Sulthan al-Ulama’ Izzuddin Abdu as-Salam mengembalikan fiqih kepada dua kalimat saja, yaitu:
“Menolak Mafsadah dan Menarik Maslahat”. Sedangkan sebagian ulama’ mengembalikan hanya pada
satu kalimat saja, yaitu: “menarik maslahat”
Imam at-Tajj as-Subki berkata, “Yang benar menurutku, jika yang dikehendaki secara global, maka
memang demikian. Akan tetapi jika yang dikehendaki secara jelas (terperinci), maka bisa lebih hingga
dua puluh, bahkan mencapai dua ratus qa’idah.”
QA’IDAH PERTAMA
ص ِدها
ِ األ ُموْ ُر بِ َمقا
ÆtBur ÷ŠÌムz>#uqrO $u‹÷R‘‰9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷ŠÌ ムz>#uqrO Íot ÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR
$pk÷]ÏB 4
Artinya : “Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu,
dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.” [QS.
Ali ‘Imran : 3/145]
Artinya : “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya. Dan setiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah تعالىdan Rasul-Nya صلى هللا
عليه وسلم, maka hijrahnya untuk Allah تعالىdan Rasul-Nya صلى هللا عليه وسلم. Dan barang siapa yang
hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju."
[Muttafaq ‘Alaih]
Artinya : “Barang siapa behutang dan berniat membayarnya, maka pasti Allah تعالىakan melunasinya
pada hari kiamat. Dan barang siapa berhutang dengan niat tidak membayarnya, maka kemudian ia mati,
maka Allah تعالىberfirman, “Engkau menyangka bahwa Aku tidak akan mengambil hak hamba-Ku, maka
diambillah kebaikan-kebaikannya kemudian diletakkan pada kebaikan yang lain (yang menghutangi).
Apabila ia tidak memiliki kebaikan, maka keburukan yang menghutangi akan diletakkan pada orang yang
berhutang.” [HR. Thabrany]
Artinya : “Barang siapa mendatangi tempat tidurnya dan ia berniat akan bangun untuk shalat malam,
kemudian kedua matanya mengalahkannya (bangun untuk shalat) hingga waktu subuh, maka akan
ditulis baginya menurut apa yang ia niatkan. Sedangkan tidurnya sebagai sedekah dari Rabbnya.” [HR.
an-Nasa’i dan Ibnu Hibban]
Sudah mutawatir di kalangan Para Imam tentang keistimewaan derajat hadits niat. Imam Syafi’y
mengatakan bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu. Imam Baihaqy berkata : (Hadits niat ini) adalah
sepertiga Ilmu, sebab usaha hamba terletak pada hati, lisan dan anggota-anggota badannya. Sedangkan
niat adalah salah satu bagian dari tiga hal tersebut, bahkan yang paling unggul. Karena niat adalah
ibadah tersendiri, sedangkan yang lain butuh kepada niat.
Artinya : “Niat seorang mu’min itu lebih baik dari amalnya.” [HR. Thabrany]
Maksudnya : Niat tanpa amal itu lebih baik daripada amal tanpa niat.
Orang beriman akan kekal di surga sekalipun ia ta’at pada Allah hanya seumur hidupnya saja. Karena ia
berniat seandainya tetap (hidup) ia akan selalu teguh pada iman. Sehingga ia diberi balasan berupa kekal
(hidup) di dalam surga sebab niatnya. Sebagaimana orang kafir sekalipun ia hanya bermaksiat kepada
Allah seumur hidupnya saja, maka ia akan disiksa dengan kekal di dalam neraka. Karena niat dia adalah
kufur selama hidupnya.
Bab-bab fiqih yang bisa diuraikan dengan menggunakan qa’idah ini di antaranya:
- ¼ dari Ibadah (butuh kepada niat) seperti wudhu, mandi baik fardu atau sunnah, sholat dengan
segala macamnya, fardu ain dan fardu kifayah, sholat rawatib dan sholat sunah, sholat qosor dan jama,
niat jadi imam dan makmum, membayar zakat, menggunakan perhiasan atau menyimpanya,
perdagangan, dan menyimpan untuk dimanfaatkan, puasa baik fardu atau sunah, i’tikaf haji dan umroh.
