Anda di halaman 1dari 13

Al-‘URF SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM YANG DIIKHTILAFKAN

USHUL FIQH KEPENDIDIKAN

Dosen pembimbing :

Dr. H. Sutisna, M.A.

Disusun oleh :

Siti Syifa Awaliyah : 181105010


Revitha Almaisya : 181105010317

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR


JALAN BARU KEDUNG BADAK TANAH SAREAL KOTA BOGOR
JAWA BARAT
2019 M/1440 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan karunia-Nya
kepada kita semua, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang membawa kita semua sehingga terlepas dari kebodohan, kesesatan, dan
membimbing kita menuju ilmu pengetahuan tentunya dengan Iman dan Islam.
Dalam makalah tentang “Al-‘Urf Sebagai Sumber Hukum Islam yang
Diikhtilaflkan” yang Insya Allah akan menambah wawasan pembaca dalam memahami
Ushul Fiqh. Kami berharap kepada kita semua untuk mengambil nilai positif dan
membuang nilai negatif yang tersaji dalam makalah ini.
Terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Dr. H. Sutisna, M.A. selaku dosen
pembimbing mata kuliah Ushul Fiqh Kependidikan yang telah memberikan kesempatan
dalam menyelesaikan tugas ini dengan tepat pada waktunya.
Kami menyadari penulisan makalah ini jauh dari kata-kata sempurna, oleh sebab itu
saran ataupun masukan sangat saya harapkan untuk perbaikan dan kesempurnaan makalah
ini dimasa yang akan datang.
Jazakallah Khairan Katsiron
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang


Ilmu ushul fiqh merupakan suatu ilmu yang sangat penting dalam menjelaskan
syari’at-syari’at islam serta dalam menggali hokum yang tidak memiliki nash. Dalam ilmu
ushl fiqh ini banyak sekali pembahasan tentang sumber hokum islam selain yang terdapat
pada al qur’an dan sunnah. Yakni tentang ijma’, qiyas, istihsan, istishab dan 'urf.
Meskipun terdapat banyak perbedaan mengenai kehujjahan dari 'urf sebagai salah
satu sumber hukum islam, namun merujuk pada hadits-hadits nabi dan juga praktek para
ulama terdahulu, maka hal itu dapat menunjukkan bahwasannya diperbolehkannya
memakai 'urf sebagai sumber hukum islam. Karena pada prinsipnya agama islam menerima
dan mengakui  adat dan tradisi dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan al
qur’an dan sunnah. Islam tetap melestarikan tradisi yang dianggap baik dalam masyarakat
dan mengahpus secara bertahap tradisi yang dianggap bertentangan dengan Al Qur’an dan
Sunnah.
Maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang kehujjahan 'urf sebagai salah
satu sumber hukum islam, yang mana bersumber dari tradisi yang ada pada masyarakat.
Yang dilestarikan oleh islam jika membawa pada kemaslahatan dan tidak bertentangan
dengan syara’.

2.      Rumusan Masalah


A.    Apa pengertian 'urf ?
B.     Bagaimana kehujjahan 'urf sebagai dalil syara’?
C.     Apa syarat-syarat dari 'urf?
D.    Bagaimana pertentangan ‘Urf dengan Dalil Syara’?
E.     Apa saja macam-macam 'urf?
PEMBAHASAN

1. Pengertian Urf (Adat)


Dilihat dari segi bahasa kata urf berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata ، َ‫ع ََرف‬
ِ ‫يَع‬, sering diartikan sesuatu yang dikenal. Contohnya dalam kalimat ‫اَحْ َم ُد أَوْ لَي‬
‫ عُرْ فًا‬، ُ‫ْرف‬
‫ ِم ْن فُالَ ٍن عُرْ فًا‬artinya: “Si Ahmad lebih dari yang lain dari segi urfnya”. Maksudnya
ialah bahwa si ahmad lebih dikenal dibanding dengan yang lainnya. Adapun kata
adat juga berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti pengulangan suatu
peristiwa tetapi terlepas dari penilaian baik dan buruknya (netral). Adapun kata urf,
lebih cenderung kepada kualitas (baik buruknya) sehingga diakui dan dikenal oleh
orang banyak. Kalau diteliti, sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip antara adat dan
urf, karena keduanya sama-sama mengacu kepada peristiwa yang berulang kali
dilakukan sehingga diakui dan dikenal orang.
Adapun menurut istilah syara’, banyak definisi yang dilontarkan oleh para ulama.
Namun dalam pembahasan ini akan dikemukakan definisi yang dikemukakan oleh
Abu Zahra:

‫ت َعلَ ْي ِه ْم أُ ُم ْو ُرهُ ْم‬


ْ ‫ت َوا ْستَقَا َم‬
ٍ َ‫َما ا ْعتَا َدهٌ النَّاسُ ِم ْن ُم َعا َمال‬
Artinya: “Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan
sudaah mantap dan melekat dalamm urusan-urusan mereka.”

2. Macam-macam Urf
a. Dilihat dari Sumbernya:
1) Urf qauly, yang dimaksud dengan urf qauly, ialah kebiasaan yang berlaku dalam
kata-kata atau ucapan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya dalam kata
“lahm” (bahasa Arab) yang artinya adalah daging. Pengertian daging dapat
mencakup semua daging: (daging ikan, sapi, kambing, dan lain sebagainya).
Namun dalam adat kebiasaan sehari-hari kata daging tidak berlaku untuk ikan.
Oleh karena itu, jika ada orang yang bersumpah “Demi Allah saya tidak akan
makan daging” tetapi kemudian ia makan ikan maka menurut adat ia tidak
melanggar sumpah meskipun ikan secara bahasa termasuk daging.
2) Urf fi’ly, yaitu kebiasaan yang berlaku pada perbuatan. Umpamanya kebiasaan
dalam jual beli barang-barang yang kurang begitu bernilai. Transaksi antara
penjual dan pembeli hanya cukup dengan pembeli menerima barang dan penjual
menerima uang tanpa ada ucapan transaksi (akad). Kebiasaan mengambil rokok
di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi hal ini tidak
dianggap mencuri.
b. Dilihat dari Ruang Lingkupnya:
1) Urf umum, ialah kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana hampir
diseluruh penjuru dunia tanpa memandang negara, bangsa, dan agama.
Contohnya, menganggukkan kepala tanda setuju dan menggelengkan kepaala
pertanda menolak. Jika ada orang melakukan kebalikan dari itu, maka orang itu
dianggap aneh dan ganjil. Contoh lain mengibarkan bendera setengah tiang
menandakan duka cita adanya kematian orang yang dianggap terhormat.
2) Urf khusus, ialah kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang di tempat
tertentu atau pada waktu tertentu dan tidak berlaku di sembarang waktu dan
tempat. Umpamanya adat menarik garis keturunan melalui garis ibu atau
perempuan (matrilineal) di Minang Kabau dan melalui bapak (patrilineal) di
kalangan suku Batak. Orang Sunda menggunakan kata paman hanya untuk adik
dari ayah tidak digunakan untuk kaka dari ayah. Adapun orang Jawa
menggunakan kata paman itu untuk adik dan untuk kaka dari ayah. Bagi
masyarakat tertentu penggunaan katabudak dianggap menghina. Karena kata itu,
berarti hamba sahaya. Tetapi bagi masyarakat lainnya kata budak biasa
digunakan untuk anak-anak.
c. Dilihat dari Kualitasnya
1) Urf sahih, ialah kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang, diterima oleh
orang banyak, tidak bertentangan dengan norma agama, sopan santun, dan
budaya yang luhur. Contohnya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan
dekat dalam waktu tertentu, mengadakan acara halal bi halal pada hari raya,
memberi hadiah sebagai penghargaan atau prestasi.
2) Urf fasid, ialah adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu tempat namun
bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. Contoh,
berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, main kartu pada malam hari pesta
pernikahan. Minum minuman keras pada hari ulang tahun, hidup bersama tanpa
nikah, dan sebagainya.

3. Kehujahan Urf
Urf yang sahih dapat dijadikan sumber pembentukan hukum. Bagi seorang
mmujtahid harus menggunakannya pada waktu menetapkan hukum. Seorang hakim
punharus memakai adat ketika ia akan mengadili. Maka Islam telah melestarikan urf
bangsa Arab yang sahih dalam membentuk hukum. Imam Malik mendasarkan sebagian
hukumnya kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i ketika ada di
Mesir mengubah sebagian hukum yang telah ditetapkannya ketika beliau di Baghdad.
Hal ini dikarenakan adanya urf yang berbeda. Dalam mazhab hanafiah banyak hukum-
hukum yang didasarkan kepada urf diantaranya, apabila berselisih dua orang terdakwa
dan tidak ada saksi diantara keduanya maka pendapat yang dibenarkan (dimenangkan)
adalah pendapat orang yang disaksikan oleh urf. Contohnya orang yang bersumpah
tidak makan daging kemudia ia makan ikan, maka ia tidak dikatakan melanggar
sumpahnya. Adapun urf yang fasid(rusak), maka tidak boleh memeliharanya karena hal
itu bertentangan dengan hukum syara’.
Hukum yang didasarkan oleh urf itu berubah-ubah menurut perubahan zaman.
Dengan demikian para fuqaha berkata “Perselisihan itu disebabkan oleh perubahan
masa bukan perselisihan hujah dan bukti”. Oleh karena itu, para ulama mengamalkan
urf dalam menetapkan hukum dengan syarat:
a) Adat atau urf itu mengandung maslahat dan dapat diterima oleh akal. Syarat ini
adalah yang bersifat tetap dalam urf sahih yang dapat diterima secara umum.
Contohnya, ada suatu kebiasaan, istri yang ditinggal mati oleh suaminya maka ia
tidak akan kawin lagi untuk seterusnya meskipun ia masih muda belia. Mungkin ini
dinilai baik oleh suatu adat daerah tertentu namun tidak dapat diterima oleh akal
yang sehat.
b) Adat itu tidak bertentangan dengan dalil syara’. Contohnya kebiasaan menghormati
orang tua dengan mencium kedua tangannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa urf adalah bukan sumber hukum yang
berdiri sendiri. Ia harus ada sandaran atau pendukungnya baik dalam bentuk ijma
maupun maslahat. Adat yang berlaku dikalangan umat berarti telah diterima secara baik
oleh umat. Bila semua ulama telah mengamalkannya maka secara tidak langsung telah
terjadi ijma meskipun dalam bentuk sukuti.
Adat itu diterima oleh orang karena mengandung kemaslahatan. Tidak memakai
adat berarti tidak menerima kemaslahatan. Para ulama telah sepakat tentang keharusan
untuk mengambil sesuatu yang bernilai maslahat meskipun itu tidak ada nasnya.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama terhadap kehujahan urf. Menurut Al-
Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar ushul fiqh di universitas al-Azhar sebagaimana
dikutip oleh Satria Effendi. Menurutnya mazhab yang banyak menggunakan urf sebagai
landasan hukum adalah ulama Hanafiyah dan Malikiyah dan selanjutnya ulama
Syafiiyah. Pada prinsipnya mazhab-mazhab besar fiqh ini sepakat menerima adat istiadat
sebagai dasar pembentukan hukum meski terdapat unsur-unsur perbedaan di antara
mereka, sehingga urf dimasukkan ke dalam sumber hukum yang diperselisihkan.

Alasan mereka dalam menerima urf didasari oleh:

a) Al-Qur’an surat al-Araf/7 ayat 199:

ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َو ْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬


‫ف َواَ ْع ِرضْ َع ِن ْال َجا ِهلِي َْن‬
Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”

Pada ayat diatas terdapat kata urf (ma’ruf) yang harus dikerjakan oleh manusia. Para
ulama ushul fiqh memahami kata urf sebagai sesuatu yang baik yang telah menjadi
kebiasaan masyarakat. Sehingga ayat tersebut dapat dijadikan dasar untuk
mengerjakan sesuatu yang dianggap baik yang telah mentradisi di masyarakat.

b) Sejak kehadirannya, Islam telah banyak mengakui adat dan tradisi yang baik yang
tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah nabi. Islam tidak mengahapuskan
tradisi yang ada tetapi menyeleksi tradisi yang baik yang tidak bertentangan dengan
syariat kemudian diakui dan dilestarikan seperti kebiasaan kerjasama dagang
dengan cara bagi keuntungan (mudharabah). Tradisi ini telah dipraktikkan oleh
bangsa Arab ketika Islam datang kemudian dilestarikan oleh Islam. Adapun tradisi
yang buruk dan bertentangan dengan syariat, maka Islam tidak segan-segan untuk
menghapus tradisi itu seperti tradisi Arab dan minum minuman khamr, riba nasiah,
berjudi, dan menyembah berhala.

4. Saddu al-Zariat
Sebagai gambaran untuk memahami saddu al-zariah, dapat diibaratkan dari pepatah
yang mengatakan: “Lebih baik mencegah daripada mengobati”. Pepatah ini dapat
dipahami bahwa mencegah itu relatif lebih mudah dan tidak memerlukan biaya besar.
Adapun mengobati resikonya lebih besar dan membutuhkan waktu dan biaya yang
tidak sedikit. Contohnya, mengobati penyakit paru-paru lebih sulit dan mahal daripada
menghindarkan diri dari merokok. Namun terkadang manusia tidak peduli.
Hukum Islam dibangun atas dasar menarik maslahat dan menolak mafsadat. Untuk
mencapai dua hal diatas, maka diperlukan usaha antisipasi atau usaha preventif. Maka
keharaman zina bukan hanya ditujukan kepada perbuatan itu secara khusus, tetapi juga
berpacaran yang diduga kuat sebagai pembukanya juga diharamkan. Shalat Jumat
wajib hukumnya, maka meninggalkan jual beli yang dapat melupakan shalat Jumat
juga diwajibkan.

5. Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu ‘urf, baru dapat dijadikan sebagai
salah satu dalil dalam menetapkan hokum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1. ‘Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan
ucapan), berlaku secara umum. Artinya, ‘urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas
masyarakat tersebut.
2. ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu
muncul. Artinya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih bdahulu ada
sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan
secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam membeli lemari es, disepakati
oleh pembeli dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli
kerumahnya. Sekalipun ‘urf menentukan bahwa lemari es yang dibeli akan diantarkan
pedagang ke rumah pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka telah sepakat
bahwa pembeli akan membawa barang tersebut sendiri ke rumahnya, maka ‘urf itu tidak
berlaku lagi.
4. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang
dikandang nash itu tidak diterapkan. ‘Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’,
karena kehujjahan ‘urf bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum
permasalahan yang dihadapi.

6. Pertentangan ‘Urf dengan Dalil Syara’


Urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan
nash (ayat atau hadist) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara’ lainnya.
Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh memerincinya
sebagai berikut:
1. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus/rinci
Apabila pertentangan ‘urf dengan nash khusus menyebabkan tidak berfungsinya
hukum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan
dizaman Jahiliyah dalam mengadopsi anak, dimana anak yang di adopsi itu statusnya
sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah
angkatnya wafat. ‘Urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.
2. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum
Menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, apabila ‘urf telah ada ketika datangnya nash
yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafzhi dengan ‘urf al-‘anali.
Apabila ‘urf tersebut adalah ‘urf al-lafzhi, maka ‘urf itu bisa diterima, sehingga nash
yang umum itu dikhususkan sebatas ‘urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan
syarat tidak ada indikator yang menunjukkan bahwa nash umum itu tidak dapat
dikhususkan oleh ‘urf. Misalnya, kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli diartikan
dengan makna ‘urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu
dimaksudkan sesuai dengan arti etimologinya.
Apabila ‘urf yang ada ketika datangnya nash yang bersifat umum itu adalah ‘urf
al-‘amali, maka terdapat perbedaan pendapat ulama tentang kehujjahan. Menurut
ulama Hanafiyyah, apabila ‘urf al-‘amali itu bersifat umum, maka ‘urf tersebut dapat
mengkhususkan hukum nash yang umum, karena pekhususan nash tersebut tidak
membuat nash tidak dapat diamalkan. Pengkhususan itu, menurut ulama Hanafi, hanya
sebatas al-‘urf al-‘amali yang berlaku; diluar itu nash yang bersifat umum tersebut
tetap berlaku. Misalnya, dalam sebuah riwayat Rasulullah saw.:
“Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan memberi
keringanan dalam jual beli pesanan.” (HR. Bukhari dan Abu Daud)
Hadist Rasulullah saw. ini, menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku untuk
seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum ada; kecuali dalam jual beli pesanan.
Termasuk dalan larangan ini adalah akad istisna’ (akad yang berkaitan dengan produk
suatu industri). Akan tetapi, karena akad istisna’ ini telah menjadi ‘urf dalam
masyarakat di bebagai daerah, maka ijtihad para ahli fiqh—termasuk Jumhur Ulama—
membolehkannya sesuai dengan ‘urf yang berlaku. Akan tetapi, Imam al-Qarafi
berpendapat bahwa ‘urf seperti ini tidak dapat mengkhususkan hukum umum yang
dikandung nash tersebut.
3. ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf
tersebut
Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara
keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa
‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat ‘amali
(praktik), sekalipun ‘urf itu bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam
menetapkan hukum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah
menentukan hukum secara umum.
Apabila ada ‘urf yang datang setelah ada nash umum dan ‘urf itu bertentangan
dengan nash tersebut, seakan-akan ‘urf itu me-nash-kan (membatalkan) nash;
sedangkan ‘urf tidak bisa me-nash-kan nash. Dalam masalah ini para ulama fiqh
mengatakan. “ ‘Urf yang datang kemudian dari nash tidak bisa dijadikan patokan.”
Akan tetapi, apabila ‘illat suatu nash syara’ adalah ‘urf itu sendiri, dalam arti itu
turunnya nash didasarkan atas ‘urf al-‘amalli—sekalipun ‘urf itu baru tercipta—maka
ketika ‘illat nash itu hilang, hukumnya pun berubah. Dengan demikian, apabila ‘urf
yang menjadi ‘illat hukum yang dikandung nash itu berubah, maka hukumnya pun
berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Misalnya, dalam sebuah hadist
dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta izinnya untuk
dikawinkan oleh wali adalah diamnya. Artinya, apabila ayah anak perawan itu
mengatakan, “Saya akan menikahkan engkau dengan Fulan”, lalu anak itu diam saja,
maka diamnya ini menunjukkan kerelaannya, karena sudah menjadi tabiat wanita yang
suka merasa malu untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan
tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman, para wanita tidak malu lagi untuk
menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan seseorang kepada ayahnya.
DAFTAR PUSTAKA

Shidiq DRS, Sapiudin, M.A. 2011. Ushul Fiqh. Kencana Prenada Media Grup. Jakarta.
Haroen Drs, H Nasrun, M.A. USHUL FIQH.

Anda mungkin juga menyukai