Anda di halaman 1dari 100

Sanggahan

Dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 yang berbunyi :

Pasal 25

(1) Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau


modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.

(2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerja sama dengan
pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan
sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
(3) Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Implementasi dari Pasal 25 Peraturan Pemerintah Tahun 2009 ini menjadi dasar acuan dari Pendirian
Apotek Farmarin yang beralamat di Jalan Banteng Nomor 62 Bandung. Peran Apoteker Pengelola
Apotek yang mellaksanakan pekerjaan Kefarmasian seperti yang tercantum dalam Undang Undang
dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009, sedangkan PT Fajar Farmatama berperan sebagai
Pemilik Modal. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 jelas tercantum bahwa
Perijinan pendirian Apotek diberikan kepada Apoteker yang telah memenuhi syarat untuk
melakukan pekerjaan Kefarmasian, hubungan antara Apoteker Pengelola Apotek dengan Pemilik
Sarana Apotek (Pemodal) adalah hubungan yang setara/sejajar dan kesepakan (Perjanjian) antara
Apoteker Pengelola Apotek dengan Pemilik Sarana Apotek (Pemodal) adalah PERSEKUTUAN
PERDATA.
Di post kali ini, saya akan mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan perbuatan melawan

hukum. Silakan disimak baik-baik ya

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum— (PMH)


Sebagai landasan hukum menyangkut perbuatan meawan hukum adalah Pasal 1365 KUH
Perdata, yang berbunyi:
“Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian   kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.”
—PMH tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat
yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau
tidak berbuat bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan
kepatutan dalam lalu lintas masyarakat.
B. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Ada 4 unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH):

1.   Adanya Perbuatan Melawan Hukum

Dikatakan PMH, tidak hanya hal yang bertentangan dengan UU, tetapi juga jika berbuat atau
tidak berbuat sesuatu  yang memenuhi salah satu unsur berikut:

– Berbertentangan dengan hak orang lain;

– Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri;

– Bertentangan dengan kesusilaan;

– Bertentangan dengan keharusan (kehati-hatian, kepantasan,   kepatutan) yang harus


diindahkan dalam pergaulan masyarakat   mengenai orang lain atau benda.
2.   Adanya unsur kesalahan

Unsur kesalahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada si pelaku.

—3. Adanya kerugian


Yaitu kerugian yang timbul karena PMH. Tiap PMH tidak hanya dapat mengakibatkan kerugian
uang saja, tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut,
sakit dan kehilangan kesenangan hidup.

—4. Adanya hubungan sebab akibat


Unsur sebab-akibat dimaksudkan untuk meneliti adalah hubungan kausal antara perbuatan
melawan hukum dan kerugian yang   ditimbulkan sehingga si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan.

Sebelum menjawab point point yang menjadi Jawaban akan dijelaskan makna hukum dan inti pokok
perkara, termasuk pengertian dan definisi :

1. Apotek

Bagaimana Cara Menuntut Ganti Rugi Jika Menjadi Korban Tindak


Pidana?
Saya ingin menanyakan, bagaimanakah prosedur dalam permintaan ganti rugi atas kasus suatu
pidana? Siapakah yang menentukan besarnya ganti rugi? Apabila si terdakwa ditetapkan
mendapat ancaman kurungan sekian waktu oleh pengadilan, apakah pihak yang menjadi korban
tetap dapat meminta ganti rugi terhadap si terdakwa? Berapakah biasanya besar ganti rugi untuk
kasus pencemaran nama baik di depan umum, pengrusakan barang, pemukulan yang
mengakibatkan si korban luka, dan pemfitnahan kepada seseorang sekaligus? Terima kasih atas
perhatiannya.
Jawaban :
Ganti Rugi untuk korban tindak pidana pada dasarnya dapat dilakukan melalui
tiga cara yaitu;
1)     melalui Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,
2)     melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dan
3)     melalui Permohonan Restitusi.
 
 
1)     Untuk penggabungan perkara ganti kerugian sendiri diatur dalam Bab
XIIIUU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”) yang mengatur dari Pasal 98 hingga Pasal
101. Pasal 98 ayat (1) KUHAPmenentukan bahwa, “Jika suatu
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan
perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang
lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian
kepada perkara pidana itu.” Untuk itu permohonan penggabungan
perkara ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU
KUHAP diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum
mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir,
permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.
 
Pada saat korban tindak pidana meminta penggabungan perkara ganti
kerugian maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya
untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan
tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban
(lihat Pasal 99 ayat [1] KUHAP). Putusan mengenai ganti kerugian
dengan sendirinya akan mendapatkan kekuatan hukum tetap apabila
putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan hukum tetap
(lihat Pasal 99 ayat [3] KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap
perkara pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan
mengalami hal yang sama (lihat Pasal 100 ayat [1] KUHAP). Namun,
apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan banding
mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan banding (lihat Pasal
100 ayat [2] KUHAP).
 
Mekanisme pemeriksaan penggabungan perkara ganti kerugian ini
berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHAP menggunakan mekanisme
yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.
 
2)     Mekanisme lain yang tersedia adalah menggunakan Gugatan Perdata
biasa dengan model gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam
gugatan ini, Penggugat, dalam hal ini korban tindak pidana, tentu harus
menunggu adanya putusan Pengadilan yang telah memutus perkara
pidana yang dilakukan oleh Pelaku (Tergugat).
 
3)     Sementara tersedia juga mekanisme lain yaitu mengajukan permohonan
Restitusi yang diajukan berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”), PP No. 44
Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan
Kepada Saksi dan Korban (“PP 44/2008”), dan Peraturan LPSK No. 1
Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan
Pelaksanaan Restitusi.
 
Permohonan Restitusi diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b jo Pasal 7
ayat (2) UU 13/2006 yang kemudian secara lebih detail diatur dalam PP
44/2008
 
Berdasarkan PP 44/2008, permohonan Restitusi ini dapat diajukan
sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 21 PP 44/2008)
 
Permohonan Restitusi tersebut diajukan secara tertulis yang bermaterei
cukup dalam bahasa Indonesia oleh Korban, Keluarganya atau Kuasanya
kepada Pengadilan melalui LPSK
 
Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PP
44/2008memuat sekurang-kurangnya:
a.      identitas pemohon;
b.      uraian tentang tindak pidana;
c.      identitas pelaku tindak pidana;
d.      uraian kerugian yang nyata-nyata diderita; dan
e.      bentuk Restitusi yang diminta.
 
Permohonan Restitusi harus dilampiri:
a.      fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang;
b.      bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau Keluarga
yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c.      bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau pengobatan
yang disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan
atau pengobatan;
d.      fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal dunia;
e.      surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
menunjukkan pemohon sebagai Korban tindak pidana;
f.       surat keterangan hubungan Keluarga, apabila permohonan diajukan
oleh Keluarga; dan
g.      surat kuasa khusus, apabila permohonan Restitusi diajukan oleh
Kuasa Korban atau Kuasa Keluarga.
 
Jika  permohonan Restitusi di mana perkaranya telah diputus pengadilan
dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka permohonan
Restitusi harus dilampiri kutipan putusan pengadilan tersebut.
 
Apabila permohonan tersebut oleh LPSK telah dinyatakan lengkap maka
akan ada pemeriksaan substantif dan hasil pemeriksaan tersebut
ditetapkan dengan Keputusan LPSK beserta pertimbangannya yang
disertai rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak
permohonan Restitusi.
 
Apabila permohonan Restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana
dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta
keputusan dan pertimbangannya kepada pengadilan yang berwenang
 
Setelah LPSK mengajukan permohonan Restitusi, maka Pengadilan
memeriksa dan menetapkan permohonan Restitusi dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan
diterima;
 
Pengadilan setelah memeriksa mengeluarkan penetapan yang
disampaikan ke LPSK dan LPSK wajib menyampaikan salinan penetapan
pengadilan kepada Korban, Keluarga, atau Kuasanya dan kepada Pelaku
tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima penetapan.
 
Apabila permohonan Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan,
LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan
pertimbangannya kepada penuntut umum. Penuntut umum kemudian
dalam tuntutannya mencantumkan permohonan Restitusi beserta
Keputusan LPSK dan pertimbangannya.
 
Putusan Pengadilan yang dijatuhkan disampaikan kepada LPSK dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal putusan;
 
LPSK menyampaikan salinan putusan pengadilan kepada Korban,
Keluarga, atau Kuasanya dan kepada Pelaku tindak pidana dan/atau
pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal menerima putusan.
 
Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga wajib melaksanakan
penetapan atau putusan pengadilan tersebut dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal salinan penetapan
pengadilan diterima;
 
Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan
Restitusi kepada pengadilan dan LPSK dan LPSK membuat berita acara
pelaksanaan penetapan pengadilan
 
Setelah proses tersebut di lakukan maka Pengadilan wajib
mengumumkan pelaksanaan Restitusi pada papan pengumuman
pengadilan.
 
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
2.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
3.      Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
4.      Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional
Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi
 
KLINIK TERKAIT
 Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH
 Kekuatan Hukum dari Surat Pernyataan
 Kecelakaan yang Menyebabkan Korban Meninggal
 Pidana atau Perdata?
 Cek Kosong
KATEGORI : HUKUM PIDANA
 Hukuman Pidana Bagi yang Mencuri Pada Saat Gempa Bumi
 Bisakah Dipidana Apabila Sengaja Merusak Mobil Suami?
 Jerat Pidana Bagi Pencuri Listrik
 Pihak yang Berwenang Menilai Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi
 Aturan Mengangkut Barang dengan Menggunakan Sepeda Motor
Klinik lainnya ++

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga


melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.

SEKILAS TENTANG GANTI KERUGIAN DALAM


KUHAP
Assalamu'alaikum,WW.
Selamat Pagi, Siang< Sore atau malam.Salam Sejahtera bagi kita semua..

Dalam rangka meningkatkan pelayanan umum dan Akses informasi dari


pribadi dalam blog ini dimuat putusan-putusan Pengadilan Negeri khususnya
yang dibuat oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh blogger. Demikian juga
rangkuman-rangkuman tulisan hukum dan Institusi Mahkamah Agung RI
khususnya dan Pengadilan Negeri pada umumnya, yang kiranya dapat
menambah pengetahuan umum khususnya mengenai bidang dan
permasalahan hukum dalam praktek.
Tentunya dalam penulisan maupun penyususnan disini masih jauh dari
kesempurnaan karena kurangnya pengetahuan blogger di dunia Maya ini.
Untuk itu pengajaran dari peninjau sangat kami harapkan.
Terimakasih.
Wassalamu"alaikum,WW.

SOSIALISASI TENTANG: GANTI KERUGIAN dan REHABILITASI,


PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN
GANTI KERUGIAN •)

A. Beberapa Hal Baru Dalam KUHAP


1. Penahanan (jangka waktu) pasal 20 s.d 31;
2. Bantuan Hukum sejak penangkapan, pasal 69 s.d 74;
3. Praperadilan, pasal 77 s.d 83;
4. Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, pasal 98 s.d 101;
5. Koneksitas, pasal 89 s.d 94;
6. Ganti Kerugian, pasal 95 s.d 96;
7. Rehabilitasi, pasal 97;
8. Kasasi Demi Kepentingan Hukum, pasal 259 s.d 262;
9. Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan, pasal 277
s.d 293. 

B. Prinsip-Prinsip KUHAP 
1. Asas Legalitas, KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah undang-
undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan
penerapan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law; Semua
tindakan penegak hukum harus berdasarkan ketentuan hukum dan undang-
undang, menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas
segala-galanya SUPREMASI HUKUM.
2. Asas Keseimbangan, dalam setiap penegakan hukum harus berlandaskan
prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan
ketertiban masyarakat.
3. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocent), dalam penjelasan
umum butir 3 huruf c KUHAP, pembuat undang-undang telah
menetapkannya sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan
hukum (law enforcement) jo pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, bahwa :”Setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
4. Prinsip Pembatasan Penahanan, KUHAP telah menetapkan secara limitatif
dan terperinci wewenang penahanan yang boleh dilakukan oleh setiap
jajaran aparat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan.
5. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi, Tersangka, Terdakwa, Terpidana
atau ahli warisnya berhak mununtut ganti kerugian karena ditangkap,
ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang sah menurut undang-undang
atau kekeliruan orangnya atau kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan.
Dapat diajukan dalam sidang praperadilan apabila perkaranya belum atau
tidak dilimpahkan ke PN, tetapi apabila perkaranya telah diperiksa di PN
maka tuntutan ganti kerugian dapat diajukan ke PN yang memeriksa perkara
tersebut baik melalui penggabungan perkara maupun gugatan perdata biasa
baik ketika perkara pidananya diperiksa maupun setelah ada putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) terhadap
perkara pidana yang bersangkutan.
6. Penggabungan Perkara Pidana Dengan Tuntutan Ganti Kerugian, asas ini
merupakan hal baru dalam praktek penegakan hukum di Indonesia dan
mempunyai corak perdata. KUHAP memberikan kesempatan kepada korban
tindak pidana untuk melakukan gugatan perdata tentang ganti kerugian
kepada terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana yang sedang
berlangsung.
7. Asas Unifikasi, dengan berlakunya KUHAP maka lahirlah unifikasi hukum
acara pidana dan berakhirnya pengelompokan terhadap hukum acara pidana
yang merupakan bentuk diskriminasi terhadap berlakunya hukum acara bagi
golongan tertentu.
8. Prinsip Diferensiasi Fungsional, adalah penegasan pembagian tugas
wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP
meletakkan asas “penjernihan” (clarification) dan “modifikasi” (modification)
fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Penjernihan
pengelompokan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tetap saling
terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang
saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu instansi dengan instansi yang
lain, sampai ke taraf proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan
pengamatan pelaksanaan eksekusi.
9. Prinsip Saling Koordinasi, Polisi sebagai aparat penyidik, Jaksa sebagai
aparat Penuntut Umum dan pelaksana eksekusi putusan pengadilan, Hakim
sebagai aparat yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang dilimpahkan ke pengadilan. Prinsip ini diarahkan untuk terbinanya
suatu tim aparat penegak hukum yang dibebani tugas tanggung jawab saling
mengawasi dalam sistem ceking antara para aparat penegak hukum. Dalam
sistem ini juga diperluas sampai dengan pejabat Lapas, Penasihat Hukum
dan keluarga tersangka/terdakwa.
10. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, asas ini telah
dirumuskan dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 jo pasal 4 ayat
(2) UU No. 4 Tahun 2004. Asas ini memberikan hak kepada
tersangka/terdakwa untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam
penyidikan, segera diajukan kepada pentuntut umum, segera diajukan ke
pengadilan dan segera diadili oleh hakim. 
11. Prinsip Peradilan Terbuka Untuk Umum, pada prinsipnya semua sidang
dilakukan terbuka untuk umum kecuali terhadap perkara tertentu (delik
kesusilaan dan apabila terdakwanya masih di bawah umur sidang dilakukan
tertutup untuk umum). Semua putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum (pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004 jo pasal 195 KUHAP). Beberapa pasal
dalam KUHAP mengandung asas “demokrasi” dan “transparansi” (persamaan
dan keterbukaan) serta penerapan sistem musyawarah mufakat bagi majelis
dalam mengambil putusan. 

C. Ganti Kerugian (pasal 95 dan 96 KUHAP) 


Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah hak seseorang untuk
mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang
karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini (pasal 1 butir ke-22 KUHAP).
Ganti kerugian merupakan hal baru yang diatur dalam hukum acara pidana
Indonesia, meskipun sebenarnya jauh sebelum KUHAP diundangkan UU No.
14 Tahun 1970 pasal 9 ayat (1) telah mengaturnya: “Setiap orang yang
ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.” Kemudian
ketentuan ini diubah dengan pasal 9 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004. 
Berkenaan dengan masalah ganti kerugian tersebut di atas maka dalam
pelaksanaannya akan timbul permasalahan sebagai berikut :
1. Kepada siapa tuntutan ganti kerugian ditujukan dan dibebankan; oleh
karena yang melakukan tindakan adalah aparat negara maka sudah
sepatutnya apabila tuntutan tersebut diajukan kepada negara/pemerintah.
2. Berapa jumlah imbalan uangnya; pasal 9 PP No. 27 Tahun 1983
menentukan jumlah ganti kerugian minimum Rp 5.000,- dan maksimum Rp
1.000.000,- dalam hal tindakan aparat sehingga menyebabkan yang
bersangkutan mengalami sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan
pekerjaannya atau mati maka besarnya imbalan uang, maksimum adalah Rp
3.000.000,- jo Keputusan Menkeu tgl. 31 Desember 1983 No.
983/KMK.01/1983. 
3. Kapan batas waktu mengajukan tuntutan ganti kerugian; KUHAP tidak
mengatur hal tersebut, tetapi diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983 yaitu 3
bulan dan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap
dalam hal tindakan keliru dari aparat penegak hukum sebagaimana
disebutkan dalam pasal 95 KUHAP. Serta 3 bulan dan sejak saat
pemberitahuan penetapan Praperadilan, sebagaimana disebutkan dalam
pasal 77 KUHAP. 
Bentuk-Bentuk Ganti Kerugian 
1. Tunggal, tuntutan ganti kerugian dalam penghentian penyidikan atau
penuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahanan yang tidak
sah, didalamnya hanya tergantung satu tuntutan ganti kerugian. Karena
semua tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam proses
pemeriksaan perkara merupakan satu kesatuan proses penegakan hukum
yang tak terpisahkan.
2. Alternatif, tuntutan ganti kerugian ini dibuat pemohon agar tuntutan itu
mencakup semua alasan sesuai dengan jumlah tindakan yang dikenakan
aparat penegak hukum kepadanya. Misalnya dalam hal penghentian
penyidikan atau penuntutan dibarengi dengan penangkapan, penahanan atau
tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, di samping tuntutan
ganti kerugian atas alasan penangkapan atau penahanan sebagai tuntutan
primair, pemohon dapat lagi mengajukan tuntutan alternatif berupa tuntutan
subsidair atas alasan penghentian penyidikan atau penuntutan..
3. Kumulatif, terhadap kasus penghentian penyidikan atau pentuntutan yang
dibarengi dengan penangkapan atau penahan atau tindakan lain yang tidak
berdasarkan undang-undang, dapat diajukan tuntutan ganti kerugian secara
kumulatif. Terhadap semua tindakan yang dikenakan kepada tersangka atau
terdakwa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian dengan jalan
menggabungkan dan menjumlahkan ganti kerugian atas masing-masing
tindakan yang tidak sah tersebut. 
Putusan yang diberikan pengadilan sehubungan dengan gugatan ganti
kerugian berbentuk penetapan (pasal 96 ayat 1 KUHAP). 

D. Rehabilitasi (pasal 97 KUHAP)


Yang dimaksud dengan Rehabilitasi menurut pasal 1 butir ke-23 KUHAP
adalah “hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada
tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.” 
Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan
kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat
menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan,
penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal
tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan
yang sah menurut undang-undang. 
Lembaga yang berwenang memberikan rehabilitasi adalah pengadilan baik
melalui proses persidangan biasa maupun melalui proses persidangan
praperadilan. Putusan pemberian rehabilitasi diberikan kepada terdakwa
apabila ia oleh pengadilan diputus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala
tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) apabila perkaranya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang yang
melalui proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke
pengadilan, (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan
oleh tersangka, terdakwa, ahli warisnya (keluarganya) maupun kuasanya.
Permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan yang tidak sah
diajukan kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya 14 hari
setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan
diberitahukan kepada pemohon. 
Apabila pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum atau apabila permohonan pemohon dalam praperadilan
dikabulkan pengadilan, maka dalam amar putusan harus dicantumkan
pemberian rehabilitasi yang berbunyi “memulihkan hak terdakwa/pemohon
dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”. Jadi bagi
terdakwa yang diadili dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, tidak perlu mengajukan permohonan rehabilitasi karena pemberian
rehabilitasi tersebut dengan sendirinya harus diberikan oleh pengadilan yang
memutus dan sekaligus mencantumkan dalam amar putusannya. Bagaimana
jika pengadilan lalai mencantumkan amar rehabilitasi tersebut padahal
putusan perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, ternyata
KUHAP tidak memberikan jalan keluar untuk mengajukannya permohonan
yang bersifat yudisial secara tersendiri. Namun demikian menurut hemat
kami karena hal tersebut merupakan kewajiban pengadilan untuk
mencantumkan amar pemberian rehabilitasi dalam putusannnya dan
merupakan hak asasi terdakwa untuk mendapatkan rehabilitasi terhadap
nama baiknya, maka seyogyanya tidak tertutup kemungkinan dalam praktek
peradilan terdakwa/pemohon dapat memperoleh hak tersebut melalui jalur
hukum/yudisial. 
Berikut ini dikemukakan contoh beberapa putusan kasasi Mahkamah Agung
yang berupa putusan pembebasan (putusan kasasi tersebut telah
membatalkan putusan judex facti) akan tetapi putusan tersebut tidak
mencantumkan amar pemberian rehabilitasi kepada terdakwa :
1. putusan tanggal 28 Januari 1983 No.597 K/Pid/1982;
2. putusan tanggal 6 Juni 1983, No. 298 K/Pid/1982;
3. putusan tanggal 4 Agustus 1983, No. 1982 K/Pid/1982;
4. putusan tanggal 15 Agustus 1983,. No. 932 K/Pid/1982. 

E. Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian.


