Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan kesehatan sebagai salah satu bentuk upaya pembangunan nasional
yang diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk
hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal. Salah satu indikator yang menunjukan terwujudnya derajat kesehatan
yaitu menurunnya angka kematian anak balita. Salah satu strategi untuk
menurunkan angka kematian yaitu dengan Millenium Development Goals
(MDGʼs) dengan tujuan untuk menurunkan angka kematian pada balita. Sampai
saat ini, penyakit berbasis lingkungan masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat dunia, salah satunya yaitu Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
(Syahidi, Gayatri, & Bantas, 2016)

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering di jumpai
di masyarakat dengan gejala ringan sampai berat (Kemenkes RI, 2011). Penyakit
ISPA menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di
dunia. Menurut WHO (World Health Organization), bahwa ± 13 juta anak balita
di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di
negara berkembang dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah seperti
India (48%), Indonesia (38%), Ethiopia (4,4%), Pakistan (4,3%), China (3,5%),
Sudan (1,5%), Nepal (0,3%). Dimana peneumonia merupakan salah satu
penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta dari 13 juta balita setiap
tahun. Ketua Unit Kerja Koordinasi Repiratory Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) Nastiti Kaswandani menambahkan pada tahun 2016 WHO melaporkan
hampir enam juta anak balita meninggal dunia dan 16 % dari jumlah tersebut di
sebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) (Putra & Wulandari, 2019)

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) yaitu dengan meningkatkan penemuan penyakit ISPA

1
2

pada balita. Perkiraan kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) secara
Nasional sebesar 3.55% sementara kasus ISPA di Provinsi Jawa Tengah
mencapain 9.7% sudah melampaui angka kasus nasional. Prevalansi kejadian
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di Indonesia yaitu dengan rentang
sebanyak 20,0%-21,4%. Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah rentang kejadian
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) sebanyak 21.5%-25,5% (Riskesdas, 2018).
Pada tahun 2019 jumlah total kasus Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di
Jawa Tengah mencapai 1.520.027 kasus. (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2019).

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang
banyak tersebar di Kabupaten Brebes, pada tahun 2017 diperkirakan jumlah kasus
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita sebesar 15.691 dengan jumlah
penderita yang di temukan dan ditangani sebesar 4,542 (28.95%). Jumlah kasus
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) balita tersebut mengalami peningkatan di
bandingkan tahun 2016 (Dinkes kota brebes, 2017).

Menurut kepala Puskesmas Pemaron pada saat wawancara, pada tahun 2018
sampai 2019 penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) mengalami
peningkatan yang cukup tinggi dan masuk dalam sepuluh besar penyakit yang
banyak diderita oleh balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron, dibuktikan
dengan data yang terkumpul pada tahun 2018 Puskesmas Pemaron
memperkirakan balita yang penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
sebanyak 70 balita namun ternyata kunjungan balita yang terkena infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) sebanyak 1.602 balita yang mengalami infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA). pada tahun 2019 dari bulan September sampai Oktober
jumlah kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) sebesar 194 balita dengan
jumlah kunjungan balita yang terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
sebanyak 230 balita. Balita yang menderita ISPA ringan sebesar 84 balita, ISPA
sedang 79 balita dan ISPA berat sebesar 67 balita. (Profil Kesehatan Puskesmas
Pemaron, 2018).
3

Tingginya kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita tidak terlepas
dari adanya faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA), septerti faktor individu anak, faktor prilaku, dan faktor
lingkungan salah satunya yaitu sanitasi fisik rumah.

Sanitasi rumah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan seperti kelembapan,


pencahayaan alami, luas ventilasi, kepadatan penghuni, tersedianya air bersi,
kondisi lantai dan pembuangan limbah atau sampah yang tidak memenuhi syarat
dapat menjadi lingkungan yang baik bagi pengembangbiakan bakteri infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA) dan penularan penyakit infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA) pada balita. Balita yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang
masih rentan dapat dengan mudah tertular penyakit infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA) (Sukarto, Ismanto, & Karundeng, 2016).

Salah satu penyebab timbulnya penyakit saluran pernapasan adalah kondisi rumah
yang buruk. Penyakit ISPA dapat mudah menular akibat ventilasi yang tidak
memadai. Penyakit pernapasan dan semua jenis penyakit yang menyebar melalui
udara mudah sekali menular bila rumah tidak memenuhi syarat kesehatan. Rumah
yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat menyebabkan pertukaran udara
tidak dapat berlangsung dengan baik. Rumah yang lembab, cahaya yang sulit
masuk dalam rumah, air yang tidak tercukupi dan kotor, lantai yang lembab dan
sulit di bersihkan, pembuangan sampah sembarangan, pencemaran udara serta
kepadatan hunian kamar juga memudahkan anak-anak terserang ISPA
(Agungnisa, 2019).

