Sistem Imun
Kelompok FG 2:
Chinta Novianti Mufara
Evi Prihatiningtyas
Fajar Ayuningrum
Vika Endria
Wahyu Nurfebriansyah
Outline
• Patologi umum penyakit autoimun.
• Contoh-contoh penyakit autoimun dan penyakit karena
mekanisme hipersensitifitas
• Pengkategorian Imunodefisiensi dan berbagai mekanisme
penyebabnya
• Gambaran klinik umum dari berbagai kondisi imunodefisiensi
besera etiologinya
PATOFISIOLOGI
PENYAKIT AUTOIMUN
Defenisi
Chang&Daly,2010
• Respon imun berlebihan dan respons imun tak tepat yang
merusak organisme.
Penyebab
Terduga
• Obat-obatan
• Bahan-bahan kimia
• Lingkungan
• psikologis
Sistem toleransi terhadap kekebalan diri
Anergi klon
• Ketidak mampuan klon limfosit menampilkan
fungsinya
Merusak self
immunological
Terduga : tolerance
1. Virus
2. Obat-
obatan Gagal membedakan
3. Genetik antigen self dan non self 1. Bersifat mutifaktor
4. Bakteri 2. Memerlukan 1 gen
5. bahan- Pembentukan sebagai faktor
kimia limfosit T dan B hereditas dan satu
6. Lingkungan yang auto reaktif atau dua faktor
7. psikologis lingkungan
Antibodi 3. Perkembangan
menyerang penyakit sering lebih
antigen diri lambat disbanding
proses penyakit infeksi
Penyakit auto 4. Cenderung terjadi
ciri kekambuhan
imun
Contoh-contoh penyakit
autoimun dan penyakit
karena mekanisme
hipersensitifitas
Contoh Penyakit Autoimun
• Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
• Lupus Eritematosus Diskoid
• Sindroma Syogen
• Skleroderma (Sklerosis Sistemik)
• Sindroma Myasthenia
Pringgohutomo. (2006)
Contoh Penyakit Hipersensitifitas
Pringgohutomo, (2006)
Penyakit Kompleks Imun
• Reaksi artus
• Reaksi serum sicknes
• Aspergilosis Bronkopulmonari alergik
• Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
• Arthritis Reumatoid (AR)
• Demam Reumatik
• Sindroma Goodpasteur
• Vaskulitis
• Anemia Hemolitik
Setiati. 2014
Pengkategorian
Imunodefisiensi dan
berbagai mekanisme
penyebabnya
Klasifikasi imunodefisiensi
(Pringgoutomo, 2002)
• mekanisme 1:jumlah sel B cukup tetapi terdapat cacat pada proses diferensiasi/ fungsi terminalnya. Cacat tersebut
dapat berupa kegagalan sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma sehingga pembentukan imunoglobulin kurang
Common Variable memadai jumlahnya, atau merupakan kelainan intrinsik pada sel B sendiri. Sel T penolong memadai dan sel T penekan
Immunodeficiency ditiadakan, sel B tetap tidak mampu membentuk imunoglobulin. Pada sebagian penderita ditemukan mutasi gen yang
(CVI) mengatur imunoglobulin.
• Mekanisme 2 : fungsi abnormal dari sel T penolong, dimana pembentukan limfokin yang merangsang pembentukan
imunoglobulin yaitu IL2 dan IFN gamma jumlahnya kurang atau karena jumlah sel T penekan meningkat.
• Mekanisme 1 : cacat pada proses diferensiasi sel B pembentuk IgA. Jumlah sel B pembentuk IgA cukup
Defisiensi IgA selektif (isolated banyak tetapi menunjukkan fenotip yang imatur yaitu ditandai dengan koekspresi dengan IgD dan IgM,
(selektive) IgA deficiency) sehingga hanya sebagian besar dari sel B yang dapat berdiferensiasi menjadi sel plasma.
• Mekanisme 2 : adanya antibodi terhadap IgA sehingga IgA dirusak dan berkurang kadarnya.
• Kelainan ini disebabkan oleh kegagalan perkembangan kantong faringeal ke-3 dan 4 pada masa embrional sekitar
minggu ke-8 masa kehamilan . Akibatnya terjadi hipoplasia atau aplasia kelenjar timus dan paratiroid, serta
Sindroma DiGeorge malformasi jantung dan pembuluh darah besar. Bentuk mulut, hidung dan muka juga bisa abnormal.