- Munakahah,
- Jinayah.
Maksudnya, didapatkannya pahala hanyalah apabila dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada
Allah. Bahkan akan menjalar kepada seluruh perbuatan yang mubah apabila bertujuan supaya kuat
ibadah dan menjadi perantara ibadah. Seperti makan, tidur, dll. Dengan demikian banyak masalah-
masalah yang tidak terhitung masuk dalam qa’idah ini.
Maksud terpenting (disyari’atkannya niat) adalah untuk membedakan ibadah dan adat kebiasaan serta
membedakan tingkatan ibadah sebagian dari yang lain. Contoh :
- Wudhu’ dan mandi bisa untuk pembersihan diri, supaya dingin ataupun untuk ibadah.
- Menahan diri dari makan dan minum ada kalanya untuk penjagaan, pengobatan atau keperluan lain.
- Memberikan harta kepada orang lain ada kalanya sebagai hibah, untuk tujuan duniawi atau sebagai
bentuk taqarrub (seperti zakat, sedekah dan kifarah).
- Menyembelih binatang terkadang untuk makan-makan atau untuk taqarrub dengan mengalirkan
darah.
Maka (tujuan) disyari’atkan niat adalah supaya dapat dibedakan antara bentuk taqarrub dengan yang
lainnya.
Wudhu’, mandi, sholat, puasa dan yang lainnya, terkadang bisa berupa fardhu, nadzar ataupun sunnah.
Tayammum terkadang dimaksudkan untuk menghilangkan hadats kecil ataupun jinabat, padahal
pelaksanaannya sama. Maka disyari’atkan niat adalah untuk membedakan tingkatan-tingkatan ibadah.
b. ( ما يشترط التعرض له خملة وال يشترط تعيينه تفصيال اذا عينه واخطأ ض َّرSesuatu yang memerlukan penjelasan
secara global dan tidak memerlukan penjelasan secara rinci, maka ketika salah dalam memberikan
penjelasan secara rinci, dapat membahayakan).
c. ( ما ال يشترط التعرض له خملة وال تفصيال اذا عينه واخطأ لم يضرSesuatu yang tidak disyaratkan penjelasan
secara global maupun terperinci, ketika ditentukan dan salah dalam menentukannya, maka statusnya
tidak membahayakan).
d. ( مقاصد اللفظ على نية الالفظMaksud sebuah ucapan tergantung pada niat orang yang mengucapkan).
Contoh qa’idah-qa’idah sudah diterangkan dalam kitab mabadi awwaliyah. Dikecualikan dari qa’idah
nomor empat (d) hanya pada satu tempat saja, yaitu sumpah di hadapan qadhi adalah menurut niat
qadhi.
e. ( النية في اليمين تخصّص اللفظ العام وال تع ّمم الخاصNiat dalam sumpah akan mengkhususkan lafadz umum
dan tidak akan mengumumkan lafadz khusus). Contoh :
1. Orang bersumpah menggunakan kata-kata “Saya tidak akan berbicara kepada siapapun”. Padahal
yang ia maksud adalah Zaid. Maka (sumpah) hanya tertuju kepada Zaid saja.
2. Orang bersumpah tidak akan minum air dari pemberian seseorang ketika haus, maka sumpah
tersebut hanya tertuju pada air yang ia sifati. Dan dia tidak dianggap melanggar sumpah apabila ia
makan dari makanannya, memakai pakaiannya, sekalipun ia berniat tidak akan mengambil manfaat
sedikitpun darinya. Berbeda dengan pendapat Imam Asnawy yang mengatakan: النية في اليمين تخصّص اللفظ
( العام و تع ّمم الخاصNiat dalam sumpah akan mengkhususkan lafadz umum dan akan mengumumkan lafadz
khusus).
