Anda di halaman 1dari 2

JUDUL : SOLUSI DAN IMPLEMENTASI KONSERVASI FAUNA

NAMA PENULIS : BONDAN ARDI WIBOWO

NIM : C.111.19.0172

KELAS : TEKNIK SIPIL D

SOLUSI DAN IMPLEMENTASI KONSERVASI FAUNA

Konflik manusia-orangutan merupakan fenomena yang terjadi ketika eksploitasi sumber daya alam
yaitu hutan terjadi secara berlebihan dan mengakibatkan pembenturan kepentingan di antara kedua pihak.
Manusia pada kenyataannya bertanggung jawab dalam memicu konflik yang terjadi saat ini dan merupakan
kewajiban manusia untuk menyelesaikannya juga. Penulis menggagas sistem konservasi berbasis masyarakat
sebagai suatu upaya konservasi karena meyakini peranan dan kekuatan yang besar dari masyarakat lokal dapat
menjadi solusi untuk konflik manusia-orangutan yang telah terjadi. Sistem konservasi ini menekankan pada
upaya perlindungan hutan yang menjadi habitat orangutan dan tidak pada upaya perlindungan secara
langsung kepada orangutan. Masyarakat lokal yang dilibatkan dalam sistem ini adalah masyarakat yang tinggal
di dalam atau sekitar hutan habitat yang menjadi habitat orangutan. Mekanisme perumusan dan strategi
implementasi sistem konservasi berbasis masyarakat akan dibahas lebih lanjut pada bab analisis dan sintesis.

Hutan hujan tropis di Asia Tenggara mengalami tekanan dari dua kegiatan besar yaitu pembalakan
secara besar-besaran baik secara legal maupun ilegal dan kegiatan konversi lahan untuk berbagai keperluan,
termasuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Data Food and Agriculture Organization (FAO)
menunjukkan tutupan hutan di Indonesia sepanjang tahun 1990-an mengalami penurunan hingga 13 juta
hektar dengan laju deforestasi sebesar 1,51 juta ha/tahun pada tahun 2000-2009 (Sumargo, dkk. 2009).
Penyusutan dan kerusakan kawasan hutan dataran rendah yang terjadi di Sumatera dan Borneo selama
sepuluh tahun terakhir telah mencapai titik kritis yang dapat membawa bencana ekologis skala besar.
Kerusakan kawasan hutan telah menurunkan jumlah habitat orangutan sebesar 1-1,5% per tahunnya di
Sumatera. Jumlah kehilangan habitat di Borneo sebesar 1,5-2% per tahunnya dan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan Sumatera. Kerusakan hutan yang menjadi habitat orangutan di Borneo menyebabkan fragmentasi
pada populasi orangutan borneo.

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit4 diduga menjadi penyebab utama kerusakan
habitat orangutan di Indonesia saat ini. Mengambil contoh di Borneo, provinsi Kalimantan Timur telah
merencanakan pengembangan perkebunan kelapa sawit sebesar 1 juta ha dan sebanyak 330 perusahaan telah
mengantongi luas izin mencapai 3,73 juta ha dengan realisasi penanaman 576,31 ribu ha pada April 2012.
Ketiadaan batas kawasan hutan yang jelas di lapangan dan kurang tepatnya pemberian perizinan perkebunan
juga mengakibatkan sekitar 200 ribu ha lahan perkebunan tumpang tindih atau menjarah kawasan hutan
(Sardjono, dkk. 2012). Di Sumatera, dapat diambil contoh kasus konversi hutan rawa gambut menjadi
perkebunan kelapa sawit di daerah Tripa, Aceh. Laju kehilangan hutan yang menjadi habitat orangutan
sumatera ini bahkan mencapai 3.300 ha/tahun pada periode tahun 2005-2009.

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit saat ini memang menjadi pilihan karena
memberikan pendapatan bagi negara sebesar Rp. 84 triliun pada tahun 2008 (Wibowo, 2010). Usaha kelapa
sawit telah menjadi pilihan bagi masyarakat di Tripa karena upah yang besar bagi buruh yaitu Rp. 139.881 per
hari dan keuntungan sebesar Rp. 88.134.000 untuk 4 Penulis memfokuskan permasalahan perkebunan kelapa
sawit sebagai ancaman utama terhadap orangutan dalam tulisan ini. Permasalahan lain seperti pembalakan
liar, pertambangan, pembakaran hutan dan lahan berpindah tetap diperhitungkan walaupun tidak dianggap
sebagai ancaman utama bagi keberlangsungan hidup orangutan.
SOLUSI ATAU UPAYA

Salah satu upaya konservasi yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan membuat kebijakan
terkait konservasi orangutan. Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan lembaga non-pemerintah membuat
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2007-2017 yang mencangkup segala kebijakan pemerintah
baik dalam ruang lingkup umum maupun sektoral. Salah satu undang-undang yang sangat penting adalah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
termasuk turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa Liar dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar.

Dalam dunia internasional, lembaga status konservasi satwa internasional International Union for
Conservation of Nature (IUCN) memberikan kategori genting (endangered) kepada orangutan borneo dan kritis
(critically endangered) kepada orangutan sumatera. Kedua spesies tersebut juga terdaftar dalam Apendiks I
CITES (Convention on International Trade in Endangered of Wild Species of Fauna and Flora) yang berarti
orangutan maupun bagian tubuhnya sama sekali tidak boleh diperdagangkan (Supriatna, 2012). Upaya
konservasi yang juga sedang berjalan adalah dengan memberi perlindungan hutan yang menjadi habitat dari
orangutan. Upaya cukup inovatif telah dilakukan oleh LSM Nature Alert dan Orangutan Survival Foundation
yaitu dengan mengajak konsumen untuk mengurangi pemakaian produk minyak sawit dan mengecek asal
minyak sawit yang digunakan, apakah berasal dari perkebunan yang merusak hutan habitat orangutan atau
tidak.

Upaya konservasi lainnya adalah dengan melakukan mitigasi konflik manusia-orangutan. Pengelola
lahan yang diduga menjadi habitat potensial orangutan diwajibkan melakukan survey terlebih dahulu dengan
melibatkan para ahli untuk memastikan keberadaan orangutan. Deteksi secara visual keberadaan orangutan
merupakan petunjuk yang terbaik. Jika tidak ditemukan secara visual, maka tanda-tanda lain yang ditinggalkan
orangutan perlu diperhatikan, seperti keberadaan sarang dan terdengarnya suara orangutan (Yuwono, 2007).
Pengetahuan akan populasi dan dinamika orangutan di daerah sekitar lahan konversi sangat penting untuk
manajemen konservasi yang akan dilakukan. Penanganan konflik manusia-orangutan melibatkan upaya
relokasi, rehabilitasi, dan reintroduksi. Relokasi dilakukan pada orangutan yang kehilangan tempat tinggalnya
dan dipindahkan ke habitat baru yang lebih menunjang. Rehabilitasi dilakukan untuk merawat

Anda mungkin juga menyukai