Anda di halaman 1dari 40

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PENYAKIT DIARE MELALUI PROGRAM PERAWATAN
PERIANAL UNTUK MENGATASI MASALAH RUAM POPOK DI
RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO GEDUNG A LANTAI 1

KARYA ILMIAH AKHIR NERS


Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Ners

Fajar Ayu Ningrum, S.Kep


1506800533

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JUNI 2018
BAB 1
PENDAHULUAN

Bab satu pada karya ilmiah akhir ners ini penulis akan menguraikan tentang latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan serta manfaat yang telah dilakukan oleh
penulis.

1.1 Latar Belakang


Diare merupakan suatu penyakit yang sering terjadi pada anak berusia dibawah lima
tahun, yang didefinisikan sebagai peningkatan secara tiba-tiba, frekuensi dan perubahan
konsistensi feses (Hockenberry & Wilson, 2009). Menurut Ditjen P2 Kemenkes RI
2017 menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 6.897.463 balita terkena infeksi diare
(Kemenkes RI, 2017). Diare dapat menyebabkan cedera kulit akibat seringnya kontak
berulang dengan Feses yang berbentuk cair, sehingga akan mudah merusak jaringan
perianal (Cooper, 2011; Nazarko, 2007 dalam Bianchi, 2012). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Mahadevi, Rajeswari, Sumathi, Aruna (2016) mengatakan bahwa
diare dapat meningkatkan risiko tiga kali lipat terjadinya ruam popok. Kondisi diare,
urea-amonia yang meningkat akan merusak lapisan asam kulit, serta adanya urin dan
feses mengakibatkan pH kulit menjadi lebih alkali atau basa sehingga akan
mengaktifkan kerja enzim proteolitik dan lipolitik seperti protease dan lipase yang
mengakibatkan iritasi serta kerusakan jaringan (Cooper, 2011; Nazarko, 2007 dalam
Bianchi, 2012).

Kerusakan jaringan kulit yang diakibatkan oleh diare dapat meningkatkan risiko
terjadinya infeksi dan dapat mempengaruhi kesehatan bagi anak, baik fisik maupun
psikologis (Bianchi, 2012). Dampak yang terjadi pada anak dengan masalah ruam
popok menurut (Merrill, 2015) adalah dapat mempengaruhi sistem genitourinari dan
meningkatkan morbiditas di antara bayi yang baru lahir. Dampak terburuk yang terjadi
pada pemakaian popok yang salah selain mengganggu kesehatan kulit juga dapat
mengganggu perkembangan dan pertumbuhan anak. Anak yang mengalami ruam popok
biasanya akan mengalami perasaan tidak nyaman yang ditandai dengan anak menjadi
rewel, sulit tidur, dan proses menyusui menjadi terganggu (Handy, 2011). Kerusakan

Universitas Indonesia
jaringan kulit pada area perianal yang disebabkan oleh iritasi akibat diare ini biasa
disebut dengan Ruam popok.

Ruam popok merupakan salah satu kondisi kulit yang mengalami peradangan
(dermatitis) yang muncul berupa kemerahan pada bagian bokong anak. Ruam popok
biasanya dikaitkan dengan popok yang basah atau jarang diganti, sensitivitas kulit, serta
lecet dan umumnya ruam popok terjadi pada anak (Stamatas, 2013). Ruam popok pada
anak merupakan kelainan kulit berupa iritasi yang terjadi pada area kulit yang tertutup
oleh popok. Pendapat lain menyatakan bahwa kelainan kulit yang sering terjadi pada
anak, terutama usia 9-12 bulan biasa disebut dengan ruam popok (Puspitasari, 2017).

Ruam popok adalah gangguan umum dan mempengaruhi bayi baru lahir dengan
prevalensi 4-35% selama pertama atau dua tahun kehidupannya (Mahadevi, Rajeswari,
Sumathi, Aruna, 2016). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 2012 prevalensi iritasi kulit (ruam popok) pada bayi
cukup tinggi 25% dari 6.840.507.000 bayi yang lahir di dunia kebanyakan menderita
iritasi kulit (ruam popok) akibat penggunaan popok. Angka terbanyak ditemukan pada
usia 6-12 bulan (Ramba, 2015). Ahli Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Kapasitas
dan Desentralisasi, dr Krisnajaya, MS memperkirakan jumlah anak balita (bayi dibawah
usia lima tahun) di Indonesia mencapai 10 persen dari populasi penduduk. Jika jumlah
penduduknya 220-240 juta jiwa, maka setidaknya ada 22 juta balita di Indonesia, dan
1/3 dari jumlah bayi di Indonesia mengalami ruam popok, (Rahmat, 2011 dalam
Frilasari 2016).

Berdasarkan hasil observasi pada bulan mei 2018 di ruang rawat anak RSCM gedung A
lantai 1 dan lantai 2, sebagian besar anak yang berusia di bawah lima tahun
menggunakan popok, yaitu 35 dari 37 anak menggunakan popok (94%) dan 10 dari 35
anak yang menggunakan popok mengalami ruam popok (28%). Penggantian popok
pada anak-anak sepenuhnya dilakukan oleh orangtua. Penggantian popok pada masing-
masing orangtua berbeda-beda. Beberapa orangtua menyatakan hanya mengganti popok
ketika anaknya BAB, ketika popok sudah penuh, dan ada pula mengganti popok anak
setiap 4 jam. Rata-rata orang tua membersihkan area perianal anak menggunakan tisu
basah dan penggunaan pelembab kulit saat penggantian popok, namun pada

Universitas Indonesia
kenyataannya orang tua mengeluhkan masih banyak anak-anak mereka yang mengalami
ruam popok.

Ruam popok umunya ditandai dengan kemerahan pada kulit di area yang tertutup oleh
popok. Termasuk pada area bokong, alat kelamin dan area perianal, paha bagian dalam,
dan lingkar pinggang. Umumnya ruam tidak terjadi pada area lipatan. Jika area lipatan
terkena ruam, makan hal ini menjadi indikasi adanya infeksi sekunder. Selain
kemerahan, kulit mungkin tampak kering dan pada kasus yang cukup parah bisa terlihat
bengkak atau terkikis. Hal ini menyebabkan ketidaknyamanan pada anak (Stamatas,
2013). Tanda dan gejala ruam popok lainnya bervariasi dari yang ringan sampai yang
berat. Gejala awal kelainan derajat ringan seperti kemerahan ringan di kulit pada daerah
sekitar penggunaan popok yang bersifat terbatas, disertai dengan lecet atau luka ringan
pada kulit, mengkilat, sedangkan ruam popok derajat berajat berat terkadang seperti
luka bakar, dan timbul bintik-bintik merah, basah dan bengkak pada daerah yang paling
lama kontak dengan popok seperti pada area perianal (Maryunani, 2011).

Mempertahankan keutuhan integritas kulit bagi anak merupakan suatu tindakan


mendasar dalam mencapai tujuan praktik keperawatan, tindakan perawatan kulit
tersebut bertujuan untuk menurunkan trauma, mempertahankan fungsi kulit dan
mencegah masalah kulit untuk meminimalkan risiko kesakitan pada anak (Merrill,
2015). Permasalahan pada ruam popok tersebut dapat ditanggulangi dengan melakukan
perawatan yang benar yaitu dengan mempertahankan keutuhan integritas kulit. Salah
satu intervensi untuk mengatasi masalah kerusakan kulit yang dapat perawat lakukan
adalah dengan melakukan perawatan perianal (Herman & Komitsuru, 2014).

Perawatan perianal yang diberikan yaitu dengan menjaga area popok agar tetap bersih
dan kering. Cara terbaik untuk menjaga area popok agar tetap bersih dan kering adalah
dengan mengganti popok segera setelah basah atau kotor (Mayo Clinic, 2018) Menurut
Susilaningrum, Nursalam, & Utami (2013) penyebab dari ruam popok adalah
pemakaian popok yang kurang baik, seperti pemakaian popok yang terlalu lama, kontak
yang lama antara kulit dan popok yang basah, gesekan yang lebih sering dan lama
antara kulit dan popok. Penyebab ruam popok yang kedua yaitu amonia, amonia juga
penyebab ruam popok yang disebabkan peningkatan pH urine yang dapat menyebabkan
kulit menjadi sensitif dan mudah mengalami iritasi. Penyebab ruam popok yang ketiga
Universitas Indonesia
adalah enzim fekal, yaitu protease dan lipose, enzim ini mampu meningkatkan
permeabilitas kulit yang diakibat garam empedu yang terkandung didalam fases,
terutama pada saat diare, sehingga memudahkan kulit mengalami iritasi akibat
penggunaan popok yang kurang baik. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Li, Zhu, & Dai (2012) yang menyatakan bahwa anak yang digantikan popok lebih
dari 6 kali dalam sehari memiliki risiko rendah untuk terjadinya ruam popok. Oleh
karena itu, penting seorang perawat melakukan edukasi dan melakukan manajemen
perawatan kulit, sehingga dapat mengurangi terjadinya ruam popok pada anak-anak dan
dapat meningkatkan status kesehatan anak.

1.2 Rumusan Masalah


Dampak diare selain menyebabkan dehidrasi pada anak, diare juga dapat menyebabkan
cedera kulit akibat kontak berulang dengan feses, yang biasa disebut dengan ruam
popok. Ruam popok merupakan peradangan (dermatitis) yang muncul berupa
kemerahan pada bagian bokong anak. Anak yang mengalami ruam popok biasanya akan
mengalami rasa ketidak nyamanan yang ditandai dengan anak menjadi rewel, sulit tidur,
dan terganggunya proses menyusui. Permasalahan pada ruam popok tersebut dapat
ditanggulangi dengan melakukan perawatan yang benar yaitu dengan mempertahankan
keutuhan integritas kulit. Intervensi yang dapat dilakukan oleh perawat untuk mengatasi
masalah ruam popok adalah dengan melakukan perawatan perianal, yang terdiri dari 4
rangkaian. Pertama, mengganti popok minimal per 4 jam secara terjadwal atau
mengganti popok sesegera mungkin setelah basah atau terkena BAB. Kedua,
membersihkan perianal menggunakan kapas yang diberi air. Ketiga, pemberian salep
berisi kandungan zink 3 x 1 (topikal). Keempat, memberikan edukasi kepada ibu
tentang ruam popok yaitu tanda gejala ruam popok, penyebab ruam popok serta
bagaimana teknik perawatan ruam popok. Tujuan dari perawatan perianal tersebut
adalah untuk menjaga area perianal anak agar tetap bersih dan kering. Peran perawat
dalam melakukan perawatan pada anak dengan kasus ruam popok sangat diperlukan
sehingga penulis tertarik untuk menganalisa intervensi perawatan perianal pada anak
usia dibawah 5 tahun dengan masalah ruam popok.

Universitas Indonesia
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum karya ilmiah akhir ners ini adalah untuk memaparkan analisis intervensi
keperawatan pada anak dengan masalah ruam popok.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan karya ilmiah ini adalah:
1.3.2.1 Memaparkan gambaran kasus ruam popok
1.3.2.2 Memaparkan asuhan keperawatan pada anak dengan masalah ruam popok di
RSCM.
1.3.2.3 Memaparkan hasil intervensi perawatan perianal yang diberikan pada anak
dengan masalah ruam popok.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Pendidikan Keperawatan

Penulisan karya ilmiah akhir ners ini ini diharapkan dapat memberikan dan menambah
informasi bagi pendidikan keperawatan dalam hal pemberiaan asuhan keperawatan
pada anak dengan masalah ruam popok

1.4.2 Pelayanan Kesehatan


Penulisan karya ilmiah akhir ners ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan masalah ruam popok.
1.4.3 Penelitian
Karya ilmiah ini diharapkan dapat sebagai bahan informasi dan data tambahan untuk
penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan perawatan anak dengan masalah ruam
popok.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Bab dua pada penulisan karya ilmiah akhir ners ini penulis akan menguraikan tentang
konsep diare, konsep ruam popok, dan konsep perawatan kulit (Management Presure).

2.1 Konsep Diare


2.1.1 Definisi Diare
Menurut World Health Organization (WHO) (2018) Diare adalah pengeluaran feses
atau tinja yang terjadi lebih dari 3 kali dalam sehari dan dengan wujud cair dan biasanya
merupakan gejala infeksi gastrointestinal, yang dapat disebabkan oleh berbagai
organisme bakteri, virus dan parasit. Infeksi yang menyebar melalui makanan yang
terkontaminasi atau air minum, atau dari orang ke orang sebagai akibat dari kebersihan
yang buru.

Definisi lain menyatakan bahwa diare adalah suatu keadaan peningkatan atau perubahan
tiba-tiba pada frekuensi defekasi yang sering disebabkan karena agen infeksius (Wong,
2009). Diare adalah buang air besar dengan feses tidak berbentuk (unformed stools) atau
cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam (Amin, 2015). Diare adalah buang
air besar yang sering dengan konsistensi encer atau cair dan terjadi lebih dari 3 kali
dalam sehari yang disebabkan karena infeksi, faktor malabsorbsi, faktor makanan, atau
faktor psikologis (Masjour, 2010). Simpulannya bahwa diare adalah peningkatan
frekuensi pengeluaran feses yang terjadi lebih dari 3 kali selama 24 jam dengan
konsistensi cair yang disebabkan karena faktor infeksi, faktor malabsorbsi, faktor
makanan, dan faktor psikologis.

2.1.2 Etiologi Diare


2.1.2.1 Faktor Infeksi
Faktor infeksi penyebab diare dapat dibagi menjadi infeksi perenteral dan infeksi
enteral. Penyebab infeksi utama timbulnya diare pada anak adalah golongan virus,
bakteri dan parasit. Rotavirus adalah penyebab utama diare akut pada anak. Penyebab
diare yang disebabkan oleh bakteri diantaranya adalah ETEC, Sigella, Campylobacter
(Ngastiyah, 2012)

Universitas Indonesia
2.1.2.2 Faktor Malabsorbsi
Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan malabsorbsi
lemak. Malabsorpsi karbohidrat yang terjadi pada bayi adalah karena adanya kepekaan
terhadap lactoglobulis dalam susu formula yang dapat menyebabkan diare. Gejalanya
berupa diare berat, feses berbau sangat asam, disertai nyeri di daerah abdomen.
Malabsorpsi lemak, anak dengan masalah malabsorbsi lemak biasanya terjadi bila di
dalam makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida. Triglyserida, dengan bantuan
kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika tidak
ada lipase didalam saluran cerna dan terjadi kerusakan mukosa usus, maka diare dapat
terjadi yang disebabkan karena lemak tidak terserap dengan baik (Masjoer, 2010).
2.1.2.3 Faktor Lingkungan
Penularan diare sebagian besar ditularkan melalui kotoran dan mulut. Penularan
penyakit diare merupakan hasil dari hubungan antara faktor jumlah kuman yang
disekresi, kemampuan kuman untuk hidup dilingkungan dan kekuatan kuman untuk
menimbulkan infeksi. Kebersihan lingkungan seperti air minum, dan kebersihan toilet
secara fisik tidak menjamin hilangnya penyakit diare, tetapi perubahan perilaku manusia
untuk memanfaatkan fasilitas dan kebersihan sanitasi dapat mengurangi masalah diare
(Masjoer, 2010).
2.1.2.4 Faktor Psikologis
Keadaan psikologis seseorang dapat mempengaruhi kecepatan gerakan peristaltik usus
yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan
diare. Rasa takut, cemas, dan tegang, yang terjadi pada anak dapat menyebabkan diare
kronis. Tetapi jarang terjadi pada bayi dan balita, umumnya terjadi pada anak yang lebih
besar (Ngastiyah, 2012)

2.1.3 Patofisiologi Diare


Menurut Ngastiyah (2012) Mekanisme penyebab diare dibagi menjadi gangguan
osmotik, gangguan sekresi, dan gangguan motilitas. Gangguan osmotik, pada makanan
yang tidak dapat diserap oleh usus akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga
usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus, isi
rongga usus menjadi berlebihan sehingga timbul diare. Penyebab yang kedua adalah
gangguan sekresi, akibat toksin di dinding usus yang meningkat sehingga akan
menyebabkan peningkatan sekresi dan elektrolit ke dalam rongga dan selanjutnya
Universitas Indonesia
terjadi diare. Penyebab yang ketiga adalah ganguan motiliasi usus yang mengakibatkan
hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Kondisi hiperpristaltik dapat menyebabkan usus
mengalami kurangnya kesempatan untuk menyerap makanan sehingga timbulah diare
dan pada kondisi hipopristaltik usus menyebabkan usus memiliki peningkatan
pertumbuhan bakteri, yang selanjutnya menyebabkan diare.

2.1.4 Klasifikasi Diare


Klasifikasi diare dibagi menjadi dua yaitu diare akut dan diare kronik, bila diare
berlangsung kurang dari 2 minggu, disebut sebagai diare akut dan apabila diare
berlangsung 2 minggu atau lebih, digolongkan pada diare kronik (Amin, 2015).
2.1.4.1 Diare Akut
Diare akut merupakan suatu penyebab utama keadaan sakit pada anak-anak. Diare akut
didefinisikan sebagai suatu keadaan peningkatan atau perubahan frekuensi defekasi
secara tiba-tiba yang disebabkan oleh agen infeksi di dalam traktus gastro intestinal.
Keadaan diare seperti ini biasanya disertai dengan infeksi saluran napas atas, saluran
kemih, atau pemberian obat laktasif ataupun antibiotik. Diare akut biasanya sembuuh
sendiri dan lamanya sakit kurang dari 14 hari. Diare akut biasanya akan mereda tanpa
terapi yang spesifik jika tidak terjadi dehidrasi (Wong, 2009)
2.1.4.2 Diare Kronik
Diare kronik merupakan suatu keadaan meningkatnya frekuensi defekasi serta
kandungan air didalam feses dengan lamanya sakit lebih dari 14 hari. Diare kronis
biasanya disebabkan karena keadaan kronis seperti sindrom malabsorbsi penyakit
inflamasi usus, defisiensi kekebalan, alergi makanan, intoleransi laktosa (Wong, 2009)

2.1.5 Manifestasi Klinis Diare


Diare sering dimanifestasikan dengan sering buang air besar dengan konsistensi feses
cair atau encer lebih dari 3 kali dalam sehari. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi,
biasanya disertai dengan turgor kulit tidak elastis, ubun-ubun cekung, membran mukosa
kering. Diare ditandai dengan adanya demam, mual muntah, perubahan tanda-tanda
vital, dan penurunan produksi urin (Hockenberry & Wilson, 2009)

Universitas Indonesia
2.1.6 Komplikasi Diare
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama dari penyakit
diare, terutama terjadi pada anak-anak. Diare akut kehilangan cairan secara mendadak
dan berlebih dapat menyebabkan terjadinya syok hipovolemik sebagai akibat dari
hipokalemia dan asidosis metabolik. Pada kasus-kasus penanganan yang terlambat, syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular
Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak
tercapai rehidrasi yang optimal. Komplikasi diare yang selanjutnya adalah iritasi kulit,
iritasi ini disebabkan karena overhidrasi pada epidermis yang disebabkan kehadiran zat
iritan seperti feses cair dan gesekan pada kulit yang disertai adanya pH kulit yang
tinggi. Kehadiran enzim fecal, secara spesifik protease dan lipase, telah diidentifikasi
sebagai iritasi utama kulit, sehingga penggantian popok yang kurang tepat pada kondisi
anak diare dapat menyebabkan ruam popok pada anak (Hockenberry & Wilson, 2009 ;
Merrill, 2015)

2.2 Konsep Ruam Popok


2.2.1 Fisiologi Kulit Anak
Kulit manusia adalah jaringan kompleks yang membantu dalam perubahan
termoregulasi, mencegah kehilangan air yang tidak dapat dirasakan, bertindak sebagai
organ sensorik dan berfungsi sebagai penghalang dengan memberikan perlindungan dari
ancaman fisik, kimia dan biologis. Kulit terdiri dari tiga lapisan utama - stratum
korneum, epidermis dan dermis. Penghalang epidermal adalah fungsi dari lapisan
epidermis terluar dari stratum korneum dan bersentuhan langsung dengan lingkungan.
Kulit bagian ini adalah penghalang utama untuk kehilangan air dan permeasi oleh agen
luar (Merrill, 2015).

Anak saat di dalam rahim, pematangan lapisan stratum korneum epidermis kulit terjadi
saat usia kehamilan meningkat. Penelitian terbaru menurut Nikolovski, Stamatas,
Kollias, & Wiegand, 2008 dalam Merrill (2015) menunjukkan bahwa pematangan
penuh stratum korneum mungkin tidak lengkap sampai setelah usia satu tahun. Fungsi
lapisan stratum korneum sendiri berkembang antara 2 dan 4 minggu setelah lahir untuk

Universitas Indonesia
bayi yang lahir antara 30 dan 32 minggu. Hal ini membuat bayi yang lahir prematur
sangat sensitif terhadap ruam popok.

Kulit, yang ditemukan di bawah lapisan epidermal, mengandung jaringan ikat, folikel
rambut, kelenjar sebaceous, kelenjar keringat, pembuluh darah dan pembuluh limfatik.
Dermis dan epidermis yang berlabuh bersama dengan matriks serabut kolagen. Pada
anak-anak, dermis lebih tipis dan kurang berkembang dibandingkan pada orang dewasa.
Serat kolagen lebih pendek dan kurang padat dan sifat kohesi dan adhesi sel epidermis
tidak sepenuhnya berkembang. Hal ini membuat epidermal-dermal junction lebih lemah
dibandingkan dengan yang ditemukan pada kulit dewasa. Perkembangan sifat asam dari
lapisan luar kulit, atau mantel asam, penting untuk fungsi permeabilitas penghalang dan
pertahanan antimikroba pada kulit. Kehadiran barier berfungsi penuh di stratum
korneum dan mantel asam yang mendekati orang dewasa, yang berfungsi untuk
membantu melindungi kulit anak dari iritasi dan mikroba yang dapat menyebabkan
ruam popok (Merrill, 2015).

2.2.2 Definisi Ruam Popok


Ruam popok merupakan salah satu kondisi kulit yang mengalami peradangan
(dermatitis) yang muncul berupa kemerahan pada bagian bokong anak. Ruam popok
biasanya dikaitkan dengan popok yang basah atau jarang diganti, sensitivitas kulit, dan
lecet. Pada umumnya ruam popok terjadi pada anak (Stamatas, 2013). Ruam popok
pada anak merupakan kelainan kulit berupa iritasi yang terjadi pada area kulit yang
tertutup oleh popok (Puspitasari, 2017). Muktiarti (2016) menyatakan bahwa kemerahan
pada area bokong dan lipatan paha pada anak yang memakai popok disebut dengan
ruam popok. Simpulannya adalah kondisi kulit yang mengalami kemerahan atau iritasi
yang terjadi pada area perianal atau bagian tertutup dengan popok disebut dengan ruam
popok.

2.2.3 Patofisiologi Ruam Popok


Menurut Merill (2015) ruam popok disebabkan karena adanya kontak iritan yang
bersifat bersifat multifaktorial. Hal tersebut menyebabkan kulit di area popok cenderung
mudah terkena iritasi yang disebabkan oleh overhidrasi pada epidermis, serta kehadiran
zat iritan seperti urin atau feses dan gesekan pada kulit yang disertai adanya pH kulit
yang tinggi. Kehadiran urin dapat menyebabkan overhidrasi kulit, membuat permukaan
Universitas Indonesia
kulit lebih rapuh dan meningkat permeabilitas kulit oleh iritasi. Penyebab kedua yaitu
kehadiran enzim fecal, secara spesifik protease dan lipase, telah diidentifikasi sebagai
iritasi utama kulit, sementara garam empedu meningkatkan kerusakan enzim feses.
Faktor-faktor ini dapat menyebabkan gangguan dalam integritas kulit, secara spesifik
sehingga penghalang epidermis di stratum corneus, menyebabkan kerusakan pada sawar
kulit, menghasilkan inflammasi.

2.2.4 Klasifikasi Ruam Popok


Klasifikasi ruam popok menurut Merril (2015) dibedakan berdasarkan penyebabnya
diantaranya yaitu :
2.2.4.1 Ruam Popok chaffing atau gesekan
Ruam ini adalah bentuk dermatitis popok ringan yang paling umum yang
mempengaruhi sebagian besar anak pada beberapa titik waktu. Ruam ini terjadi di
daerah di mana gesekan dari popok yang paling umum, termasuk permukaan bagian
dalam paha, pantat, perut, dan permukaan daerah genital. Ruam ini ditandai dengan
kemerahan ringan di area yang terkena dan cepat sembuh dengan sendirinya dengan
penggantian popok yang sering, memastikan popok tidak terlalu ketat, dan dengan
kebersihan popok yang baik.
2.2.4.2 Ruam popok kontak iritan
Ruam ini penyebab paling umum dari ruam popok, ruam ini biasanya ditemukan di
lipatan gluteal, pantat, perianal dan daerah kemaluan. Ini juga bisa termasuk daerah
perut bagian bawah serta area paha atas. Ruam popok kontak iritan dapat berkisar dalam
keparahan dari kasus ringan, dengan eritema lokal ringan dan skala minimal, pada kasus
ruam popok sedang, adanya peningkatan eritema serta papula hingga ke daerah yang
terkena, dan akhirnya ke kasus yang lebih parah di mana kulit pada area popok memiliki
papula, pustula dan kerusakan kulit dengan area terbuka.
2.2.4.3 Ruam popok yang rumit dengan kehadiran Candida albicans
Ruam popok ini muncul sebagai ruam kulit yang menonjol, merah, dan adanya lesi.
Ruam ini sering terjadi hingga ke lipatan kulit di daerah popok. Daerah yang terkena
juga merupakan area kulit yang terbuka dan bukan area tertutup dengan popok. Setiap
kali ruam popok gagal untuk merespon pengobatan, ruam popok candida harus
dipertimbangkan sebagai penyebab alternatif dari ruam yang muncul. Karena penyebab

Universitas Indonesia
C. albicans merupakan sumber utama untuk ruam popok kandida (Merrill, 2015 :
Elfaituri, 2016)
Berikut ini adalah derajat ruam popok dibagi menjadi 5 menurut Merrill (2015) yaitu :

Gambar 2.1 Derajat Slight Gambar 2.2 Derajat Mild

Sumber : (Merrill, 2015) Sumber : (Merrill, 2015)


Gambar 2.3 Derajat Moderate Gambar 2.4Moderate Severe

Sumber : (Merrill, 2015) Sumber : (Merrill, 2015)


Gambar 2.5 Derajat Severe

Sumber : (Merrill, 2015)


2.2.5 Manifestasi Klinis Ruam Popok
Manifestasi klinis ruam popok diantaranya adalah adanya kemerahan pada area
penggunaan popok, seperti lecet, atau luka ringan pada kulit, mengkilat, terkadang mirip
luka bakar, timbul bintik – bintik merah, berair dan bengkak pada daerah yang paling
lama kontak dengan popok seperti area paha, bokong, perianal, serta paha bagian dalam,
dan lingkar pinggang (Stamatas, 2013 ; Maryunani, 2010).

Universitas Indonesia
2.2.6 Komplikasi Ruam Popok
Komplikasi dari ruam popok pada umumnya jarang terjadi karena kondisi ini mudah
diobati dengan praktik perawatan kulit yang baik. Ruam popok apabila tidak ditangani,
dapat memiliki komplikasi seperti adanya peningkatan nyeri, peningkatan keparahan
kerusakan kulit dan peningkatan infeksi jamur dan bakteri. Salah satu contohnya adalah
ruam popok erosi, yang merupakan bentuk parah dari ruam popok tidak ditangani
dengan munculnya ulserasi atau erosi (Merrill, 2015). Hal tersebut sehingga diperlukan
untuk penanganan perawatan kulit yang tepat.

2.3 Konsep Perawatan Perianal


2.3.1 Definisi Perawatan Perianal
Perawatan kulit merupakan suatu perawatan yang dilakukan pada area sekitar kulit
dengan tujuan untuk menjaga kesehatan kulit, khususnya pada area kulit sensitif anak
(Maryunani, 2010). Perawatan kulit yang dilakukan untuk mencegah dan menangani
masalah ruam popok disebut dengan perawatan perianal dengan tujuann untuk menjaga
kulit agar tetap bersih dan kering (Merrill, 2015 ; Herman & Komitsuru, 2014).
Perawatan perianal adalah suatu rangkaian perawatan yang dilakukan disekitar area
perianal (Herman & Komitsuru, 2014).

2.3.2 Tujuan Perawatan Perianal


Menurut Syapitri, Siregar, & Ginting (2017) tujuan perawatan kulit adalah untuk
membantu mempercepat proses penyembuhan luka serta membantu luka untuk
beregenerasi. Tujuan perawatan perianal adalah untuk menjaga kesehatan kulit,
khususnya pada area kulit sensitif serta memberikan rasa nyaman pada anak
(Maryunani, 2010). Tujuan perawatan luka hususnya pada perianal menurut Merrill
(2015) adalah untuk penyembuhan luka ruam popok. Hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Chasanah & Umamah (2017) pada penelitian Perawatan Perianal
dengan Babby Oil Menurunkan Kejadian Diaper Dermatitis pada Neonatus di Ruang
Neonatus RSUD Sidoarjo, dengan hasil penelitian menggunakan uji statistik Mann
Whitney bahwa ada perbedaan yang bermakna antara anak yang dilakukan perawatan
kulit perianal dengan anak yang tidak dilakukan perawatan terhadap pencegahan
dermatitis deapers.

Universitas Indonesia
2.3.3 Fase Penyembuhan Luka
Secara fisiologis fase penyembuhan luka terdapat 4 fase yaitu :
2.3.3.1 Homeostasis : beberapa detik setelah terjadinya luka pada tipe apapun, respon
tubuh akan melakukan penyempitan pembuluh darah (konstriksi) untuk menghambat
perdarahan dan mengurangi pajanan terhadap bakteri. Pada saat yang sama, protein
membentuk jaringan fibrosa untuk menutup luka. Ketika trombosit bersama protein
menutup luka, dan membentuk fibrin. Setelah 10-30 menit setelah terjadinya luka,
pembuluh darah melebar karena serotonin yang dihasilkan trombosit. Plasma darah
mengaliri luka dan melawan toxin yang dihasilkan microorganisme, membawa oksigen
dan nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka dan membawa agen fagosit untuk
melawan bakteri maupun jaringan yang rusak.
2.3.3.2 Inflamasi : Bagian luka akan menjadi hangat dan merah karena aprose
fagositosis. Tujuan inflamasi adalah untuk membatasi efek bakteri dengan menetralkan
toksin dan penyebaran bakteri.
2.3.3.3 Proliferasi/resolusi : penumpukan deposit kolagen pada luka, angiogenesis
(pembentukan pembuluh darah baru), proliferasi dan pengecilan lebar luka. Fase ini
berhenti 2 minggu setelah terjadinya luka, tetapi proses ini tetap berlangsung lambat 1-
2 tahun. Fibroblast mensistesis kolagen dan menumbuhkan sel baru. Miofibroblas
menyebabkan luka menyempit.
2.3.3.4 Remodeling/rekontruksi : fase terakhir penyembuhan dengan remodelling.
Biasanya terjadi selama setahun atau lebih seteleh luka tertutup. Selama fase ini fibrin di
bentuk ulang, pembuluh darah menghilang dan jaringan memperkuat susunannya.
Remodeling ini mencakup sintesis dan pemecahan kolagen
(Orsted, Keast, Lalande, & Megie, 2013 ; Morison, 2004)

Luka ruam popok menurut Merrill (2015) jenis luka tersebut merupakan luka pada
kategori yang menciderai area epidermis, yang disebabkan oleh adanya gesekan antara
kulit dengan popok. Menurut Morison (2004) luka yang terjadi akibat kulit bergesekan
dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam disebut dengan luka
iritasi (Abraded Wound). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari,
Alfitri, Indriati (2016) bahwa proses penyembuhan luka pada kasus diaper rash (iritasi)
apabila dilakuakan dengan rutin dan teknik yang benar proses penyembuhannya terbukti
mampu teratasi dalam waktu kurang dari 7 hari.
Universitas Indonesia
2.3.4 Teknik Perawatan Perianal

Menurut Merrill (2015) adapun cara praktis untuk mencegah dan menangani ruam
popok pada anak adalah :

2.3.4.1 Udara
Ekspos area popok sering ke udara sebanyak mungkin; biarkan anak memiliki waktu
bebas popok dan lakukan perawatan dimulai dengan penggantian popok yang sering,
yaitu dilakuakan segera setelah popok bayi basah atau buang air besar dan setidaknya
setiap 3-4 jam (Merrill, 2015 ; Family Practice in New York, 2015; Janeiro, 2009).
Rangakaian ini dilakukan oleh penulis dengan cara memastikan ibu untuk mengganti
popok anak per empat jam melalui pembuatan jadwal penggantian popok atau
mengganti popok sesegera mungkin bila anak BAB, dan popok sudah penuh.
2.3.4.2 Barrier
Terapkan krim penghalang (zinc oxide atau petrolatum) ke daerah popok untuk bayi
yang berisiko terkena dermatitis popok atau setiap kali dermatitis popok hadir.
Pemberian pasta zinc oxide, petroleum jelly, dan vitamin A dan salep D dapat diberikan
setiap setelah penggantian popok hal ini diharapkan untuk menjaga integritas dan
melindungi kulit pada anak yang sudah terkena ruam popok dengan derajat ringan.
Anak yang sudah terkena ruam popok dengan derajat yang lebih berat dapat diberikan
terapi kombinasi agen antijamur steroid yang tidak mengandung steroid yang lebih kuat
dari hidrokortison (misalnya, klotrimazol / betametason). Steroid topikal yang paten
dapat menyebabkan erosi striae dan kulit, supresi penekanan hipotalamus-pituitari-
adrenal, dan sindrom Cushing, sehingga lebih dianjurkan dengan menggunakan
clotrimazole dan miconazole setelah setiap penggantian popok sampai ruam
terselesaikan (Merrill, 2015 ; Family Practice in New York, 2015). Rangkaian kedua,
penulis mengaplikasikan rangkaian ini dengan cara memberikan salep zink 3x1 (oles).
2.3.4.3 Teknik Pembersihan
Teknik membersihkanya yaitu dilakukan dengan lembut pada area yang terkena dengan
air keran hangat, bukan tisu komersial yang mengandung alkohol dan menghindari
menggosok kulit yang halus secara keras. Secara lembut bersihkan area popok dengan
air dan lap kain yang lembut (Merrill, 2015 ; Family Practice in New York, 2015 : :
American Academy of Pediatrics, 2013). Rangkaian ketiga penulis melakukan
rangkaian ini dengan cara membersihkan area perianal menggunakan kapas diberi air,
Universitas Indonesia
dengan teknik pembersihan dari area bersih ke kotor dengan sekali usap. Rangkaian ini
dilanjutkan dengan pengeringan area perianal sebelum memakaikan popok pada anak.
penulis tidak menyarankan kepada ibu, untuk membersihkan area perianal dengan tisu
basah.
2.3.4.4 Pendidikan Kesahatan
Berikan pendidikan kesehatan kepada ibu mengenai kebersihan popok dan perawatan
kulit yang baik. Ibu diharapkan menghindari produk dengan wewangian atau pengawet
untuk meminimalkan kemungkinan respons alergi (Merrill, 2015 ; Family Practice in
New York, 2015). Penulis memberikan edukasi berupa definisi ruam popok, penyebab
ruam popok, tanda dan gejala ruam popok, dampak ruam popok dan teknik perawatan
perianal. Pendidikan kesehatan ini dilakukan saat anak teridentifikasi ruam popok oleh
penulis, selanjutnya penulis setiap harinya mengevaluasi pengetahuan ibu mengenai apa
yang telah perawat ajarkan.

Universitas Indonesia
2.3.5 Web of Causation

Faktor Psikologis Faktor Malabsorbsi Faktor Lingkungan Faktor Infeksi

Mempengaruhi gerakan motilitas


Makananusustidak dapat diserap oleh usus Kurang hygienis
Toksin di dinding usus

Tekanan osmotik didalam rongga usus meningkat


hiperpristaltik
peningkatan sekresi dan elektrolit ke dalam rongga

Penyerapan usus menurun


Pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus

BAB lebih dari 3 kali dengan konsistensi cair


Tekanan didalam rongga usus meningkat

diare
langan cairan dan elektrolit berlebihan

overhidrasi pada epidermis perianal Gesekan pada kulit


Mengiritasi usus halus, produksi enterotoksin di usus halus

CES tiba-tiba hilang secara cepat


ReaksiMerangsang
inflamasi serotonin, prostagladin, bradikinin disekitar area radang
Ruam popok

etidak seimbangan cairan & elektrolit


Netrofil dan makrofag memfagosit
TNF
Risiko kerusakan integritas kulit
Nyeri abdomen
ilangnya cairan didalam intraseluler
Aktivasi interleukin -1 (patogen endogen)
Menekan selera makan dan kerja lipoprotein lipase

Nyeri akut

Volume sirkulasi menurun Aktivasi sitokinin & prostagladin

Mual muntah
Defisit vol. cairan Suhu tubuh meningkat

Universitasnutrisi
Ketidak seimbangan Indonesia
kurang dari kebutuhan t
Intake inadekuate
hipertermia
BAB 3
LAPORAN PENGELOLAAN KASUS

Bab tiga pada penulisan karya ilmiah akhir ners ini penulis akan menguraikan tentang
gambaran kasus yang terdiri dari kasus 1, kasus 2, serta kasus 3, dan asuhan
keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan, intervensi,
implementasi dan evaluasi.
3.1 Gambaran Kasus
Kasus 1
An. A.N usia 8 bulan, jenis kelamin laki-laki dirawat diruang perawatan anak gedung A
lantai 1 RSCM sejak tanggal 27 April 2018 dengan diagnosa medis diare akut dehidrasi
sedang, sindrom down, penyakit jantung bawaan (PJB), dan laringo malaise. Pengkajian
awal dilakukan pada tanggal 1 Mei 2018, dengan keluhan utama diare, batuk, muntah-
munta dan ada iritasi di bokong. Berdasarkan pengkajian lanjutan, ibu klien mengatakan
anaknya diare 4 kali ampas cair, muntah susu sebanyak 2 kali, batuk berdahak susah
dikeluarkan dan ada ruam popok. Ibu klien juga mengatakan bahwa klien diare akibat
ganti susu, sebelumnya menggunakan susu LLM dan ganti dengan SGM. Obat-obatan
saat ini cefotaxime 3 x 200 mg intravena, domperidone 3 x 2 mg peroral, zink 1 x 20
mg peroral, omeprazole 1 x 6 mg peroral, dan nacl 0,9% 3 x 5 ml inhalasi, zink zalf 3x1
topikal.

Hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum klien saat ini : sakit sedang dan kesadaran cm,
mukosa bibir sedikit kering, turgor kulit : elastis, ubun-ubun datar, mata tampak cekung.
BB klien saat ini: 7,2 kg dengan BB sebelumnya 7,4 kg, suara nafas ronchi, klien
tampak sering batuk dan muntah lendir campur susu, sianosis bila anak menangis. Area
genetalia tampak kemerahan pada area perianal derajat 1. Ibu klien mengatakan
membersihkan area bokong dengan tisue basah beli di minimarket, dan cara
membersihkan dari bawah keatas. Ibu mengatakan mengganti popok biasanya saat
popok anak penuh, saat ini saat anak BAB. Hasil pemeriksaan TTV : nadi : 121 x/mnt,
RR : 44x/mnt, suhu : 36,90c, SaO2 : 98%. Hasil pemeriksaan penunjang pada tanggal 30
April 2018 adalah : Natrium : 137 mEq/L, Kalium : 4,7 mEq/L, Clorida : 108 mEq/L.
Diit klien susu LLM 8 X 125 cc, pola eleminasi klien BAB : 1-2 x/hari BAK : 5x/hari

Universitas Indonesia
dan saat sakit BAB saat ini 6x/hari konsistensi cair, BAK 5x/hari. Hasil perhitungan
balance cairan : +160cc dengan intake : 1240cc dan output : 1080cc

Kasus 2
An. L.C berusia 6 bulan, jenis kelamin perempuan dirawat diruang perawatan anak
gedung A lantai 1 RSCM sejak tanggal 14 Februari 2018 dengan diagnosa medis diare
akut, hidrosefalus kongenital on VP Shunt, ISK Infeksi VP Shunt. Pengkajian awal
dilakukan pada tanggal 4 Mei 2018, keluhan utama diare, batuk, dan ada iritasi bokong.
Hasil pengkajian lanjutan : ibu mengatakan anaknya diare sejak tanggal 1 Mei 2018 hari
selasa, BAB cair lebih dari 5 kali, berwarna kuning bercampur dengan lendir. Ibu
mengatakan anaknya terdapat ruam popok sejak anaknya diare, derajat 1. Ibu
mengatakan anaknya ada batuk kurang lebih sudah ada dari 5 hari yang lalu. Riwayat
penyakit dahulu, klien terdiagnosis hidrosefalus saat usia satu setengah bulan,
berdasarkan hasil CT-Scan kepala dan terdapat perdarahan otak, saat ini sudah
terpasang VP shunt.

Obat-obatan yang digunakan selama dirawat donperidone 3 x 2 ml peroral, ranitidine 3


x 15 mg peroral, paracetamol syrup 3 x 3,5 ml peroral, kortimoksazole 2 x 6,25 mg
peroral, nacl 0,9% 3 x 5 ml inhalasi. Ibu mengatakan untuk ruam popok diberikan
cream switzall baby cream 3x1 dan dengan acc dokter. Hasil pemeriksaan fisik keadaan
umum saat ini sakit sedang, tinggi badan : 60 cm, berat badan 6 kg, lingkar kepala 50
cm. Turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab, suara paru : ronchi kasar, mata tidak
tampak cekung, CRT : 1 detik. Genetalia tampak adanya kemerahan pada area perianal,
ruam popok derajat 1. TTV : nadi : 123x/mnt, suhu : 36,5 0C, RR : 47x/mnt, dan SaO2 :
99%. Hasil pemeriksaan penunjang pada tanggal 4 mei 2018 Natrium : 133 mEq/L,
Kalium : 5,6 mEq/ L, dan Clorida : 135mEq/L. Kultur cairan serebrospinal tanggal 6
april 2018 : hasil tidak ada pertumbuhan mikroorganisme.

Hasil Ct scan kepala pada tanggal 14 februari 2018 dengan kesan : VP Shunt dengan
akses dari parietal kanan dan tiap ruang di subaracnoid diregio temporal kanan. Tidak
tampak fraktur pada VP shunt di intra dan ektra kranial. Midrocepalus non komunikan
dengan edema serebri. Hasil CT scan pada tanggal 15 Februari 2018, dengan kesan :
posisi rip VP shunt di periventrikel lateralis kanan kordis temporal. Tidak tampak lagi
perdarahan interaparenkim lobus temperoparietal kanan. Hasil foto torak pada tanggal
Universitas Indonesia
14 februari 2018 dengan kesan : infiltrat di perihiliar paru kanan kiri. Foto torak tanggal
3 mei 2018 proyeksi AP kesan : infiltrat di kedua lapang paru berkurang dan CVC
dengan tip suspek berada di proyeksi atrium kanan.

Kebutuhan dasar klien, diit klien cair Infantrini 8 x 75 cc/NGT. toleransi minum baik,
muntah tidak ada. Pola eleminasi, klien BAK menggunakan diapers, frekuensi 6-7x/
hari berwarna kuning jernih. Pola BAB saat sebelum sakit, ibu klien mengatakan klien
BAB 1-2x/hari konsistensi lembek, saat ini klien BAB 6 x/hari konsistensi cair,
berlendir berwarna kuning. Pola kebersihan klien, klien mandi sehari 2 kali dan ibu
biasa mebersihkan area genetalia dengan tisue basah, popok diganti bila anak BAB atau
saat penuh, sebelum diare biasa ganti popok sehari 4-5 kali. Balance cairan : -158,4/24
jam. Intake : 368cc dan output :627,4cc.

Kasus 3

An. M.I berusia 1 tahun, jenis kelamin laki-laki dirawat diruang perawatan anak gedung
A lantai 1 RSCM dengan diagnosa medis diare akut dehidrasi sedang, Cilous asites,
hipoalbumin. Saat dikaji keluhan utama sesak, bengkak di kaki tangan dan perut
semakin membuncit, diare, dan ada iritasi bokong. Pengakajian lanjutan yaitu ibu klien
mengatakan diare lebih dari 10 kali ampas cair dan berwarna kahijauan serta berlendir.
Ibu mengatakan anaknya ada batuk, bengkak-bengkak di kaki, tangan dan skrotum serta
ada ruam popok. Riwayat penyakit ibu klien mengatakan anaknya sering keluar masuk
RS untuk dirawat karena sesak dan bengkak berulang serta ada riwayat gizi buruk dan
pernah sedot cairan

Riwayat masa lampau, ibu klien mengatakan anaknya lahir dengan normal dan tidak
tampak ada masalah, namun saat usia 6 bulan klien tampak kurus, berat badan tidak
naik dan ada bengkak-bengkak. Ibu klien mengatakan anaknya rutin kontrol dan berobat
dan pernah dilakukan punksi asites serta tranfusi albumin. Obat-obatnya yang biasa
dikonsumsi di rumah furosemid. Obat-obatan saat ini cefosulbactam 8 x 200 mg
(intravena), spironolakton 2 x 6,25 mg (peroral), fluimucyl 3 x 40 mg (peroral) zink zalf
3x1 (topikal), inhalasi NaCl 0,9% 3 x 5cc.

Hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum klien sakit sedang, BB : 5,7 Kg, Tinggi Badan :
60 cm, LILA : 7,6 cm dan lingkar kepala : 40 cm. Mata : tampak simetris, konjungtiva

Universitas Indonesia
sedikit anemis, udem palpebra, sklera anikhterik. Hidung : tidak tampak ada sumbatan,
hidung tampak bersih. Mulut : mukosa bibir sedikit kering, gigi tampak karies, lidah
sedikit kotor. Dada : pengembangan dada simetris, suara nafas vesikuler sonor, suara
jantung normal, tidak ada galop dan mur-mur. Abdomen tampak asites, integumen, kulit
tampak sedikit keriput dan kurang elastis serta kering. Area genetalia : terdapat ruam
popok pada perianal derajat 1-2. Ibu klien mengatakan mengganti popok anaknya tiap
anak BAB, bila tidak BAB tidak ganti karena pipis hanya sedikit. Ibu mengatakan
membersihkan setelah ganti popok dengan tisue basah, dan ganti popok tergantung anak
BAB. Tanda-tanda vital nadi : 140x/menit, RR : 60 x/menit, Suhu : 36,8 0c, SaO2 : 98%
sianosis tidak ada. CRT 1 detik.

Hasil pemeriksaan penunjang pada tanggal 6 mei 2018 hemoglobin : 12,3 g/dL,
Hematokrit : 37,2 %, lekosit : 12.300/ᶬL, Trombosit : 383.000/ᶬL, albumin : 2,8 g/dL.
Kebutuhan dasar klien, diit cair 8 x 120cc. Kondisi ketika dirumah klien makan biasa
dengan mengunakan alat makan anak. Pola BAB saat kondisi sehat klien BAB 1-2
kali/hari konsistensi lunak, saat ini pola BAB lebih dari 6 x/hari konsistensi cair. Pola
BAK saat ini ibu klien mengeluhkan klien BAK jarang dan tidak banyak kurang lebih
20 cc saat ditimbang. Balance cairan : +302cc deuresis : 0,8cc/kbBB/24 jam

3.2 Masalah Keperawatan

Berdasarkan analisa data dari hasil pengkajian yang telah dilakukan, maka dapat
ditegakkan beberapa masalah keperawatan. Masalah keperawatan yang ditemukan pada
ketiga klien tersebut diantaranya adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas,
ketidakefektifan pola nafas, kelebihan volume cairan, ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh, diare, kerusakan integritas kulit, risiko kurang volume cairan, dan
risiko gangguan perfusi jaringan serebral. Diagnosa keperawatan yang telah ditegakkan
pada kasus 1 adalah ketidak efektifan bersihan jalan nafas b.d sekresi tertahan, risiko
defisit volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh b.d output berlebih akibat adanya
muntah dan diare, diagnosis yang ketiga adalah kerusakan integritas kulit b.d lembab
akibat adanya diare.

Diagnosis keperawatan yang telah ditegakkan pada kasus 2 yaitu ketidak efektifan
bersihan jalan nafas b.d peningkatan akumulasi sekret, kerusakan integritas kulit b.d

Universitas Indonesia
lembab akibat adanya diare, risiko gangguan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan
tekanan intra kranial (TIK), dan risiko defisit volume cairan b.d out berlebih akibat
adanya diare. Diagnosis keperawatan yang ditegakkan pada kasus 3 adalah ketidak
efektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi paru, ketidak seimbangan volume cairan
lebih dari kebutuhan tubuh b.d malnutrisi, ketidak seimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d ketidak mampuan pemasukan absorbsi zat-zat gizi akibat faktor
biologis, diare b.d fisiologis : malabsorbsi dan kerusakan integritas kulit b.d lemabab
akibat adanya diare.

3.3 Rencana Tindakan Keperawatan

Perencanaan tindakan keperawatan di rumah sakit untuk mengatasi risiko kerusakan


integritas kulit yaitu dengan melakukan tindakan perawatan kulit. Proses perencanaan
yang dilakukan kepada ketiga klien tersebut diantaranya adalah mengidentifikasi
kebutuhan klien, memberikan edukasi, memberikan intervensi serta mengevaluasi
secara keseluruhan untuk mengetahui proses perbaikan klien berkaitan dengan
intervensi dari masalah keperawatan yang ada. Proses intervensi yang diberikan kepada
klien terkait risiko kerusakan integritas kulit untuk mengatasi ruam popok, diantara
adalah dengan memberikan edukasi berupa informasi mengenai ruam popok, perawatan
perianal, teknik perawatan ruam popok, pemberian obat topikal, hingga perawatan
ruam popok dirumah. Rencana tindakan keperawatandalam rangka mengurangi risiko
kerusakan integritas kulit perawat perlu melakukan observasi dan edukasi yang
dilakukan pada ketiga kasus tersebut.

Kasus 1

Masalah yang diangkat pada kasus ini adalah masalah prioritas dan 2 masalah risiko,
diantaranya yaitu : ketidak efektifan bersihan jalan nafas b.d sekresi tertahan, risiko
defisit volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh b.d output berlebih akibat adanya
muntah dan diare, diagnosis yang ketiga adalah kerusakan integritas kulit b.d lembab
akibat adanya diare. Masalah prioritas pertama yaitu ketidak efektifan bersihan jalan
nafas, intervensi yang diberikan pada kasus dengan diagnosa keperawatan ini
diantaranya adalah manajemen jalan nafas dengan aktivitas yaitu : posisikan anak pada
ventilasi yang maksimal (fowler atau semifowler), auskultasi suara nafas dan catat

Universitas Indonesia
adanya suara nafas tambahan, monitoring status oksigenasi dan respirasi, berikan
oksigen 1 lpm bila saturasi kurang dari 90% nafas >60x/menit, berikan inhalasi nacl
0,9% 5 cc/ 8 jam. Intervensi yang kedua yaitu pencegahan aspirasi dengan aktivitas
monitoring adanya reflek muntah, batuk, dan menelan, atur posisi fowler dan semi
fowler, cek posisi NGT sebelum makan dan ajarkan kepada orang tua, cek residu NGT
sebelum makan dan jangan memberikan makan NGT bila residu masih banyak.
Intervensi yang ketiga yaitu monitoring tanda –tanda vital dengan aktivitas yaitu
monitor nadi, respirasi rate, suhu dan suara nafas / 8 jam, monitoring suara jantung dan
ritmenya / 24 jam, monitoring adanya sianosis/ shift.

Perencanaan tindakan keperawatan pada diagnosa keperawatan risiko defisit volume


cairan yang pertama yaitu managemen cairan dengan aktivitas : observasi dan berikan
edukasi orang tua untuk timbang popok tiap mengganti dengan yang baru, pertahankan
dan catat intake dan output secara akurat pershift, monitoring status hidrasi (kelembapan
mukosa bibir dan elastisitas turgor kulit) per shift, monitoring tanda-tanda vital per 8
jam, monitoringmasukan makanan dan cairan serta observasi adanya muntah.
Intervensi yang kedua yaitu hipovolemia managemen dengan aktivitas : monitoring
status cairan termasuk intake dan output per shift, monitoring tanda-tanda vital per 8
jam, dan monitoring berat badan melalui penimbangan per minggu tiap hari jum’at pagi.

Perencanaan tindakan keperawatan dengan diagnosis yang ketiga yaitu risiko kerusakan
integritas kulit. Intervensi pertama yang diberikan adalah perawatan perianal,
monitoring kulit adanya kemerahan (ruam popok) pershift, mandikan anak dengan
sabun dan air hangat, berikan salep zink 3x per hari, berikan edukasi cara perawatan
perianal, monitoring penggantian popok per 4 jam. Intervensi yang kedua yaitu skin
survaillance dengan aktivitas observasi perubahan warna kulit area ruam popok per
shift, monitoring adanya ruam. Intervensi yang ketiga adalah wound care dengan
aktivitas oleskan salep zink 3 x per hari, motivasi ibu dalam pemberian minum anak
untuk menjaga kelembapan kulit anak.

Kasus 2

Universitas Indonesia
Masalah yang diangkat pada kasus ini telah diangkat 1 masalah prioritas dan 3 masalah
risiko, diantaranya yaitu : ketidak efektifan bersihan jalan nafas b.d sekresi tertahan,
risiko gangguan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan intrakranial, risiko
defisit volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh b.d output berlebih akibat adanya
diare, diagnosis yang keempat adalah kerusakan integritas kulit b.d lembab akibat
adanya diare. Masalah prioritas pertama yaitu ketidak efektifan bersihan jalan nafas,
intervensi yang diberikan pada kasus dengan diagnosa keperawatan ini diantaranya
adalah manajemen jalan nafas dengan aktivitas yaitu : posisikan anak pada ventilasi
yang maksimal (fowler atau semifowler), auskultasi suara nafas dan catat adanya suara
nafas tambahan, monitoring status oksigenasi dan respirasi, berikan oksigen 1 lpm bila
saturasi kurang dari 90% nafas >60x/menit, berikan inhalasi nacl 0,9% 5 cc/ 8 jam.
Intervensi yang kedua yaitu pencegahan aspirasi dengan aktivitas monitoring adanya
reflek muntah, batuk, dan menelan, atur posisi fowler dan semi fowler, cek posisi NGT
sebelum makan dan ajarkan kepada orang tua, cek residu NGT sebelum makan dan
jangan memberikan makan NGT bila residu masih banyak. Intervensi yang ketiga yaitu
monitoring tanda –tanda vital dengan aktivitas yaitu monitor nadi, respirasi rate, suhu
dan suara nafas / 8 jam, monitoring suara jantung dan ritmenya / 24 jam, monitoring
adanya sianosis/ shift.

Perencanaan tindakan keperawatan yang kedua dengan diagnosis risiko gangguan


perfusi jaringan serebralyaitu intervensi monitoring tanda-tanda vital dengan aktivitas :
ukur nadi, respiratori rate, suhu, saturasi per 8 jam, dan hitung frekuensi pernafasan
serta denyut jantung. Intervensi yang kedua yaitu managemen sensasi perifer dengan
aktivitas : observasi dan instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lesi
atau laserasi, monitoring adanya tromboplebitis/ shift, monitoring kemampuan BAB dan
respon mengejan. Intervensi yang ketiga adalah managemen edema serebral dengan
aktivitas : monitoring ketat status neurologis klien/ shift, monitoring tanda-tanda vital /
8 jam, monitor dan catat pengeluaran CSF (warna, jumlah, kejernihan dan konsistensi),
monitoring periode istirahat anak, monitoring intake dan output / shift, lakukan
pencegahan kejang dengan memantau suhu tubuh anak agar tetap stabil. Intervensi yang
keempat adalah monitoring tekanan intra kranial dengan aktivitas yaitu monitoring suhu
dan kadar leukosit, posisikan kepala 15-45o, dan berikan antibiotik ceftriaxone 1 x 600
mg intravena.
Universitas Indonesia
Perencanaan tindakan keperawatan pada diagnosa keperawatan risiko defisit volume
cairan yang pertama yaitu managemen cairan dengan aktivitas : observasi dan berikan
edukasi orang tua untuk timbang popok tiap mengganti dengan yang baru, pertahankan
dan catat intake dan output secara akurat pershift, monitoring status hidrasi (kelembapan
mukosa bibir dan elastisitas turgor kulit) per shift, monitoring tanda-tanda vital per 8
jam, monitoringmasukan makanan dan cairan serta observasi adanya muntah.
Intervensi yang kedua yaitu hipovolemia managemen dengan aktivitas : monitoring
status cairan termasuk intake dan output per shift, monitoring tanda-tanda vital per 8
jam, dan monitoring berat badan melalui penimbangan per minggu tiap hari jum’at pagi.

Perencanaan tindakan keperawatan dengan diagnosis yang keempat yaitu kerusakan


integritas kulit. Intervensi pertama yang diberikan adalah perawatan perianal dengan
aktivitas: anjurkan anak untuk memakai pakaian yang longgar, jaga kebersihan area
perianal agar tetap bersih dan kering, lakukan mobilisasi anak tiap 2 jam, monitoring
kulit adanya kemerahan (ruam popok) pershift, mandikan anak dengan sabun dan air
hangat, berikan edukasi cara perawatan perianal, monitoring penggantian popok per 4
jam. Intervensi yang kedua yaitu skin survaillance dengan aktivitas observasi perubahan
warna kulit area ruam popok per shift, monitoring adanya ruam. Intervensi yang ketiga
adalah wound care dengan aktivitas oleskan motivasi ibu dalam pemberian minum anak
untuk menjaga kelembapan kulit anak, kolaborasikan dalam pemerian salep zink.

Kasus 3

Masalah yang diangkat pada kasus diantaranya 4 masalah prioritas dan 1 masalah risiko,
diantaranya yaitu : ketidak efektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi, ketidak
seimbangan volume cairan lebih dari kebutuhan tubuh b.d malnutrisi, ketidak
seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidak mampuan pemasukan
absorbsi zat-zat gizi akibat faktor biologis, diare b.d fisiologis : malabsorbsi dan
kerusakan integritas kulit b.d lembab akibat adanya diare. intervensi yang diberikan
pada kasus dengan diagnosa keperawatan ketidak efektifan pola nafas diantaranya
adalah managemen airway dengan aktivitas : posisikan pasien semi fowler, auskultasi
suara nafas serta catat adanya penurunan daerah ventilasi atau tidak adanya suara suara
adventif, monitoring pernafasan dan status oksigen klien. Intervensi yang kedua yaitu
terapi oksigen dengan aktivitas : mempertahankan jalan nafas paten, berikan oksigen
Universitas Indonesia
nasal 1 liter permenit atau sesuai instruksi kolaborasi dokter, monitoring aliran oksigen /
shift. Intervensi yang ketiga yaitu monitoring respirasi dengan aktivitas monitoring
kepatenan, ritme kedalaman dan usaha saat bernafas/ shift, catat pergerakan dada, serta
kaji adanya penggunaan otot bantu nafas, monitoring suara nafas, dan monitoring pola
nafas (bradipnea, takipnea, dan hiperventilasi)

Perencanaan tindakan keperawatan dengan diagnosis yang kedua ketidak seimbangan


volume cairan lebih dari kebutuhan tubuh. Intervensi yang diberikan managemen
elektrolit dengan aktivitas : monitoring kadar elektrolit sesuai dengan hasil kolaborasi
bila diindikasikan, menjaga akurasi catatan asupan dan keluaran. Intervensi yang kedua
adalah monitoring elektrolit dengan aktivitas memantau tingkat serum elektrolit,
memantau albumin serum dan total protein level, monitoring kecukupan ventilasi.
Intervensi yang ketiga adalah managemen cairan dengan aktivitas : monitoring tanda-
randa vital/8jam, monitoring status gizi anak, monitoring indikasi kelebihan volume
cairan/retensi, kolaborasi dalam pemasangan punksi asites. Intervensi ke empat
pemantauan cairan dengan aktivitas monitoring berat badan tiap hari jum’at pagi.
Monitoring denyut nadi, dan status pernafasan, monitoring membran mukosa, turgor
kulit dan adanya haus. Intervensi ke lima yaitu pemantauan tanda-tanda vital dengan
aktivitas monitoring suara paru/shift, monitoring tekanan darah, denyut jantung, suhu
dan status respiratory/ 8 jam, identifikasi kemungkinan penyebab perubahan dalam
tanda-tanda vital.intervensi ke enam pencegahan syok dengan aktivitas monitoring
asites/shift, monitoring tanda-tanda vital/shift.

Perencanaan tindakan keperawatan dengan diagnosis yang ketiga, ketidak seimbangan


nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Intervensi yang pertama adalah managemen nutrisi
dengan aktivitas yaitu kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi klien, lakukan timbang BB/
minggu yang dilakukan tiap hari jum’at pagi, berikan informasi kepada ibu mengenai
pentingnya asupan nutrisi yang adekuat untuk anak, jaga kebersihan mulut anak,
anjurkan ibu untuk melakukian perawatan mulut. Intervensi kedua yaitu managemen
Nausea dengan aktivitas : kaji frekuensi mual, durasi tingkat keparahan dan penyebab
mual muntah, tinggikan posisi saat pemberian makan 30-45 0, anjurkan ibu untuk selalu
membersihkan dan mensterilkan feeding drip. Intervensi yang ketiga adalah weight

Universitas Indonesia
managemen dengan aktivitas : timbang BB/ minggu tiap hari jum’at pagi, diskusikan
kepada keluarga hal-hal yang dapat menyebabkan penurunan BB pada anak.

Perencanaan tindakan keperawatan dengan diagnosis yang keempat yaitu diare.


Intervensi yang diberikan pada diagnosis keperawatan ini adalah managemen diare
dengan aktivitas yaitu kelola pemeriksaan feses lengkap atau kultur feses sesuai hasil
kolaborasi, evaluasi pengobatan yang berefek samping gastrointestinal, evaluasi jenis
intake makanan, monitoring kulit sekitar perianal apakah adanya iritasi, ajarkan kepada
keluarga mengenai pemberian obat zink syrup, instruksikan kepada ibu untuk mencatat
warna, volume, frekuensi dan konsistensi feses. Aktivitas selanjutnya adalah monitoring
hasil laboraturium (elektrolit dan leukosit), monitoring turgor kulit, mukosa bibir,
sebagai indikator adanya dehidrasi, konsultasikan kepada ahli gizi dalam pemberian diet
yang tepat.

Perencanaan tindakan keperawatan dengan diagnosis yang kelima yaitu kerusakan


integritas kulit. Intervensi pertama yang diberikan adalah perawatan perianal dengan
aktivitas: anjurkan anak untuk memakai pakaian yang longgar, jaga kebersihan area
perianal agar tetap bersih dan kering, monitoring kulit adanya kemerahan (ruam popok)
pershift, mandikan anak dengan sabun dan air hangat, berikan salep zink 3x per hari,
berikan edukasi cara perawatan perianal, monitoring penggantian popok per 4 jam.
Intervensi yang kedua yaitu skin survaillance dengan aktivitas observasi perubahan
warna kulit area ruam popok per shift, monitoring adanya ruam. Intervensi yang ketiga
adalah wound care dengan aktivitas oleskan salep zink 3 x per hari, motivasi ibu dalam
pemberian minum anak untuk menjaga kelembapan kulit anak.

3.4 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Kasus 1

Implementasi perkembangan kondisi anak dilakukan setiap hari untuk masing-masing


diagnosa. Kasus pertama penulis melakukan implementasi yang di mulai sejak tanggal 1
mei 2018 hingga tanggal 7 mei 2018. Implementasi yang dilakukan pada diagnosis
pertama yaitu mengauskultasi suara nafas dan mencatat suara tambahan, memberikan
inhalasi nacl 0,9% 5 cc, mengatur posisi semifowler, melakukan pemeriksaan TTV,
suara jantung dan suara nafas, memonitoring adanya sianosis, dan melakukan cek residu

Universitas Indonesia
dan kepatenan selang NGT. mengauskultasi suara nafas, monitoring adanya reflek
muntah, mengecek NGT sebelum makan dan mengedukasi ibu cara cek NGT agar tidak
terjadi aspirasi. Berdasarkan intervensi yang sudah diberikan klien banyak mengalami
perkembangan dan perbaikan pada diagnosis bersihan jalan nafas tidak efektif. Hasil
evaluasi klien masih ada batuk sedikit, suara nafas ronchi berkurang dari hari
sebelumnya, TTV suhu :26,80C, nadi : 120x/mnt, RR : 35x/mnt SaO2 : 98%. Diagnosis
bersihan jalan nafas teratasi, dengan rencana tindak lanjut : klien boleh pulang, kontrol
hari rabu, tgl 8 mei 2018.

Implementasi diagnosis kedua penulis melakukan implementasi yang di mulai sejak


tanggal 1 mei 2018 hingga tanggal 7 mei 2018 diantaranya adalah mengkaji kehilangan
cairan, mengkaji status dehidrasi, mengukur TTV, menimbang popok tiap ganti,
menghitung balance cairan, menimbang BB, memantau respon pemberian cairan
peroral. Respon klien adalah ibu mengatakan muntah berkurang, hanya 1 kali muntah
dan sedikit seperti gumoh, dan tidak ada diare, Mukosa bibir lembab, turgor kulit
elastis, nadi : 120 x/mnt, Suhu : 37 0C, RR : 42x/mnt, balance cairan : +205cc, dan
deuresis : 2,5 cc/kgbb/jam, mata tidak cekung, ubun-ubun datar. Berdasarkan intervensi
yang telah diberikan, sehingga klien mengalami perbaikan status cairan dari hari
keharinya. Hasil evaluasi diagnosis risiko kurang volume cairan tidak terjadi. Rencana
tindak lanjut monitoring tanda dehidrasi. klien boleh pulang, kontrol hari rabu, tgl 8 mei
2018.

Implementasi yang diberikan pada diagnosis ke tiga penulis melakukan implementasi


yang di mulai sejak tanggal 1 mei 2018 hingga tanggal 7 mei 2018. Implementasi yang
diberikan diantaranya mengkaji drajat ruam popok dengan skala breden, menjaga
kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering, menganjurkan ibu untuk memakaikan
pakaian yang longgar bagi anak, mengoleskan salep zink pada area ruam popok,
mengkaji mengenai wakttu serta cara ibu mengganti popok dan memberi edukasi
kepada ibu tentang ruam popok, penyebabnya dan cara mengganti popok yang benar.
Respon klien adalah ibu klien mengatakan ruam sedikit samar-samar dan kering. Ibu
klien mengatakan akan rutin mengganti popok, serta membersihkan area perianal
dengan air dan kapas. Hasil evaluasi ruam popok bahwa kerusakan integritas kulit
teratasi, dengan planning kontrol tanggal 9 mei 2018 dan pemberian zink 3 x 1.

Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil intervensi selama 6 hari yang telah diberikan oleh penulis, pada kasus
1 ruam popok mengalami perbaikan.

Kasus 2

Implementasi di mulai sejak tanggal 4 mei 2018 hingga tanggal 12 mei 2018.
Implementasi yang dilakukan pada diagnosis pertama yaitu mengauskultasi suara nafas
dan mencatat suara tambahan, memberikan inhalasi nacl 0,9% 5 cc, mengatur posisi
semifowler, melakukan pemeriksaan TTV, suara jantung dan suara nafas, dan
memonitoring adanya sianosis. Respon klien : sianosis tidak ada, jarang, suara nafas
ronchi, RR : 48x/mnt, nadi : 127x/mnt suhu : 37,3 0c ,klien tampak lebih nyaman saat
diberi posisi semi fowler. Hasil evaluasi, sehingga diagnosis bersihan jalan nafas
teratasi sebagian. Planning yang akan diberikan selnjutnya manajemen airway.

Implementasi diagnosis kedua pada tanggal 4 mei 2018 hingga tanggal 12 mei 2018
yaitu mengukur TTV, mengkaji tanda peningkatan TIK, mengkaji status neurologi,
memberi posisi 450, dan hitung balance. mengukur tanda-tanda peningkatan TIK,
menggukur TTV, mengkaji status neuro, memposisikan kepala 450, dan mengobservasi
kulit apakah ada laserasi. Respon klien :kesadaran apatis, pupil isokor +/+ muntah tidak
ada. Respon patologis +. Balance cairan : -158,4cc. Diagonosis risiko perfusi jaringan
serebral tidak terjadi. Rencana tindak lanjut : pertahankan intervensi managemen udem
serebral.

Implementasi diagnosis ke tiga kasus 2 dilakukan sejak tangga 4 hingga 9 tanggal.


Implementasi hari pertama yang penulis berikan diantaranya adalah mengkaji status
hidrasi, balance cairan, ukur BB, menimbang BB, dan ukur TTV. Respon : ibu mengerti
apa yang perawat ajarkan, TTV dalam batas normal, tidak ditemukan tanda-tanda
dehidrasi, BAB 1 kali/hari campur lendir balance : +140cc/24jam. Intervensi yang
penulis telah berikan sehingga klien mengalami perbaikan dan tidak ditemukannya
tanda-tanda dehidrasi hingga hari lima. Berdasarkan hasil evaluasi selama 5 hari
pemberian intervensi oleh penulis sehingga diagnosis risiko kurang volume cairan
dihentikan. Rencana : pertahankan pemantauan cairan klien.

Universitas Indonesia
Implementasi diagnosis empat yaitu kerusakan integritas kulit pada kasus 2 diawali
sejak tanggal 4 hingga 8 mei 2018. Implementasi hari pertama yaitu mengkaji adanya
kemerahan, mengkaji penyebab ruam popok, mobilisasi anak tiap 2 jam, menjaga
kebersihan kulit perianal agar tetap bersih dan kering. Mengkaji cara membersihkan
area perianal. observasi perubahan warna, menganjurkan ibu untuk memakaikan
pakaian anak yang longgar, Memberikan edukasi cara membersihkan area perianal dan
waktu-waktu penggantian popok. Respon : ibu mengatakan anaknya sudah tidak seperti
merintih ketika ganti popok. Kemerahan tidak terlihat, ruam popok tidak ada.
Berdasarkan implementasi yang telah dilakukan dan diobservasi selama 4 hari, ruam
popok mengalami perbaikan. Evaluasi : kerusakan integritas jaringan teratasi. Rencana :
pertahankan perawatan perianal untuk mencegah ruam berulang.

Kasus 3

penulis melakukan implementasi yang di mulai sejak tanggal 10 mei 2018 hingga
tanggal 18 mei 2018. Implementasi yang dilakukan pada diagnosis pertama yaitu
mengauskultasi suara nafas, mengkaji status pernafasan klien, mempertahankan
kepatenan jalan nafas dengan cara memberikan posisi miring dan juga sefi fowler,
memberikan O2 nasal 1 Lpm, memantau aliran oksigen dan memonitoring kecepatan
ritme, kedalaman, dan usaha saat bernafas. Respon klien pada perawatan hari ke 6
tanggal 18 mei 2018 yaitu :ibu mengatakan sesak jauh berkurang, NCH tidak ada, ttv
RR :37 x/mnt, nadi :120x/mnt, SaO2 : 99%. Berdasarkan implementasi diberikan
selama 6 hari klien masih mengalami sesak, namun sudah jauh lebih berkurang.
Evaluasi : diagnosis pola nafas teratasi, rencana peratahankan intervensi manajemen
oksigenasi.

Implementasi diagnosis kedua yang di mulai sejak tanggal 10 mei 2018 hingga tanggal
18 mei 2018 antara lain : mengkaji nilai elektrolit, albumin di hasil lab. monitoring
kecukupan ventilasi, mengukur TTV, menilai status gizi, menghitung balance, menilai
tanda dehidrasi, menilai asites. kolaborasi dalam pemasangan punksi asites. Monitoring
denyut nadi, dan status pernafasan, monitoring membran mukosa, turgor kulit dan
adanya haus respon klien. Respon klien setelah diberi intervensi : bengkak sedikit
berkurang di perut, nadi : 130x/mnt, suhu : 37,1 0 c, balance cairan : +145,3 cc/24 jam,
deuresis : 1cc/kgBB/jam. Evaluasi : kelebihan volume cairan teratasi sebagian, rencana :
Universitas Indonesia
monitoring balance cairan. Berdasarkan implementasi yang diberikan sehingga klien
mengalami perbaiakan selama 6 hari dilakukan asuhan keperawatan

Implementasi diagnosis ketiga yang di mulai sejak tanggal 10 mei 2018 hingga tanggal
18 mei 2018 antara lain : mengkaji kebutuhan nutrisi klien, memantau adanya muntah,
meninggikan posisi semifowler, saat memberi makan via NGT, mengajarkan ibu rutin
membersihkan feeding drip. Mengkaji toleransi minum, meninggikan posisi saat
memberi makan, menjelaskan kepada ibu mengenai hal-hal yang dapat mnurunkan BB.
Respon : klinis kurus, ibu mengerti dan menganggukan apa yang perawat telah jelaskan,
toleransi minum baik. 120 cc dihabiskan, turgor kulit kurang elastis, BB :5,4 kg. LILA :
7,6 cm, klasifikasi gizi kurang. Evaluasi : ketidak seimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh teratasi sebagian. Rencana lanjutkan manajemen nutrisi

Implementasi diagnosis keempat diare, implementasi diberikan sejak tanggal 10 mei


2018 hingga 17 mei 2018 diantaranya adalah mengelola pemeriksaan feses lengkap
kulit sekitar perianal apakah adanya iritasi, mengajarkan kepada keluarga mengenai
pemberian obat zink syrup, instruksikan kepada ibu untuk mencatat warna, volume,
frekuensi dan konsistensi feses. monitoring turgor kulit, mukosa bibir. Respon ibu klien
mengatakan anaknya diare berwarna kuning cair. Berdasarkan hasil feses lengkap
konsistensi cair, kuning, tidak ada bakteri, darah, telur cacing, dan lemak. Turgor kulit
sedikit kering dan kurang elastis. Mukosa bibir tampak lembab dan ada ruam popok.
Mukosa bibir tampak lembab. Evaluasi : diare belum teratasi, rencana lanjutkan
intervensi: pertahankan monitoring diare.

Implementasi diagnosis keelima yaitu gangguan integritas kulit, implementasi diberikan


sejak tanggal 10 mei 2018 hingga 17 mei 2018 . implementasi yang diberikan adalah
mengkaji integritas kulit, monitoring kulit, mengobservasi perubahan warna, menjaga
kulit agar tetap bersih dan kering. Menganjurkan ibu untuk memakaikan pakaian yang
longgar dan mengeringkan area perianal sebelum memakai popok yang baru, mengkaji
pengetahuan ibu tentang ruam popok, mengkaji kemampuan ibu dalam melakukan
perawatan popok. Memberi edukasi tentang ruam popok dan Mengajarkan teknik
perawatan perianal, memberikan salep zink mengobservasi perubahan warna, menjaga
kulit agar tetap bersih dan kering. mengevaluasi pengetahuan ibu tentang ruam popok
mengevalusi teknik perawatan perianal. Respon klien : ibu mengatakan anak tidak lagi
Universitas Indonesia
rewel saat ganti popok, Ibu mengakatan walaupun sudah perbaikan ganti popok tetap
tiap 4 jam, dan saat anak BAB, ibu mengatakan membersihkan dengan kapas yang di
basahkan. Ruam popok kemerahan terlihat samar. Evaluasi ruam popok teratasi,
rencana pertahankan intervensi perawatan perianal.

Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN

Bab empat pada penulisan karya ilmiah akhir ners ini penulis akan menguraikan tentang
analisis masalah keperawatan dengan konsep kasus yang terkait, analisis salah satu
intervensi dengan konsep dan penelitian yang terkait, dan alternatif pemecahan masalah
yang dapat dilakukan pada kasus terkait

4.1 Analisis Asuhan Keperawatan pada anak dengan Kasus Ruam Popok
4.1.1 Pengkajian

Penyakit diare pada anak menjadi sorotan dari tahun ketahunnya, hal ini disebabkan
karena diare merupakan penyakit mematikan nomor 2 setelah pneumonia pada anak
dibawah usia 5 tahun (Prawira, 2016). Dampak diare yang sering terjadi salah satunya
adalah iritasi atau ruam popok. Ruam popok terjadi akibat gesekan antara kulit dan
popok, biasanya ruam terjadi pada anak-anak yang menggunakan popok (Merill, 2015).
Gambaran yang didapatkan pada hasil analisis kasus ruam popok, diawali dari
fenomena yang terjadi di lahan praktik ruang perawatan anak gedung A lantai 1 RSCM,
Fenomena yang terjadi yaitu 35 dari 37 anak menggunakan popok (94%) dan 35 anak
yang menggunakan popok, 10 anak mengalami ruam popok (28%). Di Indonesia
berdasarkan Studi Sigma Research (2017) menunjukkan bahwa awal penggunaan popok
terbanyak pada anak usia dibawah 3 tahun dan pemakaian popok pada anak mencapai
97,1% dari total populasi jumlah anak ditahun 2016. Penggunaan jenis popok yang
sering di minati adalah popok sekali pakai dengan persentase mencapai 95,2%. Hal ini
sejalan dengan fenomena yang ada, bahwa semakin tinggi jumlah anak yang
mengenakan popok, maka semakin tinggi pula anak untuk terkena ruam popok.

Pengkajian pada anak yang dirawat di RSCM gedung A dilakukan secara holistik yaitu
meliputi dimensi fisiologis, psikologis, sosiokultural, dan spiritual (Potter & Perry,
2009). Hasil data yang diperoleh saat pengkajian bahwa pada ketiga klien kelolaan
penulis adalah adanya ruam kemerahan pada area perianal. Menurut merrill (2015) salah
satu tanda ruam popok adalah adanya kemerahan pada area yang tertutupi oleh popok.
Penyebab dari kemerahan ini adalah akibat dari respon inflamasi yang merupakan suatu
respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta

Universitas Indonesia
membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Kumar,
Cotrans, & Robbins, 2007). Hal ini sejalan dengan teori serta kondisi klien yang
menyebutkan bahwa kemerahan diarea perianal pada anak yang menggunakan popok
adalah ruam popok. Respon tersebut merupakan mekanisme tubuh untuk
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang
diakibatkan oleh kerusakan sel yang disebabkan karena adanya gesekan antara kulit
anak dengan popok yang dipakai.

Tanda ruam popok pada anak selanjutnya adalah anak rewel. Berdasarkan ketiga kasus
yang di kelola oleh penulis, ketiganya mengalami ketidak nyamanan pada saat proses
penggantian popok, salah satunya ditandai dengan anak tampak mengkerutkan dahi,
serta merintih dan 2 anak yang composmentis terlihat menangis saat popok diganti.
Menurut (Wong, 2009) Anak memiliki respon rasa tidak nyaman berupa meringis
kesakitan, mengerutkan dahi, mengatupkan gigi atau bibir, menangis, menendang, dan
melarikan diri. Mekanisme nyeri yang terjadi akibat adanya rangsangan(mekanik,
termal atau Kimia) diterima oleh reseptor nyeri (proses transduksi) yang ada di hampir
setiap jaringan tubuh,  rangsangan ini kemudian diubah kedalam bentuk impuls yang di
hantarkan ke pusat nyeri di korteks serebri. Impuls yang dihantarkan di korteks serebri
selanjutnya di kembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri (Silverthorn, 2014).
Berdasarkan analisa kasus dan teori sehingga dapat disimpulkan bahwa hal ini sejalan.
Ruam popok dapat menyebabnya perasaan nyeri yang diakibatkan karena adanya faktor
mekanik yang menciderai kulit anak khususnya perianal, sehingga anak merespon
dengan menangis atau merintih serta respon lainnya untuk menunjukkan rasa tidak
nyaman.

4.1.2 Masalah Keperawatan

Masalah keperawatan yang ditemukan pada klien dengan masalah ruam popok adalah
gangguan integritas kulit. Penulis mengangkat diagnosis keperawatan gangguan
integritas kulit berdasarkan data yang ditemukan pada ketiga klien yaitu adanya
kemerahan pada area popok, anak tampak menangi, merintih saat diganti popok, dan
ruam popok derajat 1-2 pada kasus 3, dan derajat 1 pada kasus 1 dan 2. Kerusakan
integritas kulit adalah perubahan atau gangguan epidermis atau dermis, yang ditunjang
dengan batasan karateristik adanya kerusakan lapisan kulit, adanya gangguan

Universitas Indonesia
permukaan kulit epidermis, dan invasi struktur kulit (Herman & Komitsuru, 2014).
Berdasarkan pemaparan tersebut sehingga diagnosis pada kasus 1,2, dan 3 sesuai
berdasarkan karateristik panduan pengangkatan diagnosis keperawatan.

4.1.3 Intervensi Keperawatan

Pemberian intervensi untuk mengatasi maslah kerusakan integritas kulit penulis


melakukan intervensi berupa pemberian perawatan perianal, skin survalaince, dan
Wound care. Intervensi tersebut penulis lakukan selama kurang lebih 6 hari di ketiga
klien kasus kelolaan. Intvensi perawatan perianal dilakukan berupa 4 rangkaian
perawatan dengan harapan anak mengalami proses penyembuhan ruam popok.
Intervensi skin survalaince dilakukan secara rutin untuk mengevaluasi warna ruam
popok dengan cara monitoring berupa penilaian skala braden, yang dibandingkan di hari
sebelumnya, tujuan ini dilakukan untuk melihat dari kefektifan dari intervensi yang
perawat lakukan. Intervensi Wound care diberikan dengan cara pemberian salep topikal
dengan kandungan zink 3x1. Ketiga intervensi ini merupakan serangkaian intervensi
yang diberikan dengan tujuan untuk proses penyembuhan luka (Herman & Komitsuru,
2014).

4.1.4 Evaluasi Keperawatan

Berdasarkan asuhan keperawatan yang dilakukan oleh penulis selama 6 hari untuk
mengelola kasus 1, 2, dan 3. Hasil evaluasi dari diagnosis kerusakan integritas kulit
akibat ruam popok adalah kurang dari 6 hari. Kasus 1 dan 3 ruam popok mengalami
perbaikan selama implementasi 6 hari dan pada kasus 2 ruam popok mengalami
perbaikan selama implementasi 4 hari. Perbedaan proses penyembuhan ruam popok
dapat disebebkan oleh multifaktor diantaranya adalah overhidrasi pada epidermis,
gesekan popok dan faktor iritan seperti urin dan adanya feses cair (Merrill, 2015). Kasus
1 dan kasus 3 mengalami diare hingga hari keenam, dengan frekuensi ≥ 4x/hari dan
konsistensi cair. Kasus 2 diare hingga hari ke 5 dengan frekuensi 1 kali, dan sudah
berbentuk ampas. Berdasarkan kondisi klien dan pemaparan teori bahwa hal ini sejalan,
karena adanya kontak iritan sangat mempengaruhi terjadinya ruam popok serta proses
penyambuhannya.

Universitas Indonesia
4.2 Analisis Intervensi Perawatan Perianal pada Anak dengan Masalah Ruam
Popok

Keefektifan dari intervensi perawatan perianal sudah banyak dibuktikan oleh peneliti-
peneliti sebelumnya. Menurut Syapitri, Siregar, & Ginting (2017) tujuan perawatan
kulit adalah untuk membantu mempercepat proses penyembuhan luka serta membantu
luka untuk beregenerasi. Ketiga kasus yang sudah penulis kelola bahwa ketiganya
mengalami proses perbaikan ruam popok dari intervensi yang sudah diberikan secara
rutin. Pemberian intervensi untuk mengatasi masalah kerusakan integritas kulit penulis
melakukan intervensi berupa pemberian serangkaian perawatan perianal. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Chasanah & Umamah (2017) bahwa adanya perbedaan
yang bermakna antara anak yang dilakukan perawatan perianal dengan anak yang tidak
dilakukan perawatan perianal pada kasus ruam popok.

Perawatan perianal tersebut terdiri dari 4 rangkaian. Rangkaian pertama memastikan ibu
untuk mengganti popok anak per empat jam melalui pembuatan jadwal penggantian
popok atau mengganti popok sesegera mungkin bila anak BAB, dan popok sudah
penuh. Penelitian yang dilakukan oleh Rosmala (2017) bahwa anak yang dilakukan
penggantian popok sehari kurang dari 5 kali memiliki risiko terjadinya ruam popok
dibandingkan dengan anak yang dilakukan penggantian popok lebih dari 5 x/ hari.
Rangkaian kedua pada perawatan perianal yaitu pengeringan area perianal sebelum
memakaikan popok pada anak. penulis tidak menyarankan kepada ibu, untuk
membersihkan area perianal dengan tisu basah. Menurut Meriil (2015) kandungan
alkohol yang terdapat di tisue basah dapat mengiritasi permukaan kulit anak yang
sensitif. Rangkaian ketiga memberikan (Barrier) salep zink 3x1 (oles). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Latarisaa & Husni (2015) bahwa kandungan zink sangat
baik terhadap perbaikan kulit karena berfungsi sebagai pelindung kulit terhadap agen
iritasi.

Rangkaian ke empat penulis memberikan edukasi berupa definisi ruam popok,


penyebab ruam popok, tanda dan gejala ruam popok, dampak ruam popok dan teknik
perawatan perianal. Pendidikan kesehatan ini dilakukan saat anak teridentifikasi ruam
popok oleh penulis, selanjutnya penulis setiap harinya mengevaluasi pengetahuan ibu
mengenai apa yang telah perawat ajarkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Universitas Indonesia
Tanzi (2017) bahwa, pemberian pendidikan kesehatan mengenai ruam popok sangat
mempengaruhi terhadap terjadinya ruam popok, artinya semakin baik pengetahuan ibu
tentang ruam popok, maka kasus ruam popok dapat berkurang. .

Berdasarkan keempat rangkaian yang telah penulis paparkan dan penulis terapkan ke 3
klien kasus kelolaan bahwa serangkaian perawatan perianal ini cukup efektif dalam
proses penyembuhan ruam popok pada anak, dibandingkan dengan anak yang tidak
dilakukan perawat perianal.

4.3 Alternatif Pemecahan Masalah yang dapat Dilakukan pada Anak dengan
Masalah Ruam Popok

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap implementasi keperawatan yang telah dilakukan


dalam mengatasi ruam popok yang dikaitkan dengan teori dan konsep, maka didapatkan
alternatif pemecahan masalah yaitu dengan melakukan perawatan perianal yang terdiri
dari 4 rangkaian, dan dengan melakukan ke empatnya. Perawatan perlu memotivasi ibu
dalam melakukan perawatan perianal. Berdasarkan apa yang sudah penulis terapkan
kepada 3 klien bahwa, perawatan perianal cukup efektif menyembuhkan luka ruam
popok.
.

Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

Bab lima pada penulisan karya ilmiah akhir ners ini penulis akan menguraikan tentang
kesimpulan dan saran.

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari hasil analisis perawatan kulit (management presure) pada
anak dengan masalah ruam popok di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo
adalah sebagai berikut :

5.1.1 Diare dapat menyebabkan ruam popok pada sebagian besar anak yang memakai
popok. Di RSCM gedung A rawat inap anak terdapat 35 dari 37 anak rata-rata
menggunakan popok. 10 dari 35 anak yang memakai popok, teridentifikasi terkena
ruam popok atau dengan kisaran 28% anak terkena ruam.
5.1.2 Asuhan keperawatan pada anak dengan masalah ruam popok dimulai dari
pengkajian, penegakkan diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi. Pemberian
asuhan keperawatan dengan masalah ruam popok, telah dilakukan kurang lebih selama
6 hari pada ketiga klien tersebut. Hasil dari intervensi perawatan ruam popok yang telah
penulis lakukan bahwa 1 klien mengalami perbaikan ruam popok setelah dilakukan
perawatan selama 4 hari, dan 2 klien mengalami perbaikan ruam popok setelah setelah
melalui perawatan ±6 hari.
5.1.3 Selama penulis menerapkan perawatan ruam popok di Rumah Sakit Umum
Pusat Cipto Mangunkusumo, penulis telah dilakukan sesuai prosedur berdasarkan teori
yang sudah ditetapkan. Berdasarkan implementasi dan evaluasi yang telah penulis
lakukan bahwa intervensi perawatan perianal ini dapat mengefektifkan proses
penyembuhan ruam popok, dibandingkan dengan anak yang tidak dilakukan perawatan
perianal.

5.2 Saran
5.2.1 Lahan Rumah Sakit
Adanya Karya Ilmiah Akhir Ners ini sehingga dapat meningkatkan pelayanan
keperawatan di ruang anak khususnya pada anak dengan masalah ruam popok.
Universitas Indonesia
Penerapan perawatan perianal untuk mengatasi ruam popok perlu dilakukan kepada
anak yang terkena ruam popok. Penulis berharap fasilitas di lahan praktik ditingkatkan
lagi seperti penyediaan kom untuk menyimpan kapas dan air saat membersihkan
perianal anak. Pemberian edukasi terkait teknik perawatan perianal pada anak harap
dapat ditingkatkan lagi, mengingat perawatan kulit perianal tersebut cukup efektif
dalam menangani masalah ruam popok pada anak.
5.2.2 Pengembangan Keilmuan Selanjutnya
Berdasarkan informasi yang ada pada Karya Ilmiah Akhir Ners ini, sehingga penulis
menyarankan bahwa perlu adanya modifikasi lanjutan terkait perawatan ruam popok,
guna mengetahui efektivitas dari proses penyembuhan pada luka ruam popok.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai