Dosen Pengampuh ;
Disusun Oleh :
Kelompok 4
FAKULTAS HUKUM
2019
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A. Latar Belakang
Terkait dengan latar belakang tersebut di atas, makalah ini akan membahas tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, baik sejarah pembentukan, dasar hukum dan
perubahannya, hukum acara PTUN dan upaya hukum PTUN.
B. Pembahasan
Keberadaan peradilan administrasi negara merupakan salah satu jalur yudisial dalam rangka
pelaksanaan asas perlindungan hukum kepada masyarakat. Proses kelahirannya telah
menempuh perjalanan cukup panjang dan berliku. Apabila ditelusuri, sejak Indonesia
merdeka hingga akhir tahun 1986, Indonesia belum mempunyai suatu lembaga Peradilan
Administrasi Negara yang berdiri sendiri.
Dalam praktik, saat itu ada tiga lembaga yang melakukan fungsi seperti Peradilan
Administrasi Negara, yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Peradilan Pegawai
Negeri, dan Peradilan Bea Cukai. Selain itu, perkara-perkara administrasi negara
diselesaikan oleh hakim di lingkungan peradilan umum. Perkara yang diselesaikan
berupa perbuatan penguasa yang melanggar hukum.
2
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah studi tentang Prinsip-prinsipnya,
Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi
Negara, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm.107.
3
Wirjono Prodjodikoro adalah Ketua Mahkamah Agung periode 1952-1966.
Perintah mewujudkan Peradilan Administrasi Negara pertama kali dituangkan dalam
Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Kemudian ditegaskan dalam Undang-undang
No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di
samping itu, Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya di depan Sidang
Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus 1978 juga menegaskan bahwa, “…akan
diusahakan terbentuknya peradilan administrasi, yang dapat menampung dan
menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan pelanggaran yang
dilakukan oleh pejabat atau aparatur negara, maupun untuk memberikan kepastian
hukum bagi setiap pegawai negeri.”
Selanjutnya, perintah ini diperkuat lagi dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk Pelita III, yang
menyatakan, “Mengusahakan terwujudnya TUN.” Dalam Ketetapan MPR No.
II/MPR/1983 tentang GBHN untuk Pelita IV, memang tidak disebutkan secara jelas
dan tegas tentang perwujudan Peradilan TUN. Namun, karena rencana
pembangunan merupakan sebuah rencana yang berkesinambungan, maka sudah
selayaknya tetap mengupayakan perwujudan Peradilan TUN.
Melalui UU No. 5 Tahun 1986 ini, pejabat atau badan TUN bisa digugat di
Pengadilan TUN apabila keputusan-keputusan yang dikeluarkannya merugikan
masyarakat. Dengan lahirnya undang-undang ini, aparatur pemerintah tidak dapat
lagi bertindak sewenang-wenang dan setiap kebijakan yang dikeluarkannya harus
ditetapkan secara tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.
Meskipun diundangkan pada 29 Desember 1986, UU PTUN ini tidak dapat seketika
itu juga langsung diterapkan. Hal ini disebabkan masih menunggu peraturan
pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 145, yaitu paling lama lima
tahun sejak diundangkan. Jadi, selambat-lambatnya tahun 1991 harus sudah keluar
peraturan pemerintah tersebut. Namun belum sampai batas waktu yang ditentukan,
pada 14 Januari 1991 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991
tentang Penerapan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Sebagai tindak lanjut UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah
dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan, yang merupakan peraturan
pelaksanaan undang-undang tersebut, yaitu:
4. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara
Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara;
Sehubungan dengan perubahan itu, telah diubah pula Undang-undang No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung menjadi Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Dengan demikian, Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan perubahan.
