Bab satu pada karya ilmiah akhir ners ini penulis akan menguraikan tentang latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan serta manfaat yang telah dilakukan oleh
penulis.
Kerusakan jaringan kulit yang diakibatkan oleh diare dapat meningkatkan risiko
terjadinya infeksi dan dapat mempengaruhi kesehatan bagi anak, baik fisik maupun
psikologis (Bianchi, 2012). Dampak yang terjadi pada anak dengan masalah ruam
popok menurut (Merrill, 2015) adalah dapat mempengaruhi sistem genitourinari dan
meningkatkan morbiditas di antara bayi yang baru lahir. Dampak terburuk yang terjadi
pada pemakaian popok yang salah selain mengganggu kesehatan kulit juga dapat
mengganggu perkembangan dan pertumbuhan anak. Anak yang mengalami ruam popok
biasanya akan mengalami perasaan tidak nyaman yang ditandai dengan anak menjadi
rewel, sulit tidur, dan proses menyusui menjadi terganggu (Handy, 2011). Kerusakan
Universitas Indonesia
jaringan kulit pada area perianal yang disebabkan oleh iritasi akibat diare ini biasa
disebut dengan Ruam popok.
Ruam popok merupakan salah satu kondisi kulit yang mengalami peradangan
(dermatitis) yang muncul berupa kemerahan pada bagian bokong anak. Ruam popok
biasanya dikaitkan dengan popok yang basah atau jarang diganti, sensitivitas kulit, serta
lecet dan umumnya ruam popok terjadi pada anak (Stamatas, 2013). Ruam popok pada
anak merupakan kelainan kulit berupa iritasi yang terjadi pada area kulit yang tertutup
oleh popok. Pendapat lain menyatakan bahwa kelainan kulit yang sering terjadi pada
anak, terutama usia 9-12 bulan biasa disebut dengan ruam popok (Puspitasari, 2017).
Ruam popok adalah gangguan umum dan mempengaruhi bayi baru lahir dengan
prevalensi 4-35% selama pertama atau dua tahun kehidupannya (Mahadevi, Rajeswari,
Sumathi, Aruna, 2016). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 2012 prevalensi iritasi kulit (ruam popok) pada bayi
cukup tinggi 25% dari 6.840.507.000 bayi yang lahir di dunia kebanyakan menderita
iritasi kulit (ruam popok) akibat penggunaan popok. Angka terbanyak ditemukan pada
usia 6-12 bulan (Ramba, 2015). Ahli Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Kapasitas
dan Desentralisasi, dr Krisnajaya, MS memperkirakan jumlah anak balita (bayi dibawah
usia lima tahun) di Indonesia mencapai 10 persen dari populasi penduduk. Jika jumlah
penduduknya 220-240 juta jiwa, maka setidaknya ada 22 juta balita di Indonesia, dan
1/3 dari jumlah bayi di Indonesia mengalami ruam popok, (Rahmat, 2011 dalam
Frilasari 2016).
Berdasarkan hasil observasi pada bulan mei 2018 di ruang rawat anak RSCM gedung A
lantai 1 dan lantai 2, sebagian besar anak yang berusia di bawah lima tahun
menggunakan popok, yaitu 35 dari 37 anak menggunakan popok (94%) dan 10 dari 35
anak yang menggunakan popok mengalami ruam popok (28%). Penggantian popok
pada anak-anak sepenuhnya dilakukan oleh orangtua. Penggantian popok pada masing-
masing orangtua berbeda-beda. Beberapa orangtua menyatakan hanya mengganti popok
ketika anaknya BAB, ketika popok sudah penuh, dan ada pula mengganti popok anak
setiap 4 jam. Rata-rata orang tua membersihkan area perianal anak menggunakan tisu
basah dan penggunaan pelembab kulit saat penggantian popok, namun pada
Universitas Indonesia
kenyataannya orang tua mengeluhkan masih banyak anak-anak mereka yang mengalami
ruam popok.
Ruam popok umunya ditandai dengan kemerahan pada kulit di area yang tertutup oleh
popok. Termasuk pada area bokong, alat kelamin dan area perianal, paha bagian dalam,
dan lingkar pinggang. Umumnya ruam tidak terjadi pada area lipatan. Jika area lipatan
terkena ruam, makan hal ini menjadi indikasi adanya infeksi sekunder. Selain
kemerahan, kulit mungkin tampak kering dan pada kasus yang cukup parah bisa terlihat
bengkak atau terkikis. Hal ini menyebabkan ketidaknyamanan pada anak (Stamatas,
2013). Tanda dan gejala ruam popok lainnya bervariasi dari yang ringan sampai yang
berat. Gejala awal kelainan derajat ringan seperti kemerahan ringan di kulit pada daerah
sekitar penggunaan popok yang bersifat terbatas, disertai dengan lecet atau luka ringan
pada kulit, mengkilat, sedangkan ruam popok derajat berajat berat terkadang seperti
luka bakar, dan timbul bintik-bintik merah, basah dan bengkak pada daerah yang paling
lama kontak dengan popok seperti pada area perianal (Maryunani, 2011).
Perawatan perianal yang diberikan yaitu dengan menjaga area popok agar tetap bersih
dan kering. Cara terbaik untuk menjaga area popok agar tetap bersih dan kering adalah
dengan mengganti popok segera setelah basah atau kotor (Mayo Clinic, 2018) Menurut
Susilaningrum, Nursalam, & Utami (2013) penyebab dari ruam popok adalah
pemakaian popok yang kurang baik, seperti pemakaian popok yang terlalu lama, kontak
yang lama antara kulit dan popok yang basah, gesekan yang lebih sering dan lama
antara kulit dan popok. Penyebab ruam popok yang kedua yaitu amonia, amonia juga
penyebab ruam popok yang disebabkan peningkatan pH urine yang dapat menyebabkan
kulit menjadi sensitif dan mudah mengalami iritasi. Penyebab ruam popok yang ketiga
Universitas Indonesia
adalah enzim fekal, yaitu protease dan lipose, enzim ini mampu meningkatkan
permeabilitas kulit yang diakibat garam empedu yang terkandung didalam fases,
terutama pada saat diare, sehingga memudahkan kulit mengalami iritasi akibat
penggunaan popok yang kurang baik. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Li, Zhu, & Dai (2012) yang menyatakan bahwa anak yang digantikan popok lebih
dari 6 kali dalam sehari memiliki risiko rendah untuk terjadinya ruam popok. Oleh
karena itu, penting seorang perawat melakukan edukasi dan melakukan manajemen
perawatan kulit, sehingga dapat mengurangi terjadinya ruam popok pada anak-anak dan
dapat meningkatkan status kesehatan anak.
Universitas Indonesia
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum karya ilmiah akhir ners ini adalah untuk memaparkan analisis intervensi
keperawatan pada anak dengan masalah ruam popok.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan karya ilmiah ini adalah:
1.3.2.1 Memaparkan gambaran kasus ruam popok
1.3.2.2 Memaparkan asuhan keperawatan pada anak dengan masalah ruam popok di
RSCM.
