Anda di halaman 1dari 7

Nama : Eva Andari

Semester : IV A
Tugas : Farmakologi II
Hari : Senin, 06 Juli 2020

1. Mekanisme keracunan Paracetamol

Mekanisme :

Overdosis parasetamol dapat terjadi pada penggunaan akut maupun penggunaan


berulang. Overdosis parasetamol akut dapat terjadi jika seseorang mengkonsumsi
parasetamol dalam dosis besar dalam waktu 8 jam atau kurang. Kejadian toksik pada
hati (hepatotoksisitas) akan terjadi pada penggunaan 7,5-10 gram dalam waktu8 jam atau
kurang. Kematian bisa terjadi (mencapai 3-4% kasus) jika parasetamol digunakan sampai 15
gram.

Pada dosis terapi (500-2 gram), 5-15% obat ini umunya dikonversi oleh enzim
sitokrom P450 di hati menjadi metabolit reaktifnya, yang disebut N-acetyl-p-
benzoquinoneimine (NAPQI). Proses ini disebut aktivasi metabolik, dan NAPQI berperan
sebagai radikal bebas yang memiliki lama hidup yang sangat singkat. Meskipun
metabolisme parasetamol melalui ginjal tidak begitu berperan, jalur aktivasi metabolik ini
terdapat pada ginjal dan penting secara toksikologi. Dalam keadaan normal, NAPQI akan
didetoksikasi secara cepat oleh enzim glutation dari hati. Glutation mengandung
gugus sulfhidril yang akan mengikat secara kovalen radikal bebas NAPQI,
menghasilkan konjugat sistein. Sebagiannya lagi akan diasetilasi menjadi konjugat asam
merkapturat, yang kemudian keduanya dapat diekskresikan melalui urin.

Pada paparan parasetamol overdosis, jumlah dan kecepatan pembentukan NAPQI


melebih kapasitas hati dan ginjal untuk mengisi ulang cadangan glutation yang diperlukan.
NAPQI kemudian menyebabkan kerusakan intraseluler diikuti nekrosis(kematian sel) hati,
dan bisa juga menyebabkan kegagalan ginjal (walaupun lebih jarang kejadiannya). Suatu
studi populasi terhadap metabolisme parasetamol menunjukkan bahwa proporsi populasi
yang mengalami aktivasi metabolik bervariasi dari 2-20% pada subyek ras kaukasian (orang
kulit putih). Orang-orang yang mengalami kanker hati dan hepatitis kronis B nampaknya
memiliki kapasitas aktivasi metabolik parasetamol yang relatif tinggi (abnormal tinggi).
Orang-orang yang demikian diduga memiliki ambang toksisitas parasetamol yang lebih
rendah dan mungkin juga lebih rentan terhadap karsinogen dari lingkungan.
Cara mengatasi :

Saat ini, pengatasan overdosis parasetamol yang cukup terbukti ampuh adalah
dengan penggunaan N-acetylcystein, baik oral atau secara intravena. Antidot (antiracun) ini
mencegah kerusakan hepar akibat keracunan parasetamol dengan cara menggantikan
glutation dan dengan ketersediaannya sebagai prekursor. Rekomendasi regimen dosis
untuk N-asetilcysteine secara per-oral adalah dengan loading dose sebesar 140 mg/kg,
diikuti dengan 70 mg/kg BB setiap 4 jam untuk 17 kali dosis, dengan total durasi terapi
adalah 72 jam. 

MEKANISME TOKSISITAS

 Sulfat dan glukuronida pada liver tersaturasi

 paracetamol lebih banyak ke CYP -> NAPQI bertambah -> suplai glutation
tidak mencukupi

