Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik yang

terutama ditandai dengan kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia) akibat

gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya. Keadaan

hiperglikemia yang terus berlanjut dalam jangka waktu lama, dapat

mengakibatkan gangguan mikrovaskular dan makrovaskular diberbagai organ.

Penyebaran perubahan patologis secara luas ini terutama berkembang pada mata,

jantung, ginjal,saraf dan pembuluh darah, masing-masing dapat menyebabkan

terjadinya retinopati diabetik, kardiopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati


(1) (6) (11)
diabetik dan vaskulopati diabetik . Berdasarkan penelitian, DM adalah

penyakit kronik degeneratif yang mempunyai angka morbiditas dan mortalitas

yang tinggi di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa

Indonesia berada di urutan keempat negara yang jumlah penyandang DM

terbanyak. Jumlah ini akan mencapai 21,3 juta pada tahun 2030. (2)

Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan

penyebab utama kebutaan pada orang dewasa dan biasanya mengenai penderita
(2) (3)
berusia 20-64 tahun. Resiko ini jarang ditemukan pada anak dibawah 10

tahun dan meningkat setelah pubertas. (1) Pada kasus retinopati terjadinya kelainan

retina berupa mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan

mikrovaskular pada retina. Berdasarkan gejala dan tanda klinik, retinopati diabetik

1
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu; retinopati diabetik non-proliferatif dan

retinopati diabetik proliferatif. Lesi di retina pada stadium awal (retinopati

diabetik non-proliferatif) ditandai dengan adanya mikroaneurisma, hemoragik

titik, hemoragik berupa lidah nyala api, abnormalitas mikrovaskular intraretinal,

serta ditemukannya cotton wool spots. Makulopati diabetik merupakan stadium

akhir dari retinopati tipe non-proliferatif yang ditandai dengan adanya dilatasi

kapiler, destruksi dari dinding kapiler, penyumbatan dan infark mikrovaskular.

Penyumbatan mikrovaskular tersebut menyebabkan keadaan hipoksia ditingkat

jaringan sehingga berkembangnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi) yang

merupakan ciri stadium lanjut dari retinopati yang dikenal dengan retinopati

diabetik proliferatif. (1)

The DiabCare Asia 2008 Study melibatkan 1785 penderita DM pada 18 pusat

kesehatan primer dan sekunder di Indonesia melaporkan bahwa 42% penderita

DM mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di antaranya merupakan

retinopati DM proliferatif. (2)

Faktor resiko yang mempengaruhi seorang penyandang DM menderita

gangguan retina yaitu usia dan lamanya seseorang menderita DM, ketergantungan

insulin pada DM tipe 2, jenis kelamin serta penyakit yang menyertai, misalya

nefropati dan hipertensi. Selain itu, pubertas dan kehamilan dapat mempercepat

progresivitas retinopati diabetik. (4) (8)

Retinopati diabetik menjadi masalah penting yang harus diwaspadai karena

kebutaan akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas penderita yang


(2)
akhirnya menimbulkan beban sosial masyarakat. Oleh itu, pengobatan

sebaiknya dilakukan sebelum gejala penyulit seperti ablasi retina dan perdarahan

2
badan kaca timbul dan memberikan kerusakan. Selain kontrol gula darah dan

tekanan darah intensif, yang memperlambat pekembangan retinopati diabetik,

fotokoagulasi laser, suntikan kortikosteroid atau anti-VEGF ke dalam mata atau

vitrektomi akan sangat berhasil untuk menghentikan penurunan penglihatan. (5) (10)

Maka pada kesempatan ini,saya akan membahaskan mengenai retinopati

diabetik dan terapi suntikan anti-VEGF serta melihat karakteristik penderita

diabetik retinopati non-proliferatif dan diabetik retinopati proliferatif yang

mendapatkan pengobatan suntikan anti-VEGF di Klinik Spesialis Mata Orbita

periode 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:

1.Bagaimana karakteristik penderita retinopati diabetik yang mendapatkan terapi

anti-VEGF berdasarkan usia.

2.Bagaimana karakteristik penderita retinopati diabetik yang mendapatkan terapi

anti-VEGF berdasarkan jenis kelamin.

3.Bagaimana karakteristik penderita retinopati diabetik yang mendapatkan terapi


anti-VEGF berdasarkan kadar gula darah sewaktu.
4.Bagaimana karakteristik penderita retinopati diabetik yang mendapatkan terapi
anti-VEGF berdasarkan tekanan darah.
5.Bagaimana karakteristik penderita retinopati diabetik yang mendapatkan terapi
anti-VEGF berdasarkan hasil visus.
6. Bagaimana karakteristik penderita retinopati diabetik yang mendapatkan terapi
anti-VEGF berdasarkan hasil funduskopi.

1.3 Tinjauan Penelitian

3
1.3.1 Tujauan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik

penderita retinopati diabetik yang mendapatkan penanganan anti- VEGF di

Klinik Spesialis Mata Orbita periode 2014.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penilitian ini adalah:

1.Untuk mengetahui karakteristik penderita retinopati diabetik yang mendapatkan

terapi anti-VEGF berdasarkan usia.

2.Untuk mengetahui karakteristik penderita retinopati diabetik yang mendapatkan

terapi anti-VEGF berdasarkan jenis kelamin.

3.Untuk mengetahui karakteristik penderita retinopati diabetik yang mendapatkan

terapi anti-VEGF berdasarkan kadar gula darah sewaktu.

4.Untuk mengetahui karakteristik penderita retinopati diabetik yang mendapatkan


terapi anti-VEGF berdasarkan tekanan darah.
5.Untuk mengetahui karakteristik penderita retinopati diabetik yang mendapatkan

terapi anti-VEGF berdasarkan hasil visus.

6. Untuk mengetahui karakteristik penderita retinopati diabetik yang mendapatkan

terapi anti-VEGF berdasarkan hasil funduskopi.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Aplikatif

Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai sumber informasi bagi para

praktisi kesehatan mengenai karakteristik penderita retinopati diabetik non-

proliferatif dan retinopati diabetik proliferatif yang mendapatkan terapi anti-

4
VEGF, sehingga timbul kepedulian untuk bekerja sama dalam mengurangi

permasalahan kebutaan akibat komplikasi dari retinopati diabetik di masa yang

akan datang.

1.4.2 Manfaat Teoritis

1. Sebagai bahan masukan bagi pihak instansi yang berwenang untuk digunakan

sebagai dasar pertimbangan dalam mengambil dan memutuskan kebijakan-

kebijakan kesehatan, khususnya dalam mengurangi angka kejadian retinopati

diabetik.

2. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat dan tenaga medis tentang

terapi anti-VEGF pada pasien retinopati diabetik yang berguna untuk

menurunkan angka kebutaan yang diakibatkan oleh retinopati diabetik.

3. Sebagai tambahan ilmu, kompetensi, dan pengalaman berharga bagi peneliti

dalam melakukan penelitian kesehatan pada umumnya, dan terkait tentang

retinopati diabetik khususnya.

4. Sebagai acuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang ingin melakukan

penelitian mengenai karakteristik kasus-kasus retinopati diabetik yang

mendapatkan terapi anti-VEGF .

BAB 2

5
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang terutama ditandai

dengan kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia) akibat gangguan sekresi
(1)
insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada

diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan

beberapa organ tubuh, terutama ginjal, mata, jantung, saraf dan pembuluh darah,

menyebabkan masing-masing dapat menyebabkan terjadinya retinopati diabetik,

kardiopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik dan vaskulopati diabetik


(1) (6) (11)
Retinopati diabetik merupakan suatu komplikasi kronik diabetes melitus

karena mikroangiopati vaskular retina yang dapat menimbulkan kebutaan dan

umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko yang meliputi usia dan

lamanya seseorang menderita DM, ketergantungan insulin pada DM tipe 2, jenis

kelamin serta penyakit yang menyertai, misalya nefropati dan hipertensi. Selain

itu, pubertas dan kehamilan dapat mempercepat progresivitas retinopati diabetik.


(4) (8)
Kontrol gula darah dan tekanan darah sebagaimana yang telah ditetapkan

oleh Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) dan Early Treatment

Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) dapat mencegah insidens maupun

progesifitas dari retinopati diabetik. (7)

2.2. Epidemiologi

Diabetes adalah penyakit yang umum terjadi pada negara maju dan terjadi

masalah terbesar di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan

bahwa Indonesia berada di urutan keempat negara yang jumlah penyandang DM

6
terbanyak. Jumlah ini akan mencapai 21,3 juta pada tahun 2030. (2) (4)

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan


(2) (3)
pada usia 20-64 tahun. Berdasarkan usia dan jenis kelamin yang sama,

ternyata pasien retinopati diabetik memiliki resiko 29 kali lebih mudah mengalami

kebutaan dibanding orang yang nondiabetes. (11) Resiko mengalami retinopati pada

pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya penyakit diabetes yang

dideritai.

2.3. Patogenesis

Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati diabetik.

Jika pembuluh darah terpapar dengan kondisi hiperglikemik pada tempoh waktu

yang lama, keadaan ini bisa menyebabkan perubahan fisiologi dan biokomia yang

akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Perubahan

abnormalitas sebagian besar hematologi dan biokimia telah dihubungkan dengan

prevalensi dan beratnya retinopati antara lain: 1) adhesi platelet yang meningkat,

2) agresi eritrosit yang meningkat, 3) abnormalitas lipid serum, 4) fibrinolisis

yang tidak sempurna, 5) abnormalitas serum dan viskositas darah. (7)

Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari fotoreseptor dan sel saraf,

Kesehatan dan akyivitas metabolisme retina sangat bergantung pada jaringan

kapiler retina. Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetik terletak

pada kapiler retina tersebut. Dinding kapiler retina terdiri tiga lapisan dari luar ke

dalam yaitu sel perisit, membrana basalis dan sel endotel. Sel perisit dan sel

endotel dihubungkan oleh pori yang terdapat pada membrana sel yang terletak

diantara keduanya. Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah sel perisit dan

7
sel endotel retina adalah 1:1 sedangkan pada kapiler perifer yang lain

perbandingan tersebut menncapa 20:1. Sel perisit berfungsi mempertahankan

struktur kapiler, mengatur kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi

barrier dan transportasi kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel.

Membrana basalis berfungsi sebagai barrier dengan mempertahankan

permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran. Sel endotel saling berikatan

erat antara satu sama lain dan bersama-sama dengan matriks ekstrasel dari

membran basalis membentuk barrier yang bersifat selektif terhadap beberapa jenis

protein dan molekul kecil. (7)

Perubahan histopatologis kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai dari

penebalan membrana basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel, di mana

pada keadaan lanjut, perbandingan antara sel endotel dan sel perisit mencapai
(5) (7) (5)
10:1. Keadaan ini mengakibatkan dinding pembuluh darah lemah.

Patofisiologi retinopati diabetik melibatkan lima proses dasar yang terjadi di

tingkat kapiler yaitu : 1) pembentukan mikroaneurisma, 2) peningkatan

permeabilitas pembuluh darah, 3) penyumbatan pembuluh darah, 4) proliferasi

pembuluh darah baru (neovascular) dan jaringan fibrosa retina, 5) kontraksi dari

jaringan fibrous kapiler dan jaringan vitreus. Penyumbatan dan hilangnya perfusi

menyebabkan iskemia retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua

komponen darah. (7)

Sebagai hasil dari perubahan mikrovaskular tersebut adalah terjadinya oklusi

mikrovaskular yang menyebabkan hipoksia retina. Hilangnya perfusi (non

perfussion) akibat oklusi dan penumpukan leukosit kemudian menyebabkan

iskemia retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua komponen darah.

8
Hal ini menimbulkan area non-perfusi yang luas dan kebocoran darah atau plasma

melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari stadium ini adalah cotton wool spot.

Efek dari hipoksia retina yaitu arteriovenous shunt. A-V shunt berkaitan dengan

oklusi kapiler dari arterioles dan venules. Inilah yang disebut dengan Intraretinal

Microvascular Abnormalities (IRMA). Selain itu, dapat ditemukan dot

hemorrhage dan vena yang seperti manik-manik. (7) (8)

Hilangnya sel perisit pada hiperglikemia menyebabkan antara lain

terganggunya fungsi barrier, kelemahan dinding kapiler serta meningkatnya


(7)
tekanan intraluminer kapiler. Kelemahan fisik dari dinding kapiler

menyebabkan terbentuknya saccular atau penonjolan dinding kapiler, terutama

daerah vena yang dikenal dengan mikroaneurisma. Mikroaneurisma merupakan

kelainan DM dini pada mata yang kemudian bisa menyebabkan kebocoran atau
(5) (7)
terjadi thrombus. Konsekuensi dari meningkatnya permeabilitas vaskular

adalah rusaknya barrier darah-retina sehingga terjadi kebocoran plasma ke dalam

retina yang menimbulkan edema macula. Edema ini dapat bersifat difus ataupun
(7)
local. Edema ini tampak sebagai retina yang menebal dan keruh disertai

mikroaneurisma dan eksudat intraretina sehingga terbentuk zona eksudat

berwarna kuning, iregular, kaya lemak bentuk bundar (hard exudates) di sekitar
(7)
mikroaneurisma dan paling sering berpusat di bagian temporal makula. Eksudat

ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu. (5)

9
Gambar 1: Mikroaneurisma, intraretinal hemorrhage, hard exudates (panah) dan

cotton wool spots (kepala panah)

(Dikutip dari kepustakaan 9)

Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyalaan api

karena lokasinya di dalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal.

Sedangkan perdarahan bentuk titik-titik (dot hemorrhage) atau bercak terletak di

lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi vertikal.

Perdarahan terjadi akibat kebocoran erotrosit, eksudat terjadi akibat kebocoran

dan deposisi lipoprotein plasma, sedangkan edema terjadi akibat kebocoran cairan

plasma, (7)

Pada retina yang iskemik, faktor angiogenik seperti vascular endothelial growth

factor (VEGF) dan insuline-like growth factor-1 (IGF-1) diproduksi. Faktor-faktor

ini menyebabkan pembentukan pembuluh darah baru pada area preretina dan

nervus optik (PDR) serta iris (rubeosis iridis). (7)

Pembuluh darah baru yang terbentuk hanya terdiri dari satu lapis sel endotel

tanpa sel perisit dan membrana basalis sehingga bersifat sangat rapuh dan mudah

mengalami perdarahan. Pembuluh darah baru tersebut sangat berbahaya karena

bertumbuhnya secara abnormal keluar dari retina dan meluas sampai ke vitreus,

menyebakan perdarahan di sana dan dapat menimbulkan kebutaan. Perdarahan ke

dalam vitreus akan menghalangi transmisi cahaya ke dalam mata dan memberi

penampakan berupa bercak berwarna merah, abu-abu atau hitam pada lapangan

penglihatan. Apabila perdarahan terus berulang, dapat terjadi jaringan fibrosis atau

sikatriks pada retina. Oleh karena retina hanya berupa lapisan tipis yang terdiri

dari beberapa lapisan sel saja, maka sikatriks dan jaringan fibrosis yang terjadi

10
dapat menarik retina sampai terlepas sehingga terjadi ablasio retina. (7)

Gambar 2 : Neovaskularisasi preretina (panah)

(Dikutip dari kepustakaan 9)

Gambar 3 : Foto angiographic. Ekstravasasi zat warna fluorescein bisa dilihat

pada area yang mengalami neovaskularisasi (panah).

(Dikutip dari kepustakaan 9)

2.4. Diagnosis dan Klasifikasi Retinopati Diabetik

Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer dilakukan melalui

11
pemeriksaan funduskopi direk dan indirek. Metode diagnostik terkini yang

disetujui oleh American Academy of Ophthalmology (AAO) adalah fundus


(2) (7) (10)
photography Dengan fundus photography dapat dilakukan dokumentasi

kelainan retina. Di pelayanan primer pemeriksaan fundus photography berperanan

sebagai pemeriksaan penyaring. Apabila pada pemeriksaan ditemukan edema

makula, retinopati DM nonproliferatif derajat berat dan retinopati DM proliferatif

maka harus dilanjutkan dengan pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis

mata yang terdiri dari pemeriksaan visus, tekanan bola mata, slit-lamp

biomicroscopy, gonioskop, funduskopi dan stereoscopic fundus photography

dengan pemberian midriatikum sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan dapat

dilanjutkan dengan optical coherence tomography (OCT) dan ocular

ultrasonography bila perlu. Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi

retina bila visualisasinya terhalang oleh perdarahan vitreous atau kekeruhan media

refraksi.(2)

Pemeriksaan dengan fundus fluorescein angiography (FFA) bermanfaat untuk

mengidentifikasi jika ada sebarang kelainan mikrovaskular yang berlaku berupa

proses neovaskularisasi, kebocoran darah atau plasma dan proses non perfusi

pembuluh darah kapiler pada retinopati diabetik. Pada umunya klasifikasi

retinopati diabetik didasarkan atas beratnya perubahan mikroviskular retina dan

atau tidak adanya pembuluh darah baru di retina. (7)

12
Tabel 1: Klasifikasi Retinopati Diabetik
(7)

Tahap Deskripsi
Tidak ada retinopati Tidak ada tanda-tanda abnormal yang ditemukan pada

retina. Penglihatan normal


Makulopati Eksudat dan pendarahan dalam area macula, dan atau

bukti edema retina, dan atau bukti iskemia retina.

Penglihatan mungkin berkurang; mengancam penglihatan


Praproliferatif Bukti oklusi (cotton wool spot). Vena menjadi ireguler

dan mungkin terlihat membentuk lingkaran. Penglihatan

normal.
Proliferatif Perubahan oklusi menyebabkan pelepasan substansi

vasoproliferatif dari retina yang menyebabkan

pertumbuhan pembuluh darah baru di lempeng optik

(NVD) atau di tempat lain pada retina (NVE).

13
Penglihatan normal, mengancam penglihatan.
Lanjut Perubahan proliferatif dapat menyebabkan perdarahan ke

dalam vitreus atau antara vitreus dan retina. Retina juga

dapat tertarik dari epitel pigmen di bawahnya oleh

proliferasi fibrosa yang berkaitan dengan pertumbuhan

darah baru. Penglihatan berkurang, sering akut dengan

perdarahan vitreus; mengancam penglihatan.

Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Research Group (ETDRS) dan

Suryathi (2015) membagi retinopati diabetik atas non-proliferatif dan proliferatif.


(7) (13)
Menurut penelitian oleh Suryathi (2015), Non Proliferative Diabetic

Retinopathy (NPDR) atau retinopati diabetik non-proliferatif, yang secara umum

dikenal dengan sebutan background retinopathy, merupakan stadium awal

retinopati diabetik.

Menurut ETDRS retinopati diabetik digolongkan ke dalam diabetik retinopati

non-proliferatif apabila hanya ditemukan perubahan mikrovaskular dalam retina.

Neovaskularisasi merupakan tanda khas retinopati diabetik proliferatif. (7)

Tabel 2: Klasifikasi Retinopati Diabetik berdasarkan ETRDS.


(7)

Retinopati Diabetik Non-Proliferatif


1. Retinopati non-proliferatif minimal: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena,

mikroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras.


2. Retinopati non-proliferatif ringan sampai sedang: terdapat ≥ 1 tanda berupa

dilatasi vena derajat ringan, perdarahan, eksudat keras, eksudat lunak atau

IRMA
3. Retinopati non-proliferatif berat: terdapat ≥ 1 tanda berupa perdarahan dan

14
mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau

IRMA pada 1 kuadran.


4. Retinopati non-proliferatif sangat berat: ditemukan ≥ 2 tanda pada retinopati

non-proliferatif berat.

Retinopati Diabetik Proliferatif


1. Retinopati proliferatif ringan (tanpa resiko tinggi): bila ditemukan minimal

adanya neovaskular pada diskus (NVD) yang mencaup <1/4 dari daerah

diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus, atau neovaskular

dimana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus.
2. Retinopati proliferatif resiko tinggi : apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor

resiko sebagai berikut:

a) ditemukan pembuluh darah baru dimana saja di retina

b) ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus

c) pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup >1/4

daerah diskus

d) perdarahan vitreus. Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus

optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan,

merupakan dua gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati

proliferatif risiko tinggi.

15
Tabel 3: Perbedaan antara NPDR dan PDR
(7)

NPDR PDR
Mikroaneurisma (+) Mikroaneurisma (+)
Perdarahan intraretina (+) Perdarahan intraretina (+)
Hard eksudat (+) Hard eksudat (+)
Oedem retina (+) Oedema retina (+)
Cotton Wool Spots (+) Cotton Wool Spots (+)
IRMA (+) IRMA (+)
Neovaskularisasi (-) Neovaskularisasi (+)
Perdarahan vitroeus (-) Perdarahan vitreous (+)
Pelepasan retina secara traksi (-) Pelepasan retina secara traksi (+)

2.5 Penatalaksanaan

Injeksi Anti VEGF

Ranibizumab (Lucentis) dan Bevacizumab (Avastin) adalah anti-VEGF yang


(14)
paling luas digunakan. Bevacizumab adalah rekombinan anti-VEGF manusia.

Sebuah studi baru-baru ini diusulkan menggunakan bevacizumab intravitreus

untuk degenerasi makula terkait usia. Dalam kasus ini, 24 jam setelah perawatan

kita melihat pengurangan dramatis dari neovaskularisasi iris, dan tidak kambuh

dalam waktu tidak lanjut 10 hari. Pengobatan dengan bevacizumab tampaknya

memiliki pengaruh yang cepat dan kuat pada neovaskularisasi patologis.

Bevacizumab sangat efektif untuk menginhibisi neovaskularisasi yang

berhubungan dengan retinopati diabetik yang proliferatif, glaukoma neovaskuler,

16
edema makula diabetik, perdarahan vitreus dan edema makula sekunder pada
(12) (16)
oklusi vena retina. Bevacizumab merupakan anti angiogenik yang tidak

hanya menahan dan mencegah pertumbuhan proliferasi sel endotel vaskular tapi

juga menyebabkan regresi vaskular oleh karena peningkatan kematian sel endotel.
(7)
Untuk penggunaan okuler, bevacizumab diberikan via intra vitreal injeksi ke

dalam vitreus melewati pars plana dengan dosis 0,05 mL atau 1,25 mg dengan

prosedur steril 1 kali setiap bulan (4 minggu) selama 3 bulan pertama. Pengobatan

lanjut dapat diberikan bila terjadi penurunan ketajaman penglihatan dan atau
(7) (14)
edema makula kembali setelah terapi. Ranibizumab, merupakan versi

modifikasi dari bevacizumab yang khusus dibuat untuk pemakaian intraokuler

dengan fragmen antibodi yang lebih kecil bagi memudahkan penetrasi ke retina

yang lebih baik, dengan dosis 0,05 mL atau 0,5 mg diinjeksikan secara intravitreal
(7) (12) (14)
dengan prosedur steril 1 kali setiap bulan ( 4 minggu) selama 3-6 bulan.

Perbandingan efektivitas ranibizumab dan bevacizumab masih menjadi

perdebatan para ahli. Namun karena perbandingan biaya, lebih banyak klinisi
(14)
menggunakan bevacizumab dibanding ranibizumab. Komplikasi injeksi

intravitreal anti-VEGF sangat jarang, antara lain peningkatan tekanan intraokular

pascainjeksi, endoftalmitis dan lepasnya retina.

Indikasi Pemberian anti-VEGF: (16)

1) Age-Related Macular Degeneration (ARMD) tipe neovaskuler

2) Edema makula sekunder pada oklusi vena retina

3) Diabetic Macular Edema (DME)

4) Proloferative Diabetic Retinpathy (PDR)

5) Perdarahan vitreus

17
6) Glaukoma neovaskuler

Kontraindikasi Pemberian Anti-VEGF: (14) (16)

1) Infeksi okular atau periokular

2) Alergi pada injeksi anti-VEGF atau bahan yang terkandung di dalamnya

3) Ibu hamil atau ibu yang menyusukan anaknya

Anti-VEGF harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang pernah

mengalami serangan jantung atau stroke dalam 3 bulan terakhir dan pada pasien

yang memiliki angina yang tidak terkendali atau mempunyai tekanan darah tinggi

yang tidak terkontrol. (16)

2.6 Prognosis

Tanpa pengobatan, Detachment retinal tractional dan edema macula dapat

menyebabkan kegagalan visual yang berat atau kebutaan. (7) Menurut Nago (2014),

anti-VEGF bisa menghentikan pembuluh darah abnormal daripada bocor, tumbuh

dan kemudian menghalang berlakunya perdarahan di bawah retina. Keadaan ini

mencegah kerusakan pada reseptor cahaya retina dan kehilangan penglihatan

retina. Obat ini efektif dalam mencegah hilangnya penglihatn sentral sehingga

90% dari mata total mata yang diobati. Efek samping dari injeksi anti-VEGF

dapat berupa infeksi mata yang kronis (1 dalam 3000 kasus), pelepasan retina,

terjadinya peningkatan tekanan intraokular, pembentukan bekuan darah dan

pendarahan di dalam mata serta terbentuknya katarak. (15)

BAB 3

18
KERANGKA KONSEPTUAL HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Dasar Pemikiran Variable yang Diteliti

Di era globalisasi ini, angka kejadian diabetis di seluruh dunia cenderung

semakin meningkat dari tahun ke tahun. Diabetes membawa kepada komplikasi

mikrovaskular mata yaitu khususnya kelainan retina yang dikenal sebagai

retinopati diabetik menyebabkan kebutaan paling sering pada usia dewasa 20-64
(2) (3)
tahun. Untuk menghambat terjadinya perburukan ketajaman visus, maka

diberikan penanganan berupa injeksi anti-VEGF kepada pasien dengan retinopati

diabetik tipe non-proliferatif dan proliferatif. Berdasarkan tinjauan pustaka,

terdapat berbagai faktor risiko dari retinopati diabetik anatara lain : usia, jenis

kelamin,lama menderita DM, kolesterol total, kadar gula darah dan HbA1c.

Namun karena terbatasan waktu , faktor resiko yang diteliti hanyalah usia, jenis

kelamin dan kadar gula darah sewaktu, pemeriksaan visus dan funduskopi.

1) Usia

Usia adalah lama seseorang hidup. Penderita penyakit diabetes melitus banyak

dideritai warga Indonesia pada usia produktif. Umumnya manusia mengalami

perubahan fisiologi yang menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes

sering muncul setelah seseorang memasuki usia rawan tersebut. Masa dimana

fungsi tubuh yang dimiliki oleh manusia semakin menurun terutama fungsi

pankreas sebagai penghasil hormon insulin. Peningkatan usia di Indonesia > 40

tahun akan menyebabkan peningkatan diabetes melitus. Penelitian sejak tahun

2007 yang dilakukan oleh pemerintah, menunjukkan bahwa penyakit itu

disebabkan gaya hidup dan pola makan yang keliru. Semakin dewasa seseorang

19
maka resikonya tekena diabetes semakin tinggi. (7)

2) Jenis kelamin

Jenis kelamin adalah kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu spesies

sebagai sarana atau sebagai akibat digunakannya proses reproduksi seksual untuk

mempertahankan keberlansungan spesies itu. Jenis kelamin merupakan suatu

akibat dari dimorfisme seksual, yang pada manusia dikenal menjadi laki-laki dan

perempuan. Di Indonesia prevalensi wanita terkena diabetes lebih tinggi

dibandingkan prevalensi pria (7)

3) Kadar gula darah sewaktu (GDS)

Kadar gula darah sewaktu merupakan kadar gula yang diambil dari darah

pasien pada waktu kapan pun pasien diperiksa.

4) Tekanan darah

Tekanan darah merupakan tekanan yang dialami darah pada pembuluh darah

arteri darah ketika darah dipompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh manusia.

5) Visus

Visus adalah ketajaman atau kejernihan penglihatan. Visus mmerupakan satu

ukuran kuantitatif untuk mengidentifikasi simbol yang telah distandarisasi. Visus

merupakan pegukuran fungsi visual yang paling sering digunakan dalam klinik.

6) Funduskopi

Funduskopi adalah suatu pemeriksaan dari bagian posterior mata dengan

menggunakan alat yang disebut oleh ophtalmoskop. Beberapa struktur yang dapat

dievaluasi antara lain retina, diskus optikus, pembuluh darah.

Oleh karena keterbatasan waktu dan tempat penelitian, maka penelitian ini

dikhususkan pada pasien retinopati diabetik yang mendapatkan pengobatan anti-

20
VEGF, khususnya injeksi Avastin di Klinik Mata Orbita sepanjang periode 2014.

3.2 Kerangka Konsep

anti-VEGF
Vikterektomi Laser

Usia

Jenis Kelamin
Retinopati Diabetik:
I) Diabetik retinopati Visus
Kadar Gula non-proliferatif
Darah Sewaktu II) Diabetik retinopati
(GDS) Funduskopi
prolferatif

Tekanan Darah

Keterangan:

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Variabel Diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

3.3 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

3.3.1 Variable Dependen

3.3.1.1 Retinopati diabetik

a. Definisi : Komplikasi mikrovaskular diabetes melitus pada mata yang dapat

menyebabkan kebutaan.

b. Alat ukur : Tabel pengisian data.

c. Cara ukur : Mencatat hasil pasien retinopati diabetik non-proliferatif dan

21
diabetik retinopati proliferatif yang mendapatkan terapi anti-VEGF dari

rekam medik.

d. Hasil ukur berupa : Jumlah pasien retinopati diabetik non-proliferatif dan

retinopati diabetik proliferatif yang mendapatkan terapi anti-VEGF.

3.3.1.2 Visus

a. Definisi : Ketajaman atau kejernihan penglihatan.

b. Alat ukur : Tabel pengisian data.

c. Cara ukur : Dicatat hasil pengukuran visus pasien dari rekam medik.

d. Hasil ukur berupa : (ICO, 1978 dan ICD-9-CM)

1. (Near-) Normal : 20/20, 20/25, 20/32, 20/40, 20/50, 20/63

2. Low vision : 20/80, 20/160, 20/200, 20/400, 20/500, 20/1000

3. (Near-) Blindness : <20/1000, 0.0

3.3.1.3 Funduskopi

a. Definisi : Pemeriksaan bagian posterior mata dengan menggunakan

ophtalmoskop

b. Alat ukur : Tabel pengisian data.

c. Cara ukur : Dicatat hasil finduskopi pasien dari rekam medik.

d. Hasil ukur berupa :

1. Retinopati diabetik proliferatif

2. Retinopati diabetik non-proliferatif

3.3.2 Variabel Independen

3.3.2.1 Usia

a. Definisi : Lama waktu hidup dimulai sejak dilahirkan sampai dengan waktu

penelitian dilakukan.

22
b. Alat ukur : Tabel pengisian data.

c. Cara ukur : Dicatat usia pasien saat berobat ke klinik dari rekam medik.

d. Hasil ukur berupa :

1. < 40 tahun

2. 40-50 tahun

3. 51-60 tahun

4. 61-70 tahun

5. > 70 tahun

3.3.2.2 Jenis kelamin

a. Definisi : Keadaan fisik lahiriah dari manusia.

b. Alat ukur : Tabel pengisian data.

c. Cara ukur : Dicatat jenis kelamin dari pasien saat masuk ke klinik dari

rekam medik.

d. Hasil ukur berupa :

1. Laki-laki

2. Perempuan

3.3.2.3 Kadar gula darah sewaktu (GDS)

a. Definisi : Kadar gula darah sewaktu merupakan kadar gula yang diambil

dari darah pasien pada waktu kapan pun diperiksa.

b. Alat ukur : Tabel pengisian data.

c. Cara ukur : Dicatat hasil laboratorium GDS pasien dari rekam medik.

d. Hasil ukur berupa :

1. GDS < 200 mg/dl

2. GDS > 200 mg/dl

23
3.3.2.4 Tekanan Darah

a. Definisi : Tekanan yang dialami darah pada pembuluh darah arteri ketika

darah dipompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh manusia.

b. Alat ukur : Tabel pengisian data

c. Cara ukur : Dicatat hasil tekanan darah pasien dari rekam medik.

d. Hasil ukur berupa : (JNC 7)

1. <120/<80 : Normal

2. 120-139/80-90 : Prehipertensi

3. 140-159/90-99 : Hipertensi Grade 1

4. >160/>100 : Hipertensi Grade 2

3.3.2.5 Anti-VEGF

a. Definisi : Anti angiogenik yang menhambat efek prosurvival dari VEGF

pada pembuluh darah yang immatur.

b. Alat ukur : Tabel pengisian data

c. Cara ukur : Dicatat hasil jumlah pasien retinopati diabetik non-proliferatif

dan diabetik retinopati proliferatif yang mendapatkan terapi anti-VEGF dari

rekam medik.

d. Hasil ukur berupa :

1. Pasien retinopati diabetik non-proliferatif yang mendapat terapi anti-

VEGF.

2. Pasien retinopati diabetik proliferatif yang mendapat terapi anti-VEGF.

BAB 4

24
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan deskriptif yang mana pengukuran variabel dilakukan

untuk mengetahui berapa banyak distribusi penderita retinopati diabetik

proliferatif dan retinopati diabetik non-proliferatif yang mendapatkan terapi anti-

VEGF di Klinik Mata Orbita melalui penggunaan rekam medik sebagai data

penlitian.

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

4.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan diadakan pada bulan November 2015 sampai bulan

Desember 2015, yaitu, kurang lebih 1 bulan.

4.2.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini direncanakan diadakan di Bagian Rekam Medik Klinik Spesialis

Mata Orbita, Makassar

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi Target

Populasi target adalah penderita retinopati diabetik yang mendapatkan pengobatan

anti-VEGF di Klinik Mata Orbita, Makassar

4.3.2 Populasi Terjangkau

25
Populasi terjangkau adalah penderita retinopati diabetik yang berobat di Klinik

Mata Orbita sepanjang periode 2014.

4.3.3 Sampel

Sampel penelitian adalah seluruh populasi yang memenuhi kriteria penelitian.

4.3.4 Cara Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan metode total sampling.

4.3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien retinopati diabetik yang dirawat di Klinik Mata Spesialis Mata

Orbita

2. Pasien retinopati diabetik yang mendapatkan terapi anti-VEGF

3. Data rekam medik yang lengkap

4.3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Pasien DM tipe 1.

2. Pasien retinopati diabetik yang disertai penyakit retina yang lain

3. Data rekam medik yang tidak lengkap..

4.4 Jenis Data dan Instrumen Penelitian

4.4.1 Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui rekam

medik subjek penelitian.

26
4.4.2 Instrumen Penelitian

Alat pengumpulan data dan instrumen penelitian yang dipergunakan dalam

penelitian ini terdiri dari lembar pengisian data dengan tabel-tabel tertentu untuk

mencatat data yang dibutuhkan dari rekam medik.

4.5 Manajemen Penelitian

4.5.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak pengurusan

bagian akademik Fakultas Kedokteran UNHAS dan Klinik mata Orbita.

Kemudian nomor rekam medik pasien retinopati diabetik dalam periode yang

telah ditentukan dikumpulkan di bagian Rekam Medik Klinik Mata Orbita.

Setelah itu dilakukan pengamatan dan pencatatan langsung ke dalam tabel check

list yang telah disediakan.

4.5.2 Rencana Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan data anlisa data dibagi dalam beberapa tahapan , yaitu pengumpulan

rekam medik pasien, pengolahan data screening pasien retinopati diabetik yang

mendapatkan terapi anti-VEGF, interpretasi data dan pengambilan kesimpulan.

4.5.3 Penyajian Data

Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram untuk

menunjukkan distribusi penderita retinopati diabetik non-proliferatif dan

retinopati diabetik proliferatif yang mendapat terapi anti-VEGF di Klinik Mata

Orbita periode 2014.

27
4.6 Etika Penelitian

1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak pengurusan

bagian akademik Fakultas kedokteran UNHAS & pihak pengurusan Klinik

Speialis Mata Orbita sebagai permohonan izin untuk melakukan

penelitian.

2. Menghantar surat ethical clearance ke bagian etik UNHAS

3. Menjaga kerahasiaan data pasien yang terdapat pada rekam medik,

sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian

yang dilakukan.

BAB 5

28
HASIL PENELITIAN

Telah dilakukan penelitian tentang “Karakteristik Kasus-Kasus Retinopati

Diabetik Yang Mendapatkan Penanganan Injeksi Anti-VEGF Di Klinik Spesialis

Mata Orbita pada periode 2014” yang dilakukan pada bulan November 2015

sehingga bulan Desember 2015. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data

sekunder dari rekam medik di Klinik Spesialis Mata Orbita, Makassar sepanjang

periode 2014. Penelitian ini dilakukan dengan metode pengambilan sampel secara

total sampling yaitu mengambil seluruh data pasien retinopati diabetik yang

mendapatkan penanganan injeksi anti-VEGF, khususnya injeksi avastin yang

berobat di Klinik Spesialis Mata Orbita.

Jumlah penderita retinopati diabetik yang berobat ke Klinik Spesialis Mata

Orbita pada periode 2014 yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 55

orang. Sebanyak 85 sampel mata yang telah diteliti untuk melihat bagaimana

karakteristik dari pasien-pasien retinopati diabetik yang mendapatkan penanganan

injeksi anti-VEGF. Penelitian dilakukan dengan mencatat data sekunder dari

rekam medik. Data yang diambil adalah nama, no. rekam medik, usia, jenis

kelamin, kadar gula darah sewaktu (GDS), visus dan hasil funduskopi.

Tabel 5.1 : Distribusi Pasien Retinopati Diabetik Yang Mendapatkan

29
Injeksi Avastin Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase (%)


Laki-laki 24 43.64
Perempuan 31 56.36
Total 55 100
Sumber : Rekam Medik Klinik Spesialis Mata Orbita, Makassar

56.36%
43.64%
Laki-laki
Perempuan

Diagram 5.1 : Distribusi Mata Retinopati Diabetik Yang Mendapatkan


Injeksi Avastin Menurut Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian, untuk variable jenis kelamin, secara keseluruhan


proporsi subjek terbesar adalah perempuan, yaitu sebanyak 56.36%. Sedangkan
proporsi bagi laki-laki adalah 43.64%.

Tabel 5.2 Distribusi Pasien Diabetik Retinopati Yang Mendapatkan Injeksi

Avastin Menurut Kelompok Usia

Usia Jumlah (N) Persentase (%)

30
<40 2 3.64
41-50 10 18.18
51-60 26 47.27
61-70 13 23.64
>70 4 7.27
Total 55 100
Sumber: Rekam Medik Klinik Spesialis Mata Orbita, Makassar

7.27% 3.6
4%
18.18% <40 tahun
23.64%
41-50 tahun
51-60 tahun
47.27%
61-70 tahun
>70 tahun

Diagram 5.2 : Distribusi Pasien Diabetik Retinopati Yang Mendapatkan

Injeksi Avastin Menurut Kelompok Usia

Usia termuda yang menderita retinopati diabetik adalah pada usia 33 tahun

dan yang tertua adalah pada usia 81 tahun. Dari hasil penelitian, distribusi usia

pasien antara <40 tahun (3.64%), 41-50 tahun (18.18%), 51-60 tahun (47.27%),

61-70 tahun (23.64%), >70 tahun (7.27%). Usia rata-rata subjek adalah 57.05

tahun. (SD ± 9.75) Usia yang terbanyak menderita retinopati diabetik adalah pada

usia 51-60 tahun, yaitu sebesar 47.27%. Proporsi terkecil adalah pada kelompok

usia <40 tahun, yaitu sebanyak 3.64%.

Tabel 5.3 Distribusi Pasien Diabetik Retinopati Yang Mendapatkan Injeksi

Avastin Menurut Karakteristik Gula Darah Sewaktu (GDS)

31
Gula Darah Sewaktu

(GDS) Jumlah (N) Persentase (%)

(gr/dl)
<200 32 58.18
>200 23 41.82
Total 55 100
Sumber: Rekam Medik Klinik Spesialis Mata Orbita, Makassar

41.82%
58.18%
<200gr/dl
>200gr/dl

Diagram 5.3 : Distribusi Pasien Diabetik Retinopati Yang Mendapatkan

Injeksi Avastin Menurut Gula Darah Sewaktu (GDS)

Dari data yang didapatkan dari rekam medik, secara keseluruhan didapati

proporsi gula darah sewaktu (GDS) dari pasien saat berobat ke Klinik Spesialis

Mata Orbita yaitu dengan GDS <200 gr/dl adalah sebanyak 58.18% dan GDS

>200 gr/dl adalah sebesar 41.82%.

Tabel 5.4 Distribusi Pasien Diabetik Retinopati Yang Mendapatkan Injeksi

Avastin Menurut Karakteristik Tekanan Darah

Tekanan Darah (mm/Hg) Jumlah (N) Persentase (%)

(JNC 7)
Normal 5 9.09
Prehipertensi 15 27.27

32
Hipertensi Grade 1 22 40
Hipertensi Grade 2 13 23.64
Total 55 100
Sumber: Rekam Medik Klinik Spesialis Mata Orbita, Makassar

9.09%
23.64%
Normal
27.27%
P.hipertensi
H.Grade 1
40% H.Grade 2

Diagram 5.4 : Distribusi Pasien Diabetik Retinopati Yang Mendapatkan

Injeksi Avastin Menurut Tekanan Darah

Berdasarkan rekam medik, proporsi tekanan darah yang terbanyak yaitu

hipertensi grade 1 sebesar 40%. Proporsi tekanan darah yang paling rendah adalah

tekanan darah normal, yaitu sebesar 9.09%. Sebesar 27.27% subjek menderita

prehipertensi dan sebesar 23,64% subjek menderita hipertensi grade 2.

Tabel 5.5 Distribusi Mata Retinopati Diabetik Yang Mendapatkan Injeksi

Avastin Menurut Hasil Funduskopi

Hasil Funduskopi Jumlah (N) Persentase (%)


NPDR 16 18.82
PDR 69 81.18
Total 85 100
Sumber: Rekam Medik Klinik Spesialis Mata Orbita, Makassar

33
18.82%

NPDR
81.18% PDR

Diagram 5.5 : Distribusi Mata Retinopati Diabetik Yang Mendapatkan

Injeksi Avastin Menurut Hasil Funduskopi

Berdasarkan data penelitian, hasil funduskopi terbanyak adalah tipe PDR.

Daripada total 85 mata pasien yang diteliti terdapat sebanyak 69 biji mata

(81.18%) yang mengalami komplikasi PDR manakala 16 biji mata (18.82%)

mengalami komplikasi diabetik retinopati tipe NPDR

Tabel 5.6 Distribusi Mata Retinopati Diabetik Yang Mendapatkan Injeksi

Avastin Menurut Karakteristik Hasil Funduskopi

Tipe Diabetik Retinopati Jumlah (N) Persentase (%)


NPDR Unilateral 8 13.79

PDR Unilateral 23 39.66

NPDR Bilateral 4 6.9

PDR Bilateral 23 39.66

Total 58 100
Sumber: Rekam Medik Klinik Spesialis Mata Orbita, Makassar

34
Berdasarkan data penelitian, penderita memiliki hasil funduskopi terbanyak

yaitu PDR bilateral dan PDR unilateral, masing–masing mempunyai perentase

sebanyak 23 biji mata atau sebesar 39.66%. Hasil Funduskopi terendah adalah

pada pasien yang memiliki tipe diabetik retinopati NPDR bilateral dengan jumlah

4 biji mata atau 6.9%. Sebanyak 8 biji mata atau 13.79% mata pasien yang

ditemukan menderita NPDR unilateral.

Tabel 5.7 Distribusi Mata Retinopati Diabetik Yang Mendapatkan Injeksi

Avastin Menurut Jumlah Dilakukan Injeksi Avastin

Jumlah Injeksi Avastin Jumlah (N) Persentase (%)


1 kali 73 85.88
>1 kali 12 14.12
Total 85 100
Sumber: Rekam Medik Klinik Spesialis Mata Orbita, Makassar

14.12%

1 kali
85.88%
>1 kali

Diagram 5.6 : Distribusi Mata Retinopati Diabetik Yang Mendapatkan

Injeksi Avastin Menurut Jumlah Dilakukan Injeksi Avastin

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa dari 85 biji mata penderita

diabetik retinopati yang mendapatkan injeksi Avastin didapatkan sebanyak 73

mata penderita yang menerima 1 kali injeksi Avastin dengan presentase sebesar

35
85.88% dan sebanyak 12 orang penderita yang mendapatkan lebih dari 1 kali

injeksi Avastin dengan presentase sebesar 14.12%.

Tabel 5.8 Distribusi Mata Retinopati Diabetik Yang Mendapatkan Injeksi

Avastin Menurut Derajat

Kategori Pre-Injeksi Post-Injeksi


NPDR PDR N % NPDR PDR N %
Derajat
(Near-) 7 16 23 27.06 6 20 26 30.59

Normal
Low 7 33 40 47.06 8 33 41 48.24

vision
(Near-) 2 20 22 25.88 2 16 18 21.18

Blindnes

s
Total 85 100 Total 85 100
Sumber: Rekam Medik Klinik Spesialis Mata Orbita, Makassar

Keterangan:

N = Jumlah % = Persentase

36
Berdasarkan data penelitian, didapatkan persentase visus terbesar sebelum dan

selepas injeksi adalah low vision yaitu sebesar 47.06% sebelum injeksi dan

48.24% setelah injeksi. Kategori derajat visus (near-) normal mengalami

peningkatan persentase yaitu meningkat dari 27.06% sebelum injeksi menjadi

30.59% setelah injeksi. Derajat visus (near-) blindness pada mata kanan

mengalami penurunan persentase dari 25.88% sebelum injeksi menjadi 21.18%

setelah injeksi.

Berdasarkan hasil pada tabel di atas, setelah diberi injeksi Avastin dapat dilihat

bahwa terjadinya perbaikan visus terutamanya pada pasien diabetik retinopati tipe

PDR karena jumlah pasien PDR pada derajat (near-) blindness sebelum injeksi,

yaitu sebanyak 20 biji mata telah berkurang menjadi 16 biji mata setelah injeksi

dan terjadi peningkatan jumlah pasien PDR pada derajat (near-) normal setelah

injeksi, yaitu dari 16 biji mata menjadi 20 biji mata pada derajat (near-) normal.

Pada pasien NPDR terjadi pengurangan jumlah sampel pada derajat (near-)

normal yaitu dari 7 biji mata menjadi 6 biji mata. Manakala pada derajat low

vision telah terjadi peningkatan jumlah sampel, yaitu dari 7 biji mata sebelum

dilakukan injeksi menjadi 8 biji mata sesudah injeksi.

Tabel 5.9 Karakteristik Perubahan Visus Pasien Retinopati Diabetik Yang

Mendapatkan Injeksi Avastin

Tipe Perubahan Visus

Diabetik Meningkat Statik Menurun Total

Retinopati N % N % N % N %

37
NPDR 1 6.25 12 75 3 18.75 16

PDR 21 30.43 45 65.22 3 4.35 69 100


Total 22 25.88 57 67.06 6 7.06 85
Sumber: Rekam Medik Klinik Spesialis Mata Orbita, Makassar

Keterangan:

N = Jumlah % = Persentase

50
45
40
35
30
Meningkat
25
Statik
20
15 Menurun
10
5
0
NPDR PDR

Diagram 5.7 : Karakteristik Perubahan Visus Pasien Retinopati Diabetik

Yang Mendapatkan Injeksi Avastin

Berdasarkan data penelitian, perubahan visus pada mata yang mengalami

komplikasi diabetik retinopati tipe NPDR dan PDR yang paling banyak setelah

diberi terapi injeksi Avastin adalah visus statik, sebanyak 57 sampel mata

(67.06%). Manakala komplikasi diabetik retinopati yang paling rendah setelah

pemberian injeksi Avastin adalah visus menurun, sebanyak 6 sampel mata

(7.06%). Pada visus statik, tipe NPDR memiliki persentase sebesar 75% manakala

65.22% pada tipe PDR. Persentase perubahan visus yang paling rendah setelah

38
pemberian injeksi Avastin pada pasien NPDR adalah pada visus meningkat, yaitu

sebanyak 6.25% manakala pada tipe PDR persentase perubahan visus terendah

adalah pada visus menurun, yaitu sebanyak 4.35%.

BAB 6

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian `Karakteristik Penderita Retinopati Diabetik

Yang Mendapatkan Penanganan Injeksi anti-VEGF (Injeksi Avastin), di Klinik

Spesialis Mata Orbita pada Periode 2014, didapatkan 85 sampel mata. Metode

pengambilan sampel adalah total sampling. Data diambil dari data sekunder yang

diperoleh dari rekam medik di Klinik Spesialis Mata Orbita.

6.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Usia.

Pada distribusi penderita berdasarkan usia, pasien termuda yang menderita

retinopati diabetik adalah berusia 33 tahun dan yang tertua berusia 81 tahun. Dari

hasil penelitian, distribusi umur pasien antara <40 tahun (3.64%), 41-50 tahun

(18.18%), 51-60 tahun(47.27%), 61-70 tahun (23.64%), >70 tahun (7.27%). Usia

rata-rata subjek adalah 57.05 tahun. (SD ± 9.75) . Usia terbanyak yang menderita

diabetik retinopati adalah usia 51-60 tahun, yaitu sebesar 47.27%. Proporsi

terkecil adalah kelompok usia <40 tahun (3.64%).

Menurut Candi S.(2012), diabetik retinopati paling banyak terjadi pada usia

51-60 tahun dengan persentase 47.1%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

39
dilakukan dimana persentase usia terbanyak yaitu usia 51-60 tahun sebesar

47.27%. dan insidens retinopati diabetik yang paling sedikit terjadi pada penderita

yang berusia <40 tahun sebesar 3.64%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

dimana didapatkan persentase penderita yang berusia <40 tahun paling kecil (0%).
(7)
Hal ini sesuai dengan rujukan bahwa umumnya manusia mengalami perubahan

fisiologi yang menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun.

6.2 Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin.

Berdasarkan hasil penelitian, untuk variabel jenis kelamin, secara keseluruhan

proporsi subjek terbesar adalah permpuan sebanyak 31 orang (56.36%).

Sedangkan proporsi bagi laki-laki adalah sebanyak 24 orang (43.64%). Hal ini

sesuai dengan penelitian dari Mahar dkk yang mendapatkan kecenderungan kasus

diabetik retinopati lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki

dimana proporsi perempuan sebesar 71.69% dan proporsi laki-laki sebesar

28.31%. Hal ini mungkin disebabkan kerana prevalensi terbanyak yang menderita

diabetes mellitus adalah jenis kelamin perempuan, oleh kerana itu jumlah

penderita diabetik retinopati juga lebih banyak pada jenis kelamin perempuan.

6.3 Distribusi Pasien Berdasarkan Kadar Gula Darah Sewaktu.

Dari data yang didapatkan dari rekam medik, secara keseluruhan

didapatkan proporsi gula darah sewaktu dari pasien saat berobat ke Klinik

Spesialis Mata Orbita yaitu dengan GDS <200 mg/dl sebanyak 32 orang atau

sebesar 58.18% dan GDS >200 mg/dl sebanyak 23 orang atau sebesar 41.82 %.

Berdasarkan referensi, diabetik retinopati terjadi akibat paparan dari hiperglikemia

yang berkepanjangan yang dapat meyebabkan perubahan-perubahan biologi dan

40
kimiawi yang terjadi pada endotel pembuluh darah. Kadar gula darah sewaktu

merupakan indikator apakah seseorang memiliki kadar gula darah yang terkontrol

atau tidak. Kadar gula darah yang terkontrol dapat menurunkan risiko terjadinya

diabetic retinopati hingga sekitar 30%.

Data yang diambil ini adalah profil gula darah dari pasien yang sudah

mendapat intervensi pengobatan. Bahkan, para spesialis mata yang akan

melakukan injeksi anti-VEGF itu selalu mengusahakan agar gula darah bisa

mendekati normal.

6.4 Distribusi Pasien Berdasarkan Tekanan Darah

Berdasarkan hasil penelitian, distribusi tekanan darah pasien yang terbanyak

yaitu hipertensi grade 1 sebesar 40%. Persentase tekanan darah normal adalah

yang paling kecil, yaitu sebanyak 9.09%. Sebesar 27.27% subjek menderita

prehipertensi dan sebesar 23.64% subjek menderita hipertensi grade 2.

Berdasarkan referensi, tekanan darah merupakan salah satu faktor risiko yang

dapat meningkatkan risiko terjadinya diabetik retinopati. Menurut Chatziralli dkk,

factor risiko terjadinya diabetik retinopati meningkat 1.5x pada pasien yang

memiliki tekanan darah sistolik 125-139 mmHg dan meningkat 2.8x pada pasien

yang memiliki tekanan darah sistolik >140 mmHg. (7)

6.5 Distribusi Sampel Mata Berdasarkan Hasil Funduskopi.

Berdasarkan data penelitian, hasil funduskopi terbanyak adalah tipe PDR.

Daripada total 85 mata pasien yang diteliti terdapat sebanyak 69 biji mata

(81.18%) yang mengalami komplikasi PDR manakala 16 biji mata (18.82%)

41
mengalami komplikasi diabetik retinopati tipe NPDR. Pada tipe PDR bilateral dan

PDR unilateral, masing–masing mempunyai perentase sebanyak 23 biji mata atau

sebesar 39.66%. Hasil Funduskopi terendah adalah pada pasien yang memiliki

tipe diabetik retinopati NPDR bilateral dengan jumlah 4 biji mata atau 6.9%.

Sebanyak 8 biji mata atau 13.79% mata pasien yang ditemukan menderita NPDR

unilateral.

Funduskopi merupakan salah satu pemeriksaan yang dilakukan untuk

mengeluasi bagian mata posterior dari bola mata. Retinopati diabetik

menyebabkan kelainan pada pembuluh darah retina dan hal tersebut dapat

dievaluasi menggunakan pemeriksaan funduskopi untuk menentukan jenis dari

retinopati diabetik tersebut.

6.6 Distribusi Sampel Mata Berdasarkan Jumlah Dilakukan Injeksi Avastin

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa dari 85 biji mata penderita

diabetik retinopati yang mendapatkan injeksi Avastin didapatkan sebanyak 73

mata penderita yang menerima 1 kali injeksi Avastin dengan presentase sebesar

85.88% dan sebanyak 12 orang penderita yang mendapatkan lebih dari 1 kali

injeksi Avastin dengan presentase sebesar 14.12%.

Injeksi Avastin biasanya diberikan lebih dari 1 kali jika mata pasien

menunjukkan tanda-tanda iskemik, udem berulang ataupun jika didapati masih

adanya pementukan pembuluh darah baru.

6.7 Distribusi Sampel Mata Berdasarkan Kategori Derajat

Berdasarkan data penelitian, didapatkan persentase visus terbesar sebelum dan

selepas injeksi adalah low vision yaitu sebesar 47.06% sebelum injeksi dan

42
48.24% setelah injeksi. Kategori derajat visus (near-) normal mengalami

peningkatan persentase yaitu meningkat dari 27.06% sebelum injeksi menjadi

30.59% setelah injeksi. Derajat visus (near-) blindness pada mata kanan

mengalami penurunan persentase dari 25.88% sebelum injeksi menjadi 21.18%

setelah injeksi.

Berdasarkan hasil pada tabel 5.8, setelah diberi injeksi Avastin dapat dilihat

bahwa terjadinya perbaikan visus terutamanya pada pasien diabetik retinopati tipe

PDR karena jumlah pasien PDR pada derajat (near-) blindness sebelum injeksi,

yaitu sebanyak 20 sampel mata telah berkurang menjadi 16 sampel mata setelah

injeksi dan terjadi peningkatan jumlah pasien PDR pada derajat (near-) normal

setelah injeksi, yaitu dari 16 sampel mata menjadi 20 sampel mata pada derajat

(near-) normal.

Pada pasien NPDR terjadi pengurangan jumlah sampel pada derajat (near-)

normal yaitu dari 7 biji mata menjadi 6 biji mata. Manakala pada derajat low

vision telah terjadi peningkatan jumlah sampel, yaitu dari 7 biji mata sebelum

dilakukan injeksi menjadi 8 biji mata sesudah injeksi.

Visus merupakan suatu hasil kuantitatif yang digunakan untuk mengukur

fungsi visual seseorang. Diabetik retinopati adalah suatu penyakit yang

menyebabkan terjadinya kelainan pada pembuluh darah retina. Salah satu

manifestasi dari diabetik retinopati adalah edema makula. Edema makula ini dapat

menyebabkan penglihatan berkurang dan menyebabkan kebutaan.

6.8 Karakteristik Perubahan Visus Pasien Retinopati Diabetik Setelah

Mendapatkan Injeksi Avastin

Berdasarkan data penelitian, perubahan visus pada mata yang mengalami

43
komplikasi diabetik retinopati tipe NPDR dan PDR yang paling banyak setelah

diberi terapi injeksi Avastin adalah visus statik, sebanyak 57 sampel mata

(67.06%). Pada visus statik, tipe NPDR memiliki persentase sebesar 75%

manakala 65.22% pada tipe PDR. Manakala komplikasi diabetik retinopati yang

paling rendah setelah pemberian injeksi Avastin adalah visus menurun, sebanyak 6

sampel mata (7.06%). Persentase perubahan visus yang paling rendah setelah

pemberian injeksi Avastin pada pasien NPDR adalah pada visus meningkat, yaitu

sebanyak 6.25% manakala pada tipe PDR persentase perubahan visus terendah

adalah pada visus menurun, yaitu sebanyak 4.35%.

Pemberian anti-VEGF bertujuan untuk menurunkan ekspresi VEGF sehingga

resiko timbulnya fibrosis dapat diturunkan. Terapi anti-VEGF juga efektif

diberikan untuk mengurangi neovaskularisasi retina dan edema makula pada

penderita PDR sehingga berlaku peningkatan terhadap perubahan visus mereka

setelah diberikan injeksi.

44
BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Setelah melaksanakan penelitian mengenai `Karakteristik Kasus Diabetik

Retinopati yang Mendapatkan Penanganan Injeksi anti-VEGF (Injeksi Avastin)

di Klinik Spesialis Mata Orbita pada periode 2014, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Distribusi pasien diabetik retinopati menurut kelamin yang terbanyak

adalah perempuan sebanyak 31 orang (56.36%)

2. Distribusi pasien diabetik retinopati menurut usia yang terbanyak adalah

51-60 tahun sebnayak 26 orang (47.27%)

3. Distribusi pasien diabetik retinopati berdasarkan kadar gula darah sewaktu

yang terbanyak adalah GDS< 200 mg/dl sebanyak 32 orang (58.18%).

4. Distribusi pasien diabetik retinopati berdasarkan tekanan darah yang

terbanyak adalah Hipertensi Grade 1 sebanyak 22 orang (40%).

5. Distribusi pasien diabetik retinopati berdasarkan hasil funduskopi yang

terbanyak adalah tipe PDR, sebanyak 69 sampel mata (81.18%). PDR

bilateral dan PDR unilateral, masing–masing mempunyai perentase

sebanyak 23 biji mata atau sebesar 39.66%.

45
6. Distribusi pasien berdasarkan jumlah dilakukan injeksi Avastin yang

tertinggi adalah sebanyak 73 mata (85.88%) dengan 1 kali injeksi

7. Distribusi pasien diabetik retinopati berdasarkan derajat visus terbesar

sebelum dan selepas injeksi adalah low vision yaitu sebesar 47.06%

sebelum injeksi dan 48.24% setelah injeksi.

8. Distribusi pasien diabetik retinopati berdasarkan perubahan visus yang

paling banyak setelah diberi terapi injeksi Avastin adalah visus statik,

sebanyak 57 sampel mata (67.06%). Pada visus statik, tipe NPDR

memiliki persentase sebesar 75% manakala 65.22% pada tipe PDR.

9. Proporsi kasus diabetik retinopati baik Proliferatif Diabetik Retinopati dan

Non-Prolifertif Diabetik Retinopati mencapai puncak pada golongan usia

51-60 tahun.

7.2 Saran

1. Perlunya dilakukan penelitian yang lebih lanjut dengan menggunakan data

primer agar mendapatkan hasil yang lebih akurat mengingat penelitian

dengan mengkaji data sekunder dapat menimbulkan hasil yang kurang

memuaskan, sehingga memberikan informasi yang lengkap dan benar.

2. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari penelitian sebelumnya maka

diperlukan pengisian data status penderita yang lebih lengkap.

46
Daftar Pustaka

1. Anugrah J, 2013. Hubungan diabetes melitus dan retinopati di RSUD Dr

Soedarso Pontianak. Tesis, Universitas Tanjungpura, Pontianak.

2. Sitompul R, 2011. Retinopati diabetik. Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.

3. Lubis RR, 2007. Diabetik retinopati. Disertasi, Universitas Sumatera Utara,

Medan.

4. Pengan V, Sumual HJG, & Rares LM, 2014. Kecenderungan penderita

retinopati diaetik. Disertasi, Universitas Sam Ratulangi, Manado.

5. Ilyas HS, Yulianti SR, 2014. Ilmu penyakit mata. 5th edition, Jakarta : Fakultas

kedokteran Universitas Indonesia. Hal 230-234.

6. Kumar V, Abbas AK, Fausto n, & Aster JC, 2004. Robbins and contran :

pathologic basis of disease. 8th edition, Philadelphia : Saunders Elsevier. Hal

1131.

7. Candi S, 2012. Karakteristik penderita diabetis melitus dengan retinopati

diabetik di Klinik Spesialis Mata Orbita periode Oktober hingga Desemberr

2011. Disertasi, Universitas Hasanuddin, Makassar.

8. Khurana AK, 2007. Comprehensive ophthalmology. 4th edition New Delhi :

New Age International (P) Limited. Hal 259-262.

9. Lang GK dkk, 2000. Ophthalmology. 1st edition, Germany : Thieme. Hal 316.

10. Greenberg MI, . Teks atlas kedokteran kedaruratan. 1st edition, Philadelphia.

47
Hal 108.

11. Abraham C & Mathai A, 2009. Diabetic retinopathy. 1st edition, New Delhi :

Jaypee. Hal 1- 38 & 141-152.

12. Ilery T, Sumual V, & Rares L. Prevalensi retinopati diabetik pada poliklinik

ilmu kesehatan mata selang satu tahun. Disertasi, Universitas Sam Ratu Langi,

Manado.

13. Suryathi NMA, 2015. Hemoglobin glikosilat yang tinggi meningkatkan

prevalensi retinopati diabetik proliferatif. Tesis, Universitas Udayana,

Denpasar.

14. Anzali RA, 2011. Pemakaian anti-VEGF pada retinopati diabetik. Disertasi,

Universitas Riau, Pekan Baru.

15. Nago J, 2014. Patient information : Anti-VEGF intravitreal injection

treatment. Jurnal, Moorfields Eye Hospital NHS Foundation Trust, London

16. Mosheghi AA, 2014. Safety of intravitreal anti-VEGF agents. Review of

ophtalmology online. Lexington.

48

Anda mungkin juga menyukai