)إذا مرض العبد أو سافر كتب له من العمل ما كان صحيحا ً مقيْما ً (رواه البخاري
Artinya : “Jika seorang hamba sakit atau mengadakan perjalanan, maka akan ditulis baginya amalan
sebagaimana yang dilakukan ketika ia dalam keadaan sehat atau ketika di rumah. [HR. al-Bukhary]
Hal-hal yang berkaitan dengan niat ada tujuh, dikumpulkan oleh ungkapan penyair:
1. Hakekatnya, 5. Caranya,
2. Hukumnya, 6. Syaratnya, dan
3. Tempatnya, 7. Tujuannya.
4. Waktunya,
QA’IDAH KEDUA
)َي ٌء أَ ْم الَ فَالَ يَ ْخ ُر َج َّن ِمنَ ْال َمس ِْج ِد َحتَى يَ ْس َم َع صَوْ تًا أَوْ يَ ِج َد ِر ْيحًا (رواه مسلم ْ َاِ َذا َو َج َد أَ َح ُد ُك ْم فِي ب
ْ طنِ ِه َش ْيئًا فَأ َ ْش َك َل َعلَ ْي ِه اَ َخ َر َج ِم ْنهُ ش
Artinya: “Apabila seseorang di antara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia ragu
apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari
masjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. [HR. Muslim]
ْ ك
)وليَ ْب ِن على ما استيقن (رواه مسلم ّ ك أحدكم في صالته فلم يدر كم صلّى أثالثا أم أربعا ً فليطرح الش
ّ إذا ش
Artinya : “Jika salah seorang di antara kalian ragu di dalam shalat, sehingga ia tidak mengetahui berapa
roka’at ia telah shalat, baru tiga atau sudah empat roka’at, maka hendaknya ia buang keraguannya dan
meneruskan atas apa yang ia yakini.” [HR. Muslim]
a. ( األصل بقاء ما كان على ما كانPada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaan
semula).
e. ( األصل فى كل حادث تقديره بأقرب زمانهAsal segala kejadian diperkirakan dengan yang lebih dekat
zamannya). Contoh-contoh qa’idah ini sudah diterangkan dalam kitab mabady awwaliyah.
f. ك أفعل شيئا ً أم أل فاألصل أنه لم يفعله
ّ ( من شBarang siapa yang ragu apakah ia sudah melaksanakan sesuatu
atau belum, maka aslinya ia belum melaksanakannya).
g. ( من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليلBarang siapa sudah yakin melakukan pekerjaan dan dia
ragu dalam masalah sedikit atau banyaknya, maka yang dimungkinkan adalah yang sedikit).
h. ( ما ثبت بيقين ال يرتفع إال بيقينPerkara yang sudah ditetapkan berdasarkan yaqin, maka tidak bisa hilang
kecuali dengan yakin juga).
i. َ ( اَألَصْ ُل فِي ال َكالَ ِمHukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya). Contoh :
ُالحقِ ْيقَة
- Jika seseorang berwakaf kepada anak-anaknya atau berwasiat kepada mereka, maka tidak bisa
memasukkan cucu menurut pendapat yang ashah. Karena penyebutan anak secara hakiki adalah anak
kandung.
- Jika seseorang bersumpah tidak akan bertransaksi jual beli kemudian mewakilkan transaksi tersebut
kepada orang lain, maka ia tidak melanggar sumpah. Sebab mengikuti hakikat sumpahnya.
- Jika seseorang berkata, “Rumah ini adalah milik Zaid”, maka kata-katanya telah menetapkan
kepemilikan kepada Zaid. Sehingga jika ia mengatakan yang saya kehendaki dari kata-kata itu adalah
“rumahku”, maka tidak perlu didengar.
j. ( اَألَصْ ُل في األبضاع التحريمHukum asal kemaluan wanita adalah haram). Dalilnya firman Allah تعالى:
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym * žwÎ) #’n?tã öNÎgÅ_ºurø—r& ÷rr& $tB ôMs3n=tB
öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî šúüÏBqè=tB * Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#u‘ur y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd tbrߊ$yèø9$# *
Artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak
yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang
di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” [QS. al-Mu’minun: 23/5-7]
k. ( اَألَصْ ُل في المنكوحة والمملوكة الحاللHukum asal wanita yang sudah dinikahi dan yang sudah dimiliki
adalah halal). Dalilnya adalah ayat di atas. Imam Suyuti mengatakan, “Qa’idah ini masuk pada seluruh
bab fiqih. Dan masalah-masalah yang diuraikan darinya mencapai ¾nya atau lebih.”
