PENDAHULUAN
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering di jumpai
di masyarakat dengan gejala ringan sampai berat (Kemenkes RI, 2011). Penyakit
ISPA menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di
dunia. Menurut WHO (World Health Organization), bahwa ± 13 juta anak balita
di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di
negara berkembang dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah seperti
India (48%), Indonesia (38%), Ethiopia (4,4%), Pakistan (4,3%), China (3,5%),
Sudan (1,5%), Nepal (0,3%). Dimana peneumonia merupakan salah satu
penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta dari 13 juta balita setiap
tahun. Ketua Unit Kerja Koordinasi Repiratory Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) Nastiti Kaswandani menambahkan pada tahun 2016 WHO melaporkan
hampir enam juta anak balita meninggal dunia dan 16 % dari jumlah tersebut di
sebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) (Putra & Wulandari, 2019)
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) yaitu dengan meningkatkan penemuan penyakit ISPA
1
2
pada balita. Perkiraan kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) secara
Nasional sebesar 3.55% sementara kasus ISPA di Provinsi Jawa Tengah
mencapain 9.7% sudah melampaui angka kasus nasional. Prevalansi kejadian
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di Indonesia yaitu dengan rentang
sebanyak 20,0%-21,4%. Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah rentang kejadian
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) sebanyak 21.5%-25,5% (Riskesdas, 2018).
Pada tahun 2019 jumlah total kasus Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di
Jawa Tengah mencapai 1.520.027 kasus. (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2019).
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang
banyak tersebar di Kabupaten Brebes, pada tahun 2017 diperkirakan jumlah kasus
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita sebesar 15.691 dengan jumlah
penderita yang di temukan dan ditangani sebesar 4,542 (28.95%). Jumlah kasus
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) balita tersebut mengalami peningkatan di
bandingkan tahun 2016 (Dinkes kota brebes, 2017).
Menurut kepala Puskesmas Pemaron pada saat wawancara, pada tahun 2018
sampai 2019 penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) mengalami
peningkatan yang cukup tinggi dan masuk dalam sepuluh besar penyakit yang
banyak diderita oleh balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron, dibuktikan
dengan data yang terkumpul pada tahun 2018 Puskesmas Pemaron
memperkirakan balita yang penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
sebanyak 70 balita namun ternyata kunjungan balita yang terkena infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) sebanyak 1.602 balita yang mengalami infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA). pada tahun 2019 dari bulan September sampai Oktober
jumlah kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) sebesar 194 balita dengan
jumlah kunjungan balita yang terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
sebanyak 230 balita. Balita yang menderita ISPA ringan sebesar 84 balita, ISPA
sedang 79 balita dan ISPA berat sebesar 67 balita. (Profil Kesehatan Puskesmas
Pemaron, 2018).
3
Tingginya kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita tidak terlepas
dari adanya faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA), septerti faktor individu anak, faktor prilaku, dan faktor
lingkungan salah satunya yaitu sanitasi fisik rumah.
Salah satu penyebab timbulnya penyakit saluran pernapasan adalah kondisi rumah
yang buruk. Penyakit ISPA dapat mudah menular akibat ventilasi yang tidak
memadai. Penyakit pernapasan dan semua jenis penyakit yang menyebar melalui
udara mudah sekali menular bila rumah tidak memenuhi syarat kesehatan. Rumah
yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat menyebabkan pertukaran udara
tidak dapat berlangsung dengan baik. Rumah yang lembab, cahaya yang sulit
masuk dalam rumah, air yang tidak tercukupi dan kotor, lantai yang lembab dan
sulit di bersihkan, pembuangan sampah sembarangan, pencemaran udara serta
kepadatan hunian kamar juga memudahkan anak-anak terserang ISPA
(Agungnisa, 2019).
