Pasal 25
(2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerja sama dengan
pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan
sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
(3) Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Implementasi dari Pasal 25 Peraturan Pemerintah Tahun 2009 ini menjadi dasar acuan dari Pendirian
Apotek Farmarin yang beralamat di Jalan Banteng Nomor 62 Bandung. Peran Apoteker Pengelola
Apotek yang mellaksanakan pekerjaan Kefarmasian seperti yang tercantum dalam Undang Undang
dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009, sedangkan PT Fajar Farmatama berperan sebagai
Pemilik Modal. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 jelas tercantum bahwa
Perijinan pendirian Apotek diberikan kepada Apoteker yang telah memenuhi syarat untuk
melakukan pekerjaan Kefarmasian, hubungan antara Apoteker Pengelola Apotek dengan Pemilik
Sarana Apotek (Pemodal) adalah hubungan yang setara/sejajar dan kesepakan (Perjanjian) antara
Apoteker Pengelola Apotek dengan Pemilik Sarana Apotek (Pemodal) adalah PERSEKUTUAN
PERDATA.
Di post kali ini, saya akan mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan perbuatan melawan
Dikatakan PMH, tidak hanya hal yang bertentangan dengan UU, tetapi juga jika berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang memenuhi salah satu unsur berikut:
Unsur kesalahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada si pelaku.
Sebelum menjawab point point yang menjadi Jawaban akan dijelaskan makna hukum dan inti pokok
perkara, termasuk pengertian dan definisi :
1. Apotek
B. Prinsip-Prinsip KUHAP
1. Asas Legalitas, KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah undang-
undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan
penerapan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law; Semua
tindakan penegak hukum harus berdasarkan ketentuan hukum dan undang-
undang, menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas
segala-galanya SUPREMASI HUKUM.
2. Asas Keseimbangan, dalam setiap penegakan hukum harus berlandaskan
prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan
ketertiban masyarakat.
3. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocent), dalam penjelasan
umum butir 3 huruf c KUHAP, pembuat undang-undang telah
menetapkannya sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan
hukum (law enforcement) jo pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, bahwa :”Setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
4. Prinsip Pembatasan Penahanan, KUHAP telah menetapkan secara limitatif
dan terperinci wewenang penahanan yang boleh dilakukan oleh setiap
jajaran aparat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan.
5. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi, Tersangka, Terdakwa, Terpidana
atau ahli warisnya berhak mununtut ganti kerugian karena ditangkap,
ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang sah menurut undang-undang
atau kekeliruan orangnya atau kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan.
Dapat diajukan dalam sidang praperadilan apabila perkaranya belum atau
tidak dilimpahkan ke PN, tetapi apabila perkaranya telah diperiksa di PN
maka tuntutan ganti kerugian dapat diajukan ke PN yang memeriksa perkara
tersebut baik melalui penggabungan perkara maupun gugatan perdata biasa
baik ketika perkara pidananya diperiksa maupun setelah ada putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) terhadap
perkara pidana yang bersangkutan.
6. Penggabungan Perkara Pidana Dengan Tuntutan Ganti Kerugian, asas ini
merupakan hal baru dalam praktek penegakan hukum di Indonesia dan
mempunyai corak perdata. KUHAP memberikan kesempatan kepada korban
tindak pidana untuk melakukan gugatan perdata tentang ganti kerugian
kepada terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana yang sedang
berlangsung.
7. Asas Unifikasi, dengan berlakunya KUHAP maka lahirlah unifikasi hukum
acara pidana dan berakhirnya pengelompokan terhadap hukum acara pidana
yang merupakan bentuk diskriminasi terhadap berlakunya hukum acara bagi
golongan tertentu.
8. Prinsip Diferensiasi Fungsional, adalah penegasan pembagian tugas
wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP
meletakkan asas “penjernihan” (clarification) dan “modifikasi” (modification)
fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Penjernihan
pengelompokan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tetap saling
terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang
saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu instansi dengan instansi yang
lain, sampai ke taraf proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan
pengamatan pelaksanaan eksekusi.
9. Prinsip Saling Koordinasi, Polisi sebagai aparat penyidik, Jaksa sebagai
aparat Penuntut Umum dan pelaksana eksekusi putusan pengadilan, Hakim
sebagai aparat yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang dilimpahkan ke pengadilan. Prinsip ini diarahkan untuk terbinanya
suatu tim aparat penegak hukum yang dibebani tugas tanggung jawab saling
mengawasi dalam sistem ceking antara para aparat penegak hukum. Dalam
sistem ini juga diperluas sampai dengan pejabat Lapas, Penasihat Hukum
dan keluarga tersangka/terdakwa.
10. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, asas ini telah
dirumuskan dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 jo pasal 4 ayat
(2) UU No. 4 Tahun 2004. Asas ini memberikan hak kepada
tersangka/terdakwa untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam
penyidikan, segera diajukan kepada pentuntut umum, segera diajukan ke
pengadilan dan segera diadili oleh hakim.
11. Prinsip Peradilan Terbuka Untuk Umum, pada prinsipnya semua sidang
dilakukan terbuka untuk umum kecuali terhadap perkara tertentu (delik
kesusilaan dan apabila terdakwanya masih di bawah umur sidang dilakukan
tertutup untuk umum). Semua putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum (pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004 jo pasal 195 KUHAP). Beberapa pasal
dalam KUHAP mengandung asas “demokrasi” dan “transparansi” (persamaan
dan keterbukaan) serta penerapan sistem musyawarah mufakat bagi majelis
dalam mengambil putusan.
- Kuffal, H.M.A, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, 2003;
0
- Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Press, 1983;
- Sutadi, Marianna, Tanggung Jawab Perdata Dalam Kecelakaan Lalu Lintas,
Mahkamah Agung, RI, 1992;
- Yahya, Harahap, M, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Sinar Grafika, 2002.
Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
Pada Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
Berdasarkan pasal 98 ayat (1) KUHAP, Penggabungan perkara Gugatan ganti rugi dilakukan jika
suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan yang di dalam pemeriksaan perkara pidana oleh
pihak Pengadilan telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dengan adanya penggabungan
perkara gugatan ganti rugi pada perkara pidana ini adalah supaya perkara gugatan pada waktu
yang sama diperiksa serta diputus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Tentunya
penggabungan ini akan menguntungkan korban karena dengan cara ini kompensasi atas
kerugian terhadap korban akan dapat didapatkan dengan cepat, murah dan sederhana.
Apabila berkas perkara telah masuk dalam Pengadilan Negeri maka pihak korban dapat
mengajukan permohonan untuk mengajukan Gugatan ganti kerugian. Dan permohonan tersebut
hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan
pidana. Selanjutnya berdasarkan pasal 98 ayat (1) KUHAP atas permohonan tersebut, Hakim
Ketua Sidang dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidananya.
Setelah pihak korban meminta penggabungan perkara gugatan Ganti rugi pada perkara pidana
maka pihak pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan
tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak korban (Pasal 99 ayat 1 KUHAP). Selanjutnya apabila Majelis Hakim
setelah memeriksa kemudian menerima gugatan tersebut maka putusan hakim hanya memuat
tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban (Pasal 99
ayat 2 KUHAP). Selanjutnya Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan
mendapatkan kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan
hukum tetap (Pasal 99 ayat 3 KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap perkara pidana
diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan mengalami hal yang sama (Pasal 100
ayat 1 KUHAP). Namun apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan
banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan banding (pasal 100 ayat 2 KUHAP).
Ketentuan ini tentunya akan berindikasi dapat merugikan korban karena apabila putusan ganti
rugi tidak sesuai dengan keinginan korban namun karena atas putusan perkara pidana tidak
dimintakan banding oleh pihak pelaku maupun Jaksa Penuntut Umum maka pihak korban harus
menerima putusan ganti rugi tersebut.
4. Pihak-pihak dalam Gugatan Ganti Rugi.
Dengan dikabulkannya penggabungan gugatan ganti rugi pada perkara pidana maka
berdasarkan pasal 101 KUHAP, ketentuan dari aturan hukum acara perdatalah yang berlaku
bagi pemeriksaan Gugatan ganti rugi. Dalam hukum acara perdata, yang disebut pihak-pihak
dalam Gugatan ganti rugi adalah pihak Penggugat dan Tergugat. Pihak Penggugat adalah orang
atau pihak-pihak yang mengajukan gugatan atas suatu perkara karena merasa hak-haknya telah
dilanggar oleh seseorang, sedangkan pihak Tergugat adalah orang atau pihak-pihak yang
digugat dan diajukan kemuka pengadilan karena diduga telah melanggar hak seseorang.
Berkaitan dengan hukum acara perdata, dalam pasal 118 HIR disebutkan Gugatan diajukan di
Pengadilan Negeri di mana Tergugat (dalam hal ini Pelaku) berdomisili. Dengan ketentuan
seperti ini dalam prakteknya akan ada kemungkinan kendala dikarenakan Pengadilan Negeri
yang memeriksa perkara pidana tidak berwenang mengadili Gugatan. Ketidakwenangan
Pengadilan Negeri ini disebabkan adanya perbedaan dasar hukum acara yang digunakan dalam
perkara pidana dengan Gugatan ganti rugi. Berdasarkan hukum acara pidana, maka Pengadilan
Negeri yang berwenang mengadili perkara pidana adalah tempat perkara pidana terjadi.
Sehingga apabila tempat perkara pidana terjadi bukan di wilayah yang sama dengan
domisili/tempat tinggal pelaku maka Gugatan ganti rugi tidak dapat diajukan di Pengadilan
Negeri tempat perkara pidana diperiksa. Apabila Pengadilan Negeri tempat perkara pidana
diperiksa tidak memiliki kewenangan memeriksa Gugatan ganti rugi maka Gugatan ganti rugi
ditolak. Hal lain berkaitan dengan hukum acara perdata adalah kemungkinan Gugatan ganti rugi
tidak dapat diterima apabila Penggugat tidak bisa membuktikan atau memenuhi unsur-unsur
atau syarat-syarat yang terkait dengan isi atau substansi gugatan ganti rugi yang meliputi :
Harus ada unsur perbuatan melawan hukum seperti melanggar hak orang lain, bertentangan
dengan kewajiban hukum sipelaku, bertentangan dengan kesusilaan yang baik, bertentangan
dengan kepatutan serta keharusan yang harus diperhatikan dalam pergaulan masyarakat
Harus ada unsur kerugian yang ditimbulkan baik berupa kerugian materiil maupun kerugian
imateriil
Harus ada unsur adanya hubungan kausal (sebab-akibat) antara perbuatan dan kerugian yang
ditimbulkan sehingga pelaku dapat dimintai pertanggung jawabannya.
