisme dari wartarin atau
dikumarol, sehingga dosis yang diperlukan menjadi lebih besar. Sebaiknnya
dikumarol menghambat metabolism dari tenitoin sehingga dapat menyebabkan efek
toksik seperti alaxia dan drowsiness.
4. Faktor penyakit
Penyakit-penyakit akut atau kronis yang mempengaruhi fungsi hati akan
mempengaruhi juga metabolism obat. Penyeki-penyakit seperti: hepatitis alkoholik,
cirrhosis alkoholik aktif atau inaktif, hemochromatis. Hepatitis kronis aktif, cirrhosis
empedu atau hepatitis akut karena virus dapat merusak enzim metabolic di hati
terutama microsomal oksidase, dan karena itu mempengaruhi juga eliminasi
obat.Sakit jantung juga dilaporkan menghambat metabolisme obat. Hal ini disebabkan
karena aliran ke hati terganggu, sehingga untuk obat-obat yang aliran darah
merupakan tahap penentu metabolismenya juga akan terhambat. Penyakit-penyakit
seperti kanker hati, sakit paru-paru, hipotiroid, malaria, skistosomiasis juga
menghambat aktivitas metabolism obat.
5. Faktor nutrisi
Oleh Anderson dan Mucklow ditunjukkan bahwa pada subjek yang
mengkonsumsi protein setiap harinya, waktu paruh antipirinnya lebih pendek
dibanding subjek vegetarian. Kecepatan metabolism obat juga dihambat pada keadaan
defisiensi vitamin A, riboflavin, asam askorbat, vitamin E, atau unsur-unsur seperti
kalsium, magnesium, seng serta tembaga.

D. Ekskresi
Organ yang paling penting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresikan dalam
struktur tidak berubah atau sebagai metabolit. Jalan lain yang utama adalah eliminasi obat
melalui system empedu masuk ke dalam usus kecil, obat atau metabolitnya dapat mengalami

18
reabsorbsi (siklus enterohepatik) dan eliminasi dalam feses (kotoran manusia). Jalur ekskresi
yang jumlah obat sedikit adalah melalui air ludah dan air susu merupakan suatu rute yang
menimbulkan masalah bagi bayi yang disusui. Zat yang menguap seperti gas anestesi berjalan
melalui epitel paru-paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang penting . ekskresi merupakan resultante dari 3 proses
antara lain :
a. Filtrasi di glumerolus
Glumerolus merupakan jaringan kapiler dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil
dari albumin melalui cela antara sel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat
protein plasma mengalami filtrasi disana.

b. Sekresi aktif di tubuli proksimal


Banyak obat diangkut melaui tubuli proksimal secara aktif ke dalam urine yang ada di
tubuli dan disebut sekresi tubuli aktif. Sekresi obat dapat ditunjukan bila kecepatan
pembuangan urine melebihi kecepatan filtrasi glomeruli.

c. Reabsorbsi pasif di tubuli proksimal dan distal


Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorbsi pasif untuk bentuk non ion. Oleh
karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorbsi ini bergantung pada pH
lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasi. Bila urine lebih basa, asam lemah terionisasi
lebih banyak sehingga reabsorbsinya berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat.
Sebaliknya bila urine lebih asam, ekskresi asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan
terjadi dalam ekskresi basa lemah.
Banyak metabolit obat yang berbentuk di hati di ekskresi ke dalam usus melalui
empedu, kemudian dibuang melalui feses, tetapi lebih sering diserap kembali di saluran cerna
dan akhirnya diekskresi melalui ginjal.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu dan rambut, tetapi
dalam jumlah yang relative kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.
Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu
Faktor-faktor yang mempengaruhi ekskresi obat dalam tubuh adalah :
1. Sifat Fisikokimia: BM, pKa, Kelarutan, Tekanan uap.
2. pH urin
3. Kondisi patologi
4. Aliran darah

19
5. Usia

II.6. Evaluasi Sediaan Tablet Sustained Release


Beragam metode dapat digunakan untuk menentukan ketersediaan hayati, misalnya
dengan menentukan konsentrasi obat dalam plasma darah, ekskresi obat melalui urin, efek
akut farmakodinamik, observasi klinik, dan studi pelepasan obat. Pengukuran konsentrasi
obat dalam darah, plasma, atau serum merupakan data yang paling objektif dan langsung
untuk menentukan ketersediaan hayati obat dalam peredaran darah.
Uji bioavailabilitas dilakukan dengan metode cross over design untuk meminimalkan
pengaruh variabilitas fisiologis hewan uji terhadap profil farmakokinetik dan bioavailabilitas
sediaan. Satu hewan coba mendapatkan perlakuan sediaan yang berbeda secara bergantian
setelah masa istirahat yang cukup selama 2 minggu.