Menurut data dari Puskesmas Wilayah Pemaron yang meliputi enam desa pada
tahun 2018 dari sebanyak 7.769 jumlah rumah, terdapat 3.509 rumah sehat dan
4.260 rumah tidak sehat atau belum memenuhi syarat (Profil Kesehatan
Puskesmas Pemaron, 2018).
wawancara ke rumah warga yang memiliki anak balita penderita ISPA diketahui
jumlah balita di desa tersebut yaitu 1.936 balita dan pada bulan September sampai
Oktober jumlah kasus ISPA sebesar 194 balita dengan jumlah kunjungan balita
yang terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) sebanyak 230 balita.
Berdasarkan hasil kunjungan banyak di temukan bahwa rumah yang di miliki
balita penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dalam keadaan ventilasi
lubang angin tidak ada dan jendela yang memiliki ukuran kecil serta jarang dibuka
bahkan terdapat jendela yang bentuknya paten tidak bisa dibuka, pencahayaan
rumah kurang karena tidak terdapat ventilasi lubang angin atau terhalang oleh
bangunan lain, tidak terdapat tempat pembuangan sampah di rumah, dan keluarga
mengatakan sampah di buang di pekarangan samping rumah, sebagian besar lantai
masih tanah, serta terdapat kandang kambing atau ayam yang jaraknya cukup
dekat dengan rumah serta di dalam rumah terdapat anggota keluarga yang
merokok sehingga mencemari lingkungan udara di dalam rumah tersebut.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Pengertian
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang
menyerang saluran utama pernafasan yaitu hidung, alveoli, termasuk jaringan
adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Hartono R, 2012)
Pada mulanya istilah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) diadaptasi dari
bahasa inggris yaitu Acute Respiratory Infection (ARI). Infeksi merupakan
masuknya kuman yang ada dalam tubuh sehingga berkembang biak suatu
penyakit yang nantinya akan menimbulkan gejala penyakit. Pada dasarnya kuman
yang masuk dalam tubuh manusia adalah mikroorganisme. Sedangkan yang
dimaksud dengan infeksi akut ialah suatu infeksi yang berlangsung sampai dengan
batas waktu 14 hari (Widoyono, 2010)
Tanda Gejala Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menurut Widoyono, (2010)
yaitu :
2.1.2.1 Gejala Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Batuk bukan Pneumonia
Bukan peneumonia yaitu mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang
tidak menunjukan gejala peningkatan frekuensi nafas, tidak menunjukan adanya
tarikan dinding dada bagian bawah kearah dalam. Seseorang balita yang
dinyatakan menderita ISPA ringan atau bukan peneumonia jika di temukan satu
atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: batuk, serak (balita bersuara parau pada
waktu berbicara atau nangis), pilek (mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung),
demam suhu badan melebihi 37℃.
7
8
Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat atau pneumonia berat jika di jumpai
gejala-gejala ISPA ringan dan ISPA sedang disertai salah satu atau lebih gejala-
gejala seperti batuk, kesukaran bernafas disertai sesak nafas dengan frekuensi 60
kali per menit, dan tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam (chest
indrawing), bibir atau kulit membiru, kesadaran menurun, bunyi nafas seperti
mengorok dan anak tampak gelisah, nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau
tidak teraba.
Faktor yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan Akut (ISPA) pada
balita salah satunya yaitu infeksi bakteri atau virus, karena pada balita daya tahan
tubuhnya yang belum terbentuk secara sempurna. Itu sebabnya tubuh balita sulit
untuk melawan infeksi bateri maupun virus penyebab ISPA.
bakteri ini menyerang balita yang kekebalan tubuhnya lemah misalnya saat
pergantian musim panas ke musim hujan (Widoyono, 2010).
