Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

LAYANAN SOSIAL LANJUT USIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Profesi Ners

Stase Keperawatan Gerontik

Disusun Oleh:
ARIS NUGRAHENI

19650098

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH PONOROGO
2020
LAPORAN PENDAHULUAN

LAYANAN SOSIAL LANJUT USIA

A. LATAR BELAKANG

Seiring berjalannya waktu, proses penuaan memang tidak bisa dihindarkan.


Keinginan semua orang adalah bagaimana agar tetap tegar  dalam menjalani hari tua yang
berkualitas dan penuh makna. Hal ini dapat dipertimbangkan mengingat usia harapan
hidup penduduk yang semakin meningkat. Menjadi tua adalah suatu proses naturnal dan
kadang-kadang tidak tampak mencolok. Penuaan akan terjadi pada semua sistem tubuh
manusia dan tidak semua sistem akan mengalami kemunduran pada waktu yang sama.
Meskipun proses menjadi tua merupakan gambaran yang universal, tidak seorangpun
mengetahui dengan pasti penyebab penuaan atau mengapa  manusia menjadi tua pada
saat usia yang berbeda-beda.
Menua bukanlah suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses
kehidupan dengan berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada
berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia dengan penurunan kualitas
hidup sehingga status lansia dalam kondisi sehat atau sakit.
Saat ini kita mulai memasuki periode aging population, dimana terjadi peningkatan
umur harapan hidup yang diikuti dengan peningkatan jumlah lansia. Indonesia
mengalami peningkatan jumlah penduduk lansia dari 18 juta jiwa (7,56%) pada tahun
2010, menjadi 27,1 juta jiwa (9,9%) pada tahun 2020, dan diperkirakan akan terus
meningkat dimana tahun 2035 menjadi 48,2 juta jiwa (15,77%).
Indonesia saat ini sudah menuju kepada kondisi populasi menua dengan persentase
Lansia sebesar 9,7% sedangkan negara-negara maju sudah melebihi 10% bahkan Jepang
sudah melebihi 30%. Pada negara-negara maju telah dikembangkan sistem pelayanan
long term care atau perawatan jangka panjang yang pembiayaannya tersendiri di luar
jaminan kesehatan, sehingga ketika seseorang memasuki kondisi membutuhkan
pelayanan jangka panjang, long term care, dapat ditanggulangi oleh skema asuransi
khusus tersebut
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, penyakit yang terbanyak pada lansia adalah
untuk penyakit tidak menular antara lain ; hipertensi, masalah gigi, penyakit sendi,
masalah mulut, diabetes mellitus, penyakit jantung dan stroke, dan penyakit menular
antara lain seperti ISPA, diare, dan pneumonia. Jumlah orang dengan demensia
cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kasus penyakit tidak menular.
Kondisi tersebut akan berdampak pada kondisi ketergantungan lansia akan bantuan orang
lain, atau Perawatan Jangka Panjang / Long term care.Di sisi lain, terdapat juga Lansia
yang mandiri sebanyak 74,3% dan lansia yang tergantung ringan 22%.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan


Lansia menyebutkan bahwa upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia
diselenggarakan berasaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial bertujuan untuk memperpanjang usia harapan
hidup dan masa produktif, terwujudnya kemandirian dan kesejahteraannya,
terpeliharanya sistem nilai budaya dan kekerabatan bangsa Indonesia, serta lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk mendorong percepatan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan Lansia di


fasilitas kesehatan telah diterbitkan beberapa Permenkes yang mengatur pelayanan
kesehatan di fasilitas kesehatan primer maupun rujukan. Selain itu juga Permenkes no. 25
tahun 2016 tentang Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lansia 2016-2019 dengan 6
strateginya: 1) Memperkuat dasar hukum pelaksanaan pelayanan kesehatan lanjut usia, 2)
Meningkatkan jumlah dan kualitas fasilitas kesehatan, 3) Membangun dan
mengembangkan kemitraan dan jejaring pelaksanaan pelayanaan kesehatan lanjut usia, 4)
Meningkatkan ketersediaan data dan informasi di bidang kesehatan lanjut usia, 5)
Meningkatkan peran serta dan pemberdayaan keluarga, masyarakat, dan lanjut usia, 6)
Meningkatkan peran serta Lansia dalam upaya peningkatan kesehatan keluarga dan
masyarakat .

