Anda di halaman 1dari 82

PENGARUH PEMBERIAN KRIM TOPIKAL EKSTRAK

BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) PADA LUKA


AKUT TERHADAP KADAR INTERLEUKIN-6 FASE
INFLAMASI PADA WISTAR

ABDUL THALIB
P4200215016

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
ABSTRAK

ABDUL THALIB, PENGARUH PEMBERIAN KRIM TOPIKAL EKSTRAK BUAH NAGA


MERAH (Hylocereus polyrhizuz) PADA LUKA AKUT TERHADAP KADAR INTERLEUKIN-
6 FASE INFLAMASI PADA WISTAR (dibimbing oleh Kadek Ayu Erika, Muh. Nasrum Massi)

Sitokinin berperan penting pada penyembuhan luka, salah satu sitokinin yang berperan
pada proses penyembuhan luka adalah interleukin-6 (IL-6). Penggunaan buah naga merah
sebagai modalitas penyembuhan luka menjadi salah satu alternatif perawatan. Kandungan
flavonoid khusunya senyawa steoid yang ada pada buah naga bisa digunakan sebagai anti
inflamasi, sayangnya masih sangat terbatas penelitian yang melaporkan penggunaan buah naga
merah pada penyembuhan luka khususnya luka akut. Diamana pada luka akut yang sering
menjadi masalah yaitu fase inflamasinya. Tujuan penelitian ini untuk mengindentifikasi efek
dari pemberian Ekstrak Buah Naga Merah (EBNM) secara topikal terhadap kadar IL-6 pada
penyembuhan luka akut pada wistar.
Penelitian ini merupakan penelitian ekperimen dengan desain Randomized Post Test
Control Group, dimana wistar jantan albino (n=41) berat badan 250-300 gr dibagi ke dalam 3
kelompok (control negatif (n=12), control positif (n=12), EBNM 7,5% (n=12)). Wistar dilukai
pada punggung kiri dan kanan menggunakan Punch Biopsi 5 mm, selanjutnya kadar IL-6
diperiksa melalui serum dengan teknik ELISA. Data dianalisis menggunakan uji One Way
Anova menggunakan SPSS 22 dengan nilai α < 0,05.
Hasil penelitian ini pada hari ke-7, kadar IL-6 pada kelompok EBNM (101.9±32,2 ;
p=0,379) lebih rendah dibandingkan kelompok control negatif (142,4±85,0; p=0,479) dan
tidak lebih inferior dari kontrol positif (97.9±41.9; p=0,140). Pada hari ke-7, diameter luka
lebih kecil pada kelompok EBNM (2.66±1.51) dibandingkan kelompok positif (3.16±0.52) dan
kontrol negatif (4.33±0.71). Krim topikal EBNM 7,5% mempercepat penyembuhan luka yang
ditandai dengan pengecilan diameter luka, yang disertai dengan penurunan kadar IL-6 yang
sama baiknya dengan kontrol positif pada hari ke-7.

Keyword: Hylocereus polyrhizus, Penyembuhan luka, Kadar IL-6, Diameter luka

iii
ABSTRACT

Abdul Talib, THE EFFECT OF TOPICAL CREAM RED DRAGON FRUIT EXTRACT
(Hylocereus polyrhizuz) ACUTE WOUNDS ON LEVELS OF INTERLEUKIN-6 PHASE
INFLAMMATION IN WISTAR (Supervised by Kadek Ayu Erika, Muh. Nasrum Massi)

Cytokines play an important role in wound healing, one of cytokinin which plays a
role in the wound healing process is interleukin-6 (IL-6). The use of red dragon fruit as
wound healing modalities into one of the alternative treatments. Steoid especially flavonoid
compounds that exist in the dragon fruit can be used as an anti-inflammatory, unfortunately
still very limited studies have reported the use of the red dragon fruit in particular wound
healing of acute wounds. Acute wounds that are often a problem that inflammatory phase.
The purpose of this study to identify the effect of Red Dragon Fruit Extract topically (RDFE)
to the levels of IL-6 in acute wound healing in Wistar.
This study is aexperimental design Randomized Post Test Control Group, in which
male Wistar albino (n = 41) weight 250-300 g were divided into 3 groups (a negative control
(n = 12), positive control (n = 12), RDFE 7.5% (n = 12)). Wistar wounded in the back left
and right by Punch Biopsy 5 mm, then the levels of IL-6 is checked through the serum with
ELISA technique. Data were analyzed using One Way ANOVA using SPSS 22 with a value of
α <0.05.
The results of this study at day 7, the levels of IL-6 on RDFE group (101.9 ± 32.2; p
= 0.379) lower than the negative control group (142.4 ± 85.0; p = 0.479) and not inferior of
the positive control (97.9 ± 41.9; p = 0.140). On day 7, the diameter of the smaller wound on
RDFE group (2.66 ± 1:51) than the positive group (3.16 ± 0.52) and negative controls (0.71 ±
4:33). RDFE 7.5% topical cream promotes wound healing characterized by downsizing the
diameter of the wound, which is accompanied by a decrease in the levels of IL-6 as well as
the positive control on day 7.

Keyword: Hylocereus polyrhizus, wound healing, levels of IL-6, Diameter wound,

iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama : Abdul Thalib


Nim : P4200215016
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Fakultas : Kedokteran

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengaruh Pemberian


Krim Topikal Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Phylorhizus) Pada Luka Akut
Terhadap Kadar Interleukin-6 Pada Wistar”, adalah hasil karya saya sendiri yang
belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar pada Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan maupun program studi lainnya. Karya ini adalah milik saya dan oleh
karena itu saya bertanggung jawab penuh atas keaslian tesis ini.
Dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai
acuan dalam naskah dengan disebutkan nama dan dicantumkan dalam daftar
rujukan.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya, tanpa ada
paksaan dari pihak manapun.

Makassar, 06 Desember 2017


Yang menyatakan,

Abdul Thalib

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya,

penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Pengaruh Pemberian Krim

Topikal Ekstrak Buah Naga Merah (Hylocereus Polyrhizuz) Pada Luka Akut

Terhadap Kadar Interleukin-6 Fase Inflamasi Pada Wistar”

Penulisan Hasil Penelitian ini merupakan salah satu persyaratan dalam rangka

penyelesaian Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Pascasarjana Universitas

Hasanuddin Makassar.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Elly L. Sjatar, S.Kp., M.Kes selaku Ketua Program Studi Magiter Ilmu

Keperawatan.

2. Ibu Dr. Kadek Ayu Erika, S.Kep,Ns., M.Kes selaku pembimbing I yang dengan

penuh perhatian dan kesabaran senantiasa membimbing dan memberikan

dorongan kepada penulis sejak awal penulisan hingga selesai penulisan Hasil

Penelitian ini.

3. Bapak Prof. dr. Muh. Nasrum Massi, Ph.D selaku pembimbing II yang dengan

penuh perhatian dan kesabaran senantiasa membimbing dan memberikan

dorongan kepada penulis sejak awal Penulisan hingga selesai penulisan Hasil

Penelitian ini.

4. Kedua Orangku, Ayahanda Hamzah Djanni dan Ibunda Andi Ama yang tak kenal

lelah bekerja, menasehatiku dan berdoa untukku dalam setiap tetes keringat dan air

mata yang mengalir semoga Allah SWT senantiasa meridohi setiap langkah

kakinya dan memberikan umur panjang agar kiranya saya misa membahagiakan

keduanya. Aaminn….

vi
5. Istriku Tercinta Nurul Fajrina, yang terus bersabar menghadapi semua

kekuranganku dan terap berada disampingku dalam suka maupun duka. Serta

anak-anakku Muh. Al-ghifari & Muh. Fathan Al-Rajab sebagai motifasi spirit

dalam kehidupanku, pemberi semangat dikalah lelah. Semoga Allah SWT

meridohi segala aktifitas kita dan tetap mempersatukan sampai ke surganya.

Aaminn….

6. Teman-teman seperjuangan Program Magister Ilmu Keperawatan Angkatan VI

Universitas Hasanuddin. Terkhusus kepada teman yang serasa jadi saudara yang

terus mengingatkan dan menasehati Gandi Iswanto, Suardi, dan My Team

(Musdalifah, Ferly, Ita Sulistiani, I Kade Wijaya, Alfian Mas’ud, Jia) Semoga

kesuksesan yang didapat menjadi berkah dalam kehidupan ini.

Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi

perkembangan ilmu di masa mendatang. Penulis mohon maaf bilamana ada hal-hal

yang tidak berkenan dalam penulisan ini, karena disadari sepenuhnya bahwa penulisan

Proposal Penelitian ini masih jauh dari sempurna.

Makassar, Semptember 2017

Abdul Thalib

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... ii

ABSTRAK ................................................................................................................. iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ....................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi

DAFTAR ISI .........................................................................................................viiiiii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xi

BAB I.PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG ...................................................................................... 1


B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................. 5
C. TUJUAN PENELITIAN ................................................................................... 5
D. MANFAAT PENELITIAN ............................................................................... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 7

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT ............................................................. 7


B. TINJAUAN UMUM TENTANG LUKA ....................................................... 13
C. TINJAUAN UMUM TENTANG BUAH NAGA MERAH ........................... 21
D. PENELITIAN TERKAIT PENGGUNAAN BAHAN ALAM UNTUK
PENYEMBUHAN LUKA ..................................................................................... 28
E. KERANGKA TEORI ..................................................................................... 30
BAB III. KERANGKA KONSEP ........................................................................... 31

A. KERANGKA KONSEP .................................................................................. 31


B. VARIABEL PENELITIAN ............................................................................ 31
C. DEFINISI OPRASIONAL .............................................................................. 32
D. HIPOTESIS ..................................................................................................... 32

viii
BAB IV. METODE PENELITIAN ........................................................................ 33

A. DESAIN PENELITIAN .................................................................................. 33


B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN ........................................................ 34
C. POPULASI DAN SAMPEL ........................................................................... 34
D. ALAT DAN BAHAN PENELITIAN ............................................................. 36
E. PROSEDUR TINDAKAN .............................................................................. 37
F. ALUR PENELITIAN...................................................................................... 40
G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM ........................................................... 41
H. PENGELOLAHAN DAN PENYAJIAN DATA ............................................ 44
I. ANALISA DATA ........................................................................................... 45
J. ETIKA PENELITIAN .................................................................................... 46
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 47

A. HASIL PENELITIAN ..................................................................................... 47


B. PEMBAHASAN ............................................................................................. 52
BAB VI. PENUTUP ................................................................................................. 59

A. KESIMPULAN ............................................................................................... 59
B. SARAN ........................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA

ix
DAFTAR TABEL

Tabel. 2.1 Level Kandungan Folik Buah Naga ................................ 29

Tabel 4.1 Kandungan Sediaan Ektrak Buah Naga ............................ 38

Tabel 4.2 Komposisi pembuatan Ektrak buah Naga ........................ 39

Tabel 4.3 Standar Curve Rande IL-6 .............................................. 42

Tabel 4.4 Pembuatan Dilusi Berseri ............................................... 43

Tabel 5.1 Kadar IL-6 Pada Wistar berdasarkan Kelompok dan

Lama Perlakuan ............................................................. 47

Tabel 5.2 Perbedaan Kadar IL-6 Pada Wistar Berdasarkan

Kelompok dan Lama Perlakuan ....................................... 48

Tabel 5.3 Diameter Luka Pada Wistar berdasarkan Kelompok dan

Lama Perlakuan ............................................................ 59

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar. 2.1. Struktrur Kulit .......................................................... 8

Gambar. 2.2. Hylocereus Udatus .................................................... 23

Gambar. 2.3. Hylocereus Polyhizuz ............................................... 23

Gambar. 2.4. Hylocereus Coctaricensis .......................................... 24

Gambar. 2.5. Selenicereus Magalantus ........................................... 24

Gambar. 2.6. Kerangka Teori ......................................................... 31

Gambar. 3.1. Kerangka Konsep ...................................................... 32

Gambar 4.1 Punch Biopsi .............................................................. 37

Gambar. 4.2 Alur Penelitian .......................................................... 41

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Luka mejadi hal yang akan sering terjadi baik yang disengaja maupun

yang tidak disengaja dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Luka merupakan

kerusakan pada struktur anatomi dan fungsi. Namun, tidak hanya terbatas terhadap

struktur kulit normal yang rusak atau hancur tetapi bisa luka terbuka maupun luka

tertutup seperti memar karna trauma benda tumpul (Han, 2016; Korting,

Schöllmann, & White, 2011)

Luka diklasifikasikan berdasarkan kontaminasi yang terjadi yaitu luka

bersih (clean wounds) seperti luka tertutup (memar) dan luka bekas operasi

maupun luka terkontaminasi (contamined wounds) seperti luka terbuka, luka

akibat kecelakaan dan luka akibat operasi yang kotor atau luka infeksi (Li, Chen,

& Kirsner, 2007)

Luka bersih (clean wounds) secara fisiologi akan sembuh dengan

sendirinya mengikuti fase-fase penyembuhan luka mulai dari fase fase hemostasis,

inflamasi, poliferasi dan remodeling atau maturasi. Proses penyembuhan luka

hampir mirip dengan proses pembangunan sebuah gedung dimulai dari penutupan

area luka dengan adanya pendarahan yang kemudian darah tersebut mengeras

disekitar luka yang berupakan bagian dari fase hemostasis dimana fase ini

biasanya berlangsung 10-15 menit setelah adanya luka dan menjadi fase

tenpendek dalam proses penyembuhan luka (Han, 2016). Fase selanjutnya adalah

inflamasi dimana system pertahanan tubuh berusaha untuk mengeluarkan benda

1
asing, bakteri dan kulit mati yang kemungkinan besar bisa mengganggu proses

penyembuhan luka. Fase inflamasi ini secara fisiologis berlangsung 3-5 hari,

namun lebih sering kali memanjang karena adanya gangguan baik dari lingkungan

internal maupun dari lingkungan eksternal tubuh. Setelah melewati fase inflamasi

maka regenerasi kulit akan dimulai dimana sel-sel disekitar luka akan

menghasilkan sel keratinocit dan fibroblast yang berfungsi sebagai pabrik dalam

pembentukan kolagen, proteoglikan yang berlangsung 3 minggu yang

merupakan fase poliferasi. Fase selanjutnya adalah fase remodeling atau fase

maturasi dimana dalam fase ini kulit akan menutup secara sempurna yang bisa

berlangsung sampai 2 tahun (Han, 2016; Korting et al., 2011)

Berbeda halnya dengan luka terkontaminasi (contamined wounds)

khususnya luka terbuka yang resiko durasi penyembuhannya bisa saja

memanjang. Durasi penyembuhan luka inilah yang mendasari luka juga

diklasifikasikan menjadi luka akut dan luka kronik berdasarkan lama sembuhnya.

Luka akut merupakan luka yang diprediksi bisa sembuh dalam 2 minggu

sedangkan luka kronik adalah luka akut yang proses penyembuhannya lambat atau

stagnan yang dialami lebih dari 3 bulan (Dealey, 2012; Han, 2016; Korting et al.,

2011)

Luka kronik tidak sertamerta menjadi masalah yang dikhususkan untuk

membutuhkan penanganan serius tetapi luka akut juga tidak kalah penting untuk

mendapatkan perhatian serius. Data menunjukkan bahwa di Amerika Serikat

kejadian luka akut berdampak kepada 11 juta orang dan sekitar 300.000 orang

yang dirawat dirumah sakit setiap tahunnya dan luka akut yang sudah menjadi

masalah kesehatan umum disana (Demidova-Rice, Hambilin, & Herman, 2012).

2
Di Indonesia, prevalensi kejadian luka secara nasional 8,2% dan

Sulawesi Selatan memiliki prevalensi paling tinggi yaitu 12,8%. Penyebab luka

terbanyak yaitu jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%), terkena

benda tajam (7,3%) (RISKESDAS, 2013)

Pada dasarnya yang menjadi masalah pada kasus luka akut yaitu rasa

ketidaknyamanan akibat dari gejala proses inflamasinya seperti nyeri akibat

pelepasan elemen-elemen humoral, selular pada ujung-ujung saraf; bengkak

akibat penumpukan cairan kedalam jaringan sekitar luka; kemerahan dan panas

akibat vasodilatasi pembuluh darah serta gangguan fungsi pada bagian organ yang

luka (Clausen & Laman, 2017)

Ketidaknyamanan yang dialami pada fase inflamasi inilah yang menjadi

dasar berkembangnya obat-obatan anti-inflamasi untuk mengurangi rasa

ketidaknyamanan tersebut. Saat ini, banyak ditemukan obat-obatan anti-inflamasi

yang beredar dipasaran. Namun, akhir-akhir ini kembali berkembang terapi

komplementer yang memanfaatkan bahan alam meskipun faktanya pengobatan

dengan bahan alam sudah dilakukan sejak dahulu yang penggunaannya

berdasarkan pengalaman dengan cara dioleskan, ditetes dan ditempelkan langsung

keluka (Pereira & Bártolo, 2016; Petrovska, 2012).

Hal yang menarik pada hasil-hasil alam khususnya tumbuh-tubuhan yaitu

kandungan flavonoidnya yang merupakan zat warna pada tumbuhan yang

mengandung senyawa aktif dengan jenis sekitar 7000 jenis dan beberapa

diantaranya seperti Narigenin, Eriodictyol, Phloretin, Homoericdityol,

Isosakuranetin, Sakuranetin dan poliferol yang berfungsi sebagai antioksidan,

antiinflamasi, antikanker, cardioprotektif, hepatoprotektif, antimikroba dan juga

3
sebagai antivirus. Flavonoid bekerja dengan menghasilkan enzim yang akan

menghambat proses terjadinya inflamasi serta memodulasi sel-sel yang terlibat

dalam proses peradarangan seperti sel limfosit, monosit, sel mast, neutrophil dan

makrofag. (Davies & Yanez, 2013; Jaganath & Crozier, 2011; Sangeetha,

Umamaheswari, Reddy, & Kalkura, 2016)

Ada banyak bahan alam yang bisa dimanfaatkan sebagai anti-iflamasi

yakni bahan alam yang mengandung kadar flavonoid tinggi khususnya pada

senyawa steroid yang fungsinya sebagai anti-inflamasi dan buah naga merah

berpotensi untuk digunakan sebagai anti-inflamasi karena mengandung senyawa

steroid. Kandungan buah naga merah (hylocereus polyrhizus) diantaranya β-

amirin (15,87%), α-amirin (13,9%), oktacosane (12,2%), ϒ-sitosterol (9,35%),

octadecane (6,27%), 1-tetracosanol (5,19%), stigmast-4-en-3-one (4,65%) dan

campesteol (4,16%) (Luo, Cai, Peng, Liu, & Yang, 2014).

Penelitian tentang buah naga merah (hylocereus polyrhizus) masih sedikit

yang terlaporkan seperti penggunaan ektrak buah naga merah untuk mempercepat

proses granulasi dan epitalisasi terbukti efektif (Tahir, Bakri, Patellongi, Aman,

& Upik, 2017). Nurhayana (2016) juga meneliti tentang buah naga merah dengan

melihat Fibroblast Growh Factor (FGF) dan menunjukkah hasil yang sangat

signifikat. Oleh karena itu, potensi yang dimiliki oleh buah naga merah

(hylocereus polyrhizus) sebagai anti-inflamasi perlu juga untuk dievaluasi

responnya khusunya pada sitokinin pro-inflamasi yakni TNF-α. INF α/β serta

Interleukin-6. Sitokinin pro-inflamasi akan diaktifkan ketika terjadi kerusakan sel

seperti terjadinya luka akut (Dembic, 2015; Preedy, 2011).

4
Salah satu tanda inflamasi yang memanjang yaitu meningkatnya kadar IL-

6 saat terjadi luka akut setelah melewati fase inflamasi fisiologis (3-5 hari setelah

luka) (Dembic, 2015). Oleh karena itu gejala fase inflamasi bisa dipantau melalui

kadar IL-6.

B. RUMUSAN MASALAH

Ektrak buah naga merah (hylocereus polyrhizus) yang banyak

mengandung senyawa aktif yaitu senyawa flavonoid khususnya steroid yang

diharapkan bisa menjadi obat alami dan bisa diaplikasikan dalam perawatan luka

akut untuk menekan fase inflamasi

Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini : Bagaimanakah

pengaruh pemberian krim topikal ekstrak buah naga merah pada luka akut

terhadap kadar Interleukin 6 (IL-6) fase inflamasi pada wistar?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Untuk mengevaluasi penggunaan pemberian topikal ekstrak buah naga

merah pada luka akut terhadap kadar Interleukin 6 (IL-6) fase inflamasi pada

wistar.

2. Tinjauan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini, yaitu:

a. Mengidentifikasi kadar Interleukin 6 (IL-6) fase inflamasi pada wistar

yang diberi ektrak buah naga merah krim topikal

b. Mengidentifikasi kadar Interleukin 6 (IL-6) fase inflamasi pada wistar

yang diberi salf povidone iodine 10% topikal

5
c. Mengidentifikasi kadar Interleukin 6 (IL-6) fase inflamasi pada wistar

yang diberi basic krim

d. Membandingkan kadar Interleukin 6 (IL-6) fase inflamasi pada wistar

yang diberi ektrak buah naga merah krim topikal dengan yang diberikan

salf povidone iodine 10% topikal

e. Membandingkan kadar Interleukin 6 (IL-6) fase inflamasi pada wistar

yang diberi ektrak buah naga merah krim topikal dengan yang diberikan

basic krim

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Ilmiah

Mengembangkan pengobatan alternatif untuk penyembuhan luka akut

khusunya fase inflamasi dengan menggunakan ekstrak buah naga merah

2. Manfaat Institusi

Memberikan pengetahuan dan wawasan kepada mahasiswa tentang

kegunaan dan efektivitas dari pemberaian ekstrak buah naga merah dalam

penyembuhan luka akut fase inflamasi

3. Manfaat Praktis

Ekstrak ekstrak buah naga merah dapat digunakan oleh masyarakat luas

sebagai salah satu pengobatan alternative untuk penyembuhan luka khusunya

luka akut dalam menekan fase inflamasi untuk mengurangi gejala akibat fase

inflamasi.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT

Kulit terdiri atas dua lapisan utama yaitu lapisan superfisial atau lapisan

terluar yang disebut dengan epidermis dan yang kedua yaitu lapisan dalam yang

disebut dengan dermis (kulit sesungguhnya), dibawah dermis ada yang disebut

dengan hypodermis (lapisan subcutaneous) yang berisi magrofak, fibroblast, sel

lemak, otot, pembuluh darah, limphatik dan akar rambut (Huether, Mccance,

Brashers, & Rote, 2017). Terdapat struktur tambahan epidermis yaitu: kelenjar

ekrin, kelenjar apokrin, kelenjar sebaseus, folikel rambut dan kuku (Black &

Hawks, 2014)

Gambar 2.1 Struktur Kulit (Huether et al., 2017)

7
1. Lapisan Epidermis

Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang tipis dengan

ketebalan bervariasi. Kulit dikelopak mata merupakan kulit yang paling tipis

dengan ketebalan 0,05 mm dan yang paling tebal berada pada telapak dangan

dan kaki dengan ketebalan 1,5mm. Epidermis merupakan lapisan yang tidak

memiliki pembulu darah atau yang dikenal dengan avascular yang menerima

suplai darah dari dermis(Han, 2016). Epidermis terdiri dari (Black & Hawks,

2014):

a. Melanosit

Melanosit berfungsi menghasilkan melanin yang memberi warna kulit dan

rambut. Melanosom adalah granula-granula pada melanosit yang

menyintesis melanin. Warna kulit merefleksikan kombinasi empat warna

dasar, yaitu :

1) Kerotenoid yang dibentuk secara eksogen (kuning)

2) Melanin (coklat)

3) Hemoglobin teroksigenasi didalam arteriol dan kapiler (merah)

4) Hemoglobin tereduksi pada venula (biru atau ungu)

b. Sel Langerhans

Sel yang merupakan makrofag turunan sumsum tulang, yang merangsang

sel Limfosit T, mengikat, mengolah, dan merepresentasikan antigen. Sel

Langerhans ini berperan penting dalam imunologi kulit

c. Sel Merkel

Berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris dan berhubungan dengan

fungsi sistem neuroendokrin difus

8
d. Keratinosit

Keratinosit memproduksi keratin yang akan berganti 3-4 minggu sekali.

Struktur tambahan pada epidermis, yaitu (Black & Hawks, 2014):

a. Kelenjar

1) Kelenjar Ekrin

Memproduksi keringat dan berperan pada termoregulasi. Kelenjar ini

ditemukan pada: telinga, bantalan kuku, glans penis, labia minora dan

paling banyak ditemukan pada telapak tangan, telapak kaki, dahi serta

aksila

2) Kelenjar Apokrin

Perannya pada manusia tidak diketahui. Kelenjar ini menyekresikan

substansi seperti susu yang menjadi berbau jika diubah oleh bakteri

permukaan kulit. Kelenjar apokrin terdapat pada aksila, areola

payudara, area anogenital, kanal telinga dan kelopak mata

3) Klenjar Sebaseus

Terdapat pada wajah, kulit kepala, punggung atas dan dada. Kelenjar

berasosiasi dengan folikel rambut yang membuka ke permukaan kulit,

dimana sebum (campuran lipid) dilepaskan. Androgen bertanggung

jawab bagi perkembangan kelenjar sebaseus setelah pubertas produksi

sebum dapat menyebabkan akne pada remaja

9
b. Rambut dan Kuku

1) Rambut

Rambut adalah protein akhir yang ditemukan pada permukaan kulit

kecuali telapak tangan dan kaki. Folikel rambut berfungsi sebagai unit

independen dan melalui tahap-tahap perkembangan intermiten

2) Kuku

Kuku adalah bagian epidermis yang berzat tanduk. Kuku dan matriks

kuku yang tidak berkreatin melakukan diferensiasi menjadi sel-

sel berkreatin membentuk protein kuku

2. Lapisan Dermis

Dermis mengandung fibroblas, makrofag, sel mast dan limfosit yang

mendorong penyembuhan luka. Dermis dibagi menjadi 2 bagian, yaitu

papilaris dan retikularis (Black & Hawks, 2014)

a. Papilaris

Mengandung kolagen, pembuluh darah, kelenjar keringat, dan elastin

dalam jumlah banyak, berhubungan dengan epidermis

b. Retikularis

Mengandung kolagen namun dengan jumlah jaringan elastis matur yang

lebih tinggi

Dermis mengandung banyak sel khusus, pembuluh darah, dan syaraf.

Zona membran basal subepidermal adalah saringan semipermeabel yang

memungkinkan pertukaran cairan dengan komponen seperti nutrien, metabolit,

dan produk sisa

10
3. Hipotermis

Hipodermis atau subkutan adalah lapisan khusus jaringan ikat.

Hipodermis kadang disebut lapisan adiposa karena kandungan lemaknya.

Lemak subkutan umumnya ada pada punggung dan bokong. Lapisan berfungsi

sebagai insulasi dari panas dan dingin yang ekstrim, sebagai bantalan terhadap

trauma, sebagai sumber energi dan metabolisme hormone (Black & Hawks,

2014)

4. Fungsi Utama Sistem Integumen

Fungsi sistem integumen menurut Black & Hawks (2014), yaitu:

a. Proteksi

Kulit melindungi tubuh terhadap trauma (misalnya mekanis, suhu,

kimiawi, radiasi). Kulit juga berpartisipasi dalam pertahanan yang

dimediasi imun terhadap berbagai antigen. Hal ini dilakukan oleh sel

langerhans

b. Hemeostatis

Kulit membentuk barier yang mencegah kehilangan air dan

elektrolit berlebihan dari lingkungan internal serta mencegah kekeringan

dari jaringan subkutan

c. Termoregulasi

Kulit memiliki kemampuan untuk mengubah kecepatan hilangnya

panas. Aliran darah kulit bervariasi dalam respon terhadap perubahan suhu

inti tubuh dan perubahan suhu eksternal. Pembuluh darah akan

berdilatasi saat suhu panas dan konstriksi saat suhu dingin. Hipotalamus

11
bertanggung jawab secara parsial untuk meregulasi aliran darah kulit,

terutama ke ekstremitas, wajah, telinga dan ujung hidung

d. Reseptor Sensorik

Kulit mengandung reseptor khusus untuk mendeteksi sentuhan dan

tekanan yang berbeda. Sentuhan dirasakan oleh korpuskel Meissner,

tekanan oleh sel Merkel dan ujung-unjung Ruffini, vibrasi dan tekanan,

oleh korpuskel Pacini, dan pergerakan rambut oleh ujung-ujung folikel

rambut. Reseptor ini membawa informasi ke korteks somatosensorik

melalui kolumna dorsalis jalur spinal. Suhu dirasakan oleh termoreseptor

spesifik pada epidermis dan nyeri dirasakan oleh ujung-ujung saraf bebas

di lapisan epidermis

e. Produksi Vitamin D

Epidermis berfungsi dalam produksi vitamin D. Sterol yang ditemukan

pada sel malpighi dikonversi untuk membentuk cholecalciferol (vitamin

D3). Vitamin ini diaktifkan di liver dan berfungsi membantu dalam

absorpsi kalsium dan fosfat dari makanan

f. Perawtan Dermatologis

Menganjurkan untuk menjaga dan merawat kulit karena kulit dapat

menimbulkan penyakit yang mematikan seperti kanker kulit

terutama melanoma maligna

g. Penampilan dan Kepercayaan Diri

Kulit diperkirakan merefleksikan proses penuaan yang normal dan

proses penuaan tersebut mempengaruhi jenis kulit

12
h. Efek Penuaan

Kulit mengalami perubahan yang dapat dilihat sepanjang hidup.

1) Remaja

Sekresi hormon menstimulasi maturasi folikel rambut, kelenjar

sebaseus dan unit apokrin serta ekrin pada bagian tertentu

2) Dewasa

Perubahan pola pertumbuhan rambut dan penipisan rambut. Pada

masa ini dapat terjadi beberapa lesi dan keratosis aktinik

3) Lansia

Merefleksikan pengaruh kumulatif dari lingkungan, penurunan

sirkulasi dan penurunan fungsi berbagai struktur kulit. Pada masa ini,

stratum korneum menipis, kulit lebih transparan, rambut rontok dan

hilangnya pigmen sehingga rambut memutih

B. TINJAUAN UMUM TENTANG LUKA

1. Definisi Luka

Luka didefinisikan sebagai kerusakan pada struktur anatomi dan fungsi

yang menghasilkan proses patologi (Korting et al., 2011), berupa kerusakan

fisik sebagai akibat dari terbukanya atau hancurnya kulit yang menyebabkan

ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori, Renu, & Neha,

2010). Namun, tidak hanya terbatas terhadap struktur kulit normal yang rusak

atau hancur tetapi bisa luka terbuka maupun luka tertutup seperti memar karna

trauma benda tumpul (Han, 2016)

13
Luka diklasifikasikan dengan berberapa cara seperti berdasarkan durasi

atau lama penyembuhannya dan berdasarkan kedalaman lukanya (Korting et

al., 2011). Berdasarkan durasi atau lama penyembuhannya maka luka itu

sendiri dibagi menjadi 2 yaitu luka akut dan luka kronik meskipun perbedaan

antara keduanya masih sulit untuk dipahami (Dealey, 2012). Luka akut

merupakan luka yang diprediksi bisa sembuh dalam 2 minggu sedangkan luka

kronik adalah luka akut yang proses penyembuhannya lambat atau stagnan

(Han, 2016) yang dialami lebih dari 3 bulan (Korting et al., 2011).

Menurut Nagori and Solanki (2011), luka diklasifikasikan menjadi luka

terbuka dan luka tertutup berdasarkan penyebab dasar dari luka, serta luka akut

dan kronis berdasarkan proses fisiologi dari penyembuhan luka.

a. Luka terbuka merupakan luka yang terdapat perdarahan yang terlihat

secara kasat mata dimana darah keluar dari tubuh baik berupa luka insisi,

luka laserasi, abrasi atau luka dangkal, luka tusukan kecil, luka penetrasi,

dan luka tembak

b. Luka tertutup merupakan jenis luka dimana darah keluar dari sistem

sirkulasi darah tetapi tidak terlihat darah secara kasat mata dan tampak

seperti keunguan atau memar. Luka tertutup sedikit penggolongannya

tetapi lebih berbahaya dari luka terbuka. Luka tertutup meliputi benturan

atau luka memar, hematoma atau tumor darah, dan cedera yang keras.

c. Luka akut merupakan cedera pada jaringan yang normalnya dilanjutkan

dengan proses perbaikan yang tersusun rapih dan tepat waktu,

mengakibatkan pemulihan integritas jaringan secara anatomi dan fungsi

dapat dipertahankan. Biasanya disebabkan oleh luka terpotong atau insisi

14
bedah dan proses penyembuhan luka yang lengkap dalam kerangka waktu

yang diharapkan.

d. Luka kronis merupakan luka yang terjadi karena kegagalan penyembuhan

luka dalam tahap yang normal dan kemudian masuk ke dalam tahap

inflamasi yang patologi sehingga proses penyembuhan luka memanjang .

hal ini biasaya terjaki akibat adanya Infeksi lokal, hipoksia, trauma, benda

asing dan problem sistemik seperti diabetes mellitus, malnutrisi, defisiensi

fungsi imun atau obat-obatan.

2. Penyembuhan Luka

Pada dasarnya luka yang terjadi akan sembuh secara fisiologis dengan

melalui 3 fase yaitu fase inflamasi, fase poliferasi dan fase remodeling atau

maturasi (Korting et al., 2011). Namun, sebenarnya ada fase sebelum ke tiga

fase tersebut yaitu fase hemostasis(Han, 2016). Fase-fase penyembuhan luka

tersebut saling overlapping karena mediator yang dikeluarkan pada setiap fase

tersebut sering sama. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh fase berjalan secara

berurutan dan menerangkan hubungan secara linear mengenai penyembuhan

luka mulai dari terjadinya luka sampai dengan terjadinya perbaikan, bahkan

sampai bisa menjadi luka kronis.

a. Fase Inflamasi

Sebagai mana yang dijelaskan sebelumnya bahwa saat terjadi luka

maka tubuh akan langsung mengalirkan darah kelokasi luka untuk

mengeluarkan sel-sel kulit baik itu lapisan epidermis, dermis dan subkutan

yang mengalami kerusakan, serta mengeluarkan bakteri yang kemudian

darah tersebut mengering untuk menghentikan pengeluaran darah yang

15
berlebih, mencegah dehidrasi serta menutup lapisan kulit untuk sementara

waktu untuk menghalangi masuknya bakteri yang disebut hemostasis(Han,

2016). Semua ini mengakibatkan timbulnya tanda-tanda utama untuk

terjadinya suatu inflamasi, termasuk bengkak, merah dan panas. Respon

inflamasi akut ini biasanya antara 3-5 hari (Korting et al., 2011). Fase ini

merupakan tahap awal yang alami untuk mengangkat jaringan debris dan

mencegah infeksi invasif yang merupakan bagian dan hemostasis.

Hemostasis terdiri dari dua proses utama yaitu pembentukan fibrin

clot dan koagulasi. Pembentukan fibrin clot diawali dengan platelet untuk

mengatur hemostasis normal yang kemudian perubahan trombin menjadi

fibrinogen dan kemudian menjadi fibrin selama agregasi platelet,

menyebabkan fibrin clot terbentuk dan menghentikan perdarahan.

Proses ke dua dari hemostasis adalah proses koagulasi melalui

intrinsik dan ekstrinsik coagulation pathways. Pada fase ini platelet yang

membentuk klot hematom mengalami degranulasi, melepaskan faktor

pertumbuhan seperti platelet derived growth factor (PDGF) dan

transforming growth factor (TGF-β), granulocyte colony stimulating

factor (G-CSF), C5a, TNFα, IL-1 dan IL-6. Seiring dengan proses ini

leukosit bermigrasi menuju daerah luka sehingga terjadi deposit matriks

fibrin sebagai awal proses penutupan luka(Han, 2016).

Pada respon seluler, ciri-ciri fase inflamasi adalah masuknya

lekosit ke daerah luka Segera setelah terjadinya luka sel netrofil dalam

jumlah besar berpindah dari kapiler menuju jaringan luka, kemudian

jumlah netrofil menurun dan digantikan dengan makrofag (perubahan dari

16
monosit). Monosit segera berubah menjadi makrofag pada jaringan luka

fase selanjutnya, kurang lebih dalam 48 sampai 72-96 jam setelah luka

Monosit ini ditarik ke jaringan luka oleh chemoattractans yang sama

dengan netrofil, juga oleh monocyte chemoattractant protein dan

macrophage inflammatory protein, oleh produk dari degradasi matriks

ekstraseluler seperti fragmen kolagen, fragmen fibronectin, dan trombin

Makrofag berperan penting dalam pengaturan sel seperti fungsi

fagositosis, memakan dan mencerna serta membunuh organisme patogen,

membersihkan debris jaringan dan merusak sisa netrofil, menarik fibroblas

ke jaringan luka dan memicu pembuluh darah baru. Makrofag merupakan

pabrik produksi growth factors seperti PDGF, fibroblast growth factor

(FGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), TGF-β, dan TGF-α.

Fase inflamasi ini, netrofil dan makrofag menghasilkan sejumlah

besar anion superoksid radikal, yang sering digambarkan sebagai



respiratory burst‟. Kemudian sel lain seperti fibroblas dirangsang oleh

sitokin pro inflamasi untuk memproduksi reactive oxygen spesies (ROS)

Selain efek positif untuk membunuh bakteri, ROS ini juga berdampak

negatif, menghambat migrasi sel, merusak jaringan dan bahkan berubah

menjadi neoplasma Untuk melindungi dari stres oksidatif, sel-sel

mempunyai beberapa sistem untuk mendetoksifikasi ROS, yaitu secara

nonenzimatik dan enzimatik.

Suatu luka disebut luka kronis bila fase inflamasi menetap

berbulan-bulan bahkan tahunan. Fase inflamasi menetap pada keadaan

luka yang hipoksia, infeksi, defisiensi nutrisi, penggunaan obat-obatan

17
tertentu, atau faktor lain yang dihubungkan dengan respon imun pasien .

Luka kronis membentuk jaringan nekrotik yang tercemar oleh organisme

patogen atau mengandung material asing yang tidak dapat di fagositosis

selama fase akut inflamasi. Granulosit tidak muncul, sebaliknya sel

mononuklear terutama limfosit, monosit, dan makrofag menetap pada

daerah inflamasi. Tidak ada tanda-tanda inflamasi. Makrofag menarik

fibroblas dan dalam waktu yang lama memproduksi sejumlah besar

kolagen, membentuk masa encapsulated dari jaringan fibrous dengan

lambat, suatu granuloma

b. Fase Proliferasi

Pada fase ini aktifitas seluler lebih utama. Tahap-tahap utama

meliputi pembentukan barier permeabilitas (epitelisasi), kecukupan suplai

darah (angiogenesis) dan pembentukan kembali jaringan dermis pada

jaringan yang luka (fibroplasia). Ciri-ciri fase proliferasi adalah

angiogenesis, deposit kolagen, pembentukan jaringan granulasi,

epitelisasi, dan kontraksi luka. Fase ini akan dimulai pada hari ke 3

bersamaan dengan memudarnya fase inflamasi dan terus sampai pada hari

ke 14, bahkan lebih setelah luka, didominasi dengan pembentukan jaringan

granulasi dan epitelisasi (Han, 2016; Korting et al., 2011)

c. Epitelisasi

Proses ini mengembalikan epidermis utuh seperti semula. Faktor

yang terlibat adalah migrasi keratinosit pada jaringan luka, proliferasi

keratinosit, diferensiasi neoepitelium menjadi epidermis yang berlapis-

lapis, dan mengembalikan basement membrane zone (BMZ) menjadi utuh

18
yang menghubungkan epidermis dan dermis. Epidermal growth factor

(EGF), keratinocyte growth factor (KGF), dan TGF-α merupakan faktor

penting untuk merangsang migrasi keratinosit, proliferasi, dan epitelisasi.

Hari ke 7-9 sesudah epitelisasi, BMZ terbentuk. Struktur kulit pada BMZ

terdiri dari banyak protein matriks ekstraseluler seperti kolagen dan

laminins (Han, 2016).

d. Fase Remodeling

Merupakan fase terpanjang penyembuhan luka yaitu pematangan

proses, yang meliputi perbaikan yang sedang berlangsung pada jaringan

granulasi yang membentuk lapisan epitel yang baru dan meningkatkan

tegangan pada luka. Remodeling meliputi deposit dari matriks, deposit

kolagen pada tempatnya, dan kontraksi scar. Pada fase remodeling

kekuatan peregangan jaringan ditingkatkan karena cross-linking

intermolekular dari kolagen melalui hidroksilasi yang membutuhkan

vitamin C

Satu dari ciri-ciri fase ini adalah perubahan komposisi matriks

ekstraseluler. Kolagen tipe III muncul pertama kali sesudah 48 – 72 jam

dan maksimal disekresi antara 5 – 7 hari. Jumlah kolagen total meningkat

pada awal perbaikan, mencapai maksimum antara 2 sampai 3 minggu

sesudah cedera. Kolagen tipe III yang diproduksi oleh fibroblas selama

fase proliferasi akan diganti oleh kolagen tipe I selama beberapa bulan

berikutnya melalui proses yang lambat dari kolagen tipe III

Selama periode 1 tahun atau lebih, dermis secara bertahap kembali

kepada fenotip yang stabil seperti sebelum cedera, dan komposisi

19
terbanyak adalah kolagen tipe I. Kekuatan regangan yang merupakan

penilaian dari fungsi kolagen, meningkat 40% kekuatannya dalam jangka

waktu 1 bulan dan terus meningkat sampai 1 tahun, mencapai lebih dari

70% kekuatannya dari normal pada akhir fase remodeling

Proses perubahan dari dermis dilaksanakan melalui kontrol yang

ketat antara sintesa kolagen baru dan lisis dari kolagen lama yang

dilakukan oleh matrix metalloprotein (MMP). MMP biasanya tidak

terdeteksi atau kadarnya sangat rendah pada jaringan sehat, dan timbul

selama perbaikan luka. Aktifitas katalitik dari MMP juga dikontrol oleh

inibitor jaringan dari metaloprotein. Keseimbangan antara aktifitas MMP

dan inhibitornya juga merupakan hal penting dalam perbaikan luka dan

remodeling Ketidakseimbangan yang terjadi dapat menyebabkan

keterlambatan penyembuhan luka atau berlebihnya jaringan fibrosis

sehingga menyebabkan jaringan parut, hipertropi scar atau bahkan keloid.

Keadaan ini dapat terjadi pada penderita diabetes, infeksi, usia lanjut, dan

nutrisi yang buruk

3. Interleukin-6 (IL-6)

Interleukin-6 atau yang biasa disebut juga dengan interveron β-2

merupakan sitokinin yang multifungsi dalam memodulasi hormone

pertumbuhan dan reseptornya. IL-6 diproduksi dari beberapa type sel yang

berbeda seperti sel T dan B limposit, monosit, Fibroblast, dan makrofak yang

diaktifkan selain itu IL-6 juga diproduksi oleh TNF α, IL-1 yang merupakan

bagian dari sitokinin pro inflamasi. Meningkatnya IL-6 menjadi salah satu

indikator bahwa terjadi inflamasi kronik pada tubuh hal ini bisa dianalisa

20
bahwa peningkatan IL-6 itu sendiri karna meningkatnya jumlah oleh sel T dan

B limposit yang merupakan sel imun yang diproduksi ketika terjadi inflamasi

yang turut penghasilkan IL-6. Selain itu, IL-6 menghasilkan fase akut protein

pada hati, pengembangan saraf, maturasi megakaryocyte, aktivasi osteoblast,

poliferasi dari kreatinosit dan sangat baik dalam proses penyembuhan luka

(Dembic, 2015; Preedy, 2011)

Pada awal proses inflamasi akan dihasilkan sitokinin pro inflamasi

salah satunya adalah IL-6 yang akan memicu pembentukan CRP dan

fibrinogen oleh hati yang meningkat pesat dalam 2 jam pertama dan mencapai

puncaknya pada 48 jam. Peran fisiologis dari CRP ini adalah mengikat

fosfokolin yang diekskresikan pada permukaan sel-sel mati atau sekarat (dan

beberapa jenis bakteri), CRP meningkatkan proses fagositosis oleh makrofag.

Hal ini dapat diartikan bahwa CRP turut berpartisipasi dalam pembersihan sel-

sel mati dan apoptosis. Karena merupakan reaktan apda fase akut ia akan

meningkat drastis pada fase inflamasi yang merupakan dampak dari

meningkatnya konsentrasi IL-6 dalam darah.

C. TINJAUAN UMUM TENTANG BUAH NAGA MERAH

1. Buah Naga

Buah naga atau Dragon fruit merupakan buah yang berasal dari Negara

bagian selatan Amerika yaitu Meksiko (Ong, Tan, Rosfarizan, Chan, & Tey,

2012). Pada awalnya, seorang warga Negara prancis membawa buah naga ini

ke Thailand dan Vietnam pada tahun 1870 dari Guyama sebagai hiasan karena

sosoknya unik dan cantik. Pada tahun 1977 pertama kali buah naga dibawa ke

Indonesia dan berhasil dibudidayakan (Hardjadinata, 2010). Sehingga saat ini

21
budidaya buah naga tersebar seperti Malaysia dan Vietnam (Zainoldin, 2009)

juga termasuk Kalimantan Indonesia (Tahir et al., 2017).

Orang meksiko awalnya menamai buah naga dengan nama Pitahaya.

Namun seiring dengan menyebar luarnya buah naga di kawasan indocina

dimana mereka selalu menyajikan buah naga dalam acara-acara religious dan

manamainya Thang Loy yang dalam bahasa inggrisnya Dragon Fruit

(Hardjadinata, 2010)

Buah naga masuk dalam family Cactaceae dan subfamily Hylocerenea

dengan genus Hylocereus. Adapaun klasifikasi buah naga yaitu (Hardjadinata,

2010; Lim, 2012):

Divisi : Spermatohyta (tumbuhan berbiji)

Subdivisi : Angiospermae (Berbiji tertutup)

Kelas : Dicotyledonae (Berkeping dua)

Ordo : Cactaeceae

Famili : Cactaeceae

Subfamily : Hylocereanea

Genus : Hylocereus

Spesies :

22
a. Hylocereus udatus (daging putih)

Buah naga dengan daging

berwarna putih ini biasa

disebut dengan white pitaya.

White pitaya memiliki kulit

buah berwarna merah, daging

putih, biji-biji hitam dengan

batang berwarna biru tua


Gambar 2.2 Hylocereus udatus
dengan berat rata-rata 400-500 mg
(http://www.cactus-art.biz
b. Hylocereus polyrhizuz (daging merah)

Buah naga dengan daging berwarna merah ini biasa disebut dengan

red pitaya. Red pitaya memiliki kulit buah berwarna merah,

daging merah terkadang keunguan, biji-biji hitam dengan batang

berwarna biru tua dengan berat rata-rata 400.

Gambar 2.3 Hylocereus polyrhizuz (http://www.my.all.biz)

c. Hylocereus coctaricensis (daging super merah atau super red)

Mirip dengan Red Pitaya memiliki kulit buah berwarna merah,

daging merah super biji-biji hitam dengan batang berwarna biru

tua dengan berat rata-rata 400-500 mg

23
Gambar 2.4 Hylocereus coctaricensis (http://www.growables.org)

d. Selenicereus Megalanthus (kulit kuning, daging putih tanpa sisik)

Beratnya rata-rata 80-100 mg dengan kulit buah berwarna kuning,

daging putih dan tanpa sisik

Gambar 2.3 Selenicereus Megalanthus (http://frutalestropicales.com)

24
2. Kandungan Buah Naga

Kandungan senyawa kimia buah naga yaitu senyawa fenolik,

antioksidan, antosianin.

a. Senyawa Fenolik

Senyawa fenolik khusunya polifenol yang merupakan pecahan dari

senyawa flavonoid merupakan senyawa ditemukan pada tumbuh-

tumbuhan yang sudah banyak dimanfaat sebagai antimutagenik,

antikanker, antiaging dan antioksidan (Nurliyana, Zahir, Suleiman, &

Rahim, 2010).

Buah naga merah mengandung antioksidan alami yang lebih efektif dari

pada supplement Vitamin C dan E Kandungan antioksidan antosianin pada

buah naga merah cukup tinggi dimana terdapat 8,8%/100 gr.

3. Khasiat Buah Naga Merah (Red Dragon fruit (Hylocereus spp))

Red Dragon fruit (Hylocereus spp) atau buah naga merah memiliki anti

oksidan lebih tinggi bila dibandingkan dengan jenis buah naga putih dengan

berat isi Red Dragon fruit (Hylocereus spp) rata-rata 350-550 gr

Fitokimia dalam Red Dragon fruit (Hylocereus spp) berupa flavonoid

memilik fungsi sebagai antioksidan, antikanker, antimicrobial, antiinflamasi,

antidiabetik (Sangeetha et al., 2016).

a. Antioksidan

Red Dragon fruit (Hylocereus spp) mengandung antioksidan alami

yang lebih efektif dari pada supplement Vitamin C dan E.

Vitamin C merupakan antioksidan yang larut dalam air (aqueous

antioxidant) dan menjadi system pertahanan tubuh dalam plasma dan sel.

25
Vitamin C memiliki rumus molekul C6H6O6 dengan berat molekul 176,13

yang dalam kondisi murni berbentuk Kristal putih.

Vitamin C berkerja sebagai donor elektron dengan memindahkan satu

elektron kesenyawa logam Cu serta dapat menyumbangkan elektrol dalam

reaksi biokimia baik intraseluler maupun ektraseluler.

Selain berfungsi sebagai donor elektron vitamin C juga mampu

menghilangkan senyawa oksigen reaktif didalam sel netrofil, monosit,

protein lensa dan retina serta dapat berikteraksi dengan feferitin.

Sedangkan di luar sel, vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen

reaktif dengan mencegah terjadinya LDL teroksidasi serta mengabsorsi

logam dalam saluran pencernaan.

b. Antikanker

Red Dragon fruit (Hylocereus spp) mengandung betacyanin yang

terbukti secara invitro sebagai penghambat radikal lipoperoksil didalam

membrane mikroskoma. Betacyanin juga berfungsi sebagai antiproloferasi

dan penghambat pertumbuhan tumor

c. Anti-inflamasi

Kandungan flavonoid dalam buah naga cukup tinggi diantaranya

terdiri dari β-amirin (15,87%), α-amirin (13,9%), oktacosane (12,2%), ϒ-

sitosterol (9,35%), octadecane (6,27%), 1-tetracosanol (5,19%), stigmast-

4-en-3-one (4,65%) dan campesteol (4,16%) yang sebagaian besar

merupakan turunan dari senyawa triterpenoid dan steroid (Luo et al.,

2014).

26
Penggunaan terapi senyawa steroid dalam penanganan inflamasi

khusunya glukokortikoid atau kortikosteroid sudah banyak digunakan dan

terbukti efektif sebagai anti inflamasi(Dealey, 2012)

Flavonoid sebagai anti inflamasi berkerja dengan menekan kerja

NFκB yang mengambat pelepasan phospholipase A2 sehingga tidak

terjadi transkripsi mediator sitokinin pro inflamasi(Aitdafoun et al., 1996;

Arawwawala, Thabrew, Arambewela, & Handunnetti, 2010)

Dalam penelitian lain dijelaskan bahwa senyawa flavonoid

melindungi membrane eritrosit terhadap kerusakan sehingga

menyebabkan hemolisis karena fungsinya yang mampu menghambat

mediator inflamasi dan radikal bebas (Kasolo, Bimenya, Ojok, Ochieng,

& Ogwal-okeng, 2010)

d. Antibakteri

Sebagai anti bakteri flavonoid bekerja dengan membentuk senyawa

kompleks terhadap protein ektraseluler yang mengganggu keutuhan

membrane sel bakteri. Senyawa flavonoid akan mendenaturasi protein sel

bakteri dan merusak memberan sel yang tidak dapat diperbaiki kembali.

Protein komplek yang dimaksud biasa disebut dengan CRP (C-Reactive

Protein)

27
D. PENELITIAN TERKAIT PENGGUNAAN BAHAN ALAM UNTUK PENYEMBUHAN LUKA

Judul
Tujuan Desain
No Penelitian/Peneliti/T Metode/Group Partisipan Intervensi Hasil
Penelitian Penelitian
ahun
1. Evaluation of Mengevaluasi Penelitian ini - Subjek penelitian Hewan Pemberian - Granulasi paling
Topical Red Dragon efek krim merupakan terdiri dari 18 ekor coba Ektrak bagus terdapat pada
Fruit Extract Effect ( topikan ektrak penelitian wistar dan dibagai buah naga konsentrasi EBNM
Hylocereus buah naga ekperimenttal menjadi 2 merah 7,5% dengan nilai
Polyrhizus ) on merah dengan post- kelompok besar topikal p < 0.068 (DM)
Tissue Granulation terhadap test only terdiri dari 9 ekor dan nilai p < 0.034
and Epithelialization penyembuhan control group wistar DM dan 9 (Non-DM)
in Diabetes Mellitus luka DM dan design ekor wistar Non- - Epitalisasi paling
( DM ) and Non-DM Non-DM pada DM. Masing- bagus dengan
Wistar Rats : Pre wistar masing dari konstrasi EBNM
Eliminary kelompok tersebut 7,5% dengan nilai
Study/Tahir et.al dipecah menjadi 3 p < 0.034 (DM)
(2017) kelompok kecil dan nilai p < 0.034
yang terdiri dari 3 (Non-DM)
ekor wistar.
- 3 kelompok kecil 1
kelompok control
negative (NaCl), 1
kelompok control
positif
(Bioplasenton) dan
1 kelompok
intervensi (EBNM)

28
- Pengukuran
dilakukan hari 0, 7
dan 14

29
E. KERANGKA TEORI

30
Gambar. 2.5 Kerangka Teori
Sumber : (Han, 2016; Korting et al., 2011; Nurliyana et al., 2010; Preedy, 2011)
BAB III
KERANGKA KONSEP

A. KERANGKA KONSEP

Variabel Independen Variabel Dependen

Kadar
Ekstrak Interleukin 6
Buah Naga Merah (IL-6) Fase
Inflamasi

Variabel Kendali
- Umur Tikus
- Jenis Tikus
- Jenis Kelamin
- Berat Badan
- Makanan dan minuman
- Temperatur
- Karakteristik luka yang
Sama

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

B. VARIABEL PENELITIAN

1. Variabel Independen

Variabel indenpenden pada penelitian ini adalah ekstrak buah naga merah 7.5%

2. Variabel Dependen

Variable dependen dalam penelitian ini adalah Kadar Interleukin-6 (IL-6) fase

inflamasi

31
C. DEFINISI OPRASIONAL

1. Ekstrak buah naga merah merupakan zat aktif yang terkandung dalam buah

naga merah yang berasal dari Kalimantan Indonesia yang diekstraksi dan

disajikan dalam bentuk krim dengan komposisi asam stearate, cetyt alcohol,

steanyl alcohol, gliserin, PG, α-tokoferol, MP, FP, novomer dan aquades

dengan konsentrasi 7.5% yang diberikan secara topikal pada luka akut yang

sengaja dibuat pada tikus wistar.

2. Iodine povidone 10% merupakan salep luka akut yang sudah beredar

dipasaran dengan kemasan tube yang diberikan secara topikal.

3. Interleukin-6 (IL-6) Fase inflamasi merupakan senyawa sitokinin yang

diambil dari jaringan kulit yang diukur dengan metode ELISA (Enzime

Linked Immuno Sorbant Assay) dari jaringan luka yang diperika pada hari ke-

0, ke-3 dan ke-7 sebagai indikator fase inflamasi.

D. HIPOTESIS

Berdasarkan uraian konsep diatas maka hipoteis yang dapat diangkat

dalam penelitian ini adalah

1. Ada perbedaan rerata kadar IL-6 fase inflamasi pada wistar yang diberi ekstrak

buah naga merah dibandingkan wistar yang diberikan iodine povidone 10%

2. Ada perbedaan rerata kadar IL-6 fase inflamasi pada wistar yang diberi ekstrak

buah naga merah dibandingkan wistar yang diberikan basic krim

32
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan

menggunakan desain Randomized Post Test Control Group yang menggunakan

tikus wistar percobaan sebagai subjek penelitian. Tikus wistar dibagi dalam 3

kelompok besar yaitu kontrol negatif, kontrol positif (salep povidion iodine 10%)

dan ekstrak buah naga merah yang selanjutkan kelompok dibagi menjadi 3

berdasarkan dimensi waktu yakni hari ke-0, hari ke-3, ke-7

Kelompok K : Kontrol Negatif tikus wistar dengan model


perlukaan akut yang diberi perawatan luka dengan
basic krim

Kelompok K+ : Kontrol Positif tikus wistar dengan model


perlukaan akut yang diberi perawatan luka dengan
povidone iodine 10%

Kelompok P : Tikus wistar dengan model perlukaan akut yang


diberi perawatan luka dengan ekstrak buah naga
merah secara topikal pada konsentrasi

Perlakuan yang diberikan berupa pemberian ektrak buah naga merah

secara topical pada luka tikus putih model perlukaan akut setiap hari sampai hari

ke-0, hari ke-3, dan ke-7 dengan outcome berupa penurunan kadar Interleukin 6

(IL-6). Setelah dilakukan eksisi menggunakan Punch Biopsi 5 mm dilakukan

perawatan luka dengan teknik perawatan luka tertutup dengan menggunakan kain

33
kasa steril setelah sebelumnya dioles dengan kream topical ektrak buah naga

merah salep povidion iodine 10% dan basic krim sesuai dengan kelompoknya.

B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Masa penelitian sampai dengan pengumpulan data dilakukan selama

kurang lebih 3 bulan. Perlakuan pada tikus sampai dengan tindakan eksisi biopsi

dilakukan di Animal Lab. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar. Proses pemeriksaan kultur bakteri serta interpretasi berupa

pemeriksaaan kadar Interleukin 6 (IL-6) mengunakan teknik ELIZA dengan

Mouse IL-6 Kit dilakukan di Laboratorium Lantai 6 RS. Universitas Hasanuddin

Makassar

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juni 2017 sampai dengan

September

C. POPULASI DAN SAMPEL

Tikus diperoleh dari unit pengembangan hewan coba Universitas Gajah

Mada, selanjutnya setelah sampai di laboratorium animal FK Unhas dilakukan

pembagian kelompok menjadi 3 kelompok besar dan kemudian dilakukan

adaptasi kandang selama 3 hari. Selama percobaan, hewan percobaan diletakkan

di kandang yang terbuat dari kawat dengan luas lantai ukuran 30 cm x 50 cm x

15 cm dengan suhu 22 °C (± 2 °C) dengan kelembaban udara (50% – 60%) dan

diberi pakan standar 300gr/ekor/hari dan minum secukupnya. Pakan standar yang

diberikan dibuat oleh Laboratorium Animal Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin Makassar. Kandang dibersihkan setiap hari dan diberi penerangan

berupa lampu ruangan dengan siklus 12 jam dinyalakan dan 12 jam dipadamkan

34
Kriteria Inklusi

a. Model luka akut

b. Keturunan murni

c. Jenis kelamin jantan

d. Umur 4 minggu sampai 6 minggu

e. Berat badan 250 – 300 gr

f. Pemberian Makanan dan Minuman yang sama

g. Suhu Ruangan (360C)

h. Karakteristik Luka

i. Tidak ada abnormalitas anatomis yang tampak (Tidak cacat)

Kriteria Inklusi :

a. Mati selama perlakuan

Besar sampel yang diambil menurut WHO 5 Ekor dan perkiraan drop-out

10 %, jadi pada penelitian ini memakai jumlah sampel sebanyak 6 ekor, tiap

kelompok perlakuan. Proses dilakukan secara random terhadap 54 ekor tikus yang

dikelompokkan menjadi 3 kelompok dimana masing-masing terdapat 1 ekor tikus

cadangan, terdiri atas:

Kontrol K- : 18 tikus (6 ekor hari ke-3, 6 ekor hari ke-7)

Kontol K+ : 18 tikus (6 ekor hari ke-3, 6 ekor hari ke-7)

Ekstrak buah : 18 tikus (6 ekor hari ke-3, 6 ekor hari ke-7)


naga merah

35
D. ALAT DAN BAHAN PENELITIAN

1. Alat Penelitian

Adapun alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Kandang heran coba

b. Penggaris

c. Sarung tangan steril

d. Bengkok

e. Gunting Gambar 4.1


Paramuont biopsy punch 5mm
f. Pinset anatomis

g. Paramuont biopsy punch 5mm

2. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Krim Ektrak buah naga 7,5% g. Cotton bud alfamart

b. Salep Iodine povidone 10% h. Veet

c. Wistar putih jantan dewasa i. Tissue alfamart

(albino rat)

d. Eter 0,5-1 cc

e. Alcohol 75%

f. Kasa steril Husada

36
E. PROSEDUR TINDAKAN

1. Tahap Persiapan

a. Persiapan Hewan Coba

Tikus wistar dalam penelitian ini diperoleh dari unit pengembangan hewan

coba Universitas Gajah Mada sebanyak 54 ekor dengan berat badan 250-

300 gram. Dimana sebelumnya telah dilakukan adaptasi selama 7 hari di

laboratorium fakultas farmasi dan diberi pakan secukupnya selama 7 hari.

Setelah proses adaptasi selama 7 hari tikus wistar dipisahkan sesuai

kelompok pada masing-masing kandang

b. Pembuatan Ektrak Buah Naga Merah (Krim topikal)

Ektrak Buah Naga Merah 7,5% ini dibuat sesuai komposisi sebagai

berikut:

Tabel 4.1
Kadungan Sediaan Ektrak Buah Naga Merah 7,5% Kream
Kandungan Senyawa gr. gr.

7,5 Asam Stearat 1,5 5,3


10 Cetyt Alkohol 2 7
7,5 Steanyl Alkohol 1,5 5,3
25 Gliserin 5 17,5
50 PG 10 35
0,25 α-tokoperol 0,05 0,020
1 MP 0,2 0,7
0,5 FP 0,02 0,07
5 Novomer 1 3,5
394 Aquadest 100 350 (275 air)

37
Tabel 4.2
Komposisi Pembuatan Ektrak Buah Naga Merah 7,5% Kream

Nama Bahan Jumlah (%)


Fase Minyak
Asam stearat 1,5
Cetyl alcohol 2
Stearly alcohol 1,5
Alfa tokoferol 0,05
Propil paraben 0,02
Fase air
Gliserin 5
Propilen glikol 10
Metil paraben 0,2
Aquadest 78.8
Emulgator
Novometer 1
Sumber : (Tahir et al., 2017)

Tahap pertama fase minyak dan fase air dipanaskan terlebih dahulu

hingga suhu 700C kecuali α-tokoferol. Kemudian fase minyak dimasukkan

ke fase air dikocok sampai suhunya 400C. setelah itu ditambahkan

emuglator lalu dikocok kembali sampai berbentuk krim. Setelah berbentuk

krim taham selanjutnya mencapurkannya dengan basic krim dan

menentukan konstrasinya dimana sebelumnya basic krim tersebut telah

dicampur dengan vaselin dan nalolin.

c. Pembuatan Luka

Luka pada tikus wistar dilakukan dengan langkah-langkah sebagai

berikut :

1) Menentukan terlebih dahulu daerah punggung kiri dan kanan yang

akan dibuat luka

2) Membersihkan bulu atau rambut dengan mengoleskan perontok bulu

pada area luka yang diinginkan

3) Melapisi perlak pada tikus wistar yang akan di lakukan

38
4) Lakukan cuci tangan kemudian menggunakan handscoon bersih

5) Melakukan anastesi inhalasi pada tikus wistar

6) Tempelkan Punch biopsy 5mm dan tempelkan pada kulit wistar yang

telah dianastesi

2. Tahap pelaksanaan

a. Mencuci tangan

b. Tempatkan perlak yang dilapisi kain pada luka yang akan dirawat

c. Pakai sarung angan steril dan siapkan kassa

d. Atur posisi wistar untuk mempermudah tindakan

e. Mengolesi bagian luka dengan kasa yang telah dibasahi dengan topikal

ekstrak buah naga setebal 2 mm sampai menutup area luka

f. Tutup luka dengan kasa steril

39
F. ALUR PENELITIAN

Tikus Wistar 54 Ekor

Adaptasi Selama 7 hari

Masing-masing diberikan luka menggunakan punch biopsy


5mm

Diberi perawatan luka selama 7 hari

Kelompok Kontrol Kelompok Kontrol (+) Kelompok Intervensi


Menggunakan basic Menggunakan iodine Menggunakan EBNM
krim povidone 10 % 7,5%

Diambil sampel biopsy pada area luka pada hari ke-0, ke-3, ke-7

Sampel dikirim ke Laboratorium Mikrobiologi & Biomolekuler


FKUH untuk dilakukan pemeriksaan ELISA di Lab. RSP Unhas
Lt.6

Analisi Data

Interpretasi Hasil

Gambar 4.2
Alur Penelitian

40
G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pengukuran kadar Interleukin-6 (IL-6) dilakukan dengan menggunakan

metode ELISA (Enzime Linked Immuno Sorbant Assay). Spesimen jaringan

diambil pada hari ke-0, ke-3 dan ke-7. Prosedur pengambilan sampel,

penyimpanan sampel, reagen dan prosedur assay serta hasil perhitungan

mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan Bioassay Technology

Laboratory selaku produsen alat yang digunakan.

Pengukuran kadar Interleukin-6 menggunakan metode ELISA (Enzime

linked Immunosorbent Assay). Spesimen diambil dari jaringan luka pada hari

ke-3 dan hari ke-7. Prosedur pengambilan dan penyimpanan sampel, persiapan

reagen dan prosedur assay serta hasil perhitungan mengikuti aturan yang telah

ditetapkan dari perusahaan Bioassay Technology Laboratory.

Persiapan sampel sebelum pemeriksaan kadar IL-6 adalah jaringan luka

(sampel) dimasukkan kedalam botol standard kemudian jaringan dihancurkan

sampai menjadi serum dan dihomogenkan dalam Maxi Mix II.

Adapun standar kadar IL-6 sesuai standar (Bioassay Technology

Laboratory, 2017) pada wistar sebagai berikut :

Tabel 4.3
Standard Curve Range IL-6
Standard S5 S4 S3 S3 S1
30 pg/ml 60 pg/ml 120 pg/ml 240 pg/ml 480 pg/ml

(Sumber : (Bioassay Technology Laboratory, 2017)

41
Prosedur pemeriksaan kadar IL-6 dengan menggunakan Mouse IL-6

ELISA Kit sebagai berikut :

1. Prosedur Pra Pemeriksaan

Prosedur pra pemeriksaan menyangkut persiapan sampel dan reagen.

Biarkan sampel berada pada suhu ruang (18-25⁰C) selama 10 – 20 menit.

a. Pembuatan Larutan Standar

1) Biarkan botol standar pada suhu rungan selama 15 menit

2) Sentrifus 2000-3000 RPM selama 20 menit

3) Tambahkan 1 mL refence standard and sampel diluent kedalam

botol standar, biarkan selama 10 menit

4) Buat dilusi berseri hingga diperoleh konsentrasi standar

Tabel 4.4
Pembuatan Dilusi Berseri
120µl Original Standard + 120µl Standard diluent
30 pg/ml Standard No.5

60 pg/ml Standard No.4 120µl Standard No.5 + 120µl Standard diluent

120µl Standard No.4 + 120µl Standard diluent


120 pg/ml Standard No.3

120µl Standard No.3 + 120µl Standard diluent


240 pg/ml Standard No.2

120µl Standard No.2 + 120µl Standard diluent


480 pg/ml Standard No.1

b. Larutan biontinylated detection antibody

Dilusi sebanyak 100X dengan cara memipet 100µl biontinylated

detection antibody concentrated ke dalam tabung 15mL, kemudian

42
tambahkan pelarutnya sebanyak 9.900µl. Homogenkan menggunakan

Maxi Mix II.

c. Larutan HRP (Horse Radish Peroxidase) conjugate

Dilusi sebanyak 100X dengan cara memipet 100µl HRP conjugated

concentrated kedalam tabung 15 nL, kemudian tambahkan pelarutnya

sebanyak 9.900 µl. Homogenkan menggunakan Maxi Mix II.

d. Larutan Wash Buffer 1X

Dilusi sebanyak 25X dengan cara memipet 2 mL wash buffer

concentrated 25X ke dalam tabung 50 mL kemudian tambahkan 48

mL air destilasi (ddH2O). Bolak balik, jangan divortex

e. Prosedur ASSAY

1) Masukkan 100 µL standar / sampel secara duplikat ke dalam Well

(plate).

2) Tutup dan inkubasi pada suhu 37⁰C selam 60 menit.

3) Buka penutup sealer plate kemudian tambahkan 100 µl

biontinylated detection antibody keseluruh well.

4) Tutup dan inkubasi pada suhu selama 10 menit pada suhu 37⁰C.

5) Buka plate sealer dan aspirasi kemudian cuci plate dengan wash

buffer 1X sebanyak 3 kali.

6) Tambahkan 100 µl HRP (Horse Radish Peroxidase) conjugated

ke seluruh well.

7) Tutup dan inkubasi pada suhu selama 30 menit pada suhu 37⁰C.

8) Aspirasi dan cuci menggunakan wash buffer 1X sebanyak 5 kali.

9) Tambahkan 90 µl substrate solution ke seluruh well.

43
10) Tutup dan inkubasi pada suhu selama 10 menit pada suhu 37⁰C,

hindarkan cahaya.

11) Tambahkan 50 µl stop solution ke seluruh well. Baca dan ukur

menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 450

nm.

2. Prosedur Pasca Pemeriksaan

Interpretasi hasil :

1) Rata-ratakan nilai hasil pembacaan standar / sampel yang

diduplikat.

2) Buat kurva standar, nilai OD sebagai sumbu X dan nilai

konsentrasi sebagi sumbu Y, direkomendasikan untuk

menggunakan software professional (curve expert 1.3 atau 1.4)

Akan didapatkan grafik dan persamaan garis (equation / coefficient).

Persamaan garis (equation / coefficient) yang diperoleh dari kurva standar,

kemudian digunakan untuk menghitung nilai konsentrasi masing – masing

sampel.

H. PENGELOLAHAN DAN PENYAJIAN DATA

1. Penyuntingan (Editing)

Sebelum data diolah lebih lanjut dengan menggunakan perangkat

komputer dilakukan koreksi tujuannya untuk mengevaluasi kelengkapan,

konsistensi dan kesesuaian antara kriteria data yang diperlukan untuk

menjawab tujuan penelitian.

44
2. Pengkodean (Coding)

Pemberian kode ini sangat diperlukan terutama dalam rangka

pengelolahan data, baik secara manual maupun dengan menggunakan

komputer.

3. Tabulasi

Data yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi disusun berdasarkan

variabel yang diteliti menurut kelompok variabel.

4. Memasukkan Data (Entry)

Data yang telah terkumpul dan tersusun secara tepat sesuai dengan

variable penelitian kemudian dimasukkan kedalam program SPSS 22 untuk di

olah

5. Pembersihan (Cleaning)

Pembersihan data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer

guna menghindari terjadinya sesalahan pada pemasukkan data.

6. Penyajian Data

Penyajian data berupa distribusi frekuensi, grafik dan table silang

I. ANALISA DATA

1. Analisa Univariat

Dilakukan pada masing-masing variable yang diteliti untuk

mengetahuai gambaran distribusi frekuensi dan normalitas data dari semua

variable penelitian. Data dikumpulkan kemudian dilakukan uji homogenitas

menggunakan Levene Test dan normalitas data menggunakan Shapiro Wilk

Test

45
2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel,

bila data numeric tidak berpasangan dan lebih dari 2 kelompok dan

berdistribusi normal dilakukan One Way ANOVA dan bila data tidak

berdistribusi normal maka yang digunakan adalah Uji Mann Whitney (Dahlan,

2014; Veer, 2014).

Analisis statistik menggunakan program SPSS 22 dengan derajat

kepercayaan 95% dan nilai α ≤ 0,05.

J. ETIKA PENELITIAN

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti akan mengajukan permohonan

surat keterangan kelayakan etik (Ethical Clearance) dari Komisi Etik Penelitian

Biomedis pada manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Makassar

(396/H.4.8.4.5.31/ PP36-KOMETIK/2017).

Karena memakai binatang percobaan, maka untuk penelitian ini binatang

tikus diperlakukan dengan layak, kandang yang bersih, cahaya yang cukup serta

makanan dan minuman yang cukup. Perlakuan binatang coba yang menimbulkan

nyeri dilakukan dengan anastesi umum. Seluruh penatalaksanaan hewan

percobaan diawasi oleh supervisor/ laboran yang ahli dalam penanganan tikus

wistar

46
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

Data hasil penelitian ini telah dianalisa oleh peneliti dengan bantuan

program SPSS 22. Data terlebih dahulu di uji homogenitas dengan Levene Test

dan melakukan uji normalitas data dengan menggunakan Shapiro Wilk Test.

Hasilnya data IL-6 Homogen pada setiap kelompok perlakuan sedangkan pada uji

normalitas menunjukkan data berdistribusi normal. Adapun hasil penelitian ini

dipaparkan ini kami sajikan sebagai berikut:

1. Kadar IL-6

a. Kadar IL-6 Pada Wistar Berdasarkan Kelompok dan Lama Perlakuan

Pada pengamatan kadar IL-6 pada hari ke-3 paling tinggi di

kelompok basic krim yaitu 170,4mm ±38.9, kemudian kelompok Iodin

Povidon 10% (K+) 137,4mm ±43,4 sedangkan kelompok EBNM

merupakan kelompok paling rendah 101.9mm ±32.2. Pada hari ke-7

terlihat terjadi perubahan posisi dimana yang paling rendah yaitu

kelompok Iodin Povidon 10% (K+) 97.9mm ±41.9, kemudian kelompok

EBNM 106,4±46,7 dan yang paling tinggi kelompok basic krim

142,4±85,0.

Tabel 5.1
Kadar IL-6 Pada Wistar Berdasarkan Kelompok dan Lama Pengamatan
Hari Setelah Perlukaan
Kelompok Nilai p
3 7
Basic Krim 170,4±38.9 142,4±85,0 0,479
Iodin Povidon 10% (K+) 137,4±43,4 97.9±41.9 0,140
EBNM 101.9±32.2 106,4±46,7 0,379
Baseline =5 (113,5±48.6), Basic Krim = 18, Iodine Povidone 10% =18, EBNM = 18
Nilai diperoleh dari mean±SD,

47
Grafik Kadar IL-6
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
Hari Ke-0 Hari Ke-3 Hari Ke-7

Basic Krim Iodine Povidone 10% EBNM

Gambar 5.1 Grafik kadar IL-6

b. Perbendaan Kadar IL-6 Pada Wistar Antara Kelompok Berdasarkan Lama

Perlakuan

Pada lama perlakuan hari ke-3 perbedaan kadar IL-6 pada

kelompok EBNM-Basic Krim meningkat (-45,22), pada kelompok iodine

povidone 10% meningkat (-32,99) sedangkan pada kelompok EBNM-

iodine povidone 10% meningkat (-12,23). Pada lama perlakuan hari ke-7

perbedaan kadar IL-6 pada kelompok EBNM-Basic Krim meningkat (-

43,81), pada kelompok iodine povidone 10% meningkat (-44,44)

sedangkan pada kelompok EBNM- iodine povidone 10% menurun (0,62).

48
Tabel 5.2
Perbedaan Kadar IL-6 Pada Wistar Berdasarkan Kelompok dan Lama
Perlakuan
Mean 95% CI
Lama Kelompok p*
Perlakuan Difference Lower Upper
EBNM-Basic Krim -45,22 -101,87 11,42 0,129
3 Hari Iodine Povidone10%- Basic Krim -32,99 -89,68 23,65 0,313
EBNM- Iodine Povidone10% -12,23 -68,88 44,42 0,843
EBNM-Placebo -43,81 -143,03 55,39 0,501
7 Hari Establish-Placebo -44,44 -143,65 54,77 0,492
EBNM-Establish 0,62 -98,59 99,84 1,000

* Post Hoc One Way Anova (-) Meningkat/Lebih Tinggi (+) Menurun/Lebih rendah
Basic Krim = 18, Iodine Povidone 10% =18, EBNM = 18

2. Diameter Luka

a. Diameter Luka Pada Wistar Berdasarkan Kelompok dan Lama

Pengamatan

Diameter luka setelah dilakukan perlakuan mengalami penurunan

yang bisa terlihat jelas dimana pada hari ke-3 penurunan paling rendah

berada pada kelompok dengan pemberian Iodin Povidon 10 % (K+) 3,8

mm ±0,408 , kemudian kelompok dengan EBNM 4,0mm ±0,632 dan

yang paling lambat penurunan diameter lukanya yaitu kelompok Basic

Krim (K-) 4,3mm ±0,516. Namun hal tersebut berubah pada pemantauan

hari ke-7 dimana terlihat bahwa diameter EBNM mengalami penurunan

diameter luka yang cukup drastis yaitu 2,7mm±1,505, diikuti oleh

kelompok pemberian Iodin Povidon 10 % (K+) 3,2 mm ±1,169 sedangkan

pada kelompok basic krim tidak tampak terjadi perubahan yang berarti

yaitu 4,3 mm ±0.816.

49
Hasil uji statistic uji Anova diperoleh nilai p paling rendah berada

pada kelompok EBNM (p=0,073), kemudian diikuti oleh kelompok Iodin

Povidon 10 % (K+) (p=0,271) sedangkan basic krim paling tinggi

(p=1,000)

Tabel 5.3
Diameter Luka Pada Wistar Berdasarkan Kelompok dan Lama
Pengamatan
Hari Setelah Pembuatan Luka Nilai
Kelompok
3 7 p
Basic Krim 4,33±0,516 4,33±0.816 1.000
Iodin Povidon 10% (K+) 3,83±0,408 3,16±1,169 0,271
EBNM 4,0±0,632 2,66±1,505 0,073
Baseline =5 (5±0,0), Basic Krim = 18, Iodine Povidone 10% =18, EBNM = 18
Nilai diperoleh dari mean±SD, Uji Anova

Grafik Diameter Luka


6

0
Hari Ke-0 Hari Ke-3 Hari Ke-7

Basic Krim Iodine Povidone 10% EBNM

Gambar 5.2 Diameter Luka

50
b. Perbendaan Diameter Luka Pada Wistar Antara Kelompok Berdasarkan

Lama Perlakuan

Pada lama perlakuan hari ke-3 perbedaan kadar IL-6 pada

kelompok EBNM-Basic Krim meningkat (-0,33), pada kelompok iodine

povidone 10% meningkat (-0,59) sedangkan pada kelompok EBNM-

iodine povidone 10% menurun (0,16). Pada lama perlakuan hari ke-7

perbedaan kadar IL-6 pada kelompok EBNM-Basic Krim meningkat (-

1,66), pada kelompok iodine povidone 10% meningkat (-1,16) sedangkan

pada kelompok EBNM- iodine povidone 10% meningkat (0,50)

Tabel 5.2
Perbedaan Diameter Luka Pada Wistar Berdasarkan Kelompok dan Lama
Perlakuan
Mean 95% CI
Lama Kelompok Differenc p*
Perlakuan Lower Upper
e
EBNM-Basic Krim -0,33 -1,12 0,45 0,531
3 Hari Iodine Povidone10%- Basic Krim -0,59 -1,29 0,29 0,259
EBNM- Iodine Povidone10% 0,16 -0,62 0,95 0,849
EBNM-Placebo -1,66 -3,46 1,27 0,071
7 Hari Establish-Placebo -1,16 -2,96 0,62 0,242
EBNM-Establish -0,50 -2,29 1,29 0,754
* Post Hoc One Way Anova (-) Meningkat/Lebih Tinggi (+) Menurun/Lebih rendah
Basic Krim = 18, Iodine Povidone 10% =18, EBNM = 18

51
Adapun diameter luka pada hari ke- 0 sampai hari ke -7 pada semua

kelompok dapat dilihat sebagai berikut :

Basic Krim Iodine Povidone 10% EBNM Hari Ke-

Base Line
Hari 0

Hari ke-3

Hari ke-7

Gambar. 5.3 Diameter Luka (mm) Pada wistar dari hari ke-0 sampai hari ke-7

B. PEMBAHASAN

1. Kadar IL-6

Kadar IL-6 pada hari ke-3 paling tinggi ditemukan pada kelompok

basic krim (170,4±38.9) di ikuti oleh kelompok Iodine povidone 10%

(137,4±43,4) dan yang paling renda pada kelompok EBNM (101.9±32.2). Hal

ini menunjukkan bahwa fungsi dari EBNM sebagai anti-inflamasi bekerja

dengan baik dimana pada hari ke-3 kadar IL-6 kelompok EBNM kadar IL-6

paling rendah yang diasumsikan sebagai tanda terkendalikan fase inflamasi

dibandingkan dengan kelompok yang lain sedangkan pada kelompok basic

52
krim kadar interleukin paling tinggi dikarenakan basic krim tidak mengandung

anti-inflamasi.

Pada hari ke-7 kadar IL-6 paling tinggi masih berada pada kelompok

basic krim (142,4±85,0) kemudian kelompok EBNM (106,4±46,7) dan yang

paling rendah berada pada kelompok iodine povidon 10% (97.9±41.9).

Penurunan kadar IL-6 pada kelompok basic krim dan kelompok iodine povidon

10% menunjukkan bahwa fase inflamasi sudah mulai beralih ke fase poliverasi.

Namun berbeda halnya pada kelompok EBNM yang mana pada hari ke-7 ini

mengalami peningkatan hal ini menunjukkan bahwa EBNM masih berperan

dalam produksi IL-6 pada hari ke-7 yang sudah memasuki fase poliferasi jika

dibandingkan dengan kelompok yang lain yang mengalami penurunan. Pada

hari ke-7 fase inflamasi sudah mulai tumpang tindih dengan fase poliferasi hal

inilah yang kemungkinan besar mempengaruhi kadar IL-6 yang meningkat

pada kelompok EBNM. EBNM diyakini masih memberikan rangsangan

terhadap pembentukan IL-6 dimana IL-6 masih sangat dibutuhkan dalam

proses poliferasi sebagai reseptor yang merangsang kreatinosit poliferasi.

Macleod & Mansbridge menjelaskan bahwa IL-6 memliki keterlibatan yang

penting dalam proses keterlambatan penyembuhan luka dimana IL-6 yang

membantu merangsang pembentukan kreatinosit yang berperan dalam

penyembuhan luka (Macleod & Mansbridge, 2015).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kuhn, dkk. Menjelaskan

bahwa IL-6 sangat menguntungkan dalam proses penyembuhan luka pada awal

cedera yang merangsang poliferasi epitel, mesikipun demikian penghambatan

53
IL-6 terbukti berhasil pada pengobatan dengan kasus inflamasi sistemik

(Kuhn, Manieri, Liu, & Stappenbeck, 2014)

Penelitian yang dilakukan oleh Kurosaka & Machida menunjukkan

bahwa IL-6 mengunduksi peningkatan dosis dependent dalam poliferasi sel

dengan mengaktifkan jalur JAK2/STAT3/Cylin D1 (Kurosaka & Machida,

2013)

Dengan melihat beberapa hasil penelitian sebelumnya yang

menjelaskan tentang IL-6 dalam proses poliferasi, hal ini menunjukkan bahwa

pada saat peralihan dari fase inflmasi menuju ke fase poliferasi IL-6 masih

dibutuhkan. Kemungkinan besar dengan penggunan EBNM yang membantu

merangsang pembentukan IL-6 bukan sebagai sitokinan pro-inflamasi

melainkan membentuk IL-6 untuk mengawali proses poliferasi menjadikannya

berbeda pada hari ke-7 dari kelompok yang lain ditandai dengan kadar IL-6

yang justru meningkat pada hari ke-7 dimana pada kelompok lain mengalami

penurunan. Hal inilah yang menjadi nilai plus bagi EBNM yang diharapkan

menjadi pembuka untuk riset-riset selanjutnya.

Sedangkan hari ke-14 kadar IL-6 pada EBNM (90.9±26.23) dan

kelompok basic krim mengalami penurunan (101,9±32,24) sedangkan

kelompok iodine povidon 10% (98.5±64.4) mengalami peningkatan

mesikipun kecil. Pada hari ke-14 memang sudah seharusnya terjadi penurunan

kadar IL-6 yang mana fase poliferasi sudah berakhir kemudian fase maturasi

yang tentunya IL-6 tidak terlalu dibutuhkan pada fase tersebut.

54
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ishartadiati yang

menjelaskan bahwa ketika terjadi infeksi maka kadar IL-6 akan meningkat dan

terjadi penurunan kadar IL-6 ketika tidak ada infeksi (Ishartadiati, 2010)

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya korelasi yang

berarti antara diameter luka dengan kadar IL-6 pada semua kelompok

penelitian namun diperoleh nilai p paling kecil pada kelompok Iodine povidon

10% (p=0,140) sedangkan kelompok basic krim (p=0,479) kemudian

kelompok EBNM (p=0,379).

Bila dituinjau lagi pada hasil diameter luka yang diperoleh kelompok

EBNM menunjukkan perubahan diameter luka yang lebih baik dibandingkan

dengan kelompok iodine povidone 10% dan kelompok basic krim begitu juga

pada kadar IL-6 yang cenderung stabil. Hal tersebut menunjukkan bahwa

fungsi EBNM sebagai anti inflamasi berfungsi secara baik dengan kadar IL-6

yang lebih rendah dibandingkan kelompok basic krim dan kelopok iondine

povidone 10%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nontji, dkk secara

statistic menjelaskan bawah diameter luka dengan kadar IL-1 dan IL-6

signifikat secara statistic dengan nilai p= 0,000 (p>0,05) dengan jumlah sampel

32 orang yang dikelompokkan menjadi 2 kelompok masing-masing 16 untuk

kelompok intervensi dan 16 untuk kelompok kontrol (Nontji, Hariati, &

Arafat, 2015)

Sehingga bisa disimpulkan bahwa EBNM mempengaruhi proses

penyembuhan luka khususnya fase inflamasi dengan menekan senyawa

sitokinin pro inflamasi yaitu IL-6.

55
2. Diameter Luka

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada hari ke-3 diameter luka

yang mengalami penyusutan paling banyak yaitu pada kelompok Iodine

Povidon 10% (3,83±0,408) yang diikuti oleh kelompok EBNM (4,0±0,632)

dan yang paling rendah yaitu kelompok Basic Krim (4,33±0,516). Hasi ke-3

merupakan fase terjadinya inflamasi dimana kelompok Iodine Povidon 10%

memiliki diameter luka terkecil yang mana membuktikan bahwa dengan yang

kandungan anti-inflamasi yang dimiliki akan membantu proses penyusutan

diameter luka dimana fungsi sebagai anti-inflamasi ini juga dimiliki oleh

EBNM meskipun tidak sebaik Iodine Povidon 10% jika dilihat berdasarkan

nilai mean yang ada. Sedangkan kelompok basic krim memiliki diameter luka

yang masih luas dikarenakan tidak adanya sifat anti bakteri, antiseptic dan anti

inflamasi yang dimiliki oleh basic krim. Basic krim hanya membantu

melembabkan luka dengan kandungan minyak yang dimilikinya.

Hal yang berbeda ditemukan pada hari ke-7 dimana kelompok EBNM

diameter lukanya paling kecil (2,66±1,505), kemudian diikuti oleh kelompok

iodine povidon 10% (3,16±1,169) sedangkan pada kelompok basic krim tidak

mengalami perubahan mean (4,33±0.816). Pada hari ke-14 posisi diameter

luka paling kecil masih pada kelompok EBNM (1,25±0.612), kelompok iodine

povidon 10% (1,66±0.516) sedangkan kelompok basic krim memiliki diameter

luka yang masih luas (3,0±0,707).

Perbedaan ini diyakini sebagai akibat dari kandungan kimia yang ada

dalam EBNM. Luo et.al dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kanduangan

dari H.Polyrhizus terdiri dari β-amirin (15,87%), α-amirin (13,9%), oktacosane

56
(12,2%), ϒ-sitosterol (9,35%), octadecane (6,27%), 1-tetracosanol (5,19%),

stigmast-4-en-3-one (4,65%) dan campesteol (4,16%) yang mana kandungan

tersebut sebagian besar merupakan dari senyawa steroid sebagai anti inflamasi

(Luo et al., 2014).

Kandungan flavonoid yang dimiliki oleh EBNM inilah yang diyakini

sangat berperan dalam proses penyembuhan luka tersebut. Flavonoid dalam hal

ini senyawa steroid bekerja dengan menghasilkan enzim yang akan

menghambat proses terjadinya inflamasi serta memodulasi sel-sel yang terlibat

dalam proses peradarangan seperti sel limfosit, monosit, sel mast, neutrophil

dan makrofag. (Davies & Yanez, 2013; Jaganath & Crozier, 2011; Sangeetha

et al., 2016). Percepatan proses penyembuhan dengan adanya bantuan ekternal

dalam hal ini krim EBNM akan mempercepat pembentukan Grow faktor yang

kemudian membentuk Fibrloblas Grow Faktor (FGF) yang berkerja

merangsang pembentukan fibroblast disekitar jaringan luka. Fibroblast ini akan

mempercepat sintesis jaringan kulit baru untuk mempercepat penutupan luka.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Takdir, dkk yang

menjelaskan bahwa diameter luka pada hari ke-7 pada EBNM (Non-DM group

p = 0,047; DM group p = 0,061) dan kelompok control (Non-DM group p =

0,047; DM group p = 0,061) dibandingkan dengan kelompok control negative

group DM dan Non-DM (Tahir et al., 2017).

Proses penyembuhan luka memang unik karena dalam setiap fase yang

belum jelas kapan dimulai dan kapan berakhir. Belum lagi berbagai faktor yang

mempengaruhi percepatan dan perlambatan penyembuhan luka. Namun hal ini

tidak boleh dijadikan masalah tinggal bagaimana kita melihat faktor-faktor

57
yang bisa mempercepat proses penyembuhan luka dan melakukan manipulasi

pada hal-hal yang bisa untuk diusahakan. Sebagaimana dalam penelitian ini

EBNM menjadi focus utama dengan fungsi sebagai anti-inflamasi yang

diyakini membantu mempercepat proses penyembuhan luka.

3. Keterbatasn Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada hewan coba sehingga untuk memantau

kadar IL-6 pada wistar yang sama tidak dilakukan melainkan pada kelempok

yang berbeda sehingga evaluasi kada IL-6 dari awal perlakuan sampai akhir

sulit untuk dipantau pada sampel yang sama setelah sacrifice.

Selain itu metode perawatan luka yang masih konvensional yakni

setelah dilakukan pengolesan salep sesuai masing-masing kelompok luka

dibalut dengan menggunkan kasa steril namun pada prosesnya kasa selalu

terlepas serta posisi luka yang berada pas pada punggung belakang yang

bertepatan dengan kedua kaki belakang wistar sehingga mempersulit dalam

melakukan fikasasi karna akan menghambat pergerakan wistar.

58
BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Kadar IL-6 pada wistar dengan perawatan menggunakan basic krim hari ke-

3 perawatan (4,33±0,516) dan hari ke-7 (4,33±0.816).

2. Kadar IL-6 pada wistar dengan perawatan menggunakan iodine povidon 10%

hari ke-3 perawatan (3,83±0,408) dan hari ke-7 (3,16±1,169).

3. Kadar IL-6 pada wistar dengan perawatan menggunakan EBNM 7.5% hari

ke-3 perawatan (4,0±0,632), dan ke-7 (2,66±1,505).

4. Berdasarkan uji One Way Anova kelompok EBNM 7,5% (p=0,379) masih

lebih inferior dibandingkan dengan kelompok basic krim (p=0,479).

5. Berdasarkan uji One Way Anova kelompok EBNM 7,5% (p=0,379) tidak

lebih inferior dibandingkan dengan kelompok iodine povidon 10%

(p=0,140).

B. SARAN

EBNM sangat berpotensi untuk dikembangkan untuk menjadi bahan alam

yang memiliki kadar flavonoid tinggi sehingga pengembangan penelitian

khususnya untuk aplikasi keperawatan pada setiap senyawa yang dikandung oleh

EBNM perlu untuk dievaluasi lebih lanjut.

59
DAFTAR PUSTAKA

Aitdafoun, M., Mounier, C., Heymans, F., Binisti, C., Bon, C., & Godfroid, J. J.
(1996). 4-Alkoxybenzamidines as new potent phospholipase A2 inhibitors.
Biochemical Pharmacology, 51(6), 737—742. http://doi.org/10.1016/0006-
2952(95)02172-8

Arawwawala, M., Thabrew, I., Arambewela, L., & Handunnetti, S. (2010). Anti-
inflammatory activity of Trichosanthes cucumerina Linn. in rats. Journal of
Ethnopharmacology, 131(3), 538—543. http://doi.org/10.1016/j.jep.2010.07.028

Bioassay Technology Laboratory. (2017). Mouse Matrix Metalloproteinase 9 ELISA


Kit. In User Instruction (pp. 1–8). Shanghai, China: BT Laboratory.

Black, J., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah (Manajemen Klinis
Untuk Hasil yang Diharapkan) (Edisi 8). Jakarta: Salemba Medika.

Clausen, B. ., & Laman, J. . (2017). Inflammation ; Methods and Protocol. (J. . Laman,
Ed.). USA: Humana Press.

Dahlan, M. S. (2014). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan (6th ed.). Jakarta:
Epidemiologi Indonesia.

Davies, N. ., & Yanez, J. . (2013). Flavonoid Pharmacokinetics. United States Of


America: Wiley.

Dealey, C. (2012). The Care of Wounds : A Guide for Nurses (4th ed.). USA: Wiley
Blackwell.

Dembic, Z. (2015). The cytokines of the immune system : The rore of cytokines in
disease related to immune respon. International Journal of Plant Sciences (Vol.
158). United States Of America: ELSEVIER. http://doi.org/10.1016/S2468-
0125(16)30008-6

Demidova-Rice, T., Hambilin, M., & Herman, I. (2012). NIH Public Access. Adv Skin
Wound Care, 25(7), 304–314.
http://doi.org/10.1097/01.ASW.0000416006.55218.d0.Acute

Han, S. (2016). Innovations and Advances in Wound Healing (2nd ed.). New York:
Springer Verlag Berlin Heidelberg.

60
Hardjadinata, S. (2010). Budi Daya Buah Naga Super Red Seacra Organik (1st ed.).
Jakarta: Penebar.

Huether, S. ., Mccance, K. ., Brashers, V. ., & Rote, N. . (2017). Understanding


Pathofisology (6th ed.). United States Of America: ELSEVIER.

Ishartadiati, K. (2010). ROLE OF TNF , IL-1 , AND IL-6 IN PROTOZOA IMMUNE


RESPONSE AGAINST. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma, 11(2).

Jaganath, I. ., & Crozier, A. (2011). Flavonoid Biosynthesis. In H. Ashihara, A.


Crozier, & A. Komamine (Eds.), Plant metabolism and Biotecnology. USA: John
Wiley & Sons, Ltd.

Kasolo, J. N., Bimenya, G. S., Ojok, L., Ochieng, J., & Ogwal-okeng, J. W. (2010).
Phytochemicals and uses of Moringa oleifera leaves in Ugandan rural
communities. Journal of Medical Plants Reseacrh, 4(9), 753–757.
http://doi.org/10.5897/JMPR10.492

Korting, H. C., Schöllmann, C., & White, R. J. (2011). Management of minor acute
cutaneous wounds: Importance of wound healing in a moist environment. Journal
of the European Academy of Dermatology and Venereology, 25(2), 130–137.
http://doi.org/10.1111/j.1468-3083.2010.03775.x

Kuhn, K. A., Manieri, N. A., Liu, T.-C., & Stappenbeck, T. S. (2014). IL-6 Stimulates
Intestinal Epithelial Proliferation and Repair after Injury. PLOS ONE, 9(12),
e114195. Retrieved from https://doi.org/10.1371/journal.pone.0114195

Kurosaka, M., & Machida, S. (2013). Interleukin-6-induced satellite cell proliferation


is regulated by induction of the JAK2 / STAT3 signalling pathway through cyclin
D1 targeting. Cell Proliferation, (46), 365–373. http://doi.org/10.1111/cpr.12045

Li, J., Chen, J., & Kirsner, R. (2007). Pathophysiology of acute wound healing. Clinies
in Dermatology, 25, 9–18. http://doi.org/10.1016/j.clindermatol.2006.09.007

Lim, T. . (2012). Edible Medicinal and Non-Medicinal Plants. New York: Springer
Publishing Company.

Luo, H., Cai, Y., Peng, Z., Liu, T., & Yang, S. (2014). Chemical composition and in
vitro evaluation of the cytotoxic and antioxidant activities of supercritical carbon
dioxide extracts of pitaya ( dragon fruit ) peel. Chemistry Central Journal, 8(1),
1–7.

61
Macleod, A. S., & Mansbridge, J. N. (2015). The Innate Immune System in Acute and
Chronic Wounds. Wound Healing Society, 5(2), 65–78.
http://doi.org/10.1089/wound.2014.0608

Nagori, B. ., Renu, S., & Neha, S. (2010). Natural healing Agent: Garlic, An Approach
To Healty Life. International Journal of Research in Ayurveda & Pharmacy,
1(2), 358–366.

Nontji, W., Hariati, S., & Arafat, R. (2015). Teknik perawatan luka modern dan
konvensional terhadap kadar interleukin 1 dan interleukin 6 pada pasien luka
diabetik. Jurnal Ners, 10(1), 133–137.

Nurliyana, R., Zahir, S., Suleiman, M., & Rahim, K. (2010). Antioxidant study of
pulps and peels of dragon fruits : a comparative study. International Foof
Research Journal, 17, 367–375.

Ong, Y., Tan, W. ., Rosfarizan, M., Chan, E. ., & Tey, T. (2012). Isolation and
Identification of Lactic Acid Bacteria from Fermented Red Dragon Fruit Juices.
Journal of Food Science, 0(0), 1–5. http://doi.org/10.1111/j.1750-
3841.2012.02894.x

Pereira, R. F., & Bártolo, P. J. (2016). Traditional Therapies for Skin Wound Healing.
Advances in Wound Care, 5(5), 208–229.
http://doi.org/10.1089/wound.2013.0506

Petrovska, B. B. (2012). Historical review of medicinal plants’ usage. Pharmacognosy


Reviews, 6(11), 1–5. http://doi.org/10.4103/0973-7847.95849

Preedy, V. . (2011). Cytokines. (P. V.R & R. . Hunter, Eds.). Francis: CRC Press.

RISKESDAS. (2013). Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jakarta.


Sangeetha, K. S. ., Umamaheswari, S., Reddy, C. U. ., & Kalkura, S. . (2016).
Flavonoids : Therapeutic Potential of Natural Pharmacological Agents.
International Journal of Pharmaceutical Science and Research, 7(10), 3924–
3930. http://doi.org/10.13040/IJPSR.0975-8232.7(10).3924-30

Tahir, T., Bakri, S., Patellongi, I., Aman, M., & Upik, A. (2017). Evaluation of Topical
Red Dragon Fruit Extract Effect ( Hylocereus Polyrhizus ) on Tissue Granulation
and Epithelialization in Diabetes Mellitus ( DM ) and Non-DM Wistar Rats : Pre
Eliminary Study. International Journal of Science : Basic and Applied Research,
4531, 309–320.

62
Veer, B. (2014). Dasar - dasar Biostatistik. (S. Hartati & K. Achmad, Eds.).
Tangerang: Karisma Publishing Group.

Zainoldin, K. . (2009). The effects of Hylocereus polyrhizus and Hylocereus undatus


on physiocochemical, proteolysis, exopolysaccharides production, and
therapeutic properties of yogurt. World Acad Sci Eng Technol.

63
GET
FILE='D:\PROPOSAL THALIB\TESIS MANTAP KRIM\Kadar IL-6 7 HARI.sav'.
DATASET NAME DataSet6 WINDOW=FRONT.
DATASET CLOSE DataSet4.
EXAMINE VARIABLES=IL_6BasicKrim IL_6IP IL_6EBNM
/PLOT BOXPLOT STEMLEAF NPPLOT
/COMPARE GROUPS
/STATISTICS DESCRIPTIVES
/CINTERVAL 95
/MISSING LISTWISE
/NOTOTAL.

Explore

Notes

Output Created 28-NOV-2017 13:00:11


Comments
Input Data D:\PROPOSAL THALIB\TESIS
MANTAP KRIM\Kadar IL-6 7 HARI.sav
Active Dataset DataSet6
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
12
File
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values for
dependent variables are treated as
missing.
Cases Used Statistics are based on cases with no
missing values for any dependent
variable or factor used.
Syntax EXAMINE VARIABLES=IL_6BasicKrim
IL_6IP IL_6EBNM
/PLOT BOXPLOT STEMLEAF
NPPLOT
/COMPARE GROUPS
/STATISTICS DESCRIPTIVES
/CINTERVAL 95
/MISSING LISTWISE
/NOTOTAL.
Resources Processor Time 00:00:02.64

Elapsed Time 00:00:02.62

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Basic Krim 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%


Iodine Povidon 10% 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%
EBNM 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

Descriptives

Statistic Std. Error

Basic Krim Mean 156.40083 18.680977


95% Confidence Interval for Lower Bound 115.28428
Mean Upper Bound 197.51739

5% Trimmed Mean 152.67426

Median 154.48000

Variance 4187.747

Std. Deviation 64.712804

Minimum 83.500

Maximum 296.380

Range 212.880

Interquartile Range 89.368


Skewness .880 .637
Kurtosis .504 1.232
Iodine Povidon 10% Mean 117.68250 13.167366
95% Confidence Interval for Lower Bound 88.70132
Mean Upper Bound 146.66368
5% Trimmed Mean 116.44944
Median 104.88000
Variance 2080.554
Std. Deviation 45.613095
Minimum 56.270
Maximum 201.290
Range 145.020
Interquartile Range 81.218
Skewness .536 .637
Kurtosis -.845 1.232
EBNM Mean 111.87917 14.375924

95% Confidence Interval for Lower Bound 80.23797


Mean Upper Bound 143.52036

5% Trimmed Mean 110.62241

Median 117.13000

Variance 2480.006

Std. Deviation 49.799661

Minimum 37.830

Maximum 208.550

Range 170.720

Interquartile Range 73.973

Skewness .298 .637

Kurtosis -.039 1.232

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Basic Krim .145 12 .200* .923 12 .313


Iodine Povidon 10% .197 12 .200* .941 12 .513
EBNM .143 12 .200* .961 12 .804

*. This is a lower bound of the true significance.


a. Lilliefors Significance Correction
Oneway

Notes

Output Created 28-NOV-2017 13:05:10


Comments
Input Data D:\PROPOSAL THALIB\TESIS
MANTAP KRIM\Kadar IL-6 7 HARI.sav
Active Dataset DataSet6
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
12
File
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are
treated as missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based
on cases with no missing data for any
variable in the analysis.
Syntax ONEWAY IL_6BasicKrim IL_6IP
IL_6EBNM BY WAKTU
/MISSING ANALYSIS.
Resources Processor Time 00:00:00.02

Elapsed Time 00:00:00.03

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F

Basic Krim Between Groups 2360.127 1 2360.127 .540

Within Groups 43705.090 10 4370.509

Total 46065.217 11
Iodine Povidon 10% Between Groups 4680.355 1 4680.355 2.571
Within Groups 18205.744 10 1820.574
Total 22886.099 11
EBNM Between Groups 2129.335 1 2129.335 .847

Within Groups 25150.733 10 2515.073


Total 27280.069 11
ANOVA

Sig.

Basic Krim Between Groups .479

Within Groups

Total
Iodine Povidon 10% Between Groups .140
Within Groups
Total
EBNM Between Groups .379

Within Groups

Total

ONEWAY Luas_Luka1 Luas_Luka2 Luas_Luka3 BY WAKTU


/MISSING ANALYSIS.

Oneway

Notes

Output Created 28-NOV-2017 13:06:32


Comments
Input Data D:\PROPOSAL THALIB\TESIS
MANTAP KRIM\Kadar IL-6 7 HARI.sav
Active Dataset DataSet6
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
12
File
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are
treated as missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based
on cases with no missing data for any
variable in the analysis.
Syntax ONEWAY Luas_Luka1 Luas_Luka2
Luas_Luka3 BY WAKTU
/MISSING ANALYSIS.
Resources Processor Time 00:00:00.02

Elapsed Time 00:00:00.04


ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F

Basic Krim Between Groups .000 1 .000 .000

Within Groups 4.667 10 .467

Total 4.667 11
Iodine Povidon 10% Between Groups 1.333 1 1.333 1.739
Within Groups 7.667 10 .767
Total 9.000 11
EBNM Between Groups 5.333 1 5.333 4.000

Within Groups 13.333 10 1.333

Total 18.667 11

ANOVA

Sig.

Basic Krim Between Groups 1.000

Within Groups

Total
Iodine Povidon 10% Between Groups .217
Within Groups
Total
EBNM Between Groups .073

Within Groups

Total
BIODATA MAHASISWA

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Ns. Abdul Thalib, S.Kep

Nim : P4200215016

Jenis Kelamin : Laki - Laki

Tempat & Tanggal Lahir : Parigi, 29 September 1989

Agama : Islam

Suku / Bangsa : Bugis / Indonesia

Alamat Rumah : Jl. Hartako Daya Ruko No.40Q

Telp./HP : 081355466224

Program Studi : Ilmu Keperawatan

Konsentrasi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun Masuk Unhas : 2015

Judul Tesis : Pengaruh Pemberian Krim Topikal Ekstrak Buah Naga Merah
(Hylocereus Polihyzus) Pada Luka Akut Terhadap Kadar
Interleukin-6 Pada Wistar

Pembimbing : 1. Dr. Kadek Ayu Erika, S.Kep.,Ns.,M.Kes (Ketua)


2. Prof. dr. Muh. Nasrum Massi. Ph.D (Sekretaris)

DATA PENDUKUNG
Pekerjaan : Dosen
Alamat Kantor : Jalan Waitatiri, Maluku Tengah, Ambon
Telp./Fax :-
Pendidikan Terakhir : Profesi Ners
Sumber Biaya : Pribadi
Makassar, Oktober 2017

( Ns. Abdul Thalib, S.Kep )

Anda mungkin juga menyukai