Menurut data dari Puskesmas Wilayah Pemaron yang meliputi enam desa pada
tahun 2018 dari sebanyak 7.769 jumlah rumah, terdapat 3.509 rumah sehat dan
4.260 rumah tidak sehat atau belum memenuhi syarat (Profil Kesehatan
Puskesmas Pemaron, 2018).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 25 November 2019 yang


dilakukan di Puskesmas Wilayah Kerja Pemaron melalui kunjungan langsung dan
4

wawancara ke rumah warga yang memiliki anak balita penderita ISPA diketahui
jumlah balita di desa tersebut yaitu 1.936 balita dan pada bulan September sampai
Oktober jumlah kasus ISPA sebesar 194 balita dengan jumlah kunjungan balita
yang terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) sebanyak 230 balita.
Berdasarkan hasil kunjungan banyak di temukan bahwa rumah yang di miliki
balita penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dalam keadaan ventilasi
lubang angin tidak ada dan jendela yang memiliki ukuran kecil serta jarang dibuka
bahkan terdapat jendela yang bentuknya paten tidak bisa dibuka, pencahayaan
rumah kurang karena tidak terdapat ventilasi lubang angin atau terhalang oleh
bangunan lain, tidak terdapat tempat pembuangan sampah di rumah, dan keluarga
mengatakan sampah di buang di pekarangan samping rumah, sebagian besar lantai
masih tanah, serta terdapat kandang kambing atau ayam yang jaraknya cukup
dekat dengan rumah serta di dalam rumah terdapat anggota keluarga yang
merokok sehingga mencemari lingkungan udara di dalam rumah tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan


merumuskan masalah yaitu “ Apakah ada Hubungan Sanitasi Fisik Rumah
Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di
Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron?.
5

1.2 Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui hubungan sanitasi fisik rumah dengan kejadian infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus penelitian adalah untuk :
1.2.2.1 Mengidentifikasi kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada
balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron.
1.2.2.2 Mengidentifikasi sanitasi fisik rumah yang sudah memenuhi kriteria
rumah sehat dan rumah tidak sehat.
1.2.2.3 Menganalisis hubungan Sanitasi fisik rumah dengan kejadian Infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron.

1.3 Manfaat Penelitian

1.3.1 Manfaat Aplikatif


Hasil penelitian ini diharapkan dapat member pengetahuan dan dapat memberikan
informasi yang cukup jelas bagi tenaga kesehatan mengenai hubungan sanitasi
fisik rumah dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan juga dapa
t digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memecahkan masalah kesehatan
mengenai pencegahan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan
sebagai informasi dalam penentuan arah kebijakan program penanggulangan
penyakit menular khususnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)

1.3.2 Manfaat Keilmuan


Hasil penelitian ini diharapkan menambah pengembangan ilmu dan pengetahuan
dibidang keperawatan anak tentang hubungan sanitasi fisik rumah dengan
kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
6

1.3.3 Manfaat Metodologi


Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat terutama sebagai bahan
referensi bagi akademisi atau calon peneliti lainnya tentang faktor sanitasi fisik
rumah dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan sebagai acuan
penelitian selanjutnya.
7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

2.1.1 Pengertian

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang
menyerang saluran utama pernafasan yaitu hidung, alveoli, termasuk jaringan
adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Hartono R, 2012)
Pada mulanya istilah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) diadaptasi dari
bahasa inggris yaitu Acute Respiratory Infection (ARI). Infeksi merupakan
masuknya kuman yang ada dalam tubuh sehingga berkembang biak suatu
penyakit yang nantinya akan menimbulkan gejala penyakit. Pada dasarnya kuman
yang masuk dalam tubuh manusia adalah mikroorganisme. Sedangkan yang
dimaksud dengan infeksi akut ialah suatu infeksi yang berlangsung sampai dengan
batas waktu 14 hari (Widoyono, 2010)

2.1.2 Tanda Gejala Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Tanda Gejala Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menurut Widoyono, (2010)
yaitu :

2.1.2.1 Gejala Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Batuk bukan Pneumonia

Bukan peneumonia yaitu mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang
tidak menunjukan gejala peningkatan frekuensi nafas, tidak menunjukan adanya
tarikan dinding dada bagian bawah kearah dalam. Seseorang balita yang
dinyatakan menderita ISPA ringan atau bukan peneumonia jika di temukan satu
atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: batuk, serak (balita bersuara parau pada
waktu berbicara atau nangis), pilek (mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung),
demam suhu badan melebihi 37℃.

7
8

2.1.2.2 Gejala Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pneumonia

Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang atau pneumonia jika di


jumpai gelaja ISPA ringan dan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut seperti pernafasan cepat (fast breating) sesuai umur yaitu untuk kelompok
umur 2 bulan - <1 tahun frekuensi nafas 50 kali per menit, untuk umur 1 - <5
tahun frekuensi nafas 40 kali per menit, suhu lebih dari 39℃, tenggorokan
berwarna merah, timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak
campak, telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga, pernafasan
berbunyi seperti mengorok.

2.1.2.3 Gejala Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pneumonia Berat

Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat atau pneumonia berat jika di jumpai
gejala-gejala ISPA ringan dan ISPA sedang disertai salah satu atau lebih gejala-
gejala seperti batuk, kesukaran bernafas disertai sesak nafas dengan frekuensi 60
kali per menit, dan tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam (chest
indrawing), bibir atau kulit membiru, kesadaran menurun, bunyi nafas seperti
mengorok dan anak tampak gelisah, nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau
tidak teraba.

2.1.3 Faktor-faktor Penyebab Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Faktor yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan Akut (ISPA) pada
balita salah satunya yaitu infeksi bakteri atau virus, karena pada balita daya tahan
tubuhnya yang belum terbentuk secara sempurna. Itu sebabnya tubuh balita sulit
untuk melawan infeksi bateri maupun virus penyebab ISPA.

Bakteri yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan Akut (ISPA)


contohnya yaitu diplococcus pneumonia, pneumococcus, streptococcus pyogenes,
staphylococcus aureus, haemophilus influenza. Virus contohnya yaitu influenza,
adenovirus, sitomegalovirus. Bakteri tersebut, di udara bebas akan masuk dan
menempel pada saluran pernafasan bagian atas yaitu hidung dan tenggorokan, dan
pada saluran pernafasan bagian bawah yaitu alveoli dan paru-paru. Biasanya
9

bakteri ini menyerang balita yang kekebalan tubuhnya lemah misalnya saat
pergantian musim panas ke musim hujan (Widoyono, 2010).