Menurut Wantania, Naning, dan Wahani (2012) terdapat beberapa faktor individu
anak yang menyebabkan ISPA yaitu seperti imunisasi, umur balita, dan jenis
kelamin. Manfaat imunisasi yaitu untuk memberikan kekebalan pada balita
terhadap penyakit. Sehingga dengan imunisasi diharapkan balita tumbuh dalam
keadaan sehat (Hidayat, 2009). Umur juga berkaitan erat dengan kekebalan tubuh
pada balita, karena balita merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum
sempurna sehingga masih rentan terhadap penyakit infeksi. Setiap tahun balita
mengalami ISPA rata-rata 3-4 kali. Hal ini disebabkan oleh imunisasi yang belum
sempurna. ISPA dapat menyerang semua manusia baik laki-laki maupun
perempuan pada semua tingkat usia, terutama pada usia 1 sampai 5 tahun karena
daya tahan tubuh balita lebih rendah dari orang dewasa sehingga mudah menderita
ISPA. Balita dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko yang sangat tinggi
terkena ISPA dibandingkan dengan perempuan. Menurut Penelitian Nurul Indah
Sari, (2017) Kejadian ISPA lebih banyak terjadi pada balita dengan jenis kelamin
laki-laki yaitu sebesar 53,8% dan perempuan sebesar 46,2%.
10
Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu
sendiri. Perilaku manusia merupakan salah satu faktor yang banyak memegang
peranan dalam menentukan derajat kesehatan. Bahkan menurut Bloom, faktor
perilaku memberikan kontribusi terbesar dalam menentukan status kesehatan
individu atau masyarakat (Noor, 2010). Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita yaitu perilaku merokok seseorang
yang tinggal satu rumah dengan balita tersebut, serta asap bakaran limbah atau
sampah, asap kendaraan. Dalam rumah sehat posisi dapur juga harus jauh atau
ada sket dengan kamar tidur balita.
Faktor lain dari ISPA yaitu pendidikan orang tua dan status ekonomi. Tingkat
pendidikan erat kaitannya dengan keadaan status sosial ekonomi. Kurangnya
pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua
dan tidak segera diobati (Wantania, Naning, dan Wahani 2012).
2.2.1 Pengertian
Sanitasi adalah segala upaya yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya kondisi
yang memenuhi persyaratan kesehatan. Sementara definisi lainnya menitik
beratkan pada pemutusan rantai kuman dari sumber penularan dan pengendalian
lingkungan.
Rumah sehat adalah rumah yang didalamnya tersedia air bersih, ada tempat
sampah, ada jamban dan septic tenk, perkarangan ditanami tumbuhan yang
bermanfaat, ruangan rumah cukup luas dan tidak padat penghuni, terdapat jendela
dan lubang angin untuk masuk sinar matahari kedalam ruangan, lantai harus
kering tidak lembab, ada jalan keluar untuk asap dapur, kandang ayam atau
kambing berjarak 10 m dari rumah (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2010). Untuk
memenuhi syarat rumah sehat terdapat beberapa syarat-syarat rumah sehat
menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 829/Menkes/SK/V
II/1999 yaitu :
Pencemaran udara adalah masuknya komponen lain kedalam udara, baik oleh
kegiatan manusia secara langsung atau tidak langsung maupun akibat alam
sehingga kualitas udara turun. Pencemaran udara menurut definisi adalah
terdapatnya satu jenis atau lebih pencemaran seperti debu, uap, gas, asap, kabut,
atau bau diudara dalam jumlah, ciri-ciri, dan waktu yang membahayakan bagi
kesehatan manusia (Irianto & Jokohadikusumo, 2010).
Populasi udara baik dari dalam rumah maupun luar rumah dapat menyebabkan
penyakit ISPA seperti terdapat asap rokok dan asap pebakaran bahan bakar untuk
masak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru-paru
sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah
yang ventilasinya kurang memenuhi syarat dan dapur terletak didalam ruangan
yang dekat dengan kamar tidur atau tempat anak balita bermain (Maryani, 2012)
12
2.2.2.2 Ventilasi
Ventilasi adalah bukaan permanen pada dinding luar dari sebuah ruangan yang
diharapkan bias mengalirkan udara secara tetap kedalam ruangan. Ventilasi
dibuat umumnya dietakan diatas jendela atau pintu. Pada posisi ini udara dapat
mengalir kedalam ruangan. Dalam pengertian ini ventilasi dari aspek fungsi juga
mencakup jendela. Luas ventilasi jendela adalah luas lubang untuk proses
penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor. Ventilasi atau jendela
mempunyai peran dalam rumah untuk mengganti udara ruangan yang sudah
terpakai (Irianto & Jokohadikusumo, 2010)
Ventilasi rumah mempunyai fungsi untuk menjaga agar aliran udara didalam
ruangan tetap segar. Hal ini karena keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh
penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Standar luas ventilasi rumah adalah 10%
luas lantai. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen didalam
rumah sehingga dapat membahayakan kesehatan khususnya saluran pernapasan.
Menurut Arifin (2009) mengatakan agar udara dalam ruangan tetap segar
persyaratan teknis ventilasi dan jendela sebagai berikut luas lubang ventilasi tetap,
minimal 5% dari luas lantai ruangan dan lubang ventiasi insidentil (dapat dibuka
dan ditutup) 5%, dengan tinggi lubang ventilasi minimal 80 cm dari langit-langit,
udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh debu, uap, gas,
kabut asap, atau bau udara didalam ruangan, aliran udara diusahakan silang
ventilasi dengan menempatkan lubang hawa berhadapan antara dua dinding
ruangan. Aliran udara ini diusahakan tidak terhalang oleh barang-barang seket
didalam ruangan, seket almari.
rumah dapat dilakukan dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas
lantai rumah dengan menggunakan rollmeter.
Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara nyaman berkisar 10-
28℃ dan kelembaban udara berkisar antara 40-70%. Jika didalam ruangan
memiliki kelembaban udara lebih dari 70% maka temperature ruang akan
terganggu dan dapat menyebabkan tubuhnya jamur. Jamur tersebut dapat
mengganggu dan menyebabkan bangunan rusak sehingga mempertinggi resiko
penghuninya terserang penyakit, terutama penyakit yang berhubungan dengan
pernafasan. Secara umum penilaian dan pengukuran kelembaban udara dapat di
lakukan dengan menggunakan alat ukur higrometer (Notoatmodjo, 2013)
2.2.2.4 Pencahayaan
Rumah yang sehat memerukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang masuk
dalam ruangan terutama cahaya matahari merupakan media atau tempat yang baik
untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Menurut Notoatmodjo (2013)
cahaya dibagi menjadi dua macam yaitu cahaya alamiah dan cahaya buatan.
Cahaya alamiah adalah cahaya yang berasal dari cahaya matahari yang masuk
kedalam ruangan melalui jendela, celah, genteng kaca, maupun bagian lain dari
rumah yang terbuka, selain berguna untuk penerangan sinar juga mengurangi
kelembaban udara dan dapat membunuh bakteri-bakteri pathogen didalam rumah.
Secara umum penilaian dan pengukuran pencahayaan dapat di lakukan dengan
menggunakan alat ukur lux meter, dalam pengukuran cahaya alami rumah yaitu
dengan mengukur pada setiap bagian ruangan yang di ukur melalui lima titik pada
ruangan dan hasilnya dirata-rata.
14
2.2.2.8. Lantai
Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya ISPA karena lantai yang tidak
memenuhi syarat merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri
atau virus penyebab ISPA. Lantai yang memenuhi syarat yaitu lantai yang dalam
keadaan kering dan tidak lembab. Bahkan lantai harus kedap air dan mudah
dibersihkan, seperti dilapisi ubin atau kramik yang mudah dibersihkan. Karena
jenis lantai yang yang tidak kedap air pada musim kemarau akan menimbulkan
debu yang bias menggangu pernafasan, sedangkan pada musim penghujan
mengakibatkan kelembaban yang tinggi sehingga kondisi ini akan meningkatkan
perkembangbiakan mikroorganisme (Irianto, 2010).