Konsep dasar pengembangan pelayanan atau program kesehatan lansia adalah


diharapkan lansia yang sehat tetap sehat dengan mengoptimalkan fungsi fisik, mental,
kognitif dan spiritual, melalui upaya promotif dan preventif, termasuk kegiatan
pemberdayaan lansia. Lansia yang sakit diharapkan dapat meningkat status kesehatannya
dan optimal kualitas hidupnya sehingga lansia dapat sehat kembali.

B. POSYANDU LANSIA

Posyandu adalah suatu kegiatan masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan.


Posyandu lansia merupakan pusat kegiatan masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan
pada lanjut usia. Posyandu sebagai suatu wadah kegiatan yang bernuansa pemberdayaan
masyarakat akan berjalan baik dan optimal apabila proses kepemimpinan, terjadi proses
pengorganisasian, adanya anggota kelompok dan kader serta tersedianya pendanaan
(Azizah dalam Siahaan, 2014).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia mendefinisikan posyandu lansia
sebagai suatu forum komunikasi, alih teknologi dan pelayanan kesehatan oleh masyarakat
dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk pembangunan sumber daya
manusia khususnya lanjut usia (Siahaan, 2014)
Posyandu Lansia atau Kelompok Usia Lanjut (POKSILA) adalah suatu wadah
pelayanan bagi usia lanjut di masyarakat, dimana proses pembentukan dan pelaksanaanya
dilakukan oleh masyarakat bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lintas sektor
pemerintah dan non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik
beratkan pelayanan pada upaya promotif dan preventif (Komnas Lansia, 2010).
Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa posyandu lansia
adalah suatu upaya kesehatan bagi masyarakat usia lanjut yang dilakukan di wilayah
tertentu dan penyelenggaraannya melalui program Puskesmas dengan melibatkan peran
serta dari lansia, keluarga, tokoh masyarakat, dan organisasi sosial dalam
penyelenggaraannya.

C. TUJUAN POSYANDU LANSIA


Tujuan penyelenggaraan posyandu dibagi menjadi dua, tujuan umum dan khusus.
Berikut ini dijabarkan beberapa tujuan penyelenggaraan posyandu :
1. Tujuan Umum
Meningkatkan derajat kesehatan lansia untuk mencapai masa tua yg bahagia &
berdaya guna dlm kehidupan keluarga dan masyarakat (Matra, 1996)
2.  Tujuan khusus
a. Meningkatkan kesadaran lansia untuk membina sendiri kesehatannya
b. Meningkatkan kemampuan & peran serta masy dlm menghayati & mengatasi
masalah kesh lansia scr optimal
c. Meningkatkan jangkauan yankes lansia
d.  Meningkatnya jenis dan mutu yankes lansia
Tujuan pembentukan posyandu lansia secara garis besar antara lain :
a.  Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga
terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia
b. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta
dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi antara
masyarakat usia lanjut.
D. SASARAN POSYANDU LANSIA
Menurut Azizah (dalam Siahaan, 2014) pembinaan kesehatan bagi masyarakat usia
lanjut memiliki beberapa kelompok sasaran, yaitu :
1. Sasaran Langsung
a. Kelompok usia menjelang usia lanjut (45-54 tahun) atau dalam masa virilitas, di
dalam keluarga maupun masyarakat luas dengan paket pembinaan yang meliputi
KIE dan pelayanan kesehatan fisik, gizi agar dapat mempersiapkan diri
menghadapi masa tua.
b. Kelompok usia lanjut dalam masa prasenium (55-64 tahun) dalam keluarga,
organisasi masyarakat usia lanjut dan masyarakat pada umumnya, dengan paket
pembinaan yang meliputi KIE dan pelayanan agar dapat mempertahankan
kondisi kesehatannya dan tetap produktif
c. Kelompok usia lanjut dalam masa senescens (65 tahun) dan usia lanjut dengan
resiko tinggi (dari 70 tahun). Hidup sendiri, terpencil, menderita penyakit berat,
cacat, dan lain-lain, dengan paket pembinaan yang meliputi KIE dan pelayanan
kesehatan agar dapat selama mungkin mempertahankan kemandiriannya.
2. Sasaran Tidak Langsung
a. Keluarga dimana usia lanjut berada.
b. Organisasi sosial yang berkaitan dengan pembinaan usia lanjut.
c. Institusi pelayanan kesehatan dan non kesehatan yang berkaitan dengan
pelayanan dasar dan pelayanan rujukan.
d. Masyarakat luas.