1.3.2.3 Memaparkan hasil intervensi perawatan perianal yang diberikan pada anak
dengan masalah ruam popok.
Penulisan karya ilmiah akhir ners ini ini diharapkan dapat memberikan dan menambah
informasi bagi pendidikan keperawatan dalam hal pemberiaan asuhan keperawatan
pada anak dengan masalah ruam popok
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab dua pada penulisan karya ilmiah akhir ners ini penulis akan menguraikan tentang
konsep diare, konsep ruam popok, dan konsep perawatan kulit (Management Presure).
Definisi lain menyatakan bahwa diare adalah suatu keadaan peningkatan atau perubahan
tiba-tiba pada frekuensi defekasi yang sering disebabkan karena agen infeksius (Wong,
2009). Diare adalah buang air besar dengan feses tidak berbentuk (unformed stools) atau
cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam (Amin, 2015). Diare adalah buang
air besar yang sering dengan konsistensi encer atau cair dan terjadi lebih dari 3 kali
dalam sehari yang disebabkan karena infeksi, faktor malabsorbsi, faktor makanan, atau
faktor psikologis (Masjour, 2010). Simpulannya bahwa diare adalah peningkatan
frekuensi pengeluaran feses yang terjadi lebih dari 3 kali selama 24 jam dengan
konsistensi cair yang disebabkan karena faktor infeksi, faktor malabsorbsi, faktor
makanan, dan faktor psikologis.
Universitas Indonesia
2.1.2.2 Faktor Malabsorbsi
Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan malabsorbsi
lemak. Malabsorpsi karbohidrat yang terjadi pada bayi adalah karena adanya kepekaan
terhadap lactoglobulis dalam susu formula yang dapat menyebabkan diare. Gejalanya
berupa diare berat, feses berbau sangat asam, disertai nyeri di daerah abdomen.
Malabsorpsi lemak, anak dengan masalah malabsorbsi lemak biasanya terjadi bila di
dalam makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida. Triglyserida, dengan bantuan
kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika tidak
ada lipase didalam saluran cerna dan terjadi kerusakan mukosa usus, maka diare dapat
terjadi yang disebabkan karena lemak tidak terserap dengan baik (Masjoer, 2010).
2.1.2.3 Faktor Lingkungan
Penularan diare sebagian besar ditularkan melalui kotoran dan mulut. Penularan
penyakit diare merupakan hasil dari hubungan antara faktor jumlah kuman yang
disekresi, kemampuan kuman untuk hidup dilingkungan dan kekuatan kuman untuk
menimbulkan infeksi. Kebersihan lingkungan seperti air minum, dan kebersihan toilet
secara fisik tidak menjamin hilangnya penyakit diare, tetapi perubahan perilaku manusia
untuk memanfaatkan fasilitas dan kebersihan sanitasi dapat mengurangi masalah diare
(Masjoer, 2010).
2.1.2.4 Faktor Psikologis
Keadaan psikologis seseorang dapat mempengaruhi kecepatan gerakan peristaltik usus
yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan
diare. Rasa takut, cemas, dan tegang, yang terjadi pada anak dapat menyebabkan diare
kronis. Tetapi jarang terjadi pada bayi dan balita, umumnya terjadi pada anak yang lebih
besar (Ngastiyah, 2012)
Universitas Indonesia
2.1.6 Komplikasi Diare
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama dari penyakit
diare, terutama terjadi pada anak-anak. Diare akut kehilangan cairan secara mendadak
dan berlebih dapat menyebabkan terjadinya syok hipovolemik sebagai akibat dari
hipokalemia dan asidosis metabolik. Pada kasus-kasus penanganan yang terlambat, syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular
Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak
tercapai rehidrasi yang optimal. Komplikasi diare yang selanjutnya adalah iritasi kulit,
iritasi ini disebabkan karena overhidrasi pada epidermis yang disebabkan kehadiran zat
iritan seperti feses cair dan gesekan pada kulit yang disertai adanya pH kulit yang
tinggi. Kehadiran enzim fecal, secara spesifik protease dan lipase, telah diidentifikasi
sebagai iritasi utama kulit, sehingga penggantian popok yang kurang tepat pada kondisi
anak diare dapat menyebabkan ruam popok pada anak (Hockenberry & Wilson, 2009 ;
Merrill, 2015)
Anak saat di dalam rahim, pematangan lapisan stratum korneum epidermis kulit terjadi
saat usia kehamilan meningkat. Penelitian terbaru menurut Nikolovski, Stamatas,
Kollias, & Wiegand, 2008 dalam Merrill (2015) menunjukkan bahwa pematangan
penuh stratum korneum mungkin tidak lengkap sampai setelah usia satu tahun. Fungsi
lapisan stratum korneum sendiri berkembang antara 2 dan 4 minggu setelah lahir untuk
Universitas Indonesia
bayi yang lahir antara 30 dan 32 minggu. Hal ini membuat bayi yang lahir prematur
sangat sensitif terhadap ruam popok.
Kulit, yang ditemukan di bawah lapisan epidermal, mengandung jaringan ikat, folikel
rambut, kelenjar sebaceous, kelenjar keringat, pembuluh darah dan pembuluh limfatik.
Dermis dan epidermis yang berlabuh bersama dengan matriks serabut kolagen. Pada
anak-anak, dermis lebih tipis dan kurang berkembang dibandingkan pada orang dewasa.
Serat kolagen lebih pendek dan kurang padat dan sifat kohesi dan adhesi sel epidermis
tidak sepenuhnya berkembang. Hal ini membuat epidermal-dermal junction lebih lemah
dibandingkan dengan yang ditemukan pada kulit dewasa. Perkembangan sifat asam dari
lapisan luar kulit, atau mantel asam, penting untuk fungsi permeabilitas penghalang dan
pertahanan antimikroba pada kulit. Kehadiran barier berfungsi penuh di stratum
korneum dan mantel asam yang mendekati orang dewasa, yang berfungsi untuk
membantu melindungi kulit anak dari iritasi dan mikroba yang dapat menyebabkan
ruam popok (Merrill, 2015).
Universitas Indonesia
C. albicans merupakan sumber utama untuk ruam popok kandida (Merrill, 2015 :
Elfaituri, 2016)
Berikut ini adalah derajat ruam popok dibagi menjadi 5 menurut Merrill (2015) yaitu :
Universitas Indonesia
2.2.6 Komplikasi Ruam Popok
Komplikasi dari ruam popok pada umumnya jarang terjadi karena kondisi ini mudah
diobati dengan praktik perawatan kulit yang baik. Ruam popok apabila tidak ditangani,
dapat memiliki komplikasi seperti adanya peningkatan nyeri, peningkatan keparahan
kerusakan kulit dan peningkatan infeksi jamur dan bakteri. Salah satu contohnya adalah
ruam popok erosi, yang merupakan bentuk parah dari ruam popok tidak ditangani
dengan munculnya ulserasi atau erosi (Merrill, 2015). Hal tersebut sehingga diperlukan
untuk penanganan perawatan kulit yang tepat.
Universitas Indonesia
2.3.3 Fase Penyembuhan Luka
Secara fisiologis fase penyembuhan luka terdapat 4 fase yaitu :
2.3.3.1 Homeostasis : beberapa detik setelah terjadinya luka pada tipe apapun, respon
tubuh akan melakukan penyempitan pembuluh darah (konstriksi) untuk menghambat
perdarahan dan mengurangi pajanan terhadap bakteri. Pada saat yang sama, protein
membentuk jaringan fibrosa untuk menutup luka. Ketika trombosit bersama protein
menutup luka, dan membentuk fibrin. Setelah 10-30 menit setelah terjadinya luka,
pembuluh darah melebar karena serotonin yang dihasilkan trombosit. Plasma darah
mengaliri luka dan melawan toxin yang dihasilkan microorganisme, membawa oksigen
dan nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka dan membawa agen fagosit untuk
melawan bakteri maupun jaringan yang rusak.
2.3.3.2 Inflamasi : Bagian luka akan menjadi hangat dan merah karena aprose
fagositosis. Tujuan inflamasi adalah untuk membatasi efek bakteri dengan menetralkan
toksin dan penyebaran bakteri.
2.3.3.3 Proliferasi/resolusi : penumpukan deposit kolagen pada luka, angiogenesis
(pembentukan pembuluh darah baru), proliferasi dan pengecilan lebar luka. Fase ini
berhenti 2 minggu setelah terjadinya luka, tetapi proses ini tetap berlangsung lambat 1-
2 tahun. Fibroblast mensistesis kolagen dan menumbuhkan sel baru. Miofibroblas
menyebabkan luka menyempit.
2.3.3.4 Remodeling/rekontruksi : fase terakhir penyembuhan dengan remodelling.
Biasanya terjadi selama setahun atau lebih seteleh luka tertutup. Selama fase ini fibrin di
bentuk ulang, pembuluh darah menghilang dan jaringan memperkuat susunannya.
Remodeling ini mencakup sintesis dan pemecahan kolagen
(Orsted, Keast, Lalande, & Megie, 2013 ; Morison, 2004)
Luka ruam popok menurut Merrill (2015) jenis luka tersebut merupakan luka pada
kategori yang menciderai area epidermis, yang disebabkan oleh adanya gesekan antara
kulit dengan popok. Menurut Morison (2004) luka yang terjadi akibat kulit bergesekan
dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam disebut dengan luka
iritasi (Abraded Wound). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari,
Alfitri, Indriati (2016) bahwa proses penyembuhan luka pada kasus diaper rash (iritasi)
apabila dilakuakan dengan rutin dan teknik yang benar proses penyembuhannya terbukti
mampu teratasi dalam waktu kurang dari 7 hari.
Universitas Indonesia
2.3.4 Teknik Perawatan Perianal
Menurut Merrill (2015) adapun cara praktis untuk mencegah dan menangani ruam
popok pada anak adalah :
2.3.4.1 Udara
Ekspos area popok sering ke udara sebanyak mungkin; biarkan anak memiliki waktu
bebas popok dan lakukan perawatan dimulai dengan penggantian popok yang sering,
yaitu dilakuakan segera setelah popok bayi basah atau buang air besar dan setidaknya
setiap 3-4 jam (Merrill, 2015 ; Family Practice in New York, 2015; Janeiro, 2009).
Rangakaian ini dilakukan oleh penulis dengan cara memastikan ibu untuk mengganti
popok anak per empat jam melalui pembuatan jadwal penggantian popok atau
mengganti popok sesegera mungkin bila anak BAB, dan popok sudah penuh.
2.3.4.2 Barrier
Terapkan krim penghalang (zinc oxide atau petrolatum) ke daerah popok untuk bayi
yang berisiko terkena dermatitis popok atau setiap kali dermatitis popok hadir.
Pemberian pasta zinc oxide, petroleum jelly, dan vitamin A dan salep D dapat diberikan
setiap setelah penggantian popok hal ini diharapkan untuk menjaga integritas dan
melindungi kulit pada anak yang sudah terkena ruam popok dengan derajat ringan.
Anak yang sudah terkena ruam popok dengan derajat yang lebih berat dapat diberikan
terapi kombinasi agen antijamur steroid yang tidak mengandung steroid yang lebih kuat
dari hidrokortison (misalnya, klotrimazol / betametason). Steroid topikal yang paten
dapat menyebabkan erosi striae dan kulit, supresi penekanan hipotalamus-pituitari-
adrenal, dan sindrom Cushing, sehingga lebih dianjurkan dengan menggunakan
clotrimazole dan miconazole setelah setiap penggantian popok sampai ruam
terselesaikan (Merrill, 2015 ; Family Practice in New York, 2015). Rangkaian kedua,
penulis mengaplikasikan rangkaian ini dengan cara memberikan salep zink 3x1 (oles).
2.3.4.3 Teknik Pembersihan
Teknik membersihkanya yaitu dilakukan dengan lembut pada area yang terkena dengan
air keran hangat, bukan tisu komersial yang mengandung alkohol dan menghindari
menggosok kulit yang halus secara keras. Secara lembut bersihkan area popok dengan
air dan lap kain yang lembut (Merrill, 2015 ; Family Practice in New York, 2015 : :
American Academy of Pediatrics, 2013). Rangkaian ketiga penulis melakukan
rangkaian ini dengan cara membersihkan area perianal menggunakan kapas diberi air,
Universitas Indonesia
dengan teknik pembersihan dari area bersih ke kotor dengan sekali usap. Rangkaian ini
dilanjutkan dengan pengeringan area perianal sebelum memakaikan popok pada anak.
penulis tidak menyarankan kepada ibu, untuk membersihkan area perianal dengan tisu
basah.
2.3.4.4 Pendidikan Kesahatan
Berikan pendidikan kesehatan kepada ibu mengenai kebersihan popok dan perawatan
kulit yang baik. Ibu diharapkan menghindari produk dengan wewangian atau pengawet
untuk meminimalkan kemungkinan respons alergi (Merrill, 2015 ; Family Practice in
New York, 2015). Penulis memberikan edukasi berupa definisi ruam popok, penyebab
ruam popok, tanda dan gejala ruam popok, dampak ruam popok dan teknik perawatan
perianal. Pendidikan kesehatan ini dilakukan saat anak teridentifikasi ruam popok oleh
penulis, selanjutnya penulis setiap harinya mengevaluasi pengetahuan ibu mengenai apa
yang telah perawat ajarkan.
Universitas Indonesia
2.3.5 Web of Causation
diare
langan cairan dan elektrolit berlebihan
Nyeri akut
Mual muntah
Defisit vol. cairan Suhu tubuh meningkat
Universitasnutrisi
Ketidak seimbangan Indonesia
kurang dari kebutuhan t
Intake inadekuate
hipertermia
BAB 3
LAPORAN PENGELOLAAN KASUS
Bab tiga pada penulisan karya ilmiah akhir ners ini penulis akan menguraikan tentang
gambaran kasus yang terdiri dari kasus 1, kasus 2, serta kasus 3, dan asuhan
keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan, intervensi,
implementasi dan evaluasi.
3.1 Gambaran Kasus
Kasus 1
An. A.N usia 8 bulan, jenis kelamin laki-laki dirawat diruang perawatan anak gedung A
lantai 1 RSCM sejak tanggal 27 April 2018 dengan diagnosa medis diare akut dehidrasi
sedang, sindrom down, penyakit jantung bawaan (PJB), dan laringo malaise. Pengkajian
awal dilakukan pada tanggal 1 Mei 2018, dengan keluhan utama diare, batuk, muntah-
munta dan ada iritasi di bokong. Berdasarkan pengkajian lanjutan, ibu klien mengatakan
anaknya diare 4 kali ampas cair, muntah susu sebanyak 2 kali, batuk berdahak susah
dikeluarkan dan ada ruam popok. Ibu klien juga mengatakan bahwa klien diare akibat
ganti susu, sebelumnya menggunakan susu LLM dan ganti dengan SGM. Obat-obatan
saat ini cefotaxime 3 x 200 mg intravena, domperidone 3 x 2 mg peroral, zink 1 x 20
mg peroral, omeprazole 1 x 6 mg peroral, dan nacl 0,9% 3 x 5 ml inhalasi, zink zalf 3x1
topikal.
Hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum klien saat ini : sakit sedang dan kesadaran cm,
mukosa bibir sedikit kering, turgor kulit : elastis, ubun-ubun datar, mata tampak cekung.
BB klien saat ini: 7,2 kg dengan BB sebelumnya 7,4 kg, suara nafas ronchi, klien
tampak sering batuk dan muntah lendir campur susu, sianosis bila anak menangis. Area
genetalia tampak kemerahan pada area perianal derajat 1. Ibu klien mengatakan
membersihkan area bokong dengan tisue basah beli di minimarket, dan cara
membersihkan dari bawah keatas. Ibu mengatakan mengganti popok biasanya saat
popok anak penuh, saat ini saat anak BAB. Hasil pemeriksaan TTV : nadi : 121 x/mnt,
RR : 44x/mnt, suhu : 36,90c, SaO2 : 98%. Hasil pemeriksaan penunjang pada tanggal 30
April 2018 adalah : Natrium : 137 mEq/L, Kalium : 4,7 mEq/L, Clorida : 108 mEq/L.
Diit klien susu LLM 8 X 125 cc, pola eleminasi klien BAB : 1-2 x/hari BAK : 5x/hari
Universitas Indonesia
dan saat sakit BAB saat ini 6x/hari konsistensi cair, BAK 5x/hari. Hasil perhitungan
balance cairan : +160cc dengan intake : 1240cc dan output : 1080cc
Kasus 2
An. L.C berusia 6 bulan, jenis kelamin perempuan dirawat diruang perawatan anak
gedung A lantai 1 RSCM sejak tanggal 14 Februari 2018 dengan diagnosa medis diare
akut, hidrosefalus kongenital on VP Shunt, ISK Infeksi VP Shunt. Pengkajian awal
dilakukan pada tanggal 4 Mei 2018, keluhan utama diare, batuk, dan ada iritasi bokong.
Hasil pengkajian lanjutan : ibu mengatakan anaknya diare sejak tanggal 1 Mei 2018 hari
selasa, BAB cair lebih dari 5 kali, berwarna kuning bercampur dengan lendir. Ibu
mengatakan anaknya terdapat ruam popok sejak anaknya diare, derajat 1. Ibu
mengatakan anaknya ada batuk kurang lebih sudah ada dari 5 hari yang lalu. Riwayat
penyakit dahulu, klien terdiagnosis hidrosefalus saat usia satu setengah bulan,
berdasarkan hasil CT-Scan kepala dan terdapat perdarahan otak, saat ini sudah
terpasang VP shunt.
Hasil Ct scan kepala pada tanggal 14 februari 2018 dengan kesan : VP Shunt dengan
akses dari parietal kanan dan tiap ruang di subaracnoid diregio temporal kanan. Tidak
tampak fraktur pada VP shunt di intra dan ektra kranial. Midrocepalus non komunikan
dengan edema serebri. Hasil CT scan pada tanggal 15 Februari 2018, dengan kesan :
posisi rip VP shunt di periventrikel lateralis kanan kordis temporal. Tidak tampak lagi
perdarahan interaparenkim lobus temperoparietal kanan. Hasil foto torak pada tanggal
Universitas Indonesia
14 februari 2018 dengan kesan : infiltrat di perihiliar paru kanan kiri. Foto torak tanggal
3 mei 2018 proyeksi AP kesan : infiltrat di kedua lapang paru berkurang dan CVC
dengan tip suspek berada di proyeksi atrium kanan.
Kebutuhan dasar klien, diit klien cair Infantrini 8 x 75 cc/NGT. toleransi minum baik,
muntah tidak ada. Pola eleminasi, klien BAK menggunakan diapers, frekuensi 6-7x/
hari berwarna kuning jernih. Pola BAB saat sebelum sakit, ibu klien mengatakan klien
BAB 1-2x/hari konsistensi lembek, saat ini klien BAB 6 x/hari konsistensi cair,
berlendir berwarna kuning. Pola kebersihan klien, klien mandi sehari 2 kali dan ibu
biasa mebersihkan area genetalia dengan tisue basah, popok diganti bila anak BAB atau
saat penuh, sebelum diare biasa ganti popok sehari 4-5 kali. Balance cairan : -158,4/24
jam. Intake : 368cc dan output :627,4cc.
Kasus 3
An. M.I berusia 1 tahun, jenis kelamin laki-laki dirawat diruang perawatan anak gedung
A lantai 1 RSCM dengan diagnosa medis diare akut dehidrasi sedang, Cilous asites,
hipoalbumin. Saat dikaji keluhan utama sesak, bengkak di kaki tangan dan perut
semakin membuncit, diare, dan ada iritasi bokong. Pengakajian lanjutan yaitu ibu klien
mengatakan diare lebih dari 10 kali ampas cair dan berwarna kahijauan serta berlendir.
Ibu mengatakan anaknya ada batuk, bengkak-bengkak di kaki, tangan dan skrotum serta
ada ruam popok. Riwayat penyakit ibu klien mengatakan anaknya sering keluar masuk
RS untuk dirawat karena sesak dan bengkak berulang serta ada riwayat gizi buruk dan
pernah sedot cairan
Riwayat masa lampau, ibu klien mengatakan anaknya lahir dengan normal dan tidak
tampak ada masalah, namun saat usia 6 bulan klien tampak kurus, berat badan tidak
naik dan ada bengkak-bengkak. Ibu klien mengatakan anaknya rutin kontrol dan berobat
dan pernah dilakukan punksi asites serta tranfusi albumin. Obat-obatnya yang biasa
dikonsumsi di rumah furosemid. Obat-obatan saat ini cefosulbactam 8 x 200 mg
(intravena), spironolakton 2 x 6,25 mg (peroral), fluimucyl 3 x 40 mg (peroral) zink zalf
3x1 (topikal), inhalasi NaCl 0,9% 3 x 5cc.
Hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum klien sakit sedang, BB : 5,7 Kg, Tinggi Badan :
60 cm, LILA : 7,6 cm dan lingkar kepala : 40 cm. Mata : tampak simetris, konjungtiva
Universitas Indonesia
sedikit anemis, udem palpebra, sklera anikhterik. Hidung : tidak tampak ada sumbatan,
hidung tampak bersih. Mulut : mukosa bibir sedikit kering, gigi tampak karies, lidah
sedikit kotor. Dada : pengembangan dada simetris, suara nafas vesikuler sonor, suara
jantung normal, tidak ada galop dan mur-mur. Abdomen tampak asites, integumen, kulit
tampak sedikit keriput dan kurang elastis serta kering. Area genetalia : terdapat ruam
popok pada perianal derajat 1-2. Ibu klien mengatakan mengganti popok anaknya tiap
anak BAB, bila tidak BAB tidak ganti karena pipis hanya sedikit. Ibu mengatakan
membersihkan setelah ganti popok dengan tisue basah, dan ganti popok tergantung anak
BAB. Tanda-tanda vital nadi : 140x/menit, RR : 60 x/menit, Suhu : 36,8 0c, SaO2 : 98%
sianosis tidak ada. CRT 1 detik.
Hasil pemeriksaan penunjang pada tanggal 6 mei 2018 hemoglobin : 12,3 g/dL,
Hematokrit : 37,2 %, lekosit : 12.300/ᶬL, Trombosit : 383.000/ᶬL, albumin : 2,8 g/dL.
Kebutuhan dasar klien, diit cair 8 x 120cc. Kondisi ketika dirumah klien makan biasa
dengan mengunakan alat makan anak. Pola BAB saat kondisi sehat klien BAB 1-2
kali/hari konsistensi lunak, saat ini pola BAB lebih dari 6 x/hari konsistensi cair. Pola
BAK saat ini ibu klien mengeluhkan klien BAK jarang dan tidak banyak kurang lebih
20 cc saat ditimbang. Balance cairan : +302cc deuresis : 0,8cc/kbBB/24 jam
Berdasarkan analisa data dari hasil pengkajian yang telah dilakukan, maka dapat
ditegakkan beberapa masalah keperawatan. Masalah keperawatan yang ditemukan pada
ketiga klien tersebut diantaranya adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas,
ketidakefektifan pola nafas, kelebihan volume cairan, ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh, diare, kerusakan integritas kulit, risiko kurang volume cairan, dan
risiko gangguan perfusi jaringan serebral. Diagnosa keperawatan yang telah ditegakkan
pada kasus 1 adalah ketidak efektifan bersihan jalan nafas b.d sekresi tertahan, risiko
defisit volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh b.d output berlebih akibat adanya
muntah dan diare, diagnosis yang ketiga adalah kerusakan integritas kulit b.d lembab
akibat adanya diare.
Diagnosis keperawatan yang telah ditegakkan pada kasus 2 yaitu ketidak efektifan
bersihan jalan nafas b.d peningkatan akumulasi sekret, kerusakan integritas kulit b.d
Universitas Indonesia
lembab akibat adanya diare, risiko gangguan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan
tekanan intra kranial (TIK), dan risiko defisit volume cairan b.d out berlebih akibat
adanya diare. Diagnosis keperawatan yang ditegakkan pada kasus 3 adalah ketidak
efektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi paru, ketidak seimbangan volume cairan
lebih dari kebutuhan tubuh b.d malnutrisi, ketidak seimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d ketidak mampuan pemasukan absorbsi zat-zat gizi akibat faktor
biologis, diare b.d fisiologis : malabsorbsi dan kerusakan integritas kulit b.d lemabab
akibat adanya diare.
Kasus 1
Masalah yang diangkat pada kasus ini adalah masalah prioritas dan 2 masalah risiko,
diantaranya yaitu : ketidak efektifan bersihan jalan nafas b.d sekresi tertahan, risiko
defisit volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh b.d output berlebih akibat adanya
muntah dan diare, diagnosis yang ketiga adalah kerusakan integritas kulit b.d lembab
akibat adanya diare. Masalah prioritas pertama yaitu ketidak efektifan bersihan jalan
nafas, intervensi yang diberikan pada kasus dengan diagnosa keperawatan ini
diantaranya adalah manajemen jalan nafas dengan aktivitas yaitu : posisikan anak pada
ventilasi yang maksimal (fowler atau semifowler), auskultasi suara nafas dan catat
Universitas Indonesia
adanya suara nafas tambahan, monitoring status oksigenasi dan respirasi, berikan
oksigen 1 lpm bila saturasi kurang dari 90% nafas >60x/menit, berikan inhalasi nacl
0,9% 5 cc/ 8 jam. Intervensi yang kedua yaitu pencegahan aspirasi dengan aktivitas
monitoring adanya reflek muntah, batuk, dan menelan, atur posisi fowler dan semi
fowler, cek posisi NGT sebelum makan dan ajarkan kepada orang tua, cek residu NGT
sebelum makan dan jangan memberikan makan NGT bila residu masih banyak.
Intervensi yang ketiga yaitu monitoring tanda –tanda vital dengan aktivitas yaitu
monitor nadi, respirasi rate, suhu dan suara nafas / 8 jam, monitoring suara jantung dan
ritmenya / 24 jam, monitoring adanya sianosis/ shift.
Perencanaan tindakan keperawatan dengan diagnosis yang ketiga yaitu risiko kerusakan
integritas kulit. Intervensi pertama yang diberikan adalah perawatan perianal,
monitoring kulit adanya kemerahan (ruam popok) pershift, mandikan anak dengan
sabun dan air hangat, berikan salep zink 3x per hari, berikan edukasi cara perawatan
perianal, monitoring penggantian popok per 4 jam. Intervensi yang kedua yaitu skin
survaillance dengan aktivitas observasi perubahan warna kulit area ruam popok per
shift, monitoring adanya ruam. Intervensi yang ketiga adalah wound care dengan
aktivitas oleskan salep zink 3 x per hari, motivasi ibu dalam pemberian minum anak
untuk menjaga kelembapan kulit anak.
Kasus 2
Universitas Indonesia
Masalah yang diangkat pada kasus ini telah diangkat 1 masalah prioritas dan 3 masalah
risiko, diantaranya yaitu : ketidak efektifan bersihan jalan nafas b.d sekresi tertahan,
risiko gangguan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan intrakranial, risiko
defisit volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh b.d output berlebih akibat adanya
diare, diagnosis yang keempat adalah kerusakan integritas kulit b.d lembab akibat
adanya diare. Masalah prioritas pertama yaitu ketidak efektifan bersihan jalan nafas,
intervensi yang diberikan pada kasus dengan diagnosa keperawatan ini diantaranya
adalah manajemen jalan nafas dengan aktivitas yaitu : posisikan anak pada ventilasi
yang maksimal (fowler atau semifowler), auskultasi suara nafas dan catat adanya suara
nafas tambahan, monitoring status oksigenasi dan respirasi, berikan oksigen 1 lpm bila
saturasi kurang dari 90% nafas >60x/menit, berikan inhalasi nacl 0,9% 5 cc/ 8 jam.
Intervensi yang kedua yaitu pencegahan aspirasi dengan aktivitas monitoring adanya
reflek muntah, batuk, dan menelan, atur posisi fowler dan semi fowler, cek posisi NGT
sebelum makan dan ajarkan kepada orang tua, cek residu NGT sebelum makan dan
jangan memberikan makan NGT bila residu masih banyak. Intervensi yang ketiga yaitu
monitoring tanda –tanda vital dengan aktivitas yaitu monitor nadi, respirasi rate, suhu
dan suara nafas / 8 jam, monitoring suara jantung dan ritmenya / 24 jam, monitoring
adanya sianosis/ shift.
Kasus 3
Masalah yang diangkat pada kasus diantaranya 4 masalah prioritas dan 1 masalah risiko,
diantaranya yaitu : ketidak efektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi, ketidak
seimbangan volume cairan lebih dari kebutuhan tubuh b.d malnutrisi, ketidak
seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidak mampuan pemasukan
absorbsi zat-zat gizi akibat faktor biologis, diare b.d fisiologis : malabsorbsi dan
kerusakan integritas kulit b.d lembab akibat adanya diare. intervensi yang diberikan
pada kasus dengan diagnosa keperawatan ketidak efektifan pola nafas diantaranya
adalah managemen airway dengan aktivitas : posisikan pasien semi fowler, auskultasi
suara nafas serta catat adanya penurunan daerah ventilasi atau tidak adanya suara suara
adventif, monitoring pernafasan dan status oksigen klien. Intervensi yang kedua yaitu
terapi oksigen dengan aktivitas : mempertahankan jalan nafas paten, berikan oksigen
Universitas Indonesia
nasal 1 liter permenit atau sesuai instruksi kolaborasi dokter, monitoring aliran oksigen /
shift. Intervensi yang ketiga yaitu monitoring respirasi dengan aktivitas monitoring
kepatenan, ritme kedalaman dan usaha saat bernafas/ shift, catat pergerakan dada, serta
kaji adanya penggunaan otot bantu nafas, monitoring suara nafas, dan monitoring pola
nafas (bradipnea, takipnea, dan hiperventilasi)
Universitas Indonesia
managemen dengan aktivitas : timbang BB/ minggu tiap hari jum’at pagi, diskusikan
kepada keluarga hal-hal yang dapat menyebabkan penurunan BB pada anak.
Kasus 1
Universitas Indonesia
dan kepatenan selang NGT. mengauskultasi suara nafas, monitoring adanya reflek
muntah, mengecek NGT sebelum makan dan mengedukasi ibu cara cek NGT agar tidak
terjadi aspirasi. Berdasarkan intervensi yang sudah diberikan klien banyak mengalami
perkembangan dan perbaikan pada diagnosis bersihan jalan nafas tidak efektif. Hasil
evaluasi klien masih ada batuk sedikit, suara nafas ronchi berkurang dari hari
sebelumnya, TTV suhu :26,80C, nadi : 120x/mnt, RR : 35x/mnt SaO2 : 98%. Diagnosis
bersihan jalan nafas teratasi, dengan rencana tindak lanjut : klien boleh pulang, kontrol
hari rabu, tgl 8 mei 2018.
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil intervensi selama 6 hari yang telah diberikan oleh penulis, pada kasus
1 ruam popok mengalami perbaikan.
Kasus 2
Implementasi di mulai sejak tanggal 4 mei 2018 hingga tanggal 12 mei 2018.
Implementasi yang dilakukan pada diagnosis pertama yaitu mengauskultasi suara nafas
dan mencatat suara tambahan, memberikan inhalasi nacl 0,9% 5 cc, mengatur posisi
semifowler, melakukan pemeriksaan TTV, suara jantung dan suara nafas, dan
memonitoring adanya sianosis. Respon klien : sianosis tidak ada, jarang, suara nafas
ronchi, RR : 48x/mnt, nadi : 127x/mnt suhu : 37,3 0c ,klien tampak lebih nyaman saat
diberi posisi semi fowler. Hasil evaluasi, sehingga diagnosis bersihan jalan nafas
teratasi sebagian. Planning yang akan diberikan selnjutnya manajemen airway.
Implementasi diagnosis kedua pada tanggal 4 mei 2018 hingga tanggal 12 mei 2018
yaitu mengukur TTV, mengkaji tanda peningkatan TIK, mengkaji status neurologi,
memberi posisi 450, dan hitung balance. mengukur tanda-tanda peningkatan TIK,
menggukur TTV, mengkaji status neuro, memposisikan kepala 450, dan mengobservasi
kulit apakah ada laserasi. Respon klien :kesadaran apatis, pupil isokor +/+ muntah tidak
ada. Respon patologis +. Balance cairan : -158,4cc. Diagonosis risiko perfusi jaringan
serebral tidak terjadi. Rencana tindak lanjut : pertahankan intervensi managemen udem
serebral.
Universitas Indonesia
Implementasi diagnosis empat yaitu kerusakan integritas kulit pada kasus 2 diawali
sejak tanggal 4 hingga 8 mei 2018. Implementasi hari pertama yaitu mengkaji adanya
kemerahan, mengkaji penyebab ruam popok, mobilisasi anak tiap 2 jam, menjaga
kebersihan kulit perianal agar tetap bersih dan kering. Mengkaji cara membersihkan
area perianal. observasi perubahan warna, menganjurkan ibu untuk memakaikan
pakaian anak yang longgar, Memberikan edukasi cara membersihkan area perianal dan
waktu-waktu penggantian popok. Respon : ibu mengatakan anaknya sudah tidak seperti
merintih ketika ganti popok. Kemerahan tidak terlihat, ruam popok tidak ada.
Berdasarkan implementasi yang telah dilakukan dan diobservasi selama 4 hari, ruam
popok mengalami perbaikan. Evaluasi : kerusakan integritas jaringan teratasi. Rencana :
pertahankan perawatan perianal untuk mencegah ruam berulang.
Kasus 3
penulis melakukan implementasi yang di mulai sejak tanggal 10 mei 2018 hingga
tanggal 18 mei 2018. Implementasi yang dilakukan pada diagnosis pertama yaitu
mengauskultasi suara nafas, mengkaji status pernafasan klien, mempertahankan
kepatenan jalan nafas dengan cara memberikan posisi miring dan juga sefi fowler,
memberikan O2 nasal 1 Lpm, memantau aliran oksigen dan memonitoring kecepatan
ritme, kedalaman, dan usaha saat bernafas. Respon klien pada perawatan hari ke 6
tanggal 18 mei 2018 yaitu :ibu mengatakan sesak jauh berkurang, NCH tidak ada, ttv
RR :37 x/mnt, nadi :120x/mnt, SaO2 : 99%. Berdasarkan implementasi diberikan
selama 6 hari klien masih mengalami sesak, namun sudah jauh lebih berkurang.
Evaluasi : diagnosis pola nafas teratasi, rencana peratahankan intervensi manajemen
oksigenasi.
Implementasi diagnosis kedua yang di mulai sejak tanggal 10 mei 2018 hingga tanggal
18 mei 2018 antara lain : mengkaji nilai elektrolit, albumin di hasil lab. monitoring
kecukupan ventilasi, mengukur TTV, menilai status gizi, menghitung balance, menilai
tanda dehidrasi, menilai asites. kolaborasi dalam pemasangan punksi asites. Monitoring
denyut nadi, dan status pernafasan, monitoring membran mukosa, turgor kulit dan
adanya haus respon klien. Respon klien setelah diberi intervensi : bengkak sedikit
berkurang di perut, nadi : 130x/mnt, suhu : 37,1 0 c, balance cairan : +145,3 cc/24 jam,
deuresis : 1cc/kgBB/jam. Evaluasi : kelebihan volume cairan teratasi sebagian, rencana :
Universitas Indonesia
monitoring balance cairan. Berdasarkan implementasi yang diberikan sehingga klien
mengalami perbaiakan selama 6 hari dilakukan asuhan keperawatan
Implementasi diagnosis ketiga yang di mulai sejak tanggal 10 mei 2018 hingga tanggal
18 mei 2018 antara lain : mengkaji kebutuhan nutrisi klien, memantau adanya muntah,
meninggikan posisi semifowler, saat memberi makan via NGT, mengajarkan ibu rutin
membersihkan feeding drip. Mengkaji toleransi minum, meninggikan posisi saat
memberi makan, menjelaskan kepada ibu mengenai hal-hal yang dapat mnurunkan BB.
Respon : klinis kurus, ibu mengerti dan menganggukan apa yang perawat telah jelaskan,
toleransi minum baik. 120 cc dihabiskan, turgor kulit kurang elastis, BB :5,4 kg. LILA :
7,6 cm, klasifikasi gizi kurang. Evaluasi : ketidak seimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh teratasi sebagian. Rencana lanjutkan manajemen nutrisi
Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN
Bab empat pada penulisan karya ilmiah akhir ners ini penulis akan menguraikan tentang
analisis masalah keperawatan dengan konsep kasus yang terkait, analisis salah satu
intervensi dengan konsep dan penelitian yang terkait, dan alternatif pemecahan masalah
yang dapat dilakukan pada kasus terkait
4.1 Analisis Asuhan Keperawatan pada anak dengan Kasus Ruam Popok
4.1.1 Pengkajian
Penyakit diare pada anak menjadi sorotan dari tahun ketahunnya, hal ini disebabkan
karena diare merupakan penyakit mematikan nomor 2 setelah pneumonia pada anak
dibawah usia 5 tahun (Prawira, 2016). Dampak diare yang sering terjadi salah satunya
adalah iritasi atau ruam popok. Ruam popok terjadi akibat gesekan antara kulit dan
popok, biasanya ruam terjadi pada anak-anak yang menggunakan popok (Merill, 2015).
Gambaran yang didapatkan pada hasil analisis kasus ruam popok, diawali dari
fenomena yang terjadi di lahan praktik ruang perawatan anak gedung A lantai 1 RSCM,
Fenomena yang terjadi yaitu 35 dari 37 anak menggunakan popok (94%) dan 35 anak
yang menggunakan popok, 10 anak mengalami ruam popok (28%). Di Indonesia
berdasarkan Studi Sigma Research (2017) menunjukkan bahwa awal penggunaan popok
terbanyak pada anak usia dibawah 3 tahun dan pemakaian popok pada anak mencapai
97,1% dari total populasi jumlah anak ditahun 2016. Penggunaan jenis popok yang
sering di minati adalah popok sekali pakai dengan persentase mencapai 95,2%. Hal ini
sejalan dengan fenomena yang ada, bahwa semakin tinggi jumlah anak yang
mengenakan popok, maka semakin tinggi pula anak untuk terkena ruam popok.
Pengkajian pada anak yang dirawat di RSCM gedung A dilakukan secara holistik yaitu
meliputi dimensi fisiologis, psikologis, sosiokultural, dan spiritual (Potter & Perry,
2009). Hasil data yang diperoleh saat pengkajian bahwa pada ketiga klien kelolaan
penulis adalah adanya ruam kemerahan pada area perianal. Menurut merrill (2015) salah
satu tanda ruam popok adalah adanya kemerahan pada area yang tertutupi oleh popok.
Penyebab dari kemerahan ini adalah akibat dari respon inflamasi yang merupakan suatu
respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta
Universitas Indonesia
membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Kumar,
Cotrans, & Robbins, 2007). Hal ini sejalan dengan teori serta kondisi klien yang
menyebutkan bahwa kemerahan diarea perianal pada anak yang menggunakan popok
adalah ruam popok. Respon tersebut merupakan mekanisme tubuh untuk
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang
diakibatkan oleh kerusakan sel yang disebabkan karena adanya gesekan antara kulit
anak dengan popok yang dipakai.
Tanda ruam popok pada anak selanjutnya adalah anak rewel. Berdasarkan ketiga kasus
yang di kelola oleh penulis, ketiganya mengalami ketidak nyamanan pada saat proses
penggantian popok, salah satunya ditandai dengan anak tampak mengkerutkan dahi,
serta merintih dan 2 anak yang composmentis terlihat menangis saat popok diganti.
Menurut (Wong, 2009) Anak memiliki respon rasa tidak nyaman berupa meringis
kesakitan, mengerutkan dahi, mengatupkan gigi atau bibir, menangis, menendang, dan
melarikan diri. Mekanisme nyeri yang terjadi akibat adanya rangsangan(mekanik,
termal atau Kimia) diterima oleh reseptor nyeri (proses transduksi) yang ada di hampir
setiap jaringan tubuh, rangsangan ini kemudian diubah kedalam bentuk impuls yang di
hantarkan ke pusat nyeri di korteks serebri. Impuls yang dihantarkan di korteks serebri
selanjutnya di kembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri (Silverthorn, 2014).
Berdasarkan analisa kasus dan teori sehingga dapat disimpulkan bahwa hal ini sejalan.
Ruam popok dapat menyebabnya perasaan nyeri yang diakibatkan karena adanya faktor
mekanik yang menciderai kulit anak khususnya perianal, sehingga anak merespon
dengan menangis atau merintih serta respon lainnya untuk menunjukkan rasa tidak
nyaman.
Masalah keperawatan yang ditemukan pada klien dengan masalah ruam popok adalah
gangguan integritas kulit. Penulis mengangkat diagnosis keperawatan gangguan
integritas kulit berdasarkan data yang ditemukan pada ketiga klien yaitu adanya
kemerahan pada area popok, anak tampak menangi, merintih saat diganti popok, dan
ruam popok derajat 1-2 pada kasus 3, dan derajat 1 pada kasus 1 dan 2. Kerusakan
integritas kulit adalah perubahan atau gangguan epidermis atau dermis, yang ditunjang
dengan batasan karateristik adanya kerusakan lapisan kulit, adanya gangguan
Universitas Indonesia
permukaan kulit epidermis, dan invasi struktur kulit (Herman & Komitsuru, 2014).
Berdasarkan pemaparan tersebut sehingga diagnosis pada kasus 1,2, dan 3 sesuai
berdasarkan karateristik panduan pengangkatan diagnosis keperawatan.
Berdasarkan asuhan keperawatan yang dilakukan oleh penulis selama 6 hari untuk
mengelola kasus 1, 2, dan 3. Hasil evaluasi dari diagnosis kerusakan integritas kulit
akibat ruam popok adalah kurang dari 6 hari. Kasus 1 dan 3 ruam popok mengalami
perbaikan selama implementasi 6 hari dan pada kasus 2 ruam popok mengalami
perbaikan selama implementasi 4 hari. Perbedaan proses penyembuhan ruam popok
dapat disebebkan oleh multifaktor diantaranya adalah overhidrasi pada epidermis,
gesekan popok dan faktor iritan seperti urin dan adanya feses cair (Merrill, 2015). Kasus
1 dan kasus 3 mengalami diare hingga hari keenam, dengan frekuensi ≥ 4x/hari dan
konsistensi cair. Kasus 2 diare hingga hari ke 5 dengan frekuensi 1 kali, dan sudah
berbentuk ampas. Berdasarkan kondisi klien dan pemaparan teori bahwa hal ini sejalan,
karena adanya kontak iritan sangat mempengaruhi terjadinya ruam popok serta proses
penyambuhannya.
Universitas Indonesia
4.2 Analisis Intervensi Perawatan Perianal pada Anak dengan Masalah Ruam
Popok
Keefektifan dari intervensi perawatan perianal sudah banyak dibuktikan oleh peneliti-
peneliti sebelumnya. Menurut Syapitri, Siregar, & Ginting (2017) tujuan perawatan
kulit adalah untuk membantu mempercepat proses penyembuhan luka serta membantu
luka untuk beregenerasi. Ketiga kasus yang sudah penulis kelola bahwa ketiganya
mengalami proses perbaikan ruam popok dari intervensi yang sudah diberikan secara
rutin. Pemberian intervensi untuk mengatasi masalah kerusakan integritas kulit penulis
melakukan intervensi berupa pemberian serangkaian perawatan perianal. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Chasanah & Umamah (2017) bahwa adanya perbedaan
yang bermakna antara anak yang dilakukan perawatan perianal dengan anak yang tidak
dilakukan perawatan perianal pada kasus ruam popok.
Perawatan perianal tersebut terdiri dari 4 rangkaian. Rangkaian pertama memastikan ibu
untuk mengganti popok anak per empat jam melalui pembuatan jadwal penggantian
popok atau mengganti popok sesegera mungkin bila anak BAB, dan popok sudah
penuh. Penelitian yang dilakukan oleh Rosmala (2017) bahwa anak yang dilakukan
penggantian popok sehari kurang dari 5 kali memiliki risiko terjadinya ruam popok
dibandingkan dengan anak yang dilakukan penggantian popok lebih dari 5 x/ hari.
Rangkaian kedua pada perawatan perianal yaitu pengeringan area perianal sebelum
memakaikan popok pada anak. penulis tidak menyarankan kepada ibu, untuk
membersihkan area perianal dengan tisu basah. Menurut Meriil (2015) kandungan
alkohol yang terdapat di tisue basah dapat mengiritasi permukaan kulit anak yang
sensitif. Rangkaian ketiga memberikan (Barrier) salep zink 3x1 (oles). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Latarisaa & Husni (2015) bahwa kandungan zink sangat
baik terhadap perbaikan kulit karena berfungsi sebagai pelindung kulit terhadap agen
iritasi.
Universitas Indonesia
Tanzi (2017) bahwa, pemberian pendidikan kesehatan mengenai ruam popok sangat
mempengaruhi terhadap terjadinya ruam popok, artinya semakin baik pengetahuan ibu
tentang ruam popok, maka kasus ruam popok dapat berkurang. .
Berdasarkan keempat rangkaian yang telah penulis paparkan dan penulis terapkan ke 3
klien kasus kelolaan bahwa serangkaian perawatan perianal ini cukup efektif dalam
proses penyembuhan ruam popok pada anak, dibandingkan dengan anak yang tidak
dilakukan perawat perianal.
4.3 Alternatif Pemecahan Masalah yang dapat Dilakukan pada Anak dengan
Masalah Ruam Popok
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab lima pada penulisan karya ilmiah akhir ners ini penulis akan menguraikan tentang
kesimpulan dan saran.
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari hasil analisis perawatan kulit (management presure) pada
anak dengan masalah ruam popok di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo
adalah sebagai berikut :
5.1.1 Diare dapat menyebabkan ruam popok pada sebagian besar anak yang memakai
popok. Di RSCM gedung A rawat inap anak terdapat 35 dari 37 anak rata-rata
menggunakan popok. 10 dari 35 anak yang memakai popok, teridentifikasi terkena
ruam popok atau dengan kisaran 28% anak terkena ruam.
5.1.2 Asuhan keperawatan pada anak dengan masalah ruam popok dimulai dari
pengkajian, penegakkan diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi. Pemberian
asuhan keperawatan dengan masalah ruam popok, telah dilakukan kurang lebih selama
6 hari pada ketiga klien tersebut. Hasil dari intervensi perawatan ruam popok yang telah
penulis lakukan bahwa 1 klien mengalami perbaikan ruam popok setelah dilakukan
perawatan selama 4 hari, dan 2 klien mengalami perbaikan ruam popok setelah setelah
melalui perawatan ±6 hari.
5.1.3 Selama penulis menerapkan perawatan ruam popok di Rumah Sakit Umum
Pusat Cipto Mangunkusumo, penulis telah dilakukan sesuai prosedur berdasarkan teori
yang sudah ditetapkan. Berdasarkan implementasi dan evaluasi yang telah penulis
lakukan bahwa intervensi perawatan perianal ini dapat mengefektifkan proses
penyembuhan ruam popok, dibandingkan dengan anak yang tidak dilakukan perawatan
perianal.
5.2 Saran
5.2.1 Lahan Rumah Sakit
Adanya Karya Ilmiah Akhir Ners ini sehingga dapat meningkatkan pelayanan
keperawatan di ruang anak khususnya pada anak dengan masalah ruam popok.
Universitas Indonesia
Penerapan perawatan perianal untuk mengatasi ruam popok perlu dilakukan kepada
anak yang terkena ruam popok. Penulis berharap fasilitas di lahan praktik ditingkatkan
lagi seperti penyediaan kom untuk menyimpan kapas dan air saat membersihkan
perianal anak. Pemberian edukasi terkait teknik perawatan perianal pada anak harap
dapat ditingkatkan lagi, mengingat perawatan kulit perianal tersebut cukup efektif
dalam menangani masalah ruam popok pada anak.
5.2.2 Pengembangan Keilmuan Selanjutnya
Berdasarkan informasi yang ada pada Karya Ilmiah Akhir Ners ini, sehingga penulis
menyarankan bahwa perlu adanya modifikasi lanjutan terkait perawatan ruam popok,
guna mengetahui efektivitas dari proses penyembuhan pada luka ruam popok.
Universitas Indonesia