Perubahan atas Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan
umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan
organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan yang ditentukan oleh Undang-undang
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh
UUD 1945.4
Perubahan penting lainnya atas Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara5, antara lain:
Secara lebih rinci, beberapa ketentuan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1986
yang mengalami perubahan pertama, sebagai berikut: bab 1 tentang ketentuan
umum; bab 2 tentang susunan pengadilan, ketua, wakil ketua, dan hakim, panitera,
tambahan bagian mengenai pengaturan tentang jurusita, dan tentang sekretaris; bab 4
tentang hukum acara bagian gugatan, pelaksanaan putusan pengadilan; serta bab 6
tentang ketentuan peralihan. Perubahan pertama ini disahkan pada 29 Maret 2004
oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat pada Lembaran Negara RI
Nomor 35 Tahun 2004.
Adapun hal-hal penting yang diubah dari perubahan kedua atas Undang-undang No.
5 Tahun 1986, sebagai berikut:
5. Kesejahteraan hakim;
Secara lebih rinci, beberapa ketentuan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1986
tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang mengalami perubahan kedua, yaitu: bab
1 tentang ketentuan umum; bab 2 tentang susunan pengadilan, tentang pengaturan
mengenai ketua, wakil ketua, dan hakim, tentang panitera, dan tentang sekretaris;
bab 3 tentang kekuasaan pengadilan; bab 4 tentang hukum acara bagian putusan
pengadilan, pelaksanaan putusan pengadilan; bab 5 tentang ketentuan lain; serta bab
6 tentang ketentuan peralihan. Perubahan kedua ini disahkan pada 29 Oktober 2009
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dituangkan pada Lembaran Negara
RI Nomor 160 Tahun 2009.
Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat mengajukan gugatan tertulis
kepada pengadilan berwenang agar KTUN itu dinyatakan batal atau tidak sah.
Gugatan dapat dilayangkan dengan alasan KTUN bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Batas waktu pengajuan gugatan paling lama 90 hari sejak
diterima atau diumumkan KTUN oleh Badan atau Pejabat TUN.
Kemudian, dalam jangka waktu 30 hari setelah gugatan dicatat, hakim menentukan
hari, jam, dan tempat persidangan, serta memanggil kedua belah pihak untuk hadir
pada waktu dan tempat yang ditentukan. Jangka waktu pemanggilan dan hari sidang
tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali sengketa diperiksa dengan acara cepat.
Guna kepentingan pemeriksaan, hakim dapat memeriksa surat yang dipegang oleh
Pejabat TUN atau pejabat lain yang menyimpan surat. Hakim juga dapat
memerintahkan seorang saksi untuk didengar keterangannya dalam
persidangan. Saksi yang hadir di persidangan wajib mengucapkan sumpah atau janji
sebelum didengar keterangannya di persidangan.
Setelah pemeriksaan sengketa sudah selesai, kedua belah pihak diberi kesempatan
untuk mengemukakan pendapat terakhir berupa kesimpulan masing-masing. Setelah
itu, sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada Majelis Hakim
bermusyararah guna putusan sengketa tersebut. Putusan pengadilan dapat berupa
gugatan ditolak, diterima, tidak diterima, atau gugur.
Alat bukti yang diakui dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah berupa surat atau
tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan
hakim. Surat terdiri dari tiga jenis: akta otentik, akta di bawah tangan, dan surat-
surat lainnya yang bukan akta. Pengetahuan hakim adalah hal yang diyakini
kebenarannya oleh hakim itu, termasuk menilai suatu alat bukti maupun saksi yang
dihadapkan di persidangan. Hakim yang menentukan apa yang harus dibuktikan,
beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Apabila tergugat tidak bersedia sama sekali melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pejabat TUN tersebut dikenakan upaya
paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
Tindakan pejabat TUN itu diumumkan pada media massa cetak setempat oleh
panitera. Selain itu, ketua pengadilan pun harus mengajukan hal ini kepada Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan pejabat
tersebut melaksanakan putusan pengadilan.
Dalam hal ini, mungkin saja tergugat masih tidak melaksanakan putusan pengadilan.
Hal itu bisa disebabkan karena perubahan keadaan yang terjadi setelah putusan
pengadilan dijatuhkan atau memperoleh kekuatan hukum tetap. Perubahan keadaan
dimaksud biasanya berkaitan dengan sengketa di bidang kepegawaian. Apabila hal
itu terjadi, tergugat harus memberitahukannya kepada ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara. Sebagai gantinya, ketua pengadilan mengeluarkan penetapan agar tergugat
dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain.
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tidak mengatur batas waktu pemeriksaan perkara
di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Setelah majelis hakim pada Pengadilan
Tinggi memutuskan perkara itu, dalam jangka waktu 30 hari, panitera Pengadilan
Tinggi TUN harus mengirimkan salinan putusannya kepada PTUN yang memutus
dalam pemeriksaan tingkat pertama. Pemeriksaan tingkat banding bersifat devolutif,
artinya seluruh pemeriksaan perkara pada pengadilan tingkat pertama, dipindahkan
dan diulang oleh Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Pengadilan Tinggi seperti
duduk di tempat hakim tingkat pertama.
PTUN juga mengatur upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali. Kedua upaya
hukum ini diajukan kepada Mahkamah Agung. Upaya hukum Peninjauan Kembali
dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Acara pemeriksaan upaya hukum kasasi diatur dalam Pasal 55 Ayat (1)
Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sedangkan acara
pemeriksaan upaya hukum peninjauan kembali diatur pada Pasal 77 Ayat (1)
undang-undang yang sama.
Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali saja dan diajukan
secara tertulis. Jangka waktunya selama 180 hari. Permohonan ini tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan yang
terhadapnya dimohonkan pemeriksaan peninjauan kembali.
3. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, baik uraian yang disampaikan pada latar belakang dan
pembahasan, kami mengambil kesimpulan sebagai berikut ;
1. Keberadaan Peradilan Administrasi, dalam hal ini Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) adalah merupakan suatu keniscayaan dalam sebuah negara hukum
(rechtsstaats) yang demokratis. Dengan tujuan utamanya untuk mencegah dan
mengawasi terjadinya penyimpangan kekuasaan (abuse of functions) oleh para
pelaksana tugas-tugas pemerintahan dan/atau pejabat negara dan dalam rangka
memberikan perlindungan (berdasarkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan
kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan
akibat suaru keputusan TUN (Tata Usaha Negara), melalui pemeriksaan, pemutusan
dan penyelesaian sengketa dalam bidang TUN.
2. Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara juga sebagai bentuk perwujudan upaya
melindungi kepentingan warga negara dan perlindungan terhadap hak-haknya
sebagai manusia.
3. Dasar hukum Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam tiga instrumen hukum,
yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1986, Undang-undang No. 9 Tahun 2004 dan
Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebelum disahkan Undang-undang No. 5 Tahun 1986, Peradilan Administrasi
Negara pertama kali dituangkan dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960.
Kemudian ditegaskan dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Akhirnya, pada 20 Desember 1986, DPR secara aklamasi menerima
Rancangan Undang-undang tentang Peradilan TUN menjadi undang-undang.
Undang-undang tersebut adalah UU No. 5 Tahun 1986.
4. Hukum acara PTUN diatur dalam Bab IV UU PTUN. Ia mengatur mulai dari gugatan.
Pemeriksaan gugatan di tingkat pertama terdiri dari pemeriksaan dengan acara biasa dan
pemeriksaan dengan acara cepat. Ada pula pengaturan tentang pemeriksaan saksi dan alat
bukti, penyerahan kesimpulan, putusan pengadilan, serta pelaksanaan putusan pengadilan.
5. PTUN mengenal upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali. Upaya
hukum banding ditangani oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pemeriksaannya bersifat devolutif, artinya seluruh pemeriksaan perkara dipindahkan
dan diulang oleh pengadilan tinggi yang bersangkutan.
----*mya*----
DAFTAR PUSTAKA
Simanjuntak, Enrico, (2018), Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Transformasi dan
Refleksi, (Jakarta: Sinar Grafika)
https://lovinasoenmi.wordpress.com/2018/01/23/peradilan-tata-usaha-negara/#_ftn11
https://id.wikipedia.org/wiki/Wirjono_Prodjodikoro