E. PRINSIP PELAYANAN POSYANDU LANSIA


Dalam UU No. 13 tahun 1998 dan Permensos No. 19 tahun 2012, penduduk lansia
dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu Lanjut Usia Terlantar dan Lanjut Usia Potensial.
Lanjut Usia Telantar adalah seseorang yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih dan
karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya; sementara itu
Lanjut Usia Potensial adalah penduduk lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa. Penduduk lansia
terlantar dianggap sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), karena
mereka memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria
masalah sosial diantaranya kemiskinan dan ketelantaran. Mereka tidak terpenuhi
kebutuhan dasarnya seperti sandang, pangan, dan papan; dan terlantar secara psikis, dan
sosial (Lampiran Permensos No. 08 Tahun 2012).
Pada tahun 2014 Menteri Sosial menyebutkan bahwa jumlah penduduk lansia terlantar
sekitar 2.851.606 orang. Keberadaan penduduk lansia terlantar mencerminkan bahwa
keluarga sebagai lingkungan terdekat para lansia tidak dapat memberikan dukungan
sosial dengan baik. Terdapat beberapa alasan keluarga tidak dapat memberi dukungan
sosial bagi lansia, diantaranya adalah:
1. kemiskinan, keluarga tidak dapat memberikan dukungan instrumental karena mereka
miskin sehingga tidak mampu memberikan kebutuhan dasar pada anggota
keluarganya yang sudah lansia;
2. nilai-nilai kekeluargaan sudah mulai melemah, lansia dianggap sebagai beban
keluarga, keluarga cenderung memperhatikan keluarga intinya tanpa memperhatikan
kebutuhan keluarga besarnya;
3. kesibukan karena bekerja, anak-anak memiliki pekerjaan yang menuntut curahan
waktu yang banyak, sehingga mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk
merawat orangtua;
4. tidak mampu merawat, banyak diantara keluarga yang tidak memiliki kemampuan
untuk merawat karena lansia di keluarganya memerlukan perawatan khusus.
Tiga alasan terakhir yang menyebabkan lansia terlantar, tidak hanya dapat terjadi pada
keluarga miskin tetapi juga dapat terjadi pada keluarga kalangan menengah dan atas,
dimana terdapat lansia yang tidak terlantar secara ekonomi tetapi terlantar secara psikis
dan sosial.
Permensos No. 19 tahun 2012 menyebutkan bahwa pelayanan sosial lanjut usia dapat
dilakukan baik di dalam panti maupun di luar panti; dan dapat dilakukan baik oleh
pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, pemerintahan daerah kabupaten/kota, maupun
masyarakat. Kebijakan untuk penduduk lansia saat ini lebih mengedepankan
kesejahteraan sosial dengan kelompok prioritas yaitu penduduk lansia terlantar yang
karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar baik jasmani, rohani
maupun sosial Kegiatan yang utama lebih ditujukan untuk perlindungan dan rehabilitasi
sosial, seperti:
1. panti reguler, yang memberikan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi
lansia yang tinggal di panti;
2. Day Care untuk kegiatan dan aktualisasi lansia yang tinggal sendiri atau tinggal
bersama keluarga melalui pelayanan panti atau Dinas Sosial;
3. Home Care untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan pendampingan lansia terlantar
atau hidup sendiri di rumah dengan melakukan 2-3 kali kunjungan per minggu oleh
pekerja sosial;
4. Kelompok Usaha Bersama (KUBe) atau Usaha Ekonomi Produktif (UEP) untuk
peningkatan penghasilan dan pendapatan lanjut usia yang masih dapat produktif; dan
5. Asistensi Sosial untuk Lanjut Usia Terlantar (ASLUT) dengan memberikan bantuan
sosial Rp 300.000,- per bulan), dalam kegiatan ini dimungkinkan partisipasi
masyarakat setempat untuk lansia terlantar (Kementerian PPN dan Bappenas, 2015).
F. JENIS LAYANAN
Arah kebijakan lanjut usia dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 diantaranya adalah memperkuat skema perlindungan bagi
penduduk lansia. Perlindungan penduduk lansia akan lebih diarahkan pada penyediaan
layanan Long Term Care (LTC). Layanan Long Term Care bagi lansia dianggap perlu
lebih mendapat perhatian karena para lansia mengalami kondisi kronis, penurunan
fungsional, dan keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Activities of Daily
Living atau ADL), sehingga mereka memiliki ketergantungan tinggi. Layanan LTC
melibatkan tiga komponen, yaitu pemerintah berupa penyediaan sistem asuransi LTC dan
layanan berbasis institusi (institutional based); masyarakat menyediakan layanan berbasis
komunitas (Community based); dan rumah tangga akan mendapatkan layanan penguatan
kapasitas rumah tangga agar dapat melakukan pelayanan kepada lansia menggunakan
layanan berbasis rumahtangga (Home-Based) (Kementerian PPN dan Bappenas, 2015).

Gambar 1. Tiga Unsur Komponen LTC


Sumber: Kementerian PPN/Bappenas
Model layanan berbasis institusi atau panti proporsinya sangat kecil, dan pelayanan
LTC lebih difokuskan pada layanan berbasis komunitas (Kementerian PPN/Bappenas,
2015). Tulisan ini menyajikan permasalahan yang dihadapi penduduk lansia terlantar,
kebutuhan pelayanan bagi mereka, dan pelayanan sosial bagi penduduk lansia terlantar
yang ada saat ini.
Didirikannya panti yang khusus diperuntukkan bagi lanjut usia yang mengalami
keterlantaran ini bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial lanjut usia agar
mereka dapat menikmati hari tuanya dalam suasana sejahtera yang diliputi rasa aman,
terpenuhi kebutuhan fsik, psikis, dan sosialnya, sehingga mereka dapat menikmati sisa
hidupnya dengan tenang. Keberadaan panti bagi lanjut usia yang mengalami
keterlantaran benar-benar diharapkan, hal ini seiring dengan semakin meningkatnya
jumlah lanjut usia terlantar yang membutuhkan tempat tinggal dan kebutuhan pelayanan
sosial yang tidak diperoleh dari keluarganya. Pelayanan sosial melalui panti bagi lanjut
usia yang mengalami keterlantaran tentu saja didasarkan dengan latar belakang pekerjaan
sosial. Oleh sebab itu, keberhasilan pelayanan sosial bagi lanjut usia, salah satunya
adalah karena adanya sentuhan profesional para pekerja sosial. Berdasarkan latar
belakang permasalahan tersebut diatas, maka penelitian tentang peran pekerja sosial
dalam memberikan pelayanan terhadap lanjut usia dilakukan. Rumusan masalah yang
diajukan adalah bagaimanakah peran pekerja sosial dalam memberikan pelayanan
terhadap lanjut usia? Adapun tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui peran pekerja
sosial dalam memberikan pelayanan terhadap terhadap lanjut usia. Hasil penelitian
diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pengambil kebijakan yang
berhubungan dengan pelayanan lanjut usia dalam panti. Disamping itu, juga bermanfaat
dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pelayanan bagi lanjut usia terlantar
(Aminatun dan Chulaifah,2015).
Adapun jenis pelayanan yang diberikan dalam panti menurut (Sulastri & Sahadi,
2020), meliputi: 1) pemberian tempat tinggal yang layak; 2) jaminan hidup berupa
makan, pakaian, pemeliharaan kesehatan; 3) pengisian waktu luang termasuk rekreasi; 4)
bmbingan mental, sosial, keterampilan, agama; dan 5) pengurusan pemakaman atau
sebutan lain.
1. Tempat tinggal yang layak bagi lansia adalah yang bersih, sehat, aman, nyaman, dan
memiliki akses yang mudah pada fasilitas yang dibutuhkan lansia, sehingga dengan
kondisi kemampuan fisiknya yang makin menurun masih memungkinkan dapat
menjalankan aktivitas sehari-hari dengan mudah, aman, dan tidak sangat tergantung
pada orang lain. Umumnya lanjut usia dihadapkan pada masalah hunian sebagai
berikut: lokasi kamar yang berjauhan dengan lokasi kamar mandi, keadaan kamar
mandi yang kurang mendukung, penggunaan tangga, permukaan lantai yang tidak
rata, dan alur sirkulasi hunian terhadap fasilitas lingkungan kurang menunjang.
Tempat tinggal yang layak bagi lansia adalah yang lapang atau barrier free. Hal ini
sangat bermanfaat bagi lansia, terutama dalam pergerakan atau aksesibilitas dalam
rumah, bahkan ketika mereka harus menggunakan kursi roda. Kurniadi (2012)
merinci karakterik rumah yang ramah lansia, secara garis besar, terbebas dari tangga
dan lantai yang tidak rata atau licin, pencahayaan yang baik, kamar mandi dekat
dengan kamar dan memungkinkan kursi roda dapat masuk, dan aman karena mereka
kurang mampu melindungi dirinya terhadap bahaya. Di negara-negara maju,
pelayanan kelompok lanjut usia dilakukan dalam ruangan khusus, bahkan rumah
sakit khusus dan perkampungan khusus. Adanya fasilitas tersebut ditujukan untuk
memberi lingkungan kehidupan yang nyaman dan sesuai bagi kelompok lanjut usia
(Wijayanti, 2008). Kondisi hunian di dalam panti pun seyogyanya memperhatikan
kebutuhan lansia tersebut.
2. Para lansia seyogyanya mendapatkan makanan yang sesuai dengan kondisi
kesehatannya. Oleh karena itu, makanan untuk lansia sebaiknya dikontrol atas
rekomendasi ahli gizi. Ahli gizi perlu berkerjasama dengan dokter untuk mengetahui
kondisi kesehatan lansia atau jenis penyakit yang diderita, untuk menentukan apa
yang boleh atau tidak boleh dimakan. Dengan demikian, makanan untuk masing-
masing lansia kemungkinan berbeda dengan cara mengolah yang berbeda pula.
Pakaian yang digunakan sebaiknya bersih, layak dan nyaman dipakai. Untuk