Hal ini diatur dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP. Pasal 98 ayat
(1) KUHAP menyebutkan bahwa “ Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar
dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas
permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara
gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”. Ganti kerugian yang
dimaksud pada gabungan perkara gugatan ganti kerugian, bukan tuntutan
ganti kerugian akibat penangkapan, penahanan, penuntutan atau peradilan
yang tidak berdasar undang-undang. Akan tetapi merupakan tuntutan ganti
kerugian :
- yang ditimbulkan tindak pidana itu sendiri;
- tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana kepada si pelaku
tindak pidana yaitu terdakwa, dan
- tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa digabung dan diperiksa
serta diputus sekaligus bersamaan dengan pemeriksaan dan putusan perkara
pidana yang didakwakan kepada terdakwa. 
Maksud dan tujuan dari penggabungan perkara ini adalah :
- untuk menyederhanakan proses pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti
kerugian itu sendiri, sehingga dapat dicapai makna yang terkandung dalam
asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan;
- agar sesegera mungkin orang yang dirugikan mendapat ganti kerugian
tanpa melalui proses gugat perdata biasa. Serta tidak diharuskan lebih dulu
menunggu putusan pidana baru mengajukan gugatan ganti kerugian melalui
gugatan perkara perdata biasa. Dengan demikian penggabungan gugatan
ganti kerugian merupakan jalan pintas yang dapat dimanfaatkan orang yang
dirugikan untuk secepat mungkin mendapat pembayaran ganti kerugian. 
Ketentuan penggabungan perkara ini merupakan hal baru dalam sistem
hukum pidana Indonesia, meskipun dalam praktek di lapangan hal ini masih
terhitung jarang dilakukan oleh para pencari keadilan yang dalam hal ini
“korban tindak pidana” dalam mempergunakan upaya/lembaga ini. Lembaga
ini dalam prakteknya memang masih jauh dari pencapaian rasa keadilan
masyarakat khususnya korban tindak pidana. Anggapan adanya
ketidakadilan tersebut dikarenakan pemenuhan ganti kerugian yang hanya
didasarkan pada biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan,
dengan kata lain ganti kerugian yang pemenuhannya dapat digabungkan
dengan perkara pidana yang bersangkutan adalah dalam hal pemenuhan
biaya materiil yaitu penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban,
sedang biaya inmateriil harus dilakukan dengan mengajukan gugatan
perdata biasa.
Kendala lain dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tersebut
adalah terbentur pada masalah kewenangan mengadili, pasal 101 KUHAP
menyebutkan : ”Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi
gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain”
sedang pasal 99 ayat (1) KUHAP menyebutkan “apabila pihak yang dirugikan
minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang
kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut….dst”. Dengan demikian
kalau berpedoman pada pasal 118 ayat (1) HIR/pasal 142 ayat (1) RBg
maka gugatan harus diajukan di mana tergugat berdomisili yang dalam
perkara ini adalah terdakwa.
Ketentuan yang demikian tersebut jelas akan bertentangan dengan asas
peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, apalagi kalau hakim terlalu
kaku menerapkan pasal tersebut yang berarti apabila terdakwa diadili di PN
A sedang domisili terdakwa di kota B, maka penggugat/korban tidak dapat
mengajukan permintaan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian di
PN A, karena gugatan harus diajukan di tempat tergugat/terdakwa
berdomisili yaitu ke PN B. 
Menurut hemat kami untuk memenuhi asas peradilan sederhana, cepat dan
biaya ringan tersebut, maka ketentuan itu harus dikesampingkan khusus
dalam hal penggabungan perkara ini.
Permintaan penggabungan perkara ini diajukan selambat-lambatnya sebelum
penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (requisitoir) atau sebelum
hakim menjatuhkan putusan terhadap perkara pidana yang tidak dihadiri
oleh jaksa/penuntut umum (pasal 99 ayat 1 KUHAP).
Putusan terhadap perkara perdata yang dimintakan penggabungan akan
mengikuti status perkara pidananya, dengan pengertian apabila perkara
pidananya telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka dengan sendirinya
terhadap perkara perdatanya juga akan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Demikian juga apabila perkara pidananya dimintakan banding dengan
sendirinya terhadap perkara perdatanya juga akan mengikuti proses
pemeriksaan dalam tingkat banding namun sebaliknya apabila perkara
pidananya tidak dimintakan pemeriksaan dalam tingkat banding maka
perkara perdatanya juga tidak diperbolehkan untuk dimintakan pemeriksaan
dalam tingkat banding.
Dilihat dari ketentuan hukum acara tersebut di atas dan dalam rangka
pemenuhan keadilan dan perlindungan hukum bagi korban terasa masih
perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari pembuat undang-undang
dan hakim, untuk menerapkan asas keseimbangan dalam perlindungan
hukum bagi terdakwa dan korban. Porsi perlindungan hukum yang diberikan
KUHAP kepada terdakwa dan korban sangat tidak seimbang, di mana dalam
lembaga ini hak korban untuk mendapatkan perlindungan hukum sangat
dibatasi oleh peraturan perundang-undangan antara lain dalam penentuan
besarnya ganti kerugian dan upaya hukum bagi korban yang bergantung
kepada upaya hukum yang dilakukan terdakwa atau jaksa penuntut umum.
Di samping itu upaya untuk melakukan eksekusi dalam prakteknya juga
masih sering mendapat kendala, sehingga perlu adanya peraturan atau pasal
yang khusus mengatur tentang penanganan penggabungan perkara gugatan
ganti kerugian ini secara cermat mengingat praktek di lapangan yang
ternyata tidak sesederhana sebagaimana yang tertuang di dalam pasal-pasal
dalam KUHAP tersebut, sehingga porsi perlindungan hukum dan hak antara
terdakwa dengan korban menjadi seimbang.
Contoh kendala dalam eksekusi perkara ini dapat dilihat dalam putusan
Mahkamah Agung No. 4010 K/Pdt/1985 tgl 30 Agustus 1990, Dalam suatu
perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap seorang anak bernama
RD, 17 tahun oleh pengadilan telah dinyatakan bersalah melakukan tindak
pidana karena kelapaannya menyebabkan orang lain luka berat, di samping
itu terdakwa dihukum untuk membayar ganti kerugian sebanyak Rp
4.991.650,-. Namun RD tidak membayar ganti kerugian tersebut
sebagaimana telah diputuskan oleh hakim dalam gugatan perdata yang
digabungkan dengan perkara pidana. Dalam melaksanakan eksekusi putusan
pidana tersebut, sepanjang mengenai putusan pemberian ganti kerugian
kepada saksi korban. Pengadilan telah meletakkan sita eksekusi terhadap
harta milik Ny. LS nenek RD, atas sita tersebut Ny. LS mengajukan bantahan
yang akhirnya perkaranya diputus oleh MA, dengan pertimbangan sebagai
berikut :
- bahwa putusan pidana berikut pula putusan perdata yang dikaitkan dengan
putusan pidana tersebut sifatnya hanya pribadi artinya hanya berlaku untuk
diri pihak terhukum (RD);
- oleh karena ia masih di bawah umur maka sanksi tidak dapat dikenakan
atas orang lain, sekalipun berkedudukan hubungan keturunan garis lurus
dengan terpidana, oleh karena jika hal itu dimungkinkan maka mereka
seolah-olah terkena sanksi pula di dalam tindak pidananya;
- jika judex facti bermaksud melibatkan ayah RD dan Ny. LS sebagai pihak
yang harus turut bertanggung jawab atas kewajiban RD, maka hal itu harus
dilakukan dalam acara khusus berupa acara perdata berdasar hukum perdata
pula;
- bahwa oleh karena Ny. LS bukan menjadi pihak yang terlibat langsung di
dalam perkara pidana yang dieksekusi a quo, sehingga penyitaan yang
dilakukan dalam rangka melaksanakan perkara pidana itu tidak dapat
dibenarkan.

F. Masalah Hukum dan Keadilan


Keadilan adalah merupakan landasan utama bagi ditegakkannya hukum,
hakim dalam mengadili suatu perkara harus berpedoman pada koridor
hukum baik hukum formil (keadilan prosedural) dan hukum materiil
(keadilan substansial). Keadilan merupakan implikasi hukum, dengan adanya
penegakan hukum berarti secara otomatis pula telah terjadi keadilan karena
hakikat utama hukum adalah dari proses penegakan keadilan.
Menurut Bagir Manan (Varia Peradilan No. 238 Juli 2005) mengadili menurut
hukum, maknanya adalah :
1. Merupakan suatu asas untuk mewujudkan negara berdasarkan atas
hukum. Setiap putusan hakim harus mempunyai dasar hukum (substantif
dan prosedural). penegakkan
2. Hukum harus diartikan luas melebihipengertian hukum tertulis dan tidak
tertulis.
3. Hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) harus
dipertimbangkan dalam putusan hakim, tetapi tidak selalu harus diikuti.
4. Hakim wajib mengutamakan penerapan hukum tertulis, kecuali kalau akan
menimbulkan ketidakadilan, bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban
umum.
Menurut Gustav Radburch prioritas tujuan hukum adalah :
1. Keadilan
2. Kemanfaatan
3. Kepastian
Lima faktor yang mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat
menurut Soerjono Soekanto adalah :
1. Peraturan perundang-undangan (aturan hukum)
2. Aparat penegak hukum, pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum 
3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Masyarakat, lingkungan di mana hukum tersebut diberlakukan
5. Kebudayaan, yang berupa hasil karya, cipta dan rasa serta karsa manusia.
Sebenarnya tidak kalah pentingnya adalah masalah kesejahteraan penegak
hukum juga pemberian reward (penghargaan) dan punishment (sanksi) bagi
penegak hukum. Hal ini dimaksud untuk memberikan perangsang bagi para
penegak hukum supaya melakukan pekerjaannya dengan baik serta
memberikan peringatan kepada mereka untuk tidak melakukan tindakan
tercela terhadap profesinya. 
*****
Daftar Bacaan

- Kuffal, H.M.A, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, 2003;
0
- Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Press, 1983;
- Sutadi, Marianna, Tanggung Jawab Perdata Dalam Kecelakaan Lalu Lintas,
Mahkamah Agung, RI, 1992;
- Yahya, Harahap, M, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Sinar Grafika, 2002.
Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
Pada Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

1. Dasar penggabungan perkara Gugatan Ganti Rugi diajukan

Berdasarkan pasal 98 ayat (1) KUHAP, Penggabungan perkara Gugatan ganti rugi dilakukan jika
suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan yang di dalam pemeriksaan perkara pidana oleh
pihak Pengadilan telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dengan adanya penggabungan
perkara gugatan ganti rugi pada perkara pidana ini adalah supaya perkara gugatan pada waktu
yang sama diperiksa serta diputus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Tentunya
penggabungan ini akan menguntungkan korban karena dengan cara ini kompensasi atas
kerugian terhadap korban akan dapat didapatkan dengan cepat, murah dan sederhana.

2. Kapan Gugatan Ganti Kerugian diajukan

Apabila berkas perkara telah masuk dalam Pengadilan Negeri maka pihak korban dapat
mengajukan permohonan untuk mengajukan Gugatan ganti kerugian. Dan permohonan tersebut
hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan
pidana. Selanjutnya berdasarkan pasal 98 ayat (1) KUHAP atas permohonan tersebut, Hakim
Ketua Sidang dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidananya.

3. Pemeriksaan dan Putusan Gugatan Ganti Rugi.

Setelah pihak korban meminta penggabungan perkara gugatan Ganti rugi pada perkara pidana
maka pihak pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan
tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak korban (Pasal 99 ayat 1 KUHAP). Selanjutnya apabila Majelis Hakim
setelah memeriksa kemudian menerima gugatan tersebut maka putusan hakim hanya memuat
tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban (Pasal 99
ayat 2 KUHAP). Selanjutnya Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan
mendapatkan kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan
hukum tetap (Pasal 99 ayat 3 KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap perkara pidana
diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan mengalami hal yang sama (Pasal 100
ayat 1 KUHAP). Namun apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan
banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan banding (pasal 100 ayat 2 KUHAP).
Ketentuan ini tentunya akan berindikasi dapat merugikan korban karena apabila putusan ganti
rugi tidak sesuai dengan keinginan korban namun karena atas putusan perkara pidana tidak
dimintakan banding oleh pihak pelaku maupun Jaksa Penuntut Umum maka pihak korban harus
menerima putusan ganti rugi tersebut.
4. Pihak-pihak dalam Gugatan Ganti Rugi.

Dengan dikabulkannya penggabungan gugatan ganti rugi pada perkara pidana maka
berdasarkan pasal 101 KUHAP, ketentuan dari aturan hukum acara perdatalah yang berlaku
bagi pemeriksaan Gugatan ganti rugi. Dalam hukum acara perdata, yang disebut pihak-pihak
dalam Gugatan ganti rugi adalah pihak Penggugat dan Tergugat. Pihak Penggugat adalah orang
atau pihak-pihak yang mengajukan gugatan atas suatu perkara karena merasa hak-haknya telah
dilanggar oleh seseorang, sedangkan pihak Tergugat adalah orang atau pihak-pihak yang
digugat dan diajukan kemuka pengadilan karena diduga telah melanggar hak seseorang.

5. Prosedur Pengajuan Gugatan Ganti Rugi.

Berkaitan dengan hukum acara perdata, dalam pasal 118 HIR disebutkan Gugatan diajukan di
Pengadilan Negeri di mana Tergugat (dalam hal ini Pelaku) berdomisili. Dengan ketentuan
seperti ini dalam prakteknya akan ada kemungkinan kendala dikarenakan Pengadilan Negeri
yang memeriksa perkara pidana tidak berwenang mengadili Gugatan. Ketidakwenangan
Pengadilan Negeri ini disebabkan adanya perbedaan dasar hukum acara yang digunakan dalam
perkara pidana dengan Gugatan ganti rugi. Berdasarkan hukum acara pidana, maka Pengadilan
Negeri yang berwenang mengadili perkara pidana adalah tempat perkara pidana terjadi.
Sehingga apabila tempat perkara pidana terjadi bukan di wilayah yang sama dengan
domisili/tempat tinggal pelaku maka Gugatan ganti rugi tidak dapat diajukan di Pengadilan
Negeri tempat perkara pidana diperiksa. Apabila Pengadilan Negeri tempat perkara pidana
diperiksa tidak memiliki kewenangan memeriksa Gugatan ganti rugi maka Gugatan ganti rugi
ditolak. Hal lain berkaitan dengan hukum acara perdata adalah kemungkinan Gugatan ganti rugi
tidak dapat diterima apabila Penggugat tidak bisa membuktikan atau memenuhi unsur-unsur
atau syarat-syarat yang terkait dengan isi atau substansi gugatan ganti rugi yang meliputi :

Harus ada unsur perbuatan melawan hukum seperti melanggar hak orang lain, bertentangan
dengan kewajiban hukum sipelaku, bertentangan dengan kesusilaan yang baik, bertentangan
dengan kepatutan serta keharusan yang harus diperhatikan dalam pergaulan masyarakat

Harus ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pelaku

Harus ada unsur kerugian yang ditimbulkan baik berupa kerugian materiil maupun kerugian
imateriil

Harus ada unsur adanya hubungan kausal (sebab-akibat) antara perbuatan dan kerugian yang
ditimbulkan sehingga pelaku dapat dimintai pertanggung jawabannya.

Adapun isi dari Gugatan Ganti Rugi tersebut adalah:

Identitas para pihak (Penggugat dan Tergugat) atau disebut juga persona standi in judicio, yang
menerangkan nama, alamat, umur, pekerjaan para pihak.
Posita yang merupakan duduk perkara atau alasan-alasan mengajukan gugatan , menerangkan
fakta hukum yang dijadikan dasar gugatan atau disebut juga dengan Fundamentum Petendi.

Tuntutan (petitum), yaitu hal-hal apa yang diinginkan atau diminta oleh penggugat agar
diputuskan, ditetapkan atau diperintahkan oleh hakim (Pasal 178 ayat 3 HIR). Misalnya pada
gugatan ganti rugi terhadap pelaku perkosaan, tuntutan yang diajukan adalah pembayaran
sejumlah uang atas kerugian materil dan atau immateriil yang diderita korban perkosaan.

Sedangkan tahapan proses di persidangan jika Gugatan Ganti Rugi diajukan secara tersendiri
adalah sebagai berikut:

Berdasarkan pasal 130 ayat 1 HIR, bahwa sebelum proses pemeriksaan perkara dimulai, hakim
akan mencoba mendamaikan terlebih dahulu pihak-pihak yang bersengketa yaitu Penggugat
dan Tergugat. Bila perdamaian terjadi maka dibuatkan akte damai dan persidangan selesai atau
dihentikan, namun bila perdamaian tidak terjadi diantara Penggugat dan Tergugat, maka sidang
dilanjutkan dengan Jawaban dari Tergugat;

Replik merupakan jawaban atau bantahan dari Penggugat atas jawaban dari Tergugat;

Duplik merupakan Jawaban atau bantahan dari Tergugat atas Replik Penggugat;

Pembuktian berupa alat bukti tertulis dan mendengarkan keterangan saksi;

Kesimpulan;

Pembacaan putusan hakim.

TENTANG HAK MENGAJUKAN GUGATAN


Hak Mengajukan Gugatan
Setiap orang yang merasa hak keperdataannya dilanggar orang lain atau memiliki kepentingan
dapat menggugat orang yang merugikannya ke Pengadilan Negeri dengan menuntut ganti rugi.

Pengajuan gugatan menurut Hukum Acara Perdata dapat berdasarkan atas adanya  ;   

a. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata. Semula perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) hanya
diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Namun sejak
tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lidenbaum- Cohen, Hoge Raad memperluas
pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) meliputi pula perbuatan yang
melanggar hak subyektif orang lain atau bertentangan kewajiban hukum pelaku ataupun
bertentangan dengan tata susila atau bertentangan dengan kepatutan, ketelitian atau sikap
hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan antara sesama warga
masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Adapun terhadap orang yang karena
kesalahannya menyebabkan timbulnya kerugian dapat dituntut adalah :

-       kerugian materiel dan/atau ;

-       kerugian immateriel ; 

b. Ingkar janji (wanprestasi),  apabila seseorang tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat


memenuhi kewajibannya atau memenuhi kewajibannya tetapi tidak seperti yang dijanjikan.
Adapun kerugian yang dapat dituntut dari adanya wanprestasi ini adalah :

-       ganti rugi berupa biaya (segala pengeluaran atau biaya yang nyata-nyata
dikeluarkan oleh salah satu pihak), kerugian (karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditur sebagai akibat dari kelalaian debitur) dan bunga (kehilangan
keuntungan yang diharapkan) ;

-       pembatalan perjanjian ;

-       peralihan resiko ;

-       membayar biaya perkara ;     

Selanjutnya tentang hal apa saja yang harus dimuat dalam surat gugatan dalam HIR maupun
Rbg tidak diatur, namun demikian dalam B.Rv ditentukan haruslah memuat : 

-       uraian peristiwa dan dasar hukum gugatan (posita atau fundemintum putendi);

-       dasar-dasar yang diminta oleh Penggugat (petitum) dan tuntutan tersebut


haruslah jelas dan tertentu ;

 Selanjutnya berkaitan dengan doktrin Hukum Acara Perdata konvensional yang


mengsyaratkan  pengajuan gugatan atas dasar adanya kepentingan hukum, dalam praktek
dan perundang-undangan sekarang telah disimpangi sedemikian rupa karena dalam
kenyataannya pihak yang tidak memiliki kepentingan hukum juga dapat mengajukan
gugatan misalnya gugatan atas kerusakan lingkungan oleh organisasi lingkungan hidup
dan lain sebagainya. 

Selanjutnya tentang prosedur pengajuan gugatan di Pengadilan Negeri diuraikan dalam bagan
tersendiri.

 Landasan Konstitusional KUHAP adalah UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Kehakiman
Nomor: 14 Tahun 1970. 

Landasan Hukum yang terdapat dalam UUD 1945 antara lain: 

 Pasal 27 ayat 1 yang dengan tegas menyatakan bahwa segala warganegara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. 
 Memberikan perlindungan pada segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. 
 Dalam Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum
(rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan (machtstaat).

Landasan Hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun
1970 antara lain:

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan
bahwa peradilan dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini kemudian
dikuatkan kembali dalam KUHAP pada pasal 197 KUHAP sebagai landasan filosofis. 

2. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan
bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjabaran pasal ini
banyak terdapat dalam KUHAP seperti: 

 Dalam pasal 50 KUHAP ditegaskan bahwa terdakwa segera mendapat pemeriksaan dan
persidangan pengadilan. 
 Dalam pasal 236 KUHAP menegaskan bahwa pelimpahan berkas perkara dari Pengadilan
Negeri ke Pengadilan Tinggi untuk diperiksa dalam tingkat banding harus dikirim 14 hari
dari tanggal permohonan banding. 
 Dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP diatur hal-hal untuk mempercepat
proses dan biaya ringan seperti penggabungan perkara pidana dan tuntutan ganti rugi.

3. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan
bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Lebih
lanjut diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970: ”Tiada
seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeladahan dan pensitaan,
selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang
diatur dengan Undang-Undang”. Selanjutnya dijabarkan dalam Bab V KUHAP mulai dari pasal 16
sampai dengan pasal 49 KUHAP. 

4. Pada pasal 8 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan pula
bahwa “setiap orang yang disangka, ditahan, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. 

Selanjutnya dalam pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970
ditegaskan: “seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”. 

Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan: “Pejabat
yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana disebut dalam ayat 1 dapat dipidana. 

Ketentuan tersebut di atas lebih lanjut dijabarkan dalam Bab XII KUHAP mulai dari pasal 95
sampai dengan pasal 97 KUHAP. 

5. Pada pasal 36 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan: ”Dalam
perkara pidana, seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau
penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Penasihat Hukum”. Selanjutnya
ketentuan ini dijabarkan dalam Bab VII KUHAP mulai dari pasal 69 sampai dengan pasal 74
KUHAP. 

Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan dasar pokok sumber konstitusional dari KUHAP yang
pelaksanaan selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal KUHAP. Kemudian dapat diuji dan
dikaitkan dengan landasan filosofis Pancasila dan landasan operasional GBHN TAP MPR Nomor:
IV/MPR/1978 sehingga pasal-pasal KUHAP benar-benar konsisten dan sinkron dengan kedua
landasan dimaksud. 

Pengertian Apoteker Definisi Hak, Kewajiban, Tugas, Wewenang


dan Tanggung jawab Menurut para Ahli
11:54:00

KEPERAWATAN

Pengertian Apoteker adalahBerdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.


1027/Menkes/SK/IX/2004, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan
profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker.
Apoteker pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi surat izin apotek (SIA).
Izin apotek berlaku seterusnya selama apoteker pengelola apotek yang bersangkutan masih
aktif melakukan kegiatan sebagai seorang apoteker. Apoteker pengelola apotek harus
memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan:

1. Ijazah apoteker telah terdaftar di Departemen Kesehatan


2. Telah mengucapkan sumpah/janji sebagai apoteker
3. Memiliki Surat Izin Kerja dari Menteri Kesehatan (SIK)
4. Sehat fisik dan mental untuk melaksanakan tugas sebagai apoteker
5. Tidak bekerja di perusahaan farmasi atau apotek lain

Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan


dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan
berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan, kemampuan mengelola
sumber daya manusia secara efektif, selalu sabar sepanjang karier, dan membantu member
pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

Hak dan Kewajiban Apoteker


Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak
ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak, akan menimbulkan suatu perikatan, yang mana perikatan merupakan isi dari suatu
perjanjian. Jadi, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan suatu  perjanjian,
memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanakan isi dari
perjanjian Yusuf Sofie. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi. Jakarta: Ghalia
Indonesia. 2002

Adapun  hak-hak  apoteker  sebagai  pelaku  usaha  pelayanan  kefarmasian  diatur dalam
Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak


baik;
2. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
3. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
4. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam


Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.


2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/ atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku;
5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan mencoba barang
dan/ atau jasa tertentu serta memberikan jaminan atas barang yang dibuat dan/
atau diperdagangkan;
6. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang
diperdagangkan; Selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker juga
diatur dalam Pasal  15

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata


Cara Pemberian Izin Apotek dinyatakan bahwa:

1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian
profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep
dengan obat paten.
3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker
wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.
4. Apoteker wajib memberikan informasi:
o Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada konsumen.
o Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, apoteker harus memenuhinya dengan  iktikad
baik dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak memenuhi kewajiban itu,
menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian
yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu, artinya apoteker harus
bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan
kewajibannya.

Kode etik Apoteker Indonesia merupakan suatu ikatan moral bagi Apoteker. Dalam kode itu
diatur perihal kewajiban-kewajiban Apoteker, baik terhadap masyarakat, teman sejawat dan
tenaga kesehatan lainnya. Secara ringkas pokok-pokok kode etik itu adalah, sebagai
berikut: Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi  
Indonesia, 2009
a Kewajiban Apoteker terhadap masyarakat:
1. Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik  di dalam
lingkungan kerjanya.
2. Seorang Apoteker dalam ragak pengabdian profesinya harus bersedia untuk
menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya.
3. Seorang Apoteker hendaknya selalu melibatkan diri di dalam pembangunan
Nasional khususnya di bidang kesehatan.
4. Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya bagi
masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan.

b. Kewajiban Apoteker terhadap teman sejawatnya:

1. Seorang Apoteker harus selalu menganggap sejawatnya sebagai saudara kandung


yang selalu saling mengingatkan dan saling menasehatkan untuk mematuhi
ketentuan-ketentuan kode etik.
2. Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari setiap tindakan yang dapat merugikan
teman sejawatnya, baik moril maupun materiil.
3. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan
kerja sama yang baik dalam memelihara, keluhuran martabat jabatan, kefarmasian,
mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.

c. Kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lainnya:

1. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan


hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat yang
berkecimpung di bidang kesehatan.
2. Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakannya atau perbuatan
yang dapat mengakibatkan berkurang / hilangnya kepercayaan masyarakat kepada
sejawat petugas kesehatan.
3. Melihat kemampuan Apoteker yang sesuai dengan pedidikannya, menunjukkan
betapa pentingnya peranan Apoteker dalam meningkatkan kesehatan masyarakat,
yaitu dengan memberikan suatu informasi yang jelas kepada pasien (masyarakat).
Contoh : Penggunaan obat aturan pakai, akibat yang ditimbulkan oleh obat dan
sebagainya. Karena mengingat sebagaian besar masyarakat tidak mengetahui hal
tersebut, sehingga pemberian informasi yang jelas dan tepat sangat dibutuhkan
demi keamanan dan keselamatan pemakai obat.

Sebetulnya informasi obat ini dapat diberikan oleh Dokter di ruang prakteknya, pada saat
Dokter menulis resep. Namun Dokter sering sibuk dengan banyaknya pasien yang harus
dilayani, sehingga pemberian informasi tentang penggunaan obat dan sebagainya kepada
pasien sangat mendesak. Disinilah peranan Apoteker lebih banyak diharapkan untuk
menjelaskan secara langsung tentang obat yang akan dipakainya Jusuf Hanafiah. Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kedokteran ECG. 2001 . Sebagaimana penulis
kemukakan di atas bahwa obat mempunyai hubungan yang erat sekali dengan tugas dan
fungsi Apotek, di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125 Tentang Wajib
Daftar Obat. Disebutkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Pasal 1 ayat (1) yang
dimaksud dengan obat adalah:

Suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa,
mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit,
luka atau hewan, memperolok badan atau badan manusia.

Dari ketentuan tersebut di atas dapatlah kita gambarkan bahwa obat merupakan sesuatu
yang berhubungan dengan masalah kesehatan manusia. Sehingga pemahaman masalah
penggunaan atau pemakaian obat perlu mendapatkan perhatian serius, demi kesehatan
dan keamanan bagi setiap orang yang menggunakan. Kesalahan dalam pemakaian obat
akan dapat mengancam jiwa paling tidak dalam kadar yang rendah akan menyebabkan
cacatnya fisik dan mental.

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang tanggungjawab


apoteker, apoteker diserahi tanggung jawab secara penuh dalam mengelola Apotek,
ketentuan ini dapat kita lihat dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun
1981 tentang Pengelolaan dan Perizinan Apotek. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 1980 berbunyi:

1. Pengelolaan Apotek menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi.
2. Tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Apoteker sebagaimana dimaksud
ayat 1, diatur lebih lanjut oleh menteri Kesehatan.
3. Tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker sebagaimana dimaksud ayat 1 dan
ayat 2 dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab seorang Dokter
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.

Dari ketentuan tersebut di atas, maka Apoteker mempunyai tanggung jawab yang berat
dalam mengelola Apotek, sehingga tidak semua Apoteker dapat mengelola Apotek,
Apoteker harus mempunyai Surat Izin Pengelolaan Apotek (SIPA). Ketentuan tersebut
terdapat  dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 tahun 1981 Pasal 2 ayat (1)
dan (2).

Ayat 1 berbunyi:
Untuk memiliki surat Izin Pengelolaan Apotek, Apoteker mengajukan secara tertulis di atas
Kertas bermaterai cukup, kepada Menteri Kesehatan cq, Direktorat Jenderal dengan
mencantumkan:

1. Nama dan alamat Apotek pemohon;


2. Nama Perguruan Tinggi tempat Apoteker dan Tanda Lulus sebagai Apoteker;
3. Nomor dan tanggal Surat Izin Kerja;
4. Keterangan tempat kerja bagi mereka yang telah bekerja.
5. Surat Keterangan telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mengelola
Apotek, yang diberikan oleh Perguruan Tinggi atau Apoteker yang telah memiliki
Surat Izin Pengelolaan Apotek yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal;
6. Pas foto ukuran 4 x 6.

Dalam pengelolaan Apotek dengan sendirinya diperlukan modal yang cukup besar untuk
menyiapkan bangunan gedung, penyediaan alatalat perlengkapan proyek Apotek dan lain
sebagainya. Untuk itu dalam mengelola Apotek terdapat beberapa jenis antara lain Shidarta.
Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia, 2000:

1. Dalam mengelola Apotek modal seluruhnya milik Apoteker sendiri;


2. Dalam mengelola Apotek, modal keseluruhan milik orang lain;
3. Dalam mengelola Apotek, modal sebagaian milik Apoteker dan pihak lain.
Tugas dan fungsi Apotek terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
1980, dimana dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut:

1. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah


jabatan;
2. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran
dan penyerahan obat atau bahan obat;
3. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan
masyarakat secara meluas dan merata.

Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh DR. Midian Sirait Direktur Jenderal  Pengawas
Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam sambutannya pada
upacara pembukaan Rapat Kerja Nasional Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia di
bidang Apotek pada tanggal 22 Februari 1986, menyatakan:

Sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pelayanan kesehatan Apotek perlu terus
melakukan penataan-penataan, sehingga fungsi dan peranan semakin serasi dan
mendukung penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan lainnya. Untuk itu aspek pelayanan
obat termasuk informasi obat kepada masyarakat harus lebih dominan dan dirasakan
realitas manfaatnya oleh masyarakat.

Apoteker sebagai pengelola Apotek bukan sebagai Pemilik Sarana Apotek, pengelolaan
keuangan harus diatur sedemikian rupa, sehingga dapat menjamin kerja sama yang baik
dengan pemilik modal. Untuk mencapai hal dimaksud Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor
5 tahun 1980, Pemilik Sarana Apotek dapat menyelenggarakan Pengelolaan
keuangan Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung: CV.Ramadya Karya, 2005 .

Berdasarkan ketentuan di atas dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwa pengelolaan Apotek
menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker. Apabila Apoteker tidak mempunyai sarana
Apotek, maka dapat mengadakan perjanjian kerja sama dengan pihak lain yang mempunyai
sarana Apotek dan dalam perjanjian kerja sama ini harus dilampirkan akte perjanjian kerja
sama antara pemilik modal dengan Apoteker.
Tugas dan Kewenangan Apoteker

a. Pelayanan resep
Menurut Kongres nasional XVII ikatan Sarjaan Farmasi Indonesia pelayanan resep adalah
suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dan dokter hewan
kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.

Prosedur tetap pelayanan resep Adelina Ginting. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian Di


Apotek Kota Medan Tahun 2008. www.repository.usu.ac.id.: 

1. Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama dokter,


nomor izin praktetk, alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf
dokter serta nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
2. Melakukan     pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu:     bentuk sediaan, dosis,
frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompabilitas, cara dan lama pemberian obat
3. Mengkaji aspek klinis yaitu: adanya alergi, efek samping, interaksi kesesuaian (dosis,
durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya). Membuatkan kartu pengobatan
pasien (medication record)
4. Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan.
b. Menyediakan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

1. Menyiapkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan sesuai dengan permintaan


pada resep
2. Menghitung kesesuaian dosis dan tidak melebihi dosis maksimum
3. Mengambil obat dengan menggunakan sarung tangan/alat/spatula/sendok
4. Menutup kembali wadah obat setelah pengambilan dan mengembalikan ke tempat
semula
5. Meracik obat (timbang, campur, kemas)
6. Mengencerkan sirup kering sesuai takaran dengan air yang layak minum
7. Menyiapkan etiket
8. Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai dengan permintaan pada
resep

c. Penyerahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

1. Melakukan pemeriksaan akhir sebelum dilakukan penyerahan


2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien
4. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat
5. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker
6. Menyiapkan resep pada tempatnya dan mendokumentasikan

d. Pelayanan komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)


Apoteker hendaknya mampu menggalang komunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya,
termasuk kepada dokter

e. Pelayanan informasi obat


Kegiatan pelayanan obat yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi dan
konsultasi secara akurat, tidak bias, factual, terkini, mudah dimengerti, etis dan bijaksana.

Prosedur tetap pelayanan informasi obat:

1. Memberikan informasi obat kepada pasien berdasarkan resep atau kartu


pengobatan pasien (medication record) atau kondisi kesehatan pasien baik lisan
maupun tertulis
2. Melakukan penelusuran literature bila diperlukan, secara sistematis untuk
memberikan informasi
3. Menjawab pertanyaan pasien dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis
dan bijaksana baik secara lisan maupun tertulis
4. Mendisplai brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan untuk informasi pasien
5. Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat

f. Edukasi
Edukasi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan pengetahuan
tentang obat dan pengobatan serta mengambil keputusan bersama pasien setelah
mendapat informasi, untuk tercapainya hasil pengobatan yang optimal Jusuf Hanifah, Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Kedokteran ECG, 2001

Prosedur tetap swamedikasi:


1. Mendengarkan keluhan penyakit pasien yang ingin melakukan swamedikasi
2. Menggali informasi dari pasien meliputi:
o tempat timbulnya gejala penyakit
o seperti apa rasanya gejala penyakit
o kapan mulai timbul gejala dan apa yang menjadi pencetusnya
o sudah berapa lama gejala dirasakan
o ada tidaknya gejala penyerta
o pengobatan yang sebelumnya sudah dilakukan
3. Memilihkan obat yang sesuai dengan kerasionalan dan kemampuan ekonomi pasien
dengan menggunakan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek
4. Memberikan informasi tentang obat yang diberikan kepada pasien meliputi: nama
obat, tujuan pengobatan, cara pakai, lamanya pengobatan, efek samping yang
mungkin terjadi, serta hal-hal yang harus dilakukan oleh pasien dalam menunjang
pengobatan. Bila sakit berlanjut/lebih dari 3 hari hubungi dokter
5. Mendokumentasikan data pelayanan swamedikasi yang telah dilakukan

g. Konseling
Sherzer dan Stone (1974) mendefinisikan konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam
hubungan tatap muka    antara seorang individu yang terganggu oleh karena masalah-
masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja professional, yaitu
orang yang terlatih dan berpengalaman membantu orang lain mengenai pemecahan-
pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi. Bahwa konseling adalah pemberian
nasehat atau penasehatan kepada orang lain secara individual yang dilakukan secara
berhadapanh dari seorang yang mempunyai kemahiran (konselor) kepada seorang yang
mempunyai masalah (klien).

Adapun tujuan dari konseling pasien adalah mengoptimalkan hasil terapi obat dan tujuan
medis dari obat dapat tercapai, membina hubungan dengan pasien dan menimbulkan
kepercayaan pasien, menunjukkan perhatian kita kepada pasien, membantu pasien dalam
mengatasi kesulitan yang berkaitan dengan penyakitnya, mencegah dan mengurangi efek
samping, toksisitas, resistensi antibiotika, dan ketidakpatuhan pasien Erlizar SH. Hak dan
Kewajiban Pasien. http://m.serambinews.com/news/hak-dankewajiban- pasien/>[23 Desember
2012 Konseling dapat dilakukan kepada:
1. pasien dengan penyakit kronik seperti: diabetes, TB dan Asma
2. pasien dengan sejarah ketidakpatuhan dalam pengobatan
3. pasien yang menerima obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan
pemantauan
4. pasien dengan multiregimen obat
5. pasien lansia
6. pasien pediatric melalui orang tua dan pengasuhnya
7. pasien yang mengalami Drug Related Problems prosedur tetap konseling:
o Melakukan konseling sesuai dengan kondisi penyakit pasien
o Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien/keluarga pasien
o Menanyakan tiga pertanyaan kunci menyangkut obat yang dikatakan dokter
kepada  pasien dengan metode open-ended question:
 apa yang telah dokter katakana mengenai obat itu
 cara pemakaian, bagaimana dokter menerangkan cara pemakaian
 apa yang diharapkan dalam pemakaian ini
o Memperagakan dan menjelaskan mengenai pemakaian obat-obatan tertentu
(inhaler, supostoria,dll)
o Melakukan verifikasi akhir meliputi:
 mengecek pemahaman pasien
 mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi
o Melakukan pencatatan konseling yang dilakukan pada kartu pengobatan

h. Pelayanan Residensial (home care)


Pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada pasien yang dilakukan di rumah khususnya
untuk kelompok lanjut usia dan pasien penyakit kronis, serta pasien dengan pengobatan
paliatif

Jenis layanan home care:

1. informasi penggunaan obat


2. konseling pasien
3. memantau kondisi pasien pada saat menggunakan obat dan kondisinya setelah
menggunakan obat serta kepatuhan pasien dalam meminum obat home care dapat
dilakukan dengan 2 cara;
o dengan kunjungan langsung ke rumah
o melalui telepon

Untuk  aktifitas  ini,  apoteker  harus  membuat  catatan  pengobatan    (medication record)
prosedur tetap pelayanan residensial (home care)

1. Menyeleksi pasien melalui kartu pengobatan


2. Menawarkan pelayanan residensial
3. Mempelajari riwayat pengobatan pasien
4. Menyepakati jadwal kunjungan
5. Melakukan kunjungan ke rumah pasien
6. Melakukan tindak lanjut dengan memanfaatkan sarana komunikasi yang ada atau
kunjungan berikutnya, secara berkesinambungan
7. Melakukan pencatatan dan evaluasi pengobatan

Tanggung Jawab Apoteker

Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan yang
berhubungan dengan itu, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa dipakai di rumah.
Dalam pelayanan obat ini apoteker harus berorientasi pada pasien/penderita, bagaimana
obat yang diinginkan pasien tersebut dapat menyembuhkan penyakitnya serta tidak ada
tidaknya efek samping yang merugikan.

Tanggung jawab tugas apoteker di apotek adalah Kode Etik apoteker Di Indonesia, Jakarta:
Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2009 :

a. Tanggung jawab atas obat dengan resep


Apoteker mampu menjelaskan tentang obat kepada pasien, sebab apoteker mengetahui”
1. Bagaimana obat tersebut digunakan
2. Reaksi samping obat yang mungkin ada
3. Stabilitas obat dalam bermacam-macam kondisi
4. Cara dan rute pemakaian obat

b. Tanggung jawab apoteker untuk member informasi pada masyarakat dalam memakai
obat bebas terbatas (OTC)

Apoteker mempunyai tanggung jawab penuh dalam menghadapi kasus self medication atau
mengobati sendiri dan pemakaian obat tanpa resep. Apoteker menentukan apakah self
medication dari penderita itu dapat diberi obatnya atau perlu pergi konsultasi ke dokter
atau tidak. Pengobatan dengan non resep jelas akan makin bertambah.

Terhadap pelayanan resep, sebaiknya ada motto “setiap resep yang masuk, keluarnya harus
obat” artinya yaitu apabila ada pasien membawa resep dokter ke apotek, diusahakan agar
pasien itu jadi membeli obatnya di apotek tersebut. Jangan sampai hanya menanyakan
harganya, lalu pergi ke apotek lain. Apabila terpaksa sampai demikian,  harus lah dicatat
alas an-alasannya. Apakah dikarenakan si pasien kurang mampu, kurang uangnya atau
karena tidak mengerti/tidak dapat membaca resepnya, apakah pelayanan kurang ramah,
kurang luwes, dan sebagainya.

Sebagai seorang pengelola, apoteker bertugas mencari tambahan langganan baru,


membina langganan lama, meningkatkan pelayanan dengan pembinaan karyawan, turut
membantu mencairkan piutang-piutang lama, mencari sumber pembelian yang lebih murah
dengan jangka waktu kredit yang lebih lama, dan sebagainya.

Kecendrungan masyarakat konsumen hanya bersandar kepada sejumlah lembaga advokasi


konsumen, sesuai dengan pasal 44 UUPK, yaitu dengan adanya pengakuan pemerintah
terhadap lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang mempunyai kegiatan
yang meliputi, penyebaran informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan
kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa,
memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya, bekerjasama dengan
instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindunga konsumen, membantu konsumen
dalam memperjuangkan haknya, dan termasuk menerima keluhan atau pengaduan
konsumen.
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha perlu pula untuk diketahui dimana telah
tertuang dalam Bab IV Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dari pasal 8 sampai dengan pasal 17. Dalam pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

a. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa


yang :

1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang, dan/atau jasa tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam, label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan /atau jasa tersebut;
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undagan yang berlaku.

b. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
c. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat,
atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
d. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut secara wajib menariknya dari peredaran.

Etikad baik pelaku usaha atau produsen dalam hal ini sangat wajibkan, tidak semata- mata
mencari keuntungan. Pelaku usaha tidak boleh memasarkan barang tanpa memberikan
informasi yang jelas. Perlindungan konsumen diwujudkan dengan diaturnya perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan
terhadap kesehatan, kenyamanan,keamanan baik bagi diri konsumen maupun harta
bendanya agar sesuai harga yang dibayarnya terhadap suatu produk dengan mutu produk
itu sendiri. Pengawasan dan Teknis dalam Perdagangan yang mengikat negara yang
menandatanganinya, untuk menjamin bahwa agar bila suatu pemerintah atau instansi lain
menentukan aturan teknis atau standar teknis untuk keperluan keselamatan umum,
kesehatan, perlindungan terhadap konsumen, dan pengujian serta sertifikasi yang
dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan yang tidak diperlukan terhadap perdagangana
internasional. Ahmadi  Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hal. 66.  

Pengaduan Pelanggaran HAM


 
 

Deskripsi

" Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia

secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa,

meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan,

hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan

yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun."

                                          - Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia vide Tap MPR


No.XVII/MPR/1998

 
Modul ini berisi informasi layanan untuk pengaduan pelanggaran Hak Asasi Manusia
melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Penjelasan mengenai apa itu
Hak Asasi Manusia, apa pengertian dari pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan penjelasan
mengenai Komnas HAM tercantum dihalaman ini.

Untuk mengetahui apa saja yang termasuk dalam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia,
dan bagaimana prosedur atau cara menyampaikan pengaduan dapat ditemukan dihalaman
selanjutnya. Adapun untuk memperoleh informasi layanan lebih lanjut atau ingin
melayangkan pertanyaan serta laporan, dapat menghubungi kontak Komnas HAM dan/atau
portal Lapor!.

Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa, melekat pada diri manusia sejak
lahir, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.
Hak asasi manusia berlaku secara universal, artinya berlaku untuk siapa saja. Dasar-dasar
HAM tercantum dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, Pancasila,
dan UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2,
pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.

Pelanggaran HAM
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi
manusia adalah  setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara,
baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku.

Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut
Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini,
dan tidak didapatkan, atau dikhawatirksn tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik


dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak
asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi
pijakanya.

C. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM adalah sebuah lembaga mandiri di
Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya dengan fungsi
melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan
mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia. Komisi ini berdiri sejak tahun
1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, tentang Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia. 

Komnas HAM memiliki dua tujuan yaitu :

1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia.
2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Dasar Hukum

 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Syarat

Perbuatan pelanggaran HAM yang dapat diadukan ke Komnas HAM, sebagaimana diatur di
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah :

1. Hak untuk hidup;


2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
3. Hak mengembangkan diri;
4. Hak memperoleh keadilan;
5. Hak atas kebebasan pribadi;
6. Hak atas rasa keamanan;
7. Hak atas kesejahteraan;
8. Hak turut serta dalam pemerintahan;
9. Hak wanita;
10. Hak anak.

Prosedur

Berdasarkan ketentuan Prosedur Penanganan Pengaduan yang diberlakukan di Komnas


HAM, pengaduan harus disampaikan dalam bentuk tertulis yang memuat dan dilengkapi
dengan :

1. Nama lengkap pengadu;


2. Alamat rumah;
3. Alamat surat apabila berbeda dengan alamat rumah;
4. Nomor telepon tempat kerja atau rumah;
5. Nomor faximili apabila ada;
6. Rincian pengaduan, yaitu apa yang
terjadi, lokasi kejadian, waktu kejadian, siapa yang terlibat,nama-nama saksi;
7. Fotocopy berbagai dokumen pendukung yang berhubungan dengan peristiwa yang
diadukan;
8. Fotocopy identitas pengadu yang masih berlaku (KTP, SIM, Paspor);
9. Bukti-bukti lain yang menguatkan pengaduan;
10. Jika ada, institusi lain yang kepadanya telah disampaikan pengaduan serupa;
11. Apakah sudah ada upaya hukum yang dilakukan;
12. Dalam hal pengaduan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan
persetujuan dari pihak yang merasa menjadi korban pelanggaran suatu HAM
(misalnya surat kuasa atau surat pernyataan);

Jangan lupa membubuhkan tanda tangan dan nama jelas pengadu atau yang diberi
kuasa.

Setelah lengkapnya keterangan dan bahan tersebut pengaduan dapat dikirimkan melalui
berbagai cara, yakni :

1. Diantar langsung ke Komnas HAM                                                                                          


Alamat : Jalan Latuharhary No. 4B, Menteng Jakarta Pusat 10310

1. Dikirim melalui jasa pos atau kurir; atau


2. Dikirim melalui faximili ke nomor : 021-3925227;
3. Dikirim melalui e-mail
ke pengaduan@komnasham.go.id atau pengaduan@komnasham.go.id

Biaya (Rupiah)

Tidak ada biaya yang dibebankan terhadap pelapor.

Lama Penyelesaian (hari)

Sarana dan Prasarana

Kontak Penyelenggara

Berikut ini adalah beberapa cara untuk menghubungi Komnas HAM :

No Telepon: 021 - 3925 230    

No Faksimili: 021 - 3925 227    

Email: info@komnas.go.id
Twitter: @komnasham

Untuk menyampaikan pengaduan pelayanan, dapat melalui :

Alamat LSM dan Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)


Jalan Latuharhary No. 4B, Menteng Jakarta 10310

Telp. (021) 392 5230

Fax. (021) 392 5227.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS)


Jalan mendut No. 3, Menteng Jakarta 12510

Telp. (021) 314 5940

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)


Jalan Siaga II No. 31, Pasar Minggu Jakarta 12510

Telp.(021) 797 2662, 791 92519, 791 92564

Fax. (021) 79192519

E-mail: elsam@nusa.or.id dan advokasi@rad.net.id

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)


Jalan Diponegoro No. 74, Jakarta 10320

Telp.(021) 315 5518,390 4226, 390 4427

Fax. (021) 330140

Situs: http://www.ylbhi.org

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI)


Jalan Cikini Raya No. 58 S--T, Jakarta Pusat

Telp. (021) 322 084

Fax. (021) 314 3965

Forum Solidaritas untuk Rakyat Timor Lorosae (FORTILOS)


Jalan Siaga II/31, Jakarta 12510

E-mail: fortilos@indo.net.id

Forum Solidaritas Untuk Rakyat Timor (FORSOLA)


Jalan mampang Prapatan XI No. 23 Jakarta 12790

Telp.(021) 910 7049

Fax. (021) 794 1577

E-mail: forsola@nusa.or.id
Institute Sosial Jakarta (ISJ)
Jalan Arus Dalam No. 1 RT 001/RW 012, Cawang, Jakarta Timur

Telp. (021) 478 63150

Fax. (021) 489 7761

KSO-SMUR
Jalan P. Nyak Makam No. 11 Lampeuneng, Banda Aceh

Telp.(0651) 539 53

Fax. (0651) 538 00 

E-mail: smur aceh@hotbot.com

Website: http://go.to/smur

Flower Aceh
Jalan Rawasakti Barat 111/12 A Jeulingki, Banda Aceh 23114 

Telp. /Fax. (0651) 523 29

E-mail:flowerbaceh@wasantara.net.id

Lembaga Studi Dan Advokasi HAM IRJA (ELS-HAM IRJA)


Jalan Guru No. 64, Kota Raja Jayapura, Irian Jaya 

Telp./Fax. (0967) 582 411

Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta


Jalan H. Agus Salim No. 36 Yogyakarta, 55262

Telp.(0274) 375 32 1

Fax. ( 0274) 376 316 

E-mail: lbhyogya@indo.net.id

Pusat Informasi Advokasi Rakyat (PIAR)


Jalan Mongonsidi III No. 7 Kupang, Nusa Tenggara Timur

Telp.(0380) 826 716

Fax.(0380) 826 712

E-mail: piar@kupang.wasantara.net.id.

Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung (LBH-Bandar Lampung)


Jalan Teuku Umar No. 1 Kedaton, Bandar Lampung

Telp./fax. (0721) 787 488

E-mail: lbh-bl@indo.net.id

Lembaga Untuk Hak Asasi Manusia Aceh (LEUHAM Aceh)


Jalan AS. Sumantri No. 3, Banda Aceh 23111

Telp./Fax (0651) 51157


Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado
Jalan A. Manonutu No. 29 Manado, Sulawesi Utara

Telp.(0431) 859 962

Fax. (0341) 859 963

E-mail: lbhmdo@manado.wasantara.net.id

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ujung Pandang


Jalan Dr. Sam Ratulangi No. 226 Ujung Pandang Sulawesi Selatan

Telp./Fax. (0411) 873 054

E-mail: lbhupg@indosat.net.id

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung


Kebon Bibit Utara No. 6 Bandung

Telp./Fax. (022) 250 4427

E-mail: lbhbdg@bdg.centrin.net.id

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya


Jalan Kidal No. 6 Surabaya

Telp: (031) 531 2273

E-mail: lbhsby@indo.net.id

LBH Palembang
Jalan Jend. Sudirman 325, Palembang

Telp.(0711) 357 999

Fax. (0711) 354 830

E-mail: jfa@palembang.wasantara.net.id

LBH Medan
Jalan Hindu No. 12

Telp.(061) 515 340

Fax. (061) 569 749

E-mail: prodeo@indo.net.id

LBH Bali
Jalan Kapt. Ijok Agung Tresna Renon, Dempasar

Telp./Fax. (0361) 242 447

E-mail: lbhbali@indo.net.id

LBH Jayapura
Jalan Gerilyawan 46, Jayapura

Telp.(0967) 817 10

Fax. (0967) 825 59


LBH Semarang
Jalan Parang Kembang Kav. IV, Tlogosari

Telp.(024) 710 687

Fax. (024) 710 495

E-mail: lbhsmg@indosat. net. id

LBH Manado
Jalan Arnold Monohutu No. 29, Manado T

elp.(0431) 859 962

Fax. (0431)859 963

E-mail:  lbhmdo@manado.wasantara.net.id

LBH Padang
Jalan S Parman No. 142 Padang

Telp. (0751) 54991

Fax. (0571) 10252

E-mail: lbh-pdg@pdg.mega.net.id

LBH Aceh
Jalan perdagangan Lt.II No. 12 Banda Aceh

Telp. (0651) 23321

Fax. (0651) 31163

E-mail: lbh-aceh@aceh.wasantara.net.id

LBH Yogyakarta
Jalan H. Agus Salim No. 36 Yogyakarta

Telp. (0274) 376316

Fax. (0274) 376316

E-mail: lbhyogya@indo.net.id

Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Hukum


Pidana
Jika kita sering mendengar "perbuatan melawan hukum" dalam aspek hukum perdata,
bagaimanakah konsep PMH dalam hukum pidana? Apa unsur-unsurnya? Serta apa
perbedaannya dengan konsep PMH dalam hukum perdata?
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW,
pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.”
 
Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH
Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai
melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
 
1.    Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2.    Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3.    Bertentangan dengan kesusilaan
4.    Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
 
Mencermati perluasan dari unsur “melanggar hukum” dari Pasal 1365 BW tersebut di atas, dalam
praktek, Pasal 1365 BW sering disebut sebagai pasal “keranjang sampah”. Demikian menurut Rosa
Agustina.
 
Sedangkan, dalam konteks hukum pidana, menurut pendapat dari Satochid Kartanegara, “melawan
hukum” (Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibedakan menjadi:
 
1.    Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang.
2.    Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin” wederrechtelijk, walaupun
tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum (algemen
beginsel).
 
Lebih lanjut, Schaffmeister, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar
Dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 168, berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di
dalam rumusan delik yang menjadi bagian inti delik sebagai “melawan hukum secara khusus”
(contoh Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP), sedangkan “melawan hukum”
sebagai unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik tetapi menjadi dasar untuk menjatuhkan
pidana sebagai “melawan hukum secara umum” (contoh Pasal 351 KUHP). 
 
Pendapat dari Schaffmeister ini benar-benar diterapkan dalam hukum positif di Indonesia, contohnya
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”). Dalam Pasal 2 UU
Tipikor terdapat unsur melawan hukum, sedangkan dalam Pasal 3 UU Tipikor tidak dicantumkan
unsur “melawan hukum”. Lebih jelas lagi dalam penjelasan Pasal 2 UU Tipikor disebutkan:
 
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana
 
Menjawab pertanyaan Anda mengenai perbedaan perbuatan “melawan hukum” dalam konteks
Hukum Pidana dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan
sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat. Untuk itu, sebagai
referensi, saya akan mengutip pendapat dari Munir Fuady dalam bukunya Perbuatan Melawan
Hukum (Pendekatan Kontemporer), terbitan PT. Citra Aditya Bakti (Bandung: 2005), hal. 22, yang
menyatakan:
 
“Hanya saja yang membedakan antara perbuatan (melawan hukum) pidana dengan
perbuatan melawan hukum (perdata) adalah bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai hukum
publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping
mungkin juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum
(perdata) maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.”
 
Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.
 
Dasar hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3.    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
 
Referensi:
1.    Rosa Agustina. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Penerbit Pasca Sarjana FH Universitas
Indonesia.
2.    Andi Hamzah. Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia.
3.    Munir Fuady. 2005. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
 
Pertanyaan :
Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH
Saya ingin menanyakan doktrin siapa sajakah yang menyatakan bahwa gugatan PMH dan
wanprestasi harus dipisah? Bisakah tolong beri tahu saya doktrin-doktrin tersebut? Terima kasih.
Jawaban :
Larangan untuk menggabungkan gugatan perbuatan melawan hukum
(“PMH”) dan wanprestasi dalam 1 gugatan antara lain dikemukakan oleh M.
Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”.
 
Menurut Yahya Harahap, antara PMH dan wanprestasi terdapat perbedaan
prinsip, yaitu:
 
Ditinjau dari Wanprestasi PMH
Sumber hukum Wanprestasi menurut Pasal PMH menurut Pasal 1365
1243 KUHPer timbul dari KUHPer timbul akibat
persetujuan (agreement) perbuatan orang
Timbulnya Hak menuntut ganti rugi Hak menuntut ganti rugi
hak menuntut dalam wanprestasi timbul karena PMH tidak perlu
dari Pasal 1243 KUHPer, somasi. Kapan saja terjadi
yang pada prinsipnya PMH, pihak yang dirugikan
membutuhkan pernyataan langsung mendapat hak
lalai (somasi) untuk menuntut ganti rugi
Tuntutan KUHPer telah mengatur KUHPer tidak mengatur
ganti rugi tentang jangka waktu bagaimana bentuk dan
perhitungan ganti rugi yang rincian ganti rugi. Dengan
dapat dituntut, serta jenis demikian, bisa dgugat ganti
dan jumlah ganti rugi yang rugi nyata dan kerugian
dapat dituntut dalam immateriil
wanprestasi
 
Oleh karena itu, Yahya Harahap berpendapat bahwa tidak dapat dibenarkan
mencampuradukkan wanprestasi dan PMH dalam gugatan. Yahya
selanjutnya juga mengutip putusan Mahkamah Agung (“MA”) No. 879
K/Pdt/1997 mengenai penggabungan wanprestasi dan PMH dalam satu
gugatan. Dalam putusan ini dijelaskan bahwa penggabungan demikian
melanggar tata tertib beracara, atas alasan bahwa keduanya harus
diselesaikan tersendiri. Posita gugatan mendasarkan pada perjanjian, akan
tetapi dalam petitum menuntut mengenai PMH. Konstruksi gugatan seperti ini
dinilai mengandung kontradiksi, dan gugatan dinyatakan obscuur libel (tidak
jelas).
 
Selain putusan di atas, MA juga pernah mengeluarkan yurisprudensi
mengenai masalah penggabungan ini, yaitu dalam putusan MA No. 1875
K/Pdt/1984 tanggal 24 April 1986. Dalam putusan MA itu disebutkan:
 
“Penggabungan gugatan perbuatan melawan hukum dengan
perbuatan ingkar janji tidak dapat dibenarkan dalam tertib beracara
dan harus diselesaikan secara tersendiri pula “
Selanjutnya tentang penggabungan wanprestasi dan PMH dapat Anda baca
di artikel hukumonline berikut:
 
1. Penggabungan Gugatan Wanprestasi dan PMH Tak Dapat
Dibenarkan
2. Hakim Tolak Penggabungan Gugatan PMH dan Wanprestasi
3. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi Harus
Dipisahkan
 
Pertanyaan :
Masalah Penggabungan PMH dan Wanprestasi dalam Satu
Gugatan
Yth. hukumonline.com, apa bisa gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum
dijadikan satu gugatan di pengadilan? Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih. Andi,
Surabaya.
Jawaban :
Kami asumsikan bahwa gugatan tersebut didasarkan pada perkara yang sama dan ditujukan kepada
tergugat yang sama. Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H. dalam
bukuHukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek (hal. 15-17), gugatan dapat dibuat secara
tertulis maupun secara lisan. Dalam praktiknya saat ini gugatan dibuat secara tertulis yang dikenal
dengan surat gugatan. Surat gugatan harus memuat tanggal termasuk tanggal pemberian surat
kuasa bila memberika kuasa, ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya, menyebutkan identitas
penggugat dan tergugat, memuat gambaran yang jelas mengenai duduk persoalan (fundamentum
petendi atau posita), dan petitum yaitu hal-hal apa yang dinginkan untuk diputus oleh hakim. Gugatan
tersebut kemudian ditujukan dengan mangacu pada ketentuan Pasal 118 Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui (“HIR”).
 
Gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum didasarkan pada ketentuan yang
berbeda. Gugatan wanprestasi didasarkan pada adanya cidera janji dalam perjanjian sehingga salah
satu pihak harus bertanggung jawab. Mengenai hal ini Saudara dapat melihat Pasal 1243 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Sedangkan untuk gugatan perbuatan melawan
hukum (“PMH”), biasanya didasarkan pada Pasal 1365 KUHPer:
 
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut.”
 
Apabila gugatan perdata diajukan dengan dasar wanprestasi dan PMH, akan membingungkan hakim
karena didasarkan pada dasar hukum yang berbeda sehingga gugatan menjadi tidak jelas (obscuur
libel). Mengutip artikel Penggabungan Gugatan Wanprestasi dan PMH Tidak Dapat Dibenarkan,
Mahkamah Agung bahkan pernah mengeluarkan Putusan MA No. 1875 K/Pdt/1984 tertanggal 24
April 1986 yang menegaskan tentang hal ini. Ditambah lagi dalam Putusan MA No. 879
K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari 2001 dijelaskan bahwa penggabungan PMH dengan wanprestasi
dalam satu gugatan melanggar tata tertib beracara karena keduanya harus diselesaikan tersendiri.
 
M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata (hal. 456) mengkomentari putusan tahun 1997
tersebut. Ia berpendapat, dalam putusan tersebut posita gugatan didasarkan atas perjanjian, namun
dalam petitum dituntut agar tergugat dinyatakan melakukan PMH. Apabila hal ini dianggap
mengandung kontradiksi (obscuur libel) berarti terlalu bersifat formalistis karena jika petitum itu
dihubungkan dengan posita, hakim dapat meluruskannya sesuai dengan maksud posita.
 
Ternyata dalam praktiknya, masalah penggabungan gugatan wanprestasi dan PMH dalam satu
gugatan juga dibolehkan. Hal ini dapat dilihat dari yurisprudensi MA dalam Putusan MA No. 2686
K/Pdt/1985tanggal 29 Januari 1987. Masih dalam buku yang sama, Yahya Harahap menjelaskan
bahwa dalam putusan tersebut, meskipun dalil gugatan yang dikemukakan dalam gugatan adalah
PMH, sedangkan persitiwa hukum yang sebenarnya adalah wanprestasi, gugatan tidak obscuur libel,
karena hakim dapat mempertimbangkan bahwa dalil gugatan itu dianggap wanprestasi. Hal yang
serupa juga dapat ditemui dalam Putusan MA No. 886 K/Pdt/2007 tanggal 24 Oktober 2007.
Majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan:
 
“Bahwa sungguhpun dalam gugatan terdapat posita Wanprestasi dan Perbuatan
Melawan Hukum, akan tetapi dengan tegas diuraikan secara terpisah, maka
gugatan demikian yang berupa kumulasi obyektif dapat dibenarkan.”
 
Jadi seperti kami jelaskan sebelumnya, dalam praktik terdapat yurisprudensi yang menyatakan
penggabungan PMH dengan wanprestasi dalam satu gugatan adalah melanggar tata tertib beracara
karena keduanya harus diselesaikan tersendiri. Namun, ada juga yurisprudensi lain yang
membolehkan penggabungan PMH dan wanprestasi dalam satu gugatan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Staatsbald Nomor 23 Tahun 1847
2.    Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad Nomor
44 Tahun 1941
 
Putusan:
1.    Putusan Mahmakah Agung Nomor 1875 K/Pdt/1984 tanggal 24 April 1986
2.    Putusan Mahkamah Agung Nomor 2686 K/Pdt/1985 tanggal 29 Januari 1987
3.    Putusan Mahkamah Agung Nomor 879 K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari 2001
4.    Putusan Mahkamah Agung Nomor 886 K/Pdt/2007 tanggal 24 Oktober 2007
 
Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa
Apakah sama unsur onrechtmatige daad dengan onrechtmatige overheidsdaad? Dan kebijakan
penguasa seperti apa yang bisa dan tidak bisa digugat di PN? Mohon penjelasannya. Terima
kasih.
Jawaban :
Baik Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) maupun Perbuatan
Melawan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) diatur oleh
ketentuan atau dasar hukum yang sama. Yakni, Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
 
Pasal 1365 KUHPer berbunyi, ‘Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
 
Berdasarkan pasal di atas, setidaknya ada lima unsur yang harus dipenuhi;
(1)   adanya perbuatan;
(2)   perbuatan itu melawan hukum;
(3)   adanya kerugian;
(4)   adanya kesalahan; dan
(5)   adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan
hukum dengan akibat yang ditimbulkan.
 
Kelima unsur di atas bersifat kumulatif, sehingga satu unsur saja tidak
terpenuhi akan menyebabkan seseorang tak bisa dikenakan pasal perbuatan
melawan hukum (“PMH”).
 
Perbedaan antara PMH dengan PMH oleh penguasa hanya terletak pada
subjeknya. Bila dalam PMH biasa, subjeknya adalah perorangan atau badan
hukum. Sedangkan, PMH oleh penguasa harus dilakukan oleh penguasa.
Lalu, siapa yang bisa termasuk kategori penguasa?
 
Ujang Abdullah saat menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara (“PTUN”) Palembang pernah menulis makalah yang berjudul
‘Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa’. Dalam makalah tersebut
dijelaskan antara lain bahwa pengertian penguasa tidak hanya meliputi
instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan eksekutif di bawan
Presiden akan tetapi termasuk juga Badan/Pejabat lain yang melaksanakan
urusan pemerintahan.
 
Peraturan perundang-undangan tak mengatur secara spesifik kebijakan atau
PMH oleh penguasa apa saja yang bisa digugat ke peradilan umum
(Pengadilan Negeri). Namun perlu Anda ketahui, selain di peradilan umum,
PMH oleh penguasa bisa juga digugat ke PTUN.
 
Nah, di PTUN ini, kebijakan penguasa apa saja yang bisa digugat diatur
secara spesifik. Yakni, Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat
konkret, individual, dan final (lihat Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009).
Artinya, untuk perbuatan penguasa yang bersifat konkret, individual, dan final
tidak bisa digugat ke Pengadilan Negeri karena sudah ada forum lain, yaitu
PTUN yang berwenang memeriksanya.
 
Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami.
 
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor
Indonesieatau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
 
Pengertian Perbuatan Melawan Hukum Akibat, Unsur, Subjek, Faktor yang
Menyebabkan Hilangnya Pertanggungjawaban
22:48:00

HUKUM

Pengertian Perbuatan Melawan Hukum adalah Akibat dari suatu perbuatan yang


bertentangan dengan hukum diatur juga oleh hukum, walaupun akibat itu memang tidak
dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan tersebut. Siapa yang melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum harus mengganti kerugian yang diderita oleh yang
dirugikan karena perbuatan tersebut. Jadi, dapat dikatakan karena perbuatan melawan
hukum maka timbullah suatu ikatan (verbintenisen) untuk mengganti kerugian yang diderita
oleh yang dirugikan.

Asas ini terdapat dalam pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi :
Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.

Utrecht, berpendapat bahwa :


Penafsiran dalam pasal 1365 KUHPerdata dalam yurisprudensi Belanda (yurisprudensi
Indonesia mengikuti yurisprudensi Belanda) ada sejarahnya. Dalam abad ke-19 ketika aliran
logisme masih kuat, yang menjadi perbuatan melawan hukum hanyalah suatu perbuatan
yang bertentangan dengan undang-undang saja. Perbuatan yang bertentangan dengan
kebiasaan bukanlah perbuatan melawan hukum, jadi sesuai aliran logisme yang
berpendapat diluar undang-undang tidak ada hukum. Pada akhr abad ke-19 pendapat
aliran logisme ini mendapat tantangan dari berbagai  pihak.  Telah  diketahui  bahwa
molengraf-lah  yang mula-mula mengatakan bahwa penafsiran yang sempit itu tidak dapat
dipertahankan dan diteruskan.  E. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet.VI Jakarta :
(Balai Pustaka, 1961), hal.294.

Dalam sebuah karangan yang ditempatkan di majalah Rechtsgeleerd Magazine (tahun 1887)
oleh Molengraf dikemukakan :
Bahwa pengertian perbuatan melawan hukum seperti yang disebut pada pasal 1365 KUH
Perdata, tidak hanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan
perundang-undangan, melainkan juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-undang yang memuat kaedah-kaedah
sosial. Anggapan ilmu hukum ini diterima dalam yurisprudensi tahun 1919. Ibid. 

Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa setelah tahun 1919 perbuatan melawan
hukum seperti tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata bukan saja yang bertentangan
dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan kaedah-kaedah norma sosial dan
norma-norma yang lain.

Adapun asas yang tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata yang menegaskan bahwa tiap
perbuatan yang bertentangan dengan hukum (melawan hukum), yang merugikan orang
lain, mewajibkan pihak yang merugikan (yang melakukan) mengganti kerugian yang diderita
oleh pihak yang dirugikan itu. Selanjutnya dikatakan :

Dalam sejarah hukum perbuatan melawan hukum disebutkan dalam pasal 1365 KUH
Perdata telah diperluas pengertiannya menjadi membuat sesuatu dan tidak membuat
sesuatu (melalaikan sesuatu), yang :

1. Melanggar hak orang lain;


2. Bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan  perbuatan itu;
3. Bertentangan dengan kesusilaan, maupun asas-asas pergaulan kemasyarakatan
mengenai kehormatan orang lain atau barang orang lain Ibid. hal.17..
Ini merupakan pegangan yang sangat luas bagi hakim untuk menentukan perbuatan mana
yang merupakan perbuatan melawan hukum.

Wiryono Prodjodikoro mengemukakan :


“Bagi orang Indonesia asli tetap berlaku hukum adat yang juga mengenal hak hukum,
seperti tertulis pada pasal 1365 KUHPerdata, yaitu secara bersalah melakukan perbuatan
melawan hukum dan dengan itu merugikan orang lain, adalah wajib memberi ganti
rugi.” Wrijono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung : Sumur Bandung)

Menurut Chaidir Ali, bahwa :


Pendapat Wirjono Prodjodikoro tersebut telah mendapat kekuatan hukum yang pasti
didalam Putusan MA No.222 K/Sip/1958 tertanggal 21 November 1958 sebagai berikut :
Hukum adat warisan tentang perbuatan melawan hukum, menurut hukum adat di Jawa
Timur setiap sebab yang menimbulkan kerugian  yang  menjadi akibat  dari sesuatu
perbuatan  atau kelalaian seseorang mewajibkan orang yang bersalah tentang timbulnya
kerugian itu untuk memperbaiki kerugian itu. Chaidir Ali, Yurisprudensi Perbuatan Melanggar
Hukum (Bina Cipta,1970), hal.34.

Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian, ada
hal-hal tertentu yang membebaskan orang tersebut dari kewajiban membayar ganti rugi.
Hukum adat yang tidak mengenal penyusunan dalam suatu perundang-undangan tertulis,
serta dalam melaksanakan hukum adat tentang hal ini seorang hakim dapat lebih leluasa
untuk meninjau hakekat hukum tersebut dari sudut manapun dan menurut keyakinannya
tentang rasa keadilan yang benar-benar hidup dimasyarakat.

Dalam KUH Perdata hal perbuatan melawan hukum disistematikakan dalam 2 bagian yaitu :

1. Yang merupakan ketentuan umum;


2. Yang merupakan ketentuan khusus.

1. Yang Merupakan Ketentuan Umum


Adalah pasal 1365 KUH Perdata yang mengatur ketentuan atas syarat- syarat umum dan
berlaku untuk semua perbuatan melawan hukum yang diatur dalam KUH Perdata dan pasal
1366 KUH Perdata.
2. Yang Merupakan Ketentuan Khusus
Ketentuan-ketentuan khusus ini pengaturan lebih lanjut tentang :

a. Pertanggungjawaban atas timbulnya perbuatan melawan hukum yaitu :

1. Tanggungjawab orangtua atau wali, guru, atas perbuatan yang dilakukan oleh orang
yang berada dibawah pengampuannya, diatur dalam pasal 1367 KUH Perdata.
2. Tanggungjawab pemilik binatang atas binatang piaraannya, diatur dalam pasal 1368
KUH Perdata.
3. Tanggungjawab pemilik gedung atas bangunan yang dalam pemeliharaannya, diatur
dalam pasal 1369 KUH Perdata.

b. Beberapa perbuatan melawan melanggar hukum seperti pasal 1370 KUH Perdata tentang
pembunuhan, pasal 1371 KUH Perdata tentang penganiayaan dan pasal 1380 KUH Perdata
tentang penghinaan.

Dari rumusan pasal-pasal tersebut diatas belum ditemukan pengertian yang baku dari
perbuatan melawan hukum. Memang tidak ditemui baik dalam doktrin, yurisprudensi
tentang pengertian yang baku dari perbuatan melawan hukum, karena itu para sarjana
mempunyai sudut pandang masing-masing yang berbeda- beda tentang hal ini.

Oleh karena itu dalam putusan 31 Januari 1919, Mahkamah Tinggi merumuskan pengertian
perbuatan melawan hukum, bilamana suatu perbuatan baik karena sengaja maupun
karena kelalaiannya, sehingga perbuatan tersebut bertentangan dengan hak orang lain atau
bertentangan dengan kesusilaan ataupun keharusan yang diperhatikan dalam peragaulan
ditengah-tengah masyarakat dengan  orang   lain ataupun  benda,  sedangkan  barang  
siapa  karena salahnya sehingga akibat perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian
pada orang lain, maka orang tersebut bekewajiban membayar ganti rugi.

Dengan penafsiran luas atas keputusan hogeraad 1919 ini diketahui tentang rumusan
perbuatan melawan hukum. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pihak yang dituntut
agar tidak dijatuhi hukuman semena-mena untuk membayar ganti rugi atau dengan kata
lain untuk membatasi pertanggungjawaban atas tuntutan ganti rugi yang dianggap terlalu
luas. Hal ini disebut dengan “Schutznorm Theorie” atau teori perlindungan. Teori ini
didukung oleh Telders, Vander Griten, Molengraf dan juga hogeraad Belanda. Teori
perlindungan atau Schutznorm Theorie menyatakan bahwa tidak semua orang yang
menderita kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum, berhak menuntut untuk
menerima ganti rugi, dan yang berhak ialah hanya orang-orang yang berkepentingan yang
dilindungi suatu norma yang dilanggar.

Ahli hukum yang lain seperti Meyers, Scholten dan Ribbius menolak teori Schutznorm ini.
Mereka mengatakan dalam prakteknya teori perlindungan ini sangat sulit untuk diterapkan
karena pengertian perbuatan melawan hukum adalah suatu pengertian yang sangat relatif
dan tidak bisa dijadikan pegangan untuk menerapkan batas ada atau tidaknya
onrechtmatigedaad karena mungkin disatu pihak menyatakan ada sedangkan yang lain
menyatakan tidak ada melawan hukum.

Dan Schutznorm theorie hanya dianggap dapat menolong untuk memberikan pedoman,
apa yang harus dianggap dengan perbuatan positif adalah perbuatan yang dapat dilihat dan
menimbulkan akibat, misalnya :
A melempar batu mengenai kaca jendela rumah B dan mengakibatkan kacanya itu pecah.

Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Sebagaimana telah dibicarakan diatas bahwa menurut aliran logisme  bahwa perbuatan
melanggar hukum hanyalah perbuatan-perbuatan yang melanggar hak orang lain atau
bertentangan dengan undang-undang atau dengan kewajiban hukum yang ditentukan
dalam undang-undang yang tertulis saja.

Karena aliran ini berpandangan sempit tentang perbuatan melawan hukum maka banyak
kasus yang terjadi dalam masyarakat yang pada dasarnya adalah perbuatan melanggar
hukum tetapi menurut aliran logisme ini tidak digolongkan dalam onrechtmatigedaad
(perbuatan melawan hukum).

Adapun yang dimaksud dengan penafsiran sempit adalah baru dikatakan ada
onrechtmatigedaad, kalau:
1. Ada pelanggaran terhadap hak subjektif seseorang;
2. Tindakan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.

Untuk memenuhi rasa keadilan maka pengertian perbuatan melawan hukum diperluas.
Pengertian perbuatan melawan hukum mencakup perbuatan yang bertentangan dengan
kesusilaan dan kepantasan, pertentangan dengan kewajiban sendiri yang ditentukan
undang-undang, bertentangan dengan hak  orang lain.

Dari rumusan ini maka penafsiran pengertian perbuatan melawan hukum sudah sangat
luas dan mencakup semua kehidupan masyarakat.

Untuk dapat dipertanggungjawabkan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum,


pasal 1365 KUH Perdata menentukan 4 syarat perbuatan melawan hukum yang sekaligus
merupakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Ke-4 unsur itu antara lain :
“ 

1. Adanya suatu pelanggaran hukum;


2. Adanya kesalahan;
3. Terjadinya kerugian;
4. Adanya hubungan kausalitas Moegni Djojodihardjo, Perbuatan Melawan Hukum,
cetakan I, tahun 1979, hal.22..”

Adapun unsur-unusr yang terdapat dalam pasal 1365 KUH Perdata tersebut, antara lain :

Ad .1.Adanya Suatu Pelanggaran Hukum


M.A. Moegni Djojodirjo, mengatakan  :MA. Moegni Djojodirjo, Loc.Cit.

Dengan meninjau perumusan luas dari onrechtmatigedaad maka daad atau Perbuatan
haruslah perbuatan melawan hukum apabila :

1. Pertentangan dengan hak orang lain,


2. Pertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri,
3. Pertentangan dengan kesusilaan,
4. Pertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat atau benda.

Yang dimaksud dengan bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan
hak subjektif orang lain yaitu kewenangan yang berasal dari kaedah hukum, hak-hak yang
penting diakui oleh yurisprudensi adalah hak-hak pribadi, seperti hak atas kebebasan,
kehormatan, nama baik dan kekayaan.

Menurut terminologi hukum dewasa ini, kewajiban hukum diartikan sebagai yang
didasarkan pada hukum, baik yang tertulis. Menurut rumusan perbuatan melawan hukum
diatas, yang dimaksud dengan kewajiban hukum adalah kewajiban menurut undang-
undang.

Termasuk dalam kategori ini adalah perbuatan pidana yaitu pencurian, penggelapan,
penipuan, dan pengrusakan. Bertentangan dengan kesusilaan sulit untuk memberikan
pengertian kesusilaan, walaupun demikian dapat dijelaskan sbagai norma-norma moral
sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai norma hukum.
Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam lalulintas masyarakat
terhadap diri atau barang orang lain. Itu berarti bahwa setiap manusia menginsafi bahwa ini
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat  dan karenanya dalam segala perbuatannya
harus memperhatikan segala kepentingan sesamanya, harus mempertimbangkan
kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain dengan mengikuti apa yang dianggap
masyarakat sebagai hal yang layak dan patut. Dapat dianggap bertentangan dengan
kepatutan berupa :

1. Perbuatan yang sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak.
2. Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain,
dimana menurut manusia yang normal hal tersebut harus diperhatikan.

Ad.2.Terdapat Kesalahan
Untuk dapat seseorang dipertanggungjawabkan atas perbuatan melawan hukum, pasal
1365 KUH Perdata mengisyaratkan adanya kesalahan.

Menurut R.Wirjono Prodjodikoro, bahwa :


“Bahwa pasal 1365 KUH Perdata tidak membedakan antara kesalahan dalam bentuk
kesengajaan (opzet dolus) dan kesalahan dalam bentuk kekurang  hati-hatian  (culpa).  Jadi
berbeda  dengan hukum  pidana yang membedakan antara kesengajaan dengan hukum
pidana yang membedakan antara kesengajaan dan kurang hati-hati” Ibid hal.24..

Oleh karena itu hakimlah yang harus menilai dan  mempertimbangkan berat ringannya
kesalahan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum itu sehingga ditentukan ganti
rugi yang seadil-adilnya.

Menurut Arrest Hogeraad tanggal 4 Februari 1926 jika orang yang dirugikan juga
mempunyai kesalahan atas timbulnya kerugian maka sebagian dari kerugian tersebut
dibebankan kepadanya. Kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan
sengaja. Seseorang yang menuntut ganti rugi kepada perusahaan kereta api, karena
ditabrak kereta api, dipersilangan rel dengan jalan usus, lantaran personil perusahaan, tidak
seluruhnya dikabulkan Hogeraad karena juga ada kesalahan yaitu bilamana cukup
waspada, maka akan dapat  melihat kereta api berjalan mendekatinya dan dapat
menghindarinya.

Dalam kasus yang lain Hogeraad berpendapat bahwa jika kerugian yang terjadi ialah karena
kesalahan yang dilakukan beberapa orang maka setiap orang bertanggungjawab atas
terjadinya kerugian tersebut dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian seluruhnya.

Seseorang tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum, bilamana


melakukan perbuatan itu karena keadaan terpaksa (overmacht), keadaan darurat
(noodweer).

Seseorang juga tidak dapat dipertangungjawabkan atas perbuatan melawan hukum karena
melakukan perintah jabatan dan salah sangka yang dapat dimaafkan. Tetapi yang
disebabkan karena perbuatan kesalahan atau kurang hati- hati maka bertanggung jawab
atas kerugian yang menjadi tanggungjawabnya, barang-barang yang berada di bawah
penguasaannya dan binatang-binatang miliknya.

Ad.3. Terjadi Kerugian


Kerugian   yang   disebabkan  karena   perbuatan   melawan   hukum dapat berupa:

a. Kerugian materil
Kerugian materil dapat berupa kerugian yang nyata diderita dari suatu perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya : kebakaran mobil penumpang
akibat perbuatan melawan hukum, mewajibkan si pembuat kerugian itu tidak hanya
membayar biaya perbaikan mobil  tersebut, akan tetapi juga bertanggungjawab untuk
mengganti penghasilan mobil penumpang itu yang akan diperoleh si pemilik sewaktu
memperbaiki mobil tersebut.

b. Kerugian immaterial
Yang termasuk dalam kerugian immaterial akibat perbuatan melawan hukum dapat
berupa :

1. Kerugian moral,
2. Kerugian ideal,
3. Kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang,
4. Kerugian non ekonomis.
Untuk menentukan besarnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan
dengan menilai kerugian tersebut. Karena itu pada asasnya yang dirugikan harus sedapat
mungkin ditempatkan dalam keadaan yang sesungguhnya jika tidak terjadi perbuatan
melawan hukum.

Ad.4.Adanya Hubungan Kausalitas


Untuk menentukan ganti rugi terhadap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum
selain harus ada kesalahan, disamping itu pula harus ada hubungan kausalitas antara
perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian tersebut.

Subjek Perbuatan Melawan Hukum

Dalam pergaulan masyarakat setiap ada perbuatan, baik perbuatan melawan hukum atau
perbuatan yang lain maka harus ada pelakunya.  Pelaku inilah yang melakukan perbuatan,
dan untuk menilai perbuatan ini baik atau salah maka diperlukan atau digunakan hukum
atau norma. Karena hukum tidak lain adalah peraturan yang mengatur tingkah laku anggota
masyarakat  dalam pergaulan sehari-hari. Anggota masyarakat inilah yang disebut dengan
subjek hukum, dimana subjek hukum itu adalah penanggung hak dan kewajiban. Karena
adanya hak dan kewajiban ini maka subjek hukum mampu mengadakan hubungan dan
perbuatan-perbuatan hukum.

Salah satu dari perbuatan hukum ini adalah perbuatan melawan hukum. Jadi yang
dimaksud dengan pelaku dalam perbuatan melawan hukum ialah angota masyarakat atau
orang dan badan hukum. Orang atau manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban
dalam lalulintas hukum, dapat melakukan hubungan dan perbuatan hukum, sehingga kalau
melakukan kesalahan maka padanya dapat dimintakan pertanggungan jawab atau
perbuatannya tersebut, tidak terkecuali perbuatan melawan hukum apapun yang
dibuatnya.

Perbuatan yang dipertanggungjawabkan kepadanya adalah karena perbuatan yang


melawan hukum yang dilakukannya yang mana perbuatan tersebut menimbulkan kerugian
pada orang lain, yang karena kesalahannya orang itu diwajibkan untuk mengganti kerugian
yang diderita orang lain tersebut. Hal ini sesuai dengan pasal 1365 KUH Perdata. Semua ini
tujuannya untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

Sebagai pendukung hak dan kewajiban, bukan saja manusiawi tapi badan hukum juga
termasuk didalamnya. Oleh karena badan hukum juga sebagai subjek hukum maka badan
hukum juga dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sehingga
padanya dapat juga dimintakan pertanggungjawaban.

Ali Rido, mengatakan :Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum,Perkumpulan
Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Alumni : Bandung, 1979), hal.66.

Pengertian badan hukum adalah merupakan kumpulan atau asosiasi yang terdiri dari lebih
satu orang dan menurut doktrin harus memenuhi syarat- syarat :

1. Adanya harta kekayaan yang terpisah;


2. Mempunyai tujuan tertentu;
3. Mempunyai kepentingan tersendiri;
4. Adanya organisasi yang teratur. Menurut.Wirjono Prodjodikoro : Ibid. 

“Pengertian badan hukum adalah badan disamping orang/manusia juga dianggap dapat
bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak dan kewajiban dalam perhubungan
hukum terhadap orang lain atau badan hukum, disertai syarat utama adanya harta yang
terpisah dari harta anggota” .

Di dalam pergaulan masyarakat maka badan hukum ini terdiri dari :

1. Badan hukum publik, misal : Negara, Propinsi, Kabupaten, dan sebagainya;


2. Badan hukum perdata, misal : Perseroan Terbatas, Yayasan, Firma, dan lain- lain.

Dalam pembahasan skripsi ini, hanya dibatasi pada badan hukum perdata, yang turut serta
dalam pergaulan hidup masyarakat. Misalnya : dapat melakukan jual beli, sewa-menyewa,
dan lain-lain.
Sebagai badan hukum, maka dapat dipertanggungjawabkan dalam perbuatan melawan
hukum yang merugikan orang lain. Dalam hubungan ini pertanggungjawaban dalam rangka
perbuatan melawan hukum ada 2 macam tanggungjawab, yaitu :

1. Tanggungjawab langsung
Yaitu tanggungjawab seseorang terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh orang itu
sendiri, berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata.
2. Tanggungjawab tidak langsung
Yaitu tanggungjawab seseorang terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain
dalam rangka melaksanakan tugas pekerjaannya, dan di bawah pengamanan orang
yang bertanggungjawab tadi (pasal 1367 KUH Perdata).\

Pasal 1367 KUH Perdata berbunyi :  Lihat Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan
mereka adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan
atau bawahan-bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini
dipakainya”.

Akibat Perbuatan Melawan Hukum

Di atas sudah diuraikan akibat umum dari suatu perbuatan melawan hukum, yaitu
kegoncangan dalam neraca keseimbangan dalam masyarakat, atau dengan kata lain dapat
dikatakan kekacauan. Kekacauan ini dapat mengenai berbagai hubungan hukum dalam
masyarakat. Hubungan hukum yang sering kali dilanggar dapat mengenai berbagai
kepentingan seseorang manusia, misalnya mengenai harta kekayaan. Pelanggaran
kepentingan ini tentunya secara langsung dirasakan oleh orang yang bersangkutan, yang
pada akhirnya menimbulkan kerugian, sehingga dapat dikatakan bahwa pelanggaran suatu
kepentingan anggota masyarakat bagaimanapun kecilnya tentu dapat membuat kekacauan
dalam hidup masyarakat, maka dapat dimengerti bahwa tiap perbuatan melawan hukum
mempunyai akibat terhadap kepentingan masyarakat seluruhnya.
Telah diuraikan pada bab sebelumnya, mengenai substansi perbuatan melawan   hukum,  
sehingga   dari   uraian   tersebut   timbul   suatu   pertanyaan, konsekuensi atau akibat apa
yang timbul terhadap seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum ?. Pasal 1365
KUH Perdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap perbuatan ataupun tindakan
yang melawan  hukum, yang berakibat timbulnya kerugian pada orang lain menimbulkan
kewajiban pada orang yang telah mengakibatkan kerugian untuk mengganti kerugian itu.

Sehingga secara prinsip, pelaku perbuatan melawan hukum yang telah melakukan
perbuatan yang melawan hukum baik itu sengaja atau tidak mengakibatkan yang
bersangkutan wajib menggantikan kerugian (moril maupun materiil) terhadap pihak-pihak
yang telah dirugikan, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata.

Faktor-faktor yang Menyebabkan Hilangnya Pertanggungjawaban


Perbuatan Melawan Hukum

Rasa keadilan pada masyarakat akan tercipta apabila tiap-tiap anggota masyarakat
bertindak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada di masyarakat. Setiap anggota
masyarakat harus menggunakan haknya sesuai dengan tujuannya.

Anggota masyarakat yang menggunakan haknya tidak sesuai dengan tujuannya (Misbruik
Van Recht) yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka padanya akan dimintakan
pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku.

Dalam praktek, hakim dalam menentukan apakah seorang telah melanggar kepantasan,
kesusilaan  di tengah-tengah  masyarakat  sering  menemui kesulitan karena perluasan
pengertian perbuatan melawan hukum, maka apabila seseorang melawan kesusilaan dan
kepantasan dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. Kalau hakim memenuhi
kesulitan dalam menentukan ini otomatis dalam menentukan ganti rugi hakim juga akan
menemukan kesulitan.

Walaupun ada pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum  namun ada juga hal-
hal yang melenyapkan sifat perbuatan melawan hukum dari suatu tuntutan, sehingga
kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Hal-hal yang dapat melenyapkan pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum
dibedakan dalam 2 golongan yaitu :

1. Yang berasal dari undang-undang,


2. Yang berasal dari hukum tidak tertulis

Yang berasal dari undang-undang.

a. Hak pribadi
Sifat melawan hukum lenyap bilamana seseorang dalam melakukan perbuatannya dapat
mendalilkan bahwa hak pribadi yang menjadi dasar perbuatannya. Contoh pasal 1354 KUH
Perdata dengan pasal 1358 KUH Perdata tentang zaakwarneming. Pada umumnya
seseorang tidak dapat membuat sesuatu perjanjian atas nama orang lain tanpa
sepengetahuannya, misalnya, menyewakan barang kepada orang lain atau pihak ketiga.
Kalau hal menyewakan barang tersebut, dinamakan perbuatan melawan hukum semacam
itu yaitu kalau pada suatu saat barang milik orang lain tidak terurus sama sekali dan si
pemilik tidak diketahui tempatnya, supaya barang itu  tidak terlantar seorang tadi
berinisiatif mengurus barang tersebut untuk kepentingan si pemilik barang, inilah yang
dimaksud dengan zaakwarneming, berdasarkan pasal 1357 KUH Perdata si pengurus
barang tersebut berhak memperjanjikan pada pihak ketiga yang mengikat si pemilik walau
tanpa kuasanya.

b. Pembelaan diri
Dalam hal ini harus ada seorang dari pihak lain baru bisa dilakukan pembelaan diri. Kalau
pada waktu pembelaan diri tergolong pada perbuatan melawan hukum, maka sifat
melawan hukumnya menjadi lenyap. Harus diperhatikan bahwa harus benar-benar ada
keadaan yang memerlukan seseorang untuk membela diri juga harus diperhatikan bahwa
pembelaan diri ini tidak berakibat serangan baru terhadap yang menyerang.
Contoh :
A berniat membunuh B yang sedang berjalan dengan memegang tongkat. Pada saat A
hendak menikam B, B memukul tangan A dengan tongkat sehingga pisau jatuh dari tangan
A. Walaupun perbuatan A adalah perbuatan melawan hukum, tapi ini adalah perbuatan
membela diri.
c. Keadaan memaksa (overmacht)
Menurut Subekti, bahwa : R.Subekti, , Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Intermasa : cetakan
XXIV),hal.150.

“Untuk dapat dikatakan keadaan memaksa (overmacht), keadaan itu diluar kekuasaan
manusia dan memaksa. Yang mana kerugian yang timbul akibat keadaan memaksa,
kerugian tersebut tidak dapat dipastikan terjadi sebelumnya karena keadaan itu di luar
kekuasaan manusia”.

Selanjutnya beliau mengatakan :Ibid. 

Keadaan memaksa ini terbagi 2 yaitu : 

1. Bersifat mutlak (absolut)


Dalam hal ini tidak mungkin lagi melaksanakan suatu perjanjian.  Jadi tidak mungkin
lagi untuk menuntut ganti rugi;
2. Bersifat relatif (tidak mutlak) 
yaitu berupa keadaan dimana perjanjian masih dapat dilaksanakan tetapi dengan
pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar dari  pihak yang melakukan
kesalahan.

d. Perintah Jabatan
Perintah jabatan adalah melaksanakan tugas pekerjaan berdasarkan perbuatan yang
berlaku dalam lingkungannya.

Yang Berasal dari hukum yang tidak tertulis

Hal yang melenyapkan sifat melanggar hukum yang tidak berasal dari undang-undang,
misalnya : wewenang untuk melanggar hak orang lain atas dasar persetujuan yang berhak.
Misalnya : A pemilik seekor anjing, ternyata kemudian menderita sakit gila. A meminta B
yang kebetulan memegang sebuah tongkat untuk memukul anjingnya tersebut. Atas
persetujuan A tersebut, B memukul anjing tadi.
Perbuatan Melawan Hukum dan
Wanprestasi sebagai Dasar
Gugatan
Bagi yang pernah kuliah di fakultas hukum, tentunya tidak asing dengan
putusan Arrest Hooge Raad tanggal 31 Januari 1919 pada perkara
Lindenbaum vs. Cohen. Tahukah Anda bahwa Arrest tersebut menjadi
salah satu isi pasal dalam BW yang mulai berlaku di Belanda pada 1992
yang merumuskan perbuatan melawan hukum. Kenapa gugatan
wanprestasi dan perbuatan melawan hukum sering dicampuradukan?
Leo/APr
Dibaca: 379592 Tanggapan: 2
Sekadar menyegarkan ingatan, perkara Lindenbaum vs. Cohen adalah suatu
tonggak penting yang memperluas pengertian perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perkara tersebut melibatkan dua kantor percetakan
yang saling bersaing, satu milik Lindenbaum dan satu lagi milik Cohen.
Suatu hari, pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum dibujuk oleh Cohen
agar memberitahukan nama-nama pelanggannya berikut penawaran yang
diberikan kepada mereka. Dengan data itu, Cohen bisa memanfaatkan data-
data tersebut untuk membuat suatu penawaran baru yang akan membuat
orang-orang akan memilih kantor percetakannya daripada kantor
Lindenbaum.
Untungnya, perbuatan Cohen cepat diketahui oleh Lindenbaum. Akibatnya,
Lindenbaum langsung mengajukan gugatan terhadap Cohen di muka
pengadilan Amsterdam. Selain mengajukan gugatan perbuatan melawan
hukum terhadap Cohen, Lindenbaum juga meminta ganti rugi atas perbuatan
Cohen tersebut.
Di tingkat pertama Cohen kalah, tetapi sebaliknya di tingkat banding justru
Lindenbaum yang kalah. Di tingkat banding, dikatakan bahwa tindakan Cohen
tidak dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum karena tidak dapat
ditunjukkan suatu pasal dari Undang-Undang yang telah dilanggar oleh
Cohen.
Perbuatan melawan hukum
Akhirnya melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung-nya Belanda)
tanggal 31 Januari 1919, Lindenbaum lah yang dinyatakan sebagai
pemenang. Hoge Raad menyatakan bahwa pengertian perbuatan melawan
hukum di pasal 1401 BW, termasuk pula suatu perbuatan yang melanggar
hak-hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
bertentangan dengan kesusilaan.
Sebelum adanya Arrest tersebut, pengertian perbuatan melawan hukum, yang
diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya
ditafsirkan secara sempit. Yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah
tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena
Undang-Undang (onwetmatig).
Orang tidak bisa mengajukan perbuatan melawan hukum dan meminta ganti
kerugian apabila tidak disebutkan secara jelas pasal berapa dan undang-
undang mana yang telah dilanggar.
Sebagai contoh, di kota Zutphen, Belanda, seorang pemilik rumah yang
tinggal di bagian bawah rumah bertingkat pernah mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum terhadap pemilik rumah yang tinggal di bagian
atas. Penyebabnya, barang-barang yang berada ruangan di bagian bawah
menjadi rusak karena pemilik rumah di bagian atas menolak untuk menutup
kerannya.
Akibat musim dingin, pipa saluran air di bagian bawah pecah, sehingga ketika
pemilik rumah yang di atas menyalakan keran, justru yang dibagian bawah
menjadi kebanjiran. Ketika itu, gugatan perbuatan melawan hukum tersebut
ditolak karena tiada pasal dari suatu Undang-Undang yang mengharuskan
pemilik rumah bagian atas untuk mematikan kerannya.
Yang pasti, KUHPerdata memang tidak mendefinisikan dan merumuskan
perbuatan melawan hukum. Perumusannya, diserahkan kepada doktrin dan
yurisprudensi. Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur barang siapa
melakukan perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian yang
ditimbulkannya.
Belanda yang telah memasukkan Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 menjadi
salah satu pasal dalam BW-nya. Perumusan dan batasan perbuatan melawan
hukum sudah sedemikian luas di 'negeri kincir angin' ini.
Wanprestasi
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk.
Wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan,
melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya,
melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pkar hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan
pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak
menurut selayaknya. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi
bisa menuntut  pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian, atau meminta
ganti kerugian pada debitur.
Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan,
kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut, serta bunga. Pengertian
bunga di sini adalah hilangnya keuntungan yang sudah diperkirakan atau
dibayangkan oleh kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi.
Kewajiban debitur untuk membayar ganti rugi tidak serta merta timbul pada
saat dirinya lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu yang
disampaikan oleh kreditur ke debitur (pasal 1238 jo Pasal 1243 KUHPerdata).
Untuk menghindari celah yang mungkin bisa dimanfaatkan debitur, ada
baiknya kreditur membuat secara tertulis pernyataan lalai tersebut atau bila
perlu melalui suatu peringatan resmi yang dibuat oleh juru sita pengadilan.
Perbedaan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi
Orang sering mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan gugatan
perbuatan melawan hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum. Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan,
sebenarnya lebih tepat kalau diajukan gugatan wanprestasi. Ini akan menjadi
celah yang akan dimanfaatkan tergugat dalam tangkisannya.
Membedakan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi sebenarnya
gampang-gampang susah. Sepintas lalu, kita bisa melihat persamaan dan
perbedaanya dengan gampang. Baik perbuatan melawan hukum dan
wanprestasi, sama-sama dapat diajukan tuntutan ganti rugi.
Sementara perbedaannya, seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia
melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain. Tiada
wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya.
Sedangkan seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum
apabila perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan
dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan.
Beberapa sarjana hukum bahkan berani menyamakan perbuatan melawan
hukum dengan wanprestasi dengan batasan-batasan tertentu. Asser Ruten,
sarjana hukum Belanda, berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang hakiki
antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Menurutnya, wanprestasi
bukan hanya pelanggaran atas hak orang lain, melainkan juga merupakan
gangguan terhadap hak kebendaan.
Senada dengan Rutten, Yahya Harahap berpandapat bahwa dengan tindakan
debitur dalam melaksanakan kewajibannya yang tidak tepat waktu atau tak
layak, jelas itu merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak
orang lain berarti merupakan perbuatan melawan hukum. Dikatakan pula,
wanprestasi adalah species, sedangkan genusnya adalah perbuatan melawan
hukum.
Selain itu, bisa saja perbuatan seseorang dikatakan wanprestasi sekaligus
perbuatan melawan hukum. Misalnya A yang sedang mengontrak rumah B,
tidak membayar uang sewa yang telah disepakati. Selain belum membayar
uang sewa, ternyata A juga merusak pintu rumah B
Namun apabila kita cermati lagi, ada suatu perbedaan hakiki antara sifat
perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Bahkan, Pitlo menegaskan
bahwa baik dilihat dari sejarahnya maupun dari sistematik undang-undang,
wanprestasi tidak dapat digolongkan pada pengertian perbuatan melawan
hukum.
M.A. Moegni Djojodirdjo dalam bukunya yang berjudul "Perbuatan Melawan
Hukum", berpendapat bahwa amat penting untuk mempertimbangkan apakah
seseorang akan mengajukan tuntutan ganti rugi karena wanprestasi atau
karena perbuatan melawan hukum.
Menurut Moegni, akan ada perbedaan dalam pembebanan pembuktian,
perhitungan kerugian, dan bentuk ganti ruginya antara tuntutan wanprestasi
dan perbuatan melawan hukum.
Dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat harus
membuktikan semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum selain harus
mampu membuktikan adanya kesalahan yang diperbuat debitur. Sedangkan
dalam gugatan wanprestasi, penggugat cukup menunjukkan adanya
wanprestasi atau adanya perjanjian yang dilanggar.
Kemudian dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat dapat
menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum).
Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan apabila gugatan yang diajukan
dasarnya adalah wanprestasi.
Masalah simpel
Setiawan, mantan hakim tinggi yang sekarang menjadi arbiter di BANI melihat
perbedaan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum sederhana
sekali. "Bedanya Undang-Undang dengan perjanjian apa sih? Undang-
Undang tertulis, perjanjian bisa tertulis bisa tidak tertulis. Cuma Undang-
Undang berlaku untuk umum, perjanjian berlaku untuk para pihak," ujarnya
kepadahukumonline.
Menurut Setiawan, kita berbicara perbuatan melawan hukum kalau melanggar
Undang-Undang yang berlaku untuk umum. Sedangkan kita berbicara
wanprestasi kalau kita berbicara tentang perjanjian yang berlaku untuk para
pihak. "Simpel sekali masalahnya," ungkapnya.
Setiawan berpendapat bahwa perbedaan wanprestasi dan perbuatan
melawan hukum yang terus dibesar-besarkan seakan-akan menjadi
perdebatan klasik yang tidak pernah usai. Hal ini sebenarnya tidak lebih dari
upaya salah satu pihak untuk menghindar memenuhi kewajibannya.
Setiawan mengemukakan bahwa sekarang ini orang lebih berprinsip kalau
bisa tidak bayar atau kalau bisa memperlambat, buat apa bayar sekarang.
"Sebenarnya hukum itu kaedahnya cuma dua: sopo sing salah kudu dihukum,
sopo sing ngutang kudu bayar (siapa yang salah harus dihukum, siapa yang
berhutang harus membayar, red), tidak ada lain. Pada akhirnya semua
bermuara ke sana," cetus Setiawan.
Dari uraian di atas, sebelum mengajukan gugatan, ada baiknya calon
penggugat mempertimbangkan terlebih dahulu apakah akan mengajukan
gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum terhadap lawannya.
Seandainya mengajukan gugatan wanprestasi, ia cukup menunjukkan
perjanjian yang dilanggar dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian
untuk menyatakan tidak terjadi wanprestasi.
Namun kalau akan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum,
penggugat harus siap-siap untuk membuktikan dan menunjukkan bahwa
bukan hanya ada suatu perbuatan melawan hukum, tetapi ada juga unsur
kesalahan (schuld) yang dilakukan oleh Tergugat.
Mengenai tuntutan ganti rugi yang diminta, untuk wanprestasi jumlahnya tentu
bisa diperkirakan karena ada dalam perjanjian. Sedangkan untuk perbuatan
melawan hukum, diserahkan kepada hakim untuk menilai besarnya ganti rugi.
Jadi, mau mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum?
 
TANGGAPAN
KEKUATAN DASAR HUKUM KUHPerdata
 - MEfendi Dumai
11.12.14 10:51
Dengan Hormat Gugatan perdata ada dua,yaitu : 1.GUGATAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM,berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata:Tiap perbuatan yang
bertentangan dengan orang lain yang timbul karena Undang Undang.Barang siapa
melakukan perbuatan melawan hukum,harus mengganti kerugian yang di timbulkannya.
2.GUGATAN WANPRESTASI,bedasarkan pasal 1243 KUHPerdata:Suatu gugatan yang
timbul karana tidak terlasananya suatu perjanjian sebagaimana mestinya,terlambat serta
melakukan sesuatu menurut perjanjian tidak boleh di lakukan.Pihak yang merasa
dirugikan karena terjadinya wanprestasi dapat menuntut pemenuhan,pembatalan,atau
meminta ganti kerugian kepada pihak yang telah inkar,lalai melaksanakan perjanjian.
Gugatan perdata dengan pasal pasal KUHPerdata di atas,dapat kami pelajari dan
mengerti,tapi alangkah baik KUHPerdata itu secara tegas di di jelaskan seperti
KUHPerdata.Kerena sering kali terjadi pemutaran balik pakta hukum,bahkan tanpa di
dasari oleh hukum dalam perkara perdata. Fakta hukum hukum yang menurut kami
telah melanggar KUHPerdata,yang terjadi di Pengadilan Negeri Dumai,Gugatan perdata
No.Reg:13/Pdt.G/2010/PN.Dum,GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM.
Pelanggaran yang kami maksud adalah sebagai berikut : A.Para penggugat:1.Yeni
Sumali. 2.Toton Sumali. 3.Djuarwin Netsen. 4.IR.Rusli Sumali menggugat perbuatan
melawan hukum berdasarkan Akta notaris,Pengikatan Untuk Jual Beli,antara lain:
(a).Akta no.10,pengikatan antara Yeni Sumali dengan Dohar. (b).Akta no.11,pengikatan
antara Toton Sumali dengan Dohar (c).Akta no.12,pengikatan antara Djurwin Netsen
dengan Dohar. (d).Akta no.13,pengikatan antara IR.Rusli Sumali dengan Dohar. B.Para
tergugat yaitu : 1.Marwal Efendi,tergugat I. 2.DOHAR,tergugat II. 3.Solai Guan,tergugat
III 4.Kian Ho,tergugat IV 5.Martias,tergugat V, 6.Abdul Halasan,turut tergugat VI
Pertannyaan : 1.Apa dasar hukumnya gugatan perbuatan melawan hukum yang
dilakukan para penggugat.... ? 2.Siapa saja yang dapat di tarik sebagai tergugat oleh
para penggugat berdasarkan Akta Notaris tersebut ? 3.Dapatkah Gugatan tersebut di
terima dan di putuskan oleh Majelis Hakim,yang menyatakan sah Akta notaris tersebut
sebagai bukti hak terhadap para hak milik dan bangunan di atasnya tergugat I,III,IV dan
V... ? Demikian Terima Kasih
Balas Tanggapan

surat kuasa yang dikhianati


 - firdaus setiawan
28.05.13 21:25
salam hormat, saya adalah seorang pelaksana kontraktor listrik, saya mendapat kuasa
dari sekdes yang diketahui oleh kepala desanya untuk mengajukan permohonan
pembangunan jaringan listrik dari PLN berikut pengurusan penyambungan
barunya.pengajuan yang dimaksud adalah biaya APBN yang turun sekali dalam
setahun. saya dapat surat kuasa tersebut dibulan maret 2012 dengan harapan project
turun di tahun 2013. sekitar bulan januari 2013 kepala desa yg lama digantikan oleh
kepala desa yg baru, dan kepala desa yg baru tersebut mengeluarkan surat kuasa baru
kepada kontraktor lain yaitu dibulan februari 2013,sedangkan kerja keras sy selama ini
mendaptkan hasil dibulan mei 2013 tetapi diambil oleh kontraktor yg baru karena
mendapat surat kuasa dari kepala desa yg baru.pertanyaan saya apakah tindakan
tersebut termasuk tindakan wanprestasi/melawan hukum dan siapakah yang bisa sy
tuntut atas kerugian sy selama ini. mohon dibantu penjelasannya, terimakasih

Perbedaan 'Turut Melakukan' dengan 'Membantu Melakukan'


Tindak Pidana
Apa perbedaan yang paling mendasar antara penyertaan dan pembantuan dalam tindak pidana?
Jawaban :
Mengenai penyertaan dan pembantuan dalam tindak pidana, kami berasumsi bahwa yang Anda
maksud adalah penyertaan sebagai turut melakukan dan pembantuan sebagai membantu
melakukan.
 
Ketentuan mengenai turut melakukan dan membantu melakukan dapat dilihat dalam Pasal 55 (turut
melakukan) dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) (membantu
melakukan):
 
Pasal 55 KUHP:
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau  turut melakukan
perbuatanitu;
2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau
pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi
kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk
melakukan sesuatu perbuatan.
(2) Tentang  orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh
dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk
oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.
 
Pasal 56 KUHP:
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
1.            Barangsiapa dengan sengaja  membantu melakukan kejahatan itu;
2.            Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau
keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
 
R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan mengenai apa yang dimaksud
dengan “orang yang turut melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo,
“turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua
orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger)
peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan
pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh
misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong,
sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum
sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP.
 
Sedangkan mengenai Pasal 56 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan”
jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya)
kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang
tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa
pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.
 
Dalam penjelasan Pasal 56 KUHP ini dikatakan bahwa elemen “sengaja” harus ada, sehingga orang
yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau
keterangan untuk melakukan kejahatan itu tidak dihukum. “Niat” untuk melakukan kejahatan itu harus
timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu. Jika niatnya
itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu bersalah berbuat “ membujuk
melakukan” (uitlokking).
 
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia (hal. 123), mengutip pendapat Hazewinkel-Suringa, Hoge Raad Belanda yang
mengemukakan dua syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu: Kesatu, kerja sama
yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di antara
mereka; Kedua, mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.
 
Lebih lanjut, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.(Ibid, hal. 126-127), sebagaimana kami sarikan,
menjelaskan mengenai perbedaan antara “turut melakukan” dan “membantu melakukan”.
Menurutnya, berdasarkan teori subjektivitas, ada 2 (dua) ukuran yang dipergunakan: Ukuran
kesatu adalah mengenaiwujud kesengajaan yang ada pada di pelaku, sedangkan ukuran
kedua adalah mengenai kepentingan dan tujuan dari pelaku.
 
Ukuran kesengajaan dapat berupa; (1) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar turut melakukan
tindak pidana, atau hanya untuk memberikan bantuan, atau (2) soal kehendak si pelaku untuk benar-
benar mencapai akibat yang merupakan unsur dari tindak pidana, atau hanya turut berbuat atau
membantu apabila pelaku utama menghendakinya.
 
Sedangkan, ukuran mengenai kepentingan atau tujuan yang sama yaitu apabila si pelaku ada
kepentingan sendiri atau tujuan sendiri, atau hanya membantu untuk memenuhi kepentingan atau
untuk mencapai tujuan dari pelaku utama.
 
Berdasarkan uraian di atas kiranya dapat kita simpulkan perbedaan mendasar dari “turut melakukan”
tindak pidana dengan “membantu melakukan” tindak pidana. Dalam “turut melakukan” ada kerja
sama yang disadari antara para pelaku dan mereka bersama-sama melaksanakan kehendak
tersebut, para pelaku memiliki tujuan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Sedangkan dalam
“membantu melakukan”, kehendak dari orang yang membantu melakukan hanyalah untuk membantu
pelaku utama mencapai tujuannya, tanpa memiliki tujuan sendiri.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Penyertaan ( deelneming ) terjadi apabila dalam suatu tindak pidana terlibat lebih
dari satu orang. Sehingga harus dicari pertanggung jawaban masing-masing orang
yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut[1]
1. Pelaku
Keterlibatan seseorang dalam suatu tindak pidana dapat dikategorikan sebagai:

1.       Yang melakukan

2.       Yang menyuruh melakukan

3.       Yang turut melakukan


4.       Yang menggerakkan/ menganjurkan untuk melakukan

5.       Yang membantu melakukan

Penyertaan diatur didalam pasal 55, 56, dan 57 KUHP.

Dalam pasal 55 KUHP bahwa klasifikasi pelaku adalah :

1.       Mereka yang melakukan

Yaitu pelaku tindak pidana yang pada hakekatnya memenuhi semua unsur dari
tindak pidana. Dalam arti sempit, pelaku adalah mereka yang melakukan tindak
pidana. Sedangkan dalam arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku diatas yaitu
mereka yang melakukan perbuatan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka
yang turut serta melakukan dan melereka yagn menganjurkan.

2.       Mereka yang menyuruh melakukan

Yaitu seseorang ingin melakukan suatu tundak pidana, akan tetapi ia tidak
melaksanakannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. dalam
penyertaan ini orang yang disuruh tidak akan dipidana, sedang orang yang
menyuruhnya dianggap sebagai pelakunya. Dialah yang bertanggungjawab atas
peristiwa pidana karena suruhannyalah terjadi suatu tindak pidana.

3.       Mereka yang turut serta

Yaitu mereka yang ikut serta dalam suatu tindak pidana. Terdapat syarat dalam
bentuk mereka yang turut serta, antara lain:

a.       Adanya kerjasama secara sadar dari setiap peserta tanpa perlu ada
kesepakatan, tapi harus ada kesengajaan untuk mencapai hasil berupa tindak
pidana.

b.      Ada kerja sama pelaksanaan secara fisik untuk melakukan tindak pidana.

Setiap peserta pada turut melakukann diancam dengan pidana yang sama.

4.       Mereka yang menggerakkan/ menganjurkan/ membujuk

Yaitu seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana, tetapi
tidak melakukannya sendiri, melainkan menggerakkan orang lain untuk
melaksanakan niatnya itu.

Syarat-syarat penggerakkan yang dapat dipidana:

a.       Ada kesngajaan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana.
b.      Menggerakkan dengan upaya-upaya yang ada dalam pasal 55 ayat (1) butir ke-2
KUHP : pemberian, janji, penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh kekerasan,
ancaman kekerasan, tipu daya, memberi kesempatan, alat, keterangan.

c.       Ada yang tergerak untuk melakukan tindak pidana akibat sengaja digerakkan
dengan upaya-upaya dalam pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP.

d.      Yang digerakkan melakukan delik yang dianjurkan atau percobaannya

e.      Yang digerakkan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana

Klasifikasi menurut pasal 56 dan 57 KUHP yaitu membantu melakukan yaitu dengan
adanya pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang didalam suatu tindak pidana.
Ada orang yang melakukan yaitu pelaku tindak pidana dan ada orang lain yang
membantu terlaksananya tindak pidana itu.

1. Pembantuan
Dalam pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang di dalam suatu tindak pidana.
Ada orang yang melakukan tindak pidana yakni pelaku tindak pidana itu dan ada
orang lain yang lagi membantu terlaksananya tindak pidan itu. Hal ini diatur dalam
pasal 56 KUHP, yang menyebutkan:

Dipidana sebagai pembantu kejahatan kejahatan:

(1)    Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan yang
dilakukan.

(2)    Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.

Dalam hal membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana. Hal ini dipertegas
dalam pasal 60 KUHP. Membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana karena
dianggap demikan kecil kepentingan hukum yang dilanggar.

Melihat pasal 56 diatas, pembantuan dapat dibedakan berdasarkan waktu


diberikannya suatu bantuan terhadap kejahatan, antara lain:

1.       Apabila bantuan diberikan pada saat kejahatan dilakukan, tidak dibatasi jenis
bantuannya. Berarti jenis bantuan apapun yang diberikan oleh orang yang
membantu dalam suatu kejahatan dapat dipidana.

2.       Apabila bantuan diberikan sebelum kejjahatan dilakukan, jenis bantuan


dibatasi yaitu kesempatan, sarana, dan keterangan.

Tentang pertanggungjawaban pembantu termasuk ancaman pidananya termuat


dalam pasal 57 KUHP yang berbunyi:
(1)    Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi
sepertiga.

(2)    Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(3)    Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.

(4)    Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkna hanya


perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-
akibatnya.

Pertanggungjawaban pembantu dibatasi hanya terhadap tindak pidana yang


dibantunya saja. Apabila dalam suatu peristiwa ternyata terjadi tindak pidana yang
berlebih, maka tindak pidana yang lebih tersebut bukan merupakan tanggung jawab
pembantu. Kecuali tindak pidana yang timbul tersebut merupakan akibat logis dari
perbuatan yang dibantunya.

Perbedaan antara pembantuan dan turut serta, terdapat tiga teori, antara lain:

1.       Teori Obyektif (de obyectieve deelnenings theorie)


Untuk membedakan antara turut serta dengan pembantuan dilihat dari sifat
perbuatan yang merupakan obyek tindak pidana. Apabila seseorang melakukan
perbuatan yang menurut sifatnya adalah merupakan perbuatan yang dilarang
undang-undang, maka orang tersebut melakukan dalam bentuk “turut serta”.
Sedangkan apabila orang tersebut perbuatannya tidak bersifat tindak pidana, dia
dianggap melakukan “pembantuan”.

2.       Teori Subyektif (de subyectieve deelnemings theorie)


Dasar teori ini adalah  niat dari para peserta dalam suatu penyertaan. Di dalam
“turut serta” pelaku memang mempunyai kehendak terhadap terjadinya tindak
pidana. Sedangkan dalam “pembantuan” kehendak ditujukan kearah “memberi
bantuan” kepada orang yang melakukan tindak pidana.

Disamping perbedaan kehendak, dalam “turut serta” pelaku mempunyai tujuan yang
berdiri sendiri. Apakah ia dibantu atau tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan
tindak pidana. Sedangkan dalam “pembantuan” tidak mempunyai tujuan yang
berdiri sendiri. Artinya tujuan disandarkan kepada tujuan sipelaku utama. Artinya
“pembantu” hanya memberikan bantuan apabila ia mengetahui ada orang lain yang
akan melakukan tindak pidana.

Dalam hal kepentingan, peserta dalam “turut serta” mempunyai kepentingan dalam
tindak pidana, sedangkan “pembantuan” kepentingannya tidak langsung terhadap
terjadinya tindak pidana itu, tetapi terbatas atas bantuan yang diberikan.

3.       Teori Gabungan (verenigings theorie)


Artinya dalam hal penerapan delik digunakan teori obyektif. Karena delik formil
melarang perbuatan seseorang. Sehingga tepat apabila digunakan teori obyektif.
Dalam delik materil digunakan teori subyektif. Karena lebih melihat akibat yang
dilarang undang-undang. Dengan digunakannya teori subyektif dapat dilihat
kehendak, tujuan serta kepentingan masing-masing peserta.

Dalam membedakan antara “turut serta” dengan “pembantuan” di dalam praktek


sering dilihat apakah seseorang memenuhi syarat dari bentuk “turut serta” yakni
terdapat kesadaran kerja sama dan kerja sama itu secara fisik. Apabila memang
memenuhi syarat tersebut  maka peserta itu diklasifikasikan sebagai “turut serta”.
Sedangkan apabila tidak memenuhi syarat diatas, peserta diklasifikasikan sebagai
“pembantuan”.

Perbedaan antara “pembantuan” dengan “menggerakkan”, dapat dibedakan melalui


kehendak dari pelaku. Dalam bentuk “penggerakkan” kehendak untuk  melakukan
tindak pidana baru timbul setelah ada daya upaya dari orang yang menggerakkan.
Jadi dimulai oleh penggerak dengan memberi daya upaya, barulah orang yang dapat
digerakkan mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana. Dalam hal
“pembantuan”, dimana dari semula dalam diri pelaku sudah ada kehendak untuk
melakukan tindak pidana. Pembantuan baru kemudian diberikan yang dapat berupa
sarana, kesempatan dan keterangan.

Pembantuan pasif (passieve medeplichttigheid) bahwa terjadinya delik disebabkan


atas kewajiabn yang terdapat dalm peristiwa tersebut. Artinya orang yang dianggap
membantu terdapat kewajiban, dan kewajiban itu diabaikannya sehingga timbul
tindak pidana. Terdapat pula pembantuan pasif yang dianggap sebagai delik yang
berdiri sendiri, misalnya terdapat dalam pasal 110 ayat (2) KUHP yang menyatakan
“pidana yang sama dijatuhkan terhadap orang yang dengan maksud hendak
menyediakan atau memudahkan salah satu kejahatan yang disebut dalam pasal 104,
106, dan 108,…. dst”. Dengan mempermudah terjadinya tindak pidana yang
disebutkan diatas, berarti telah dianggap membantu meskipun secara pasif. Dan
menurut pasal 110 KUHP diatas dianggap sebagai delik yang berdiri sendiri dan
diancam dengan pelaku pokoknya.
Saksi mahkota juga erat kaitannya dengan penyertaan. Hal ini disebabkan “saksi
mahkota” adalah kesaksian seseorang yang sama-sama terdakwa. Dengan kata lain,
saksi mahkota terjadi apabila terdapat beberapa orang terdakwa dalam suatu
peristiwa tindak pidana. Dimana terdakwa akan menjafi saksi terhadap teman
pesertanya, sebalikanya, gilirannya terdakwa yang alin menjadi saksi untuk teman
peserta lainnya.

[1] Prof.DR.H.Loebby Loqman,S.H., Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak


Pidana, (Jakarta : Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan, 1995), hal. 59.

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM


HUKUM PERDATA
Filed under: Uncategorized — 1 Comment
4 August 2010
Dalam kehidupannya, manusia memiliki hak dan kewajiban yang saling berhubungan dan bahkan
saling berbenturan. Adanya perbedaan keinginan dan kebutuhan menciptakan perbedaan pula
dalam hal hak dan kewajiban. Akibatnya terjadilah benturan-benturan kepentingan yang dapat
menguntungkan maupun yang dapa merugikan. Dalam hal ini setiap manusia, sebagai makhluk
sosial yang berakal budi, tentunya harus saling menghargai hak dan kewajiban setiap individu.
Dan untuk mempertegas dan memperjelas hal itu, terciptalah berbagai aturan, baik tertulis
maupun tidak tertulis, yang disepakati untuk ditaati bersama demi kelancaran dan kenyamanan
kehidupan umat manusia. Namun hal ini tidaklah semudah yang dibayangkan, karena dalam
praktek kehidupan sehari-hari, ada ketidakmampuan dan atau kesengajaan untuk melanggar
aturan yang telah disepakati tersebut. Maka terciptalah kekacauan, keadaan yang tidak
menyenangkan, keadaan yang mengakibatkan ketimpangan pemenuhan hak dan kewajiban dan
lain sebagainya. Dalam keadaan seperti ini terjadilah desakan kekuatan aturan yang ada yang
berupa sanksi-sanksi atas mereka yang tidak mampu memenuhi dan atau sengaja melanggar
aturan-peraturan yang ada. Artinya, disinilah berperan hukum dan perangkat-perangkat yang
ada.
Dalam makalah ini, pemakalah akan khusus menyoroti tentang perbuatan melawan hukum
( onrechtnatigedaad  )  dalam hukum perdata. Terjadinya perbuatan melawan hukum
menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu sehingga muncul gugatan-gugatan dari para
pihak yang dirugikan ataupun merasa dirugikan ini.
Secara doktrinal menurut hukum yang hidup dan berkembang di Indonesia, gugatan perdata
dibedakan dalam dua jenis, yaitu: gugatan wanprestasi dan gugatan melawan hukum. Adapun
landansan hukum masing-masing kedua gugatan tersebut didasarkan pada ketentuan Buku III
Pasal 1243 KUHPerdata untuk wanprestasi dan Pasal 1365 KUHPerdata  untuk gugatan perbuatan
melawan hukum. Oleh karena itu, pengajuan gugatan wanprestasi maupun perbuatan melawan
hukum pada prakteknya selalu terpisah, kecuali jika dasar antara wanprestasi dengan perbuatan
melawan hukumnya mempunyai relevansi yang sangat erat, maka dalam keadaan yang demikian
masih diperkenankan dilakukan penggabungan gugatan antara wanprestasi dan perbuatan
melawan hukum, tetapi sifatnya tentu saja sangat insidentil tergantung pada pertimbangan
hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara.
Sebenarnya secara normatif yuridis, KUHPerdata tidak menjelaskan secara gamblang apa yang
dimaksud dengan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, namun demikian dalam
KUHPerdata terdapat pasal-pasal yang secara limitatif mengatur akibat-akibat yuridis dalam hal
terjadinya perbuatan wanprestasi dan atau perbuatan melawan hukum. Pengertian wanprestasi
dan perbuatan melawan hukum berkembang melalui teori dan ajaran hukum dengan pemahaman
yang dijelaskan oleh ahli-ahli hukum. Pengertian ini harus benar-benar dipahami secara materil
demi terciptanya praktek peradilan yang baik karena seringkali, karena luasnya pemahaman akan
pengertian wanprestasi dan perbuatan melawan hukum ini, mengakibatkan hakim yang memutus
perkara menolak atau tidak menerima suatu gugatan jika dasar hukum gugatan dianggap secara
mendasar mengandung kekaburan (obscuur) atau kekeliruan.
Pengertian perbuatan melanggau hukum menurut pendapat ahli berbeda-beda, namun secara
umum masing-masing memberikan gambaran karakteristik sifat melawan hukum itu sendiri.
Jika menurut pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum
adalah suatu perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang karena
kesalahannya sehingga menimbulkan akibat yang merugikan pihak lain.
Ada juga yang mengartikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu kumpulan dari prinsip-
prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur prilaku berbahaya, untuk
memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk
menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.
Beberapa defenisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum adalah
sebagai berikut:
1. tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajiban sendiri selain dari kewajiban kotraktual
atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk mengganti rugi.
2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian
bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, kewajiban mana ditujukan
terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat
diminta suatu ganti rugi.
3. Tidak memenuihi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana
ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan tidak memenuhi kewajibannya
tersebut dapat diminta suatu ganti rugi.
4. Suatu kesalahan perdata terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntuk yang bukan
merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi atas kewajiban trust, ataupun
wanprestasi terhadap kewajiban   equitylainnya.
5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih
tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang  yang diciptakan oleh
hukum yang tidak tertib dari hubungan kontraktual.
6. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum
melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti rugi dapat
dituntut oleh pihak yang dirugikan.
1. Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum
Adapun yang menjadi titik tolak untuk membedakan gugatan wanprestasi dan gugatan
perbuatan melawan hukum lajimnya adalah bahwa gugatan wanprestasi selalu bersandar pada
adanya suatu hubunangan keperdataan (contractual) antara pihak, sehingga melahirkan hak dan
kewajiban hukum. Hak dan kewajiban disini dimanifestasikan dengan apa yang disebut sebagai
prestasi. Pada saat prestasi tidak dipenuhi atau dilaksanakan sesuai dengan isi perjanjian para
pihak, maka lahirlah apa yang kita namakan wanprestasi atau bisa disebutkan sebagai cidera
janji.
Sedangkan perbuatan melawan hukum titik tolak dasar gugatannya adalah kepentingan pihak
tertentu yang sirugikan oleh perbuatan pihak lainnya, meskipun diantara para pihak tidak
terdapat suatu hubungan hukum keperdataaan yang bersifat kontraktual (dalam arti kausalitas).
Dalam hal ini landasan gugatannya cukup dibuktikan apakah perbuatan pelaku benar telah
merugikan pihak lain. Dengan kata lain, pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum semata-
mata hanya terorientasi pada akibat yang ditimbulkan yang mengakibatkan pihak lain mengalami
kerugian.
PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN ASPEK-ASPEKNYA
1. A. Pertanggung-Jawaban Dalam Perbuatan Melawan Hukum
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan : “ Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan ketentuan pasal 1366 KUHPerdata menyatakan : “
setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang
hati-hatinya”.
Ketentuan pasal 1365tersebut di atas mengatur pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh
adanya perbuatan melawan hukum baik karena berbuat (positip= culpa in commitendo) atau
karena tidak berbuat (pasif=culpa in ommitendo). Sedangkan pasal 1366 KUHPerdata lebih
mengarah pada tuntutan pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena
kelalaian (onrechtmatigenalaten).
1. B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, maka harus
memenuhi unsur-unsur perbuatan sebagai berikut:
1. Adanya suatu perbuatan. Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan
dari si pelakunya. Perbuatan disini meliputi perbuatan aktif (berbuat sesuatu) maupun pasif
(tidak berbuat sesuatu), padahal secara hukum orang tersebut diwajibkan untuk patuh terhadap
perintah undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan ( public order and morals).
2. Perbuatan tersebut melawan hukum. Manakala pelaku tidak melaksanakan apa yang
diwajibkan oleh undang-undang, ketertiban umum dan atau kesusilaan, maka perbuatan pelaku
dalam hal ini dianggap telah melanggar hukum, sehingga mempunyai konsekwensi tersendiri
yang dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan.
3. Adanya kerugian bagi korban. Yang dimaksud dengan kerugian, terdiri dari kerugian
materil dan kerugian immateril. Akibat suatu perbuatan melawan hukum harus timbul adanya
kerugian di pihak korban, sehingga membuktikan adanya suatu perbuatan yang melanggar
hukum secara luas.
4. Adanya  hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Hubungan kausal
merupakan salah satu ciri pokok dari adanya suatu perbuatan melawan hukum. Perbuatan
melawan hukum dalam hal ini harus dilihat secara materiil. Dikatakan materiil karena sifat
perbuatan melawan hukum dalam hal ini haru dilihat sebagai suatu kesatuan tentang akbat yang
ditimbulkan olehnya terhadap diri pihak korban. Untuk hubungan sebab akibat ada2 (dua)
macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat
(causation in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual telah terjadi.
Sedangkan teori penyebab kira-kira adalah lebih menekankan pada apa yang menyebabkan
timbulnya kerugian terhadap korban, apakah perbuatan pelaku atau perbuatan lain yang justru
bukan dikarenakan bukan suatu perbuatan melawan hukum. Namun dengan adanya suatu
kerugian, maka yang perlu dibuktikan adalah hubungan antara perbuatan melawan hukum
dengan kerugian yang ditimbulkan.
1.
1. Kosekwensi Yuridis Dalam Hal Timbulnya Perbuatan Melawan Hukum
Akibat perbuatan melawan hukum diatur pada Pasal  1365 sampai denan 1367 KUHPerdata
sebagai berikut:
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata dikutip bunyinya:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian”.
Sedangkan Pasal 1366 KUHPerdata, menyebutkan:
“Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang diesbabkan karena kelalaian atau kurang hati-
hatinya”.
Lebih lanjut, Pasal 1367 KUHPerdata, menyebutkan:
“ Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah
pengawasannya … dst”.
Berdasarkan kutipan pasal tersebut di atas, secara umum memberikan gambaran mengenai
batasan ruang lingkup akibat dari suatu perbuatan melawan hukum. Akibat perbuatan melawan
hukum secara yuridis mempunyai konsekwensi terhadap pelaku maupun orang-orang yang
mempunyai hubungan hukum dalam bentuk pekerjaan yang menyebabkan timbulnya perbuatan
melawan hukum. Jadi, akibat yang timbul dari suatu perbuatan melawan hukum akan diwujudkan
dalam bentuk ganti kerugian terehadap korban yang mengalami.
Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum, sebagaimana telah
disinggung diatas, dapat berupa penggantian kerugian materiil dan immateriil. Lajimnya, dalam
praktek penggantian kerugian dihitung dengan uang , atau disetarakan dengan uang disamping
adanya tuntutan penggantian benda atau barang-barang yang dianggap telah mengalami
kerusakan/perampasan sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum pelaku.
Jika mencermati perumusan ketentuan pasla 1365 KUHPerdata, secara limitatif menganut asas
hukum bahwa penggantian kerugian dalam hal terjadinya suatu perbuatan melawan hukum
bersifat wajib. Bahkan, dalam berbagai kasus yang mengemuka di pengadilan, hakim seringkali
secara ex-officio menetapkan penggantian kerugian meskipun pihak korban tidak menuntut
kerugian yang dimaksudkan.
Secara teoritis penggantian kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum
diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu : kerugian yang bersifat actual (actual loss) dan
kerugian yang akan datang. Dikatakan kerugian yang bersifat actual adalah kerugian yang
mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil dan immateriil. Kerugian ini
didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum
dari pelaku. Sedangkan kerugian yang bersifat dimasa mendatang adalah kerugian-kerugian
yang dapat diperkirakan akan timbul dimasa mendatang akibat adanya perbuatan melawan
hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini seperti pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui
pengumuman di media cetak dan atau elektronik terhadap pelaku. Ganti kerugian dimasa
mendatang ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya dapat dibayangkan dimasa
mendatang dan akan terjadi secara nyata.

TANGGUNG JAWAB HUKUM DAN ETIK (ANTARA LAIN PASAL 1365,1366,1367)


RAHASIA KEDOKTERAN
PENGERTIAN
·         Tanggung jawab menurut KBBI adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya
(kalau terjadi apa-apa boleh dipersalahkan, dituntut dan diperkarakan)
Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk
mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan.
Etik menurut KBBI adalah Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak di mana
Nilai tersebut mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
 
BUNYI PASAL 1365,1366,1367 KUHP
·         Pasal 1365KUHPerdata
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut
Pasal 1366 KUHPerdata
setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-
hatinya.
Pasal 1367 KUHPerdata
Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah pengawasannya dst.
 
PERBUATAN MELANGGAR HUKUM
Beberapa defenisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum adalah
sebagai berikut:
tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajiban sendiri selain dari kewajiban kotraktual atau
kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk mengganti rugi.
Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang
lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap
orang pada umumnya dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat diminta suatu
ganti rugi.
Tidak memenuihi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan
terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat
diminta suatu ganti rugi.
Suatu kesalahan perdata terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntuk yang bukan
merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi atas kewajiban trust, ataupun
wanprestasi terhadap kewajiban equitylainnya.
Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih tepatnya,
merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang  yang diciptakan oleh hukum yang
tidak tertib dari hubungan kontraktual.
Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum
melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti rugi dapat
dituntut oleh pihak yang dirugikan.
 
UNSUR-UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, maka
harus memenuhi unsur-unsur perbuatan sebagai berikut:
Adanya suatu perbuatan. Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si
pelakunya. Perbuatan disini meliputi perbuatan aktif (berbuat sesuatu) maupun pasif (tidak
berbuat sesuatu), padahal secara hukum orang tersebut diwajibkan untuk patuh terhadap
perintah undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (public order and morals).
Perbuatan tersebut melawan hukum. Manakala pelaku tidak melaksanakan apa yang diwajibkan
oleh undang-undang, ketertiban umum dan atau kesusilaan, maka perbuatan pelaku dalam hal
ini dianggap telah melanggar hukum, sehingga mempunyai konsekwensi tersendiri yang dapat
dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan.
Adanya kerugian bagi korban. Yang dimaksud dengan kerugian, terdiri dari kerugian materil dan
kerugian immateril. Akibat suatu perbuatan melawan hukum harus timbul adanya kerugian di
pihak korban, sehingga membuktikan adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum secara
luas.
Adanya  hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Hubungan kausal merupakan
salah satu ciri pokok dari adanya suatu perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum
dalam hal ini harus dilihat secara materiil. Dikatakan materiil karena sifat perbuatan melawan
hukum dalam hal ini haru dilihat sebagai suatu kesatuan tentang akbat yang ditimbulkan olehnya
terhadap diri pihak korban. Untuk hubungan sebab akibat ada2 (dua) macam teori, yaitu teori
hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat (causation in fact)
hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual telah terjadi. Sedangkan teori
penyebab kira-kira adalah lebih menekankan pada apa yang menyebabkan timbulnya kerugian
terhadap korban, apakah perbuatan pelaku atau perbuatan lain yang justru bukan dikarenakan
bukan suatu perbuatan melawan hukum. Namun dengan adanya suatu kerugian, maka yang
perlu dibuktikan adalah hubungan antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang
ditimbulkan.
PENGGANTIAN KERUGIAN
Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum, sebagaimana
telah disinggung diatas, dapat berupa penggantian kerugian materiil dan immateriil. Lajimnya,
dalam praktek penggantian kerugian dihitung dengan uang , atau disetarakan dengan uang
disamping adanya tuntutan penggantian benda atau barang-barang yang dianggap telah
mengalami kerusakan/perampasan sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum pelaku.
Secara teoritis penggantian kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum
diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu : kerugian yang bersifat actual (actual loss) dan
kerugian yang akan datang. Dikatakan kerugian yang bersifat actual adalah kerugian yang
mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil dan immateriil. Kerugian ini
didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum
dari pelaku. Sedangkan kerugian yang bersifat dimasa mendatang adalah kerugian-kerugian
yang dapat diperkirakan akan timbul dimasa mendatang akibat adanya perbuatan melawan
hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini seperti pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui
pengumuman di media cetak dan atau elektronik terhadap pelaku. Ganti kerugian dimasa
mendatang ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya dapat dibayangkan
dimasa mendatang dan akan terjadi secara nyata.
 
RAHASIA KEDOKTERAN
Lafal sumpah dokter:
”Demi Allah saya bersumpah,bahwa saya akan merahasikan segala sesuatu yang saya ketahui
karena perkerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter”.  
Kodeki pasal 13:
”Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita,
bahkan setelah penderita itu meninggal dunia”.
Pada Lembaran Negara No. 21 th.1966:
Pasal 1 “Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh
orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam
lapangan kedokteran”  
Pasal 2 “Pengetahuan tersebut dalam pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang
tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi
daripada Peraturan-Peraturan ini menentukan lain”  
Pasal 3 “Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
● Dokter/Dokter ahli
● Mahasiswa Kedokteran
● Perawat/Bidan
● Petugas Administrasi Kedokteran Forensik/kamar  jenazah”  
Walaupun demikain, rahasia kedokteran dapat dibuka pada keadaan:
1. Terpaksaan
Dasar : KUHP pasal 48:
“Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.
2. Ada undang-undang yang mengatur
Dasar : KUHP pasal 50:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak
dipidana”.
3. Atas permintaan atasan dokter yang memeriksa
Dasar : KUHP pasal 51:
1. Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
2. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang
diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah yang diberikan dengan wewenang dan
pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
 
TANGGUNG JAWAB DOKTER TERHADAP PASIEN
1.      Tanggung Jawab Etik
    Peraturan yang mengatur tanggung jawab etik dari seorang dokter adalah Kode Etik
Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode etik adalah pedoman perilaku. Kode Etik
Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan no. 434 /
Men.Kes/SK/X/1983. Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan mempertimbangkan
International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil
Undang-undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar
manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya,
kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.
    Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan
pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus
pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebaliknya
pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran. Berikut diajukan
beberapa contohnya:
Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan
dokter gigi.
Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.
Memuji diri sendiri di depan pasien.
Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran  yang berkesinambungan.
Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
2.      Tanggung Jawab Hukum
     Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu “keterikatan” dokter terhadap ketentuan-
ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. 
Tanggung jawab seorang dokter dalam bidang hukum terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu13 :
Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum perdata
Tanggung Jawab Hukum Perdata Karena Wanprestasi
       Pengertian wanprestasi ialah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi
kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak.
      Pada dasarnya pertanggungjawaban perdata itu bertujuan untuk memperoleh ganti rugi atas
kerugian yang diderita oleh pasien akibat adanya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum
dari tindakan dokter.
      Menurut ilmu hukum perdata, seseorang dapat dianggap melakukan wanprestasi apabila :
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, melakukan apa yang dijanjikan tetapi
terlambat dan melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan serta
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
      Sehubungan dengan masalah ini, maka wanprestasi yang dimaksudkan dalam tanggung
jawab perdata seorang dokter adalah tidak memenuhi syarat-syarat yang tertera dalam suatu
perjanjian yang telah dia adakan dengan pasiennya.
      Gugatan untuk membayar ganti rugi atas dasar persetujuan atau perjanjian yang terjadi
hanya dapat dilakukan bila memang ada perjanjian dokter dengan pasien. Perjanjian tersebut
dapat digolongkan sebagai persetujuan untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Perjanjian itu
terjadi bila pasien memanggil dokter atau pergi ke dokter, dan dokter memenuhi permintaan
pasien untuk mengobatinya. Dalam hal ini pasien akan membayar sejumlah honorarium.
Sedangkan dokter sebenarnya harus melakukan prestasi menyembuhkan pasien dari
penyakitnya. Tetapi penyembuhan itu tidak pasti selalu dapat dilakukan sehingga seorang dokter
hanya mengikatkan dirinya untuk memberikan bantuan sedapat-dapatnya, sesuai dengan ilmu
dan ketrampilan yang dikuasainya. Artinya, dia berjanji akan berdaya upaya sekuat-kuatnya
untuk menyembuhkan pasien.
      Dalam gugatan atas dasar wanprestasi ini, harus dibuktikan bahwa dokter itu benar-benar
telah mengadakan perjanjian, kemudian dia telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian
tersebut (yang tentu saja dalam hal ini senantiasa harus didasarkan pada kesalahan profesi).
Jadi di sini pasien harus mempunyai bukti-bukti kerugian akibat tidak dipenuhinya kewajiban
dokter sesuai dengan standar profesi medis yang berlaku dalam suatu kontrak terapeutik. Tetapi
dalam prakteknya tidak mudah untuk melaksanakannya, karena pasien juga tidak mempunyai
cukup informasi dari dokter mengenai tindakan-tindakan apa saja yang merupakan kewajiban
dokter dalam suatu kontrak terapeutik. Hal ini yang sangat sulit dalam pembuktiannya karena
mengingat perikatan antara dokter dan pasien adalah bersifat inspaningsverbintenis. 
Tanggung Jawab Perdata Dokter Karena Perbuatan Melanggar Hukum (onrechtmatige daad)
     Tanggung jawab karena kesalahan merupakan  bentuk klasik pertanggungjawaban perdata.
Berdasar tiga prinsip yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yaitu sebagai berikut :
Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
     Pasien dapat menggugat seorang dokter oleh karena dokter tersebut telah melakukan
perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang diatur di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut”.
     Undang-undang sama sekali tidak memberikan batasan tentang perbuatan melawan hukum,
yang harus ditafsirkan oleh peradilan. Semula dimaksudkan segala sesuatu yang bertentangan
dengan undang-undang, jadi suatu perbuatan melawan undang-undang. Akan tetapi sejak tahun
1919 yurisprudensi tetap telah memberikan pengertian yaitu setiap tindakan atau kelalaian baik
yang : (1) Melanggar hak orang lain (2) Bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri (3)
Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik) (4) Tidak sesuai
dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang seorang
dalam pergaulan hidup.
      Seorang dokter dapat dinyatakan melakukan kesalahan. Untuk menentukan seorang pelaku
perbuatan melanggar hukum harus membayar ganti rugi, haruslah terdapat hubungan erat
antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan.
Berdasarkan Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
     Seorang dokter selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan melanggar hukum seperti
tersebut di atas, dapat pula dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan kerugian. Gugatan
atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
bunyinya sebagai berikut : “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian
atau kurang hati-hatinya”.
Berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
     Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang
ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan
orang lain yang berada di bawah pengawasannya. (Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata).
     Dengan demikian maka pada pokoknya ketentuan Pasal 1367 BW mengatur mengenai
pembayaran ganti rugi oleh pihak yang menyuruh atau yang memerintahkan sesuatu pekerjaan
yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain tersebut.
     Nuboer Arrest ini merupakan contoh yang tepat dalam hal melakukan tindakan medis dalam
suatu ikatan tim. Namun dari Arrest tersebut hendaknya dapat dipetik beberapa pengertian untuk
dapat mengikuti permasalahannya lebih jauh. Apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal
1367 BW, maka terlebih dahulu perlu diadakan identifikasi mengenai sampai seberapa jauh
tanggung jawab perdata dari para dokter pembantu Prof. Nuboer tersebut. Pertama-tama
diketahui siapakah yang dimaksudkan dengan bawahan. Adapun yang dimaksudkan dengan
bawahan dalam arti yang dimaksud oleh Pasal 1367 BW adalah pihak-pihak yang tidak dapat
bertindak secara mandiri dalam hubungan dengan atasannya, karena memerlukan pengawasan
atau petunjuk-petunjuk lebih lanjut secara tertentu.
     Sehubungan dengan hal itu seorang dokter harus bertanggung jawab atas tindakan yang
dilakukan oleh bawahannya yaitu para perawat, bidan dan sebagainya. Kesalahan seorang
perawat karena menjalankan perintah dokter adalah tanggung jawab dokter. 

Adanya gugatan secara hukum yang dilakukan


beberapa AREMANIA terhadap pendiri AREMA cukup menyita
perhatian kita. Berdasarkan info yang saya dapatkan dari media,
pihak tergugat balik menggugat atas dasar perbuatan melawan
hukum. Dalam rangka berbagi ilmu saya akan mencoba berbagi
pengetahuan dari berbagai sumber tentang apa itu Perbuatan
Melawan Hukum.

Perbuatan Melawan Hukum dalam Ketentuan Hukum Perdata


disebutkan dalam pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud
dengan perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang
melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang karena
kesalahannya sehingga menimbulkan akibat yang merugikan
pihak lain.

Beberapa defenisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan


melawan hukum adalah sebagai berikut:

1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajiban sendiri


selain dari kewajiban kotraktual atau kewajiban quasi
contractual yang menerbitkan hak untuk mengganti rugi.
2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang
mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa
sebelumnya ada suatu hubungan hukum, kewajiban mana
ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan
tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat diminta suatu
ganti rugi.
3. Tidak memenuihi suatu kewajiban yang dibebankan oleh
hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang
pada umumnya dan dengan tidak memenuhi kewajibannya
tersebut dapat diminta suatu ganti rugi.
4. Suatu kesalahan perdata terhadap mana suatu ganti
kerugian dapat dituntuk yang bukan merupakan wanprestasi
terhadap kontrak, atau wanprestasi atas kewajiban trust,
ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equitylainnya.
5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi
terhadap kontrak, atau lebih tepatnya, merupakan suatu
perbuatan yang merugikan hak-hak orang yang diciptakan
oleh hukum yang tidak tertib dari hubungan kontraktual.
6. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara
bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang
diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti rugi
dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN ASPEK-ASPEKNYA

A. Pertanggung-Jawaban Dalam Perbuatan Melawan


Hukum
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan : Tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut. Sedangkan ketentuan pasal 1366
KUHPerdata menyatakan : setiap orang bertanggung-jawab tidak
saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya
atau kurang hati-hatinya.

Ketentuan pasal 1365tersebut di atas mengatur pertanggung-


jawaban yang diakibatkan oleh adanya perbuatan melawan
hukum baik karena berbuat (positip=culpa in commitendo) atau
karena tidak berbuat (pasif=culpa in ommitendo). Sedangkan
pasal 1366 KUHPerdata lebih mengarah pada tuntutan
pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena
kelalaian (onrechtmatigenalaten).

Dari pasal tersebut dapat kita lihat bahwa untuk mencapai suatu
hasil yang baik dalam melakukan gugatan berdasarkan perbuatan
melawan hukum maka harus dipenuhi syarat-syarat atau unsur-
unsur sebagai berikut :

1. Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan


yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan
dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah
diatur dalam undang-undang. Dengan perkataan lain melawan
hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang.

2. Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur


secara :

o Obyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam


keadaan seperti itu manusia yang normal dapat
menduga kemungkinan timbulnya akibat dan
kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik
untu berbuat atau tidak berbuat.
o Subyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si
pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat
menduga akan akibat dari perbuatannya.

Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan hukum


harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya, karena
orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar
ganti rugi.

Sehubungan dengan kesalahan in terdapat dua kemungkinan :

 Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap


timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang
yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka
sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya
kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan
sengaja.
 Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian
itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka
terhadap masing-masing orang yang bertanggung jawab
atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk
keseluruhannya.

3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Dalam pengertian


bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan
hukum dapat berupa :

 Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri


dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan
yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima
bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum harus
mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-
nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.
 Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat
menimbulkan kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan,
sakit dan kehilangan kesenangan hidup.

Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti


umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut,
untuk itu pada azasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin
ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi
perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak
menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita
pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan
derita pada waktu yang akan datang.

4. Adanya hubungan causal antara perbuatan dan


kerugian. Untuk memecahkan hubungan causal antara
perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat dua teori
yaitu :

 Condition sine qua non, dimana menurut teori ini orang


yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu
bertanggung jawab jika perbuatannya condition sine qua
non menimbulkan kerugian (yang dianggap sebagai sebab
dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat
yang harus ada untuk timbulnya akibat).
 Adequate veroorzaking, dimana menurut teori ini si
pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang
selayaknya dapat diharapkan sebagai akibat dari pada
perbuatan melawan hukum.
 Terdapat hubungan causal jika kerugian menurut aturan
pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat
diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum.

Jadi secara singkat dapat diperinci sebagai berikut :

 Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh


organ badan hukum, pertanggungjawabannya didasarkan
pada pasal 1364 BW.
 Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
seorang wakil badan hukum yang mempunyai hubunga
kerja dengan badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan
berdasarkan pasal 1367 BW.
 Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
organ yang mempunyai hubungan kerja dengan badan
hukum, pertanggung jawabannya dapat dipilih antara pasal
1365 dan pasal 1367 BW

B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu


perbuatan melawan hukum, maka harus memenuhi unsur-unsur
perbuatan sebagai berikut:

1. Adanya suatu perbuatan. Suatu perbuatan melawan hukum


diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Perbuatan
disini meliputi perbuatan aktif (berbuat sesuatu) maupun
pasif (tidak berbuat sesuatu), padahal secara hukum orang
tersebut diwajibkan untuk patuh terhadap perintah undang-
undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (public order and
morals).
2. Perbuatan tersebut melawan hukum. Manakala pelaku tidak
melaksanakan apa yang diwajibkan oleh undang-undang,
ketertiban umum dan atau kesusilaan, maka perbuatan
pelaku dalam hal ini dianggap telah melanggar hukum,
sehingga mempunyai konsekwensi tersendiri yang dapat
dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan.
3. Adanya kerugian bagi korban. Yang dimaksud dengan
kerugian, terdiri dari kerugian materil dan kerugian
immateril. Akibat suatu perbuatan melawan hukum harus
timbul adanya kerugian di pihak korban, sehingga
membuktikan adanya suatu perbuatan yang melanggar
hukum secara luas.
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan
kerugian. Hubungan kausal merupakan salah satu ciri pokok
dari adanya suatu perbuatan melawan hukum. Perbuatan
melawan hukum dalam hal ini harus dilihat secara materiil.
Dikatakan materiil karena sifat perbuatan melawan hukum
dalam hal ini haru dilihat sebagai suatu kesatuan tentang
akbat yang ditimbulkan olehnya terhadap diri pihak korban.
Untuk hubungan sebab akibat ada2 (dua) macam teori,
yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira.
Hubungan sebab akibat (causation in fact) hanyalah
merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual
telah terjadi. Sedangkan teori penyebab kira-kira adalah
lebih menekankan pada apa yang menyebabkan timbulnya
kerugian terhadap korban, apakah perbuatan pelaku atau
perbuatan lain yang justru bukan dikarenakan bukan suatu
perbuatan melawan hukum. Namun dengan adanya suatu
kerugian, maka yang perlu dibuktikan adalah hubungan
antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang
ditimbulkan.

C. Kosekwensi Yuridis Dalam Hal Timbulnya Perbuatan


Melawan Hukum

Akibat perbuatan melawan hukum diatur pada Pasal 1365 sampai


denan 1367 KUHPerdata sebagai berikut:

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata dikutip bunyinya:


Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian.

Sedangkan Pasal 1366 KUHPerdata, menyebutkan:

Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang


disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang diesbabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Lebih lanjut, Pasal 1367 KUHPerdata, menyebutkan:

Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang


disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang
berada di bawah pengawasannya dst.

Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan


melawan hukum, sebagaimana telah disinggung diatas, dapat
berupa penggantian kerugian materiil dan immateriil. Lajimnya,
dalam praktek penggantian kerugian dihitung dengan uang , atau
disetarakan dengan uang disamping adanya tuntutan
penggantian benda atau barang-barang yang dianggap telah
mengalami kerusakan/perampasan sebagai akibat adanya
perbuatan melawan hukum pelaku.

Jika mencermati perumusan ketentuan pasla 1365 KUHPerdata,


secara limitatif menganut asas hukum bahwa penggantian
kerugian dalam hal terjadinya suatu perbuatan melawan hukum
bersifat wajib. Bahkan, dalam berbagai kasus yang mengemuka
di pengadilan, hakim seringkali secara ex-officio menetapkan
penggantian kerugian meskipun pihak korban tidak menuntut
kerugian yang dimaksudkan.

Secara teoritis penggantian kerugian sebagai akibat dari suatu


perbuatan melawan hukum diklasifikasikan ke dalam dua bagian,
yaitu : kerugian yang bersifat actual (actual loss) dan kerugian
yang akan datang. Dikatakan kerugian yang bersifat actual
adalah kerugian yang mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik
yang bersifat materiil dan immateriil. Kerugian ini didasarkan
pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya
perbuatan melawan hukum dari pelaku. Sedangkan kerugian
yang bersifat dimasa mendatang adalah kerugian-kerugian yang
dapat diperkirakan akan timbul dimasa mendatang akibat adanya
perbuatan melawan hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini seperti
pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui pengumuman
di media cetak dan atau elektronik terhadap pelaku. Ganti
kerugian dimasa mendatang ini haruslah didasarkan pula pada
kerugian yang sejatinya dapat dibayangkan dimasa mendatang
dan akan terjadi secara nyata.

Sehingga dalam permasalahan gugatan dua AREMANIA kepada


pendiri AREMA harus dilihat terlebih dahulu hubungan hukum apa
yang terjadi atau pernah terjadi antara pihak penggugat dan
tergugat. Lalu perbuatan apa yang dilakukan oleh tergugat
dan/atau perbuatan apa yang tidak dilakukan oleh tergugat.
Sehingga perbuatan yang dilakukan atau tidak dilakukan
menimbulkan kerugian bagi pihak penggugat.

Dan saya secara pribadi berharap agar permasalahan ini akan


bermuara kepada kebaikan dan kejayaan AREMA dan bersatunya
AREMA karena AREMA memang hanya ada satu. Dan semoga ini
menjadi langkah awal dalam rangka mewujudkan itu semua. Dan
tetap berdoa dan berusaha untuk kebaikan AREMA. Dan semoga
DEWI THEMIS (dewi keadilan dalam mitologi Yunani) bisa
membawa keadilan dan menunjukkan kebenaran dalam
permasalahan yang seakan tak berujung bagi AREMA selama
kurun waktu satu tahun ini.

Semoga dari sedikit pengetahuan ini dapat bermanfaat bagi kita


semua.

*diolah dari berbagai sumber

Penulis adalah Aremania Yang Mengambil S2 Magister


Hukum

BERITA TERKAIT

Aspek Hukum (Fraud Auditing)


Terhadap temuan hasil audit yang diperoleh dari hasil investigasi, perlu dikomunikasikan kepada
manajemen auditee yang akan menyelesaikan atau menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi
sebagaimana tercantum dalam laporan hasil audit. Terhadap temuan yang diindikasi adanya
tindakan melawan hukum, perlu mengantisipasi kemungkinan perlunya membantu aparat hukum
atau pihak-pihak terkait dalam upaya penindaklanjutan temuan tersebut. Dengan kata lain, pihak
pelaku keurangan harus dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Bentuk sanksi tehadap pelaku dapat berupa sanksi administrasi, tuntutan ganti rugi, ataupun
anaman pidana. Oleh karena itu, auditor perlu mengantisipasinya dengan memahami tentang dasar-
dasar ketentuan yang berkaitan dengan hukum di Indonesia, khususnya terhadap kasus-kasus yang
akan diselesaikan secara hukum. Selanjutnya, auditor perlu mengidentifikasi apakah kasus yang
ditangani termasuk kasus perdata atau kasus pidana.

1.    Hukum Perdata


Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan
orang lainnya sebagai anggota masyarakat dan menitikberatkan kepentingan perorangan yang
bersifat pribadi. Suatu kasus perata baru timbul bila pihak yang merasa dirugikan melakukan
gugatan. Kebenaran formil merupakan hal yang sangat dominan pada kasus perdata.

Temuan yang mengandung unsur kerugian keuangan dan merupakan kasus perdata, pada umumnya
lahir dari masalah-masalah yang bersumber pada perikatan. Pengertian perikatan lebih luas
daripada perjanjian karena perikatan dapat timbul karena perjanjian atau karena undang-undang.
Perikatan Yang Terjadi Dari Perjanjian
Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPdt adalh suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya tehadap satu orang lain atau lebih. Selanjutnya pasal 1320 KUHPdt
menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat :
•    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
•    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
•    Suatu hal tertentu
•    Suatu sebab yang halal

Jika keempat unsur itu dipenuhi, maka pasal 1338 KUHPdt menetapkan bahwa :
•    Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.
•    Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat keduabelah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
•     Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Perikatan Yang Terjadi Karena Undang-Undang


Perikatan yang terjadi tidak karena perjanjian, dapat terjadi antara lain karena perbuatan
melanggar hukum, seperti yang dimaksud pasal 1365 KUHPdt yang berbunyi : “Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian pada pihak lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Gugatan kerugia harus
dinyatakan dalam nilai
moneter (rupiah).

Unsur-unsur pasal 1365 KUHPdt adalah :


a.    Harus ada perbuatan melanggar hukum
b.    Harus ada kerugian yang diderita
c.    Harus ada hubungan yang kausal antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang
diderita, dan
d.    Harus ada unsur kesalahan.

a.    Perbuatan Melanggar Hukum


Pengertian melanggar hukum dalam arti sempit adalah suatu perbuatan yang melanggar hak orang
lain atau jika orang berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. Sedangkan
pengertian melanggar hukum dalam arti luas adalah berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak
orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat itu sendiri atatu
bertentangan dengan kesusilaan atau sikap hati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu lintas
masyarakat, terhadap diri atau barang-barang orang lain.

b.    Menimbulkan Kerugian


Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebsbkan oleh perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya (pasal 1366
KUHPdt). Kerugian yang ditanggung termasuk karena perbuatan orang-orang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya (pasal
1367 KUHPdt).
Menurut yurisprudensi, kerugian yang timbul karena perbuatan melanggar hukum, ketentuannya
sama dengan kerugian yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian.

c.    Hubungan Kausal


Kerugian harus timbul akibat dari perbuatan orang itu, yang meliputi :
-    Karena perbuatan melanggar hukum
-    Karena kelalaian atau kurang hati-hatinya

d.    Unsur Kesalahan


Pengertian kesalahan di sini adalah pengertian hukum perdata, bukan hukum pidana. Kesalahan
dalam pasal 1365 KUHPdt mengandung semua gradasi, dari kesalahan dalam arti disengaja maupun
kesalahan yang tidak disengaja.

Kesalahan disini meliputi :


-    Karena perbuatannya sendiri
-    Karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya
-    Barang-barang yang berada dibawah pengawasannya
(diuraikan dalam pasal 1367 KUHPdt)

Dikaitkan dengan pengertian fraud yang slah satu cirinya adalah mengandung unsur kesengajaan,
maka penyelesaian kerugian melalui gugatan perdata mempunyai cakupan yang lebih luas.

Pasal 1365 KUHPdt merupakan pasal yang sangat penting, sebab pasal ini dpat diterapkan apabila
ketentuan/undang-undang/hukum lain tidak mengaturnya.

Untuk mengatur agar seseorang dapat memenuhi kewajibannya dan mempertahankan haknya
terhadap orang lain, diperlukan adanya hukum acara. Hukum Acara Perdata pada dasarnya adalah
ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana orang yang haknya dirugikan orang lain menuntut
keadilan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan, mengatur bagaimana pengadilan memeriksa
dan mengadili suatu perkara dan bagaimana melaksanakan keputusan.

2.    Hukum Pidana


Hukum pidana merupakan hukum publik yaitu hukum yang mengatur kepentingan umum, yakni
mengatur hubungan hukum antara orang dengan Negara, antar Badan atau Lembaga Negara  satu
sama lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan mesyarakat dengan Negara.

Hukum public terdiri atas Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus. Ketentuan pidana umum
diatur dalam KUHP, sedang pidana khusus antara lain diaur dalam Kitab Undang-undang Khusus
seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 21 Tahun
2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999.

Seseorang yang melakukan tindak pidana akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
KUHP. Pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam
dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Menurut wujud dan sifatnya, tindak
pidana adalah perbuatan-perbuatan melawan hukum yang juga merugikan mesyarakat, dalam arti
bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksanannya tata pergaulan dalam masyarakat yang
dianggap baik dan adil.

Tindak pida khusus adalah tindak pidana tertentu yang karena sifatnya, tidak dikelompokkan dalam
tindak pidana umum. Jenis perbuatan pidana yang termasuk tindak pidan khusus, hukum acara
(sebagian) dan sanksi pidana diatur sendiri. Undang-undang yang bersifat khusus,
mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum.

Pengertian tindak pidana khusus terdapat dalam Ketentuan Peralihan pasal 284 ayat (2) KUHAP,
yaitu, “dalam waktu dua tahun setelah UU ini diundangkan, maka terhdap semua perkara
diberlakukan UU ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada UU tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak
berlaku lagi”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut diuraikan bahwa yang dimaksud dengan
“ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut dalam UU tertentu” adalah ketentuan
khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain :
•    UU tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UU No. 7 Drt,
Tahun 1955)
•    UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.3 Tahun 1971 jo. UU No. 20 Tahun
2001)

Dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada UU
tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Sehubungan dengan pembahasan hukum perundang-undangan di atas, kita perlu memperhatikan


asas-asas perundang-undangan. Antara lain :
•    Undang-undang tidak berlaku surut.
•    Undang-undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
pula.
•    Undang-undang yang bersifat khusus, mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.
•    Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu.

3.    Sanksi Hukum


Untuk menciptakan rasa keadilan dan menimbulkan rasa jera, setiap perbuatan kecurangan dan
ketahuan, pada pelanggarnya dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sanksi
tersebut dapat berupa sanksi administrasi sesuai ketentuan perusahaan, ketentuan instansi atau
ketentuan hukum, yang masing-masing mempunyai ruang lingkup yang berbeda.

Sanksi Berdasarkan Ketentuan Perusahaan


Untuk melindungi kepentingannya, perusahaan/masing-masing perusahaan dapat membuat
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kecurangan yang mengakibatkan kerugian bagi
perusahaan. Namun, ketentuan-ketentuan tersebut hanya berlaku apabila pelakunya adalah
pegawai/pejabat perusahaan dan mencakup sanksi administrasi (termasuk pengembalian kerugian
perusahaan).

Apabila pelaku kecurangan yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan tersebut adalah pihak
lain (bukan orang dalam), pihak perusahaan dapat mengugat secara perdata yakni dengan
mendasarkan pasal 1365 KUHPdt. Dan bila kecurangan tersebut mengandung unsur pidana, Negara
memiliki kewenangan untuk memproses secara hukum pidana walaupun pihak perusahaan tidak
menghendakinya.

Sanksi Berdasarkan Ketentuan Instansi Pemrintah


Terhadap kecurangan yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara (APBN/APBD), dan pelakunya
adalah pegawai negeri, pemerintah memiliki peraturan disiplin yang mengatur kewajiban, larangan
dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar oleh pegawai negeri sipil.
Disiplin pegawai diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil. Terhadap kerugian yang timbul dari kecurangan dimaksud, pemerintah
melalui Undang-Undang RI No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (pengganti
ICW/Indische Compatibiliteitswet) dapat melakukan tuntutan ganti rugi, Ketentuan UU No. 1 Tahun
2004 yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain :
Pasal 18 ayat (3) : pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan
dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD, bertanggungjawab atas
keberanaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.

Pasal 59 ayat (2) : bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang debebankan kepadanya secara
langsung merugikan keuangan Negara, wajib mengganti kerugian tersebut.

Apabila pelaku kecurangan yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara adalah bukan pegawai
negeri sipil (pihak lain), maka ketentuan tersebut tidak dapat diberlakukan dan untuk penyelesaian
kerugian keuangan Negara menggunakan pasal 1365 KUHPdt (gugatan perdata). Dan, sebagaimana
tersebut di atas, apabila kecurangan tersebut adalah unsur pidana, Negara mempunyai kewenangan
untuk memproses secara hukum terhadap pelaku kecurangan (baik pegawai negeri sipil atau
bukan).
Dalam hal mengandung unsur pidana dan pelakunya adalah pegawai negeri sipil, maka putusan
pidana tidak membebaskan dari tuntutan gantu rugi sebagaimana diatur dalam pasal 64 UU No.1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yakni, “pegawai negeri/pejabat yang telah ditetakan
untuk mengganti kerugian Negara/daerah dapat dikenai sanksi administrative dan/atau sanksi
pidana, dan putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi”

Sanksi Berdasarkan Ketentuan Hukum Pidana


Perbuatan curang (fraud) sering diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum sehingga kecurangan
didefinisikan sebagai perbuatan melawan/melanggar hukum yang dilakukan oleh orang/orang-orang
dari dalam dan/atau dari luar organisasi, dengan maksud mendapatkan keuntungan pribadi
dan/atau kelompoknya yang secara langsung atau tidak langsung merugiakan pihak lain.

Dikaitkan dengan kecurangan yang mempunyai ciri antara lain tersembunyi  dan ada unsur
penipuan, maka perbuatan melawan hukum mempunyai cakupan lebih luas. Dengan perkataan lain,
ruang lingkup  frud auditor  lebih mengarah kepada pelanggaran hukum khususnya yang
mengandung unsur penipuan/rekayasa.

Contoh : seorang kasir perusahaan dapat melakukan pencurian uang dengan dua cara.

Cara pertama :
Kasir melakukan pencurian uang perusahaan dengan cara menghilang, membawa lari uang
perusahaan. Perbuatan kasir tersebut merupakan perbuatan tindak pidana (melanggar hukum),
merugikan perusahaan, dan perbuatan tersebut adalah untuk kepentingan dirinya. Tehadap masalah
ini perusahaan tidak menyerahkan ini kepada fraud auditor, melainkan melapor kepada aparat
polisi untuk menanganinya. Perbuatan kasir tersebut merupakan tindak pidana umum dan bukan
merupakan ruang lingkup pekerjaan  fraud auditor.

Cara kedua :
Kasir melakukan pencurian uang perusahaan dengan cara mencatat penerimaan uang lebih kecil
dari yang seharusnya dengan cara memalsu buktipenerimaan dan memalsu bukti pengeluaran
sehingga dapat mencatan pengeluaran lebih besar dari yang sebenarnya dan melakukan kecurangan
dengan cara lapping.

Perbuatan kasir tersebut merupakan perbuatan tindak pidana (melanggar hukum), merugikan
perusahaan, dan perbuatan tersebut adalah untuk kepentingan dirinya, sama dengan kasusu
pertama. Perbedaannya, pencurian pada kasus kedua dilakukan secara tersembunyi da nada unsur
rekayasa/penipuan. Untuk mengungkapnya, pihak perusahaan akan menyerahkan kasus ini kepada
fraud auditor  untuk menanganinya (tidak langsung menyerahkan kepada polisi).

Ruang lingkup pekerjaan fraud auditor lebih mengarah/memfokuskan pada tindak pidana pencurian
yang dilakukan secara tersembunyi, ada unsur penipuan. Dikaitkan dengan kasus-kasus korupsi yang
marak di Negara kita, kehadiran fraud auditor menjadi semakin penting karena perbuatan melawan
hukum dalam pengertian tindak pidana korupsi,  selaras dengan karakteristik kecurangan yakni
bersifat tersembunyi, ada unsur rekayasa, dan tipu muslihat. Pelanggaran hukum berupa pencurian
dan penipuan dikenakan sanksi berdasarkan hukum pidana.

Sanksi Berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi


Pemerintah dalam usahanya memberantas korupsi, telah memberlakukan beberapa peraturan
perundangan pidana mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni dengan diundangkannya
Undang-Undang No.31 tahun 1999 sebagai pengganti Undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan
atas UU No. 31 tahun 1999.

Pengertian tindak pidan korupsi dan sanksinya menurut Undang-undang No. 31 tahun 1999, antara
lain sebagai berikut :
•    Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,
dipidana dengan seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(pasal 2 ayat 1)
•    Setiap orang yang dengan menguntungkan diri sendiri atau oang lain atau korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedududkan yang dapat merugikan keuangan Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (pasal 3).
•    Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 209 KUHP,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00 (pasal 209 KUHP :
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah, barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri, dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat sesuatu  atau tidak berbuata
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya).
•    Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 418 KUHP,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau denda aling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00. (Pasal 418 KUHP :
Pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus
diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji
ada hubungannya dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah).

Temuan hasi audit investigatif yang mengandung unsur tindak pidana dan akan diproses secara
hukum, instansi/lembaga audit perlu koordiansi dengan pihak instansi penyidik (Kejaksaan, Polri,
atau KPK), misalnya dengan melakukan kerjasama antar instansi. Atas kasus yang akan diangkkat
tersebut perlu dilakukan expose (pemaparan) dengan pihak instansi penyidik, dengan maksud
antara lain :
-    Menyampaikan pandangan masing-masing sehingga akhirnya diperoleh kesamaan persepsi atas
kasus yang dibahas.
-    Apabila pihak penyidik menganggap masih ada persyaratan yang kurang, pihak auditor dapat
melengkapinya.
-    Dapat membantu penyidik dengan berperan sebagai saksi dan atau pemberi keterangan ahli
(bila diperlukan) dalam rangka membantu pengumpulan alat bukti hukum.

PENAFSIRAN UNSUR-UNSUR PASAL


368 jo. 53 KUHP
Pasal 368 KUHP

(1)   Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian
adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara
maksimum 9 tahun.
(2)   Ketentuan Pasal 365 ayat kedua, ketiga dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.

Pasal 53 KUHP

(1)   Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2)   Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi 1/3.
(3)   ……………..
(4)   ……………..
5.    unsur perbuatan mana tidak sampai selesai dilaksanakan bukan semata-mata
disebabkan atas kehendaknya terdakwa sendiri   ;

  HR 17 Januari 1921


         Penyerahan sesuatu barang merupakan unsur dari kejahatan ini, yang baru terjadi apabila orang
terhadap siapa kekerasan dilakukan telah kehilangan penguasaannya atas barang itu.

   Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro, SH
      Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia (Eresco Jakarta-Bandung, cet. Ke-III,
1980, hal.28-29)
         Unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum” sangat penting, oleh
karenanya sudah cukup, apabila sifat pelanggaran hukum dari menguntungkan diri sendiri ini
tercakup dalam maksud si pelaku. Jadi si pelaku tetap salah, meskipun kemudian ternyata, bahwa
ternyata ia memang berhak menguntungkan diri sendiri. Misalnya barang yang diminta dengan
kekerasan itu, kemudian ternyata miliknya si pelaku sendiri, hal mana tidak diketahui oleh si pelaku
pada waktu ia melakukan pemerasan. Dalam hal ini maka ia tidak dapat dipersalahkan melakukan
tindak pidana pemerasan, tetapi ia dapat dihukum berdasar Pasal 335 ayat (1) nomor (1) KUHP, yang
melarang tiap perbuatan paksaan dengan kekerasan.

   R. SUSILO
      KUHP, Lengkap Komentarnya Pasal Demi Pasal
         “Memaksa” artinya melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang
berlawanan dengan kehendak sendiri. (Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik
Khusus, Politea Bogor, 1984, hal.139-140).
         “melawan hak” = melawan hukum, tidak berhak atau bertentangan dengan hukum.
         Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa perbuatan itu sudah boleh di9katakan sebagaiperbuatan
pelaksanaan, apabila orang telah mulai melakukan suatu anasir  atau elemendari peristiwa pidana,
jika orang belum memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya itu
masih hyarus dipandang sebagai perbuatan persiapan. (hal.69) (Pokok-Pokok Hukum Pidana
Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Politea Bogor, 1984, hal.139-140).

   Prof.Dr.Andi Hamzah, SH
      Delik-delik Kekerasan dan Delik-delik Yang Berkaitan Dengan Kerusuhan (CV Sumber
Ilmu Jaya, Cet.ketiga Maret 2000, hal.78).
         Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, berarti menguntungkan diri sendiri atau
orang lain itu merupakan tujuan terdekat. Jadi, kalau keuntungan itu akan diperoleh secara tidak
langsung, artinya masih diperlukan tahap-tahap tertentua untuk mencapainya, maka bukanlah
pemerasan (J.M. van Bemmelen – W.F.C. van Hattum).
         Melawan hukum di sini merupakan tujuan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Jadi,
pembuat mengetahui bahwa perbuatannya untuk menguntungkan diri sendiri itu melawan hukum.
Maksud di sini merupakan suatu yang subjektif. Bagaimana jika ternyata kemudian, bahwa
sebenarnya ia tidak melawan hukum / Misalnya A memaksa B untruk menyerahkan wasiat dari
paman yang bernama X, sedangkan A pikir ia tidak berhak untuk minta itu. Yang berhak ialah Y.
Ternyata kemudian dia juga berhak atas wasiat itu. Ini bukan pemerasan menurut J.M van Bemmelen
– W.F.C. van Hattum.
     
  ARUAN SAKIDJO, SH.MH & DR. BAMBANG POERNOMO, SH
      Hukum Pidana Dasar Aturan umum Hukum Pidana Kodifikasi (Ghalia Indonesia,
Agustus 1990,hal. 117-118).
         Menurut doktrin, perbuatan pidana yang tidak selesai dilaksanakan itu dinamakan “percobaan”.  Di
dalam hukum pidana arti beberapa istilah yang diapakai dalam Bab IX Buku I KUHP tidak dijumpai
rumusan pengertian atau definisi tentang apa yang dimaksud dengan istilah pecobaan (poging)
tersebut, tetapi yang diberikan ialah ketentuan mengenai syarat-syarat supaya percobaan pada
kejahatan itu dapat dihukum, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP,
sebagai berikut :
1.   adanya “niat” atau “maksud” (voornemen),
Menurut Memorie van Toelichting, bahwa “niat“ tersebut adalah niat untuk melakukan perbuatan yang
oleh undang-undang dipandang sebagai kejahatan .
Menurut yurisprudensi (arrest HR 6 Februari 1951), niat sering disamakan dengan kesengajaan.
Menurut pandangan Prof. Moeljatno, mengenai unsur niat ini jangan disamakan dengan kesengajaan,
tetapi niat secara potensial dapat berubah menjadi kesengajaan apabila sudah ditunaikan menjadi
perbuatan yang dituju. Dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan,
tetapi akibat yang dilarang tidak berwujud (percobaan selesai) disitu niat menjadi kesengajaan, sama
dengan kalau menghadapi delik selesai. Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi kejahatan,
maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu sifat
melawan hukum yang subyektif  (subjectieve onrechtselement). Oleh karena niat tidak sama dan
tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya
kesengajaan apabila timbul kejahatan. Untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri, bahwa isi yang
yang tertentu tadi juga sudah ada sejak niat belum ditunaikan menjadi perbuatan. (Moeljatno, Delik
Percobaan dan penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal.16-17).

 2.  adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering), dan

Menurut Memorie van Toelichting dan pendapat para ahli, bahwa yang dimaksudkan dalam hal ini
adalah permulaan pelaksanaan dari kejahatan.
Menurut Prof. Moeljatno, dalam menentukan adanya “permulaan pelaksanaan” dalam delik
percobaan ada dua faktor yang harus diperhatikan yaitu yaitu sifat atau inti dari delik percobaan., dan
sifat atau inti dari delik pada umumnya. Mengingat kedua faktor tersebut, maka dikatakan ada
perbuatan pelaksanaan apabila seseorang telah melakukan perbuatan :
(a)    yang secara obyektif mendekatkan kepada delik yang dituju, atau harus mengandung potensi untuk
mewujudkan delik tersebut ;
(b)    secara subyektif tidak ada keragu-raguan lagi, bahwa apa yang telah dilakukan terdakwa itu ditujukan
atau diarahkan kepada delik tertentu tadi ;
(c)     bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan
hukum.
(Moeljatno, Delik Percobaan dan penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal.28-29).

 3.  pelaksanaan tersebut tidak selesai bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri.

Dalam tahun 1924 Hoge Raad menetapkan bahwa syarat untuk percobaan yang dapat dipidana yaitu
bahwa kejahatan tidak selesai semata-mata disebabkan oleh keadaan yang tidak bergantung dari
kehendak pembuat, mengakibatkan pembuat tersebut tidak dipidana kalau pengunduran dirinya
secara sukarela telah membantu tidak selesainya kejahatan itu. Namun demikian harus disadari,
bahwa sangat sulit untuk membuktikan unsur ketiga ini ini (pelaksanaan tersebut tidak selesai bukan
semata-mata karena kehendaknya sendiri) karena redaksinya yang negatif : negativa non sunt
probanda. Karena itulah pembuktian unsur ini dalam praktek menjadi dugaan, yang meskipun
dimasukkan sebagai unsur oleh jaksa dalam tuntutannya, tetapi baru dianggap sebagai tidak terbukti
oleh hakim kalau ada bantahan yang cukup dari terdakwa. (Prof.Dr.D.Schaffmeister, dkk ; Hukum
Pidana, Liberty Yogyakarta, Cet. Ke-1, 1995, hal.222).
Oleh karena itu, dalam rangka untuk memudahkan pelaksanaan tugas penuntut umum, Lamintang
P.A.F (Dasar-Dasar Untuk mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku di Indonesia. Bandung ; Sinar
Baru, 1984, Hal.545-546) mengusulkan cara yang paling praktis untuk dikerjakan
adalah :  menyebutkan keadaan-keadaan yang mana saja yang telah menghambat pelaksanaan
kejahatan yang dilakukan oleh tertuduh dan menjelaskan keadaan-keadaan yang bergantung pada
kemauan tertuduh, dan hanya keadaan-keadaan itulah pelaksanaan kejahatan yang dilakukan oleh
tertuduh menjadi tidak selesai. Demikian pula dalam konteks ini, Van Hattum (sebagaimana yang
dikutip oleh Prof. A.Z. Abidin & Prof. A. Hamzah (Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik –
Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik – dan Hukum Penetensier ; Sumber Ilmu Jaya, 2002,
Hal.92) menyebutkan contoh-contoh “keadaan-keadaan yang semata-mata tidak bergantung pada
kehendak pembuat delik”, yaitu sebagai berikut :
-          pelaku telah tertangkap tangan pada waktu mulai melakukan perbuatan untuk mewujudkan
kejahatan.
-          Korban memberikan perlawanan.
-          Korban melarikan diri.
-          Senjata api yang digunakan rusak, sehingga tembakan pelaku tidak mengenai sasaran (korban), dan
-          Korban ternyata tidak meninggal dunia karena lukanya, dan kemudian sembuh.

Anda mungkin juga menyukai