(hipoplasia Timus) • Imunitas seluler tidak ada atau sangat minimal, ditandai dengan tidak adanya limfosit T dalam darah tepi dan area
parakorteks kelenjar getah bening serta periarteriola limpa. Sel plasma dan kadar imunoglobulin cenderung normal.
Imunodefisiensi Primer (lanjutan)
Sindroma Wiskott- • Bersifat X-linked recessive, mekanisme yang mendasari adalah cacat pada glineonilisasi protein membran dan cacat pada
Aldrich (imunodefisiensi pematangan sel poko hematopoetik.
disertai • Penderita semula menunjukkan kelenjar timus yang normal, namun berangsur terjadi penurunan jumlah sel T secara
trombositopenia dan progresif di sirkulasi darah dan daerah parakorteks kelenjar getah bening. Menunjukkan pembentukan antibodi normal
eksema) terhadap antigen protein, tetapi berespon buruk terhadap antigen polisakarida.
• Merupakan kombinasi defisiensi imun seluler dan hormonal. Terbagi menjadi dua kelompok, autosomal recessive
Penyakit dan X-linked recessive.
Imunodefisiensi • autosomal recessive: tidak memiliki enzim ADA (adenosin deaminasae). Akibatnya terjadi penumpukan
gabungan yang berat deoksiadenosin, deoksi ATP (Adenosine Triphosphate) dan S-adenosil homo sistein yang bersifat toksik terhadap sel
(severe Combined limfosit imatur, baik sel T maupun sel B. Karena sintesis DNA dihambat maka jumlah sel T dab B berkurang,
Immunodeficiency • X-linked recessive : adanya mutasi sehingga terjadi gangguan yang memperngaruhi reseptor sitokin IL2, 4 dan 7
Disease/SCID)
yang menghambat proses aktivasi sel T.
• Defisiensi C3 berdampak pada kerentanan terhadap infeksi bakteri piogenik, defisiensi Clq, 2 dan 4 akan berdampak pada
kerentanan terhadap penyakit kompleks imun karena terhambatnya pemusnahan kompleks imun dari sirkulasi, defisiensi
Defisiensi sistem komplemen c5-8 akan menyebabkan kerentanan terhadap golongan neisseria (gonore atau meningokok)
komplemen • Defisiensi juga dapat terjadi pada enzim penghambat aktivasi komplemen. Tidak adanya enzim C1 enterase akan
mengakibatkan aktivasi C1 secara tidak terkendali.
Cacat fungsi sistem • Sangat jarang terjadi, bermanifestasi sebagai radang glanulomatosa atau dikenal dengan istilah Job Syndrome dan
fagosit beberapa kelainan kongenital lainnya. Menyebabkna kegagalan untuk melawan infeksi.
Imunodefisiensi sekunder
menurut Kresno (2013), Golongan imunodefisiensi
sekunder lebih sering dijumpai dan dapat disebabkan berbagai
faktor misalnya malnutrisi, infeksi virus yang bersifat sitotoksik
terhadap sel limfosit seperti pada AIDS, defisiensi akibat sinar
X, obat- obat sitotoksik dan imunosupresif.
Mekanisme imunodefisiensi pada infeksi HIV
(Kresno, 2013)
segera setelah infeksi primer 1 dari 100 sel T mengandung virus. Respon semula dapat menurunkan
jumlah virus tetapi tidak lama virus dapat mengatasi perlawanan sistem imun dan berkembang cepat dan
mneginfeksi lebih banyak sel T.
Sel T yang naif jarang terinfeksi oleh virus HIV. Tetapi sel T dapat mengenali sel- sel terinfeksi sebelum
integrasi virus HIV dan ekspresi protein virus khususnya protein gag. Lebih awal epitop virus disajikan
oleh molekul MHC-I pada permukaan sel sasaran atau sel terinfeksi, lebih cepat sel T mengenali dan
menghancurkannya. Akan tetapi sel T ternyata tidak mampu mengaktifkan jalur STAT5a dan STAT5b
sebagai respons terhadap IL-2. hal ini bukan karena gangguan ekspresi IL-2R tetapi akibat dari
gangguan jalur sinyal JAK/STAT.
Penyebab utama kehilangan sel adalah apoptosis yang diinduksi oleh HIV. Sel yang mengalami apoptosis
terutama adalah sel yang tidak terinfeksi (bystander) yang dihancurkan melalui mekanisme Fas-FasL saat
sel- sel teraktivasi ( activation-induced-cell-death) atau disebabkan oleh virus yaitu Tat,gp120 dan Nef
yang dilepaskan dari sel yang terinfeksi. Terjadi puka disregulasi sitokin (produksi sitokin tipe-2 berlebihan)
yang meningkatkan suseptibilitas sel T untuk apoptosis.