Rumah dengan kondisi lantai yang tidak permanen mempunyai kontribusi yang
besar terhadap penyakit pernafasan, hal ini dikarenakan lantai yang terbuat dari
tanah akan menimbulkan debu sehingga debu yang berada dalam udara rumah
akan terhirup dan menempel pada saluran pernafasan. Akumulasi debu tersbut
akan menyebabkan elastisitas paru akan menurun dan menyebabkan kesukaran
bernafas (Nurjazuli, 2009)
16
1. Pencemaran udara
2. Kelembaban
3. Ventilasi
4. Pencahayaan
5. Kepadatan hunian
Kejadian ISPA
6. Tersedianya air
bersih
7. Pembuangan limbah
atau sampah
8. Lantai
Variabel pengganggu
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Status imunisasi
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
18
2.5 Hipotesis
Hipotesis nol (Ho) sering disebut hipotesis statistic, karena biasanya dipakai
dalam penelitian yang bersifat statistic. Hipotesis nol menyatakan tidak adanya
perbedaan antara dua variabel atau tidak adanya pengaruh variabel X terhadap
variabel Y.
Hipotesis kerja (Ha) sering disebut hipotesis alternative, yang menyatakan adanya
hubungan antara variabel X dengan variabel Y atau adanya perbedaan antara dua
klompok (Sugiyono, 2011).
BAB 3
METODE PENELITIAN
Alat penelitian atau instrumen penilitian adalah alat bantu yang digunakan oleh
peneliti dalam kegiatan mengumpulkan data agar penelitian tersebut menjadi
sistematis dan dipermudah (Arikunto, 2010). Dalam penelitian ini, instrumen
penelitian yang digunakan adalah lembar MTBS, lembar observasi dan formulir
isi pengukuran. Lembar MTBS digunakan untuk mendapatkan informasi apakah
balita tersebut menderita ISPA atau tidak. Observasi merupakan cara
pengumpulan data dengan melakukan pengamatan secara langsung pada
responden penelitian untuk mencari hal-hal yang akan diteliti.
19
20
Pada penelitian ini, peneliti tidak melakukan uji validitas dan reliabilitas karena
lembar MTBS dan lembar observasi sanitasi fisik rumah sudah baku dan paten.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh secara langsung melalui pengumpulan
data dari responden yang di lakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron,
peneliti melaksanakan prosedur pengumpulan data sebagai berikut Peneliti
menentukan tempat untuk penelitian, kemudian mengajukan surat permohonan
izin kepada Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Bhakti Mandala Husada Slawi (STIKes BHAMADA) untuk
melakukan studi pendahuluan di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron lalu peneliti
melakukan studi pendahuluan untuk mengetahui fenomena yang ada di Wilayah
Kerja Puskesmas Pemaron. Hal yang pertama peneliti lakukan untuk melakukan
penelitian, peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada
KESBANGPOL, BAPPEDA, dan Dinas Kesehatan Brebes sebagai surat
pengantar yang di tujukan kepada Puskesmas Pemaron untuk melakukan
penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron. Setelah mendapatkan izin
penelitian dari Puskesmas, peneliti mencatat data balita yang berkunjung ke
Puskesmas setiap hari untuk mengetahui balita yang menderita ISPA dan tidak
menderita ISPA, selanjutnya peneliti memberikan informasi tentang tujuan
peneliti yang akan melakukan penelitian kepada calon responden, bagi yang setuju
berpartisipasi dalam penelitian ini diminta untuk menandatangani lembar
persetujuan penelitian (informed consent). Peneliti melakukan penelitian dengan
melihat kunjungan balita di Puskesmas Pemaron yang telah dilakukan
pemeriksaan dan didiagnosa oleh petugas kesehatan balita tersebut menderita
ISPA maupun tidak menderita ISPA. Setelah balita di periksa oleh tenaga
kesehatan puskesmas maka peneliti melakukan kontrak waktu kepada ibu dari
semua balita yang berkunjung ke Puskesmas untuk mendatangi rumahnya guna
melakukan observasi pengukuran sanitasi fisik rumah, ketika sampai di rumah
22
Data sekunder adalah data yang di peroleh peneliti dari sumber yang sudah ada.