pemeliharaan kesehatan seyogyanya terdapat fasilitas kesehatan berupa poliklinik
yang buka 24 jam dan memberikan pelayanan kegawatdaruratan yang mudah
diakses. Apabila perlu dirujuk, tersedia fasilitas ambulans yang siap setiap saat.
Biasanya diperlukan pula fasilitas fisioterapi.
3. Pemanfaatan waktu luang merupakan suatu upaya untuk memberikan peluang dan
kesempatan bagi lansia untuk mengisi waktu luangnya dengan berbagai kegiatan atau
aktivitas yang positif, bermakna, dan produktif bagi dirinya maupun orang lain.
Kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan harus sesuai dengan minat, bakat, dan
potensi yang mereka miliki (Annubawati, 2014). Tidak hanya sekedar mengisi waktu
luang tetapi sesuatu yang menyenangkan, akan lebih baik jika produktif; sehingga
dapat berfungsi sebagai terapi masalah psikososial dan emosional yang mungkin
dialami oleh lansia. Demikian juga dengan kegiatan rekreasi, seyogyanya tidak
hanya menyenangkan tetapi merupakan kesempatan untuk berinteraksi dengan
lingkungan di luar panti sehingga mereka merasa tidak terisolasi tetapi masih
terhubung dengan lingkungan di sekitarnya.
4. Bimbingan mental dan agama lebih ditujukan untuk mengatasi masalah emosional
dan psikologis. Berdasarkan informasi dari Tim Kajian Bentuk Pelayanan Lanjut
Usia di Daerah Istimewa Yogyakarta, banyak lansia yang tinggal di panti werdha
yang kesepian, sedih, menarik diri dari pergaulan dan kegiatan, pasif, murung,
mengalami emosi negatif, bermusuhan dengan sesama penghuni panti, dan
sebagainya. Untuk membantu mengatasi masalah tersebut kegiatan bimbingan
mental dan keagamaan melalui kegiatan konseling dapat membantu mereka.
Sementara itu, bimbingan sosial lebih ditujukan untuk mengatasi masalah relasi
sosial dengan keluarga atau lingkungan sosialnya. Terkait dengan pelaksanaan
bimbingan sosial di panti wedha, Tim Kajian Bentuk Pelayanan Lansia di DIY
(2014) menemukan bahwa di panti werdha ada kecenderungan pelayanan bimbingan
sosial ini relatif sama dengan bimbingan psikologis; belum diarahkan untuk
memfasilitasi interaksi atau komunikasi antar penghuni panti sosial maupun dengan
warga masyarakat lainnya. Masalah relasi sosial seringkali menjadi penyebab atau
saling pengaruh mempengaruhi dengan masalah emosional dan psikologis, sehingga
memperbaiki relasi sosial dengan keluarga atau lingkungan sosial lainnya akan
membantu memecahkan masalah emosional dan psikologis juga.
5. Pelayanan bagi lansia dalam panti diberikan sampai dengan lansia meninggal.
Pelayanan yang diberikan merupakan perawatan jangka panjang (Long-Term Care).
Oleh karena itu, pelayanan pengurusan pemakaman pun turut menjadi tanggung
jawab panti, sesuai dengan agama yang dianutnya masing-masing
G. KOMPONEN POKOK DALAM PENYELENGGARAAN POSYANDU LANSIA
Menurut Azizah (dalam Siahaan, 2014), komponen dalam posyandu lansia meliputi
kepemimpinan, pengorganisasian, anggota kelompok, kader, dan pendanaan.
1. Pimpinan Posyandu
Unit pengelola posyandu dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih dari para
anggota. Ketua posyandu bertanggung jawab terhadap semua kegiatan yang
dilakukan posyandu dan kerjasama dengan semua stakeholder dalam rangka
meningkatkan mutu pelaksanaan posyandu.
2. Pengorganisasian Posyandu
Organisasi posyandu sesungguhnya bersifat organisasi fungsional yang
dipimpin oleh seorang pimpinan dan dibantu oleh pelaksana pelayanan yang terdiri
dari kader posyandu sebanyak 4-5 orang. Bentuk susunan organisasi unit pengelola
posyandu di desa, ditetapkan melalui kesepakatan dari para anggota pengelola
posyandu.
3. Kader Posyandu
Departemen Kesehatan Republik Indonesia mendefinisikan kader sebagai
tenaga sukarela yang tertarik dalam bidang tetentu yang tumbuh dalam masyarakat
dan merasa berkewajiban untuk melaksanakan serta membina kesejahrteraan
termasuk bidang kesehatan (Siahaan, 2014).
Kader posyandu dipilih oleh pengurus posyandu lansia dari anggota
masyarakat yang bersedia, mampu dan memiliki waktu untuk menyelenggarakan
kegiatan posyandu lansia atau bila mana sulit mencari kader dari anggota posyandu
lansia dapat diambil dari anggota masyarakat lainnya yang bersedia menjadi kader.
4. Pendanaan Posyandu
Dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan posyandu termasuk untuk
revitalisasi, dihimpun dari semangat kebersamaan dan digunakan secara terpadu dari
masyarakat, anggaran pemerintah daerah kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah
pusat serta sumbangan swasta dan donor lainnya baik domestik maupun
internasional.

H. MEKANISME PENYELENGGARAAN POSYANDU LANSIA


Penyelenggaraan posyandu lansia pada hakikatnya dilaksanakan dalam 1 (satu)
bulan kegiatan, baik pada hari buka posyandu maupun di luar hari buka posyandu
sekurang-kurangnya satu hari dalam sebulan. Hari dan waktu yang dipilih, sesuai dengan
hasil kesepakatan. Apabila diperlukan, hari buka posyandu dapat lebih dari satu kali
dalam sebulan.
Tempat penyelengaran kegiatan posyandu lansia sebaiknya berada pada lokasi yang
mudah dijangkau oleh masyarakat. Tempat penyelengaraan tersebut dapat di salah satu
rumah warga, halaman rumah, balai desa/kelurahan, balai RW/RT/dusun, salah satu kios
di pasar, salah satu ruangan perkantoran atau tempat khusus yang dibangun secara
swadaya oleh masyarakat yang dapat disebut dengan nama “Wisma Posyandu” atau
sebutan lainnya.
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang prima terhadap lansia, mekanisme penyelenggaraan kegiatan posyandu
lansia yang sebaiknya digunakan adalah sistem lima tahapan (5 meja), yaitu :
1. Tahap I (Meja I) : Tahap pertama yaitu pendaftaran anggota posyandu lansia
sebelum pelaksanaan pelayanan.
2. Tahap II (Meja II) : Tahap kedua yaitu pencatatan kegiatan sehari-hari yang
dilakukan lansia serta penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan.
3. Tahap III (Meja III) : Tahap ketiga yaitu pengukuran tekanan darah,
pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan status mental.
4. Tahap IV (Meja IV) : Tahap keempat yaitu pemeriksaan air seni dan
kadar darah (laboratorium sederhana).
5. Tahap V (Meja V) : Tahap kelima yaitu pemberian penyuluhan dan konseling.
Selain dengan sistem lima tahapan (5 meja) Azizah (dalam Siahaan, 2014)
menyatakan bahwa mekanisme penyelenggaraan kegiatan posyandu lansia dapat
dilakukan menggunakan sistem tiga tahap (3 meja) yaitu :
1. Tahap I (Meja I) : Merupakan tahap pendaftaran lansia yang sudah terdaftar maupun
yang baru, setiap lansia akan mendapat KMS kemudian dilanjutkan dengan
penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan.
2. Tahap II (Meja II) : Pada tahap ini dilakukan pencatatan pada KMS berupa
hasil penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, kegiatan sehari-hari yang
dilakukan. Setelah itu dilakukan pengukuran tekanan darah, pemeriksaan kesehatan
dan status mental, pengobatan sederhana, dan perawatan juga diberikan. Pada tahap
ini, juga dilakukan pemeriksaan kadar gula dan protein dalam air seni
3. Tahap III (Meja III) : Pada tahap ini, lansia diberikan penyuluhan dan
konseling selain itu juga dilakukan pembinaan mental untuk memperkuat ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam tahap ini pula perlu dilakukan kegiatan fisik
berupa olahraga maupun kegiatan fisik lain.

I. JENIS KEGIATAN DALAM POSYANDU LANSIA


Pada dasarnya jenis kegiatan posyandu lanjut usia tidak berbeda dengan kegiatan
posyandu balita atau kegiatan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat lain di
masyarakat. Namun posyandu lanjut usia kegiatannya tidak hanya mencakup upaya
kesehatan saja tetapi juga meliputi upaya sosial dan karya serta pendidikan. Hal tersebut
disebabkan karena permasalahan yang dihadapi lanjut usia bersifat kompleks, tidak hanya
masalah kesehatan namun juga masalah sosial, ekonomi dan pendidikan yang saling
terkait dan mempengaruhi satu sama lainnya.
Menurut Azizah (dalam Siahaan, 2014) kegiatan kesehatan di posyandu lansia,
antara lain :
1. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari, meliputi kegiatan dasar dalam kehidupan
seperti makan, minum, mandi, berjalan, berpakaian, naik turun tempat tidur, buang
air besar dan kecil dan sebagainya.
2. Pemeriksaan status mental.
3. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi
badan dan hasilnya dicatat pada grafik Indeks Massa Tubuh (IMT).
4. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta perhitungan
denyut nadi selama satu menit.
5. Pemeriksaan hemoglobin dengan menggunakan Talquist, Sahli atau Cuprisulfat.
6. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit gula
(diabetes mellitus).
7. Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi awal
adanya penyakit ginjal.
8. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan
kelainan pada pemeriksaan diatas.
9. Penyuluhan kesehatan.
10. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan
kondisi setempat dengan memperhatikan aspek kesehatan dan gizi lanjut usia.
11. Kegiatan olahraga seperti senam lanjut usia, gerak jalan santai untuk meningkatkan
kebugaran.
12. Program kunjungan lanjut usia ini minimal dapat dilakukan 1 (satu) bulan sekali atau
sesuai dengan program pelayanan kesehatan setempat.
DAFTAR PUSTAKA

Aminatun, Siti, Chulaifah. 2015. Peran Pekerja Sosial dalam Memberi Pelayanan Lanjut
Usia (The Role of Social Workers in Giving Service to Elders). Jurnal PKS Vol 14
No 1 Maret 2015; 107 – 122.
Crawford, Karin. 2015. Pekerjaan Sosial dengan Kelompok lanjut Usia. Jakarta : pustaka
Societa.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2015. Bina Keluarga Lansia. Jawa
Timur: BKKBN
Keputusan Menteri Sosial Nomor 93/HUK/1999 tentang Uraian Tugas
Pejabat Fungsional Pekerja Sosial di Lingkungan Panti Sosial Kementerian
PPN/Bappenas. 2015. perlindungan sosial lanjut Usia Jakarta: Direktorat
Perlindungan Sosial dan Kesejahteraan Masyarakat.
Melalui :http://cas.ui.ac.id/wpcontent/uploads/seminar-27052015/Perlindungan-
SosialLANSIA-CAS.pdf (10-08-2016)
Peraturan Menteri Sosial No. 08 Tahun 2012.Tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial.
Peraturan Menteri Sosial No. 19 tahun 2012 Tentang Pedoman Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia (Lansia)
Sulastri, Sri, Sahadi Humaedi. 2020. Pelayanan Lanjut Usia Terlantar Dalam Panti.
Prosiding KS : Riset dan PKM volume 4 NO.1, Hal 1-40. ISSN : 2442-448.

Anda mungkin juga menyukai