Mekanisme imunodefisiensi pada infeksi HIV (lanjutan)
Kehilangan sel T disebabkan oleh aktivasi sisten imun yang berlebihan. Pembelahan sel T memori meningkat akibat aktivasi sistem
imun, meningkatkan kemampuan sel T memori mempengaruhi diri sendiri (self-renewal) tetapi sel- sel ini mempunyai masa hidup
yang sangat pendek yang berarti bahwa sel- sel yang teraktivasi ini akan mengalami apoptosis yang diinduksi aktivasi (activation-
induced-cell-death)
Disfungsi sistem imun pada infeksi HIV disebabkan oleh kelelahan dari sel T (exhaustion), baik sel T maupun sel T . Pada infeksi
kronik sel T memori secara terus menerus dirangsang oleh antigen dan secara terus menerus memperbaharui diri sendiri,
melakukan ekspansi klonal, mensekresi sitokin, meningkatkan aktivitas sitolitik, kemudian mengalami apoptosis. Proses ini
berlangsung terus sampai akhirnya sel tersebut kelelahan.
Disfungsi sel NK pada infeksi HIV menyebabkan kehgagalan sistem imun dengan cara terjadinya ekspansi sel CD56-/CD16+
pada infeksi HIV yang menunjukkan disfungsi sitolitik. Disfungsi sel NK juga dapat disebabkan oleh penekanan fungsi sel NK oleh
protein Nef virus HIV. Protein Nef yang diekspresikan oleh virus mengakibatkan sel terinfeksi virus tidak dikenali oleh sel NK
sehingga tidak terjadi sitolisis.
Jumlah sel Treg menurun selama infeksi HIV dikaitkan dengan hiperaktivasi sistem imun pada infeksi HIV. Di lain pihak, akumulasi sel
Treg dalam jaringan limfoid menyebabkan penekanan fungsi APC, dan sel T dan T efektor. Interaksi langsung Treg dengan HIV
meningkatkan daya hidup (survival) sel Treg sehingga sel Treg dapat berakumulasi dalam jaringan limfoid dan mengakibatkan
oenurunan aktivitas respon imun seluler dengan konsekuensi penyakit bertambah parah.
GAMBARAN KLINIK UMUM
DARI KONDISI
IMUNODEFISIENSI
DAN ETIOLOGINYA
Imunodefisiensi
Pringgoutomo, 2009
Lupus eritematosus sistemik (LES)
• Adalah suatu penyakit otoimun kronik yang ditandai dengan
terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen
diri yang berlainan.
Corwin, 2008
Gambaran klinis LES
• Poliartralgia (nyeri sendi) dan artritis (peradangan sendi)
• Demam akibat peradangan kronik
• Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu - kupu) di pipi
dan hidung. Kata lupus berarti srigala dan mengacu kepada
penampakan topeng seperti srigala
• Lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya aliran darah
dan hipoksia kronik
• Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulang, dan perdarahan
karena terjadi serangan terhadap sel darah merah dan sel
darah putih serta trombosit
• Adanya edema mata dan kaki
Corwin, 2008
Common variable immunodefisiensi (CVI)
• Kelainan ini bisa muncul sebagai kelainan imunodefisiensi
primer ataupun sekunder.
• kelainan ini bisa timbul pada laki-laki ataupun perempuan,
timbul pada masa anak-anak atau dewasa muda. Gejala
klinik Penderita biasanya menunjukkan infeksi bakteri yang
berulang, rentan infeksi entero virus, virus herpes zoster dan
diare persisten akibat giardiasis. Penderita biasanya
cenderung menderita penyakit autoimun dan keganasan sel
limfoid.
Pringgoutomo, 2009
Defisiensi Ig A selektif (isolated selective Ig
A Deviciency)
• Penderita kelaianan ini bisa asimtomatik. Gejala klinik ini
biasanya berupa infeksi berulang pasa daerah mukosa seperti
saluran pernafasan, saluran cerna dan urogenital. Hal ini
karena selain Ig A sekretorik yang merupakan sawar
pertahanan utama pada mukosa berkurang. Penderita juga
mengalami penyakit alergi dan autoimun.