1. Bioavailabilitas relatif tablet floating aspirin


Bioavailabilitas relatif adalah ketersediaan hayati suatu obat dari suatu produk
dibandingkan dengan produk standar yang disarankan. Sebagai produk pembanding
digunakan tablet salut enterik aspirin pada dosis yang sama 80 mg dan rute pemberian
secara oral. Kadar analit dalam plasma yang dipantau meliputi aspirin dan asam salisilat.
Pemantauan kadar asam salisilat sebagai metabolit utama diperlukan karena dalam sistem
biologis aspirin sangat mudah terhidrolisis. Setelah pemberian secara oral tablet floating,
kadar aspirin dalam darah sangat rendah. Oleh karena itu selain aspirin, asam salisilat juga
digunakan sebagai indikator bioavailabilitas tablet aspirin.

Tabel 2. Parameter AUC, Cpmaks, dan Tmaks tablet floating vs salut enterik
aspirin berdasar kadar aspirin dalam darah

Tabel 3. Parameter AUC, Cpmaks, dan Tmaks tablet floating vs salut enterik
aspirin berdasar kadar asam salisilat dalam darah

20
Berdasarkan data kadar aspirin, parameter bioavailabilitas tablet floating dan tablet
salut enterik tersaji pada Tabel 2. Meskipun nilai AUC kedua produk berbeda namun hasil
analisis statistik menunjukkan thitung = 0,637 < ttabel = 2,920. Artinya nilai AUC kedua
produk tidak berbeda bermakna.Berdasarkan parameter AUC maka perbedaan bentuk
sediaan tidak mempengaruhi secara bermakna bioavailabilitas aspirin kedua produk.
Demikian juga hasil uji t parameter Cpmaks menunjukkan bahwa kedua produk tidak
berbeda bermakna (thitung = 7,042 < ttabel = 2,290). Namun parameter Tmaks
menunjukkan nilai yang berbeda bermakna dengan thitung = 0,233 < ttabel = 2,290.
Meskipun parameter AUC dan Cpmaks kedua produk tidak berbeda, namun tablet
floating mempunyai Tmaks yang lebih pendek sehingga kadar obat dalam darah tercapai
lebih awal. Demikian halnya, evaluasi terhadap parameter bioavailabilitas menggunakan
kadar asam salisilat pada Tabel 3 menunjukkan AUC dan Cpmaks yang tidak berbeda
bermakna (p > 0,05). Namun tablet floating aspirin memberikan Tmaks yang lebih
pendek. Tablet floating aspirin mampu melepaskan segera zat aktif pada menit-menit
awal.Hal ini terjadi karena pengaruh komposisi eksipien dalam tablet. NaHCO3 bereaksi
dengan cairan lambung yang bersifat asam menghasilkan gas CO2. 15 Produksi gas CO2
mengakibatkan tablet cenderung cepat hancur sehingga pada menit-menit awal aspirin
dapat dilepaskan dengan segera ke dalam medium.16 Akibatnya penyerapan aspirin terjadi
lebih awal sehingga Tmaks tablet floating lebih pendek.

2. Profil farmakokinetik tablet floating aspirin


Profil farmakokinetik kedua produk tersaji pada Gambar 2 dan 3. Tablet floating
menunjukkan profil kadar aspirin yang lebih baik dibandingkan tablet salut enterik. Pada
20 menit pertama setelah pemberian secara oral tablet konvensional, aspirin merupakan
bentuk utama obat di dalam plasma. Setelah itu asam salisilat akan mendominasi sebagai
metabolit utama dalam darah. Bentuk tablet floating mampu mempertahankan bentuk utuh
aspirin dalam darah hingga menit ke-240.

