Anda di halaman 1dari 7

Nama: Ade riski prayuda

Nmp : 018 01 3519

Tugas Resemu Maternitas 2


1. Ketika seseorang mengalami menstruasi lebih awal apakah menopousenya lebih
awal atau tidak?

Halodoc, Jakarta – Wanita memang tidak bisa menentukan


kapan menstruasi pertamanya terjadi. Namun, ada beberapa kondisi membuat menstruasi
datang lebih awal pada beberapa wanita. Kamu perlu tahu, risiko yang mungkin terjadi ketika
wanita mengalami menstruasi lebih dini. 

Menstruasi adalah siklus alami yang terjadi pada setiap wanita, biasanya terjadi selama
2-7 hari dengan jarak antar periode antara 21-35 hari. Menstruasi pertama disebut menarche,
umumnya terjadi 2-3 tahun setelah mengalami pertumbuhan bulu kemaluan atau payudara.
Jika menstruasi terjadi di bawah usia 10 tahun, berarti pertumbuhan bulu kemaluan atau
payudara terjadi saat usia 7-8 tahun. Lantas, apa penyebab menstruasi dini?

Penyebab Menstruasi Terlalu Dini

Menstruasi terlalu dini biasanya disebabkan oleh faktor gaya hidup dan lingkungan. Hal ini
termasuk paparan polusi udara dan gaya hidup yang kurang sehat. Berikut ini faktor gaya
hidup yang menyebabkan menstruasi terlalu dini, seperti:

 Konsumsi junk food berlebih. Jika dibiasakan, konsumsi makanan cepat saji yang


berlebihan bisa meningkatkan risiko kegemukan (overweight). Hal ini yang
mempercepat periode menstruasi wanita. Komposisi lemak berlebih pada tubuh
mengirimkan sinyal impuls ke otak untuk mempercepat terjadinya menstruasi.

 Terlalu banyak konsumsi minuman manis. Studi yang dipublikasikan dalam Human


Reproduction Journal mengungkapkan, gula cair buatan yang dikonsumsi anak-anak
bisa menyebabkan perubahan hormon secara permanen. Dampaknya adalah siklus
menstruasi bisa terjadi lebih cepat.

 Kurangnya aktivitas fisik. Selain konsumsi junk food, kurangnya aktivitas fisik dapat
meningkatkan risiko kegemukan atau obesitas sehingga menyebabkan menstruasi
datang lebih cepat.

Risiko Menstruasi Terlalu Dini

Semakin cepat seorang wanita mengalami menstruasi, semakin rentan ia


mengalami menopause dini. Selain itu, berikut ini risiko menstruasi terlalu dini yang perlu
diwaspadai, seperti:

 Pertumbuhan tinggi badan berhenti lebih awal.


 Meningkatnya risiko penyakit asma dan gangguan fungsi paru, seperti yang
diungkapkan dalam American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.

 Studi yang dipublikasikan dalam CardioRenal Medicine menyebutkan, wanita yang


mengalami menstruasi terlalu dini rentan mengalami beberapa penyakit,
seperti stroke, penyakit jantung, histerektomi (pengangkatan jantung), serta
komplikasi kehamilan.

 Wanita yang mengalami menstruasi terlalu dini rentan mengidap kanker payudara.
Semakin cepat mereka menstruasi, semakin lama jaringan payudaranya terpapar
dengan hormon estrogen. Hal ini yang membuat perempuan yang menstruasi terlalu
dini rentan mengalami kanker payudara.
 

Referensi:

Macsali, Ferenc., et al. 2010. Diakses pada 2020. Early  Age at Menarche, Lung Function,
and Adult Asthma. American Journal of Respiratory and Critical  Care Medicine 183(1).

J.L. Carwile, et al. 2015. Diakses pada 2020. Sugar-Sweetened Beverage Consumption and
Age at Menarche in a Prospective Study of US Girls. Human Reproduction Journal  30(3):
675-683. 

Zheng, Yansong., et al. 2016. Diakses pada 2020. Association between Age at Menarche and
Cardiovascular Disease Risk Factors in China: A Large Population-Based Investigation.
CardioRenal Medicine 6(4): 307-316. 

2. Bagaimana faktor predisposisi ibu yang tidak menyusui lebih berisiko kanker

Menyusui memberikan banyak manfaat bagi bayi. ASI memiliki komposisi nutrisi yang tepat
untuk mendukung pertumbuhan bayi dan mengandung antibodi yang melindunginya dari beberapa
infeksi dan masalah kesehat tidak hanya pada bayi, menyusui mempunyai manfaat untuk sang Ibu.
Salah satunya adalah berkaitan dengan rendahnya risiko terkena kanker payudara.
Ahmad Utomo, PhD (KSLGen) memastikan jika perempuan tidak punya anak di usia 35
tahun, dan tidak menyusui, itu meningkatkan risiko kena kanker payudara. 
Media Workshop Patient Journey in Oncology Total Solution yang diselenggarakan PT
Kalbe Farma Tbk (Kalbe) dengan Yayasan Kanker Indonesia (YKI), di Bogor, Selasa (10/8/2019).
[Suara.com/Ade]
"Penyebab kanker itu adalah mutasi genetik. Rusaknya darimana, ada faktor luar dan dari
dalam, bicara kanker payudara, sebut saja radikal bebas itu terpapar di payudara, nah pada umur 30
tahun itu selnya sudah termutasi, ketika hamil, rangsangan sel menjadi banyak, yang diperbanyak tak
hanya sel sehat tapi sel yang termutasi tadi," buka Ahmad Utomo PhD (KSLGen) dalam acara Media
Workshop Patient Journey in Oncology Total Solution yang diselenggarakan PT Kalbe Farma Tbk
(Kalbe) dengan Yayasan Kanker Indonesia (YKI), di Bogor, Selasa (10/8/2019).
Kanker payudara yang lebih sering didiagnosis pada perempuan di bawah usia 50 tahun ini, 
lebih mungkin menjadi agresif dan mengancam jiwa. Untuk menurunkan risiko tersebut, para peneliti
menyarankan kaum perempuan yang telah melahirkan anak untuk menyusuinya. Selain menyehatkan
bayi, menyusui juga dapat melindungi ibu dari risiko kanker payudara agresif ini. Menyusui
merupakan cara murah, strategi yang relatif dapat diakses dan menghasilkan perlindungan alami
dalam jangka panjang.
"Nah, menyusui itu menjadi detoks alami untuk infolusi, Infolusi itu adalah pengecilan
kembali, karena ada pembershian masal sel yang mati. Jika perempuan sejak menstruasi pertama
sampai 35 tahun menunda hamil, akhirnya gen yang termutasi dalam payudara tetap hidup dan sel-sel
itu menjadi berubah menjadi sel ganas yang menjadi kanker payudara.
Hubungan Risiko Kanker Payudara dengan Ibu Menyusui
Berikut ini manfaat menyusui sebagai perlindungan terhadap risiko kanker payudara.
1. Menyusui Bisa Turunkan Paparan Estrogen

Penelitian menunjukkan, ibu yang menyusui memiliki risiko lebih rendah terkena kanker
payudara saat pramenopause, maupun setelah menopause. Menyusui selama enam bulan atau lebih,
juga dinilai dapat memberikan proteksi tambahan bagi ibu.
Proses menyusui menyebabkan perubahan hormon yang dapat menunda periode menstruasi.
Akibatnya, paparan hormon estrogen pada tubuh wanita akan berkurang. Hormon estrogen merupakan
hormon yang dapat meningkatkan pertumbuhan sel kanker.
2. Menyusui Dapat Ubah Jaringan Payudara