Identitas para pihak (Penggugat dan Tergugat) atau disebut juga persona standi in judicio, yang
menerangkan nama, alamat, umur, pekerjaan para pihak.
Posita yang merupakan duduk perkara atau alasan-alasan mengajukan gugatan , menerangkan
fakta hukum yang dijadikan dasar gugatan atau disebut juga dengan Fundamentum Petendi.
Tuntutan (petitum), yaitu hal-hal apa yang diinginkan atau diminta oleh penggugat agar
diputuskan, ditetapkan atau diperintahkan oleh hakim (Pasal 178 ayat 3 HIR). Misalnya pada
gugatan ganti rugi terhadap pelaku perkosaan, tuntutan yang diajukan adalah pembayaran
sejumlah uang atas kerugian materil dan atau immateriil yang diderita korban perkosaan.
Sedangkan tahapan proses di persidangan jika Gugatan Ganti Rugi diajukan secara tersendiri
adalah sebagai berikut:
Berdasarkan pasal 130 ayat 1 HIR, bahwa sebelum proses pemeriksaan perkara dimulai, hakim
akan mencoba mendamaikan terlebih dahulu pihak-pihak yang bersengketa yaitu Penggugat
dan Tergugat. Bila perdamaian terjadi maka dibuatkan akte damai dan persidangan selesai atau
dihentikan, namun bila perdamaian tidak terjadi diantara Penggugat dan Tergugat, maka sidang
dilanjutkan dengan Jawaban dari Tergugat;
Replik merupakan jawaban atau bantahan dari Penggugat atas jawaban dari Tergugat;
Duplik merupakan Jawaban atau bantahan dari Tergugat atas Replik Penggugat;
Kesimpulan;
Pengajuan gugatan menurut Hukum Acara Perdata dapat berdasarkan atas adanya ;
a. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata. Semula perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) hanya
diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Namun sejak
tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lidenbaum- Cohen, Hoge Raad memperluas
pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) meliputi pula perbuatan yang
melanggar hak subyektif orang lain atau bertentangan kewajiban hukum pelaku ataupun
bertentangan dengan tata susila atau bertentangan dengan kepatutan, ketelitian atau sikap
hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan antara sesama warga
masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Adapun terhadap orang yang karena
kesalahannya menyebabkan timbulnya kerugian dapat dituntut adalah :
- kerugian immateriel ;
- ganti rugi berupa biaya (segala pengeluaran atau biaya yang nyata-nyata
dikeluarkan oleh salah satu pihak), kerugian (karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditur sebagai akibat dari kelalaian debitur) dan bunga (kehilangan
keuntungan yang diharapkan) ;
- pembatalan perjanjian ;
- peralihan resiko ;
Selanjutnya tentang hal apa saja yang harus dimuat dalam surat gugatan dalam HIR maupun
Rbg tidak diatur, namun demikian dalam B.Rv ditentukan haruslah memuat :
- uraian peristiwa dan dasar hukum gugatan (posita atau fundemintum putendi);
Selanjutnya tentang prosedur pengajuan gugatan di Pengadilan Negeri diuraikan dalam bagan
tersendiri.
Landasan Konstitusional KUHAP adalah UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Kehakiman
Nomor: 14 Tahun 1970.
Pasal 27 ayat 1 yang dengan tegas menyatakan bahwa segala warganegara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
Memberikan perlindungan pada segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dalam Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum
(rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan (machtstaat).
Landasan Hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun
1970 antara lain:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan
bahwa peradilan dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini kemudian
dikuatkan kembali dalam KUHAP pada pasal 197 KUHAP sebagai landasan filosofis.
2. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan
bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjabaran pasal ini
banyak terdapat dalam KUHAP seperti:
Dalam pasal 50 KUHAP ditegaskan bahwa terdakwa segera mendapat pemeriksaan dan
persidangan pengadilan.
Dalam pasal 236 KUHAP menegaskan bahwa pelimpahan berkas perkara dari Pengadilan
Negeri ke Pengadilan Tinggi untuk diperiksa dalam tingkat banding harus dikirim 14 hari
dari tanggal permohonan banding.
Dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP diatur hal-hal untuk mempercepat
proses dan biaya ringan seperti penggabungan perkara pidana dan tuntutan ganti rugi.
3. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan
bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Lebih
lanjut diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970: ”Tiada
seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeladahan dan pensitaan,
selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang
diatur dengan Undang-Undang”. Selanjutnya dijabarkan dalam Bab V KUHAP mulai dari pasal 16
sampai dengan pasal 49 KUHAP.
4. Pada pasal 8 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan pula
bahwa “setiap orang yang disangka, ditahan, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”.
Selanjutnya dalam pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970
ditegaskan: “seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”.
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan: “Pejabat
yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana disebut dalam ayat 1 dapat dipidana.
Ketentuan tersebut di atas lebih lanjut dijabarkan dalam Bab XII KUHAP mulai dari pasal 95
sampai dengan pasal 97 KUHAP.
5. Pada pasal 36 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan: ”Dalam
perkara pidana, seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau
penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Penasihat Hukum”. Selanjutnya
ketentuan ini dijabarkan dalam Bab VII KUHAP mulai dari pasal 69 sampai dengan pasal 74
KUHAP.
Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan dasar pokok sumber konstitusional dari KUHAP yang
pelaksanaan selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal KUHAP. Kemudian dapat diuji dan
dikaitkan dengan landasan filosofis Pancasila dan landasan operasional GBHN TAP MPR Nomor:
IV/MPR/1978 sehingga pasal-pasal KUHAP benar-benar konsisten dan sinkron dengan kedua
landasan dimaksud.
KEPERAWATAN
Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam
Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian
profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep
dengan obat paten.
3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker
wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.
4. Apoteker wajib memberikan informasi:
o Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada konsumen.
o Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.
Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, apoteker harus memenuhinya dengan iktikad
baik dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak memenuhi kewajiban itu,
menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian
yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu, artinya apoteker harus
bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan
kewajibannya.
Kode etik Apoteker Indonesia merupakan suatu ikatan moral bagi Apoteker. Dalam kode itu
diatur perihal kewajiban-kewajiban Apoteker, baik terhadap masyarakat, teman sejawat dan
tenaga kesehatan lainnya. Secara ringkas pokok-pokok kode etik itu adalah, sebagai
berikut: Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia, 2009
a Kewajiban Apoteker terhadap masyarakat:
1. Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik di dalam
lingkungan kerjanya.
2. Seorang Apoteker dalam ragak pengabdian profesinya harus bersedia untuk
menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya.
3. Seorang Apoteker hendaknya selalu melibatkan diri di dalam pembangunan
Nasional khususnya di bidang kesehatan.
4. Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya bagi
masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan.
Sebetulnya informasi obat ini dapat diberikan oleh Dokter di ruang prakteknya, pada saat
Dokter menulis resep. Namun Dokter sering sibuk dengan banyaknya pasien yang harus
dilayani, sehingga pemberian informasi tentang penggunaan obat dan sebagainya kepada
pasien sangat mendesak. Disinilah peranan Apoteker lebih banyak diharapkan untuk
menjelaskan secara langsung tentang obat yang akan dipakainya Jusuf Hanafiah. Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kedokteran ECG. 2001 . Sebagaimana penulis
kemukakan di atas bahwa obat mempunyai hubungan yang erat sekali dengan tugas dan
fungsi Apotek, di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125 Tentang Wajib
Daftar Obat. Disebutkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Pasal 1 ayat (1) yang
dimaksud dengan obat adalah:
Suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa,
mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit,
luka atau hewan, memperolok badan atau badan manusia.
Dari ketentuan tersebut di atas dapatlah kita gambarkan bahwa obat merupakan sesuatu
yang berhubungan dengan masalah kesehatan manusia. Sehingga pemahaman masalah
penggunaan atau pemakaian obat perlu mendapatkan perhatian serius, demi kesehatan
dan keamanan bagi setiap orang yang menggunakan. Kesalahan dalam pemakaian obat
akan dapat mengancam jiwa paling tidak dalam kadar yang rendah akan menyebabkan
cacatnya fisik dan mental.
1. Pengelolaan Apotek menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi.
2. Tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Apoteker sebagaimana dimaksud
ayat 1, diatur lebih lanjut oleh menteri Kesehatan.
3. Tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker sebagaimana dimaksud ayat 1 dan
ayat 2 dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab seorang Dokter
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
Dari ketentuan tersebut di atas, maka Apoteker mempunyai tanggung jawab yang berat
dalam mengelola Apotek, sehingga tidak semua Apoteker dapat mengelola Apotek,
Apoteker harus mempunyai Surat Izin Pengelolaan Apotek (SIPA). Ketentuan tersebut
terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 tahun 1981 Pasal 2 ayat (1)
dan (2).
Ayat 1 berbunyi:
Untuk memiliki surat Izin Pengelolaan Apotek, Apoteker mengajukan secara tertulis di atas
Kertas bermaterai cukup, kepada Menteri Kesehatan cq, Direktorat Jenderal dengan
mencantumkan:
Dalam pengelolaan Apotek dengan sendirinya diperlukan modal yang cukup besar untuk
menyiapkan bangunan gedung, penyediaan alatalat perlengkapan proyek Apotek dan lain
sebagainya. Untuk itu dalam mengelola Apotek terdapat beberapa jenis antara lain Shidarta.
Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia, 2000:
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh DR. Midian Sirait Direktur Jenderal Pengawas
Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam sambutannya pada
upacara pembukaan Rapat Kerja Nasional Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia di
bidang Apotek pada tanggal 22 Februari 1986, menyatakan:
Sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pelayanan kesehatan Apotek perlu terus
melakukan penataan-penataan, sehingga fungsi dan peranan semakin serasi dan
mendukung penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan lainnya. Untuk itu aspek pelayanan
obat termasuk informasi obat kepada masyarakat harus lebih dominan dan dirasakan
realitas manfaatnya oleh masyarakat.
Apoteker sebagai pengelola Apotek bukan sebagai Pemilik Sarana Apotek, pengelolaan
keuangan harus diatur sedemikian rupa, sehingga dapat menjamin kerja sama yang baik
dengan pemilik modal. Untuk mencapai hal dimaksud Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor
5 tahun 1980, Pemilik Sarana Apotek dapat menyelenggarakan Pengelolaan
keuangan Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung: CV.Ramadya Karya, 2005 .
Berdasarkan ketentuan di atas dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwa pengelolaan Apotek
menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker. Apabila Apoteker tidak mempunyai sarana
Apotek, maka dapat mengadakan perjanjian kerja sama dengan pihak lain yang mempunyai
sarana Apotek dan dalam perjanjian kerja sama ini harus dilampirkan akte perjanjian kerja
sama antara pemilik modal dengan Apoteker.