2.1.4. Faktor-Faktor yang dapat mempengaruhi Infeksi Saluran Pernafasan Akut


(ISPA)

2.1.4.1 Faktor Lingkungan

Faktor-faktor yang merugikan bagi kesehatan salah satunya yaitu lingkungan,


terkadang masyarakat masih menyepelekan kondisi lingkungan rumah sehingga
dapat menimbulkan penyakit. Lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat
maka dapat mengakibatkan penyakit ISPA salah satu kondisi rumah atau sanitasi
fisik rumah yang memenuhi syarat sehat harus meliputi ventilasi, kelembaban
udara, pencemaran udara, pencahayaan, kepadatan hunian, tersedianya air bersih,
pembuangan limbah atau sampah, dan kondisi lantai.

2.1.4.2. Faktor Individu Anak

Menurut Wantania, Naning, dan Wahani (2012) terdapat beberapa faktor individu
anak yang menyebabkan ISPA yaitu seperti imunisasi, umur balita, dan jenis
kelamin. Manfaat imunisasi yaitu untuk memberikan kekebalan pada balita
terhadap penyakit. Sehingga dengan imunisasi diharapkan balita tumbuh dalam
keadaan sehat (Hidayat, 2009). Umur juga berkaitan erat dengan kekebalan tubuh
pada balita, karena balita merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum
sempurna sehingga masih rentan terhadap penyakit infeksi. Setiap tahun balita
mengalami ISPA rata-rata 3-4 kali. Hal ini disebabkan oleh imunisasi yang belum
sempurna.  ISPA dapat menyerang semua manusia baik laki-laki maupun
perempuan pada semua tingkat usia, terutama pada usia 1 sampai 5 tahun karena
daya tahan tubuh balita lebih rendah dari orang dewasa sehingga mudah menderita
ISPA. Balita dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko yang sangat tinggi
terkena ISPA dibandingkan dengan perempuan. Menurut Penelitian Nurul Indah
Sari, (2017) Kejadian ISPA lebih banyak terjadi pada balita dengan jenis kelamin
laki-laki yaitu sebesar 53,8% dan perempuan sebesar 46,2%.
10

2.1.4.3. Faktor Perilaku

Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu
sendiri. Perilaku manusia merupakan salah satu faktor yang banyak memegang
peranan dalam menentukan derajat kesehatan. Bahkan menurut Bloom, faktor
perilaku memberikan kontribusi terbesar dalam menentukan status kesehatan
individu atau masyarakat (Noor, 2010). Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita yaitu perilaku merokok seseorang
yang tinggal satu rumah dengan balita tersebut, serta asap bakaran limbah atau
sampah, asap kendaraan. Dalam rumah sehat posisi dapur juga harus jauh atau
ada sket dengan kamar tidur balita.

2.1.4.4. Faktor Lain

Faktor lain dari ISPA yaitu pendidikan orang tua dan status ekonomi. Tingkat
pendidikan erat kaitannya dengan keadaan status sosial ekonomi. Kurangnya
pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua
dan tidak segera diobati (Wantania, Naning, dan Wahani 2012).

ISPA merupakan penyakit yang berbasis lingkungan. Lingkungan yang tidak


sehat akan memudahkan terjadinya penyakit ISPA pada balita. Lingkungan yang
cakupannya paling kecil yaitu rumah.  Rumah yang tidak sehat akan menyebabka
n virus dan bakteri ISPA dapat berkembang secara cepat. Maka dari itu sanitasi
fisik rumah sangat perlu untuk diperhatikan untuk mencegah terjadinya ISPA
pada balita.

2.2 Sanitasi Fisik Rumah

2.2.1 Pengertian

Sanitasi adalah prilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan


maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan
berbahaya lainnya dengan harapan agar menjaga dan meningkatkan kesehatan
manusia.
11

Sanitasi adalah segala upaya yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya kondisi
yang memenuhi persyaratan kesehatan. Sementara definisi lainnya menitik
beratkan pada pemutusan rantai kuman dari sumber penularan dan pengendalian
lingkungan.

2.2.2. Konsep sanitasi rumah sehat

Rumah sehat adalah rumah yang didalamnya tersedia air bersih, ada tempat
sampah, ada jamban dan septic tenk, perkarangan ditanami tumbuhan yang
bermanfaat, ruangan rumah cukup luas dan tidak padat penghuni, terdapat jendela
dan lubang angin untuk masuk sinar matahari kedalam ruangan, lantai harus
kering tidak lembab, ada jalan keluar untuk asap dapur, kandang ayam atau
kambing berjarak 10 m dari rumah (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2010). Untuk
memenuhi syarat rumah sehat terdapat beberapa syarat-syarat rumah sehat
menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 829/Menkes/SK/V
II/1999 yaitu :

2.2.2.1 Pencemaran udara

Pencemaran udara adalah masuknya komponen lain kedalam udara, baik oleh
kegiatan manusia secara langsung atau tidak langsung maupun akibat alam
sehingga kualitas udara turun. Pencemaran udara menurut definisi adalah
terdapatnya satu jenis atau lebih pencemaran seperti debu, uap, gas, asap, kabut,
atau bau diudara dalam jumlah, ciri-ciri, dan waktu yang membahayakan bagi
kesehatan manusia (Irianto & Jokohadikusumo, 2010).

Populasi udara baik dari dalam rumah maupun luar rumah dapat menyebabkan
penyakit ISPA seperti terdapat asap rokok dan asap pebakaran bahan bakar untuk
masak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru-paru
sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah
yang ventilasinya kurang memenuhi syarat dan dapur terletak didalam ruangan
yang dekat dengan kamar tidur atau tempat anak balita bermain (Maryani, 2012)
12

2.2.2.2 Ventilasi

Ventilasi adalah bukaan permanen pada dinding luar dari sebuah ruangan yang
diharapkan bias mengalirkan udara secara tetap kedalam ruangan.  Ventilasi
dibuat umumnya dietakan diatas jendela atau pintu. Pada posisi ini udara dapat
mengalir kedalam ruangan. Dalam pengertian ini ventilasi dari aspek fungsi juga
mencakup jendela. Luas ventilasi jendela adalah luas lubang untuk proses
penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor. Ventilasi atau jendela
mempunyai peran dalam rumah untuk mengganti udara ruangan yang sudah
terpakai (Irianto & Jokohadikusumo, 2010)

Ventilasi rumah mempunyai fungsi untuk menjaga agar aliran udara didalam
ruangan tetap segar. Hal ini karena keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh
penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Standar luas ventilasi rumah adalah 10%
luas lantai. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen didalam
rumah sehingga dapat membahayakan kesehatan khususnya saluran pernapasan.
Menurut Arifin (2009) mengatakan agar udara dalam ruangan tetap segar
persyaratan teknis ventilasi dan jendela sebagai berikut luas lubang ventilasi tetap,
minimal 5% dari luas lantai ruangan dan lubang ventiasi insidentil (dapat dibuka
dan ditutup) 5%, dengan tinggi lubang ventilasi minimal 80 cm dari langit-langit,
udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh debu, uap, gas,
kabut asap, atau bau udara didalam ruangan, aliran udara diusahakan silang
ventilasi dengan menempatkan lubang hawa berhadapan antara dua dinding
ruangan. Aliran udara ini diusahakan tidak terhalang oleh barang-barang seket
didalam ruangan, seket almari.

Menurut Notoatmodjo (2013) terdapat dua macam ventilasi yaitu ventilasi


alamiah Merupakan aliran udara didalam ruangan terjadi secara alamiah melalui
jendela, pintu, lubang angin atau lubang ventilasi, dan lubang-lubang pada
dinding. Ventiasi buatan adalah ventilasi buatan dengan menggunakan alat
khusus untuk mengalirkan udara, misalnya kipas angin, air conditioning (AC),
dan mesin penghisap udara. Secara umum penilaian dan pengukuran ventilasi
13

rumah dapat dilakukan dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas
lantai rumah dengan menggunakan rollmeter.

2.2.2.3 Kelembaban udara


Kelembaban sangat erat hubungannya dengan ventilasi, Apabila ventilasi kurang
baik maka akan meningkatkan kelembaban yang disebabkan oleh penguapan
cairan dan uap pernafasan (Arifin, 2009)

Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara nyaman berkisar 10-
28℃ dan kelembaban udara berkisar antara 40-70%. Jika didalam ruangan
memiliki kelembaban udara lebih dari 70% maka temperature ruang akan
terganggu dan dapat menyebabkan tubuhnya jamur. Jamur tersebut dapat
mengganggu dan menyebabkan bangunan rusak sehingga mempertinggi resiko
penghuninya terserang penyakit, terutama penyakit yang berhubungan dengan
pernafasan. Secara umum penilaian dan pengukuran kelembaban udara dapat di
lakukan dengan menggunakan alat ukur higrometer (Notoatmodjo, 2013)

2.2.2.4 Pencahayaan
Rumah yang sehat memerukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang masuk
dalam ruangan terutama cahaya matahari merupakan media atau tempat yang baik
untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Menurut Notoatmodjo (2013)
cahaya dibagi menjadi dua macam yaitu cahaya alamiah dan cahaya buatan.
Cahaya alamiah adalah cahaya yang berasal dari cahaya matahari yang masuk
kedalam ruangan melalui jendela, celah, genteng kaca, maupun bagian lain dari
rumah yang terbuka, selain berguna untuk penerangan sinar juga mengurangi
kelembaban udara dan dapat membunuh bakteri-bakteri pathogen didalam rumah.
Secara umum penilaian dan pengukuran pencahayaan dapat di lakukan dengan
menggunakan alat ukur lux meter, dalam pengukuran cahaya alami rumah yaitu
dengan mengukur pada setiap bagian ruangan yang di ukur melalui lima titik pada
ruangan dan hasilnya dirata-rata.
14

2.2.2.5. Tingkat kepadatan hunian


Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni rumah didalam
nya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus sesuai dengan jumlah
penghuninya. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya
akan mempunyai dampak kurang nya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan
tubuh penghuninya menurun, kemudian timbulah penyakit infeksi seperti infeksi
saluran pernafasan akut. Ruangan yang sempit akan membuat nafas sesak dan
mudah tertular penyakit oleh anggota keluarga lain (Notoatmodjo, 2013).

Kepadatan hunian dalam ruangan menurut keputusan menteri kesehatan RI No.


289/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, kepadatan hunian
kamar luasnya minimal 8m² dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang
kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Menurut penelitian Agungnisa (2019)
menunjukan adanya hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA
pada balita. Hal ini dikarenakan rumah padat penghuni akan membuat proses
pertukaran udara di dalam rumah tidak baik, sehingga memudahkan penularan
penyakit seperti ISPA karena penularannya ditransmisikan melalui udara.

2.2.2.6. Tersedia air bersih


Rumah sehat harus memenuhi kebutuhan air bersih bagi para penghuninya yaitu
60 liter per hari per orang untuk minum, mandi, mencuci, dan lain-lain. Untuk
mengukur tersedianya air bersih dapat dilihat dari kondisi air yang jernih, dan
tidak berbau.