PEMBAGIAN SYAKK :
Syakk terbagi menjadi tiga macam, yaitu :
- Syakk yang timbul dari perkara yang asli hukumnya mubah, dan
- Syakk yang timbul dari perkara yang asli hukumnya tidak diketahui.
Contoh-contohnya :
a. Seseorang mendapati kambing dalam keadaan sudah disembelih, kemudian ragu akan petunjuk
yang menghalalkan (tidak tau yang menyembelih), seandainya di tempat itu mayoritas penduduknya
adalah muslim, maka boleh memakannya. Karena mengikuti umum-nya yang dapat difahami secara
nyata.
b. Jika ditemukan air sudah dalam keadaan berubah dan ada kemungkinan bahwa perubahan itu
disebabkan oleh najis atau karena lamanya diam, maka diperbolehkan bersuci dengan menggunakan air
tersebut. Karena mengikuti asal hukum air tersebut adalah suci.
c. Jika seseorang yang kebanyakan hartanya adalah haram, tetapi tidak ada bukti yang menyatakan
bahwa harta yang akan diambil tersebut adalah yang haram, maka boleh bertransaksi jual beli
dengannya. Karena ada kemungkinan halal dan tidak ada bukti yang mengharamkan. Akan tetapi
hukumnya makruh. Sebab khawatir terjerumus kepada perkara yang haram. Telah selesai keterangan
yang disampaikan oleh Imam al-Isfirayini.
QA’IDAH KETIGA
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [QS. al-
Baqarah: 2/185]
Artinya : “Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan longgar.” [HR. Ahmad]
) الحنفيّة السمحة! (رواه الطبراني والبزار: يا رسول هللا! أي األديان أحبّ إلى هللا؟ فقال: وعن ابن عباس قيل
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah Rasulullah صلى هللا عليه وسلمditanya: “Wahai Rasulullah صلى هللا
! عليه وسلمAgama manakah yang paling dicintai oleh Allah ? تعالىmaka Nabi صلى هللا عليه وسلمbersabda:
“(Agama) yang lurus dan longgar”. [HR. at-Thabrany dan al-Bazzar]
Seluruh rukhsah syari’at dan keringanannya dapat diuraikan melalui qa’idah ini.
Bisa masuk pada kaidah ini adalah perkataan al-Imam as-Syafi’i : “Jika perkara sudah menjadi sempit
maka akan menjadi longgar.” Dengan perkataan ini, beliau menjawab pertanyaan di tiga tempat, yaitu:
a. Ketika seorang wanita tidak ada wali dalam perjalanan, kemudian ia menyerahkan perwaliannya
kepada orang lain. Maka Yunus bin Abdil A’la berkata: Saya telah bertanya kepadanya (al-Imam as-
Syafi’i), bagaimana hal ini? Beliau menjawab: “Jika perkara sudah sempit maka akan menjadi longgar.”
b. Suatu wadah dari tanah liat yang terbuat dari kotoran binatang, apakah boleh berwudhu dengan
menggunakan wadah tersebut? Maka beliau menjawab: “Jika perkara sudah sempit maka akan menjadi
longgar.”
c. Ketika ditanya mengenai masalah lalat yang hinggap di kotoran kemudian hinggap di pakaian. Maka
beliau menjawab, “Jika ketika terbang kakinya kering, maka tidak mengapa. Tetapi jika basah, maka
suatu perkara apabila sudah sempit dia akan menjadi longgar.”
Putra Abu Hurairah berkata, “Dalam ilmu ushul fiqih yang digunakan untuk menentukan suatu perkara
adalah apabila suatu perkara sudah sempit maka akan menjadi longgar dan jika sudah longgar maka
akan menjadi sempit.”