Tugas dan Kewenangan Apoteker
a. Pelayanan resep
Menurut Kongres nasional XVII ikatan Sarjaan Farmasi Indonesia pelayanan resep adalah
suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dan dokter hewan
kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.
f. Edukasi
Edukasi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan pengetahuan
tentang obat dan pengobatan serta mengambil keputusan bersama pasien setelah
mendapat informasi, untuk tercapainya hasil pengobatan yang optimal Jusuf Hanifah, Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Kedokteran ECG, 2001
g. Konseling
Sherzer dan Stone (1974) mendefinisikan konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam
hubungan tatap muka antara seorang individu yang terganggu oleh karena masalah-
masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja professional, yaitu
orang yang terlatih dan berpengalaman membantu orang lain mengenai pemecahan-
pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi. Bahwa konseling adalah pemberian
nasehat atau penasehatan kepada orang lain secara individual yang dilakukan secara
berhadapanh dari seorang yang mempunyai kemahiran (konselor) kepada seorang yang
mempunyai masalah (klien).
Adapun tujuan dari konseling pasien adalah mengoptimalkan hasil terapi obat dan tujuan
medis dari obat dapat tercapai, membina hubungan dengan pasien dan menimbulkan
kepercayaan pasien, menunjukkan perhatian kita kepada pasien, membantu pasien dalam
mengatasi kesulitan yang berkaitan dengan penyakitnya, mencegah dan mengurangi efek
samping, toksisitas, resistensi antibiotika, dan ketidakpatuhan pasien Erlizar SH. Hak dan
Kewajiban Pasien. http://m.serambinews.com/news/hak-dankewajiban- pasien/>[23 Desember
2012 Konseling dapat dilakukan kepada:
1. pasien dengan penyakit kronik seperti: diabetes, TB dan Asma
2. pasien dengan sejarah ketidakpatuhan dalam pengobatan
3. pasien yang menerima obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan
pemantauan
4. pasien dengan multiregimen obat
5. pasien lansia
6. pasien pediatric melalui orang tua dan pengasuhnya
7. pasien yang mengalami Drug Related Problems prosedur tetap konseling:
o Melakukan konseling sesuai dengan kondisi penyakit pasien
o Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien/keluarga pasien
o Menanyakan tiga pertanyaan kunci menyangkut obat yang dikatakan dokter
kepada pasien dengan metode open-ended question:
apa yang telah dokter katakana mengenai obat itu
cara pemakaian, bagaimana dokter menerangkan cara pemakaian
apa yang diharapkan dalam pemakaian ini
o Memperagakan dan menjelaskan mengenai pemakaian obat-obatan tertentu
(inhaler, supostoria,dll)
o Melakukan verifikasi akhir meliputi:
mengecek pemahaman pasien
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi
o Melakukan pencatatan konseling yang dilakukan pada kartu pengobatan
Untuk aktifitas ini, apoteker harus membuat catatan pengobatan (medication record)
prosedur tetap pelayanan residensial (home care)
Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan yang
berhubungan dengan itu, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa dipakai di rumah.
Dalam pelayanan obat ini apoteker harus berorientasi pada pasien/penderita, bagaimana
obat yang diinginkan pasien tersebut dapat menyembuhkan penyakitnya serta tidak ada
tidaknya efek samping yang merugikan.
Tanggung jawab tugas apoteker di apotek adalah Kode Etik apoteker Di Indonesia, Jakarta:
Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2009 :
b. Tanggung jawab apoteker untuk member informasi pada masyarakat dalam memakai
obat bebas terbatas (OTC)
Apoteker mempunyai tanggung jawab penuh dalam menghadapi kasus self medication atau
mengobati sendiri dan pemakaian obat tanpa resep. Apoteker menentukan apakah self
medication dari penderita itu dapat diberi obatnya atau perlu pergi konsultasi ke dokter
atau tidak. Pengobatan dengan non resep jelas akan makin bertambah.
Terhadap pelayanan resep, sebaiknya ada motto “setiap resep yang masuk, keluarnya harus
obat” artinya yaitu apabila ada pasien membawa resep dokter ke apotek, diusahakan agar
pasien itu jadi membeli obatnya di apotek tersebut. Jangan sampai hanya menanyakan
harganya, lalu pergi ke apotek lain. Apabila terpaksa sampai demikian, harus lah dicatat
alas an-alasannya. Apakah dikarenakan si pasien kurang mampu, kurang uangnya atau
karena tidak mengerti/tidak dapat membaca resepnya, apakah pelayanan kurang ramah,
kurang luwes, dan sebagainya.
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang, dan/atau jasa tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam, label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan /atau jasa tersebut;
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undagan yang berlaku.
b. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
c. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat,
atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
d. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut secara wajib menariknya dari peredaran.
Etikad baik pelaku usaha atau produsen dalam hal ini sangat wajibkan, tidak semata- mata
mencari keuntungan. Pelaku usaha tidak boleh memasarkan barang tanpa memberikan
informasi yang jelas. Perlindungan konsumen diwujudkan dengan diaturnya perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan
terhadap kesehatan, kenyamanan,keamanan baik bagi diri konsumen maupun harta
bendanya agar sesuai harga yang dibayarnya terhadap suatu produk dengan mutu produk
itu sendiri. Pengawasan dan Teknis dalam Perdagangan yang mengikat negara yang
menandatanganinya, untuk menjamin bahwa agar bila suatu pemerintah atau instansi lain
menentukan aturan teknis atau standar teknis untuk keperluan keselamatan umum,
kesehatan, perlindungan terhadap konsumen, dan pengujian serta sertifikasi yang
dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan yang tidak diperlukan terhadap perdagangana
internasional. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hal. 66.
Deskripsi
" Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia
secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa,
meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan,
Modul ini berisi informasi layanan untuk pengaduan pelanggaran Hak Asasi Manusia
melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Penjelasan mengenai apa itu
Hak Asasi Manusia, apa pengertian dari pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan penjelasan
mengenai Komnas HAM tercantum dihalaman ini.
Untuk mengetahui apa saja yang termasuk dalam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia,
dan bagaimana prosedur atau cara menyampaikan pengaduan dapat ditemukan dihalaman
selanjutnya. Adapun untuk memperoleh informasi layanan lebih lanjut atau ingin
melayangkan pertanyaan serta laporan, dapat menghubungi kontak Komnas HAM dan/atau
portal Lapor!.
Pelanggaran HAM
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi
manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara,
baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut
Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini,
dan tidak didapatkan, atau dikhawatirksn tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM adalah sebuah lembaga mandiri di
Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya dengan fungsi
melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan
mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia. Komisi ini berdiri sejak tahun
1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, tentang Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia.
1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia.
2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Dasar Hukum
Syarat
Perbuatan pelanggaran HAM yang dapat diadukan ke Komnas HAM, sebagaimana diatur di
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah :
Prosedur
Jangan lupa membubuhkan tanda tangan dan nama jelas pengadu atau yang diberi
kuasa.
Setelah lengkapnya keterangan dan bahan tersebut pengaduan dapat dikirimkan melalui
berbagai cara, yakni :
Biaya (Rupiah)
Kontak Penyelenggara
Email: info@komnas.go.id
Twitter: @komnasham
Situs: http://www.ylbhi.org
E-mail: fortilos@indo.net.id
E-mail: forsola@nusa.or.id
Institute Sosial Jakarta (ISJ)
Jalan Arus Dalam No. 1 RT 001/RW 012, Cawang, Jakarta Timur
KSO-SMUR
Jalan P. Nyak Makam No. 11 Lampeuneng, Banda Aceh
Telp.(0651) 539 53
Website: http://go.to/smur
Flower Aceh
Jalan Rawasakti Barat 111/12 A Jeulingki, Banda Aceh 23114
E-mail:flowerbaceh@wasantara.net.id
Telp.(0274) 375 32 1
E-mail: lbhyogya@indo.net.id
E-mail: piar@kupang.wasantara.net.id.
E-mail: lbh-bl@indo.net.id
E-mail: lbhmdo@manado.wasantara.net.id
E-mail: lbhupg@indosat.net.id
E-mail: lbhbdg@bdg.centrin.net.id
E-mail: lbhsby@indo.net.id
LBH Palembang
Jalan Jend. Sudirman 325, Palembang
E-mail: jfa@palembang.wasantara.net.id
LBH Medan
Jalan Hindu No. 12
E-mail: prodeo@indo.net.id
LBH Bali
Jalan Kapt. Ijok Agung Tresna Renon, Dempasar
E-mail: lbhbali@indo.net.id
LBH Jayapura
Jalan Gerilyawan 46, Jayapura
Telp.(0967) 817 10
LBH Manado
Jalan Arnold Monohutu No. 29, Manado T
E-mail: lbhmdo@manado.wasantara.net.id
LBH Padang
Jalan S Parman No. 142 Padang
E-mail: lbh-pdg@pdg.mega.net.id
LBH Aceh
Jalan perdagangan Lt.II No. 12 Banda Aceh
E-mail: lbh-aceh@aceh.wasantara.net.id
LBH Yogyakarta
Jalan H. Agus Salim No. 36 Yogyakarta
E-mail: lbhyogya@indo.net.id
HUKUM
Asas ini terdapat dalam pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi :
Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.
Dalam sebuah karangan yang ditempatkan di majalah Rechtsgeleerd Magazine (tahun 1887)
oleh Molengraf dikemukakan :
Bahwa pengertian perbuatan melawan hukum seperti yang disebut pada pasal 1365 KUH
Perdata, tidak hanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan
perundang-undangan, melainkan juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-undang yang memuat kaedah-kaedah
sosial. Anggapan ilmu hukum ini diterima dalam yurisprudensi tahun 1919. Ibid.
Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa setelah tahun 1919 perbuatan melawan
hukum seperti tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata bukan saja yang bertentangan
dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan kaedah-kaedah norma sosial dan
norma-norma yang lain.
Adapun asas yang tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata yang menegaskan bahwa tiap
perbuatan yang bertentangan dengan hukum (melawan hukum), yang merugikan orang
lain, mewajibkan pihak yang merugikan (yang melakukan) mengganti kerugian yang diderita
oleh pihak yang dirugikan itu. Selanjutnya dikatakan :
Dalam sejarah hukum perbuatan melawan hukum disebutkan dalam pasal 1365 KUH
Perdata telah diperluas pengertiannya menjadi membuat sesuatu dan tidak membuat
sesuatu (melalaikan sesuatu), yang :
Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian, ada
hal-hal tertentu yang membebaskan orang tersebut dari kewajiban membayar ganti rugi.