21
Gambar 2. Contoh profil kadar aspirin dalam darah kelinci 2 tablet floating aspirin
dan tablet salut enterik yang diberikan secara oral

Gambar 3. Profil kadar asam salisilat dalam darah kelinci tablet floating aspirin dan
tablet aspirin salut enterik yang diberikan secara oral (n = 3)

22
Absorpsi aspirin dari tablet floating lebih baik dibandingkan tablet salut enterik.
Tablet floating mempunyai Tmaks aspirin lebih pendek dan absorpsi aspirin terjadi secara
kontinyu. Sementara itu, absorpsi aspirin tablet enterik terjadi secara fluktuatif. Hal ini
menunjukkan bahwa tablet floating mampu memperbaiki bioavailabilitas aspirin. Obat
dilepaskan secara perlahan-lahan di lambung, sebagian besar aspirin dalam bentuk
molekul utuh, sehingga absorpsi terjadi secara kontinyu dan kadar aspirin dalam darah
berada dalam durasi yang lebih lama. Kadar aspirin dan asam salisilat tablet floating mirip
profil farmakokinetik sediaan repeat action dengan puncak ganda (Gambar 2 dan 3).
Formulasi tablet floating mampu melepaskan obat dengan segera di awal waktu dan
kemudian pelepasan terjadi secara kontinyu dalam waktu tertentu. Tablet floating
mempunyai profil farmakokinetik yang ideal untuk sediaan sustained release. Sediaan
mampu memberikan konsentrasi obat pada tempat aksi secara cepat dan kemudian secara
konstan dipertahankan selama waktu yang diinginkan.
Profil farmakokinetik asam salisilat dari tablet salut enterik menunjukkan adanya
waktu tunda (lag time) pada proses absorpsi (Gambar 2). Asam salisilat berada dalam
darah setelah 180-240 menit.Tablet salut enterik dirancang untuk melepaskan obat di usus
halus. Pada pemberian tablet secara oral maka sediaan akan tinggal di lambung hingga
waktu pengosongan lambung. Setelah sampai di usus halus maka tablet akan hancur
karena pengaruh pH yang lebih tinggi sehingga obat dilepaskan dan diabsorpsi ke dalam
darah. Fenomena lag time pada fase absorpsi ini akan menunda onset obat. Selain itu
profil farmakokinetik tablet salut enterik juga menunjukkan kadar asam salisilat dalam
darah yang lebih tinggi dibandingkan tablet floating. Hal ini dapat berpotensi
menimbulkan efek samping yang lebih besar.

II.7. Kriteria Sediaan Yang Baik Tablet Sustained Release


Sistem pelepasan obat bentuk sediaan sustained release memberikan konsentrasi obat
dalam plasmayang konstan (atau mendekati) selama periode waktu setelah obat diberikan.
Selama konsentrasi plasma obat dipertahankan dalam waktu yang lama, dengan
menggunakan bentuk sediaan sustained release efek samping dapat diminimalkan, frekuensi
pemberian obat dapat dilakukan, dan peningkatan kebutuhan pasien dapat dicapai khususnya
untuk terapi jangka panjang.
Tidak semua obat dapat dibuat dalam bentuk sustained release, oleh sebab itu sediaan
sustained release yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Meningkatkan durasi efek obat di dalam tubuh.

23
2. Mengontrol pelepasan obat pada waktu yang lama.
3. Meningkatkan efektifitas terapi obat.
4. Melepaskan obat dengan aman tanpa resiko dosis.

