Anda di halaman 1dari 32

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU IBU DALAM PENCEGAHAN ISPA

PADA BALITA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Penyakit ISPA atau penyakit infeksi saluran pernafasan atas dan bawah yang dapat
menyerang semua umur, baik orang dewasa, remaja, atau balita. Namun yang paling rentan
terserang ISPA adalah balita dan bayi. ISPA pun tidak mengenal tempat baik dinegara maju
ataupun Negara yang kurang berkembang. Oleh karena itu penderita ISPA didunia sangat
tinggi. Pada konferensi internasional salah satu contohnya Negara Canberra, Australia yang
merupakan Negara yang maju sampai sekarang tetap ada, buktinya 4 juta balita meninggal
dunia tiap tahun akibat ISPA dan biasanya dipicu oleh virus(http://.wordpress.com) diakses 5
Januari 2010.
Penyakit ini disebabkan oleh virus pada saluran pernafasan ditandai dengan demam dan
disertai satu atau lebih reaksi sistemik, seperti menggigil/ kedinginan sakit kepala, malaise,
dan anoreksia; kadang pada anak- anak ada gangguan gastrointestinal. Tanda-tanda lokal juga
terjadi diberbagai lokasi saluran pernafasan; bila hanya satu gejala atau kombinasi, seperti
rhinitis, faringitis, atau tonsillitis, laryngitis, laringotrakelitis, bronchitis, pneumonitis atau
pneumonia(DepKes RI, 2005)
Tersebar di dunia, penyakit ini muncul di daerah beriklim sedang dengan insiden tertinggi
pada musim gugur dan musim salju, terkadang juga pada musim semi. Di daerah tropis,
infeksi saluran pernafasan lebih sering terjadi pada musim dingin dan basah. Pada masyarakat
dengan jumlah masyarakat besar, beberapa jenis virus muncul menyebabkan penyakit secara
konstan, biasanya dengan sedikit pola musiman (DepKes RI, 2005).
Pada tahun 1988 WHO mempublikasikan pola baru tatalaksana penderita ISPA, yakni
memisahkan tatalaksana penyakit Pneumonia dengan penderita penyakit infeksi akut telinga
dan tenggorokan. Kemudian pada Lokakarya Nasional III tahun 1990 di Cimacan telah
dibahas tatalaksana penderita ISPA pola WHO pada tahun 1988 tersebut. Kemudian setelah
diadaptasi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat,maka pola tersebut diterapkan di
Indonesia. Maka dengan adanya penetapan tersebut sejak tahun 1990 pemberantasan penyakit
ISPA menitikberatkan atau memfokuskan kegiatannya pada penanggulangan bukan
Pneumonia Balita (DepKes RI, 2007)
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) di Negara berkembang dengan angka kematian balita diatas 40 per 1000 kelahiran
hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita
(http://dinkes.go.id/situasi_derajat_kesehatan/angka_kesakitan.html diakses 5 Januari 2010.
Pada 1995, hasil survei kesehatan rumah tangga melaporkan, proporsi kematian bayi akibat
penyakit sistem pernafasan mencapai 32,8%, sementara pada balita 38,8%. Dari fakta itulah,
kemudian pemerintah Indonesia menargetkan penurunan kematian akibat ISPA pada balita
sampai 33% padabalita sampai 33%pada 1994-1999, sesuai kesepakatanDeclaration of the
World Summit for Children pada 30 september 1999 di New York, AS
(http://id.wikipedia.org/wiki/Infeksi saluran _nafas_atas.) diakses 3 Januari 2010.
Dirjen pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan (P2MPL)
memperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia pada
akhir tahun 2000 sebanyak lima kasus di antara 1.000 bayi/balita. Berarti akibat pneumonia
sebanyak 150.000 bayi/balita meninggal tiap tahun atau 12.500 korban perbulan atau 416
kasus sehari atau 17 anak perjam atau seorang bayi/balita tiap lima menit. Sedangkan
berdasarkan Program Pembangunan Nasioanal (Propenas) bidang kesehatan, menambah
angka kematian 5 per 1000 pada 2000 akan diturunkan menjadi 3/1000 pada akhir 2005
(Depkes RI,2008).
Hingga akhir 2001, Mataram, Nusa Tenggara Barat mencatat ISPA sebagai pe-nyakit yang
paling banyak diderita masyarakat: 206.144 orang. Sementara, penderita Pneumenia
mencapai 41.865 orang. Jakarta sendiri juga mencatat ISPA sebagai pe-nyakit yang paling
banyak diderita warganya: tahun 1997 sebanyak (784.354 orang), tahun 1998 sebanyak
(827.407 orang) dan tahun 1999 sebanyak (1.023.801 orang). Tingginya penderita ISPA di
Jakarta, itu terkait dengan tingginya pencemaran 70 persen berasal dari kendaraan bermotor.
((http://id.wikipedia.org/wiki/Infeksi_saluran _nafas_atas) diakses 3 Januari 2010.
Pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah
praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga
lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal
dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah
satu atau beberapa anggota keluarga mem-punyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh
terhadap anggota keluarga lainnya.
Peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit
ISPA merupakan penyakit yang ada sehari hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini
perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang
balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita
mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit
((http://id.wikipedia.org/wiki/Infeksi/saluran_nafas_atas.) diak-ses 5 Januari 2010.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Selatan jumlah angka kejadian
penderita ISPA diseluruh Kabupaten/Kota pada tahun 2007 sebanyak 537.065 kasus, pada
tahun 2008 sebanyak 573.038 kasus, pada tahun 2009 sebanyak 573.125 kasus.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2009 angka penderita ISPA
pada tahun 2007 sebanyak 209.775 kasus, pada tahun 2008 sebanyak 282.661 kasus, pada
tahun 2009 sebanyak 277.320 kasus.
Sedangkan menurut data yang ada di Puskesmas Sekip Palembang jumlah angka kejadian
penderita ISPA yang berobat ke Puskesmas Sekip pada tahun 2007 sebanyak 11.959 kasus,
pada tahun 2008 sebanyak 16.690 kasus dan pada tahun 2009 sebanyak 17.201 kasus.
Dari latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita di Puskesmas sekip
Palembang tahun 2010.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita di Puskesmas Sekip
Palembang tahun 2010.
1.3. Tujuan penelitian
1.3.1. Tujuan umum
 Diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita di
Puskesmas Sekip Palembang tahun 2010.
1.3.2. Tujuan khusus
a.Diketahuinya hubungan pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencegahanISPA pada
balita tahun 2010.
b.Diketahuinya hubungan pengetahuan ibu tentang ISPA dengan perilaku ibu dalam pencegahan
ISPA pada balita tahun 2010.
c.Diketahuinya hubungan peran keluarga terhadap ISPA dengan perilaku ibu dalam pencegahan
ISPA pada balita tahun 2010.
1.4. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut:
1) Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan dan sebagai
referensi ilmiah bagi mahasiswa dan dosen untuk penelitian lebih lanjut.
2) Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan penulis dan
sebagai sarana dalam menerapkan teori yang telah di peroleh selama mengikuti kuliah dan
menglasifikasikannya dilapangan dalam bentuk penelitian terhadap perilaku ibu dalam
pencegahan ISPA pada balita diwilayah kerja puskesmas sekip Palembang tahun 2010.
3) Bagi Pihak Puskesmas
Informasi yang diperoleh dapat menjadi masukan dan menambah wawasan bagi
pengelola puskesmas dalam menyikapi masalah perilaku ibu dalam pen-cegahan ISPA pada
balita diwilayah kerja puskesmas sekip Palembang.
4) Bagi Perawat Komunitas
Informasi yang diperoleh dapat menjadi informasi dalam melaksanakan asuhan
keperawatan komunitas pada keperawatan balita untuk menurunkanangkakesakitan anak
balitakhususnyapenyakit ISPA.
Ruang lingkup penelitian
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ibu terhadap pencegahan
ISPA pada balita. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Sekip Palembang tahun 2010.
Pengumpulan data ini dilakukan dengan mengisi koesioner yang akan di laksanakan pada
tanggal 5 April sampai 15 Mei 2010.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep ISPA
2.1.1. Definisi ISPA
Istilah ISPA yang merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut mulai
diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya National ISPA di cipanas.
Istilah ini merupakan padaan istilah inggris Acute respiratory di singkat ARI. Dalam
lokakarya national ISPA tersebut ada 2 pendapat yang pertama istilah ISPA (Infeksi Saluran
Pernafasan Akut) dan pendapat yang kedua memilih ISNA (Infeksi Saluran Nafas
Akut). Pada akhir lokakarya di putuskan untuk memilih ISPA dan istilah ini juga di pakai
hingga sekarang (Depkes RI, 2002).
ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernafasan atas, yang benar ISPA
merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. ISPA meliputi saluran pernafasan
bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah (http://id.wiki pedia.com) diakses 5 Januari
2010.
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) mengandung 3 (tiga) unsur yaitu infeksi, saluran
pernafasan, dan akut dengan pengertian sebagai berikut :
a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
b. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksenya
seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah, dan pleura ISPA secara anatomis mencangkup
saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-
paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini jaringan paru termasuk
dalam saluran pernafasan ( rerspiratory track)
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari di ambil
untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat di golongkan
dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (http://www.tempointeraktif.com)
diakses 5 Januari 2010.
2.1.2. Etiologi ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen,
yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Kebanyakan infeksi saluran pernafasan akut
disebabkan oleh virus dan mikroplasma. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis bakteri,
virus,dan jamur. Bakteri penyebab ISPA misalnya:Strepto-kokus Hemolitikus, Stafilokokus,
Pneumokokus, Hemofilus Influenza, Bordella Pertu-sis, danKorinebakterium
Diffteria (Achmadi dkk, 2004).
Bakteri tersebut di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian
atas yaitu tenggorokan dan hidung. Biasanya bakteri tersebut menyerang anak-anak yang
kekebalan tubuhnya lemah misalnya saat perubahan musim panas ke musim hujan.
Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk di
dalamnya virus para-influensa, virus influensa, dan virus campak), dan adenovirus. Virus
para-influensa merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan
penyakit demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus influensa bukan penyebab terbesar
terjadinya terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Pada
bayi dan anak-anak, virus-virus influenza merupakan penyebab terjadinya lebih banyak
penyakit saluran nafas bagian atas daripada saluran nafas bagian bawah (DepKes RI, 2007).
2.1.3. Klasifikasi ISPA
Pada tahun 1998 World Health Organization (2002) telah mempublikasikan pola baru
tatalaksana penderita ISPA. Dalam pola baru ini samping digunakan cara diagnosis yang
praktis dan sederhana dengan teknologi tepat guna juga dipisahkan antara tatalaksana
penyakit pneumonia dan tatalaksana penderita penyakit infeksi akut telinga dan tenggorokan.
Kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah: balita, dengan gejala
batuk dan atau kesukaran bernafas. Pola tatalaksana penderita ini terdiri dari 4 (empat) bagian
yaitu :
1.Pemeriksaan
2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
3. Penentuan klasifikasi penyakit
4.Pengobatan dan tindakan
Klasifikasi penyakit dibagi berdasarkan jenis dan derajat keparahannya.
Terdapat 3 klasifikasi ISPA yaitu :
1. ISPA Ringan bukan Pneumonia
2. ISPA Sedang Pneumonia
3. ISPA Berat Pneumonia berat
Penentuan klasifikasi dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok untuk umur 2
bulan hingga <>
2.1.4. Tanda dan gejala ISPA
Sebagian besar balita dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas mem-berikan gejala yang
amat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah memberikan beberapa tanda
lainnya seperti nafas yang cepat dan retraksi dada. Semua ibu dapat mengenali batuk tetapi
mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah. Selain batuk gejala ISPA pada
balita juga dapat dikenali yaitu flu, demam dan suhu tubuh anak meningkat lebih dari 38,5 oC
dan disertai sesak nafas.
Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
1. ISPA ringan bukan Pneumonia
2. ISPA sedang, Pneumonia
3. ISPA berat, Pneumonia berat
Khusus untuk bayi di bawah dua bulan, hanya di kenal ISPA berat dan ringan (tidak ada
ISPA sedang). Batasan ISPA berat untuk bayi kurang dari dua bulan adalah bila frekuensi
nafasnya cepat (60 kali per menit atau lebih) atau adanya tarikan dinding yang kuat.
Pada dasarnya ISPA ringan tidak berkembang menjadi ISPA sedang atau ISPA berat tapi jika
keadaan memungkinkan misalnya pasien kurang mendapatkan perawatan atau daya tahan
tubuh pasien yang kurang dapat kemungkinan akan terjadi. Gejala ISPA ringan dapat dengan
mudah diketahui oleh orang awam sedangkan ISPA sedang dan berat memerlukan beberapa
pengamatan sederhana.
1. Gejala ISPA ringan
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai
berikut :
a. Batuk.
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu
berbicara atau menagis).
c. Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung.
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37 oC atau jika dahi anak diraba dengan punggung
tangan terasa panas.
2. Gejala ISPA sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika di jumpai gejala ISPA ringan dengan
disertai gejala sebagai berikut :
a. Pernafasan lebih dari 50 kali/menit pada umur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40
kali/menit pada anak satu tahun atau lebih.
b. Suhu lebih dari 39oC.
c. Tenggorokan berwarna merah.
d. Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak.
e. Telinga sakit akan mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
f. Pernafasan berbunyi seperti berdengkur
g. Pernafasan berbunyi seperti menciut-ciut.
3. Gejala ISPA berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA ringan atau
sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut :
a. Bibir atau kulit membiru.
b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas.
c. Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun.
d. Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah.
e. Pernafasan menciut dan anak tampak gelisa.
f. Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas.
g. Nadi cepat lebih dari 60 x/menit atau tidak teraba.
h. Tenggorokan berwarna merah.
(DepKes RI, 2007)

2.1.5. Faktor-Faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita antara lain:


 Melanjutkan tulisan terdahulu tentang ISPA sertaklasifikasi ISPA pada Balita, maka kita
perlu mengetahui beberapa faktor resiko ISPA padaBalita. Berbagai publikasi melaporkan
tentang faktor resiko yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pneumonia. Jika dibuat
daftar faktor resiko tersebut adalah sebagai berikut:
a. Faktor resiko yang meningkatkan insiden ISPA
1. Umur <>
2. Laki-laki
3. Gizi kurang
4. Berat badan lahir rendah
5. Tidak mendapat ASI memadai
6. Polusi udara
7.Kepadatan tempat tinggal
8.Imunisasi yang tidak memadai
9.Membedong anak (menyelimuti berlebihan)
10.Defisiensi vitamin A

b. Faktor resiko yang meningkatkan angka kematian ISPA


1. Umur <>
2.Tingkat sosial ekonomi rendah
3. Gizi kurang
4. Berat badan lahir rendah
5.Tingkat pendidikan ibu yang rendah
6.Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah
7.Kepadatan tempat tinggal
8.Imunisasi yang tidak memadai
9.Menderita penyakit kronis
( DepKes RI, 2007 )

Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan,
faktorindividu anak, sertafaktor perilaku.
1. Faktor lingkungan
a. Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi
dapat merusak mekanisme pertahan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal
ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam
rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih
dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya
sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.
 Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada
peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak yang tinggal di daerah lebih
terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan 6 – 10 tahun.
b. Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara
alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi
pernapasan.
b.Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain
dengan cara pengenceran udara.
c.Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
d.Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.
e.Mengeluakan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi
ataupun keadaan eksternal.
f.Mendisfungsikan suhu udara secara merata.
c. Kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal
menempati luas rumah 8m². Dengan kriteria tersebut di-harapkan dapat mencegah penularan
penyakit dan melancarkan aktivitas.Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan
faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna
antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa
polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor ini.
2. Faktor individu anak
a. Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak
pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi
pada umur 6 –12 bulan.
b. Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita.
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran
karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena
penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.
Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram di-hubungkan dengan
meningkatnya kematian akibat infeksi saluran pernafasan dan hubungan ini menetap setelah
dilakukan adjusted terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan
bahwa anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi
terhadap penyakit saluran pernapasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya.
c. Status gizi
Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan perkem-bangan anak dipengaruhi
oleh: umur, keadaan fisik, kondisi kesehatan-nya, kesehatan fisiologis pencernaannya,
tersedianya makanan dan aktivitas dari si anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat
dilakukan antara lain berdasarkan antopometri : berat badan lahir, panjang badan, tinggi
badan, lingkar lengan atas. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang
penting untuk terjadinya ISPA.
Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi
paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu
adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya
serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi
normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan
menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi.
Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya
lebih lama.
d. Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A pada
balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari
6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko
terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok
kontrol.Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan
menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam
nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan
sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya
perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersang-kutan untuk jangka yang tidak terlalu
singkat. Karena itu usaha massal pemberian vitamin A dan imunisasi secara berkala terhadap
anak-anak prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai dua kegiatan terpisah. Keduanya
haruslah dipandang dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh
dan perlindungan terhadap anak Indonesia sehingga mereka dapat tumbuh, berkembang dan
berangkat dewasa dalam keadaan yang sebaik-baiknya.
e. Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap
pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis
ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri,
pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberantasan ISPA.
Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupaya-kan imunisasi lengkap.
Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat
diharapkan perkenbangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti
paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT).
Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah
dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat dicegah.
3. Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita
dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu
ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang
berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan
berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan,
maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya.
Peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit
ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini
perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang
balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita
mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.
Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini pneumonia dan kapan
mencari pertolongan dan rujukan pada sistem pelayanan kesehatan agar penyakit anak
balitanya tidak menjadi lebih berat. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas
bahwa peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah
penting, sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk akan
berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah berat.
(http://id.faktor-faktor resiko pada balita)diakses 5 Januari 2010.
2.1.6. Pencegahan dan penatalaksanaan
Pencegahan dan penatalaksanaan ISPA meliputi langkah dan tindakan sebagai berikut :
Upaya pencegahan
Pencegahan dapat di lakukandengan baik :
a.Menjaga keadaan gizi agar tetap baik
b.Imunisasi
c.Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
d.Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
e.Pengobatan segera
Pengobatan dan perawatan
a.Meningkatkan istirahat minimal 8 jam per hari
b.Meningkatkan makanan bergizi
c. Bila demam beri kompres
d. Bila hidung tersumbat karena pilek bersihkan lubang hidung dengan sapu tangan yang bersih
e. Bila badan seseorang demam gunakan pakaian yang cukup tipis tidak terlalu ketat
f. Bila terserang pada anak tetap berikan makanan dan ASI bila anak tersebut masih menyusui.
Pengobatan pada ISPA antara lain :
a.Pneumonia berat: dirawat dirumah sakit, diberikan antibiotik melalui jalur infus, diberikan
oksigen dan sebagainya.
b.Pneumonia: diberi obat antibiotik melalui mulut. Pilihan obatnya Kontrimoksasol, jika terjadi
alergi/ tidak cocok dapat diberikan Amoksilin, Penisilin, Ampisilin.
c. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antobiotik. Diberikan perawatan dirumah, untuk
batuk dapat digunakan obat tadisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang
merugikan.
Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala
batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah disertai
pembesaran kelenjar getah bening di leher, dianggab sebagai radang tenggorokan oleh kuman
streptococcus dan harus diberi antibiotik selama 10 hari.
Pemberantasan ISPA dapat dilakukan dengan :
-Penyuluhan kesehatan yang terutama ditunjukkan pada para ibu
-Pengelolahan kasus yang disempurnakan
- Imunisasi (DepKes RI, 2007)
2.1.7. Perawatan ISPA di rumah
Untuk perawatan ISPA di rumah ada beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu
untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA yang antara lainnya :
- Mengatasi panas ( demam )
Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 bulan demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau
dengan kompres, bayi di bawah 2 bulan dengan demam harus segera dirujuk.
- Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat yang aman yaitu dengan ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½
sendok the dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok the, diberikan tigakali sehari.
- Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih
sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusui tetap
diteruskan.
- Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-
lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersikan hidung yang berguna untuk
mempercepat kesenambungan dan meng-hindari komplikasi yang lebih parah.
Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup, tidak
berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak mem-buruk maka dianjurkan
untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan.Untuk penderita yang mendapat obat
antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan
dengan benar selama 5 hari penuh dan untuk penderita yang mendapat antibiotik, usahakan
agar setelah 2 hari anak dibawa kembali kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang
(DepKes RI, 2007).
2.1.8. Kegiatan yang dilakukan kader kesehatan pada ISPA
Kegiatan yang dapat dilakukan kader kesehatan pada ISPA adalah :
1.Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk pilek biasa (bukan pneumonia)
serta penyakit pneumonia kepada ibu-ibu serta perihal tindakan yang perlu dilakukan oleh ibu
yang anaknya menderita penyakit.
2.Memberikan pengobatan sederhana untuk kasus-kasus batuk pilek (bukan pneumonia) dengan
tablet parasetamol dan obat batuk tradisional obat batuk putih.
3. Merujuk kasus pneumonia berat ke puskesmas/rumah sakit terdekat.
4. Atas pertimbangan dokter Puskesmas maka bagi kader-kader di daerah-daerah yang terpencil
(atau bila cakupan layanan puskesmas tidak menjangkau daerah tersebut) dapat diberi
wewenang mengobati kasus-kasus pneumonia (tidak berat) denganantibiotikkontrimoksasol.
5. Mencatat kasus yang ditolang dan dirujuk.
(http://id.infeksisaluran/pernafasan/akut pada/balita) Diakses 15 Januari 2010.
2.2. Konsep perilaku
2.2.1. Definisi perilaku
 Dari segi biologi, Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup)
yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup dari
tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka
mempunyai aktivitas masing-masing. Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksut
perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia. Baik yang diamati
langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo,2003).
Menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2003) merumuskan bahwa Perilaku merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar ).
Menurut Lewin dalam Notoatmodjo (2003) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah
suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan - kekuatan pendorong (driving
forces) dankekuatan penahan (restining forces).
Menurut Robert Kwick dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku adalah
tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.
2.2.2. Teori Perilaku
Menurut L Green dalam Notoatmodjo (2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu
:
1) Faktor Predisposisi (Predisposing factors)
Faktor-faktor ini mencangkup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan.
Tradisi dan kepercayaan masyarakat hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan. Sistem nilai
yang dianut masyarakat. Tingkat pendidikan, tingkat social dan sebagiannya.
2) Faktor Pendukung (enabling factors)
Faktor-faktor ini mencangkup ketersedian sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan
bagi kesehatan,misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja,
ketersediaan makanan yang bergizi dan sebagiannya, termasuk juga fasilitas pelayanan
kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poli klinik, posyandu, polindes, pos obat desa,
dokter dan bidan praktek swasta dan sebagiannya.
3) Faktor Pendorong (Reinforcing factor)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama,
sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-
undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerin-tah daerah yang terkait dengan
kesehatan.
2.2.3. Fungsi Perilaku
Menurut Katz dalam Notoatmodjo (2003) berasumsi bahwa :
a) Perilaku memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan memberikan pelayanan
terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap objek demi
pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka
ia akan berperilaku negatif.
b) Perilaku berfungsi sebagaidefence mecanism atau sebagai pertahanan diri dalam mengahadapi
lingkungannya. Artinya, dengan perilakunya, dengan tindakan-tindakannya, manusia dapat
melindungi ancaman-ancaman yang datang dari luar.
c) Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan pemberi arti. Dalam perannya dengan tindakan
itu seseorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
d) Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab suatu situasi.
2.2.4. Bentuk-Bentuk perubahan perilaku
Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para
ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku. bentuk-bentuk perubahan perilaku menurut
WHO dikelompokkan menjadi tiga :
1. Perubahan alamiah (Natural Change)
Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah.
Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya
dan ekonomi, maka anggota-anggota masyakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan.
2. Perubahan Terencana (Planned Change)
Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh objek.
3. Kesediaan untuk berubah (Readdiness to Change)
Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat,
maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima inovasi atau
perubahan tersebut (berubah perilakunya).
Berdasarkan teori perilaku menurut L. Green dalam Notoatmodjo (2005) dapat dilihat faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita pada kerangka
teori dibawah ini.

Gambar 2.1
Kerangka teori
Keterangan:
a. Garis lurus menunjukkan pengaruh langsung
b. Garis putus-putus menunjukkan akibat sekunder
2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku.
Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita yaitu
antara lain:
2.3.1. Pendidikan
Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik
individu, kelompok atau masyarakat sehingga melakukan apa yang diharap-kan oleh pelaku
pendidikan (guru). Pendidikan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang ditujukan
kepada perilaku.
Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyampaikan
pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, atau individu yang bertujuan untuk
menambah pengetahuan/pengertian, pendapat konsep dan agar sikap dan persepsi dapat
berubah dan mananamkan tingkah laku/kebiasaan baru.
Pendidikan kesehatan adalah penerapan konsep pendidikan didalambidang kesehatan oleh
karena itu Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti didalam
pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan kearah yang lebih
dewasa, lebih baik, dan lebih matang pada diri individu, kelompok, atau masyarakat
(Notoatmodjo, 2003).
 Pendidikan Kesehatan didefinisikan sebagai "setiap kombinasi penga-laman belajar yang
direncanakan didasarkan pada teori-teori yang memberikan suara individu, kelompok, dan
masyarakat kesempatan untuk mendapatkan informasi dan keterampilan yang dibutuhkan
untuk membuat keputusan kesehatan yang bermutu.
 Pendidikan kesehatan adalah profesi mendidik orang tentang kesehatan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan) diakses 5 Januari 2010.
2.3.2. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseoarang (overt behavior).
1) Proses adopsi perilaku
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Peneliti Rogers
(1974) dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru (berperilaku baru), didalam terjadi proses yang berurutan, yakni :
a) Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
stimulus(objek) terlebih dahulu.
b) Interest, yakni orang yang mulai tertarik kepeda stimulus.
c) Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya), Hal ini
berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d) Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru
e) Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengatahuan, kesadaran, dan sikapnya
terhadap stimulus.
2) Tingkat Pengetahuan didalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang tercangkup dalam dominan kognitif mempunyai 6 tingkatan :
a) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelum-nya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang
spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab
itu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur
bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari/ antara lain menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
b) Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang
yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpankan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c) Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk mengunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau
pengunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalamkonteks atau situasi
yang lain.
d) Analisa (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-
komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama
lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
mengambarkan (membuat bagan), membedakan, memisah-kan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
e) Sintesis ( Synthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau meng-hubungkan
bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah
suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dan formulasi-formulasi yang ada.
f) Evaluasi (Evaluation)
Evaluation ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang
ditentukan sendiri, atau mengunakan kriteria yang dilakukan sendiri, atau mengunakan
kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat memban-dingkan antara anak yang
kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya diare disuatu tempat, dapat menafsirkan sebab-
sebab ibu tidak mau KB, dan sebagainya.
( Notoatmodjo, 2002).
2.3.3. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus social.
Menurut Newcomb, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan dan kesediaan untuk
bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan perilaku.
1. Komponen sikap
 Menurut Allport dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
kelompok yaitu :
a. kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
b. kehidupan emosional atau evalusi terhadap suatu objek.
c. kecenderungan untuk bertindak (tendto behave).
 Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude).
Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, kenyakinan, dan emosi
memengang peranan penting.
2. Tingkatan sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (
objek ).
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang di
berikan adalah suatu indikasi dan sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab
pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dan pekerjaan itu benar atau
salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah
suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko
merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2003).
2.3.4. Peran keluarga
Keluarga adalah perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah,
perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu sama lain
(Mubarak, 2007).
Menurut WHO dalam Mubarak (2007), keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling
berhubungan melalui pertalian darah, adopsi, atau perkawinan.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dan
anaknya, ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Suprajitno, 2004)
Menurut Depkes RI dalam Notoatmodjo (2007) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat
yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu
tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Menurut G.Bailon dalam Notoatmodjo (2007) keluarga adalah dua atau lebih dari dua
individu yang tergabung kerena hubungan darah, hubungan atau pengangkatan dan mereka
hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi atau sama lain, dan di dalam perannya masing-
masing menciptakan serta memper-tahankan kebudayaan.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang
sesuai kedudukannya dalam suatu system (Mubarak, 2007).
Menurut Mubarak (2007) ada beberapa peran yang ada didalam keluarga antara lain:
a. Peran Keluarga sebagai pendorong (Motivator)
Pendorong memuji setuju dengan menerima konstribusi dan orang lain.Saling dukungan
kepada anggota keluarga baik dalam keadaan sehat dan sakit. Akibatnya dia dapat merangkul
orang lain dan membuat mereka merasa bahwa pemikiran mereka penting dan bernilai untuk
didengar. Motivasi timbul karena sebagai faktor, biasa terjadi karena ada problem, adanya
tingkat kekerasan, melemahnya kadar kualitas, menurunnya tingkat kualitas yang dijalani.
b. Peran Keluarga sebagai Perawat Keluarga
 Perawat keluarga adalah orang yang terpanggil untuk merawat dan mengasuh anggota
keluarga lain yang membutuhkan.
c. Peran Keluarga sebagai Sahabat (Compromiser).
Seorang teman bermain keluarga yang mengikuti kehendak pribadi dan memaafkan
perilaku keluarga,tingkah lakunya sendiri tanpa melihat konsekuensinya. Sahabat akan
berperan dalam anggota keluarganya baik dalam bentuk pemecahan masalah maupun dalam
keadaan sehat dan sakit.
d. Peran Keluarga sebagai Pendamai
Pendamai merupakan salah satu bagian dari konflik dan ketidak-sepakatan. Pendamai
menyatakan posisinya dan mengakui kesalahan-nya atau menawarkan penyelesaian “setengah
jalan”.
e. Peran Keluarga sebagai Penghibur
Penghibur senantiasa mengagumkan dan mencoba menyenangkan tidak pernah tidak
setuju, ia termasuk”yang selalu membahagiakan”. Penghubung (biasanya ibu) mengirim dan
memonitor komunikasi dalam keluarga.
f. Peran keluarga sebagai coordinator Keluarga
Koordinator keluarga mengorganisasi dan merencakan kegiatan-kegiatan ke-luarga yang
berfungsi mengangkat keterikatan/keakraban dan memerangi kepedihan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan desain survei
deskritif analitik. Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah cross sectional
studi yaitu rancangan penelitian yang semua variabelnya diobservasi atau dikumpulkan
sekaligus pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2005).
3.2. Subjek Penelitian
3.2.1. Populasi Penelitian
Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan di
teliti (Hidayat, 2008). Populasi penelitian ini adalah semua ibu yang membawa balita
berkunjung kePuskesmas Sekip Palembang tahun 2009 yang berjumlah 4033 orang.
3.2.2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari
karakteristik yang dimilki oleh populasi (Hidayat, 2008).Sampel penelitian ini adalah
sebagian ibu-ibu yang membawa balita ber-kunjung keruang MTBS diPuskesmas Sekip
Palembang dengan asumsi mereka dapat diajak komunikasi dan dapat mengisi koesioner.
3.2.3. Besar Sampel
Penentuan besar sampel menurut pandapat (Notoatmodjo, 2005) yang menyatakan bahwa untuk
populasi kecil/ lebih kecil dari 10.000, dapat meng-gunakan formula lebih sederhana lagi
seperti sebagai berikut :

 
Keterangan :N : besar populasi
n : besar sampel
d : tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan (0,1/0,01)
jumlah sampel dalam penelitian ini dapat dihitung sebagai berikut :

Diketahui : N = 4033
d = 0,1
ditanya : n = …..?

jawab : 

= 98 orang.
Jadi jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 97,58 dan dibulatkan menjadi 98 orang yang
diambil sebagai responden.
Sedangkan untuk pengambilan sampel menggunakanAccidental Sampling yaitu Tehnik
pengambilan sampel yang dilakukan dengan mengambil responden secara kebetulan ada atau
tersedia. (Notoatmodjo, 2005).
3.3. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan diPuskesmas Sekip Palembang tahun 2010.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 5 April sampai 15 Mei 2010.
3.4. Kerangka Konsep
 Kerangka Konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagai-mana
seseorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang
dianggap penting untuk masalah (Hidayat, 2008).
 Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep
yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penilitian yang akan dilakukan
(Notoatmodjo, 2005).
Variabel DependenVariabel independen

Gambar 3.1

Kerangka Konsep

3.5. Definisi Operasional

N Variable Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


O Operasional Ukur
1 Perilaku Ibu Semua kegiatan Kuesioner Wawancara
1 = Baik, bila Ordinal
2 Pendidikan ibu yang Kuesioner wawancara skor jawaban Ordinal
3 Ibu dilakukan Kuesioner Wawancara benar >5 Ordinal
4 Pengetahuan dalam Kuesioner Wawancara
2 = Tidak baik, Ordinal
Ibu pencegahan bila skor
Peran ISPA pada jawaban
keluarga balita benar ≤ 5
Pendidikan 1 = Tinggi ≥
terakhir ibu SMA
bedasarkan 2 = Rendah <>
ijazah 1 = Tinggi, bila
Segala sesuatu skor jawaban
yang diketahui benar > 5
Ibu tentang 2 = Rendah, bila
Pencegahan skor jawaban
ISPA pada benar ≤ 5
balita 1 = Mendu-kung,
Tindakan bila skor
keluarga untuk jawaban
menguatkan benar > 5
atau membuat 2 = Tidak
ibu melakukan mendu-kung,
perbuatan bila skor
dalam jawaban
pencegahan benar ≤ 5
ISPA pada
balita seperti
mengingatkan,
memotivasi,
mengajak, dan
lain-lain.
3.6. Hipotesis
1. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan Perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita
di Puskesmas Sekip Palembang tahun 2010.
2. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan Perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada
balita di Puskesmas Sekip Palembang tahun 2010.
3. Ada hubungan antara peran keluarga dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita
di Puskesmas Sekip Palembang tahun 2010.
3.7. Etika Penelitian
1. Memberikan penjelasan kepada responden tentang maksud dan tujuan.
2. Responden mengisi surat dan bersedia menjadi responden (informed consent).
3. Responden mengisi instrument penelitian dan terjamin kerahasiaanya .
4. Adapun data yang diambil dari responden tidak akan diketahui oleh orang lain
kecuali peneliti dan responden.
5. Data yang didapat akan diolah dan hasilnya untuk kepentingan penelitian.
3.8. Manajemen Data
3.8.1. Sumber Data
Sumber data menurut Chandra (2008) dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 yaitu data primer dan
data sekunder:
a. Data Primer
Data yang diperoleh dari pengamatan langsung dalam bentuk pengisian kuesioner. Pertanyaan
yang telah disiapkan kepada responden yang terpilih. Pengumpulan data dilakukan sendiri
oleh peneliti meliputi data tentang pendidikan, pengetahuan dan peran keluarga responden
terhadap perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang
tahun 2010.
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari catatan Puskesmas Sekip Palembang tahun 2009.
3.8.2. Teknik Pengambilan Data
Pengambilan data diperoleh dari pengamatan langsung dan wawancara dalam bentuk
pengisian kuesioner yang ditanyatakan kepada ibu-ibu yang mem-bawa balita kePuskesmas
Sekip Palembang. Kuesioner terdiri dari pertanyaan yang berhubungan dengan variabel
independen (Pendidikan, Pengetahuan, Peran Keluarga) dan variabel Dependen (perilaku Ibu
dalam pencegahan ISPA pada balita) di Puskesmas Sekip Palembang tahun 2010.
3.8.3. Alat/Instrumen Pengumpulan Data
Alat ukur data pada penelitian ini adalah koesioner (Pertanyaan tertutup). Cara
pengisian koesioner pada soal yaitu responden memberikan tanda (x) pada jawaban yang
dianggap benar oleh responden.
3.9. Pengolahan Data
Menurut Hidayat tahun (2008), pengelolahan data adalah agar analisis penelitian
menghasilkan informasi yang benar, paling tidak ada empat tahapan dalam pengelolahan data
yang harus dilalui, yaitu :
3.9.1. Pengeditan (Editing)
Meneliti kembali jawaban yang telah diisi pada lembar kuesioner apakah sudah terisi
sepenuhnya serta sudah cukup benar dan baik untuk diproses.
3.9.2. Pengkodean (Coding)
Suatu usaha untuk memberi kode atau menandai jawaban-jawaban responden atau pertanyaan
yang ada pada kuesioner.
3.9.3. Pemasukan data (Processing/entry data)
Pada tahap ini data yang telah diberi kode dimasukkan kedalam tabel sesuai dengan kriteria
setelah melakukan editing dan koding.
3.9.4. Pembersihan data (Cleaning)
Memerisa kembali data sehingga data bebas dari kesalahan.
 Analisa data
3.10.1. Analisa Univariat
Data dianalisa dengan menampilkan data dalam bentuk distribusi freku-ensi yang dilaksanakan
tiap-tiap variabel dari hasil penelitian yaitu variabel in-dependen (pendidikan, pengetahuan,
peran keluarga) dan variabel dependen (perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita)
diPuskesmas Sekip Palembang tahun 2010.
3.10.2. Analisa Bivariat
Untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan antara pendidikan, pengetahuan, dan peran
keluarga terhadap perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita. Uji statistik yang
digunakan adalah Chi Square dengan derajat kepercayaan 95% bila α ≤ 0,05 menunjukkan
hubungan bermakna, bila α > 0,05 menunjukkan hubungan tidak bermakna.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi penelitian
4.1.1. Lokasi Wilayah
Puskesmas Sekip didirikan pada tahun 1962 sebagai balai Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di
jalan Madang RT 39, dipimpin oleh Bidan Labuyar. Pada tahun 1964, lokasi Puskesmas
dipindahkan ke Sekip Ujung dan pelayannya bertambah dengan adanya Balai Pengobatan
(BP) dan berperan sebagai pustu yang menginduk pada Puskesmas Dempo.
Pada tahu 1981, induk Puskesmas Sekip dibawah pimpinan Dr. Amri, AK berubah menjadi
Puskesmas Basuki Rahmat. Tahun 1983 Dr. Amri digantikan oleh Dr. Murdiati dan Pustu ini
menjadi Puskesmas induk yang mempunyai wilayah kerja Pustu kebon Semai. Tahun 1986
menambah satu Pustu lagi yaitu Pustu IAIN. Pada tahun 1987 pimpinan Puskesmas Dr.
Murdiati digantikan oleh Dr. Hj. Mariatul Fadilah digantikan oleh Dr. Anton Suwindro, dan
sekarang di gantikan oleh Dr. Hj. Mahyunis Mahmoeddin, MKes, dengan wilayah kerja 3
kelurahan yang meliputi : kelurahan 20 Ilir DII, Kelurahan Pahlawan dan Kelurahan Sekip
Jaya.
Pada tanggal 17 Juli 2003 dilakukan masa percobaan Puskesmas Swakelola berdasarkan
Surat Keputusan (SK) Walikota Nomor: 22 Tahun 2003 pada tanggal 1 Agustus 2003.
4.1.2. Batas Wilayah
Puskesmas Swakelola Sekip Palembang didirikan pada tahun 1962 dengan luas 585
M2 dengan luas wilayah 550 Ha terdiri dari 3 kelurahan yang berbatasan dengan :
a. Sebelah Utara dengan Sungai Sekip bending
b. Sebelah Selatan dengan Jalon Mayor Ruslan
c. Sebelah Barat dengan Jalan Jendral Sudirman
d. Sebelah Timur dengan Sungai bending (9 Ilir)
4.1.3. Gambaran Demografi
Berdasarkan data tahun 2006 jumlah penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Swakelola
Sekip ada 41.372 jiwa dengan deskripsi sebagai wilayah :
- Kelurahan 20 Ilir D II
Kelurahan 20 Ilir Daerah II dipimpin oleh Lurah Kms. Mahmud Syamsudin, dengan
luas wilayah 200 Ha, dengan 40 RT dan RW, terdiri atas 3432 kepala keluarga (KK) atau
15.228 jiwa. Sarana yang dimilki adalah pasar 1 buah, masjid 6 buah, mushola 2 buah dan
sekolah (TK 2 buah, SD Negeri 2 buah dan SLTP Negeri 2 buah).
- Kelurahan Pahlawan
Kelurahan Pahlawan dipimpin Lurah Paridin dengan luas wilayah 179 Ha, terdiri atas
30 RT dan RW, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.925, atau 11.833 jiwa. Sarana
yang dimiliki yaitu : masjid 8 buah, mushola 6 buah, gereja 2 buah, vihara 1 buah, sekolah
( TK 3 buah, SD Negeri 3 buah, SD Swasta 1 buah, SLTP Swasta 4 buah, SMU Negeri 2
buah, SMU Swasta 6 buah, Perguruan Tinggi 1 buah, Perguruan Tinggi Swasta 1 buah)
- Kelurahan Sekip Jaya
Kelurahan sekip Jaya dipimpin lurah Herman Suwandi dengan luas wilayah 171 Ha terdiri
atas 38 RT dan 11 RW atau 3893 kepala keluarga (KK) yang terdiri atas 14.362 jiwa. Sarana
yang dimiliki : masjid 8 buah, mushola 6 buah, gereja 2 buah, pasar 1 buah, dan sekolah (TK
Swasta 5 buah, SD Negeri 2 buah, SD Swasta 4 buah, dan SLTP Swasta/Negeri 4 buah, SMU
Swasta 5 buah, Perguruan Tinggi Negeri 2 buah, Perguruan Tinggi Swasta 1 buah).
4.1.4. Visi, Misi dan Moto Puskesmas Swakelola Sekip Palembang
1. Visi :
Tercapainya kecamatan kemuning sehat yang optimal tahun 2010 dengan bertumpuh pada
pelayanan prima dan pemberdayaan masyarakat.
2. Misi :
a. Mewujudkan pelayanan prima yang sesuai dengan standar profesi kesehatan dan berwawasan
lingkungan.
b. Mewujudkan profesionalisme dan SDM
c. Memanfaatkan profesi yang ada dengan kemitraan
d. Meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan yang bermutu prima untuk menuju Puskesmas
Swakelola.
3. Motto :
a. Smile ( Senyum)
b. Look ( Merasa )
c. Listen ( Mendengar )
d. Feel ( Melihat )
4.1.5. Kedudukan Puskesmas
Kedudukan mempunyai kedudukan pada daerah wilayah kerjanya sebagai berikut :
1. Sebagai unit organisasi yang bersifat fungsional dan berlangsung dalam kesehatan secara
menyeluruh kepada pendudukan dalam wilayah kerjanya.
2. Sebagai pelaksanaan program-program dilapangan yang memberikan pelayanan kesehatan
secara menyeluruh kepada penduduk dalam wilayah kerjanya.
3. Sebagai penanggung jawab tunggal terlaksananya program-program yang dilaksanakan oleh
organisasi kesehatan dan kesehatan swasta.
Fungsi Puskesmas Swakelola Sekip Palembang, yaitu :
1. Pusat Pengerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan
2. Sebagai Pemberdayaan masyarakat dan keluarga
3. Pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama
4.1.6. Program Dasar dan Program Unggulan Puskesmas
Program dasar dan program Unggulan yang dimiliki oleh Puskesmas Swakelola Sekip
Palembang yaitu :
1. Program Dasar
a. Promosi Kesehatan
b. Kesehatan lingkungan
c. Kesehatan Ibu dan Anak
d. Gizi
e. Pemberantasan Penyakit Menular
f. Pengobatan
2. Program Unggulan
a. Unit gawat Darurat (UGD/Emergency)
b. Demam Berdarah
c. Kesehatan Reproduksi
4.1.7. Unit-unit Ruangan di Puskesmas Swakelola Sekip Palembang
Puskesmas Swakelola Sekip Palembang mempunyai beberapa unit ruangan sebagai tempat
melaksanakan kegiatan, yaitu :
1. Ruang Loket/karcis
2. Ruang Apotik
3. Ruang MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit)
4. Balai Pengobatan
5. Balai Pengobatan Gizi
6. Gudang Obat
7. Ruang Kesga
8. Ruang Tata Usaha
9. Ruang Gilinganmas
10. Ruang Laboratorium
11. Ruang Pimpinan Puskesmas
12. Ruang Bendaharawan
13. Aula
14. Kamar Mandi
15. Ruang Dokter Fungsional
4.1.8. Sarana dan Prasarana
Sarana dan Prasarana yang terdapat di Puskesmas Swakelola Sekip Palembang, yaitu :
Tabel 4.1
Gambaran Sarana dan Prasarana Puskesmas Swakelola Sekip Palembang Tahun 2009
No Nama Jumlah
Yang ada Standar
1 Puskesmas 1
2 Pustu 3
3 Kendaraan Dinas : 1
Mobil 3
Motor
4 Mesin Tik 3
5 Komputer 3
6 OPH 3
7 Printer 2
8 Peralatan Laboratorium 3
9 Peralatan medis
10 Peralatan Kantor
Untuk Menunjang kegiatan pelayanan masyarakat, maka Puskesmas Swakelola Sekip
Palembang bekerja sama dengan kader-kader kesehatan dalam sarana pelayanan untuk
masyarakat yang telah dibentuk, antara lain :
Jumlah Posyandu balita : 27 buah
Jumlah Posyandu lama : 2 buah
Jumlah Kunjungan Pusling : 1 buah
Jumlah Kader : 135 orang
4.2. Analisa Univariat
Variabel-Variabel yang diteliti adalah variabel dependen independen. Variabel dependen
meliputi perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita dan variabel independen meliputi
pendidikan, pengetahuan, dan peran keluarga. Hasil analisis univariat terhadap variabel-
variabel yang diteliti tersebut adalah sebagai berikut :
4.2.1. Perilaku Ibu Dalam pencegahan ISPA
Persentase perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita (variabel dependen) di
Puskesmas Sekip Palembang Tahun 2010 adalah sebagai berikut :
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Ibu Dalam Pencegahan ISPA Pada
balita di Puskesmas Sekip Palembang Tahun 2010.
No Perilaku Ibu Jumlah Persentase (%)
1 Baik 39 46.4
2 Tidak Baik 45 53.6
Jumlah 88 100
Sumber Data : Hasil Penelitian
Dari data diatas dapat dilihat bahwa responden dengan perilaku yang baik berjumlah 39 ibu
(46.4%) lebih sedikit dibandingkan dengan responden dengan perilaku yang tidak baik
berjumlah 45 ibu (53.6%).
4.2.2. Gambaran Pendidikan dan Pengetahuan ibu serta Peran keluarga terhadap
pencegahan ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang tahun 2010.
Persentase pendidikan ibu terhadap pencegahan ISPA pada balita, pengetahuan ibu terhadap
pencegahan ISPA pada balita dan peran keluarga terhadap pencegahan ISPA pada balita di
puskesmas Sekip Palembang adalah sebagai berikut :
4.2.2.1. Pendidikan Ibu dalam pencegahan ISPA
Tingkat pendidikan responden dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu tinggi dan rendah.
Pendidikan tinggi apabila responden berpendidikan SMA atau lebih, sedangkan responden
berpendidikan rendah apabila responden ber-pendidikan SMP atau kurang. Persentase
pendidikan ibu dalam pencegahan ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang adalah
sebagai berikut :
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pendidikan di Puskesmas Sekip Palembang
tahun 2010.
No Pendidikan Ibu Jumlah Persentase(%)
1 Tinggi 25 29,8
2 Rendah 59 70,2
Jumlah 84 100
Sumber Data : hasil Penelitian
Dari data diatas dapat dilihat bahwa responden dengan pendidikan yang tinggi berjumlah 25 ibu
(29,8%) lebih sedikit dibandingkan dengan responden dengan pendidikan rendah berjumlah
59 ibu (70,2%).
4.2.2.2. Pengetahuan Ibu dalam pencegahan ISPA
Tingkat pengetahuan responden dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu tinggi dan rendah.
Pengetahuan tinggi apabila responden mengetahui tanda dan gejala ISPA, sedangkan
pengetahuan rendah apabila responden kurang mengatahui tanda dan gejala ISPA. Persentase
pengetahuan ibu dalam pencegahan ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang adalah
sebagai berikut :
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pengetahuan di Puskesmas Sekip Palembang tahun
2010.
No Pengetahuan Ibu Jumlah Persentase(%)
1 Tinggi 34 40,5
2 Rendah 50 59,5
Jumlah 84 100
Sumber Data : Hasil Penelitian
Dari data diatas dapat dilihat bahwa responden dengan pengetahuan yang tinggi berjumlah 34 ibu
(40,5%) lebih sedikit dibandingkan dengan responden dengan pengetahuan rendah berjumlah
50 ibu (59.5%).
4.2.2.3. Peran Keluarga dalam pencegahan ISPA
Peran keluarga dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu mendukung dan tidak
mendukung. Keluarga mendukung apabila keluarga selalu segera membawa balita jika sakit,
tidak meremehkan penyakit dan memberikan penjelasan tentang pencegahan ISPA pada ibu,
Keluarga tidak mendukung apabila keluarga tidak segera membawa balita berobat jika sakit,
meremehkan penyakit dan kurang pengetahuan tentang pencegahan ISPA pada balita.
Persentase peran keluarga dalam pencegahan ISPA pada balita di Puskesmas Sekip
Palembang adalah sebagai berikut :
Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Peran keluarga di Puskesmas Sekip Palembang
tahun 2010
No Peran Keluarga Jumlah Persentase(%)
1 Mendukung 39 46.4
2 Tidak Mendukung 45 53.6
Jumlah 84 100
Sumber Data : Hasil Penelitian
Dari data diatas dapat dilihat bahwa responden dengan peran keluarga yang mendukung
berjumlah 39 ibu (46.4%) lebih sedikit dibandingkan dengan responden dengan peran
keluarga yang tidak mendukung berjumlah 45 ibu (53.6%).
4.3. Analisa Bivariat
Analisa bivariat untuk melihat hubungan antara variabel dependen dengan variabel
independen. Variabel dependen yaitu perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita dan
variabel independen meliputi pendidikan ibu dalam pencegahan ISPA pada balita,
pengetahuan ibu dalam pencegahan ISPA pada balita, serta peran keluarga dalam pencegahan
ISPA pada balita. Dalam penelitian ini dilakukan uji Chi Square derajat kepercayaan
atauConvidence Interval (CI) 95% bila α ≤ 0.05 menunjukkan hubungan bermakna, bila α ≥
0.05 menunjukkan hubungan tidak bermakna.
4.3.1. Hubungan antara pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA
pada balita.
Hasil uji hubungan antara pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada
balita dapat dilihat pada table berikut :
Tabel 4.6
Distribusi Responden Menurut Pendidikan Ibu dan Perilaku Ibu dalam Pencegahan
ISPA pada Balita di Puskesmas Sekip Palembang Tahun 2010.
No Pendidikan Perilaku Ibu dalam Total P value
Ibu pencegahan ISPA pada balita
Baik Tidak Baik
n % n % N %
1 Tinggi 18 72,0 7 28,0 25 100 0,005
2 Rendah 21 35,6 38 64,4 59 100
Jumlah 39 46,4 45 53,6 84 100
Sumber Data : Hasil Penelitian
Dari analisa persentase baris didapatkan ibu dengan perilaku baik dalam pencegahan ISPA
pada balita dan berpendidikan tinggi sebanyak 18 ibu dari 25 responden (72,0%), lebih
sedikit dibandingkan dengan ibu yang memiliki pendidikan rendah yaitu 21 ibu dari 59
responden (35,6%).
Dari uji statistik chi square didapatkanP value (=0,005) berarti < α 0.05. Jadi dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan perilaku ibu
dalam pencegahan ISPA pada balita.
4.3.2. Hubungan antara pengetahuan ibu dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA
pada balita
Hasil uji hubungan antara pengetahuan ibu dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada
balita dapat dilihat pada table berikut :
Tabel 4.7
Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Ibu dan Perilaku Ibu Dalam Pencegahan
ISPA Pada Balita di Puskesmas Sekip Palembang Tahun 2010.
No Pengetahuan Perilaku Ibu dalam Total P value
Ibu pencegahan ISPA pada balita
Baik Tidak Baik
n % N % N %
1 Tinggi 23 67,6 11 34,4 34 100 0,003
2 Rendah 16 32,0 34 65,4 50 100
Jumlah 39 46,4 45 53,6 84 100
Sumber Data : Hasil Penelitian
Dari analisis persentase baris didapatkan ibu dengan perilaku baik dalam pencegahan ISPA
pada balita dan berpengetahuan tinggi sebanyak 23 ibu dari 34 responden (67,6%), lebih
banyak dibandingkan dengan ibu yang memiliki pengetahuan rendah sebanyak 16 ibu dari 50
responden (32,0%).
Dari uji statistik chi square didapat P value (= 0,003) berarti < α 0,05. Jadi dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan perilaku ibu dalam
pencegahan ISPA pada balita.
4.3.3. Hubungan antara peran keluarga dengan perilku ibu dalam pencegahan ISPA
pada balita
Hasil uji hubungan antara peran keluarga dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada
balita dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.8
Distribusi Responden Menurut Peran Keluarga dan perilaku ibu dalam pencegahan
ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang Tahun 2010.
No Peran Perilaku ibu dalam Total P value
Keluarga pencegahan ISPA pada balita
Baik Tidak Baik
n % N % N %
1 Mendukung 25 64,1 14 35,9 39 100 0,005
2 Tidak 14 31,1 31 68,9 45 100
Mendukung
Juamlah 39 46,4 45 53,6 84 100
Sumber Data : Hasil Penelitian
Dari analisis persentase baris didapatkan ibu dengan perilaku baik dalam pencegahann
ISPApada balita dan peran keluarganya mendukung sebanyak 25 ibu dari 39 responden
(64,1%), lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang memiliki peran keluarga tidak
mendukung yaitu 14 ibu dari 45 responden (46,4%).
Dari uji statistik chi square didapat P value (=0,005) berarti < α 0,05. Jadi dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan bermakna antara peran keluarga dengan perilaku ibu dalam pencegahan
ISPA pada balita.
4.4. Pembahasan Penelitian
4.4.1. Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, tidak terlepas dari keterbatasan-keter-batasan yang terjadi
serta kemungkinan yang tidak dapat dihindari walaupun telah diupayakan untuk
mengatasinya.
Penelitian ini hanya untuk mengetahui apakah pendidikan, pengetahuan serta peran keluarga
mempunyai hubungan terhadap perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita di
Puskesmas Sekip Palembang.
Metode dalam penelitian ini adalahcross sectionalyang merupakan metode penelitian yang
hanya mengobservasi fenomena pada satu titik waktu tertentu.
penelitian cross sectional tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan dinamika perubahan
kondisi atau hubungan dari populasi yang diamatinya dalam periode waktu yang berbeda
serta variabel dinamis yang mempengaruhinya. Kelemahan lainnya adalah
ketidakmampuannya untuk menjelaskan proses yang terjadi dalam objek atau variabel yang
diteliti serta hubungan korelasionalnya, penelitian ini mampu menjelaskan hubungan kedua
variabel namun tidak mampu menunjukkan arah hubungan kausal diantara kedua variabel
tersebut.
4.4.2. Analisis Univariat
Gambaran pendidikan ibu terhadap pencegahan ISPA pada balita, pengetahuan ibu terhadap
pencegahan ISPA pada balita, serta peran kelurga terhadap pencegahan ISPA pada balita di
Puskesmas Sekip Palembang.
4.4.2.1. Pendidikan Ibu Tentang Pencegahan ISPA Pada Balita
Berdasarkan penelitian di Puskesmas Sekip Palembang pada 84 responden didapatkan hasil
pendidikan ibu terhadap pencegahan ISPA pada balita dengan kategori tinggi 34 responden
(40,5%) responden dan kategori rendah 50 (59,5%) responden.
Menurut Notoatmodjo (2003), Pendidikan adalah segala upaya yang di rencanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau, masyarakat sehingga mereka
melakukan yang diharapakan oleh pelaku pendidikan (guru). Pendidikan adalah suatu bentuk
intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku.
Menurut hasil penelitian bahwa pendidikan ibu di Puskesmas Sekip yang rendah dipengaruhi
oleh kurangnya biaya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan bahkan ibu-ibu
beranggapan bahwa pendidikan tinggi balum tentu bisa membantu keluarga.
4.4.2.2. Pengetahuan Ibu Tentang Pencegahan ISPA Pada Balita
Berdasarkan penelitian di Puskesmas Sekip Palambang pada 84 responden di dapatkan hasil
pengetahuan ibu tentang pencegahan ISPA pada balita dengan kategori tinggi 34 (40,5%)
responden dan dengan kategori rendah 50 (59,5%) responden.
Menurut Notoatmodjo (2002), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dari tahu dan terjadi
setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui pancaindra
manusia yang akan menimbulkan kasadaran dan akhirnya akan menyebabkan orang
berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilkinya.
Menurut hasil penelitian, pengetahuan rendah dikarenakan ketidaktahuan ibu-ibu terhadap
dampak dan bahaya dari penyakit ISPA dan ketidaktahuan ibu-ibu tentang tanda dan gejala
ISPA, sedangkan pengetahuan tinggi dikarenakan ibu-ibu dapat mengetahui tanda dan gejala
ISPA, dampak gejala dari ISPA. Pengetahuan ibu yang rendah dipengaruhi oleh pendidikan
yang rendah, kurangnya penjelasan dari keluarga, petugas kesehatan, dan bahkan dari media
cetak dan elektronik.
4.4.2.3. Peran Kelurga Tentang Pencegahan ISPA Pada Balita
Berdasarkan penelitian di Puskesmas Sekip Palembang pada 84 responden di dapatkan hasil
peran keluarga tentang pencegahan ISPA pada balita dengan kategori tidak mendukung 39
(46,4%) responden dan dengan kategori tidak mendukung 45 (53,6%) responden.
Menurut Suprajitno (2004), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari
suami-istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya.
Menurut hasil penelitian bahwa peran keluarga yang tidak mendukung dalam pencegahan
ISPA pada balita dikarenakan keluarga yang selalu menganggab remeh suatu penyakit dan
tidak ada penjelasan dari keluarga tentang ISPA. Sedangkan peran keluarga yang mendukung
dalam pencegahan ISPA pada balita ditunjukkan dengan keluarga yang selalu segera
membawa berobat apabila sakit dan tidak meremehkan penyakit dan keluarga memberikan
penjelasan tentang pencegahan ISPA kepada ibu. Peran keluarga yang tidak mendukung
dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan keluarga tentang pencegahan ISPA, kurangnya
penjelasan atau informasi tentang pencegahan ISPA dari petugas kesehatan bahkan dari
media cetak dan elektronik dan juga dari kesibukan keluarga itu sendiri dalam aktivitasnya
sehari-hari.
4.4.3. Analisa Bivariat
4.4.3.1. Hubungan antara pendidikan ibu dengan perilaku dalam pencegahan ISPA
pada balita
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memilki perilaku baik tentang
pencegahan ISPA pada balita lebih banyak yang memilki pendidikan yang tinggi dalam
pencegahan ISPA pada balita sebesar (72,0%) dibandingkan ibu yang memilki pendidikan
rendah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu
dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita dengan P value0,005 < α (0,05).
Menurut Notoatmodjo (2003), pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka
melakukan yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (guru). Pendidikan adalah suatu bentuk
intervensi atau upaya yang ditunjukkan kepada perilaku.
Penelitian ini sejalan dengan teori L. Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan
bahwa pendidikan sebagai salah satu faktor predisposisi yang berpengaruh terhadap perilaku,
artinya bahwa perilaku itu dibentuk oleh unsur pendidikan.
Penelitian ini sejalan dengan teori tersebut yaitu pendidikan ibu tentang pencegahan ISPA
pada balita terbukti berhubungan dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita.
Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu
dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita dan pada kenyataannya ini bisa
menjadi dorongan bagi ibu-ibu untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi karena makin
tinggi pendidikan maka makin besar peluangnya untuk bisa memperoleh berbagai sumber
informasi baik dari perpustakaan, dari teman dan dari yang lain-lain sehingga
pengetahuannya bisa lebih baik.
4.4.3.2. Hubungan Antara Pengetahuan Ibu dengan Perilaku Ibu dalam Pencegahan
ISPA Pada Balita
 Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memilki perilaku yang baik tentang
pencegahan ISPA pada balita lebih banyak yang memilki pengetahuan yang tinggi dalam
pencegahan ISPA pada balita sebesar (67.6%) dibandingkan ibu yang memilki pengetahuan
yang rendah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
ibu dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita dengan P value0,003 < α (0,05).
Menurut Notoatmodjo (2002), pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting dalam
membentuk tindakan atau perilaku seseorang karena perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Penelitian ini sejalan dengan teori L. Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan
bahwa pengetahuan sebagai salah satu faktor predisposisiyang berpengaruh terhadap
perilaku, artinya bahwa perilaku itu dibentuk oleh unsur pengetahuan.
Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu
dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita dan pada kenyataannya ini bisa
menjadi dorongan bagi petugas kesehatan/ Puskesmas untuk meningkatkan pengetahuan ibu
dalam pencegahan ISPA pada balita di wilayah kerja dengan cara memberikan penyuluhan-
penyuluhan dan pelatihan-pelatihan kepada ibu-ibu tentang pencegahan ISPA pada balita di
Puskesmas/ posyandu atau dalam kesempatan kunjungan kerumah-rumah, tempat arisan,
pengajian dan tempat yang lain yang menjadi tempat ibu sering melakukan aktivitasnya dan
dapat juga dibantu oleh kader-kader kesehatan sehingga kader dapat aktif dalam kegiatan
diatas.
4.4.3.3. Hubungan Antara Peran Keluarga dengan Perilaku Ibu dalam Pencegahan
ISPA pada Balita
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki perilaku yang baik dalam
pencegahan ISPA pada balita lebih banyak dimilki peran keluarga yang mendukung dalam
pencegahan ISPA pada balita sebesar (64,1%) dibandingkan peran keluarga yang tidak
mendukung.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara peran keluarga
dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita dengan P value0,005 < α (0,05).
Menurut Suprajitno (2004), perilaku individu yang ditampakkan merupakan gambaran dari
nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga.
Penelitian ini sejalan dengan teori L.Green (1980) dalam Notoatmodjo (2002), menyatakan
bahwa peran keluarga sebagai salah satu faktor predisposisi yang berpengaruh terhadap
perilaku, artinya bahwa perilaku itu dibentuk oleh unsur peran keluarga.
Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara peran keluarga
dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita dan pada kenyataannya ini bisa
menjadi dorongan kepada kapala keluarga atau aggota lain agar dapat membantu ibu-ibu
memberikan dorongan/ motivasi dalam upaya meningkatkan minat terhadap pencegahan
ISPA pada balita seperti mengingatkan dan membantu dengan memalui diskusi, tanya jawab
perorangan atau wawancara mendalam ketika pihak kesehatan/ Puskesmas dalam kesempatan
kunjungan kerumah-rumah sehingga ibu-ibu mau dan senang untuk melakukan upaya
pencegahan pada balita.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 84 responden yaitu ibu-ibu yang
mempunyai balita di Puskesmas Sekip Palembang Tahun 2010 serta pembahasan pada Bab
sebelumnya maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita dengan kategori pendidikan ibu rendah yaitu
59,5%, perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita dengan kategori pengetahuan rendah
59,5%, perilaku ibu dalam pencegahan ISPA pada balita dengan kategori peran keluarga
tidak mendukung 53,6%.
2. Ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan perilaku dalam pencegahan
ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang Tahun 2010.
3. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan perilaku dalam pencegahan
ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang Tahun 2010.
4. Ada hubungan yang bermakna antara peran keluarga dengan perilaku ibu dalam pencegahan
ISPA pada balita di Puskesmas Sekip Palembang Tahun 2010.
5.2. Saran
1. Bagi Pihak Puskesmas
Diharapkan dapat menjadi masukan kepada pihak Puskesmas untuk memberikan pengetahuan
pada petugas kesehatan dipuskesmas berupa pelatihan-pelatihan mengenai cara pencegahan
ISPA pada balita serta penyuluhan -penyuluhan tentang ISPA pada balita.
2. Bagi Pihak Pendidikan
Diharapkan sebagai bahan dokumentasi dan untuk meningkatkan literatur atau bahan materi
guna mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas wacana.
3. Bagi Peneliti yang akan datang
Diharapkan peneliti ini dapat dijadikan data dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku dalam pencegahan ISPA pada balita dengan
menggunakan desain yang berbeda dan sampel yang lebih banyak dan sebagai pengalaman.

Anda mungkin juga menyukai