Hukum adat yang tidak mengenal penyusunan dalam suatu perundang-undangan tertulis,
serta dalam melaksanakan hukum adat tentang hal ini seorang hakim dapat lebih leluasa
untuk meninjau hakekat hukum tersebut dari sudut manapun dan menurut keyakinannya
tentang rasa keadilan yang benar-benar hidup dimasyarakat.
Dalam KUH Perdata hal perbuatan melawan hukum disistematikakan dalam 2 bagian yaitu :
1. Tanggungjawab orangtua atau wali, guru, atas perbuatan yang dilakukan oleh orang
yang berada dibawah pengampuannya, diatur dalam pasal 1367 KUH Perdata.
2. Tanggungjawab pemilik binatang atas binatang piaraannya, diatur dalam pasal 1368
KUH Perdata.
3. Tanggungjawab pemilik gedung atas bangunan yang dalam pemeliharaannya, diatur
dalam pasal 1369 KUH Perdata.
b. Beberapa perbuatan melawan melanggar hukum seperti pasal 1370 KUH Perdata tentang
pembunuhan, pasal 1371 KUH Perdata tentang penganiayaan dan pasal 1380 KUH Perdata
tentang penghinaan.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut diatas belum ditemukan pengertian yang baku dari
perbuatan melawan hukum. Memang tidak ditemui baik dalam doktrin, yurisprudensi
tentang pengertian yang baku dari perbuatan melawan hukum, karena itu para sarjana
mempunyai sudut pandang masing-masing yang berbeda- beda tentang hal ini.
Oleh karena itu dalam putusan 31 Januari 1919, Mahkamah Tinggi merumuskan pengertian
perbuatan melawan hukum, bilamana suatu perbuatan baik karena sengaja maupun
karena kelalaiannya, sehingga perbuatan tersebut bertentangan dengan hak orang lain atau
bertentangan dengan kesusilaan ataupun keharusan yang diperhatikan dalam peragaulan
ditengah-tengah masyarakat dengan orang lain ataupun benda, sedangkan barang
siapa karena salahnya sehingga akibat perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian
pada orang lain, maka orang tersebut bekewajiban membayar ganti rugi.
Dengan penafsiran luas atas keputusan hogeraad 1919 ini diketahui tentang rumusan
perbuatan melawan hukum. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pihak yang dituntut
agar tidak dijatuhi hukuman semena-mena untuk membayar ganti rugi atau dengan kata
lain untuk membatasi pertanggungjawaban atas tuntutan ganti rugi yang dianggap terlalu
luas. Hal ini disebut dengan “Schutznorm Theorie” atau teori perlindungan. Teori ini
didukung oleh Telders, Vander Griten, Molengraf dan juga hogeraad Belanda. Teori
perlindungan atau Schutznorm Theorie menyatakan bahwa tidak semua orang yang
menderita kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum, berhak menuntut untuk
menerima ganti rugi, dan yang berhak ialah hanya orang-orang yang berkepentingan yang
dilindungi suatu norma yang dilanggar.
Ahli hukum yang lain seperti Meyers, Scholten dan Ribbius menolak teori Schutznorm ini.
Mereka mengatakan dalam prakteknya teori perlindungan ini sangat sulit untuk diterapkan
karena pengertian perbuatan melawan hukum adalah suatu pengertian yang sangat relatif
dan tidak bisa dijadikan pegangan untuk menerapkan batas ada atau tidaknya
onrechtmatigedaad karena mungkin disatu pihak menyatakan ada sedangkan yang lain
menyatakan tidak ada melawan hukum.
Dan Schutznorm theorie hanya dianggap dapat menolong untuk memberikan pedoman,
apa yang harus dianggap dengan perbuatan positif adalah perbuatan yang dapat dilihat dan
menimbulkan akibat, misalnya :
A melempar batu mengenai kaca jendela rumah B dan mengakibatkan kacanya itu pecah.
Sebagaimana telah dibicarakan diatas bahwa menurut aliran logisme bahwa perbuatan
melanggar hukum hanyalah perbuatan-perbuatan yang melanggar hak orang lain atau
bertentangan dengan undang-undang atau dengan kewajiban hukum yang ditentukan
dalam undang-undang yang tertulis saja.
Karena aliran ini berpandangan sempit tentang perbuatan melawan hukum maka banyak
kasus yang terjadi dalam masyarakat yang pada dasarnya adalah perbuatan melanggar
hukum tetapi menurut aliran logisme ini tidak digolongkan dalam onrechtmatigedaad
(perbuatan melawan hukum).
Adapun yang dimaksud dengan penafsiran sempit adalah baru dikatakan ada
onrechtmatigedaad, kalau:
1. Ada pelanggaran terhadap hak subjektif seseorang;
2. Tindakan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
Untuk memenuhi rasa keadilan maka pengertian perbuatan melawan hukum diperluas.
Pengertian perbuatan melawan hukum mencakup perbuatan yang bertentangan dengan
kesusilaan dan kepantasan, pertentangan dengan kewajiban sendiri yang ditentukan
undang-undang, bertentangan dengan hak orang lain.
Dari rumusan ini maka penafsiran pengertian perbuatan melawan hukum sudah sangat
luas dan mencakup semua kehidupan masyarakat.
Adapun unsur-unusr yang terdapat dalam pasal 1365 KUH Perdata tersebut, antara lain :
Dengan meninjau perumusan luas dari onrechtmatigedaad maka daad atau Perbuatan
haruslah perbuatan melawan hukum apabila :
Yang dimaksud dengan bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan
hak subjektif orang lain yaitu kewenangan yang berasal dari kaedah hukum, hak-hak yang
penting diakui oleh yurisprudensi adalah hak-hak pribadi, seperti hak atas kebebasan,
kehormatan, nama baik dan kekayaan.
Menurut terminologi hukum dewasa ini, kewajiban hukum diartikan sebagai yang
didasarkan pada hukum, baik yang tertulis. Menurut rumusan perbuatan melawan hukum
diatas, yang dimaksud dengan kewajiban hukum adalah kewajiban menurut undang-
undang.
Termasuk dalam kategori ini adalah perbuatan pidana yaitu pencurian, penggelapan,
penipuan, dan pengrusakan. Bertentangan dengan kesusilaan sulit untuk memberikan
pengertian kesusilaan, walaupun demikian dapat dijelaskan sbagai norma-norma moral
sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai norma hukum.
Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam lalulintas masyarakat
terhadap diri atau barang orang lain. Itu berarti bahwa setiap manusia menginsafi bahwa ini
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan karenanya dalam segala perbuatannya
harus memperhatikan segala kepentingan sesamanya, harus mempertimbangkan
kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain dengan mengikuti apa yang dianggap
masyarakat sebagai hal yang layak dan patut. Dapat dianggap bertentangan dengan
kepatutan berupa :
1. Perbuatan yang sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak.
2. Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain,
dimana menurut manusia yang normal hal tersebut harus diperhatikan.
Ad.2.Terdapat Kesalahan
Untuk dapat seseorang dipertanggungjawabkan atas perbuatan melawan hukum, pasal
1365 KUH Perdata mengisyaratkan adanya kesalahan.
Oleh karena itu hakimlah yang harus menilai dan mempertimbangkan berat ringannya
kesalahan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum itu sehingga ditentukan ganti
rugi yang seadil-adilnya.
Menurut Arrest Hogeraad tanggal 4 Februari 1926 jika orang yang dirugikan juga
mempunyai kesalahan atas timbulnya kerugian maka sebagian dari kerugian tersebut
dibebankan kepadanya. Kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan
sengaja. Seseorang yang menuntut ganti rugi kepada perusahaan kereta api, karena
ditabrak kereta api, dipersilangan rel dengan jalan usus, lantaran personil perusahaan, tidak
seluruhnya dikabulkan Hogeraad karena juga ada kesalahan yaitu bilamana cukup
waspada, maka akan dapat melihat kereta api berjalan mendekatinya dan dapat
menghindarinya.
Dalam kasus yang lain Hogeraad berpendapat bahwa jika kerugian yang terjadi ialah karena
kesalahan yang dilakukan beberapa orang maka setiap orang bertanggungjawab atas
terjadinya kerugian tersebut dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian seluruhnya.
Seseorang juga tidak dapat dipertangungjawabkan atas perbuatan melawan hukum karena
melakukan perintah jabatan dan salah sangka yang dapat dimaafkan. Tetapi yang
disebabkan karena perbuatan kesalahan atau kurang hati- hati maka bertanggung jawab
atas kerugian yang menjadi tanggungjawabnya, barang-barang yang berada di bawah
penguasaannya dan binatang-binatang miliknya.
a. Kerugian materil
Kerugian materil dapat berupa kerugian yang nyata diderita dari suatu perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya : kebakaran mobil penumpang
akibat perbuatan melawan hukum, mewajibkan si pembuat kerugian itu tidak hanya
membayar biaya perbaikan mobil tersebut, akan tetapi juga bertanggungjawab untuk
mengganti penghasilan mobil penumpang itu yang akan diperoleh si pemilik sewaktu
memperbaiki mobil tersebut.
b. Kerugian immaterial
Yang termasuk dalam kerugian immaterial akibat perbuatan melawan hukum dapat
berupa :
1. Kerugian moral,
2. Kerugian ideal,
3. Kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang,
4. Kerugian non ekonomis.
Untuk menentukan besarnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan
dengan menilai kerugian tersebut. Karena itu pada asasnya yang dirugikan harus sedapat
mungkin ditempatkan dalam keadaan yang sesungguhnya jika tidak terjadi perbuatan
melawan hukum.
Dalam pergaulan masyarakat setiap ada perbuatan, baik perbuatan melawan hukum atau
perbuatan yang lain maka harus ada pelakunya. Pelaku inilah yang melakukan perbuatan,
dan untuk menilai perbuatan ini baik atau salah maka diperlukan atau digunakan hukum
atau norma. Karena hukum tidak lain adalah peraturan yang mengatur tingkah laku anggota
masyarakat dalam pergaulan sehari-hari. Anggota masyarakat inilah yang disebut dengan
subjek hukum, dimana subjek hukum itu adalah penanggung hak dan kewajiban. Karena
adanya hak dan kewajiban ini maka subjek hukum mampu mengadakan hubungan dan
perbuatan-perbuatan hukum.
Salah satu dari perbuatan hukum ini adalah perbuatan melawan hukum. Jadi yang
dimaksud dengan pelaku dalam perbuatan melawan hukum ialah angota masyarakat atau
orang dan badan hukum. Orang atau manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban
dalam lalulintas hukum, dapat melakukan hubungan dan perbuatan hukum, sehingga kalau
melakukan kesalahan maka padanya dapat dimintakan pertanggungan jawab atau
perbuatannya tersebut, tidak terkecuali perbuatan melawan hukum apapun yang
dibuatnya.
Sebagai pendukung hak dan kewajiban, bukan saja manusiawi tapi badan hukum juga
termasuk didalamnya. Oleh karena badan hukum juga sebagai subjek hukum maka badan
hukum juga dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sehingga
padanya dapat juga dimintakan pertanggungjawaban.
Ali Rido, mengatakan :Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum,Perkumpulan
Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Alumni : Bandung, 1979), hal.66.
Pengertian badan hukum adalah merupakan kumpulan atau asosiasi yang terdiri dari lebih
satu orang dan menurut doktrin harus memenuhi syarat- syarat :
“Pengertian badan hukum adalah badan disamping orang/manusia juga dianggap dapat
bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak dan kewajiban dalam perhubungan
hukum terhadap orang lain atau badan hukum, disertai syarat utama adanya harta yang
terpisah dari harta anggota” .
Dalam pembahasan skripsi ini, hanya dibatasi pada badan hukum perdata, yang turut serta
dalam pergaulan hidup masyarakat. Misalnya : dapat melakukan jual beli, sewa-menyewa,
dan lain-lain.
Sebagai badan hukum, maka dapat dipertanggungjawabkan dalam perbuatan melawan
hukum yang merugikan orang lain. Dalam hubungan ini pertanggungjawaban dalam rangka
perbuatan melawan hukum ada 2 macam tanggungjawab, yaitu :
1. Tanggungjawab langsung
Yaitu tanggungjawab seseorang terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh orang itu
sendiri, berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata.
2. Tanggungjawab tidak langsung
Yaitu tanggungjawab seseorang terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain
dalam rangka melaksanakan tugas pekerjaannya, dan di bawah pengamanan orang
yang bertanggungjawab tadi (pasal 1367 KUH Perdata).\
Pasal 1367 KUH Perdata berbunyi : Lihat Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan
mereka adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan
atau bawahan-bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini
dipakainya”.
Di atas sudah diuraikan akibat umum dari suatu perbuatan melawan hukum, yaitu
kegoncangan dalam neraca keseimbangan dalam masyarakat, atau dengan kata lain dapat
dikatakan kekacauan. Kekacauan ini dapat mengenai berbagai hubungan hukum dalam
masyarakat. Hubungan hukum yang sering kali dilanggar dapat mengenai berbagai
kepentingan seseorang manusia, misalnya mengenai harta kekayaan. Pelanggaran
kepentingan ini tentunya secara langsung dirasakan oleh orang yang bersangkutan, yang
pada akhirnya menimbulkan kerugian, sehingga dapat dikatakan bahwa pelanggaran suatu
kepentingan anggota masyarakat bagaimanapun kecilnya tentu dapat membuat kekacauan
dalam hidup masyarakat, maka dapat dimengerti bahwa tiap perbuatan melawan hukum
mempunyai akibat terhadap kepentingan masyarakat seluruhnya.
Telah diuraikan pada bab sebelumnya, mengenai substansi perbuatan melawan hukum,
sehingga dari uraian tersebut timbul suatu pertanyaan, konsekuensi atau akibat apa
yang timbul terhadap seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum ?. Pasal 1365
KUH Perdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap perbuatan ataupun tindakan
yang melawan hukum, yang berakibat timbulnya kerugian pada orang lain menimbulkan
kewajiban pada orang yang telah mengakibatkan kerugian untuk mengganti kerugian itu.
Sehingga secara prinsip, pelaku perbuatan melawan hukum yang telah melakukan
perbuatan yang melawan hukum baik itu sengaja atau tidak mengakibatkan yang
bersangkutan wajib menggantikan kerugian (moril maupun materiil) terhadap pihak-pihak
yang telah dirugikan, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata.
Rasa keadilan pada masyarakat akan tercipta apabila tiap-tiap anggota masyarakat
bertindak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada di masyarakat. Setiap anggota
masyarakat harus menggunakan haknya sesuai dengan tujuannya.
Anggota masyarakat yang menggunakan haknya tidak sesuai dengan tujuannya (Misbruik
Van Recht) yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka padanya akan dimintakan
pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam praktek, hakim dalam menentukan apakah seorang telah melanggar kepantasan,
kesusilaan di tengah-tengah masyarakat sering menemui kesulitan karena perluasan
pengertian perbuatan melawan hukum, maka apabila seseorang melawan kesusilaan dan
kepantasan dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. Kalau hakim memenuhi
kesulitan dalam menentukan ini otomatis dalam menentukan ganti rugi hakim juga akan
menemukan kesulitan.
Walaupun ada pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum namun ada juga hal-
hal yang melenyapkan sifat perbuatan melawan hukum dari suatu tuntutan, sehingga
kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Hal-hal yang dapat melenyapkan pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum
dibedakan dalam 2 golongan yaitu :
a. Hak pribadi
Sifat melawan hukum lenyap bilamana seseorang dalam melakukan perbuatannya dapat
mendalilkan bahwa hak pribadi yang menjadi dasar perbuatannya. Contoh pasal 1354 KUH
Perdata dengan pasal 1358 KUH Perdata tentang zaakwarneming. Pada umumnya
seseorang tidak dapat membuat sesuatu perjanjian atas nama orang lain tanpa
sepengetahuannya, misalnya, menyewakan barang kepada orang lain atau pihak ketiga.
Kalau hal menyewakan barang tersebut, dinamakan perbuatan melawan hukum semacam
itu yaitu kalau pada suatu saat barang milik orang lain tidak terurus sama sekali dan si
pemilik tidak diketahui tempatnya, supaya barang itu tidak terlantar seorang tadi
berinisiatif mengurus barang tersebut untuk kepentingan si pemilik barang, inilah yang
dimaksud dengan zaakwarneming, berdasarkan pasal 1357 KUH Perdata si pengurus
barang tersebut berhak memperjanjikan pada pihak ketiga yang mengikat si pemilik walau
tanpa kuasanya.
b. Pembelaan diri
Dalam hal ini harus ada seorang dari pihak lain baru bisa dilakukan pembelaan diri. Kalau
pada waktu pembelaan diri tergolong pada perbuatan melawan hukum, maka sifat
melawan hukumnya menjadi lenyap. Harus diperhatikan bahwa harus benar-benar ada
keadaan yang memerlukan seseorang untuk membela diri juga harus diperhatikan bahwa
pembelaan diri ini tidak berakibat serangan baru terhadap yang menyerang.
Contoh :
A berniat membunuh B yang sedang berjalan dengan memegang tongkat. Pada saat A
hendak menikam B, B memukul tangan A dengan tongkat sehingga pisau jatuh dari tangan
A. Walaupun perbuatan A adalah perbuatan melawan hukum, tapi ini adalah perbuatan
membela diri.
c. Keadaan memaksa (overmacht)
Menurut Subekti, bahwa : R.Subekti, , Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Intermasa : cetakan
XXIV),hal.150.
“Untuk dapat dikatakan keadaan memaksa (overmacht), keadaan itu diluar kekuasaan
manusia dan memaksa. Yang mana kerugian yang timbul akibat keadaan memaksa,
kerugian tersebut tidak dapat dipastikan terjadi sebelumnya karena keadaan itu di luar
kekuasaan manusia”.
d. Perintah Jabatan
Perintah jabatan adalah melaksanakan tugas pekerjaan berdasarkan perbuatan yang
berlaku dalam lingkungannya.
Hal yang melenyapkan sifat melanggar hukum yang tidak berasal dari undang-undang,
misalnya : wewenang untuk melanggar hak orang lain atas dasar persetujuan yang berhak.
Misalnya : A pemilik seekor anjing, ternyata kemudian menderita sakit gila. A meminta B
yang kebetulan memegang sebuah tongkat untuk memukul anjingnya tersebut. Atas
persetujuan A tersebut, B memukul anjing tadi.
Perbuatan Melawan Hukum dan
Wanprestasi sebagai Dasar
Gugatan
Bagi yang pernah kuliah di fakultas hukum, tentunya tidak asing dengan
putusan Arrest Hooge Raad tanggal 31 Januari 1919 pada perkara
Lindenbaum vs. Cohen. Tahukah Anda bahwa Arrest tersebut menjadi
salah satu isi pasal dalam BW yang mulai berlaku di Belanda pada 1992
yang merumuskan perbuatan melawan hukum. Kenapa gugatan
wanprestasi dan perbuatan melawan hukum sering dicampuradukan?
Leo/APr
Dibaca: 379592 Tanggapan: 2
Sekadar menyegarkan ingatan, perkara Lindenbaum vs. Cohen adalah suatu
tonggak penting yang memperluas pengertian perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perkara tersebut melibatkan dua kantor percetakan
yang saling bersaing, satu milik Lindenbaum dan satu lagi milik Cohen.
Suatu hari, pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum dibujuk oleh Cohen
agar memberitahukan nama-nama pelanggannya berikut penawaran yang
diberikan kepada mereka. Dengan data itu, Cohen bisa memanfaatkan data-
data tersebut untuk membuat suatu penawaran baru yang akan membuat
orang-orang akan memilih kantor percetakannya daripada kantor
Lindenbaum.
Untungnya, perbuatan Cohen cepat diketahui oleh Lindenbaum. Akibatnya,
Lindenbaum langsung mengajukan gugatan terhadap Cohen di muka
pengadilan Amsterdam. Selain mengajukan gugatan perbuatan melawan
hukum terhadap Cohen, Lindenbaum juga meminta ganti rugi atas perbuatan
Cohen tersebut.
Di tingkat pertama Cohen kalah, tetapi sebaliknya di tingkat banding justru
Lindenbaum yang kalah. Di tingkat banding, dikatakan bahwa tindakan Cohen
tidak dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum karena tidak dapat
ditunjukkan suatu pasal dari Undang-Undang yang telah dilanggar oleh
Cohen.
Perbuatan melawan hukum
Akhirnya melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung-nya Belanda)
tanggal 31 Januari 1919, Lindenbaum lah yang dinyatakan sebagai
pemenang. Hoge Raad menyatakan bahwa pengertian perbuatan melawan
hukum di pasal 1401 BW, termasuk pula suatu perbuatan yang melanggar
hak-hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
bertentangan dengan kesusilaan.
Sebelum adanya Arrest tersebut, pengertian perbuatan melawan hukum, yang
diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya
ditafsirkan secara sempit. Yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah
tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena
Undang-Undang (onwetmatig).
Orang tidak bisa mengajukan perbuatan melawan hukum dan meminta ganti
kerugian apabila tidak disebutkan secara jelas pasal berapa dan undang-
undang mana yang telah dilanggar.
Sebagai contoh, di kota Zutphen, Belanda, seorang pemilik rumah yang
tinggal di bagian bawah rumah bertingkat pernah mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum terhadap pemilik rumah yang tinggal di bagian
atas. Penyebabnya, barang-barang yang berada ruangan di bagian bawah
menjadi rusak karena pemilik rumah di bagian atas menolak untuk menutup
kerannya.
Akibat musim dingin, pipa saluran air di bagian bawah pecah, sehingga ketika
pemilik rumah yang di atas menyalakan keran, justru yang dibagian bawah
menjadi kebanjiran. Ketika itu, gugatan perbuatan melawan hukum tersebut
ditolak karena tiada pasal dari suatu Undang-Undang yang mengharuskan
pemilik rumah bagian atas untuk mematikan kerannya.
Yang pasti, KUHPerdata memang tidak mendefinisikan dan merumuskan
perbuatan melawan hukum. Perumusannya, diserahkan kepada doktrin dan
yurisprudensi. Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur barang siapa
melakukan perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang
ditimbulkannya.
Belanda yang telah memasukkan Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 menjadi
salah satu pasal dalam BW-nya. Perumusan dan batasan perbuatan melawan
hukum sudah sedemikian luas di 'negeri kincir angin' ini.
Wanprestasi
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk.
Wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan,
melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya,
melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pkar hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan
pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak
menurut selayaknya. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi
bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian, atau meminta
ganti kerugian pada debitur.
Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan,
kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut, serta bunga. Pengertian
bunga di sini adalah hilangnya keuntungan yang sudah diperkirakan atau
dibayangkan oleh kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi.
Kewajiban debitur untuk membayar ganti rugi tidak serta merta timbul pada
saat dirinya lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu yang
disampaikan oleh kreditur ke debitur (pasal 1238 jo Pasal 1243 KUHPerdata).
Untuk menghindari celah yang mungkin bisa dimanfaatkan debitur, ada
baiknya kreditur membuat secara tertulis pernyataan lalai tersebut atau bila
perlu melalui suatu peringatan resmi yang dibuat oleh juru sita pengadilan.
Perbedaan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi
Orang sering mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan gugatan
perbuatan melawan hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum. Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan,
sebenarnya lebih tepat kalau diajukan gugatan wanprestasi. Ini akan menjadi
celah yang akan dimanfaatkan tergugat dalam tangkisannya.
Membedakan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi sebenarnya
gampang-gampang susah. Sepintas lalu, kita bisa melihat persamaan dan
perbedaanya dengan gampang. Baik perbuatan melawan hukum dan
wanprestasi, sama-sama dapat diajukan tuntutan ganti rugi.
Sementara perbedaannya, seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia
melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain. Tiada
wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya.
Sedangkan seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum
apabila perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan
dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan.
Beberapa sarjana hukum bahkan berani menyamakan perbuatan melawan
hukum dengan wanprestasi dengan batasan-batasan tertentu. Asser Ruten,
sarjana hukum Belanda, berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang hakiki
antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Menurutnya, wanprestasi
bukan hanya pelanggaran atas hak orang lain, melainkan juga merupakan
gangguan terhadap hak kebendaan.
Senada dengan Rutten, Yahya Harahap berpandapat bahwa dengan tindakan
debitur dalam melaksanakan kewajibannya yang tidak tepat waktu atau tak
layak, jelas itu merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak
orang lain berarti merupakan perbuatan melawan hukum. Dikatakan pula,
wanprestasi adalah species, sedangkan genusnya adalah perbuatan melawan
hukum.
Selain itu, bisa saja perbuatan seseorang dikatakan wanprestasi sekaligus
perbuatan melawan hukum. Misalnya A yang sedang mengontrak rumah B,
tidak membayar uang sewa yang telah disepakati. Selain belum membayar
uang sewa, ternyata A juga merusak pintu rumah B
Namun apabila kita cermati lagi, ada suatu perbedaan hakiki antara sifat
perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Bahkan, Pitlo menegaskan
bahwa baik dilihat dari sejarahnya maupun dari sistematik undang-undang,
wanprestasi tidak dapat digolongkan pada pengertian perbuatan melawan
hukum.
M.A. Moegni Djojodirdjo dalam bukunya yang berjudul "Perbuatan Melawan
Hukum", berpendapat bahwa amat penting untuk mempertimbangkan apakah
seseorang akan mengajukan tuntutan ganti rugi karena wanprestasi atau
karena perbuatan melawan hukum.
Menurut Moegni, akan ada perbedaan dalam pembebanan pembuktian,
perhitungan kerugian, dan bentuk ganti ruginya antara tuntutan wanprestasi
dan perbuatan melawan hukum.
Dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat harus
membuktikan semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum selain harus
mampu membuktikan adanya kesalahan yang diperbuat debitur. Sedangkan
dalam gugatan wanprestasi, penggugat cukup menunjukkan adanya
wanprestasi atau adanya perjanjian yang dilanggar.
Kemudian dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat dapat
menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum).
Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan apabila gugatan yang diajukan
dasarnya adalah wanprestasi.
Masalah simpel
Setiawan, mantan hakim tinggi yang sekarang menjadi arbiter di BANI melihat
perbedaan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum sederhana
sekali. "Bedanya Undang-Undang dengan perjanjian apa sih? Undang-
Undang tertulis, perjanjian bisa tertulis bisa tidak tertulis. Cuma Undang-
Undang berlaku untuk umum, perjanjian berlaku untuk para pihak," ujarnya
kepadahukumonline.
Menurut Setiawan, kita berbicara perbuatan melawan hukum kalau melanggar
Undang-Undang yang berlaku untuk umum. Sedangkan kita berbicara
wanprestasi kalau kita berbicara tentang perjanjian yang berlaku untuk para
pihak. "Simpel sekali masalahnya," ungkapnya.
Setiawan berpendapat bahwa perbedaan wanprestasi dan perbuatan
melawan hukum yang terus dibesar-besarkan seakan-akan menjadi
perdebatan klasik yang tidak pernah usai. Hal ini sebenarnya tidak lebih dari
upaya salah satu pihak untuk menghindar memenuhi kewajibannya.
Setiawan mengemukakan bahwa sekarang ini orang lebih berprinsip kalau
bisa tidak bayar atau kalau bisa memperlambat, buat apa bayar sekarang.
"Sebenarnya hukum itu kaedahnya cuma dua: sopo sing salah kudu dihukum,
sopo sing ngutang kudu bayar (siapa yang salah harus dihukum, siapa yang
berhutang harus membayar, red), tidak ada lain. Pada akhirnya semua
bermuara ke sana," cetus Setiawan.
Dari uraian di atas, sebelum mengajukan gugatan, ada baiknya calon
penggugat mempertimbangkan terlebih dahulu apakah akan mengajukan
gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum terhadap lawannya.
Seandainya mengajukan gugatan wanprestasi, ia cukup menunjukkan
perjanjian yang dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian
untuk menyatakan tidak terjadi wanprestasi.
Namun kalau akan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum,
penggugat harus siap-siap untuk membuktikan dan menunjukkan bahwa
bukan hanya ada suatu perbuatan melawan hukum, tetapi ada juga unsur
kesalahan (schuld) yang dilakukan oleh Tergugat.
Mengenai tuntutan ganti rugi yang diminta, untuk wanprestasi jumlahnya tentu
bisa diperkirakan karena ada dalam perjanjian. Sedangkan untuk perbuatan
melawan hukum, diserahkan kepada hakim untuk menilai besarnya ganti rugi.
Jadi, mau mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum?
TANGGAPAN
KEKUATAN DASAR HUKUM KUHPerdata
- MEfendi Dumai
11.12.14 10:51
Dengan Hormat Gugatan perdata ada dua,yaitu : 1.GUGATAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM,berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata:Tiap perbuatan yang
bertentangan dengan orang lain yang timbul karena Undang Undang.Barang siapa
melakukan perbuatan melawan hukum,harus mengganti kerugian yang di timbulkannya.
2.GUGATAN WANPRESTASI,bedasarkan pasal 1243 KUHPerdata:Suatu gugatan yang
timbul karana tidak terlasananya suatu perjanjian sebagaimana mestinya,terlambat serta
melakukan sesuatu menurut perjanjian tidak boleh di lakukan.Pihak yang merasa
dirugikan karena terjadinya wanprestasi dapat menuntut pemenuhan,pembatalan,atau
meminta ganti kerugian kepada pihak yang telah inkar,lalai melaksanakan perjanjian.
Gugatan perdata dengan pasal pasal KUHPerdata di atas,dapat kami pelajari dan
mengerti,tapi alangkah baik KUHPerdata itu secara tegas di di jelaskan seperti
KUHPerdata.Kerena sering kali terjadi pemutaran balik pakta hukum,bahkan tanpa di
dasari oleh hukum dalam perkara perdata. Fakta hukum hukum yang menurut kami
telah melanggar KUHPerdata,yang terjadi di Pengadilan Negeri Dumai,Gugatan perdata
No.Reg:13/Pdt.G/2010/PN.Dum,GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM.
Pelanggaran yang kami maksud adalah sebagai berikut : A.Para penggugat:1.Yeni
Sumali. 2.Toton Sumali. 3.Djuarwin Netsen. 4.IR.Rusli Sumali menggugat perbuatan
melawan hukum berdasarkan Akta notaris,Pengikatan Untuk Jual Beli,antara lain:
(a).Akta no.10,pengikatan antara Yeni Sumali dengan Dohar. (b).Akta no.11,pengikatan
antara Toton Sumali dengan Dohar (c).Akta no.12,pengikatan antara Djurwin Netsen
dengan Dohar. (d).Akta no.13,pengikatan antara IR.Rusli Sumali dengan Dohar. B.Para
tergugat yaitu : 1.Marwal Efendi,tergugat I. 2.DOHAR,tergugat II. 3.Solai Guan,tergugat
III 4.Kian Ho,tergugat IV 5.Martias,tergugat V, 6.Abdul Halasan,turut tergugat VI
Pertannyaan : 1.Apa dasar hukumnya gugatan perbuatan melawan hukum yang
dilakukan para penggugat.... ? 2.Siapa saja yang dapat di tarik sebagai tergugat oleh
para penggugat berdasarkan Akta Notaris tersebut ? 3.Dapatkah Gugatan tersebut di
terima dan di putuskan oleh Majelis Hakim,yang menyatakan sah Akta notaris tersebut
sebagai bukti hak terhadap para hak milik dan bangunan di atasnya tergugat I,III,IV dan
V... ? Demikian Terima Kasih
Balas Tanggapan
Yaitu pelaku tindak pidana yang pada hakekatnya memenuhi semua unsur dari
tindak pidana. Dalam arti sempit, pelaku adalah mereka yang melakukan tindak
pidana. Sedangkan dalam arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku diatas yaitu
mereka yang melakukan perbuatan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka
yang turut serta melakukan dan melereka yagn menganjurkan.
Yaitu seseorang ingin melakukan suatu tundak pidana, akan tetapi ia tidak
melaksanakannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. dalam
penyertaan ini orang yang disuruh tidak akan dipidana, sedang orang yang
menyuruhnya dianggap sebagai pelakunya. Dialah yang bertanggungjawab atas
peristiwa pidana karena suruhannyalah terjadi suatu tindak pidana.
Yaitu mereka yang ikut serta dalam suatu tindak pidana. Terdapat syarat dalam
bentuk mereka yang turut serta, antara lain:
a. Adanya kerjasama secara sadar dari setiap peserta tanpa perlu ada
kesepakatan, tapi harus ada kesengajaan untuk mencapai hasil berupa tindak
pidana.
b. Ada kerja sama pelaksanaan secara fisik untuk melakukan tindak pidana.
Setiap peserta pada turut melakukann diancam dengan pidana yang sama.
Yaitu seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana, tetapi
tidak melakukannya sendiri, melainkan menggerakkan orang lain untuk
melaksanakan niatnya itu.
a. Ada kesngajaan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana.
b. Menggerakkan dengan upaya-upaya yang ada dalam pasal 55 ayat (1) butir ke-2
KUHP : pemberian, janji, penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh kekerasan,
ancaman kekerasan, tipu daya, memberi kesempatan, alat, keterangan.
c. Ada yang tergerak untuk melakukan tindak pidana akibat sengaja digerakkan
dengan upaya-upaya dalam pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP.
Klasifikasi menurut pasal 56 dan 57 KUHP yaitu membantu melakukan yaitu dengan
adanya pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang didalam suatu tindak pidana.
Ada orang yang melakukan yaitu pelaku tindak pidana dan ada orang lain yang
membantu terlaksananya tindak pidana itu.
1. Pembantuan
Dalam pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang di dalam suatu tindak pidana.
Ada orang yang melakukan tindak pidana yakni pelaku tindak pidana itu dan ada
orang lain yang lagi membantu terlaksananya tindak pidan itu. Hal ini diatur dalam
pasal 56 KUHP, yang menyebutkan:
(1) Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan yang
dilakukan.
(2) Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.
Dalam hal membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana. Hal ini dipertegas
dalam pasal 60 KUHP. Membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana karena
dianggap demikan kecil kepentingan hukum yang dilanggar.
1. Apabila bantuan diberikan pada saat kejahatan dilakukan, tidak dibatasi jenis
bantuannya. Berarti jenis bantuan apapun yang diberikan oleh orang yang
membantu dalam suatu kejahatan dapat dipidana.
(2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Perbedaan antara pembantuan dan turut serta, terdapat tiga teori, antara lain:
Disamping perbedaan kehendak, dalam “turut serta” pelaku mempunyai tujuan yang
berdiri sendiri. Apakah ia dibantu atau tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan
tindak pidana. Sedangkan dalam “pembantuan” tidak mempunyai tujuan yang
berdiri sendiri. Artinya tujuan disandarkan kepada tujuan sipelaku utama. Artinya
“pembantu” hanya memberikan bantuan apabila ia mengetahui ada orang lain yang
akan melakukan tindak pidana.
Dalam hal kepentingan, peserta dalam “turut serta” mempunyai kepentingan dalam
tindak pidana, sedangkan “pembantuan” kepentingannya tidak langsung terhadap
terjadinya tindak pidana itu, tetapi terbatas atas bantuan yang diberikan.
Dari pasal tersebut dapat kita lihat bahwa untuk mencapai suatu
hasil yang baik dalam melakukan gugatan berdasarkan perbuatan
melawan hukum maka harus dipenuhi syarat-syarat atau unsur-
unsur sebagai berikut :
BERITA TERKAIT
Temuan yang mengandung unsur kerugian keuangan dan merupakan kasus perdata, pada umumnya
lahir dari masalah-masalah yang bersumber pada perikatan. Pengertian perikatan lebih luas
daripada perjanjian karena perikatan dapat timbul karena perjanjian atau karena undang-undang.
Perikatan Yang Terjadi Dari Perjanjian
Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPdt adalh suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya tehadap satu orang lain atau lebih. Selanjutnya pasal 1320 KUHPdt
menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat :
• Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
• Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
• Suatu hal tertentu
• Suatu sebab yang halal
Jika keempat unsur itu dipenuhi, maka pasal 1338 KUHPdt menetapkan bahwa :
• Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.
• Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat keduabelah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
• Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dikaitkan dengan pengertian fraud yang slah satu cirinya adalah mengandung unsur kesengajaan,
maka penyelesaian kerugian melalui gugatan perdata mempunyai cakupan yang lebih luas.
Pasal 1365 KUHPdt merupakan pasal yang sangat penting, sebab pasal ini dpat diterapkan apabila
ketentuan/undang-undang/hukum lain tidak mengaturnya.
Untuk mengatur agar seseorang dapat memenuhi kewajibannya dan mempertahankan haknya
terhadap orang lain, diperlukan adanya hukum acara. Hukum Acara Perdata pada dasarnya adalah
ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana orang yang haknya dirugikan orang lain menuntut
keadilan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan, mengatur bagaimana pengadilan memeriksa
dan mengadili suatu perkara dan bagaimana melaksanakan keputusan.
Hukum public terdiri atas Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus. Ketentuan pidana umum
diatur dalam KUHP, sedang pidana khusus antara lain diaur dalam Kitab Undang-undang Khusus
seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 21 Tahun
2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999.
Seseorang yang melakukan tindak pidana akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
KUHP. Pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam
dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Menurut wujud dan sifatnya, tindak
pidana adalah perbuatan-perbuatan melawan hukum yang juga merugikan mesyarakat, dalam arti
bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksanannya tata pergaulan dalam masyarakat yang
dianggap baik dan adil.
Tindak pida khusus adalah tindak pidana tertentu yang karena sifatnya, tidak dikelompokkan dalam
tindak pidana umum. Jenis perbuatan pidana yang termasuk tindak pidan khusus, hukum acara
(sebagian) dan sanksi pidana diatur sendiri. Undang-undang yang bersifat khusus,
mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum.
Pengertian tindak pidana khusus terdapat dalam Ketentuan Peralihan pasal 284 ayat (2) KUHAP,
yaitu, “dalam waktu dua tahun setelah UU ini diundangkan, maka terhdap semua perkara
diberlakukan UU ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada UU tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak
berlaku lagi”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut diuraikan bahwa yang dimaksud dengan
“ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut dalam UU tertentu” adalah ketentuan
khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain :
• UU tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UU No. 7 Drt,
Tahun 1955)
• UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.3 Tahun 1971 jo. UU No. 20 Tahun
2001)
Dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada UU
tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Apabila pelaku kecurangan yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan tersebut adalah pihak
lain (bukan orang dalam), pihak perusahaan dapat mengugat secara perdata yakni dengan
mendasarkan pasal 1365 KUHPdt. Dan bila kecurangan tersebut mengandung unsur pidana, Negara
memiliki kewenangan untuk memproses secara hukum pidana walaupun pihak perusahaan tidak
menghendakinya.
Pasal 59 ayat (2) : bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang debebankan kepadanya secara
langsung merugikan keuangan Negara, wajib mengganti kerugian tersebut.
Apabila pelaku kecurangan yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara adalah bukan pegawai
negeri sipil (pihak lain), maka ketentuan tersebut tidak dapat diberlakukan dan untuk penyelesaian
kerugian keuangan Negara menggunakan pasal 1365 KUHPdt (gugatan perdata). Dan, sebagaimana
tersebut di atas, apabila kecurangan tersebut adalah unsur pidana, Negara mempunyai kewenangan
untuk memproses secara hukum terhadap pelaku kecurangan (baik pegawai negeri sipil atau
bukan).
Dalam hal mengandung unsur pidana dan pelakunya adalah pegawai negeri sipil, maka putusan
pidana tidak membebaskan dari tuntutan gantu rugi sebagaimana diatur dalam pasal 64 UU No.1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yakni, “pegawai negeri/pejabat yang telah ditetakan
untuk mengganti kerugian Negara/daerah dapat dikenai sanksi administrative dan/atau sanksi
pidana, dan putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi”
Dikaitkan dengan kecurangan yang mempunyai ciri antara lain tersembunyi dan ada unsur
penipuan, maka perbuatan melawan hukum mempunyai cakupan lebih luas. Dengan perkataan lain,
ruang lingkup frud auditor lebih mengarah kepada pelanggaran hukum khususnya yang
mengandung unsur penipuan/rekayasa.
Contoh : seorang kasir perusahaan dapat melakukan pencurian uang dengan dua cara.
Cara pertama :
Kasir melakukan pencurian uang perusahaan dengan cara menghilang, membawa lari uang
perusahaan. Perbuatan kasir tersebut merupakan perbuatan tindak pidana (melanggar hukum),
merugikan perusahaan, dan perbuatan tersebut adalah untuk kepentingan dirinya. Tehadap masalah
ini perusahaan tidak menyerahkan ini kepada fraud auditor, melainkan melapor kepada aparat
polisi untuk menanganinya. Perbuatan kasir tersebut merupakan tindak pidana umum dan bukan
merupakan ruang lingkup pekerjaan fraud auditor.
Cara kedua :
Kasir melakukan pencurian uang perusahaan dengan cara mencatat penerimaan uang lebih kecil
dari yang seharusnya dengan cara memalsu buktipenerimaan dan memalsu bukti pengeluaran
sehingga dapat mencatan pengeluaran lebih besar dari yang sebenarnya dan melakukan kecurangan
dengan cara lapping.
Perbuatan kasir tersebut merupakan perbuatan tindak pidana (melanggar hukum), merugikan
perusahaan, dan perbuatan tersebut adalah untuk kepentingan dirinya, sama dengan kasusu
pertama. Perbedaannya, pencurian pada kasus kedua dilakukan secara tersembunyi da nada unsur
rekayasa/penipuan. Untuk mengungkapnya, pihak perusahaan akan menyerahkan kasus ini kepada
fraud auditor untuk menanganinya (tidak langsung menyerahkan kepada polisi).
Ruang lingkup pekerjaan fraud auditor lebih mengarah/memfokuskan pada tindak pidana pencurian
yang dilakukan secara tersembunyi, ada unsur penipuan. Dikaitkan dengan kasus-kasus korupsi yang
marak di Negara kita, kehadiran fraud auditor menjadi semakin penting karena perbuatan melawan
hukum dalam pengertian tindak pidana korupsi, selaras dengan karakteristik kecurangan yakni
bersifat tersembunyi, ada unsur rekayasa, dan tipu muslihat. Pelanggaran hukum berupa pencurian
dan penipuan dikenakan sanksi berdasarkan hukum pidana.
Pengertian tindak pidan korupsi dan sanksinya menurut Undang-undang No. 31 tahun 1999, antara
lain sebagai berikut :
• Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,
dipidana dengan seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(pasal 2 ayat 1)
• Setiap orang yang dengan menguntungkan diri sendiri atau oang lain atau korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedududkan yang dapat merugikan keuangan Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (pasal 3).
• Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 209 KUHP,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00 (pasal 209 KUHP :
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah, barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri, dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuata
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya).
• Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 418 KUHP,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau denda aling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00. (Pasal 418 KUHP :
Pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus
diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji
ada hubungannya dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah).
Temuan hasi audit investigatif yang mengandung unsur tindak pidana dan akan diproses secara
hukum, instansi/lembaga audit perlu koordiansi dengan pihak instansi penyidik (Kejaksaan, Polri,
atau KPK), misalnya dengan melakukan kerjasama antar instansi. Atas kasus yang akan diangkkat
tersebut perlu dilakukan expose (pemaparan) dengan pihak instansi penyidik, dengan maksud
antara lain :
- Menyampaikan pandangan masing-masing sehingga akhirnya diperoleh kesamaan persepsi atas
kasus yang dibahas.
- Apabila pihak penyidik menganggap masih ada persyaratan yang kurang, pihak auditor dapat
melengkapinya.
- Dapat membantu penyidik dengan berperan sebagai saksi dan atau pemberi keterangan ahli
(bila diperlukan) dalam rangka membantu pengumpulan alat bukti hukum.
(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian
adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara
maksimum 9 tahun.
(2) Ketentuan Pasal 365 ayat kedua, ketiga dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.
Pasal 53 KUHP
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi 1/3.
(3) ……………..
(4) ……………..
5. unsur perbuatan mana tidak sampai selesai dilaksanakan bukan semata-mata
disebabkan atas kehendaknya terdakwa sendiri ;
Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro, SH
Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia (Eresco Jakarta-Bandung, cet. Ke-III,
1980, hal.28-29)
Unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum” sangat penting, oleh
karenanya sudah cukup, apabila sifat pelanggaran hukum dari menguntungkan diri sendiri ini
tercakup dalam maksud si pelaku. Jadi si pelaku tetap salah, meskipun kemudian ternyata, bahwa
ternyata ia memang berhak menguntungkan diri sendiri. Misalnya barang yang diminta dengan
kekerasan itu, kemudian ternyata miliknya si pelaku sendiri, hal mana tidak diketahui oleh si pelaku
pada waktu ia melakukan pemerasan. Dalam hal ini maka ia tidak dapat dipersalahkan melakukan
tindak pidana pemerasan, tetapi ia dapat dihukum berdasar Pasal 335 ayat (1) nomor (1) KUHP, yang
melarang tiap perbuatan paksaan dengan kekerasan.
R. SUSILO
KUHP, Lengkap Komentarnya Pasal Demi Pasal
“Memaksa” artinya melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang
berlawanan dengan kehendak sendiri. (Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik
Khusus, Politea Bogor, 1984, hal.139-140).
“melawan hak” = melawan hukum, tidak berhak atau bertentangan dengan hukum.
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa perbuatan itu sudah boleh di9katakan sebagaiperbuatan
pelaksanaan, apabila orang telah mulai melakukan suatu anasir atau elemendari peristiwa pidana,
jika orang belum memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya itu
masih hyarus dipandang sebagai perbuatan persiapan. (hal.69) (Pokok-Pokok Hukum Pidana
Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Politea Bogor, 1984, hal.139-140).
Prof.Dr.Andi Hamzah, SH
Delik-delik Kekerasan dan Delik-delik Yang Berkaitan Dengan Kerusuhan (CV Sumber
Ilmu Jaya, Cet.ketiga Maret 2000, hal.78).
Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, berarti menguntungkan diri sendiri atau
orang lain itu merupakan tujuan terdekat. Jadi, kalau keuntungan itu akan diperoleh secara tidak
langsung, artinya masih diperlukan tahap-tahap tertentua untuk mencapainya, maka bukanlah
pemerasan (J.M. van Bemmelen – W.F.C. van Hattum).
Melawan hukum di sini merupakan tujuan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Jadi,
pembuat mengetahui bahwa perbuatannya untuk menguntungkan diri sendiri itu melawan hukum.
Maksud di sini merupakan suatu yang subjektif. Bagaimana jika ternyata kemudian, bahwa
sebenarnya ia tidak melawan hukum / Misalnya A memaksa B untruk menyerahkan wasiat dari
paman yang bernama X, sedangkan A pikir ia tidak berhak untuk minta itu. Yang berhak ialah Y.
Ternyata kemudian dia juga berhak atas wasiat itu. Ini bukan pemerasan menurut J.M van Bemmelen
– W.F.C. van Hattum.
ARUAN SAKIDJO, SH.MH & DR. BAMBANG POERNOMO, SH
Hukum Pidana Dasar Aturan umum Hukum Pidana Kodifikasi (Ghalia Indonesia,
Agustus 1990,hal. 117-118).
Menurut doktrin, perbuatan pidana yang tidak selesai dilaksanakan itu dinamakan “percobaan”. Di
dalam hukum pidana arti beberapa istilah yang diapakai dalam Bab IX Buku I KUHP tidak dijumpai
rumusan pengertian atau definisi tentang apa yang dimaksud dengan istilah pecobaan (poging)
tersebut, tetapi yang diberikan ialah ketentuan mengenai syarat-syarat supaya percobaan pada
kejahatan itu dapat dihukum, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP,
sebagai berikut :
1. adanya “niat” atau “maksud” (voornemen),
Menurut Memorie van Toelichting, bahwa “niat“ tersebut adalah niat untuk melakukan perbuatan yang
oleh undang-undang dipandang sebagai kejahatan .
Menurut yurisprudensi (arrest HR 6 Februari 1951), niat sering disamakan dengan kesengajaan.
Menurut pandangan Prof. Moeljatno, mengenai unsur niat ini jangan disamakan dengan kesengajaan,
tetapi niat secara potensial dapat berubah menjadi kesengajaan apabila sudah ditunaikan menjadi
perbuatan yang dituju. Dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan,
tetapi akibat yang dilarang tidak berwujud (percobaan selesai) disitu niat menjadi kesengajaan, sama
dengan kalau menghadapi delik selesai. Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi kejahatan,
maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu sifat
melawan hukum yang subyektif (subjectieve onrechtselement). Oleh karena niat tidak sama dan
tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya
kesengajaan apabila timbul kejahatan. Untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri, bahwa isi yang
yang tertentu tadi juga sudah ada sejak niat belum ditunaikan menjadi perbuatan. (Moeljatno, Delik
Percobaan dan penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal.16-17).
Menurut Memorie van Toelichting dan pendapat para ahli, bahwa yang dimaksudkan dalam hal ini
adalah permulaan pelaksanaan dari kejahatan.
Menurut Prof. Moeljatno, dalam menentukan adanya “permulaan pelaksanaan” dalam delik
percobaan ada dua faktor yang harus diperhatikan yaitu yaitu sifat atau inti dari delik percobaan., dan
sifat atau inti dari delik pada umumnya. Mengingat kedua faktor tersebut, maka dikatakan ada
perbuatan pelaksanaan apabila seseorang telah melakukan perbuatan :
(a) yang secara obyektif mendekatkan kepada delik yang dituju, atau harus mengandung potensi untuk
mewujudkan delik tersebut ;
(b) secara subyektif tidak ada keragu-raguan lagi, bahwa apa yang telah dilakukan terdakwa itu ditujukan
atau diarahkan kepada delik tertentu tadi ;
(c) bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan
hukum.
(Moeljatno, Delik Percobaan dan penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal.28-29).
Dalam tahun 1924 Hoge Raad menetapkan bahwa syarat untuk percobaan yang dapat dipidana yaitu
bahwa kejahatan tidak selesai semata-mata disebabkan oleh keadaan yang tidak bergantung dari
kehendak pembuat, mengakibatkan pembuat tersebut tidak dipidana kalau pengunduran dirinya
secara sukarela telah membantu tidak selesainya kejahatan itu. Namun demikian harus disadari,
bahwa sangat sulit untuk membuktikan unsur ketiga ini ini (pelaksanaan tersebut tidak selesai bukan
semata-mata karena kehendaknya sendiri) karena redaksinya yang negatif : negativa non sunt
probanda. Karena itulah pembuktian unsur ini dalam praktek menjadi dugaan, yang meskipun
dimasukkan sebagai unsur oleh jaksa dalam tuntutannya, tetapi baru dianggap sebagai tidak terbukti
oleh hakim kalau ada bantahan yang cukup dari terdakwa. (Prof.Dr.D.Schaffmeister, dkk ; Hukum
Pidana, Liberty Yogyakarta, Cet. Ke-1, 1995, hal.222).
Oleh karena itu, dalam rangka untuk memudahkan pelaksanaan tugas penuntut umum, Lamintang
P.A.F (Dasar-Dasar Untuk mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku di Indonesia. Bandung ; Sinar
Baru, 1984, Hal.545-546) mengusulkan cara yang paling praktis untuk dikerjakan
adalah : menyebutkan keadaan-keadaan yang mana saja yang telah menghambat pelaksanaan
kejahatan yang dilakukan oleh tertuduh dan menjelaskan keadaan-keadaan yang bergantung pada
kemauan tertuduh, dan hanya keadaan-keadaan itulah pelaksanaan kejahatan yang dilakukan oleh
tertuduh menjadi tidak selesai. Demikian pula dalam konteks ini, Van Hattum (sebagaimana yang
dikutip oleh Prof. A.Z. Abidin & Prof. A. Hamzah (Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik –
Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik – dan Hukum Penetensier ; Sumber Ilmu Jaya, 2002,
Hal.92) menyebutkan contoh-contoh “keadaan-keadaan yang semata-mata tidak bergantung pada
kehendak pembuat delik”, yaitu sebagai berikut :
- pelaku telah tertangkap tangan pada waktu mulai melakukan perbuatan untuk mewujudkan
kejahatan.
- Korban memberikan perlawanan.
- Korban melarikan diri.
- Senjata api yang digunakan rusak, sehingga tembakan pelaku tidak mengenai sasaran (korban), dan
- Korban ternyata tidak meninggal dunia karena lukanya, dan kemudian sembuh.