 NAPQI bereaksi dengan membran sel

 Hepatosit rusak -> nekrosis

2. Mekanisme keracunan Sianida

Mekanisme

Sianida bersifat sangat letal karena dapat berdifusi dengan cepat pada jaringan dan
berikatan dengan organ target dalam beberapa detik. Sianida dapat berikatan dan
menginaktifkan beberapa enzim, terutama yang mengandung besi dalam bentuk Ferri
(Fe3+) dan kobalt. Kombinasi kimia yang dihasilkan mengakibatkan hilangnya integritas
struktural dan efektivitas enzim. Sianida dapat menyebabkan terjadinya hipoksia
intraseluler melalui ikatan yang bersifat ireversibel dengan cytochrome oxidase a3 di
dalam mitokondria. Cytochrome oxidase a3 berperan penting dalam mereduksi oksigen
menjadi air melalui proses oksidasi fosforilasi. Ikatan sianida dengan ion ferri pada
cytochrome oxidase a3 akan mengakibatkan terjadinya hambatan pada enzim terminal
dalam rantai respirasi, rantai transport elektron dan proses osksidasi forforilasi.
Fosforilasi oksidatif merupakan suatu proses dimana oksigen digunakan untuk produksi
adenosine triphosphate (ATP). Gangguan pada proses ini akan berakibat fatal karenan
proses tersebut penting untuk mensintesis ATP dan berlangsungnya respirasi seluler.
Suplai ATP yang rendah ini mengakibatkan mitokondria tidak mampu untuk
mengekstraksi dan menggunakan oksigen, sehingga walaupun kadar oksigen dalam darah
norml tidak mampu digunakan untuk menghasilkan ATP. Akibatnya adalah terjadi
pergeseran dalam metabolisme dalam sel yaitu dari aerob menjadi anaerob. Penghentian
respirasi aerobik juga menyebabkan akumulasi oksigen dalam vena. Pada kondisi ini,
permasalahnya bukan pada pengiriman oksigen tetapi pada pengeluaran dan pemanfaatan
oksigen di tingkat sel. Hasil dari metabolisme aerob ini berupa penumpukan asam laktat yang
pada akhirnya akan menimbulkan kondisi metabolik asidosis.

Cara Mengatasi :

Salah satu kunci keberhasilan terapi keracunan sianida adalah penggunaan antidot
sesegera mungkin dengan pengalaman empiris tanpa harus mengetahui kondisi kesehatan
detail pasien terlebih dahulu. Di Amerika ada dua antidot yang telah disetujui oleh FDA
yaitu kit antidot sianida yang sudah digunakan selama puluhan tahun serta
hidroxokobalamin yang disetujui pada tahun 2006. Kit antidot sianida merupakan
kombinasi dari 3 jenis antidot yang bekerja sinergis (amyl nitrite, sodium nitrite, dan
sodium thiosulfate).

Pemilihan antidot yang akan digunakan membutuhkan pertimbangan klinis dari tenaga
kesehatan terkait dengan keuntungan, kontraindikasi dan efek samping antidot yang juga
disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Hidroxokobalamin sendiri di luar Amerika
sudah digunakan lebih dari 30 tahun karena lebih aman untuk digunakan pada pasien
hamil, yang memiliki riwayat hipotensi, dan pasien yang terpapar sianida melalui jalur
inhalasi. Di samping itu, efek sampingnya relatif lebih kecil dan lebih mudah diaplikasikan
untuk kondisi prehospitalisasi. Berikut data tentang risiko efek samping dan
pertimbangan untuk memilih antidot pada kasus keracunan sianida.

Terapi pendukung yang bisa dilakukan pada pasien adalah dengan:

1) Memonitor fungsi jantung, pernafasan dan kardiovaskuler pasien di ruang ICU

2) Melakukan uji laboratorium untuk memonitor kadar gas dalam darah arteri, kadar laktat
dalam serum, tes darah lengkap, kadar gula darah, kadar sianida dalam darah dan kadar
elektrolit.

3) Monitoring dan terapi aritmia.

4) Maonitoring dan terapi efek samping penggunaan antidot.

3. Mekanisme keracunan Alkohol

Mekanisme :
Di bawah ini dipaparkan fase-fase efek toksik yang bisa terjadi akibat paparan methanol :

 Fase pertama adalah Penekanan sistem saraf pusat : Dapat terjadi dalam 30 menit- 2 jam,
intoksikasi dapat terjadi dalam durasi yang lebih pendek daripada intoksikasi oleh etanol
 Fase kedua adalah fase laten tanpa gejala, mengikuti depresi sistem saraf pusat : Dalam
48 jam setelah diminum, pasien mungkin belum menunjukkan tanda-tanda keracunan,
walaupun gejalanya mungkin berbeda secara individual.
 Fase ketiga terjadi asidosis metabolik berat: Pada fase ini metanol telah dimetabolisme
menjadiasam format dan menyebabkan metabolik asidosis (meningkatnya keasaman
darah), yang dapat menyebabkan mual, muntah, pusing, dan mungkin sudah mulai ada
tanda-tanda gangguan penglihatan.
 Fase keempat adalah toksisitas pada mata, diikuti dengan kebutaan, koma, dan mungkin
kematian: Gangguan visual/penglihatan umumnya terjadi pada 12-48 jam setelah minum,
dan range-nya bervariasi, dari mulai tidak tahan cahaya (fotofobia), kabur atau berkabut,
sampai kebutaan.

Cara mengatasi

Pertama, tentu harus membersihkan dari dari paparan. Jika terkena pada kulit, segera
cuci daerah yang terkena dengan air hangat dan sabun sedikitnya selama 10-15 menit.  Jika
terkena paparan metanol pada mata, maka cuci mata dengan cairan pencuci mata yang
umum digunakan, sedikitnya 10-15 menit.  Jika terhirup atau tertelan, segera minta bantuan
kesehatan dari dokter untuk dilakukan usaha-usaha detoksifikasi. Salah satu cara
detoksifikasi metanol adalah dengan menggunakan etanol dan sodium bikarbonat. Etanol
memiliki afinitas (kemampuan mengikat) enzim alkohol dehidrogenase 10-20 kali lebih kuat
daripada metanol, sehingga mengurangi pembentukan asam format sebagai hasil
metabolisme metanol. Etanol dapat diberikan secara per-oral dengan konsentrasi
sampai 40%, atau melalui intravena dengan konsentrasi 10% dalam 5%
dekstrosa. Sedangkan sodium bikarbonat digunakan untuk mengurangi metabolik
asidosis akibat asam format.

4. Mekanisme Keracunan Makanan Laut (Kerang)


Mekanisme :
Aksi farmakologi dari racun saxitoxin menunjukkan bahwa saxitoxin tidak
mengalami perubahan struktur molekul dalam melakukan aksinya pada membran saraf
dengan efek yang sangat cepat dan dapat menyebabkan kematian. Gejala keracunan
nampak sekitar 30 menit setelah mengkonsumsi kerang yang terkontaminasi dengan
rasa terbakar pada bagian bibir, hidung, dan wajah kemudian menjalar ke leher, lengan,
ujung jari. Pada beberapa kasus terasa melayang di udara. Pada tingkat akhir akan terjadi
paralisis (kelumpuhan otot) dan dapat terjadi kematian setelah 12 jam karena paralisis
pernapasan. Kondisi akan membaik jika korban mampu bertahan pada 12 jam pertama .
Toksisitas racun saxitoxin dinyatakan dalam Mouse Unit (MU) dimana satu MU sama
dengan jumlah yang diperlukan untuk membunuh 20 gr tikus dalam waktu 15 menit
dengan intraperetoneal injection (suntikan ke dalam rongga perut). Racun saxitoxin
mempunyai toksisitas spesifik pada 5500mu/mg atau 2045mu/ mol . Aksi racun saxitoxin
adalah dengan memblokade secara selektif pada pemasukan natrium melalui membran
yang dapat tereksitasi (excitable membran) sehingga menghambat secara efektif sifat
kondusif saraf . pada membran saraf terjadi pada saat dari kondisi pulih menuju
kondisi aksi. Pada kondisi yang normal, tegangan dalam keadaan istirahat (resting
potential) dari membran yang dapat tereksitasi adalah –75mv. Bila membran tereksitasi
tegangan sepanjang sepanjang membran berubah dari-75 mv menjadi lebih dari 0
mv.

Cara mengatasi :

Perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan keracunan saxitoxin bagi masyarakat terutama


yang suka mengkonsumsi kerang-kerangan melalui program monitor yang baik
terhadap kerang yang dikonsumsi maupun lingkungan perairan saat terjadi polusi
materi organik dan pada saat blooming alga khususnya Dinoflagellata.

5. Mekanisme keracunan pesticide ( Organofosfat)

Mekanisme

Mekanisme kerja dari organofosfat yaitu menghambat enzim


hidroksiasetilkolinesterase (AChE). Asetilkolinesterase merupakan enzim yang terdapat
pada sistemsaraf pusat dan perifer yang berfungsi hidrolisisneurotransmitter
astilkolin.Asetilkolin adalah suatu neurotransmitter yang terdapat di antaraujung saraf
dan otot serta berfungsimeneruskan rangsangan saraf. Menurunnyakemampuan
menghidrolisis asetilkolin,mengakibatkan asetilkolin lebih lama direseptor, dan akan
memperhebat dan memperpanjang efek rangsang saraf kolinergik pada sebelum dan
sesudah ganglion(pre- dan postganglionic). Reseptor kolinergik dibagi menjadi dua
golongan besar berdasarkan reaksi mereka terhadap alkaloid muskarinik dan nikotinik.
Nikotinik menstimulasiganglia autonom dan reseptor otot skelet (reseptor nikotinik),
sedangkan muskarinik mengaktivasi sel efektor ujung organ pada otot polos bronkus,
kelenjar air liur dan nodussinoatrial (reseptor muskarinik). Susunan saraf pusat
mempunyai dua jenis reseptordi atas. Cara kerja semua jenis pestisida organofosfat dan
karbamat sama yaitumenghambat penyaluran impuls saraf dengan cara mengikat
kolinesterase, sehingga Hambatan yang bersifat irreversible dapat disebabkan oleh
turunan ester asam fosfat yang dapat merusak kolinesterase dan perbaikan baru timbul
setelah tubuh mensintesis kembali kolinesterase. Asetilkolin adalah suatu
neurotransmitteryang terdapat di antaraujung saraf dan ototserta berfungsi meneruskan
rangsangan saraf. Apabila rangsangan ini berlangsung terus menerus akan menyebabkan
penimbunan asetilkolin. Kolinesterase yang terdapat di berbagai jaringan dan cairan
tubuh dapat menghentikan rangsangan yang ditimbulkan asetilkolin di berbagai tempat
dengan jalan menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat dalam waktu
sangat cepat, sehingga penimbunan asetilkolin tidak terjadi.

Organofosfat merupakan golongan pestisida yang sangat berbahaya karena ikatan


pestisida organofosfat dan kolinesterase hampir bersifat irreversibel. Intoksikasi dapat
timbul akibat penyerapan dari beberapa tempat termasuk dari kulit dan saluran nafas.
Petani yang menggunakan pestisida organofosfat kemungkinan akan mengabsorpsi
pestisida tersebut dalam jumlah cukup banyak. Terhambatnya kerja kolinesterase akibat
absorpsi pestisida ini biasanya sudah sedemikian besar, tetapi belum menunjukkan
gejala-gejala yang jelas. Penurunan aktivitas kolinesterase hingga menjadi 60% akan
menyebabkan timbulnya gejala yang tidak spesifik seperti pusing, mual, lemah, sakit dada
dan Iain-lain. Pada umumnya gejala dan kelainan neurologik muncul setelah terjadinya
penghambatan 50% atau lebih aktivitas kolinesterase. Penggunaan pestisida yang cukup
besar ini dapat menimbulkan berbagai dampak terhadap kesehatan salah satunya adalah
timbulnya gejalaneurobehavioral atau neurotoksik.

Gejala neurotoksik didefenisikan sebagai perubahan yang merugikan atau gangguan


secara fungsional pada saraf, baik sistem saraf pusat maupun sistem saraf tepi yang
diakibatkan oleh paparan bahan kimia, agent fisik maupun biologis yang lebih dikenal
ndengan zat neurotoksik atau neurotoksikan. Gangguan ini mengakibatkan perubahan
pada memori, attention, mood, disorientasi, penyimpangan berfikir, serta perubahan
somatik, sensorik, dan fungsi kognitif sebagai efek neurotoksik akibat penggunaan
neurotoksikan. Perubahan pada sistem saraf terjadi pada rentang, tingkatan, dan respon
yang beragam tergantung toksisitas dan lama paparan neurotoksikan. Pada beberapa
kasus, perubahan ini akan menghasilkan gejala-gejala yang mudah diidentifikasi sebagai
gangguan saraf seperti lelah berlebihan, insomnia, pusing, sulit berkonsentrasi, sering
merasakan jantung berdebar tanpa adanya melakukan kegiatan/tekanan, serta sakit
kepala secara terus menerus lebih dari satu minggu.

Anda mungkin juga menyukai