Gerakan sedikit dalam sholat ketika terpaksa dikerjakan maka ditoleransi. Akan tetapi jika banyak dan
tidak ada keperluan, maka tidak bisa ditoleransi. Begitu pula sedikit atau banyaknya kutu.
Imam Ghozali mengumpulkan dua qa’idah ini dengan ungkapan:
“Semua perkara jika sudah melewati batasnya, maka akan berubah menjadi kebalikannya.”
Sebab-sebab takhfif dalam ibadah atau yang lainnya ada tujuh, yaitu:
- meng-qashar,
- men-jama’,
- berbuka, dan
- men-jama’ shalat,
- tertinggal shalat jama’ah dan shalat jumat, tetapi masih mendapatkan pahalanya,
c. Terpaksa. Maka diperbolehkan mengucapkan kalimat kufur ketika dipaksa. Sebagaimana Firman Allah
تعالى:
Artinya : “Kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa)” [QS an-Nahl : 16/106]
Begitu pula minum khamr dan yang lainnya (maka tidak berdosa jika dilakukan dalam keadaan dipaksa)
- Seseorang salam ketika dua roka’at karena lupa. Kemudian ia sengaja berbicara karena menyangka
sholatnya sudah sempurna, maka sholatnya tidak batal.
Nabi صلى هللا عليه وسلمbersabda :
ّ
إن هللا وضع عن أمتى الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
Artinya : ”Sesungguhnya Allah telah menetapkan salah, lupa pada ummatku dan perkara-perkara yang
mereka lakukan karena terpaksa.” [Hadits ini adalah hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
Ibnu Hibban]
- Orang yang meminjam barang setelah diambil oleh yang meminjami, maka tidak wajib membayar
upah jika ia tidak tahu.
f. Kurang, kurang juga termasuk masyaqqah. Sebab fitrah manusia wataknya adalah mencintai
kesempurnaan. Sehingga perlu ada keringanan dalam setiap pembebanan. Contoh:
- Anak kecil dan wanita tidak memiliki kewajiban sebanyak laki-laki. Seperti kewajiban shalat jama’ah,
shalat jum’at dan membayar jizyah.
- Budak tidak dibebani perkara melebihi yang wajib atas orang merdeka. Dalam hal hukuman mereka
hanya dibebani separo dibandingkan orang merdeka.
g. Sulit dan wabah/penyakit yang merata. Seperti sholat dengan membawa najis yang dima’fu semisal
darah cacar, bisul dan lumpur jalanan.
Diantaranya lagi :
- Disyari’atkan istinja’ dengan batu. Boleh menghadap atau membelakangi kiblat ketika istinja’ di dalam
bangunan dan boleh memakai kain sutra bagi laki-laki karena terkena penyakit gatal.
- Boleh jual beli delima dan telur di dalam kulitnya. Boleh jual beli dalam tanggungan jika disebut sifat-
sifatnya (akad jual beli salam). Disyari’atkan khiyar dalam jual beli. Karena dalam jual beli umumnya
tidak meneliti barang yang ia beli sehingga terjadi penyesalan bagi yang ber-akad. Maka dimudahkan
oleh syari’at dengan diberikan khiyar majlis dan khiyar syarat sampai tiga hari.
- Boleh melihat wanita ketika khitbah, mengajar, bersaksi, mu’amalah dan mengobati.
- Boleh menikahi wanita walaupun tanpa melihat terlebih dahulu. Karena jika disyaratkan melihat akan
menimbulkan kesulitan bagi kebanyakan orang terhadap anak-anak, saudara-saudara wanita mereka.
Maka dimudahkan oleh syari’at dengan tidak disyaratkan bagi setiap yang melamar untuk melihat. Lain
halnya dengan jual beli. Jika disyaratkan harus melihat, maka tidak akan menimbulkan kesulitan dan
kepayahan.
- Disyari’atkan wasiat karena didapatkan-nya kelalaian seseorang ketika masih hidup. Dan dilonggarkan
pada 1/3 hartanya saja, tidak boleh melebihi. Dengan maksud untuk mencegah kemudharatan bagi ahli
waris, sehingga akan didapatkan kemu-dahan dan terhindar dari kesulitan dari dua sisi.
- Gugurnya dosa bagi mujtahidin dalam kekeliruan. Dan dimudahkan bagi mereka dengan cukup pada
tingkat dzonn saja. Seandainya mereka diberi beban harus sampai tingkat yaqin, maka akan payah dan
susah untuk mencapainya.
Maka jelaslah bahwa kaidah ini akan bisa menguraikan kebanyakan permasalahan dalam bab-bab fiqih.
MACAM-MACAM TAKHFIF :
a. Keringanan dengan cara menggugurkan, seperti gugur kewajiban jum’at ketika ada udzur.
c. Keringanan dengan cara mengganti, seperti diperbolehkan mengganti wudhu dan mandi dengan
tayammum.
d. Keringanan dengan cara mendahulukan, seperti diperbolehkan shalat jama’ dan mendahulukan
zakat sebelum satu tahun.
e. Keringanan dengan cara mengakhirkan, seperti diperbolehkan shalat jama’ dan mengakhirkan
puasa Ramadhan bagi orang sakit dan musafir.
f. Keringanan dengan cara memurahkan, seperti diperbolehkan minum khamr karena tersedak.
g. Keringanan dengan cara merubah, seperti diperbolehkan merubah aturan shalat ketika terjadi
kekhawatiran (perang).
QA’IDAH KEEMPAT
الضرر يزال
Artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”
[QS. al-A’raf : 7/56]
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” [QS. al-Qashas :
28/77]
Artinya : “Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan pada orang lain.” [HR. Malik
dan ad-Daruquthny)
Banyak permasalahan dalam bab fiqih yang dibangun diatas kaidah ini di antaranya :
Mengembalikan barang yang rusak dan segala macam khiyarnya menurut sifat yang disyaratkan (dalam
akad), ta’zir, pembeli yang muflis (pailit) dan larangan tasharuf terhatap harta bendanya dengan segala
macamnya, syuf’ah untuk menolak terjadinya mudharat dalam pembagian, qishash, hudud, kifarah,
mengganti barang yang dirusak, mengangkat pemimipin, mengangkat qadhi, membela diri dari orang
yang berbuat jahat, memfasakh nikah sebab aib atau tidak mampunya suami memberi nafkah dan lain-
lain.
b. ( ما أبيح للضرورة يقدر بقدرهاSesuatu yang diperbolehkan karena darurat, ditetapkan hanya sekedar
kedaruratannya)
c. ( ما َ جاَز لِع ُْذر بَطَ َل بِز ََوالِ ِهApa saja yang kebolehannya karena udzur, maka hilangnya kebolehan itu
disebabkan oleh hilangnya udzur tersebut). Contoh:
- Persaksian atas persaksian karena sakit atau yang lainnya dianggap batal apabila telah hadir saksi yang
asli kepada hakim.
e. ( درء المفاسد مقدم على جلب المصالحMenolak kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkan
kemaslahatan). Jika terjadi berlawanan antara mafsadah (kerusakan) dan maslahat, maka yang
didahulukan adalah menolak kerusakan. Karena tuntutan syari’at untuk meninggalkan larangan lebih
kuat daripada tuntutan terhadap perintah. Sebab Nabi صلى هللا عليه وسلمbersabda :
Artinya : “Apabila aku memerintahkan kepadamu suatu perintah, maka kerjakanlah semampumu. Dan
apabila aku melarang kamu sesuatu perbuatan, maka tinggalkanlah”. [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Dari sini dapat dipahami bahwa meninggalkan perkara wajib diperbolehkan hanya dengan adanya
kesulitan yang ringan. Seperti mendirikan sholat, berbuka ketika puasa Ramadhan dan lain-lain.
Sedangkan dalam masalah larangan tidak ada keringanan untuk dilanggar. Apalagi dosa-dosa besar.
f. ( اذا تعارض المصلحة والمفسدة روعى أرحجهماApabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan,
maka harus diperhatikan mana yang lebih rajih (kuat) di antara keduanya”. Allah تعالىberfirman:
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat
dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya". [QS. al-Baqarah : 2/219]
Sungguh maslahat harus diperhatikan. Karena maslahat tersebut mengalahkan mafsadah. Misalkan
bohong adalah kerusakan yang diharamkan. Akan tetapi ketika ada maslahat yang melebihi maka
diperbolehkan. Contoh: Berbohong untuk mendamaikan orang atau istri yang berselisih (adalah
diperbolehkan).
- Khusus : Menambal wadah menggunakan perak diperbolehkan ketika ada keperluan. Me-makai sutra
karena ada kutu dan gatal. Dan masih banyak contoh lain yang telah di-terangkan dalam kitab “Mabadi
Awwaliyyah”
FAEDAH :
Dalam kaidah ini ada lima tingkatan, yaitu darurat, Kebutuhan, manfa’at, berhias dan berlebihan.
1. Darurat adalah permasalahan yang sudah mencapai tingkat tertentu. Jika tidak melakukan perkara
yang dilarang, maka akan mati (rusak) atau mendekati kematian.
2. Kebutuhan adalah seperti Lapar. Jika ia tidak mendapatkan makanan, maka ia tidak sampai mati.
Akan tetapi ia akan mengalami kesulitan dan kepayahan.
3. Manfa’at adalah seperti menyukai roti gandum dan menyukai daging kambing.
4. Ziinah (berhias) adalah seperti menyukai manisan, gula, pakaian bertenun baik dari kain sutra dan
katun.
5. Fudhul (Berlebihan), misalkan berlebih hingga makan perkara haram atau syubhat.
QA’IDAH KELIMA
Artinya : “Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh. [QS. al-A’raf : 7/199]
£`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4
Artinya : “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” [QS. an-Nisa’ : 4/19]
- Ma’ruf adalah apapun yang dikenal oleh akal dan diterima oleh ummat.
Jika di suatu negeri berlaku kebiasaan yang berlawanan dengan kebiasaan yang ada, maka bisa
diberlakukan juga kebiasaan negeri tersebut.
Syarat adapt bisa berlaku hukum adalah kebiasaan tersebut masih berlaku. Jika tidak berlaku, maka
tidak bisa menjadi hukum dan perlu adanya penjelasan. Misalkan, jika di suatu negeri berlaku muamalat
menggunakan beberapa mata uang dan tidak ada yang lebih dominan dalam penggunaannya maka
harus ada penjelasan. Jika tidak dijelaskan, maka akad jual beli atau akad lain tidak sah.
FAEDAH :
“Kebiasaan yang berlaku di suatu tempat tidak bisa menduduki kedudukan syarat”.
Imam Qaffal berkata : ( العادة المطردة في ناحية تنزل منزلة الشرطKebiasaan yang berlaku di suatu tempat bisa
menduduki kedudukan syarat). Contoh:
- Jika sudah menjadi kebiasaan boleh meng-ambil manfa’at dari barang yang digadaikan, maka apakah
kebiasaan tersebut bisa men-duduki kedudukan syarat sehingga akad gadai menjadi rusak? Kebanyakan
Ulama’ berpen-dapat “Tidak”. Sedangkan Imam Qaffal me-ngatakan, “Ya”.
- Jika sudah berlaku kebiasaan bahwa orang yang berhutang terbiasa mengembalikan hutang melebihi
apa yang dihutang, maka apakah kebiasaan tersebut bisa menduduki kedudukan syarat sehingga
menghutanginya adalah haram? menurut Qaul Ashah adalah tidak.
Kedua : ك ّل ما ورد به الشرع مطلقا ً وال ضابط له فيه وال في اللغة يُرْ َج ُع فيه إلى العرف
“Segala sesuatu yang datang dari syari’at secara mutlaq dan tidak ada patokan baik dari segi syari’at
maupun bahasa, maka dekembalikan kepada kebiasaan.”
Contoh: