Anda di halaman 1dari 4

Nama : Desy Yulia Santi 21 Maret 2020

NIM : 18.60301.100003
Prodi : AKUNTANSI (B)

PPh Orang Pribadi & Badan


Dosen Eni Minarni, S.E., Ak., M. Ak.

Soal !

1. Menjelaskan perbedaan subyek pajak dalam negeri dan luar negeri termasuk saat
timbul dan saat berakhirnya !

2. Menjelaskan PPh Pasal 4 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 !

3. Mengerjakan kasus di materi yang telah dibagi pada "Contoh Kasus" dihitung besar
pajak yang terutangnya !

Jawaban !

1. Perbedaan yang penting antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:

a. Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan subjek pajak luar
negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
Indonesia.

b. Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif
umum. Sedangkan subjek pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan
bruto dengan tarif pajak sepadan alias tarif tunggal terhadap semua objek pajak
berapa pun nilainya.

c. Subjek pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT )
Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam
suatu tahun pajak. Sedangkan subjek pajak luar negeri tidak menyampaikan SPT Pajak
Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang
bersifat final.

2.
a. PPh Pasal 4 ayat 1

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat


Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Ulasan kali ini hanya
akan membahas Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi:

“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun….”

Penjelasan atas unsur-unsur pasal tersebut adalah:

1. Setiap tambahan kemampuan ekonomis. Dalam unsur ini, kita bahas dulu mengenai
unsur tambahan. Tambahan artinya adalah unsur lebih, lebihan, selisih lebih.
Pertanyaannya adalah lebih dari apa? Jika merujuk pada frase “Pajak Penghasilan”,
maka jawabannya adalah penghasilan yang berlebih. Unsur berlebih inilah yang
kemudian memberikan tambahan kemampuan ekonomis. Contoh: Abang nasi
goreng. Untuk bahan-bahan jualan nasi goreng sampai dengan nasi goreng dijual, si
abang ini perlu modal 100.000. Hasil penjualan nasi goreng adalah 120.000. Dengan
demikian, selisih lebihnya adalah 20.000. Dengan demikian, dapat kita simpulkan
bahwa pajak, dalam hal ini, menyebutkan bahwa objek pajak adalah penghasilan
yang sifatnya “bersih”, sudah dikurangi dengan beban-beban terkait aktivitas untuk
mendapatkan penghasilan.

2. Yang diterima atau diperoleh. Konsep ini memberikan kita dua pengertian utama,
yaitu “diterima” dan “diperoleh“. Diterima berarti konsep penghasilan/pendapatan
yang diakui secara cash basis. Misalnya, abang nasi goreng jual nasi goreng kepada A.
A membayar tunai sebesar 10.000. A menyerahkan tunai 10.000 kepada abang nasi
goreng, dan abang nasi goreng menerima 10.000 dari A. Dengan demikian, abang
nasi goreng menerima pendapatan sebesar 10.000. Diperoleh berarti konsep
penghasilan/pendapatan yang menggunakan pendekatan accrual. Misalnya, A beli
nasi goreng tapi utang karena dia nggak punya duit. Abang nasi goreng mempunyai
piutang sebesar 10.000, dan A punya utang 10.000 kepada abang nasi goreng. Dalam
hal ini, abang nasi goreng tidak menerima uang 10.000. Namun,
ia memperoleh pendapatan 10.000 yang uangnya akan ia terima di kemudian hari.
Perlu diperhatikan, bahwa pajak–dalam banyak hal–lebih berfokus pada cash basis.

3. Baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Artinya adalah, tidak
peduli darimana asal penghasilan. Mau dari dalam negeri, mau dari luar negeri,
semuanya tetep kena pajak.
4. Dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan. Dalam unsur ini,
kita harus berhati-hati dengan konsep konsumsi. Konsep ini biasanya mis-interpretasi
dengan konsep cost. Kita kaitkan dengan unsur nomor 1. Tambahan adalah setiap
penghasilan bersih, setelah dikurangkan dengan segala beban atau biaya untuk
memperoleh pendapatan. Cost adalah segala biaya maupun beban dalam rangka
memperoleh pendapatan. Dalam hal ini, cost sifatnya deductible (boleh dikurangkan)
dari pendapatan kotor. Berbeda dengan konsumsi. Konsumsi adalah aktivitas yang
tidak secara langsung atau bahkan tidak sama sekali mendatangkan manfaat.
Konsumsi pun tidak bersifat deductible. Dia tidak boelh dikurangkan dari pendapatan
kotor. Misalnya, abang nasi goreng membeli beras untuk keperluan nasi gorengnya.
Beras disini adalah cost. Berbeda jika abang nasi goreng memakan satu porsi nasi
gorengnya untuk keperluan sendiri karena dia lapar. Nasi goreng yang dimakan ini
bukanlah cost, melainkan aktivitas konsumsi.