24
BAB III

PEMBAHASAN

Anatomi dan fisiologi saluran pencernaan dimulai dari dari mulut (oral cavity),
tenggorokan, kerongkongan(esofagus, lambung (gaster atau stomach), usus halus, usus besar,
rektum dan anus dan organ yang berfungsi mengeluarkan enzim yang berguna untuk
mencerna makanan terletak diluar saluran pencernaan seperti pankreas, hati (liver), dan
kandungan empedu (gall bladder).
Proses pelepasan dan pelarutan sediaan lepas lambat berbeda dengan sediaan
konvensional, pada sediaan konvensional, obat akan langsung dilepas dari sediaan dan
mengalami proses pelarutan. Misalnya,dari bentuk tablet dan kapsul dapat langsung
mengalami proses pelarutan, seiring terjadinya proses disintegrasi dan disagregasi.
Ada beberapa mekanisme pelepasan obat dari bentuk sediaan lepas terkendaliantara lain:
1. Mekanisme pelepasan melalui difusi terkendali
Pada sistemini, pelepasan obat ditentukan oleh difusi obat melintasi membrane
polimer yang tidak larut.Persamaan yang menyatakan pelepasan obat dari system ini
diturunkan oleh T.Higuchi.
2. Mekanisme pelepasan melalui disolusi terkendali
Prinsip dasar pelepasan disolusi terkendali adalah proses disolusi yang dapat
dikendalikan oleh lapisan difusi.
3. Mekanisme pelepasan melalui disolusi dan difusi terkendali
Pada system ini, inti obat disalut dengan bahan polimer yang larut sebagian.Disolusi
sebagian polimer menyebabkan difusi obat melalui pori-pori polimer penyalut.
4. Mekanisme pelepasan melalui resin penukar ion
Sistemini didesain untuk memberikan pelepasan terkendali dari obat-obatyang dapat
terion dalam medium pelepasan melalui pembentukan kompleks resin-ion.
5. Mekanisme pelepasan secara osmotic
Pada system pelepasan ini, tekananosmotik sebagai forsa yang menghasilkan
pelepasan obat yang konstan dari sistem.Pelepasan obat dikendalikan oleh lubang
yang dibuat dengan sinar laser pada membrane penyalut.

25
Proses yang dialami oleh obat mulai dari diberikan sampai pada bentuk terlarut dan
diabsopsi dikenal dengan fase biofarmasi. Obat dalam sirkulasi darah akan didistribusikan ke
seluruh tubuh serta mengalami proses metabolisme dan ekskresi. Proses distribusi,
metabolisme, dan ekskresi ini dikenal dengan fase disposisi atau fase penurunan kadar obat
dalam darah. Semua proses yang dialami obat mulai fase biofarmasi dan fase disposisi
dikenal dengan fase farmakokinetik berlangsung secara berkesinambungan
Pada proses LADME, proses dari obat mulai diberikan sampai pada bentuk terlarut
dan diabsorpsi dikenal dengan fase biofarmasi, obat dalam sirkulasi darah akan
didistribusikan ke seluruh tubuh serta mengalami proses metabolisme dan ekskresi. Proses
distribusi, metabolisme, dan ekskresi ini dikenal dengan fase disposisi atau fase penurunan
kadar obat dalam darah. Semua proses yang dialami obat mulai fase biofarmasi dan fase
disposisi dikenal dengan fase farmakokinetik berlangsung secara berkesinambungan.
Pada fase biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama yaitu Liberasi
(pelepasan), Disolusi (pelarutan) dan Absorpsi (Penyerapan), disingkat LDA. Liberasi
(pelepasan) merupakan pelepasan zat aktif yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
biologis dan mekanis pada tempat pemasukan obat, misalnya gerak peristaltik usus dan hal
ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau yang kenyal (tablet, suppositoria, dan lain-
lain).
Pada tahap kedua adalah disolusi yang merupakan pelarutan zat aktif yang terjadi
secara progresif yaitu pembentukan dispersi molekuler dalam air. Tahap kedua ini merupakan
keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga diterapkan pada obat-obatan
yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak, tetapi yang terjadi di sini adalah
proses esktraksi (penyarian).
Tahap yang ketiga adalah absorpsi (penyerapan) yang merupakan bagian dari fase
biofarmasetik dan awal fase farmakokinetik, tahap ini merupakan masuknya zat aktif dalam
tubuh, penyerapan zat aktif tergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisiko-kimia
molekul obat.
Selanjutnya adalah fase farmakokinetik yang merupakan salah satu unsur penting yang
menentukan profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan yang selanjutnya
menentukan aktivitas terapetik obat. Secara skematis perjalanan obat dalam tubuh terdiri dari
empat tahap yaitu : Absorpsi (Penyerapan), Distribusi (Penyebaran), Metabolisme dan
Ekskresi (Pengeluaran) yang keseluruhannya membentuk sistem yang lebih dikenal dengan
singkatan A.D.M.E.

26
Tahap pertama adalah absorpsi, absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah
masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh
setelah melewati sawar biologik. Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila molekul zat aktif
berada dalam bentuk terlarut.
Tahap kedua adalah distribusi atau penyebaran . Setelah molekul zat aktif masuk ke
dalam peredaran darah, maka selanjutnya zat aktif tersebut akan disebarkan ke seluruh bagian
tubuh. Dalam penyebarannya, secara kualitatif dan kuantitatif sifat fisiko-kimia zat aktif
sangat menentukan afinitasnya, sedangkan peredaran darah yang menyebar ke seluruh
jaringan tubuh menunjukkan jalur penyebarannya.
Selanjutnya adalah metabolisme dan ekskresi atau pengeluaran, Adanya molekul asing
di dalam tubuh akan memaksa organ tubuh agar melenyapkan molekul asing tersebut. Ginjal
dan air kemih merupakan sistem pengeluaran yang klasik, tetapi harus diingat peranan
pengeluaran dengan feses (baik secara langsung atau melalui empedu), juga jangan dilupakan
peranan khusus paru, kulit (keringat dan penggantian kulit) serta peranan kelenjar susu dan
air susu.

Berdasarkan skema fase yang dilamani obat, perjalanan obat sediaan tablet sustained
release itu adalah dimana tablet sustained releas akan pecah (liberasi) secara perlahan dalam
saluran cerna dalam waktu hanya 12 jam. Lalu zat aktif akan berdifusi kepermukaan dan

27
terlarut dari bentuk sediaan hingga membentuk larutan obat yang akan berikatan dengan
reseptor ditempat kerja.
Faktor yang mempengaruhi LADME
1. Faktor fisikokimia
a. Faktor fisika
1. Ukuran partikel :Penurunan ukuran partikel dapat mempengaruhi laju absorbsi dan
kelarutannya.
2. Bentuk kristal dan amorf : bentuk kristal umumnya lebih sukar larut dari pada bentuk
amorfnya
3. Solvat dan hidrat : selama kristalisasi molekul air dan pelarut dapat berikatan kuat
dengan zat aktifnya menghasilkan solfat , bila pelarut air terbentuk hidrat.
b. Faktor kimia
1. Pengaruh pembentukan garam : untuk mengubah senyawa asam dan basa yang sukar
larut dalam air sehingga mempengaruhi laju kelarutannya
2. Pengaruh pembentukan ester : menghambat atau memperpanjang aksi zat aktif
2. Faktor fisiologi
a. Permukaan penyerapnyai permukaan penyerap
Lambung tidak mempunyai permukaan penyerap yang berarti dibandingkan dengan
usus halus. Namun mukosa lambung dapat menyerap obat yang diberikan peroral dan
tergantung pada keadaan, lama kontak menentukan terjadinya penyerapan pasfi dari zat
aktif lipofil dan bentuk tak terionkan pada PH lambung yang asam.Penyerapan pasif
dapat terjadi pada usus halus secara kuat pada daerah tertentu tanpa mengabaikan
peranan PH yang akan mengionisasi zat aktif atau menyebabkan pengendapan sehingga
penyerapan hanya terjadi pada daerah tertentu.
Suatu alkaloida yang larut dan terionkan dalam cairan lambung,secara teori kurang
diserap. Bila PH menjadi netral atau alkali, bentuk basanya akan mengendap pada PH
5,5. Bentuk basa tersebut kadang-kadang sangat tidak larut untuk dapat diserap dalam
jumlah yang cukup . Oleh sebab itu harus dirancang suatu sediaan dengan pelepasan dan
pelarutan zat aktif yang cepat.
b. Umur
Saluran cerna pada bayi yang baru lahir bersifat sangat permeabel dibandingkan bayi
yang berumur beberapa bulan .Pada bayi dan anak-anak, sebagian sistem enzimatik
belum berfungsi sempurna sehingga dapat terjadi dosis lebih pada zat aktif tertentu yang

28
disebabkan tidak sempurnyanya proses detiksifikasi metabolik, atau karena penyerapan
yang tidak sempurna dan karena gangguan saluran cerna.
c. Sifat membran biologic
Sifat membran biologik sel-sel penyerap pada mukosa pencernaan akan
mempengaruhi proses penyerapan. Sifat utama lipida memungkinkan terjadinya difusi
pasif zat aktif dengan sifat lipofil tertentu dari bentuk yang terinkan di lambung dan
terutama di usus besar.
3. Faktor Patologi
a. Faktor patologik
Faktor penghambat dan penurunan efek obat :
1. Gangguan penyerapan di saluran cerna, karena adanya perubahan transit getah
lambung dan keadaan mukosa usus.
2. Penurunan absorbsi parenteral karena penurunan laju aliran darah
3. Peningkatan eliminasi zat aktif melalui ginjal , karena alkalosis atau asidosis.

Faktor penghambat dan peningkat efek obat :


1. Peningkatan penyerapan karena terjadi kerusakan membranpada tempat kontak
2. Insufisiensi hati
3. Insufisiensi ginjal
4. Gangguan pada sistem endokrin berakibat pada penekanan laju reaksi biotransformasi

Fase farmakokinetik ini merupakan slah satu unsur penting yang menentukan profil
keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan yang selanjutnya menentukan aktivitas terapetik
obat.Secara skematis perjalanan obat dalam tubuh terdiri dari empat tahap yaitu : Absorpsi
(Penyerapan), Distribusi (Penyebaran), Metabolisme dan Ekskresi (Pengeluaran) yang
keseluruhannya membentuk sistem yang lebih dikenal dengan singkatan A.D.M.E.
c. Absorpsi (Penyerapan)
Absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat ke
dalam tubuh atau menuju ke peredaran drah tubuh setelah melewati sawar biologik.
d. Distribusi (Penyebaran)
Setelah molekul zat aktif masuk ke dalam peredaran darah, maka selanjutnya zat aktif
tersebut akan disebarkan ke seluruh bagian tubuh, sama halnya dengan molekul lain dalam
fase aquous mampu menyaring secara ultra dan melewati sawar membran. Dalam
penyebarannya, secara kualitatif dan kuantitatif sifat fisiko-kimia zat aktif sangat

29
menentukan afinitasnya, sedangkan peredaran darah yang menyebar ke seluruh jaringan
tubuh menunjukkan jalur penyebarannya.
d. Metabolisme dan Ekskresi (Pengeluaran)
Adanya molekul asing di dalam tubuh akan memaksa organ tubuh agar melenyapkan
molekul asing tersebut. Pengeluaran molekul zat aktif yang tidak berubah merupakan
proses peniadaan melalui jalan keluar tubuh yaitu melalui saluran seperti halnya molekul
endogen. Ginjal dan air kemih merupakan sistem pengeluaran yang klasik, tetapi harus
diingat peranan pengeluaran dengan feses (baik secara langsung atau melalui empedu),
juga jangan dilupakan peranan khusus paru, kulit (keringat dan penggantian kulit) serta
peranan kelenjar susu dan air susu. Detoksifikasi metabolik, yaitu perubahanhayati zat
aktif dengan proses enzimatik dri zat aktif yang selanjutnya dikeluarkan, merupakan
proses peniadaan global. Metabolisme terjadi secara kimiawi dan kinetik metabolisme dan
kinetik pengeluarannya merupakan kinetik peniadaan.
Absorpsi dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain Kelarutan obat,Kemampuan difusi
melalui sel membrane, Kosentrasi obat, Sirkulasi pada letak absorpsi, Luas permukaan
kontak oba, Bentuk sediaan cair, Rute cara pemberian obat. Factor-faktor penting yang
berhubungan dengan distribusi obat antara lain Perfusi darah melalui jaringan, Kadar gradien,
pH dan ikatan zat dengan makromolekul, Partisi ke dalam lemak, Transfer aktif, Sawar
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolism obat Faktor genetic, Faktor umur
dan jenis kelamin, Faktor interaksi obat, Faktor penyakit, Faktor nutrisi.Faktor-faktor yang
mempengaruhi ekskresi obat dalam tubuh adalah Sifat Fisikokimia: BM, pKa, Kelarutan,
Tekanan uap., pH urin, Kondisi patolog, Aliran darah, Usia
Evaluasi Sediaan Tablet Sustained Release memiliki beragam metode dapat digunakan
untuk menentukan ketersediaan hayati, misalnya dengan menentukan konsentrasi obat dalam
plasma darah, ekskresi obat melalui urin, efek akut farmakodinamik, observasi klinik, dan
studi pelepasan obat.Pengukuran konsentrasi obat dalam darah, plasma, atau serum
merupakan data yang paling objektif dan langsung untuk menentukan ketersediaan hayati
obat dalam peredaran darah.
Uji bioavailabilitas dilakukan dengan metode cross over design untuk meminimalkan
pengaruh variabilitas fisiologis hewan uji terhadap profil farmakokinetik dan bioavailabilitas
sediaan. Satu hewan coba mendapatkan perlakuan sediaan yang berbeda secara bergantian
setelah masa istirahat yang cukup selama 2 minggu.

30
BAB IV
KESIMPULAN

1. Saluran cerna dimulai dari mulut (oral cavity), tenggorokan, kerongkongan (esofagus,
lambung (gaster atau stomach), usus halus, usus besar, rektum dan anus. Ada beberapa
organ yang fungsinya mengeluarkan enzim yang berguna untuk mencerna makanan.
Organ-organ tersebut letaknya di luar saluran pencernaan seperti pankreas, hati (liver), dan
kandungan empedu (gall bladder)
2. Obat diabsorpsi dari saluran cerna menuju pembuluh darah. Darah vena rongga mulut
menuju jantung kemudian ke organ-organ tubuh lainnya kemudian ke hati, sedangkan dari
saluran cerna lainnya obat dibawa ke hati terlebih dahulu baru ke seluruh tubuh sehingga
obat akan mengalami eliminasi lintas pertama hepatik atau “first fast effect”. Pengosongan
lambung membutuhkan waktu 5 jam dan dapat lebih lama apabila makanan banyak
mengandung lemak. Waktu transit dalam usus halus tergantung dari jenis makanan subjek
yang di teliti, waktu transit di duodenum sekitar 5-15 menit, di jejunum 2-3,5 jam dan di
ileum 3-6 jam.
3. Fase biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama yaitu Liberasi (pelepasan),
Disolusi (pelarutan) dan Absorpsi (Penyerapan), disingkat LDA.Secara skematis
perjalanan obat dalam tubuh yang disebut dengan Fase Farmakodinamik terdiri dari empat
tahap yaitu : Absorpsi (Penyerapan), Distribusi (Penyebaran), Metabolisme dan Ekskresi
(Pengeluaran) yang keseluruhannya membentuk sistem yang lebih dikenal dengan
singkatan A.D.M.E.
4. Absorpsi, distribusi, metabolism dan ekskresi memiliki factor-faktor yang dapat
mempengaruhi kerja obat sustained release dalam tubuh sehingga kerja obat dalam tubuh
dapat terganggu sehingga efek yang timbul akan berkurang.
5. Uji bioavailabilitas dilakukan dengan metode cross over design untuk meminimalkan
pengaruh variabilitas fisiologis hewan uji terhadap profil farmakokinetik dan
bioavailabilitas sediaan. Satu hewan coba mendapatkan perlakuan sediaan yang berbeda
secara bergantian setelah masa istirahat yang cukup selama 2 minggu.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Indrawati. Teti., 2018. Perjalanan Obat Peroral dalam Tubuh.Jakarta:Salemba Medika.


2. Syarifuddin, 2009. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawata Edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika.
3. Shargel. Leon., Andrew B.C.Yu: Penerjemah: Dr. Fasich, Apoteker., Drs. Siti
Sjasmiah,Apoteker., 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi 2.
Surabaya: Airlangga Universiti Press.
4. Siswanto, Agus., Fudholi, Achmad., Nugroho, Akhmad Kharis., Martono, Sudibyo.
(2017). Bioavailability Study of Aspirin Floating Tablet.Jurnal Kefarmasian Indonesia,
Vol.7, Hal.2.
5. DepKes RI-Dirjen POM, Farmakope Indonesia, Edisi IV, DepKes, Jakarta 1995, 6.
6. Wade, Ainley and Paul J. Weller (Editor), The Handbook of pharmaceutical Exciplents
2ns edition , The Pharmaceutical Press, London, 1994, 223, 352, 362-370.
7. Ansel C Howard, 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

32

Anda mungkin juga menyukai