2.2.2.7. Pembuangan limbah atau tempat sampah


setiap hari rumah menghasilkan limbah dari kamar mandi, dapur, dan sampah.
Rumah sehat harus memiliki septic tank dan pembuangan limbah air yang tidak
mencemari tanah dan tidak berbau.
Setiap rumah sehat harus memiliki tempat pembuangan sampah tertutup agar
tidak mencemari lingkungan sekitar dan menimbulkan penyakit, tempat sampah
tertutup harus ada dua jenis yaitu untuk sampah organik dan anorganik.
15

2.2.2.8. Lantai

Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya ISPA karena lantai yang tidak
memenuhi syarat merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri
atau virus penyebab ISPA. Lantai yang memenuhi syarat yaitu lantai yang dalam
keadaan kering dan tidak lembab. Bahkan lantai harus kedap air dan mudah
dibersihkan, seperti dilapisi ubin atau kramik yang mudah dibersihkan. Karena
jenis lantai yang yang tidak kedap air pada musim kemarau akan menimbulkan
debu yang bias menggangu pernafasan, sedangkan pada musim penghujan
mengakibatkan kelembaban yang tinggi sehingga kondisi ini akan meningkatkan
perkembangbiakan mikroorganisme (Irianto, 2010).

Rumah dengan kondisi lantai yang tidak permanen mempunyai kontribusi yang
besar terhadap penyakit pernafasan, hal ini dikarenakan lantai yang terbuat dari
tanah akan menimbulkan debu sehingga debu yang berada dalam udara rumah
akan terhirup dan menempel pada saluran pernafasan. Akumulasi debu tersbut
akan menyebabkan elastisitas paru akan menurun dan menyebabkan kesukaran
bernafas (Nurjazuli, 2009)
16

2.3 Kerangka Teori

Faktor penyebab : Faktor yang mempengaruhi :

1. Virus (golongan Miksovirus : yaitu 1. Faktor individu anak


virus influenza, virus para influenza, 2. Faktor prilaku
virus campak, Adenovirus, 3. Faktor lingkungan
Coronavirus, Picornovirus, 4. Faktor lain-lain
Mikoplasma, Dan Herpervirus )
2. Bakteri (Streptococcus, Hemolitik,
Stafiloococcus, Pneumococcus,
Haemophilus Influenza, Bordetela Sanitasi fisik rumah
Pertusis, Corinebacterium Diefteri)

1. Pencemaran udara
2. Kelembaban
3. Ventilasi
4. Pencahayaan
5. Kepadatan hunian
Kejadian ISPA
6. Tersedianya air
bersih
7. Pembuangan limbah
atau sampah
8. Lantai

ISPA ringan ISPA sedang ISPA berat

Gejala : Gejala : Gejala:

1. Batuk 1. pernafasan cepat (fast 1. bibir atau kulit


2. Serak breating) membiru
3. Pilek 2. suhu badan lebih dari 39℃ 2. kesadaran menurun
(mengeluarkan 3. tenggorokan berwarna 3. bunyi nafas seperti
lender atau ingus merah mengorok
dari hidung), 4. timbul bercak-bercak 4. anak tampak gelisah
4. Demam suhu merah pada kulit 5. sel iga tertarik kedalam
badan melebihi menyerupai bercak campak pada waktu bernapas
37℃. 5. telinga sakit atau 6. nadi cepat lebih dari
mengeluarkan nanah dari 160 kali per menit atau
lubang telinga tidak teraba.
6. pernafasan berbunyi
seperti mengorok.

Gambar 2.1 kerangka teori infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)


Sumber : Widoyono (2010), Hidayat (2009), dan Noor (2010)
17

2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep


yang ingin diamati atau di ukur melalui penelitian yang dilakukan.

Kerangka konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu :

Variabel bebas variabel terikat

Kejadian ISPA pada balita


Sanitasi fisik rumah

Variabel pengganggu

1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Status imunisasi

Gambar 2.2 kerangka konsep infeksi saluran pernafasan akut

Keterangan :

: diteliti

: tidak diteliti
18

2.5 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap tujuan penelitian, dimana


tujuan penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan. Dikatakan
sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang
relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh dari
pengumpulan data.

Hipotesis nol (Ho) sering disebut hipotesis statistic, karena biasanya dipakai
dalam penelitian yang bersifat statistic. Hipotesis nol menyatakan tidak adanya
perbedaan antara dua variabel atau tidak adanya pengaruh variabel X terhadap
variabel Y.

Hipotesis kerja (Ha) sering disebut hipotesis alternative, yang menyatakan adanya
hubungan antara variabel X dengan variabel Y atau adanya perbedaan antara dua
klompok (Sugiyono, 2011).

Ho : Tidak ada hubungan antara sanitasi fisik rumah dengan kejadian


infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita.
Ha : Ada hubungan antara sanitasi fisik rumah dengan kejadian infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita.
19

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode


deskriptif korelasi. Penelitian deskriptif korelasi merupakan penelitian hubungan
antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subjek. Hal ini dilakukan
untuk melihat hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain (Arikunto
2013).

Penelitian ini menggunakan pendekatan desain cross sectional yaitu penelitian


hanya melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali
waktu) antara faktor resiko dengan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui adanya hubungan sanitasi fisik rumah dengan kejadian ISPA pada
balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron.

3.2 Alat Penelitian Dan Cara Pengumpulan Data

3.2.1 Alat Penelitian

Alat penelitian atau instrumen penilitian adalah alat bantu yang digunakan oleh
peneliti dalam kegiatan mengumpulkan data agar penelitian tersebut menjadi
sistematis dan dipermudah (Arikunto, 2010). Dalam penelitian ini, instrumen
penelitian yang digunakan adalah lembar MTBS, lembar observasi dan formulir
isi pengukuran. Lembar MTBS digunakan untuk mendapatkan informasi apakah
balita tersebut menderita ISPA atau tidak. Observasi merupakan cara
pengumpulan data dengan melakukan pengamatan secara langsung pada
responden penelitian untuk mencari hal-hal yang akan diteliti.

Untuk mengukur tentang kejadian ISPA mengunakan lembar manajemen terpadu


balita sakit (MTBS). Kategori pada kuesioner ini yaitu ISPA dan tidak ISPA,
disebut ISPA jika pada lembar MTBS ISPA di isi bahwa balita mengalami batuk
dan sukar bernafas serta jika balita tidak mengalami itu maka dikatakan tidak

19
20

ISPA. Untuk mengukur sanitasi fisik rumah digunakan instrument penelitian


berupa lembar observasi dan alat ukur seperti lux meter, higrometer, rollmeter.
Pada lembar observasi menggunakan jawaban setiap pertanyaan terdapat kriteria
dan di beri skor 0, 1, dan 2 dan dikalikan dengan bobot. Untuk pengukuran
sanitasi fisik rumah seperti pencahayaan menggunakan alat ukur berupa lux meter,
dalam pengukuran cahaya alami rumah yaitu dengan mengukur pada setiap bagian
ruangan yang akan diukur melalui lima titik pada ruangan dan hasilnya dirata-rata.
Cara mengukur kelembaban rumah menggunakan alat ukur berupa higrometer
untuk mengukur kelembaban rumah yaitu dengan meletakan alat higrometer pada
salah satu ruangan. dan untuk mengukur ventilasi atau jendela menggunakan
rollmeter Cara pengukurannya yaitu dengan mengukur luas lantai kamar,
mengukur luas ventilasi kamar, kemudian luas lantai kamar di bandingkan dengan
luas ventilasi kamar.

3.2.2 Uji Validitas


Uji validitas adalah gambaran seberapa jauh pengukuran yang dilakukan
menghasilkan nilai yang sebenarnya ingin di ukur (Supardi & Rustika, 2013)
Pengujian validitas digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel
dapat digunakan sebagai alat ukur yaitu dengan uji korelasi antara skor (nilai)
tiap-tiap pertanyaan dengan skor total lembar observasi tersebut. Pada penelitian
ini tidak dilakukan uji validitas karena untuk mengukur kejadian ISPA
menggunakan lembar MTBS yang sudah baku dan untuk mengukur sanitasi fisik
rumah menggunakan lembar observasi sanitasi fisik rumah yang diadopsi dari
Depkes RI.

3.2.3 Uji Reliabilitas


Realibilitas adalah gambaran seberapa jauh pengukuran yang diperoleh dengan
menggunakan instrument yang sama dan jika diulangi akan menghasilkan nilai
yang sama (Supardi & Rustika, 2013). Suatu instrumen pengukuran dikatakan
reliabel apabila instrumen tersebut digunakan secara berulang memberikan hasil
ukur yang sama, untuk perhitungan reliabilitas menggunakan cronbach alpha.
21

Pada penelitian ini, peneliti tidak melakukan uji validitas dan reliabilitas karena
lembar MTBS dan lembar observasi sanitasi fisik rumah sudah baku dan paten.

3.2.4 Cara Pengumpulan Data

3.2.3.1 Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh secara langsung melalui pengumpulan
data dari responden yang di lakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron,
peneliti melaksanakan prosedur pengumpulan data sebagai berikut Peneliti
menentukan tempat untuk penelitian, kemudian mengajukan surat permohonan
izin kepada Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Bhakti Mandala Husada Slawi (STIKes BHAMADA) untuk
melakukan studi pendahuluan di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron lalu peneliti
melakukan studi pendahuluan untuk mengetahui fenomena yang ada di Wilayah
Kerja Puskesmas Pemaron. Hal yang pertama peneliti lakukan untuk melakukan
penelitian, peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada
KESBANGPOL, BAPPEDA, dan Dinas Kesehatan Brebes sebagai surat
pengantar yang di tujukan kepada Puskesmas Pemaron untuk melakukan
penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron. Setelah mendapatkan izin
penelitian dari Puskesmas, peneliti mencatat data balita yang berkunjung ke
Puskesmas setiap hari untuk mengetahui balita yang menderita ISPA dan tidak
menderita ISPA, selanjutnya peneliti memberikan informasi tentang tujuan
peneliti yang akan melakukan penelitian kepada calon responden, bagi yang setuju
berpartisipasi dalam penelitian ini diminta untuk menandatangani lembar
persetujuan penelitian (informed consent). Peneliti melakukan penelitian dengan
melihat kunjungan balita di Puskesmas Pemaron yang telah dilakukan
pemeriksaan dan didiagnosa oleh petugas kesehatan balita tersebut menderita
ISPA maupun tidak menderita ISPA. Setelah balita di periksa oleh tenaga
kesehatan puskesmas maka peneliti melakukan kontrak waktu kepada ibu dari
semua balita yang berkunjung ke Puskesmas untuk mendatangi rumahnya guna
melakukan observasi pengukuran sanitasi fisik rumah, ketika sampai di rumah
22

responden peneliti melakukan pengukuran dan mengobservasi kondisi rumah


responden apakah rumah responden sudah memenuhi kriteria atau belum. Peneliti
melakukan pengumpulan data di Wilayah kerja Puskesmas Pemaron dibantu oleh
enumerator dari mahasiswa STIKes bhamada tingkat empat yang berjumlah lima
orang dan yang sebelumnya sudah dilakukan persamaan persepsi.

3.2.3.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang di peroleh peneliti dari sumber yang sudah ada.
Data sekunder biasanya berwujud data dokumentasi atau laporan yang telah
tersedia. Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari dokumen tahun 2018
dan bulan oktober sampai November 2019 di Puskesmas Wilayah Kerja Pemaron.
Dokumen yang diambil adalah balita yang didiagnosa oleh petugas kesehatan
terkena ISPA.

3.3 Populasi Dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisis yang terdiri atas obyek atau subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang di tetapka oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Populasi pada
penelitian ini adalah semua balita yang berkunjung di puskesmas Wilayah Kerja
Pemaron.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Sehingga sampel merupakan bagian dari populasi yang ada, sehingga
untuk pengambilan sampel yang ada harus menggunakan cara tertentu yang di
dasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang ada (Sugiyono, 2011).

Dalam teknik pengambilan sampel ini penulis menggunakan nonprobability


sampling yaitu teknik sampling yang memberi peluang atau kesempatan tidak
sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel.
23

Teknik tersebut menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik untuk


menentukan sampel penelitian dengan kriteria-kriteria atau beberapa
pertimbangan tertentu yang bertujuan agar data yang diperoleh nantinya bias lebih
representative. Sampel yang diambil harus memiliki kriteria sebagai berikut :

3.3.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel


penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Hidayat, 2014) Adapun kriteria
inklusi dalam penelitian ini adalah balita yang berkunjung ke Puskesmas
Pemaron, balita yang berumur 1-5 tahun, balita yang bersedia menjadi responden
penelitian, dan bertempat tinggal di Wilayah Kerja Puskesmas Pemaron.

3.3.2.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil
sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010). Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah
balita yang berkunjung ke Puskesmas Pemaron tetapi tidak bersedia menjadi
responden, balita yang bukan bertempat tinggal di Wilayah Kerja Puskesmas
Pemaron, dan tidak ada ditempat saat dilakukan penelitian.

3.4 Besar Sampel

Besar sampel pada penelitian ini dengan teknik nonprobability sampling yang
meliputi purposive Sampling merupakan teknik untuk menentukan sampel
penelitian dengan kriteria-kriteria atau beberapa pertimbangan tertentu yang
bertujuan agar data yang diperoleh nantinya bisa lebih representatif.

Rumus perhitungan besar sampel menurut (sugiyono 2012) yaitu menggunakan


rumus Slovin sebagai berikut:

N
n=
1+ N (e) ²
24

Keterangan :

n = besar sampel

N = populasi

e = taraf kesalahan/ eror level sebesar 10 %

dalam penelitian ini jumlah sampel yang akan diteliti yaitu :

149
n=
1+149( 0,1) ²

149
n=
2.49

n=60 responden

3.5 Tempat Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2020 di Wilayah
Kerja Puskesmas Pemaron.

3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian dan Skala Pengukuran

3.6.1. Variabel

Variabel adalah segala sesuatu yang memiliki variasi nilai atau meiliki nilai yang
berbeda dan dapat diukur (Sugiyono, 2012).

3.6.1.1. Variabel Independen / Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen/variabel terikat (Sugiyono,
2012). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah sanitasi
fisik rumah.
25

3.6.1.2 Variabel Dependen / Variabel Terikat

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat,
karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2012). Dalam penelitian ini yang
menjadi variabel dependen adalah kejadian infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) pada balita.

3.6.1.3 Variabel Pengganggu

Variabel pengganggu adalah variabel yang mengganggu terhadap hubungan


antara variabel independen dengan variabel dependen (Notoatmodjo, 2010).
Dalam penelitian ini variabel pengganggu nya adalah umur, jenis kelamin, dan
status imunisasi.

3.6.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah variabel secara operasional berdasarkan karakteristik


yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau
pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena. (Hidayat, 2014).
Dalam penelitian ini definisi operasional dapat dilihat pada table 3.1.
26

Table 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian Dan Skala Ukur

No Variabel Definisi Alat ukur Kategori Skala


operasional
Variabel dependen
1. Kejadian Balita yang Lembar 1. ISPA Nominal
ISPA terdiagnosa oleh Manajemen 2. Tidak
petugas terpadu ISPA
kesehatan balita sakit
Puskesmas (MTBS)
menggunakan
lembar MTBS
yang terkena
infeksi saluran
pernapasan akut
(ISPA).
Variable independen
2. Sanitasi Kondisi rumah Lembar 1. Rumah Nominal
fisik yang dilihat dari observasi tidak sehat
rumah luas ventilasi, dan 2. Rumah
kelembaban udara, Pengukuran sehat
kepadatan hunian, dengan alat
pencahayaan,
pencemaran udara,
tersedianya air
bersih,
pembuangan
limbah atau
sampah, dan
lantai.

5.7 Teknik Pengolahan Data Dan Analisa Data


5.7.1 Teknik Pengolahan Data
27

Menurut hidayat (2014) tahap pengolahan data meliputi :

5.7.1.1 Editing
Editing, yaitu cara untuk memeriksa kembali kebenaran data dan kelengkapan
data yang sudah diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Peneliti melakukan pengecekan
ulang data yang telah didapat saat melakukan observasi.

5.7.1.2 Coding

Coding yaitu kegiatan pemberian kode numerik atau angka terhadap data yang
terdiri atas beberapa kategori untuk memudahkan penginterpretasien hasil dari
penelitian. Teknik pengolahan data yang di coding diantaranya kategori ISPA
kode 1 = ISPA, kode 2 = Tidak ISPA. dan untuk kategori sanitasi fisik rumah
kode 1 = Rumah tidak sehat, kode 2 = Rumah sehat.

3.7.1.3 Tabulating data


Tabulating data, yaitu memasukan data hasil penelitian kedalam tabel yang
sesuai dengan kriteria. Dari data yang mentah dilakukan penataan data, kemudian
menyusun dalam bentuk tabel distribusi. pada penelitian ini, peneliti melakukan
tabulating pada data-data yang sudah diberi kode seperti nomor responden dan
sanitasi fisik rumah dalam satu tabel agar dapat terbaca hasil yang didapat.

3.7.1.4 Entri data


Entri data, yaitu kegiatan memasukan jawaban dari semua responden yang sudah
dalam bentuk kode (huruf atau angka) yang dimasukan kedalam database
computer dan dianalisis dengan aplikasi program SPSS.

3.7.1.5 Cleaning
28

Cleaning, yaitu pebersihan atau pengecekan kembali data yang sudah dimasukan
agar semua data yang didapat terhindar dari kesalahan sebelum dilakukan analisis.

3.7.2 Analisa Data


3.7.2.1 Analisa Univariat
Analisa univariat digunakan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik masing-masing variabel yang diteliti (Nursalam, 2012). Analisa
univariat yang digunakan dalam penelitian ini untuk menjelaskan karakteristik
responden yang ditampilkan dalam bentuk distribusi dan frekuensi. Rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut :

NP = Jumlah skor jawaban (R) x 100%


Jumlah skor ideal (SM)

Keterangan :
NP = Nilai Prosentase yang dicari atau diharapkan
R = Skor mentah yang diperoleh
SM = Skor maksimum ideal dari kuesioner
100 = Bilangan tetap

3.7.2.2 Analisa Bivariat


Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan yang erat antar variabel.
Penelitian ini menggunakan uji chi-square karena skala data pada variabel yang
digunakan dalam bentuk nominal dan nominal dengan nilai signifikan <0,05
(p<0,05) (Notoatmojo, 2014). Uji ini digunakan untuk mengestimasi atau
mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau dianalisis hasil observasi untuk
mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara sanitasi fisik rumah
dengan kejadian ISPA.
Rumus penghitungan yang digunakan dalam uji Chi Kuadrat adalah:
x2 = ∑(fo-fh)2
fh
fo = Frekuensi yang diobservasi dalam kategori ke-1
29

fh = Frekuensi yang diharapkan dari dibawah Ho dalam kategori ke-1

3.8 Etika Penelitian


Etika penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan sebuah
penelitian, mengingat penelitian keperawatan akan berhubungan dengan manusia.
Oleh karena itu, segi etika penulisan harus diperhatikan karena manusia
mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian. Prinsip dasar etik penelitian
keperawatan menurut (Dharma, 2015) yaitu:

3.8.1 Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Penelitian harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia. Responden memiliki hak asasi dan kebebasan untuk menentukan
pilihan ikut atau menolak penelitian (autonomy). Tidak boleh ada paksaan atau
penekanan tertentu agar responden bersedia ikut dalam penelitian. Responden
dalam penelitian juga berhak mendapatkan informasi yang terbuka dan lengkap
dengan paksanaan penelitian, yang meliputi tujuan dan manfaat penelitian,
prosedur penelitian, resiko penelitian, keuntungan yang mungkin didapat dan
kerahasiaan informasi.

Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan mempertimbangkan dengan


baik, responden kemudian menentukan apakah akan ikut serta atau menolak
sebagai responden penelitian. Prinsip ini tertuang dalam informed consent.

3.8.2 Menghormati privasi dan kerahasiaan responden (respect for privacy


andconfidentiality)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden dalam penelitian, maka peneliti
tidak akan mencantumkan nama responden atau hanya berupa inisial pada lembar
alat ukur. Lembar tersebut hanya diberi nomor kode pada masing-masing lembar
yang hanya diketahui oleh peneliti. Kerahasiaan informasi yang diberikan kepada
responden dijamin oleh peneliti.
3.8.3 Menghormati keadilan dan inklusivitas (respect for justice inclusiveness)
30

Prinsip keterbukaan dalam penelitian mengandung makna bahwa penelitian


dilakukan dengan jujur, tepat, cermat, hati-hati, dan dilakukan secara profesional.
Sedangkan prinsip keadilan mengandung makna bahwa peneliti memberi
keuntungan dan beban secara merata sesuai dengan kebutuhan dan keterampilan
responden.

3.8.4 Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing


harm and benefits)
Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap penelitian harus mempertimbangkan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi responden penelitian dan populasi dimana
hasil penelitian akan diterapkan (beneficience). Kemudian meminimalisir resiko
atau dampak yang merugikan bagi responden penelitian (non maleficience).
Peneliti harus mempertimbangkan rasio antara manfaat dan kerugian atau resiko
dari penelitian.

3.9 Jadwal Penelitian


31

STIKES BHAMADA SLAWI JADWAL


PRODI SARJANA KEPERAWTAN DAN PENELITIAN
PENDIDIKAN PROFESI NERS

OKT NOV DES JAN FEB MAR


No KEGIATAN
4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
1. Penentuan
topik dan judul
Bimbingan Proposal
2. BAB 1
Pendahuluan
3. BAB 2
Tinjauan
Pustaka
4. BAB 3 Metode
Penelitian
5. Sidang
Proposal
6. Revisi Proposal
7. Penelitian
8. Penulisan
Laporan
Penelitian
9. BAB 4 Hasil
dan
Pembahasan
10. BAB 5
Keimpulan dan
Saran
11. Sidang Skripsi
12. Perbaikan
Skripsi
13. Perbaikan
Formatting
14. Penjilidan
Skripsi

Anda mungkin juga menyukai