Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Angka kejadian proriasis tiap negara berbeda, pada sebuah meta-analisis


menunjukan prevalensi pada anak-anak berkisar dari 0% (Taiwan) hingga 2,1%
(Italia), dan pada orang dewasa bervariasi dari 0,91% (Amerika Serikat) hingga
8,5% (Norwegia). Perkiraan insiden pada anak-anak di Amerika Serikat adalah
40,8 / 100.000 orang-tahun, sedangkan pada orang dewasa bervariasi dari 78,9 /
100.000 orang-tahun (Amerika Serikat) hingga 230 / 100.000 orang-tahun (Italia).
Data menunjukkan bahwa terjadinya psoriasis bervariasi sesuai dengan usia dan
wilayah geografis, lebih sering terjadi di negara-negara yang terletak lebih jauh
dari garis katulistiwa (Parisi et al., 2013).

Faktor resiko dan pemicu psoriasis seperti genetika, infeksi, medikasi,


lifestyle. Genetika merupakan komponen genetik yang kuat, 70% dan 20%
tingkat kecocokan pada kembar monozigot dan diozigotik. Sebuah penelitian
menunjukkan riwayat keluarga yang positif sekitar 35% pasien (Harden et al.,
2015). Hubungan antara infeksi streptokokus dan psoriasis, serta mekanisme
eksaserbasi kemungkinan disebabkan oleh reaktivitas persilangan antara antigen
permukaan M. streptococcal dan keratinosit manusia dan mungkin juga
dipengaruhi oleh kelainan yang diwariskan pada respon imun (Hernandez et al.,
2015). Sejumlah obat dapat memicu psoriasis, termasuk litium, obat anti inflamasi
nonsteroid, antimalaria, beta-blocker, dan inhibitor enzim pengkonversi
angiotensin. Literatur terbaru menunjukkan bahwa inhibitor TNF juga dapat
secara paradoks menginduksi psoriasis pada kasus yang jarang terjadi (Sfikakis et
al., 2005). Timbulnya psoriasis atau eksaserbasi penyakit yang ada seperti
obesitas (Barrea et al., 2016), merokok (Lee et al., 2017), alkohol (Brenaut et al.,
2013).

Keterlibatan sistem imun dalam psoriasis saat ini sudah diterima secara
luas. Pemindaian seluruh genom terhadap gen-gen yang terkait dengan psoriasis

1
telah mengidentifikasi gen-gen yang didominasi imun, yang menyediakan
hubungan mekanistik antara genetika dan imunitas. Lesi kulit psoriasis berasal
sebagai akibat interaksi yang tidak teratur dari komponen bawaan dan adaptif dari
sistem kekebalan dengan jenis sel kulit. Penelitian mengenai imunopatogenesis
psoriasis menghasilkan beberapa terapi yang sangat spesifik yang menargetkan
komponen sistem kekebalan tubuh (Elder et al., 2010).

Hubungan antara psikopatologi terutama depresi dan psoriasi mungkin ada


hubungan fisiologis. Pasien dengan psoriasis terjadi peningkatan sitokin
proinflamasi seperti TNF-a, IL-12, IL-17, IL-23, dan IFN-c (Baliwag et al., 2015).
Pasien dengan depresi sering mengalami peningkatan TNF-a, IL-1, IL-1b, IL-2,
IL-6, IL-8, IL-17, IL-23, dan protein C-reaktif (Lotrich et al., 2011). Pasien
dengan psoriasis secara patogenesis terjadi disregulasi kompleks pada setiap jenis
sel kulit yang meliputi proliferasi dan produksi sitokin oleh keratinosit epidermal,
dipengaruhi oleh jalur TNFα dan jalur aksis interleukin-23 / Th17 (Büchau &
Gallo, 2007). Sitokin proinflamasi TNFα turut dalam berkontribusi terhadap
pembentukan serotonin, melalui jalur katabolisme triptofan. Daerah otak yang
terlibat dalam metabolisme kynurenine dapat berbeda sesuai dengan patofisiologi
gangguan kejiwaan. Pada depresi berat Steiner et al. telah menunjukkan bahwa
konsentrasi asam quinolinic dalam mikroglia dari subregional dari gyrus
cingulated anterior meningkat (Steiner et al., 2011). Bukti bahwa jalur
eksitotoksik meningkat pada depresi didukung oleh peningkatan plasma 3-
hydroxykynurenine (Myint et al., 2012).

Pasien dengan penyakit kulit sering mengalami tingkat distres psikososial


yang bervariasi ketika berhadapan dengan kondisi yang mengubah penampilan.
Faktor individu yang mempengaruhi tingkat stres psikososial yang dialami pada
pasien dengan kondisi kulit termasuk karakteristik dan pengalaman hidup pasien
individu itu sendiri bersama dengan sikap budaya dan stigma yang berkaitan
dengan penyakit kulit. Lokasi, waktu, onset, penampilan eksternal, asal, dan
perjalanan penyakit juga berkontribusi terhadap stres psikososial (Penzer &
Ersser, 2010). Pasien dengan penyakit kulit memiliki reaksi emosional yang

2
tergantung pada beberapa faktor. Kondisi kulit yang didapat secara kongenital
seperti noda port-wine bermanifestasi dalam reaksi yang mungkin berbeda dari
penyakit kulit yang didapat melalui kontak seksual atau fisik. Karakteristik fisik
serta gejala terkait kondisi kulit juga berkontribusi pada emosi dan stres yang
dialami pasien dengan menambah kecemasan, depresi, dan / atau insomnia.
Penyakit kulit dapat memiliki dampak tergantung lokasi pada stres psikososial
yang dialami oleh pasien (Jafferany & Patel, 2020).

Beban psikososial pada psoriasis signifikan terhadap perubahan


penampilan fisik yang disebabkan oleh psoriasis sering menyebabkan stigmatisasi
sosial dan tekanan psikologis, yang dapat meningkatkan resiko komorbiditas
gangguan kejiwaan, seperti depresi. Systematic review telah melaporkan
prevalensi depresi atau gejala depresi pada pasien psoriasis antara 4-68%
berdasarkan berbagai definisi hasil, desain penelitian, dan populasi penelitian
(Roque Ferreira et al., 2017). Prevalensi depresi pada pasien psoriasis meningkat
daripada kontrol, dari 18,2% versus 12,2% pada 2014 ( p <0,01) menjadi 19,6%
vs 13,1% pada 2016 (p <0,01). Prevalensi depresi yang diobati mengikuti tren
yang sama, dengan peningkatan dari 14,5% vs 8,9% pada tahun 2014 (p <0,01)
menjadi 15,9% vs 9,9% pada tahun 2016 (p <0,01) (Cai et al., 2019).

Psoriasis dan kecemasan adalah kondisi kronis dengan morbiditas yang


signifikan dan ada bukti bahwa mereka dapat memperburuk satu sama lain.
Prevalensi kecemasan pada psoriasis dan efek pengobatan psoriasis pada
kecemasan komorbiditas. Sebuah systematic review menunjukan prevalensi
kecemasan pada pasien dengan psoriasis adalah 7- 48%, yang secara signifikan
lebih tinggi dari kontrol yang sehat (Hazard Ratio 1,29-1,31, p = 0,001 dan Odd
Ratio 2,91 [95% CI, 2,01-4,21], p < 0,001). Sistematic review ini juga
menunjukkan peningkatan gejala kecemasan dengan pengobatan psoriasis
(Fleming et al., 2017).

Systematic review tentang hubungan antara psoriasis, Psoriasis Artritis


(PsA), dan gangguan tidur formal di identifikasi 33 studi. Peningkatan prevalensi
obstructive sleep apnea (OSA) dengan prevalensi 36% -81,8% pada psoriasis

3
dibandingkan 2% -4% pada populasi umum. Peningkatan prevalensi restless legs
syndrome 15,1% -18%. Prevalensi insomnia 5,9% -44,8% pada psoriasis, yang
tidak cukup untuk menunjukkan peningkatan prevalensi ketika populasi umum
memiliki 10% prevalensi insomnia kronis dan 30-35% prevalensi insomnia
sementara. Ada bukti bahwa gejala insomnia pada psoriasis secara langsung
dimediasi oleh pruritus dan nyeri. Perawatan yang mengurangi gejala kulit pada
psoriasis berhasil meredakan insomnia, tetapi tidak menunjukkan perbaikan pada
OSA di mana hubungan dengan psoriasis bersifat multifaktorial (Gupta et al.,
2016).

Psoriasis banyak berkomorbiditas dengan beberapa penyakit baik secara


fisik maupun mental seperti kondisi kardiovaskular, arthritis psoriatik, sindrom
metabolik, kondisi autoimun lainnya dan kondisi kejiwaan (kecemasan dan
depresi) di dokumentasikan dengan baik. Selain itu, sejumlah penelitian telah
mengungkapkan korelasi dengan fibrosis hati, gangguan tidur, mata, osteoporosis,
sindrom iritasi usus, penyakit ginjal, disfungsi ereksi dan peningkatan resiko
pengembangan neoplasia (Boca et al., 2019). Komorbiditas dilaporkan secara
signifikan menurunkan kualitis hidup dan penurunan kinerja kerja keseluruhan.
Psoriasis merusak banyak domain kualitas hidup (Cai et al., 2019). Domain
dampak yang paling sering dilaporkan adalah kegiatan dan partisipasi sosial,
domain fisik, domain emosional, kelelahan, tidur, koping, keintiman dan
kehidupan seksual, dan perawatan diri (Gudu & Gossec, 2019).

Angka kejadian bunuh diri pada pasien dengan psoriasis dilaporkan pada
0,9 per 1.000 orang-tahun versus 0,7 per 1.000 orang-tahun pada populasi umum.
Di Inggris sekitar 350 diagnosis baru bunuh diri yang disebabkan oleh psoriasis
(Olivier et al., 2010). Di Amerika Serikat prevalensi pasien psoriasis dengan
suicidal ideation (SI) dilaporkan setinggi 9,7% versus 4% pada populasi umum
(Piscopo et al., 2016). Sebuah penelitian di Italia prevalensi SI pada pasien
psoriasis ditemukan mendekati 10% (Picardi et al., 2006). Sebuah penelitian
multisenter, yang mencakup 626 pasien psoriasis dari 13 negara Eropa, prevalensi
SI ditemukan secara substansial lebih tinggi yaitu 17,3% versus 8,3% pada

4
kontrol sehat, dengan 67,6% individu yang bunuh diri melaporkan bahwa SI
mereka secara langsung terkait dengan psoriasis mereka (Dalgard et al., 2015).
Pada studi lain dari 113 pasien psoriasis Denmark, persentase yang lebih tinggi
yaitu 21,2% dengan pemikiran tentang bunuh diri versus 6,8% pada individu
tanpa penyakit (Zachariae et al., 2004). Prevalensi tinggi SI seumur hidup pada
pasien psoriasis sebanyak 37,4% melaporkan riwayat SI versus 16,7% pada pasien
tanpa psoriasis (Pompili et al., 2017) . Pasien psoriasis dengan insiden upaya
bunuh diri telah dilaporkan 1,43 per 10.000 orang-tahun vs 1,00 per 10.000 orang-
tahun pada populasi umum (Egeberg et al., 2016). Pasien psoriasis juga memiliki
insiden bunuh diri yang tinggi, dengan tingkat kejadian 2,03 per 10.000 orang-
tahun vs 1,64 per 10.000 orang-tahun pada populasi umum (Svedbom et al.,
2015).

Melihat besarnya dampak yang disebabkan oleh psoriasis, sehingga


penulis ingin mengetahui bagaimana patofisiologis dari psoriasis yang dapat
menyebabkan terjadinya psikopatologi pada pasien psoriasis, dan penulis juga
ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi timbulnya
psikopatologi pada pasien psoriasi. Harapan penulis dengan mengetahui
patofisiologi dan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya psikopatologi,
dapat berkontribusi mencegah terjadi psikopatologi tersebut.

5
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Psoriasis
1. Definisi dan Prevalensi
Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis dengan
kecenderungan genetik yang kuat dan bersifat patogen autoimun.
Prevelensi dan insiden psoriasis di seluruh dunia masih belum diketahui,
akan tetapi sebuah meta-analisis menunjukan bahwa prevalensi pada anak-
anak berkisar dari 0% (Taiwan) hingga 2,1% (Italia), dan pada orang
dewasa bervariasi dari 0,91% (Amerika Serikat) hingga 8,5% (Norwegia).
Perkiraan insiden pada anak-anak di Amerika Serikat adalah 40,8 /
100.000 orang-tahun, sedangkan pada orang dewasa bervariasi dari 78,9 /
100.000 orang-tahun (Amerika Serikat) hingga 230 / 100.000 orang-tahun
(Italia). Data menunjukkan bahwa terjadinya psoriasis bervariasi sesuai
dengan usia dan wilayah geografis, lebih sering terjadi di negara-negara
yang terletak lebih jauh dari garis katulistiwa (Parisi et al., 2013).
2. Faktor Resiko dan Pemicu
a. Genetik
Psoriasis memiliki komponen genetik yang kuat, 70% dan 20%
tingkat kecocokan pada kembar monozigot dan diozigotik. Sebuah
penelitian menunjukkan riwayat keluarga yang positif sekitar 35%
pasien. Penelitian yang berbasis keluarga menemukan 50%
mengembangkan resiko psoriasis pada pasien dengan 2 orang tua yang
menderita psoriasis. Namun, genetika psoriasis kompleks dan dikaitkan
dengan banyak gen yang berbeda. Sejauh ini, gen yang melibatkan
presentasi antigen, pengembangan dan polarisasi reseptor sel T, dan
jalur faktor κβ (NF-κβ) telah diidentifikasi (Harden et al., 2015).

6
b. Infeksi
Hubungan antara infeksi streptokokus dan psoriasis pertama kali
didokumentasikan lebih dari 100 tahun yang lalu, khususnya timbulnya
psoriasis guttate akut. Meskipun secara klasik dijelaskan setelah infeksi
tenggorokan, setelah streptokokus vulvovaginitis dan infeksi
streptokokus perianal. Mekanisme eksaserbasi kemungkinan
disebabkan oleh reaktivitas persilangan antara antigen permukaan M.
streptococcal dan keratinosit manusia dan mungkin juga dipengaruhi
oleh kelainan yang diwariskan pada respon imun (Hernandez et al.,
2015).
Prevalensi psoriasis pada pasien Human Immunodeficiency Virus
(HIV) serupa atau lebih besar dari populasi umum. Infeksi virus human
immunodeficiency menyebabkan onset psoriasis baru dan eksaserbasi
psoriasis yang ada, keparahan sering berkorelasi dengan fungsi
kekebalan yang memburuk. Subtipe klinis dari psoriasis yang paling
sering terjadi dengan HIV termasuk guttate, invers, dan erythrodermik,
walaupun pasien dapat hadir dengan subtipe apa saja. Mekanisme ini
membingungkan karena HIV terutama dimediasi oleh sitokin sel T
helper 2 (TH2), sedangkan psoriasis terutama digerakkan oleh sitokin
sel T helper 1 (TH1). Meskipun peningkatan keparahan dengan jumlah
CD4 + yang lebih rendah dan pengobatan HIV menurunkan jumlah sel
T secara paradoks, akan tetapi meningkatkan gejala. Literatur saat ini
memberi kesan bahwa perluasan sel T memori CD8 + mungkin menjadi
mekanisme utama dalam eksaserbasi psoriasis pada penekan kekebalan
yang dimediasi oleh HIV (Fife et al., 2007).
c. Medikasi
Sejumlah obat dapat memicu psoriasis, termasuk litium, obat
antiinflamasi nonsteroid, antimalaria, beta-blocker, dan inhibitor enzim
pengonversi angiotensin. Literatur terbaru menunjukkan bahwa
inhibitor TNF juga dapat secara paradoks menginduksi psoriasis pada
kasus yang jarang terjadi (Sfikakis et al., 2005). Inhibitor faktor

7
nekrosis tumor seperti adalimumab, etanercept, certolizumab pegol,
golimumab, dan infliximab digunakan dalam berbagai penyakit
inflamasi, termasuk psoriasis. Menariknya, telah ada lebih dari 200
kasus psoriasis yang dicurigai sebagai penghambat TNF yang
dilaporkan. Fenomena ini lebih sering terjadi pada penggunaan
infliximab dan kemungkinan besar terjadi pada tahun pertama
pengobatan penyakit Crohn dan rheumatoid arthritis. Psoriasis plak
adalah bentuk yang paling umum, tetapi 15% hingga 26% dari kasus
dalam bentuk dengan 2 atau lebih morfologi (Brown et al., 2017).
d. Lifestyle
Obesitas adalah keadaan inflamasi kronis tingkat rendah yang
dapat berkontribusi pada timbulnya psoriasis atau eksaserbasi penyakit
yang ada (Barrea et al., 2016). Merokok juga dianggap meningkatkan
resiko psoriasis, mungkin dengan mekanisme serupa. Lee et al.
menemukan korelasi positif yang kuat antara jumlah atau durasi
merokok dan kejadian psoriasis (Lee et al., 2017). Hubungan antara
psoriasis dan konsumsi alkohol kurang jelas dibandingkan antara
psoriasis dan obesitas atau merokok, konsumsi yang lebih besar
ditemukan pada pasien psoriasis, tetapi bukti tidak cukup untuk
menganggap alkohol sebagai faktor resiko (Brenaut et al., 2013).
3. Patofisologi pada Psoriasis
Keterlibatan sistem imun dalam psoriasis saat ini sudah diterima
secara luas. Pemindaian seluruh genom terhadap gen-gen yang terkait
dengan psoriasis telah mengidentifikasi gen-gen yang didominasi imun,
yang menyediakan hubungan mekanistik antara genetika dan imunitas.
Lesi kulit psoriasis berasal sebagai akibat interaksi yang tidak teratur dari
komponen bawaan dan adaptif dari sistem kekebalan dengan jenis sel
kulit. Penelitian mengenai imunopatogenesis psoriasis menghasilkan
beberapa terapi yang sangat spesifik yang menargetkan komponen sistem
kekebalan tubuh (Elder et al., 2010).

8
a. Cross-talk antara imunitas bawaan dan adaptif
Psoriasis pada dasarnya merupakan penyakit yang diperantarai
antara sel dendrit dan sel dengan loop umpan balik yang kompleks dari
sel penyajian antigen, granulosit neutrofilik, keratinosit, sel endotel
pembuluh darah, dan sistem saraf kulit. Cross-talk antara sistem imum
bawaan dan adaptif yang dimediasi oleh sitokin termasuk TNFα,
interferon γ, dan interleukin 1 adalah fokus penelitian utama hampir
sebagian besar penelitian (Elder et al., 2010).. Kompleks DNA inang
dan peptida antimikroba yang diproduksi epidermis LL-37
(cathelicidin) diperkirakan untuk merangsang sel dendritik
plasmacytoid dermal untuk menghasilkan interferon α (Nestle et al.,
2005). Pada eksaserbasi atau onset psoriasis, sel dendritik aktif
menghasilkan mediator lain, yaitu TNFα dan interleukin 23. TNFα
adalah sitokin pro-inflamasi yang menguatkan inflamasi melalui
beberapa jalur berbeda. TNFα diproduksi oleh berbagai jenis sel
termasuk makrofag, limfosit, keratinosit, dan sel endotel, dan
mengerahkan aktivitasnya pada beberapa tipe sel yang berbeda. TNFα
menginduksi mediator sekunder dan molekul adhesi, yang semuanya
terlibat pada penyakit psoriatik (Locksley et al., 2001).
b. Aksis Interleukin 23 / Th17
Sel Th17 adalah bagian dari limfosit T yang mengekspresikan
interleukin 17, berbeda dari sel Th17 klasik yang memainkan peran
dominan dalam patogenesis psoriasis dan gangguan inflamasi lainnya
(Lowes et al., 2008). Ekspansi dan kelangsungan hidup sel-sel T ini
tergantung pada interleukin 23 yang diproduksi sel myeloid, yang
mendorong perbedaan sel Th17. Interleukin 23 bekerja terutama pada
sel T memori, karena T sel-sel tidak mengekspresikan reseptor
interleukin-23 (Parham et al., 2002). Sitokin lain, seperti interleukin 9
mungkin mendorong inflamasi terkait Th17. Setelah diaktifkan, sel
Th17 menghasilkan beberapa mediator seperti interleukin 17A, 17F,
dan 22, yang menginduksi proliferasi keratinosit dan ciri-ciri khas

9
psoriasis lainnya. Pada kulit psoriatik, interleukin 17 diproduksi oleh sel
T CD4 +, sel T CD8 + epidermal, neutrofil, sel mast, dan makrofag,
yang mungkin menjelaskan keefektifan klinis yang luas dan cepat dari
penargetan interleukin 17 secara spesifik dan cepat (Keijsers et al.,
2014).
c. Efek pada sel T residen kulit
Disregulasi kompleks setiap jenis sel kulit yang meliputi proliferasi
dan produksi sitokin oleh keratinosit epidermal, dipengaruhi oleh jalur
TNFα dan jalur aksis interleukin-23 / Th17. Peptida antimikroba,
sitokin, dan kemokin yang disekresikan oleh keratinosit berperan
sebagai chemo-attractants untuk menginfiltrasi sel-sel imun (Büchau &
Gallo, 2007). Dengan demikian, loop umpan balik positif antara sel-sel
sistem kekebalan tubuh dan sel-sel epitel yang menetap di psoriasis.
Sel-sel endotel pembuluh darah berkaitan erat dengan penyakit
psoriatik karena lingkungan inflamasi menyebabkan induksi dan
aktivasi berbagai faktor pro-angiogenik yang berkontribusi pada ciri
khas dari psoriasis seperti hiperplasia epidermal. Bentuk psoriasis yang
parah dan timbul awal mungkin terkait dengan polimorfisme nukleotida
tunggal pada gen yang menyandikan VEGF. Selain itu, lingkungan pro-
inflamasi yang diatur oleh TNF pada kulit psoriatik menginduksi
molekul adhesi endotel, yang memfasilitasi perekrutan leukosit yang
bersirkulasi dalam kulit psoriatik (Schon et al., 2003). Terapi yang
menargetkan fungsi vaskular atau perekrutan leukosit adalah strategi
yang menjanjikan untuk mengobati psoriasis (Zibert et al., 2011). Loop
umpan balik dengan sel-sel sistem kekebalan tubuh dan tipe sel lain
seperti serat saraf juga cenderung berkontribusi terhadap kelainan
patofisiologis psoriatik. Psoriasis tidak lagi dianggap sebagai kelainan
yang hanya mempengaruhi kulit, tetapi terlihat sebagai gangguan
sistemik inflamasi (Reich, 2012).

10
Gambar 1. Patogenesis Psoriasis (Reich, 2012).

4. Klasifikasi Klinis Psoriasis


Manifestasi dermatologis psoriasis bervariasi: psoriasis vulgaris juga
disebut psoriasis tipe plak, dan merupakan jenis yang paling umum. Istilah
psoriasis dan psoriasis vulgaris digunakan secara bergantian dalam
literatur ilmiah. Meskipun demikian, ada perbedaan penting antara subtipe
klinis yang berbeda (Rendon & Schäkel, 2019).
a. Psoriasis Vulgaris
Sekitar 90% kasus psoriasis berhubungan dengan psoriasis tipe
plak kronis. Manifestasi klinis klasik adalah plak pruritus yang berbatas
tegas, eritematosa, dan ditutupi oleh sisik keperakan. Plak dapat
menyatu dan menutupi area kulit yang luas. Lokasi umum seperti
badan, permukaan ekstensor anggota badan, dan kulit kepala (Rendon
& Schäkel, 2019).
b. Inverse Psoriasis
Juga disebut psoriasis fleksural, psoriasis inverse mempengaruhi
lokasi intertriginosa, dan ditandai secara klinis oleh plak dan bercak
eritematosa yang sedikit erosif (Rendon & Schäkel, 2019).

11
c. Guttate Psoriasis
Psoriasis guttate adalah varian dengan onset akut plak eritematosa
kecil. Ini biasanya mempengaruhi anak-anak atau remaja, dan sering
dipicu oleh infeksi streptokokus grup-A tonsil. Sekitar sepertiga dari
pasien dengan psoriasis guttate akan mengembangkan psoriasis plak
sepanjang masa dewasanya (Rendon & Schäkel, 2019).
d. Psoriasis pustular
Psoriasis pustular ditandai dengan multipel, pustula steril yang
bergabung. Psoriasis pustular dapat dilokalisasi atau digeneralisasikan.
Dua fenotip terlokalisasi berbeda telah dijelaskan, psoriasis pustulosa
palmoplantaris (PPP) dan acrodermatitis continua ofHallopeau (ACS).
Keduanya mengenai tangan dan kaki. PPP terbatas pada telapak tangan
dan telapak kaki, dan ACS lebih terletak di ujung jari tangan dan kaki,
dan mengenai bagian kuku. Psoriasis pustular generalisata hadir dengan
perjalanan akut dan progresif cepat yang ditandai dengan kemerahan
difus dan pustula subkornea, dan sering disertai dengan gejala sistemik
(Rendon & Schäkel, 2019).
B. Aspek Psikoneuroimunologi Psoriasis
Hubungan antara psikopatologi terutama depresi dan psoriasi mungkin
ada hubungan fisiologis. Pasien dengan psoriasis terjadi peningkatan sitokin
proinflamasi seperti TNF-a, IL-12, IL-17, IL-23, dan IFN-c (Baliwag et al.,
2015). Pasien dengan depresi sering mengalami peningkatan TNF-a, IL-1, IL-
1b, IL-2, IL-6, IL-8, IL-17, IL-23, dan protein C-reaktif (Lotrich et al., 2011).
1. Tumor Necrotic Factor Alpha dan Katabolisme Triptofan
Pasien dengan psoriasis secara patogenesis terjadi disregulasi
kompleks pada setiap jenis sel kulit yang meliputi proliferasi dan produksi
sitokin oleh keratinosit epidermal, dipengaruhi oleh jalur TNFα dan jalur
aksis interleukin-23 / Th17 (Büchau & Gallo, 2007). Sitokin proinflamasi
TNFα turut dalam berkontribusi terhadap pembentukan serotonin, melalui
jalur katabolisme triptofan. Meskipun sawar darah-otak berfungsi untuk
mencegah masuknya sitokin perifer, tiga mekanisme untuk masuknya

12
mediator inflamasi ke dalam sistem saraf pusat, termasuk: (1) sawar darah-
otak bocor; (2) aktivasi sel endotel yang melapisi pembuluh darah otak
menyebabkan produksi sitokin di dalam penghalang, dan (3) mediator
inflamasi mengikat reseptor yang terkait dengan saraf vagus, yang dapat
menandakan perubahan inflamasi di otak. Sitokin dalam sistem saraf pusat
dapat berinteraksi dengan hampir semua domain patofisiologis yang
relevan dengan depresi, termasuk metabolisme neurotransmitter, fungsi
neuroendokrin, sirkuit saraf, dan plastisitas sinaptik (Lotrich et al., 2011).
Sitokin proinflamasi TNF α meningkatkan akitivitas dari satu enzim
indolamine-2,3-dioxygenase (IDO). Ketika enzim IDO teraktivasi maka
jalur jalur tryptophan-kynurenine di otak terutama pada astrosit dan
mikroglia (Grant & Kapoor, 1998). Sintesis kynurenine menjadi asam
kynurenic oleh kynurenine aminotransferase di dalam astrosit, sedangkan
dalam mikroglia dikonversi menjadi 3-hydroxykynurenine dan asam
quinolinic. Kondisi non-inflamasi produk akhir metabolisme kynurenine
adalah asam kynurenic, tetapi aktivasi mikroglia oleh stres atau inflamasi
jalur neurodegeneratif mendominasi, yang lebih lanjut meningkat pada
kondisi inflamasi oleh apoptosis astrosit dari asam quinolinic (Guilleminet
al., 2005). Terjadinya paparan neuron pada metabolit kynurenine
eksotoksik sehingga berkontribusi terhadap penurunan volume otak yang
dilaporkan terjadi pada pasien depresi (van Erp et al., 2004). Daerah otak
yang terlibat dalam metabolisme kynurenine dapat berbeda sesuai dengan
patofisiologi gangguan kejiwaan. Pada depresi berat Steiner et al. telah
menunjukkan bahwa konsentrasi asam quinolinic dalam mikroglia dari
subregional dari gyrus cingulated anterior meningkat (Steiner et al., 2011).
Bukti bahwa jalur eksitotoksik meningkat pada depresi didukung oleh
peningkatan plasma 3-hydroxykynurenine (Myint et al., 2012).
Konsekuensi dari peningkatan dari asam quinolinic yang merupakan
subtrak dari pembentukan nikotinamid adenin dinuloetida (NAD) seperti
quinolinic acid (QUIN) dan asam pikolinat, adalah agonis endogen dari
reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) glutamat. QUIN terutama memiliki

13
sifat toksik glial (Yan et al., 2005), mengkompromikan penyerapan
glutamat oleh sel-sel astrositik dan mempotensiasi efek buruk dari terlalu
aktifnya NMDA (Tavares et al., 2005). Metabolit lain dari jalur NAD,
seperti 3-hydroxykynurenine (3-HK) dan 3-hydroxyanthranilic acid,
menghasilkan radikal bebas dan menginduksi efek proapoptosis pada sel-
sel saraf yang terkait dengan perkembangan penyakit neurodegeneratif
(Tan, Yu, & Tan, 2012). kynurenic acid (KYNA), bagaimanapun, adalah
antioksidan endogen dengan sifat antagonis reseptor NMDA (Maes, 2011).
Selain itu, KYNA juga memblokir reseptor nikotinat α7 yang memainkan
peran kunci dalam respons antiinflamasi kolinergik sentral (Hilmas et al.,
2001). Oleh karena itu di SSP aksi TRYCAT beragam dan kadang-kadang
tidak dipahami dengan baik, menyoroti perlunya penelitian lebih lanjut
untuk lebih memperjelas partisipasi aktual mereka dalam konteks
gangguan otak inflamasi-imun (Barreto et al., 2018).
2. Sitokin Proinflamasi – Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal
Stimulasi sitokin pada aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA)
juga dapat menjadi faktor dalam patofisiologi depresi, karena hipersekresi
CRH berhubungan dengan depresi (Raison et al., 2013). Interleukin-1, IL-
6, TNF-a, dan IFN-a meningkatkan kadar CRH, hormon
adrenokortikotropik, dan kortisol, yang semuanya merupakan penggerak
respon stres umum. Sitokin ini juga mengurangi ekspresi dan aktivitas
reseptor glukokortikoid, yang menurunkan regulasi umpan balik negatif
dari sistem hipotalamus-hipofisis-adrenal, yang semakin meningkatkan
pelepasan kortisol. Terlalu aktifnya sistem ini mempromosikan gejala
mood negatif. Pemindaian tomografi emisi positron pada pasien dengan
depresi berat menunjukkan peningkatan aktivasi mikroglial dan infamasi
saraf, dengan tingkat tertinggi aktivasi mikroglial yang tercatat pada pasien
dengan skor Skala Depresi Hamilton skor tertinggi (Patel et al., 2017).
Peningkatan kortisol yang mengaktifkan enzim triptofan 2,3-dioksigenase
(TDO), telah secara konsisten dilaporkan sebagai faktor risiko terhadap
gangguan depresi mayor. Enzim TDO merupakan enzim pembatas laju

14
untuk mengendalikan pemecahan Triptofan menjadi Kirurenin.
Peningkatan enzim TDO yang selanjutkan akan tejadi reaksi katabolisme
triptofan (Herbert, 2013). Selain itu peningkatan kotrisol dalam jangka
waktu lama dapat bersifat neurotoksik, dengan menurunkan neuroprotector
yang berupa brain derived neurotropic factor (BDNF). Penurunan dari
level BDNF terlibat dalam patogenesis depresi (Duman & Monteggia,
2006).
Selain itu CRH juga memiliki koneksi timbal balik dengan neuron
locus ceruleus, yang berperan dalam aktivasi ganglia simpatis untuk
menghasilkan norepinefrin dan neuropeptida, dan medula adrenal (untuk
mengeluarkan katekolamin ke dalam sirkulasi. Mekanisme sistem saraf
otonom yang memediasi respons stres diaktifkan oleh input serotonergik
dan kolinergik dan dihambat oleh asam gamma-aminobutyric (GABA),
benzodiazepine, dan peptida pro-opiomelanocortin (POMC) (Jafferany &
Patel, 2020).
3. Psoriasis sebagai Stres Kronis
Pasien dengan penyakit kulit sering mengalami tingkat distres
psikososial yang bervariasi ketika berhadapan dengan kondisi yang
mengubah penampilan. Faktor individu yang mempengaruhi tingkat stres
psikososial yang dialami pada pasien dengan kondisi kulit termasuk
karakteristik dan pengalaman hidup pasien individu itu sendiri bersama
dengan sikap budaya dan stigma yang berkaitan dengan penyakit kulit.
Lokasi, waktu, onset, penampilan eksternal, asal, dan perjalanan penyakit
juga berkontribusi terhadap stres psikososial (Penzer & Ersser, 2010).
Respon stres dipicu oleh jalur neuroendokrin dari sumbu
hipotalamus-hipofisis (HPA) melalui sekresi hormon pelepas kortikotropin
(CRH) dan arginin vasopresin (AVP). Mediator ini kemudian melakukan
perjalanan ke hipofisis anterior dan mempengaruhi pelepasan hormon
adrenokortikotropin (ACTH) yang merangsang pelepasan kortisol melalui
korteks adrenal. Pada gilirannya, melalui mekanisme umpan balik, kortisol
menekan pelepasan ACTH, CRH, dan AVP. Keterlibatan bersamaan dari

15
sistem saraf otonom bertindak untuk memodulasi aktivitas HPA. Selama
kehadiran stresor akut, glukokortikoid, katekolamin, dan neuropeptida
menyebabkan mobilisasi leukosit yang mengaktifkan HPA. Penelitian
pada hewan juga menunjukkan bahwa stres akut jangka pendek pada saat
sistem kekebalan sudah diaktifkan meningkatkan peran sel dendritik,
neutrofil, makrofag, dan fungsi limfosit. Tingginya tingkat sitokin, IL-2,
IFN- c, dan TNF-a bersama dengan peningkatan infiltrasi leukosit
diidentifikasi pada hewan yang mengalami stres akut yang secara spesifik
terlokalisasi di area paparan antigen (Dhabhar, 2014).
Dalam pengaturan stres fisiologis kronis, glukokortikoid bertindak
sebagai mediator utama respon imun dengan menginduksi pelepasan
sitokin IL-10 dan IL-12, yang memediasi respon sel T-helper. Ketika IL-
12 diinduksi oleh aksi glukokortikoid selama stres kronis, sel Th0
berdiferensiasi menjadi sel Th1 yang mengeluarkan IL-2, IFN-c, dan TGF-
b untuk meningkatkan respon imun yang dimediasi sel. Imunitas humoral
dipromosikan melalui diferensiasi sel Th0 yang dimediasi sitokin menjadi
sel Th2. Ada juga keterlibatan sel B dalam kekebalan humoral, yang
dirangsang untuk menghasilkan antibodi dan beralih isotop imunoglobulin
menjadi IgE. Selain itu, glukokortikoid juga memiliki efek langsung pada
homeostasis permeabilitas kulit, yang mungkin merupakan faktor penting
dalam perkembangan dan patogenesis penyakit kulit yang bersifat
inflamasi di alam seperti dermatitis atopik dan psoriasis. Misalnya, Buske-
Kirschbaum et Al. menemukan pasien psoriasis yang melaporkan bahwa
flare mereka diperburuk oleh stres telah menurunkan kadar kortisol dan
epinefrin. Imunopatologi penyakit kulit dapat diperburuk melalui
disregulasi respon imun bawaan dan adaptif di bawah pengaruh stres
kronis (Buske-Kirschbaumet al., 2006).

C. Aspek Psikiatri Psoriasis


Pasien dengan penyakit kulit memiliki reaksi emosional yang
tergantung pada beberapa faktor. Kondisi kulit yang didapat secara kongenital

16
seperti noda port-wine bermanifestasi dalam reaksi yang mungkin berbeda
dari penyakit kulit yang didapat melalui kontak seksual atau fisik.
Karakteristik fisik serta gejala terkait kondisi kulit juga berkontribusi pada
emosi dan stres yang dialami pasien dengan menambah kecemasan, depresi,
dan / atau insomnia. Penyakit kulit dapat memiliki dampak tergantung lokasi
pada stres psikososial yang dialami oleh pasien (Jafferany & Patel, 2020).
Dalam memahami beragam pengalaman mereka yang terkena penyakit
psikokutaneus, penting untuk mempertimbangkan karakteristik individu
pasien seperti usia, jenis kelamin, kepribadian, dan adanya gangguan
kejiwaan. Karakteristik kepribadian individu mengubah cara dia bereaksi dan
mengatasi suatu penyakit. Pasien dengan penyakit kulit sering memiliki
kondisi kejiwaan komorbid seperti depresi, gangguan obsesif-kompulsif
(OCD), atau psikosis. Kondisi-kondisi ini mempengaruhi proses berpikir
pasien dan pemahaman tentang kondisi kulit mereka. Sebagai contoh, seorang
pasien dengan gangguan depresi mayor (MDD) komorbiditas dan kondisi
kulit pruritus seperti dermatitis atopik dapat mengalami peningkatan rasa
gatal. Melalui pemeriksaan studi kasus, Hatch et al. menemukan sejumlah
besar (14%) pasien yang datang ke klinik dermatologi dengan OCD yang
sebelumnya tidak terdiagnosis (Hatch et al., 1992).
1. Stres Terkait Penyakit di Masa Anak-anak
Dalam perkembangan anak usia dini, stimulasi kulit dan persepsi
diketahui memainkan peran penting dalam pematangan SSP dan
perkembangan psikologis. Penelitian telah menemukan bahwa neonatus
prematur lebih waspada dan menunjukkan refleks neurologis yang lebih
matang ketika mereka menerima stimulasi taktil dan kinestetik. Studi lain
yang meneliti pada monyet menunjukkan bahwa kehilangan sentuhan dan
kenyamanan fisik pada bayi baru lahir menyebabkan perkembangan
masalah psikologis seperti peningkatan agresi dikemudian hari (van
Rosmalenet al., 2012).
Ada juga hubungan potensial antara penyakit kulit anak dan interaksi
anak-orang tua dalam perkembangan psikologis awal. Sebagai contoh,

17
seorang bayi dengan kondisi kulit seperti dermatitis atopik menerima dua
rangsangan yang sifatnya berlawanan: sensasi negatif rasa sakit, gatal, atau
rasa terbakar yang terkait dengan penyakit dan pemeliharaan, sensasi
positif dirasakan dari memijat kulit dengan salep. Ketika sensasi yang
menenangkan, yang menawarkan kelegaan dan kenyamanan kepada anak,
dihilangkan, gejala asli yang menyakitkan dan tidak nyaman yang terkait
dengan kondisi tersebut eksasebasi. Fenomena ini disebut sebagai "allergic
object relationship" (Marty, 1958). Selain itu, anak-anak dengan penyakit
seperti dermatitis atopik sering mengalami kurangnya sentuhan kasih
sayang dari orang tua dan menghadapi penolakan dari teman sebaya di
sekolah karena lesi kulit yang terlihat. Gabungan pengalaman negatif yang
dihadapi seorang anak dengan penyakit kulit berkontribusi pada
peningkatan tingkat stres kehidupan awal yang mungkin berkontribusi
pada pembentukan gangguan kepribadian masa depan (Jafferany & Patel,
2020).
Studi yang meneliti hubungan ibu-anak dengan dermatitis atopik
menunjukkan bahwa anak-anak sering menghadapi penolakan dan
perasaan menjadi beban bagi ibu. Penjelasan potensial dari perasaan ini
dapat berasal dari tingkat stres yang tinggi, fungsi keluarga yang tidak
efektif, dan psikososial yang buruk. kesejahteraan dan kualitas hidup yang
dihadapi oleh orang tua dari anak-anak dengan dermatitis atopik. Sikap ini
tidak secara instan terbentuk pada awal penyakit anak tetapi berkembang
seiring berjalannya waktu karena kemampuan ibu dalam beradaptasi
dengan stres kronis menjadi kelelahan dan dapat bermanifestasi sebagai
perubahan respons spontan terhadap anak (Im et al., 2014)
2. Body Image dan self-schema
Body image terdiri dari persepsi, perasaan, dan pemikiran tentang
tubuh yang terhubung dengan citra inti diri seseorang dan memiliki
asosiasi sosial dan budaya eksternal. Demikian pula, self-schema
menggambarkan ide dan keyakinan yang dimiliki individu tentang diri
mereka sendiri yang dipengaruhi oleh tubuh yang diidealkan yang

18
terwakili secara sosial dan tubuh yang diidealkan secara internal. Harga
diri yang rendah dan ketidakpuasan terhadap gambar memiliki hubungan
langsung dengan tingkat perbedaan antara persepsi tubuh dan idealized
body image (Kent, 2002).
Menilai cutaneous body image (CBI) pasien dapat secara klinis
menguntungkan dalam mendapatkan wawasan tentang persepsi individu
tentang diri mereka sendiri. Ukuran subyektif dari persepsi mental individu
pasien terhadap kulit, rambut, dan kuku mereka dipengaruhi oleh faktor
perkembangan, psikososial, budaya, dan psikiatrik. Individu dengan
penyakit kulit kronis umumnya memiliki CBI lebih rendah sebagai akibat
dari peningkatan tekanan psikososial, yang terkait dengan penurunan
kepatuhan pengobatan karena kurang percaya diri pada pengobatan,
menghasilkan peningkatan komorbiditas (Gupta & Gupta, 2013).
3. Penyakit kulit dan Relationship
Interaksi sosial dalam pengaturan pembentukan hubungan yang
bermakna dipengaruhi oleh fokus individu terhadap penampilan dan
gagasan mereka sendiri tentang bagaimana orang lain melihatnya. Selain
itu, penyakit kronis dapat melelahkan secara emosional dan memiliki
implikasi negatif pada berbagai aspek kehidupan pasien seperti hubungan
kerja dan interpersonal. Body image yang negatif menghasilkan keintiman
yang buruk dalam suatu hubungan karena perubahan persepsi tentang diri
sebagai makhluk seksual. Pada individu dengan penyakit kulit kronis,
perkembangan perasaan malu ditambah dengan penurunan kepercayaan
diri bertindak sebagai penghalang pada hubungan seksual yang dulu
mungkin baik-baik saja. Dalam sebuah penelitian yang meneliti 120 pasien
dengan psoriasis, ditemukan bahwa 40% telah mengalami penurunan
aktivitas seksual dan peningkatan depresi jika dibandingkan dengan
kontrol (Gupta & Gupta, 2013). Demikian pula, dalam penelitian lain yang
mensurvei 502 pasien psoriasis, 38% melaporkan mengalami kesulitan
dengan seks dan keintiman (Young, 2005).

19
4. Attachment styles
Attachment styles dalam konteks penyakit kulit kronis lebih baik
dipahami dengan teori Attachment, yang dikembangkan awalnya untuk
menjelaskan ikatan emosional antara bayi dan pengasuh tetapi telah
diperluas untuk memahami orang dewasa dalam hubungan intim.
Menariknya, ketika orang dewasa terpisah secara fisik dari pasangannya,
mereka menunjukkan pola perilaku yang sama dengan bayi yang terpisah
secara fisik dari pengasuh mereka. Aman, menghindar, dan cemas-
ambivalen adalah tiga Attachment styles yang bertindak sebagai model
yang membentuk respons untuk memenuhi kebutuhan attachment dan
dianggap menjadi relatif stabil atau tahan terhadap perubahan (Walker&
Papadopoulos, 2005)
5. Stigma pada Penyakit Kulit
Kulit adalah organ ekspresi, oleh karena itu penyakit apa pun yang
bermanifestasi sebagai "kegagalan kulit" mengarah ke masalah psikososial
dalam bentuk rasa malu, penolakan, dan isolasi. Lakuta et al. (2017)
menunjukkan bahwa pasien dengan psoriasis menunjukkan enam dimensi
stigmatisasi yang dialami oleh individu dengan penyakit kulit: antisipasi
penolakan, sensitivitas terhadap pendapat orang lain, perasaan cacat, rasa
bersalah dan malu, kerahasiaan, dan sikap yang kurang positif. Keyakinan
ini memiliki korelasi kuat dengan pengalaman penolakan sebelumnya, dan
banyak yang merasakan implikasi psikososial yang berasal dari reaksi
negatif orang lain terhadap penyakit mereka. Individu dengan lesi kulit
terlihat sering merasa dipandang dengan rasa takut, terkejut, atau
meremehkan (Lakuta et al., 2017).
Aspek psikiatri pada psoriasis sebagai berikut:
1. Depresi
Beban psikososial pada psoriasi signifikan terhadap perubahan
penampilan fisik yang disebabkan oleh psoriasi sering menyebabkan
stigmatisasi sosial dan tekanan psikologis, yang dapat meningkatkan
resiko komorbiditas gangguan kejiwaan, seperti depresi. Systematic review

20
telah melaporkan prevalensi depresi atau gejala depresi pada pasien
psoriasi antara 4-68% berdasarkan berbagai definisi hasil, desain
penelitian, dan populasi penelitian (Roque Ferreiraet al., 2017). Prevalensi
depresi pada pasien psoriasis meningkat daripada kontrol, dari 18,2%
versus 12,2% pada 2014 ( p <0,01) menjadi 19,6% vs 13,1% pada 2016
(p<0,01). Prevalensi depresi yang diobati mengikuti tren yang sama,
dengan peningkatan dari 14,5% vs 8,9% pada tahun 2014 (p <0,01)
menjadi 15,9% vs 9,9% pada tahun 2016 (p <0,01) (Cai et al., 2019).
Penelitian kohort prospektif yang mengamati 50.750 perawat wanita
di AS, mereka yang memiliki penyakit psoriasis memiliki resiko depresi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki
penyakit psoriasis, bahkan ketika disesuaikan dengan perancu potensial
relative risk (RR) 1,29 (95% Confidance Interval (CI) 1.10-1.52). Relative
Risk ini secara statistik serupa ketika pasien memiliki psoriasis dan
arthritis psoriatik bersamaan (RR 1,52 [95% CI 1,06-2,19]) (Dommasch et
al., 2015). Sejumlah penelitian lain lebih lanjut mendukung peningkatan
resiko depresi seperti ditunjukkan oleh meta-analisis dan tinjauan
sistematis oleh Dowlatshahi et al. (2014), penelitan ini menunjukan bahwa
pasien psoriasis memiliki gejala depresi yang lebih signifikan
(standardized mean differences 1,16;95% CI 0,67-1,66), dan studi
berbasis populasi menunjukkan bahwa mereka setidaknya satu setengah
kali lebih mungkin mengalami depresi (Odds Ratio 1,57; 95% CI 1,40-
1,76) dan menggunakan lebih banyak antidepresan daripada kontrol (Odds
Ratio 4,24, 95% CI 1,53-11,76) (Dowlatshahi et al., 2014). Sebuah studi
yang meneliti berbagai penyakit kulit di 13 negara Eropa bertujuan untuk
menentukan hubungan antara berbagai diagnosa dermatologis dan depresi,
psoriasis menduduki peringkat keempat tertinggi dalam peningkatan
insiden depresi (Odds Ratio 3,02 {95% CI 1,86-4,90}) (Dalgard et al.,
2015).
Faktor yang memengaruhi terjadi depresi pada psoriasi seperti usia,
gender, tingkat keparahan pernyakit, undertreatment (Cai et al., 2019).

21
Psoriasis memiliki onset usia bimodal dengan presentasi pertama terjadi
pada pasien mulai dari 15-20 tahun dan presentasi kedua bermanifestasi
pada 55-60 tahun. Dalam studi crosssectional deskriptif dari 101 pasien
psoriasis, mereka yang memiliki psoriasis kurang dari usia 20 tahun
memiliki peningkatan insiden depresi dibandingkan dengan pasien yang
terjadi pada usia 20 tahun atau lebih tua (Remrod et al., 2013). Berbagai
penelitian telah gagal menunjukkan hubungan antara jenis kelamin dan
tingkat depresi pada pasien psoriasis. Sebuah studi kasus-kontrol
dilakukan di Brazil mengamati 100 pasien dengan psoriasis dan
membandingkannya dengan 100 kontrol sehat menunjukan bahwa wanita
dengan psoriasis sedikit lebih tertekan daripada rekan pria mereka
meskipun ini tidak mencapai signifikansi statistik (Golpour et al., 2012).
Dalam penelitian yang jauh lebih besar, secara keseluruhan tidak ada
perbedaan yang signifikan secara statistik antara jenis kelamin. Namun,
dalam subkelompok psoriasis yang parah, ada peningkatan tingkat depresi
yang signifikan secara statistik pada pria dibandingkan pasien wanita
(Olivier et al., 2010). Tingkat keparahan penyakit yang lebih besar juga
berkorelasi dengan peningkatan risiko depresi dan pasien yang mengalami
kegagalan pengobatan memiliki kejadian depresi yang lebih tinggi. Selain
itu depresi juga terkait dengan peningkatan regulasi sitokin proinflamasi
dan komponen jalur inflamasi lainnya yang dapat memicu psoriasi atau
memperburuk keparahan penyakit, menghasilkan beban penyakit yang
lebih besar (Cai et al., 2019).
Pengobatan psoriasis yang berhasil sangat membantu dalam
mengurangi tingkat depresi. Sebuah penelitian yang mengamati morbiditas
psikiatrik pada 414 pasien dengan psoriasis menggunakan General Health
Questionnaire untuk mengidentifikasi individu dengan masalah
psikologis, yang didefinisikan sebagai "kasus", dan kemudian mengulangi
pertanyaan yang sama pada follow up sebulan kemudian. Enam puluh
delapan persen pasien dengan pembersihan psoriasis lengkap dianggap
sebagai "noncases" pada follow up dibandingkan dengan 17,6% pasien

22
dengan psoriasis yang kondisinya tidak berubah atau memburuk. Selain
itu, 70% dari pasien yang memiliki perbaikan ≥50% dari gejala psoriasis
dianggap "noncases" dibandingkan dengan hanya 32% dari pasien tanpa
perbaikan atau perburukan gejala psoriasis yang dianggap "noncases"
dalam follow up. Oleh karena itu, penting untuk merawat psoriasis secara
optimal untuk mengurangi beban psikologis. Penggunaan terapi yang lebih
manjur, seperti biologik, mungkin penting untuk menargetkan gejala
depresi (Sampogna et al., 2010).
Selain itu pasien yang menderita psoriasi sedang hingga berat
membutuhkan biaya perawatan kesehatan tambahan yang juga
berhubungan dengan depresi yang diobati adalah $ 8.077 (p <0,01) serta
91% adalah karena pemanfaatan layanan medis seperti rawat inap,
kunjungan unit gawat darurat, kunjungan praktek pribadi, dan layanan
rawat jalan lainnya (semua p <0,01) (Cai et al., 2019).Han et al. (2011)
menemukan bahwa biaya perawatan kesehatan pasien dengan psoriasi
sedang hingga parah meningkat dari $ 10.363 tanpa gangguan kejiwaan
komorbiditas menjadi $ 17.638 dengan adanya gangguan kejiwaan.
Peningkatan ini adalah hasil dari biaya rawat inap dan rawat inap lebih dari
3 kali lipat lebih tinggi, biaya rawat jalan 1,8 kali lebih tinggi, dan biaya
resep 1,2 kali lipat lebih tinggi pada pasien psoriasis dengan gangguan
kejiwaan dibandingkan dengan pasien psoriasis tanpa gangguan kejiwaan
(Han et al., 2011).
2. Anxietas
Psoriasis dan kecemasan adalah kondisi kronis dengan morbiditas
yang signifikan dan ada bukti bahwa mereka dapat memperburuk satu
sama lain. Prevalensi kecemasan pada psoriasis dan efek pengobatan
psoriasis pada kecemasan komorbiditas. Sebuah systematic review
menunjukan prevalensi kecemasan pada pasien dengan psoriasis adalah 7-
48%, yang secara signifikan lebih tinggi dari kontrol yang sehat (Hazard
Ratio 1,29-1,31, p = 0,001 dan Odd Ratio 2,91 [95% CI, 2,01-4,21], p<

23
0,001). Systematic review ini juga menunjukkan peningkatan gejala
kecemasan dengan pengobatan psoriasis (Fleming et al., 2017).
Penelitian case control yang melibat 70 subjek dengan psoriasis
sedang-berat dan kontrol tanpa menderita psoriasi, hasil penelitian
menunjukan bahwa mereka yang menderita psoriasis memiliki skor
anxietas yang tinggi bila dibandingkan dengan kontrol. Penelitian ini juga
menunjukan bahwa keparahan psoriasis, jenis kelamin perempuan dan
lokasi lesi artikular atau genital menunjukan semakin tinggi gejala
kecemasannya (Martínez-Ortega et al., 2019). Penelitian kohort berbasis
populasi yang menganalisis 146042 pasien psoriasis ringan dan 3956
pasien psoriasis berat, dan 766950 pasien tanpa psoriasis, hasil penelitan
ini menunjukan bahwa pasien dengan psoriasis mempunyai resiko lebih
tinggi terhadap anxietas bila dibandingkan dengan kontrol dengan hazard
ratio 1,31 95% CI 1,29-1,34. Pasien yang lebih muda dengan psoriasis
memiliki peningkatan hasil hazard ratio dibandingkan dengan pasien yang
lebih tua dengan psoriasis, keparahan penyakit tidak dikaitkan dengan
peningkatan gejala kecemasan (Olivier et al., 2010).
Penelitan cross sectional terhadap 90 pasien psoriasis yang diikuti
selama periode 12 bulan di senter perawatan tersier, hasil penelitan
menunjukan bahwa sebanyak 69 (76,7%) orang mengalami kecemasan,
signifikan kolerasi positif ditunjukan pada pasien psoriasis yang berat dan
menderita psoriasis sudah lama (Lacshmy et al., 2015). Sebuah penelitian
cross-sectional deskriptif dilakukan pada 101 pasien rawat jalan dengan
psoriasis yang direkrut secara berturut-turut, hasil studi menunjukan
Pasien dengan psoriasis onset dini (usia <20 tahun) secara signifikan lebih
cemas daripada pasien dengan psoriasis onset lambat. Ciri-ciri kerentanan
psikologis dan sifat-sifat kepribadian pesimistis ditemukan secara
signifikan terkait dengan timbulnya psoriasis dini, tetapi tidak dengan
durasi penyakit dalam penelitian ini. Ciri-ciri ini dapat dilihat sebagai
konsekuensi dari psoriasis, dan / atau sebagai ciri individu yang

24
memodulasi dan mengganggu perjalanan klinis dan upaya untuk mengatasi
psoriasis (Remröd et al., 2013).
Sebuah penelitian menunjukan bahwa pasien psoriasis memiliki
tingkat alexithymia yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta yang
sehat. Sementara tingkat yang lebih tinggi dari pasien psoriasis
menunjukkan kecemasan sebagaimana didefinisikan oleh HADS. Korelasi
positif antara alexithymia dengan kecemasan pada pasien psoriasis.
Kecemasan lebih tinggi dihubungkan dengan alexithymia dan sulit untuk
mengindentifikasi perasaan yang lebih tinggi, sementara kecemasan yang
lebih tinggi dengan sulit untum mengambarkan perasaan yang lebih tinggi
juga (Korkoliakouet al., 2014). Dalam studi kasus-kontrol berbasis rumah
sakit ini, seratus pasien dengan psoriasis (kasus) merujuk ke departemen
dermatologi dan 100 orang kontrol sehat. Hasilnya studi mengungkapkan
bahwa pasien psoriasis melaporkan tingkat kecemasan yang jauh lebih
tinggi daripada kontrol. Selain itu, wanita psoriasis lebih cemas daripada
pria psoriasis (Golpour et al., 2012).
3. Insomnia
Systematic review tentang hubungan antara psoriasis, Psoriasis
Artritis (PsA), dan gangguan tidur formal diidentifikasi 33 studi.
Peningkatan prevalensi obstructive sleep apnea (OSA) dengan prevalensi
36% -81,8% pada psoriasis dibandingkan 2% -4% pada populasi umum.
Peningkatan prevalensi restless legs syndrome 15,1% -18%. Prevalensi
insomnia 5,9% -44,8% pada psoriasis, yang tidak cukup untuk
menunjukkan peningkatan prevalensi ketika populasi umum memiliki 10%
prevalensi insomnia kronis dan 30-35% prevalensi insomnia sementara.
Ada bukti bahwa gejala insomnia pada psoriasis secara langsung dimediasi
oleh pruritus dan nyeri. Perawatan yang mengurangi gejala kulit pada
psoriasis berhasil meredakan insomnia, tetapi tidak menunjukkan
perbaikan pada OSA di mana hubungan dengan psoriasis bersifat
multifaktorial (Gupta et al., 2016).

25
Penelitian yang melibatkan 113 pasien psoriasis artritis, 62 pasien
psoriasis tanpa artritis, dan 52 konrol sehat, hasil penelitian ini
menunjukan bahwa kualitis tidur yang buruk pada psoriasis artritis 84%,
psoriasis tanpa artritis 69% dan kontrol sehat 50%. Prevelensi kualitas
tidur yang buruk ini dikaitkan dengan kelelahan dan kecemasan (Wong et
al., 2017). Sebuah studi kohort nasional dengan total 980 pasien dengan
psoriasis artritis dan psoriasis yang menerima obat antiremaik dan terapi
biologis menunjukan bahwa prevalensi pasien yang memakai antidepresan
reguler sebelum memulai terapi biologik adalah sekitar 20%. Ada
penurunan lebih dari 40% dalam prevalensi ini setelah terapi biologik
selama 2 tahun. Usia yang lebih tinggi dari 45 tahun, jenis kelamin
perempuan, adanya komorbiditas, dan radang sendi psoriatik secara
independen terkait dengan insomnia. Analisis bertingkat lebih lanjut
mengungkapkan penurunan yang lebih cepat dan signifikan pada insomnia
pada mereka yang menjalani terapi biologis berkelanjutan, lebih muda dari
45 tahun, tanpa arthritis psoriatik dan tidak menggunakan metotreksat
bersamaan (Wu et al., 2016).
Penelitian yang bertujuan untuk menilai kualitas tidur pada subjek
dengan psoriasis. Tiga puluh lima pasien rawat jalan yang didiagnosis
dengan psoriasis plak kronis yang memengaruhi setidaknya 10 persen
body surcafe area (BSA) dan 44 kontrol menyelesaikan Pittsburgh Sleep
Quality Index (PSQI), Patient Health Questionnaire (PHQ-9), Itch
Severity Scale (ISS), Insomnia Severity Index (ISI), dan Epworth
Sleepiness Scale (ESS). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa setelah
dilakukan penyesuaian terhadap usia, indek massa tubuh (IMT), dan jenis
kelamin, pasien dengan psoriasis memiliki peluang 4,3 kali lebih tinggi
menderita insomnia (OR 4,3 95% CI: 1,7, 11,2; p = 0,01), kecenderungan
mengalami tidur yang buruk ( p = 0,04), dan tidak ada perbedaan
mengantuk (p = 0,83). Pasien dengan psoriasis memiliki rasa gatal yang
lebih besar daripada mereka yang tidak psoriasis (rata-rata ISS 8.5 vs 2.0;
p <0,0001). Meskipun gangguan tidur lebih lazim, ini mungkin sekunder

26
akibat depresi daripada terkait dengan efek langsung psoriasis (Shutty et
al., 2013).
Penelitian tentang hubungan antara pruritus dan tidur pada 104
pasien rawat inap dengan psoriasis, yang menjalani penilaian dermatologis
dan mengisi kuesioner untuk menentukan keparahan psoriasis, intensitas
pruritus, dan kualitas tidur. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 80%
pasien melaporkan pruritus, dan 39% mengalami gangguan tidur, paling
sering terbangun saat tidur (33%) dan mengantuk di siang hari (30%).
Gangguan tidur lebih sering terjadi pada pasien pruritus, yang lebih sulit
tidur (P = 0,031). Secara keseluruhan, 14% dari semua pasien dan 34%
dari pasien yang melaporkan gangguan tidur melaporkan bahwa masalah
tidur mereka disebabkan oleh pruritus. Pasien yang melaporkan gangguan
tidur memiliki kualitas hidup yang lebih rendah (Hawro et al., 2019).
4. Penurunan Kualitas Hidup
Psoriasis banyak berkomorbiditas dengan beberapa penyakit baik
secara fisik maupun mental seperti kondisi kardiovaskular, arthritis
psoriatik, sindrom metabolik, kondisi autoimun lainnya dan kondisi
kejiwaan (kecemasan dan depresi) didokumentasikan dengan baik. Selain
itu, sejumlah penelitian telah mengungkapkan korelasi dengan fibrosis
hati, gangguan tidur, mata, osteoporosis, sindrom iritasi usus, penyakit
ginjal, disfungsi ereksi dan peningkatan risiko pengembangan neoplasia
(Boca et al., 2019). Komorbiditas dilaporkan secara signifikan
menurunkan kualitis hidup dan penurunan kinerja kerja keseluruhan.
Psoriasis merusak banyak domain kualitas hidup (Cai et al., 2019).
Domain dampak yang paling sering dilaporkan adalah: kegiatan dan
partisipasi sosial, domain fisik, domain emosional, kelelahan, tidur,
koping, keintiman dan kehidupan seksual, dan perawatan diri (Gudu &
Gossec, 2019).
a. Kegiatan dan Partisipasi Sosial
Pada psoriasi beberapa aspek kualitas hidup yang paling terganggu
meliputi bidang kegiatan seperti kemampuan untuk bekerja, bersantai

27
dan partisipasi sosial seperti hubungan sosial, keintiman, partisipasi
masyarakat. Sebuah penelitian yang menilai efek psoriasis pada 94
pasien dari lima negara yang berbeda menurut International
Classification of Functioning, Disability and Health (ICF), ditunjukkan
bahwa komponen yang paling terganggu adalah Aktivitas dan
Partisipasi (Taylor et al., 2010). Studi systematic review menilai
dampak psoriasis dari perspektif pasien, dengan menghubungkan
konsep dan domain dampak yang diekstraksi dari studi ini ke ICF, itu
menunjukkan bahwa kategori yang paling terkena dampak lagi
Kegiatan dan Partisipasi (42,6%). Hasil ini penting karena
mencerminkan perspektif pasien yang otentik (Gudu et al., 2017).
Pasien psoriasis ditemukan memiliki tingkat pengangguran yang
tinggi (20-50%) dan cacat kerja (16-39%), yang sangat terkait dengan
durasi penyakit yang lebih lama, fungsi fisik yang lebih buruk, tingkat
pendidikan yang rendah, jenis kelamin perempuan, penyakit erosif dan
kerja manual (Tillett et al., 2012). Sebuah studi pada 236 pasien
psoriasis yang pekerjaan di Inggris, berkurangnya efektivitas di tempat
kerja dikaitkan dengan ukuran aktivitas penyakit, sedangkan
pengangguran dikaitkan dengan faktor majikan, usia dan lamanya
penyakit (Tittett et al., 2015). Studi lain juga menunjukkan bahwa
produktivitas kerja yang dievaluasi oleh Work Limitations
Questionnaire menurun sebesar 4,3-6,7% pada pasien dengan psoriasis
dibandingkan dengan karyawan tanpa psoriasis (Kennedy et al., 2014).
b. Aspek Fisik
Lesi psoriasis dapat menyebabkan rasa sakit dan
ketidaknyamanan seperti gatal, iritasi, kemerahan, nyeri pada kulit, atau
pendarahan. Pasien dengan psosiaris artritis mengalami tingkat nyeri
yang tinggi dan ketidakmampuan fungsional yang nyata, yang
selanjutnya berdampak pada aktivitas sehari-hari dan produktivitas
kerja. Cacat fisik sebagian besar disebabkan oleh komponen
muskuloskeletal, karena pasien psoriasis artritis menderita radang sendi,

28
daktilitis, radang usus, dan kadang-kadang keterlibatan aksial yang
mengakibatkan rasa sakit, ketidaknyamanan, dan mobilitas berkurang.
Komponen penyakit ini pada waktunya dapat menyebabkan erosi dan
kerusakan struktural, dengan cacat permanen (Strand et al., 2012). Studi
kualitatif menunjukan komponen ICF yang sesuai dengan aspek fisik,
yaitu, struktur tubuh dan fungsi tubuh juga terwakili dengan baik
(39,7%). Domain seperti nyeri, masalah kulit, body image (63,6%) dan
masalah sendi (45,4%) sering dilaporkan (Gudu et al., 2017).
Masalah kulit dan kapasitas fungsional ditunjukan pada studi
prioritas lain pada 59 pasien psoriasis, domain fisik dianggap sebagai
aspek paling penting dari dampak penyakit. Beberapa perbedaan yang
diamati mungkin dijelaskan oleh latar belakang budaya dan / atau
keparahan penyakit (Putrik et al., 2016).Nyeri adalah gejala penting
bagi pasien psoriasis artritis. Pada penelitian lain dengan prioritas di
mana 474 pasien psoriasis artritis dari 13 negara memberi peringkat
domain-domain ini dalam urutan tertinggi, nyeri dinilai sebagai domain
dampak yang paling penting (Gossec et al., 2014).
c. Aspek Emosional
Gejala emosional dan psikologis sering dan penting pada
psoriasis. Pasien dengan psoriasis artritis memiliki prevalensi
kecemasan dan gejala depresi yang tinggi, berkisar antara 7,9% hingga
36,6. Tingkat kecemasan dan depresi ditunjukkan lebih tinggi pada
pasien psoriasis artritis yaitu 36,6% dan 22,2% dibandingkan dengan
mereka yang hanya psoriasis (24,4% dan 9,6%). Depresi dan
kecemasan dikaitkan dengan berbagai faktor, baik yang berhubungan
dengan pasien dan penyakit: status pengangguran, jenis kelamin
perempuan, sendi yang meradang secara aktif, kecacatan, nyeri dan
kelelahan. Namun, tidak ada hubungan dengan pengobatan dan yang
menarik tidak dengan tingkat psoriasis kulit: kecemasan dan depresi
terbukti tidak tergantung pada Area Psoriasis dan Indeks Keparahan,
menjelaskan mengapa pasien dengan PsA memiliki lebih banyak

29
kecemasan dan depresi daripada mereka dengan psoriasis saja dan
mengkonfirmasikan bahwa persepsi pasien lebih penting daripada

keparahan obyektif yang sebenarnya dari penyakit kulit (McDonough

et al., 2014). Penilaian depresi dan kecemasan dalam PsA penting


karena mereka dikaitkan dengan kualitas hidup yang buruk dan dapat
mengurangi kemungkinan remisi sendi dan berkontribusi terhadap

kepatuhan pengobatan yang buruk (Betteridge et al., 2016).


Kecemasan dan depresi bukan satu-satunya aspek psikologis yang
sering atau penting bagi pasien dengan psoriasis. Data dari studi
kualitatif atau studi menggunakan beberapa metodologi kualitatif
menunjukkan bahwa pasien psoriasis mengalami berbagai perasaan
emosional: kecemasan, ketakutan, ketidakpastian, kekhawatiran untuk
masa depan, kesedihan, kemarahan, depresi, kehilangan motivasi untuk
ikut serta, dan berkurangnya kenikmatan yang didapat dari, kegiatan,
rasa malu dan / atau rasa malu karena penampilan, perasaan ditolak,
kesulitan konsentrasi, frustrasi, ditandai dengan visibilitas, keasyikan
dengan penyakit dan berduka karena kehilangan gaya hidup
sebelumnya. Masalah emosional sangat penting bagi pasien yang
menderita psoriasis: 63% pasien memiliki peringkat kesehatan
emosional sebagai domain dampak terpenting kedua dari 8 domain (Hu
et al., 2010). Juga, dalam latihan prioritas pasien psoriasis, beberapa
domain yang terkait dengan fungsi emosional digolongkan sebagai
penting bagi pasien, di antara 12 domain dampak lainnya: kecemasan,
malu, depresi. Selain itu, ketika menghubungkan konsep dan domain
dampak yang diekstraksi dari 11 studi yang menilai dampak psoriasis
dari perspektif pasien ke ICF [17], kategori ICF yang paling sering
dikutip adalah B152 Fungsi emosional dan dikaitkan dengan berbagai
konsep: kecemasan, ketakutan, ketidakpastian, kesedihan, depresi,
kurang motivasi, iritasi, frustrasi, kemarahan dll, mencerminkan beban
psikologis psoriasis yang tinggi (Gossec et al., 2014).

30
d. Fatigue
Kelelahan adalah gejala penting dalam psoriasis. Tingkat kelelahan
pada psoriasi meningkat terutama mereka yang telah mengalami
psoriasis artritis. Studi kohort cross-sectional besar hampir 50% pasien
psoriasis melaporkan kelelahan sedang dan 29% mengalami kelelahan
parah. Pentingnya dikaitkan dengan kelelahan yang juga tinggi: dalam
latihan prioritas 474 pasien dengan psoriasis artritis dari 13 negara,
pasien peringkat kelelahan sebagai domain terpenting kedua setelah
rasa sakit dan sebelum masalah kulit. Data mengenai penyebab
kelelahan pada psoriasis jarang: kelelahan dilaporkan sebagian besar
terkait dengan kecacatan fisik, nyeri dan tekanan psikologis pada
psoriasis (Gudu et al., 2016). Baru-baru ini, telah ditunjukkan dalam
sebuah penelitian terhadap 246 pasien dengan psoriasis artritis dari 13
negara bahwa kelelahan tinggi dijelaskan terutama oleh faktor-faktor
terkait penyakit psoriasis kulit saat ini, jumlah sendi yang sakit dan
entesitis), tetapi juga karakteristik terkait pasien seperti pendidikan dan
jenis kelamin perempuan, menunjukkan bahwa kelelahan pada psoriasis
adalah multifaktorial (Gudu et al., 2016). Namun, penelitian lain yang
mengevaluasi kelelahan pada 101 pasien psoriasis artritis menunjukkan
bahwa itu mungkin lebih terkait dengan aspek emosional dan sosial
penyakit daripada aspek inflamasi sendi, menunjukkan bahwa
visibilitas penyakit adalah aspek yang paling mengganggu bagi pasien

dan bahwa "Nyeri kulit" lebih intens daripada nyeri sendi (Carneiro et

al., 2017).
e. Stigma dan Kualitas Hidup
Psoriasis memiliki beberapa bentuk klinis yang berbeda dalam hal
lokasi lesi kulit, keparahan, dan durasi. Biasanya psoriasis
bermanifestasi sebagai plak merah yang dilapisi kulit bersisik putih
keperakan. Lesi psoriatik yang terlihat pada bagian tubuh yang terbuka
dapat menyebabkan rasa takut, jijik, kebencian, atau bahkan intoleransi.

31
Beberapa orang dengan kesadaran yang terbatas percaya bahwa
psoriasis adalah penyakit menular, yang pada akhirnya berkontribusi
pada isolasi sosial orang dengan psoriasis (Parisi et al., 2013).
Pasien dengan psoriasis sering mengalami stigmatisasi dan
penolakan. Sejalan dengan teori Goffman, orang yang distigmatisasi
ditolak karena memiliki atribut yang sangat didiskreditkan oleh
masyarakat mereka. Ada dua jenis stigma, stigma sosial dan stigma diri.
Stigma sosial terjadi ketika anggota masyarakat menolak atau
mengecualikan individu yang berbeda dari orang lain, memperlakukan
mereka dengan cara yang tidak adil dan diskriminatif . Stigma diri
terjadi jika seseorang memiliki harga diri yang rendah dan perasaan
malu dan putus asa karena suatu penyakit. Individu yang mengalami
stigma diri percaya bahwa mereka memiliki sifat terkait penyakit
tertentu yang tidak dapat diterima secara sosial, yang membuat sifat ini
penting bagi mereka dan mengarah pada perubahan bertahap dalam
citra diri mereka. Orang-orang yang mengalami stigmatisasi
menganggap diri mereka lebih buruk dan meremehkan nilai mereka,
bahkan jika mereka tidak pernah mengalami stigmatisasi sosial dan
orang lain tidak menyadari kekurangan mereka. Oleh karena itu, pasien
tersebut melakukan stigmatisasi diri sendiri dalam hal pelabelan, dan
pada kenyataannya stigmatisasi diri mereka dihasilkan dari kurangnya
penerimaan penyakit dan penerimaan diri secara umum (Topp et al.,
2019).
Sementara stigmatisasi sosial dan stigmatisasi diri dapat terjadi
secara independen satu sama lain, keduanya juga dapat berdampingan.
Internalisasi stigma terkait penyakit dapat menghasilkan perasaan
bersalah, dan seringkali rasa takut dinilai oleh orang lain dapat
membahayakan status emosional seseorang dan bahkan menyebabkan
penyakit mental. Orang dengan psoriasis rentan terhadap komentar dan
ucapan tentang penyakit mereka, yang tidak jarang mengakibatkan

32
penarikan sosial, dan dapat mengembangkan depresi atau bahkan
melakukan upaya bunuh diri (Karia et al., 2015)
Stres kronis yang terkait dengan stigmatisasi, kurangnya
penerimaan dari orang lain, dan keharusan untuk mengatasi penyakit
kronis memiliki efek yang cukup besar pada kualitas hidup orang
dengan psoriasis. Bersamaan dengan kualitas hidup yang memburuk,
pasien dengan psoriasis mungkin mengalami kesepian, yang
selanjutnya mengganggu fungsi sosial mereka. Perasaan kesepian
adalah konsekuensi dari penyakit fisik dan mental, dan hasil dari
gangguan psikologis, seperti penurunan harga diri, ketidakmampuan
untuk membangun kontak sosial, dan stigmatisasi (Richards et al.,
2001).
5. Ide atau Perilaku Bunuh Diri
Angka kejadian bunuh diri pada pasien dengan psoriasis dilaporkan
pada 0,9 per 1.000 orang-tahun versus 0,7 per 1.000 orang-tahun pada
populasi umum. Di Inggris sekitar 350 diagnosis baru bunuh diri yang
disebabkan oleh psoriasis (Olivieret al., 2010). Di Amerika Serikat
prevalensi pasien psoriasis dengan suicidal ideation (SI) dilaporkan
setinggi 9,7% versus 4% pada populasi umum (Piscopo et al., 2016).
Sebuah penelitian di Italia prevalensi SI pada pasien psoriasis ditemukan
mendekati 10% (Picardi et al., 2006). Sebuah penelitian multisenter, yang
mencakup 626 pasien psoriasis dari 13 negara Eropa, prevalensi SI
ditemukan secara substansial lebih tinggi yaitu 17,3% versus 8,3% pada
kontrol sehat, dengan 67,6% individu yang bunuh diri melaporkan bahwa
SI mereka secara langsung terkait dengan psoriasis mereka (Dalgard et al.,
2015). Pada studi lain dari 113 pasien psoriasis Denmark, persentase yang
lebih tinggi yaitu 21,2% dengan pemikiran tentang bunuh diri versus 6,8%
pada individu tanpa penyakit (Zachariae et al., 2004). Prevalensi tinggi SI
seumur hidup pada pasien psoriasis sebanyak 37,4% melaporkan riwayat
SI versus 16,7% pada pasien tanpa psoriasis (Pompili et al., 2017) . Pasien
psoriasis dengan insiden upaya bunuh diri telah dilaporkan 1,43 per 10.000

33
orang-tahun vs 1,00 per 10.000 orang-tahun pada populasi umum
(Egeberg et al., 2016). Pasien psoriasis juga memiliki insiden bunuh diri
yang tinggi, dengan tingkat kejadian 2,03 per 10.000 orang-tahun vs 1,64
per 10.000 orang-tahun pada populasi umum (Svedbom et al., 2015).
Dua studi menunjukkan hubungan antara psoriasis dan peningkatan
resiko bunuh diri (Dalgard et al., 2015; Singh et al., 2017), dan psoriasis
memiliki hubungan yang lebih kuat dengan peningkatan resiko daripada
kondisi dermatologis lainnya (Pompili et al., 2017). Namun, penelitian
lain, termasuk studi kohort berbasis populasi baru-baru ini terhadap lebih
dari 68.000 pasien psoriasis, belum menemukan hubungan yang signifikan
(Egeberg et al., 2016). Dua meta-analisis oleh Chi et al. (2017) dan Singh
et al. (2017) memeriksa resiko suicidal ideation and behavior (SIB) secara
keseluruhan pada pasien psoriasis yang memanfaatkan banyak literatur
yang tersedia. Chi et al. (2017) hanya menganalisis studi kohort dan tidak
menemukan peningkatan resiko bunuh diri di antara pasien psoriasis.
Namun, Singh et al. (2017) menganalisis studi case control, cross
sectional, dan kohort dan memang menemukan peningkatan resiko bunuh
diri yang signifikan pada populasi psoriasis.
Sebuah penelitian hasil gabungan dari diagnosis SI, upaya bunuh
diri, dan / atau bunuh diri total (Wu et al., 2017). Studi kohort berbasis
populasi terhadap hampir 150.000 pasien psoriasis menunjukan bahwa
pasien dengan psoriasis ditemukan memiliki peningkatan resiko bunuh diri
yang signifikan dibandingkan dengan populasi umum (rasio hazard yang
disesuaikan standardized mean differences 1,44; 95% CI 1,32-1,57)
(Olivieret al., 2010). Namun, studi kohort berdasarkan populasi lain dari
36.214 pasien psoriasis tidak menemukan peningkatan risiko yang
signifikan (Wu et al., 2017), dan ketika kedua studi dianalisis bersama
dalam meta-analisis baru-baru ini oleh Chi et al., Secara signifikan
peningkatan resiko bunuh diri tidak ditemukan pada pasien dengan
psoriasis (rasio resiko dikumpulkan [RR] 1,26; 95% CI 0,97-1,64) (Chi et
al., 2017).

34
Meta-analisis yang dilakukan oleh Singh et al., mengenai suicidal
ideation terhadap 8 artikel dari desain case control, cross-sectional, atau
kohort, menemukan bahwa pasien dengan psoriasis dua kali lebih mungkin
memiliki SI dibandingkan dengan pasien tanpa psoriasi (pools OR 2,05;
95% CI 1,54-2,74) (Singh et al., 2017). Sedangkan meta-analisis yang
dilakukan oleh Chi et al yang hanya meneliti studi kohort berbasis
populasi menunjukan dua studi menyelidiki hubungan antara psoriasis dan
SI secara langsung tidak ada studi yang menemukan peningkatan resiko SI
pada pasien psoriasis (Chi et al., 2017).
Penelitian yang menyelidiki hasil paling serius dari bunuh diri yang
berhasil dilakukan menyatakan bahwa pasien dengan psoriasis memiliki
kemungkinan untuk menyelesaikan bunuh diri dibandingkan pasien tanpa
penyakit. Meta-analisis menunjukan OR gabungan dari bunuh diri pada
pasien psoriasis adalah 1,20 (95% CI 1,04-1,39), menunjukkan
kemungkinan secara signifikan lebih tinggi untuk bunuh diri pada pasien
psoriasis (Singh et al., 2017) . Meskipun demikian, mirip dengan temuan
di masing-masing kategori lainnya, tidak satu pun dari dua studi kohort
yang digunakan dalam meta-analisis Chi et al. Menemukan perbedaan
yang signifikan dalam resiko bunuh diri yang selesai antara orang dengan
dan tanpa psoriasis secara individu maupun secara kolektif (pooled RR
1,13; 95% CI 0,87-1,46) (Chi et al., 2017).
Beberapa faktor resiko dapat meningkatkan bunuh diri diidentifikasi
pada pasien psoriasis. Faktor-faktor resiko ini termasuk usia muda,
komorbid dengan gangguan psikiatrik dan tingkat keparahan penyakit.
Penelitian melaporkan bahwa pasien yang lebih muda dengan psoriasis
lebih mungkin mengalami bunuh diri daripada pasien yang lebih tua,
selain itu risiko melukai diri sendiri dan upaya bunuh diri meningkat pada
pasien psoriasis yang lebih muda dari usia tiga puluh tahun dalam
perkiraan bertingkat usia (incidence rate ratio1,81; 95% CI 1.02-3.20; p =
0,043) (Egeberg et al., 2016). Asosiasi ini bisa menjadi fungsi dari fakta
bahwa individu yang lebih muda pada umumnya lebih rentan untuk

35
melakukan bunuh diri (Nock et al., 2008). Studi kohort berbasis populasi
menunjukan bahwa pasien berusia dua puluhan memiliki resiko bunuh diri
yang jauh lebih tinggi daripada pasien yang berusia 60 atau lebih tua
dibandingkan dengan kontrol yang sehat dengan istilah interaksi usia HR
0,99; 95% CI 0,98-0,99; p <0,001 (Olivier et al., 2010).
Sebuah studi cross sectional yang memeriksa faktor-faktor
demografis, klinis, dan psikososial yang terkait dengan suicidal ideation
pada pasien psoriasis, adanya depresi atau gangguan depresi lainnya
adalah prediktor terkuat suicidal ideation (OR 12,8; 95% CI 6.3-26.1)
(Picardi et al. , 2006). Kelompok pasien psoriasis di Inggris menunjukan
tingkat bunuh diri 10 kali lebih besar pada mereka dengan depresi
komorbiditas dibandingkan dengan kelompok keseluruhan (masing-
masing 35% vs 3,5%) (Lamb et al., 2017). Hubungan ini mungkin
merupakan fungsi dari fakta bahwa penyakit kejiwaan, termasuk depresi,
adalah faktor resiko yang terhadap SIB dan terkait dengan peningkatan
resiko bunuh diri tidak hanya pada pasien dengan psoriasis tetapi juga
secara umum (Singhal et al., 2014).
Keparahan psoriasis juga dapat berkontribusi terhadap bunuh diri,
karena peningkatan keparahan penyakit telah dikaitkan dengan penurunan
yang lebih besar dalam kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan
(Singh et al., 2017). Studi menemukan bahwa pasien dengan psoriasis
yang lebih parah lebih cenderung memiliki SIB. Ketika dibandingkan
dengan pasien dengan psoriasis ringan, pasien dengan penyakit parah,
diklasifikasikan menerima terapi psoriasis sistemik dan memiliki resiko
yang meningkat secara signifikan terhadap bahaya bunuh diri dan upaya
bunuh diri (IRR 2.04 95% CI 1.21-3.44; p = 0,008) (Egeberg et al., 2016).
Meskipun hubungan antara tingkat keparahan penyakit dan resiko bunuh
diri bertentangan dalam penelitian lain yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan, asosiasi masih memerlukan perhatian khusus,
karena pengobatan yang efektif tidak hanya memperbaiki keparahan

36
penyakit tetapi juga berpotensi menurunkan angka kematian terkait bunuh
diri (Wu et al., 2017),.

37
BAB III

SIMPULAN

1. Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis dengan kecenderungan genetik


yang kuat dan bersifat patogen autoimun.
2. Faktor resiko dan pemicu seperti genetik, infeksi, medikasi, lifestyle.
3. Manifestasi dermatologis psoriasis bervariasi: psoriasis vulgaris juga disebut
psoriasis tipe plak, dan merupakan jenis yang paling umum.
4. Hubungan antara psikopatologi terutama depresi dan psoriasi mungkin ada
hubungan fisiologis. Pasien dengan psoriasis terjadi peningkatan sitokin
proinflamasi seperti TNF-a, IL-12, IL-17, IL-23, dan IFN-c.
5. Psikopatologi pada psoriasis seperti depresi, anxietas, insomnia, penurunan
kualitas hidup dan ide atau/dan perilaku bunuh diri.

38
DAFTAR PUSTAKA

Baliwag, J., Barnes, D. H., & Johnston, A. (2015). Cytokines in


psoriasis. Cytokine, 73(2), 342-350.
Barrea, L., Nappi, F., Di Somma, C., Savanelli, M. C., Falco, A., Balato, A., ... &
Savastano, S. (2016). Environmental risk factors in psoriasis: the point of
view of the nutritionist. International journal of environmental research and
public health, 13(7), 743.
Barreto, F. S., Chaves, F., Adriano, J. M., de Araújo, M. C., de Moraes, M. O., de
Moraes, M. E., ... & Macedo, D. S. (2018). Tryptophan catabolites along
the indoleamine 2, 3-dioxygenase pathway as a biological link between
depression and cancer. Behavioural pharmacology, 29(2), 165-180.
Basavaraj, K. H., Ashok, N. M., Rashmi, R., & Praveen, T. K. (2010). The role of
drugs in the induction and/or exacerbation of psoriasis. International
journal of dermatology, 49(12), 1351-1361.
Betteridge, N., Boehncke, W. H., Bundy, C., Gossec, L., Gratacós, J., & Augustin,
M. (2016). Promoting patient‐centred care in psoriatic arthritis: a
multidisciplinary E uropean perspective on improving the patient
experience. Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology, 30(4), 576-585.
Boca, A. N., Ilies, R. F., Vesa, S., Pop, R., Tataru, A. D., & Buzoianu, A. D.
(2019). The first nation-wide study revealing epidemiologic data and life
quality aspects of psoriasis in Romania. Experimental and therapeutic
medicine, 18(2), 900-904.
Brenaut, E., Horreau, C., Pouplard, C., Barnetche, T., Paul, C., Richard, M. A., ...
& Cribier, B. (2013). Alcohol consumption and psoriasis: a systematic
literature review. Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology, 27, 30-35.
Brown, G., Wang, E., Huynh, M., Wehner, M., Matro, R., Linos, E., ... & Haemel,
A. (2017). Tumor necrosis factor-α inhibitor-induced psoriasis: systematic
review of clinical features, histopathological findings, and management
experience. Journal of the American Academy of Dermatology, 76(2), 334-
341.
Büchau, A. S., & Gallo, R. L. (2007). Innate immunity and antimicrobial defense
systems in psoriasis. Clinics in dermatology, 25(6), 616-624.
Buske-Kirschbaum, A., Ebrecht, M., Kern, S., & Hellhammer, D. H. (2006).
Endocrine stress responses in TH1-mediated chronic inflammatory skin

39
disease (psoriasis vulgaris)—do they parallel stress-induced endocrine
changes in TH2-mediated inflammatory dermatoses (atopic
dermatitis)?. Psychoneuroendocrinology, 31(4), 439-446.
Cai, Q., Teeple, A., Wu, B., & Muser, E. (2019). Prevalence and economic burden
of comorbid anxiety and depression among patients with moderate-to-severe
psoriasis. Journal of medical economics, 22(12), 1290-1297.
Carneiro, C., Chaves, M., Verardino, G., Frade, A. P., Coscarelli, P. G., Bianchi,
W. A., ... & Carneiro, S. (2017). Evaluation of fatigue and its correlation
with quality of life index, anxiety symptoms, depression and activity of
disease in patients with psoriatic arthritis. Clinical, cosmetic and
investigational dermatology, 10, 155.
Chi, C. C., Chen, T. H., Wang, S. H., & Tung, T. H. (2017). Risk of suicidality in
people with psoriasis: a systematic review and meta-analysis of cohort
studies. American journal of clinical dermatology, 18(5), 621-627.
Dalgard, F. J., Gieler, U., Tomas-Aragones, L., Lien, L., Poot, F., Jemec, G. B., ...
& Evers, A. W. (2015). The psychological burden of skin diseases: a cross-
sectional multicenter study among dermatological out-patients in 13
European countries. Journal of Investigative Dermatology, 135(4), 984-991.
Dhabhar, F. S. (2014). Effects of stress on immune function: the good, the bad,
and the beautiful. Immunologic research, 58(2-3), 193-210
Dommasch, E. D., Li, T., Okereke, O. I., Li, Y., Qureshi, A. A., & Cho, E. (2015).
Risk of depression in women with psoriasis: a cohort study. British Journal
of Dermatology, 173(4), 975-980.
Dowlatshahi, E. A., Wakkee, M., Arends, L. R., & Nijsten, T. (2014). The
prevalence and odds of depressive symptoms and clinical depression in
psoriasis patients: a systematic review and meta-analysis. Journal of
Investigative Dermatology, 134(6), 1542-1551.
Egeberg, A., Hansen, P. R., Gislason, G. H., Skov, L., & Mallbris, L. (2016). Risk
of self‐harm and nonfatal suicide attempts, and completed suicide in patients
with psoriasis: a population‐based cohort study. British Journal of
Dermatology, 175(3), 493-500.
Elder, J. T., Bruce, A. T., Gudjonsson, J. E., Johnston, A., Stuart, P. E., Tejasvi,
T., ... & Nair, R. P. (2010). Molecular dissection of psoriasis: integrating
genetics and biology. Journal of Investigative Dermatology, 130(5), 1213-
1226.

40
Fife, D. J., Waller, J. M., Jeffes, E. W., & Koo, J. Y. (2007). Unraveling the
paradoxes of HIV-associated psoriasis: a review of T-cell subsets and
cytokine profiles. Dermatology online journal, 13(2), 4-4.
Fleming, P., Bai, J. W., Pratt, M., Sibbald, C., Lynde, C., & Gulliver, W. P.
(2017). The prevalence of anxiety in patients with psoriasis: a systematic
review of observational studies and clinical trials. Journal of the European
Academy of Dermatology and Venereology, 31(5), 798-807.
Golpour, M., Hosseini, S. H., Khademloo, M., Ghasemi, M., Ebadi, A., Koohkan,
F., & Shahmohammadi, S. (2012). Depression and anxiety disorders
among patients with psoriasis: A hospital-based case-control
study. Dermatology research and practice, 2012.
Gossec, L., de Wit, M., Kiltz, U., Braun, J., Kalyoncu, U., Scrivo, R., ... &
Heiberg, T. (2014). A patient-derived and patient-reported outcome
measure for assessing psoriatic arthritis: elaboration and preliminary
validation of the Psoriatic Arthritis Impact of Disease (PsAID)
questionnaire, a 13-country EULAR initiative. Annals of the rheumatic
diseases, 73(6), 1012-1019.
Grant, R. S., & Kapoor, V. (1998). Murine glial cells regenerate NAD, after
peroxide‐induced depletion, using either nicotinic acid, nicotinamide, or
quinolinic acid as substrates. Journal of neurochemistry, 70(4), 1759-1763.
Gudu, T., & Gossec, L. (2018). Quality of life in psoriatic arthritis. Expert review
of clinical immunology, 14(5), 405-417.
Gudu, T., Kiltz, U., De Wit, M., Kvien, T. K., & Gossec, L. (2017). Mapping the
effect of psoriatic arthritis using the International Classification of
Functioning, Disability and Health. The Journal of rheumatology, 44(2),
193-200.
Guillemin, G. J., Wang, L., & Brew, B. J. (2005). Quinolinic acid selectively
induces apoptosis of human astrocytes: potential role in AIDS dementia
complex. Journal of neuroinflammation, 2(1), 16.
Gupta, M. A., & Gupta, A. K. (2013). Evaluation of cutaneous body image
dissatisfaction in the dermatology patient. Clinics in dermatology, 31(1), 72-
79.
Gupta, M. A., Simpson, F. C., & Gupta, A. K. (2016). Psoriasis and sleep
disorders: a systematic review. Sleep Medicine Reviews, 29, 63-75.
Han, C., Lofland, J. H., Zhao, N., & Schenkel, B. (2011). Increased prevalence of
psychiatric disorders and health care-associated costs among patients with
moderate-to-severe psoriasis. Journal of drugs in dermatology: JDD, 10(8),
843-850.

41
Harden, J. L., Krueger, J. G., & Bowcock, A. M. (2015). The immunogenetics of
psoriasis: a comprehensive review. Journal of autoimmunity, 64, 66-73.
Hawro, T., Hawro, M., Zalewska-Janowska, A., Weller, K., Metz, M., & Maurer,
M. (2019). Pruritus and sleep disturbances in patients with
psoriasis. Archives of Dermatological Research, 1-9.
Herbert, J. (2013). Cortisol and depression: three questions for
psychiatry. Psychological medicine, 43(3), 449-469.
Hernandez, M., Simms-Cendan, J., & Zendell, K. (2015). Guttate psoriasis
following streptococcal vulvovaginitis in a five-year-old girl. Journal of
pediatric and adolescent gynecology, 28(5), e127-e129.
Hatch, M. L., Paradis, C., Friedman, S., Popkin, M., & Shalita, A. R. (1992).
Obsessive-compulsive disorder in patients with chronic pruritic conditions:
case studies and discussion. Journal of the American Academy of
Dermatology, 26(4), 549-551.
Hilmas, C., Pereira, E. F., Alkondon, M., Rassoulpour, A., Schwarcz, R., &
Albuquerque, E. X. (2001). The brain metabolite kynurenic acid inhibits
α7 nicotinic receptor activity and increases non-α7 nicotinic receptor
expression: physiopathological implications. Journal of Neuroscience,
21(19), 7463-7473.
Hu, S. W., Holt, E. W., Husni, M. E., & Qureshi, A. A. (2010, April).
Willingness-to-pay stated preferences for 8 health-related quality-of-life
domains in psoriatic arthritis: a pilot study. In Seminars in arthritis and
rheumatism (Vol. 39, No. 5, pp. 384-397). WB Saunders.
Im, Y. J., Park, E. S., Oh, W. O., & Suk, M. H. (2014). Parenting and relationship
characteristics in mothers with their children having atopic disease. Journal
of child health care, 18(3), 215-229.
Jafferany, M., & Patel, A. (2020). Understanding psychocutaneous disease:
psychosocial & psychoneuroimmunologic perspectives. International
journal of dermatology, 59(1), 8-15.
Karia, S. B., De Sousa, A., Shah, N., Sonavane, S., & Bharati, A. (2015).
Psychiatric morbidity and quality of life in skin diseases: A comparison of
alopecia areata and psoriasis. Industrial psychiatry journal, 24(2), 125.
Keijsers, R. R., Hendriks, A. G., Van Erp, P. E., Van Cranenbroek, B., Van De
Kerkhof, P. C., Koenen, H. J., & Joosten, I. (2014). In vivo induction of
cutaneous inflammation results in the accumulation of extracellular trap-
forming neutrophils expressing RORγt and IL-17. Journal of Investigative
Dermatology, 134(5), 1276-1284.

42
Kennedy, M., Papneja, A., Thavaneswaran, A., Chandran, V., & Gladman, D. D.
(2014). Prevalence and predictors of reduced work productivity in patients
with psoriatic arthritis. Clin Exp Rheumatol, 32(3), 342-8.
Kent, G. (2002). Testing a model of disfigurement: effects of a skin camouflage
service on well-being and appearance anxiety. Psychology and
Health, 17(3), 377-386.
Korkoliakou, P., Christodoulou, C., Kouris, A., Porichi, E., Efstathiou, V.,
Kaloudi, E., ... & Douzenis, A. (2014). Alexithymia, anxiety and depression
in patients with psoriasis: a case–control study. Annals of general
psychiatry, 13(1), 38.
Lakshmy, S., Balasundaram, S., Sarkar, S., Audhya, M., & Subramaniam, E.
(2015). A cross-sectional study of prevalence and implications of depression
and anxiety in psoriasis. Indian journal of psychological medicine, 37(4),
434.
Łakuta, P., Marcinkiewicz, K., Bergler-Czop, B., & Brzezińska-Wcisło, L.
(2017). How does stigma affect people with psoriasis?. Advances in
Dermatology and Allergology/Postȩpy Dermatologii i Alergologii, 34(1),
36.
Lamb, R. C., Matcham, F., Turner, M. A., Rayner, L., Simpson, A., Hotopf, M., ...
& Smith, C. H. (2017). Screening for anxiety and depression in people with
psoriasis: a cross‐sectional study in a tertiary referral setting. British Journal
of Dermatology, 176(4), 1028-1034.
Lee, E. J., Do Han, K., Han, J. H., & Lee, J. H. (2017). Smoking and risk of
psoriasis: a nationwide cohort study. Journal of the American Academy of
Dermatology, 77(3), 573-575.
Locksley, R. M., Killeen, N., & Lenardo, M. J. (2001). The TNF and TNF
receptor superfamilies: integrating mammalian biology. Cell, 104(4), 487-
501.
Lotrich, F. E., El-Gabalawy, H., Guenther, L. C., & Ware, C. F. (2011). The role
of inflammation in the pathophysiology of depression: different treatments
and their effects. The Journal of Rheumatology Supplement, 88, 48-54.
Lowes, M. A., Kikuchi, T., Fuentes-Duculan, J., Cardinale, I., Zaba, L. C., Haider,
A. S., ... & Krueger, J. G. (2008). Psoriasis vulgaris lesions contain discrete
populations of Th1 and Th17 T cells. Journal of Investigative
Dermatology, 128(5), 1207-1211.
Maes, M. (2011). Depression is an inflammatory disease, but cell-mediated
immune activation is the key component of depression. Progress in Neuro-
Psychopharmacology and Biological Psychiatry, 35(3), 664-675.

43
Mahler, V., Diepgen, T., Skudlik, C., Becker, D., Dickel, H., Fartasch, M., ... &
John, S. M. (2014). Psoriasis predisposition and occupational triggering
factors in the appraisal of occupational medical expertises. JDDG: Journal
der Deutschen Dermatologischen Gesellschaft, 12(6), 519-529.
Martínez-Ortega, J. M., Nogueras, P., Muñoz-Negro, J. E., Gutiérrez-Rojas, L.,
González-Domenech, P., & Gurpegui, M. (2019). Quality of life, anxiety
and depressive symptoms in patients with psoriasis: A case-control
study. Journal of psychosomatic research, 124, 109780.
Marty, P. (1958). The allergic object relationship. International Journal of
Psycho-Analysis, 39, 98-103.
McDonough, E., Ayearst, R., Eder, L., Chandran, V., Rosen, C. F.,
Thavaneswaran, A., & Gladman, D. D. (2014). Depression and anxiety in
psoriatic disease: prevalence and associated factors. The Journal of
rheumatology, 41(5), 887-896.
Myint, A. M., Schwarz, M. J., & Müller, N. (2012). The role of the kynurenine
metabolism in major depression. Journal of neural transmission, 119(2),
245-251.
Nestle, F. O., Conrad, C., Tun-Kyi, A., Homey, B., Gombert, M., Boyman, O., ...
& Gilliet, M. (2005). Plasmacytoid predendritic cells initiate psoriasis
through interferon-α production. The Journal of experimental
medicine, 202(1), 135-143.
Nock, M. K., Borges, G., Bromet, E. J., Cha, C. B., Kessler, R. C., & Lee, S.
(2008). Suicide and suicidal behavior. Epidemiologic reviews, 30(1), 133-
154.
Olivier, C., Robert, P. D., Daihung, D. O., URBÀ, G., CATALIN, M. P.,
HYWEL, W., ... & Gelfand, J. M. (2010). The risk of depression, anxiety,
and suicidality in patients with psoriasis: a population-based cohort
study. Archives of dermatology, 146(8), 891-895.
Ortonne, J. P., Chimenti, S., Luger, T., Puig, L., Reid, F., & Trüeb, R. M. (2009).
Scalp psoriasis: European consensus on grading and treatment
algorithm. Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology, 23(12), 1435-1444.
Parham, C., Chirica, M., Timans, J., Vaisberg, E., Travis, M., Cheung, J., ... & To,
W. (2002). A receptor for the heterodimeric cytokine IL-23 is composed of
IL-12Rβ1 and a novel cytokine receptor subunit, IL-23R. The Journal of
Immunology, 168(11), 5699-5708.

44
Parisi, R., Symmons, D. P., Griffiths, C. E., & Ashcroft, D. M. (2013). Global
epidemiology of psoriasis: a systematic review of incidence and
prevalence. Journal of Investigative Dermatology, 133(2), 377-385.
Patel, N., Nadkarni, A., Cardwell, L. A., Vera, N., Frey, C., Patel, N., & Feldman,
S. R. (2017). Psoriasis, depression, and inflammatory overlap: a
review. American journal of clinical dermatology, 18(5), 613-620.
Penzer, R., & Ersser, S. (2010). Principles of skin care: a guide for nurses and
health care practitioners. John Wiley & Sons.
Picardi, A., Mazzotti, E., & Pasquini, P. (2006). Prevalence and correlates of
suicidal ideation among patients with skin disease. Journal of the American
Academy of Dermatology, 54(3), 420-426.
Piscopo, K., Lipari, R. N., Cooney, J., & Glasheen, C. (2016). Suicidal thoughts
and behavior among adults: Results from the 2015 National Survey on Drug
Use and Health. NSDUH Data Review, 9.
Pompili, M., Innamorati, M., Forte, A., Erbuto, D., Lamis, D. A., Narcisi, A., ... &
Bellini, S. (2017). Psychiatric comorbidity and suicidal ideation in psoriasis,
melanoma and allergic disorders. International journal of psychiatry in
clinical practice, 21(3), 209-214.
Putrik, P., Ramiro, S., Hifinger, M., Keszei, A. P., Hmamouchi, I., Dougados, M.,
... & Boonen, A. (2016). In wealthier countries, patients perceive worse
impact of the disease although they have lower objectively assessed disease
activity: results from the cross-sectional COMORA study. Annals of the
rheumatic diseases, 75(4), 715-720.
Raison, C. L., Rutherford, R. E., Woolwine, B. J., Shuo, C., Schettler, P., Drake,
D. F., ... & Miller, A. H. (2013). A randomized controlled trial of the tumor
necrosis factor antagonist infliximab for treatment-resistant depression: the
role of baseline inflammatory biomarkers. JAMA psychiatry, 70(1), 31-41.
Reich, K. (2012). The concept of psoriasis as a systemic inflammation:
implications for disease management. Journal of the European Academy of
Dermatology and Venereology, 26, 3-11.
Remröd, C., Sjöström, K., & Svensson, Å. (2013). Psychological differences
between early‐and late‐onset psoriasis: a study of personality traits, anxiety
and depression in psoriasis. British Journal of Dermatology, 169(2), 344-
350.
Rendon, A., & Schäkel, K. (2019). Psoriasis pathogenesis and
treatment. International journal of molecular sciences, 20(6), 1475.

45
Richards, H. L., Fortune, D. G., Griffiths, C. E., & Main, C. J. (2001). The
contribution of perceptions of stigmatisation to disability in patients with
psoriasis. Journal of psychosomatic research, 50(1), 11-15.
Roque Ferreira, B., Pio-Abreu, J. L., Reis, J. P., & Figueiredo, A. (2017).
Analysis of the prevalence of mental disorders in psoriasis: the relevance of
psychiatric assessment in dermatology. Psychiatria Danubina, 29(4), 401-
406.
Sampogna, F., Tabolli, S., Abeni, D., & IDI Multipurpose Psoriasis Research on
Vital Experiences (IMPROVE) investigators. (2007). The impact of changes
in clinical severity on psychiatric morbidity in patients with psoriasis: a
follow‐up study. British Journal of Dermatology, 157(3), 508-513.
Schön, M. P., Zollner, T. M., & Boehncke, W. H. (2003). The molecular basis of
lymphocyte recruitment to the skin: clues for pathogenesis and selective
therapies of inflammatory disorders. Journal of Investigative
Dermatology, 121(5), 951-962.
Sfikakis, P. P., Iliopoulos, A., Elezoglou, A., Kittas, C., & Stratigos, A. (2005).
Psoriasis induced by anti–tumor necrosis factor therapy: a paradoxical
adverse reaction. Arthritis & Rheumatism: Official Journal of the American
College of Rheumatology, 52(8), 2513-2518.
Shutty, B. G., West, C., Huang, K. E., Landis, E., Dabade, T., Browder, B., ... &
Yentzer, B. (2013). Sleep disturbances in psoriasis. Dermatology online
journal, 19(1), 1-1.
Singh, S., Taylor, C., Kornmehl, H., & Armstrong, A. W. (2017). Psoriasis and
suicidality: a systematic review and meta-analysis. Journal of the
American Academy of Dermatology, 77(3), 425-440.
Singhal, A., Ross, J., Seminog, O., Hawton, K., & Goldacre, M. J. (2014). Risk of
self-harm and suicide in people with specific psychiatric and physical
disorders: comparisons between disorders using English national record
linkage. J R Soc Med, 107, 194-204.
Steiner, J., Walter, M., Gos, T., Guillemin, G. J., Bernstein, H. G., Sarnyai, Z., ...
& Bogerts, B. (2011). Severe depression is associated with increased
microglial quinolinic acid in subregions of the anterior cingulate gyrus:
evidence for an immune-modulated glutamatergic
neurotransmission?. Journal of neuroinflammation, 8(1), 94.
Strand, V., Sharp, V., Koenig, A. S., Park, G., Shi, Y., Wang, B., ... & Fiorentino,
D. (2012). Comparison of health-related quality of life in rheumatoid
arthritis, psoriatic arthritis and psoriasis and effects of etanercept
treatment. Annals of the rheumatic diseases, 71(7), 1143-1150.

46
Svedbom, A., Dalen, J., Mamolo, C., Cappelleri, J. C., Mallbris, L., Petersson, I.
F., & Ståhle, M. (2015). Increased cause-specific mortality in patients with
mild and severe psoriasis: a population-based Swedish register study. Acta
dermato-venereologica, 95(7), 809-815.
Tan, L., Yu, J. T., & Tan, L. (2012). The kynurenine pathway in
neurodegenerative diseases: mechanistic and therapeutic considerations.
Journal of the neurological sciences, 323(1-2), 1-8.
Tavares, R. G., Schmidt, A. P., Abud, J., Tasca, C. I., & Souza, D. O. (2005). In
vivo quinolinic acid increases synaptosomal glutamate release in rats:
reversal by guanosine. Neurochemical research, 30(4), 439-444.
Taylor, W. J., Mease, P. J., Adebajo, A., Nash, P. J., Feletar, M., & Gladman, D.
D. (2010). Effect of psoriatic arthritis according to the affected categories
of the international classification of functioning, disability and health. The
Journal of rheumatology, 37(9), 1885-1891.
Tillett, W., de-Vries, C., & McHugh, N. J. (2012). Work disability in psoriatic
arthritis: a systematic review. Rheumatology, 51(2), 275-283.
Tillett, W., Shaddick, G., Askari, A., Cooper, A., Creamer, P., Clunie, G., ... &
Packham, J. (2015). Factors influencing work disability in psoriatic arthritis:
first results from a large UK multicentre study. Rheumatology, 54(1), 157-
162.
Topp, J., Andrees, V., Weinberger, N. A., Schäfer, I., Sommer, R., Mrowietz, U.,
... & Augustin, M. (2019). Strategies to reduce stigma related to visible
chronic skin diseases: a systematic review. Journal of the European Academy
of Dermatology and Venereology, 33(11), 2029-2038.
van Erp, T. G., Saleh, P. A., Huttunen, M., Lönnqvist, J., Kaprio, J., Salonen, O.,
... & Cannon, T. D. (2004). Hippocampal volumes in schizophrenic
twins. Archives of general psychiatry, 61(4), 346-353.
van Rosmalen, L., van der Horst, F. C., & van der Veer, R. (2012). Of monkeys
and men: Spitz and Harlow on the consequences of maternal
deprivation. Attachment & human development, 14(4), 425-437.
Walker, C., & Papadopoulos, L. (Eds.). (2005). Psychodermatology: The
psychological impact of skin disorders. Cambridge University Press.
Wong, I. T., Chandran, V., Li, S., & Gladman, D. D. (2017). Sleep disturbance in
psoriatic disease: prevalence and associated factors. The Journal of
rheumatology, 44(9), 1369-1374.
Wu, J. J., Penfold, R. B., Primatesta, P., Fox, T. K., Stewart, C., Reddy, S. P., ... &
Simon, G. (2017). The risk of depression, suicidal ideation and suicide
attempt in patients with psoriasis, psoriatic arthritis or ankylosing
spondylitis. Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology, 31(7), 1168-1175.

47
Wu, C. Y., Chang, Y. T., Juan, C. K., Shen, J. L., Lin, Y. P., Shieh, J. J., ... &
Chen, Y. J. (2016). Depression and insomnia in patients with psoriasis and
psoriatic arthritis taking tumor necrosis factor
antagonists. Medicine, 95(22).
Yan, E., Castillo-Melendez, M., Smythe, G., & Walker, D. (2005). Quinolinic
acid promotes albumin deposition in Purkinje cell, astrocytic activation
and lipid peroxidation in fetal brain. Neuroscience, 134(3), 867-875.
Young, M. (2005). The psychological and social burdens of
psoriasis. Dermatology Nursing, 17(1), 15.
Zachariae, R., Zachariae, C., Ibsen, H. H. W., Mortensen, J. T., & Wulf, H. C.
(2004). Psychological symptoms and quality of life of dermatology
outpatients and hospitalized dermatology patients. Acta dermato-
venereologica, 84(3).
Zibert, J. R., Wallbrecht, K., Schön, M., Mir, L. M., Jacobsen, G. K., Trochon-
Joseph, V., ... & Schön, M. P. (2011). Halting angiogenesis by non-viral
somatic gene therapy alleviates psoriasis and murine psoriasiform skin
lesions. The Journal of clinical investigation, 121(1), 410-421.

48

Anda mungkin juga menyukai