Selain itu, saat menyusui jaringan-jaringan di payudara ikut mengalami perubahan. Hal ini
membantu tubuh untuk menyingkirkan sel yang berpotensi mengalami kerusakan DNA sehingga
dapat mengurangi risiko munculnya kanker payudara.
Menyusui juga dipercaya dapat menurunkan risiko ibu terkena kanker ovarium atau indung
telur, karena dapat mencegah terjadinya ovulasi (pembuahan) . Semakin sedikti Anda berovulasi,
maka semakin sedikit juga produksi hormon estrogen di tubuh, sehingga menghambat pertumbuhan
sel abnormal yang dapat berkembang menjadi sel kanker.
3. Semakin Lama Menyusui, Risiko Kanker Payudara Semakin Menurun

ASI merupakan sumber nutrisi yang utama bagi bayi. World Health


Organization  (WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama
usia bayi. Menyusui juga disarankan untuk dilanjutkan hingga anak berusia sekitar dua tahun, disertai
dengan pemberian makanan dan minuman lainnya.
Secara umum, semakin lama seorang ibu menyusui, maka akan semakin besar juga proteksi
terhadap kanker payudara. Risiko kanker payudara dapat berkurang pada ibu yang menyusui selama
satu setengah hingga dua tahun.
Bahkan, penelitian yang dilakukan pada wanita di Tiongkok menyebutkan, risiko kanker
payudara dapat turun hingga 63 persen pada ibu yang menyusui hingga enam tahun. Jumlah tahun
tersebut merupakan jumlah total dari lamanya ibu menyusui beberapa anak.
Sebagai contoh, apabila Anda pernah melahirkan tiga anak dan masing-masing anak mendapatkan
ASI selama enam bulan, maka jangka waktu menyusui tersebut dihitung selama satu setengah tahun.
4. Sel payudara memproduksi susu

Menyusui membuat sel payudara aktif memproduksi setiap waktu. Hal ini membatasi
kemampuan sel-sel payudara untuk berbuat menyimpang.
5. Siklus menstruasi lebih sedikit
Wanita menyusui memiliki siklus menstruasi yang lebih sedikit. Akibatnya, kadar hormon
estrogen dalam tubuh lebih rendah. Hormon estrogen merupakan salah satu hal yang berperan
memicu kanker payudara.
6. Asupan gizi lebih baik

Saat menyusui biasanya wanita lebih memperhatikan asupan gizinya. Mereka cenderung
memilih makanan yang bergizi dan menjalankan pola hidup sehat, seperti tidak merokok dan minum
alkohol.

Selain menyusui, cara ampuh untuk dapat mencegah kanker payudara, antara lain:

 Menjalankan pola hidup sehat


 Menjaga berat baan ideal
 Olahraga teratur
 Pola makan seimbang (asupan lemak jenuh rendah dapat membantu Anda menurunkan risiko
kanker payudara)
 Hindari rokok dan alkohol

Referensi
Breast Cancer. https://www.breastcancer.org/risk/factors/breastfeed_hist
Diakses pada 2 April 2019

MD Anderson Cancer Centre, The University of


Texas. https://www.mdanderson.org/publications/focused-on-health/breastfeeding-breast-
cancer-prevention.h19-1589046.html
Diakses pada 2 April 2019

Global Cancer Observatory. http://gco.iarc.fr/today/data/factsheets/populations/360-indonesia-fact-


sheets.pdf
Diakses pada 2 April 2019
World Cancer Research Fund. https://www.wcrf.org/sites/default/files/Lactation.pdf
Diakses pada 2 April 2019
NCBI. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6069526/
Diakses pada 2 April 2019
Laino, Charlene. 2007. Breastfeeding Cuts Breast Cancer Risk. Retrieved
from http://www.webmd.com/breast-cancer/news/20070417/breastfeeding-cuts-breast-cancer-
risk. Accessed September 7, 2016.
Science Daily. 2009. Breastfeeding Reduces Risk of Breast Cancer in Women with A Family History
of The Disease. Retrieved
from https://www.sciencedaily.com/releases/2009/08/090810161858.htm. Accessed September
7, 2016.
Breast Cancer. Breastfeeding History. Retrieved
from http://www.breastcancer.org/risk/factors/breastfeed_hist. Accessed September 7, 2016.
National Cancer Institute. 2011. Reproductive History and Breast Cancer Risk. Retrieved
from http://www.cancer.gov/about-cancer/causes-prevention/risk/hormones/reproductive-
history-fact-sheet. Accessed September 7, 2016.
Van Deusen, Amy, and Willets, Melissa. Does Breastfeeding Really Reduce Your Risk of Breast
Cancer. Retrieved from http://www.fitpregnancy.com/baby/breastfeeding/does-breastfeeding-
really-reduce-your-risk-breast-cancer. Accessed September 7, 2016.
NHS. 2014. Preventing Breast Cancer. http://www.nhs.uk/Conditions/Cancer-of-the-breast-
female/Pages/Prevention.aspx. Accessed September 7, 2016.
3. Ketika ada pembesaran kelenjar bagaimana mekanisme tubuh dan diagnosa yang
muncul

Demam Kelenjar (Glandular Fever)


Demam kelenjar adalah penyakit akibat infeksi virus yang lebih sering menyerang remaja. Gejala
demam kelenjar mirip dengan gejala flu, antara lain sakit tenggorokan, demam, dan menggigil.
Demam kelenjar tidak berbahaya dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam beberapa
minggu. Setelah sembuh, seseorang yang pernah terserang demam kelenjar akan kebal terhadap
penyakit ini. Demam kelenjar dalam dunia medis dikenal sebagai mononukleosis. Penyakit ini juga
disebut dengan kissing disease karena penularannya sering kali terjadi melalui ciuman.
Gejala Demam Kelenjar (Glandular Fever)
Gejala demam kelenjar biasanya muncul 4-6 minggu setelah seseorang terinfeksi virus
penyebab penyakit ini. Pada sebagian penderita, gejalanya cenderung ringan, bahkan tidak tampak
gejala sama sekali.
Gejala awal demam kelenjar menyerupai gejala flu, yaitu:

 Sakit kepala
 Sakit tenggorokan
 Demam dan menggigil
 Lemas
 Nyeri otot
 Setelah 1-2 hari, muncul gejala lain berupa:
 Pembengkakan kelenjar getah bening.
 Kulit dan bagian putih mata menguning (penyakit kuning).
 Muncul ruam merah seperti pada campak, di wajah atau bagian tubuh lain.
 Timbul bintik merah di bagian langit-langit mulut.
 Perut tidak nyaman akibat pembesaran limpa.

Penyebab Demam Kelenjar (Glandular Fever)


Demam kelenjar disebabkan oleh virus Epstein-Barr (EBV). Seseorang dapat terinfeksi virus
ini bila terpapar air liur penderita, misalnya melalui ciuman dan berbagi pemakaian gelas atau alat
makan. Penularan juga bisa terjadi bila seseorang secara tidak sengaja menghirup percikan air liur
penderita, misalnya ketika penderita bersin atau batuk.
Selain di air liur, virus EBV juga terdapat di dalam darah dan sperma penderita demam
kelenjar. Oleh karena itu, penyakit ini bisa menular melalui transfusi darah, donor organ tubuh, dan
hubungan seksual.
Virus Epstein-Barr memiliki masa inkubasi 4-7 minggu sebelum muncul gejala. Oleh sebab
itu, seseorang mungkin tidak menyadari telah terserang demam kelenjar dan dapat menularkan virus
ini ke orang lain. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa demam kelenjar dapat menular ke orang
lain sampai 18 bulan setelah penderita sembuh. Demam kelenjar bisa terjadi pada siapa saja, namun
penyakit ini cenderung menyerang remaja di awal usia 20-an.
Diagnosis Demam Kelenjar (Glandular Fever)
Sebagai permulaan, dokter akan menanyakan gejala dan riwayat kesehatan pasien.
Selanjutnya, pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk melihat apakah terdapat kelainan, seperti
pembengkakan kelenjar getah bening dan pembesaran limpa.
Untuk menentukan apakah pasien menderita demam kelenjar, dokter akan melakukan tes
darah. Melalui sampel darah pasien, keberadaan antibodi virus Epstein-Barr dapat terdeteksi. Tes
darah juga digunakan untuk melihat apakah terdapat kelainan atau peningkatan kadar sel darah putih.
Pengobatan Demam Kelenjar (Glandular Fever)
Demam kelenjar biasanya sembuh dengan sendirinya dalam beberapa minggu. Dalam
kurun waktu tersebut, pasien disarankan melakukan perawatan mandiri di rumah untuk meredakan
gejala. Perawatan yang dilakukan antara lain:

 Istirahat yang cukup.


 Berkumur dengan air garam.
 Banyak minum air putih.
 Konsumsi makanan bergizi seimbang.
 Mengonsumsi obat pereda nyeri, seperti paracetamol.

Istirahat yang cukup akan mempercepat proses pemulihan. Jangan terburu-buru melakukan
aktivitas berat, agar demam kelenjar tidak kambuh kembali. Konsultasikan dengan dokter mengenai
waktu yang tepat untuk kembali beraktivitas. Biasanya, penderita butuh waktu sampai 3 bulan untuk
sembuh total.
Perlu diketahui, demam kelenjar dapat mengganggu fungsi organ hati. Oleh sebab itu,
hindari mengonsumsi minuman beralkohol selama belum sembuh dari penyakit ini, karena konsumsi
alkohol akan semakin mengganggu fungsi organ hati.

Komplikasi Demam Kelenjar (Glandular Fever)


Demam kelenjar umumnya tidak tergolong serius. Meski demikian, beberapa penderita
demam kelenjar bisa terserang infeksi sekunder di amandel (tonsillitis) atau sinus (sinusitis). Pada
kasus yang jarang terjadi, demam kelenjar juga dapat menyebabkan komplikasi berikut:

 Limpa membesar hingga robek.


 Peradangan pada otot jantung atau miokarditis.
 Hepatitis.
 Penurunan jumlah sel darah sehingga menjadi kurang darah dan lebih mudah berdarah.
 Penyumbatan saluran pernapasan akibat pembesaran amandel.
 Gangguan sistem saraf, misalnya meningitis, ensefalitis, dan sindrom Guillain-Barre.

Pencegahan Demam Kelenjar (Glandular Fever)


Seperti telah dijelaskan di atas, demam kelenjar menular melalui air liur. Oleh sebab itu,
pencegahannya adalah dengan menghindari kontak dengan air liur penderita. Cara yang dapat
dilakukan adalah:

 Jangan berciuman dengan orang yang menunjukkan gejala demam kelenjar.


 Tidak berbagi penggunaan gelas, alat makan, dan sikat gigi dengan orang lain.
 Selalu menjaga kebersihan diri, termasuk rajin mencuci tangan.

Referensi
Fugi, A. & Andersen, C. (2019). Epstein-Barr Virus and Its Association with Disease – A Review of
Relevance to General Practice. BMC Family Practice, 20(62), pp. 1-8.
Solomons, H. (2012). Infectious Mononucleosis or Glandular Fever Revisited. Germs, 2(4), pp. 148.
Center for Disease Control and Prevention (2018). Epstein-Barr Virus and Infectious Mononucleosis.
About Infectious Mononucleosis
National Health Service UK (2017). Health A to Z. Glandular Fever.
Victoria State Government (2018). Better Health Channel. Glandular Fever.
Mayo Clinic (2018). Diseases & Conditions. Mononucleosis.
Cafasso, J. & Goldman, L. Healthline (2019). Everything you Need to Know About Mono.
Knott, L. Patient (2016). Glandular Fever.
WebMD (2019). Warning Signs You Could Have Mono.
WebMD (2018). What is Mononucleosis? What Causes It?

Anda mungkin juga menyukai