5. Dengan nama dan dalam bentuk apapun. Inti dari hal ini adalah substance over form.
Apapun itu, selama bisa memberikan manfaat ekonomi kepada kita, dapat
memberikan tambahan kemampuan, maka kita pajak berlaku disitu. Misalnya, kita
mendapatkan hadiah berupa mobil seharga 100 juta. Kita tidak menerima uang tunai,
tapi menerima dalam bentuk mobil. Apakah kena pajak? Ya, kena pajak. Karena kita
mendapatkan tambahan aset seharga 100 juta. Contoh lain, kita barter dengan
memberikan emas seharga 95 juta untuk mendapatkan mobil seharga 100 juta.
Apakah kena pajak? Ya, kena pajak. Karena kita mendapatkan keuntungan sebesar 5
juta. Lihat, di sini tidak ada pertukaran uang secara langsung namun terjadi substansi
penambahan kekayaan. Contoh lain, kita mendapat bunga saat kita menabung di
bank. Apakah bunga tersebut kena pajak? Ya, kena pajak.

b. PPh Pasal 4 ayat 2

Penghasilan dalam pasal ini, jika kita melihat dari sisi akuntansi perusahaan yaitu neraca,
maka yang dimaksud penghasilan adalah segala tambahan equity tanpa adanya
penambahan jumlah saham. Kenapa demikian? Mari kita ingat sedikit. Neraca, atau laporan
posisi keuangan terdiri dari 3 unsur utama. Sisi kiri adalah aset, sedangkan sisi kanan berisi
utang dan equity. Equity terdiri dari saham dan laba ditahan. Saham adalah kekayaan
pemegangnya, pemilik perusahaan. Sementara, akumulasi laba hasil operasi adalah laba
ditahan. Dengan kata lain, penghasilan adalah tambahan laba ditahan. Laba ditahan bisa
bertambah karena naiknya aset, berkurangnya hutang, atau kombinasi keduanya. Hal ini
memenuhi definisi dari pasal 4 ayat 1 undang-undang ini.

 PPh Pasal 4 Ayat 2 (Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 ) dikenakan atas beberapa jenis
penghasilan dengan pemotongan yang bersifat final dan tarif yang berbeda-beda
untuk setiap jenis pajaknya. Oleh karena itu, Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 ini
disebut juga sebagai PPh Final.

 Salah satu objek PPh Pasal 4 Ayat 2 adalah omzet penjualan usaha (di bawah Rp 4,8
miliar dalam 1 tahun), baik yang dimiliki wajib pajak badan maupun orang pribadi.
Tarifnya adalah 0,5 persen dari total omzet penjualan per bulan.

 Cara termudah hitung dan setor pajak final ini, sekaligus mendapatkan lampiran PDF
laporan tahunannya secara otomatis adalah dengan menggunakan aplikasi PPh Final
0,5% OnlinePajak.

c. PPh Pasal 4 ayat 3

Pasal 4 ayat (3) huruf h UU PPh memberikan fasilitas kepada dana pensiun yang telah
disahkan Menteri Keuanga n di mana atas penghasilan-penghasilan tertentu
yang ditentukan dalam Keputusan Menteri Keuangan tidak dikenalan Pajak
Penghasilan.Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 651/KMK.04/1994
Tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu Yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana
Pensiun Yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan, penghasilan dana
pensiun yang dikecualikan sebagai objek pajak di antaranya adalah bunga dan diskonto
dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia, serta Sertifikat
Bank Indonesia. Juga dikecualikan sebagai objek pajak bagi dana pensiun ini adalah
bunga dari obligasi yang diperdagangkan di pasar modal di Indonesia.

3. Berikut ini adalah contoh perhitungan PPh terutang:

Brojabro adalah karyawan perusahaan yang masih lajang. Dia memiliki penghasilan senilai
Rp 6.000.000 per bulan, atau Rp 72.000.000 per tahun. Status lajang Brojabro membuatnya
mendapat Penghasilan Tidak Kena Pajak sejumlah Rp 54.000.000 per tahun. Ini berarti
penghasilan kena pajak Brojabro dihitung dari selisih antara gaji/pendapatan per tahun dan
PTKP, yaitu Rp 72.000.000 – Rp 54.000.000 = Rp 18.000.000.

Karena penghasilan Brojabro dalam setahun adalah Rp 72.000.000, maka perhitungan


tarifnya menggunakan persentase 15%. Jumlah pajak penghasilan yang harus dibayar dalam
setahun adalah 15/100 x Rp18.000.000 = Rp 2.700.000. Ini berarti jumlah uang yang menjadi
potongan pajak Brojabro adalah Rp 225.000 per bulan.

Anda mungkin juga menyukai