Data sekunder biasanya berwujud data dokumentasi atau laporan yang telah
tersedia. Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari dokumen tahun 2018
dan bulan oktober sampai November 2019 di Puskesmas Wilayah Kerja Pemaron.
Dokumen yang diambil adalah balita yang didiagnosa oleh petugas kesehatan
terkena ISPA.
3.3.1. Populasi
Populasi merupakan wilayah generalisis yang terdiri atas obyek atau subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang di tetapka oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Populasi pada
penelitian ini adalah semua balita yang berkunjung di puskesmas Wilayah Kerja
Pemaron.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Sehingga sampel merupakan bagian dari populasi yang ada, sehingga
untuk pengambilan sampel yang ada harus menggunakan cara tertentu yang di
dasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang ada (Sugiyono, 2011).
Kriteria eksklusi merupakan ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil
sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010). Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah
balita yang berkunjung ke Puskesmas Pemaron tetapi tidak bersedia menjadi
responden, balita yang bukan bertempat tinggal di Wilayah Kerja Puskesmas
Pemaron, dan tidak ada ditempat saat dilakukan penelitian.
Besar sampel pada penelitian ini dengan teknik nonprobability sampling yang
meliputi purposive Sampling merupakan teknik untuk menentukan sampel
penelitian dengan kriteria-kriteria atau beberapa pertimbangan tertentu yang
bertujuan agar data yang diperoleh nantinya bisa lebih representatif.
N
n=
1+ N (e) ²
24
Keterangan :
n = besar sampel
N = populasi
149
n=
1+149( 0,1) ²
149
n=
2.49
n=60 responden
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2020 di Wilayah
Kerja Puskesmas Pemaron.
3.6.1. Variabel
Variabel adalah segala sesuatu yang memiliki variasi nilai atau meiliki nilai yang
berbeda dan dapat diukur (Sugiyono, 2012).
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen/variabel terikat (Sugiyono,
2012). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah sanitasi
fisik rumah.
25
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat,
karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2012). Dalam penelitian ini yang
menjadi variabel dependen adalah kejadian infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) pada balita.
5.7.1.1 Editing
Editing, yaitu cara untuk memeriksa kembali kebenaran data dan kelengkapan
data yang sudah diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Peneliti melakukan pengecekan
ulang data yang telah didapat saat melakukan observasi.
5.7.1.2 Coding
Coding yaitu kegiatan pemberian kode numerik atau angka terhadap data yang
terdiri atas beberapa kategori untuk memudahkan penginterpretasien hasil dari
penelitian. Teknik pengolahan data yang di coding diantaranya kategori ISPA
kode 1 = ISPA, kode 2 = Tidak ISPA. dan untuk kategori sanitasi fisik rumah
kode 1 = Rumah tidak sehat, kode 2 = Rumah sehat.
3.7.1.5 Cleaning
28
Cleaning, yaitu pebersihan atau pengecekan kembali data yang sudah dimasukan
agar semua data yang didapat terhindar dari kesalahan sebelum dilakukan analisis.
Keterangan :
NP = Nilai Prosentase yang dicari atau diharapkan
R = Skor mentah yang diperoleh
SM = Skor maksimum ideal dari kuesioner
100 = Bilangan tetap
3.8.1 Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Penelitian harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia. Responden memiliki hak asasi dan kebebasan untuk menentukan
pilihan ikut atau menolak penelitian (autonomy). Tidak boleh ada paksaan atau
penekanan tertentu agar responden bersedia ikut dalam penelitian. Responden
dalam penelitian juga berhak mendapatkan informasi yang terbuka dan lengkap
dengan paksanaan penelitian, yang meliputi tujuan dan manfaat penelitian,
prosedur penelitian, resiko penelitian, keuntungan yang mungkin didapat dan
kerahasiaan informasi.