Pringgoutomo, 2009
Alergi
adalah rangsangan berlebihan terhadap reaksi peradangan
yang terjadi sebagai respon terhadap antigen lingkungan
spesifik
Antigen penyebab aliergi = alergen
Corwin, 2008
Gambaran klinis alergi
• Pembengkakan lokal, gatal, dan kemerahan kulit, bila yang
terpajan alergen ke kulit. Bila reaksi tipe IV sering ditandai
dengan lepuhan dan pengerasan pada area yang terkena.
• Diare dan kram abdomen, pada pajanan alergen ke saluran
cerna.
• Rinitis alergi, yang ditandai dengan mata gatal dan pilek
encer, pada pajanan alergen ke saluran nafas. Terjadi
pembengkakan dan kongesti adanya kesulitan bernafas
akibat konstriksi otot polos bronkiolius pada jalan nafas yang
di induksi oleh histamin.
Corwin, 2008
Sindroma diGeorge (hipoplasia timus)
• Kelainan ini disebabkan oleh kegagalan perkembangan
kantong faringeal ke 3 dan 4 pada masa embrional
sekitar minggu ke 8 embrional. Akibatnya terjadi
hipoplasia atau aplasia kelenjar timus dan paratiroid,
serta malformasi jantung dan pembuluh darah besar.
• Gejala klinis penderita rentan terhadap infeksi virus
dan jamur disertai tetani akibat aplasia kelenjar
paratiroid
Pringgoutomo, 2009
Sindroma wiskott-Aldrict (imunodefisiensi
disertai trombositopenia dan eksema)
Pringgoutomo, 2009
Penyakit imunodefisiensi gabungan
yang berat (severe combined
immunodeficiency disease)
• Kelainan ini merupakan kombinasi defisiensi
imun sellular dan humoral. Dikenal 2 kelompok
kelainan yaiyu yang dituurunkan secara
autosamal recessive dan x-linked resessive.
• Secara klinis penderita menunjukkan
kereantanan terhadap jenis infeksi, baik
bakterial, jamur maupun virus dan tidak
dijumpai imunoglobulin dalam darah.
Pringgoutomo, 2009
Defisisensi sistem komplemen
• Defisiensi komplemen merupakan substansi penting dalam
reaksi radang dan reaksi imun yang akan menyebabkan
gangguan sesuai fungsinya masing-masing.
- Defisiensi C3 => rentan terhadap bakteri piogenik
- Defisiensi Clq, 2, dan 4 => rentan terhadap penyakit
kompleks imun karena terhambat pemusnahan kompleks
dari sirkulasi.
- Defisiensi C5-8 => rentan terhadap golongan neisseria
(gonore dan meningokok)
Pringgoutomo, 2009
Cacat fungsi sistem fagosit
• Cacat fungsi sistem fagosit sangat jarang terjadi. Gangguan
ini menyebabkan kegagaan dalam melawan infeksi.
Pringgoutomo, 2009
Imunodefisiensi sekunder
Penyakit imunodefisiensi yang disebabkan karena infeksi virus HIV
Gambaran klinis :
- Gejala mirip flu, demem ringan, nyeri badan, menggigil, dapat
muncul beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi. Gejala
menghilang setelah respon imun awal menurunkan jumlah
partikel virus, walaupun virus tetap bertahan tetepi sel lain
terinfeksi.
- Periode laten, orang yang terinveksi virus HIV akan
memperlihatkan gejala limfadenopati (pembengkakan kelenjar
getah bening)
Corwin, 2008
Gambaran klinis imunodefisiensi sekunder
Corwin, 2008
Gambaran klinis imunodefisiensi sekunder
• Diare dan berkurangnya lemak tubuh, sering terjadi karena
infeksi virus dan protozoa. Serta adanya infeksi jamur
(thrush) dimulut dan esofagus, sehingga menyebabkan
penderita mengalami nyeri hebat saat menelan, dan
mengunyah.
• Berbagai kanker muncul pada pasien AIDS, akibat tidak
adanya respon imun pada sel neoplastik
Corwin, 2008
Referensi
• Kresno, S. B. (2013). Imunologi: Diagnosis dan Prosedur
Laboratorium. (Ed. ke 5). Jakarta: Badan Penerbit FK UI.
• Pringgoutomo, S., Himawan, S., & Tjarta, A. (2006). Buku Ajar
Patologi I (Umum). (Ed. ke-1 rev). Jakarta: Sagung Seto.
• Sudoyo, A. W., dkk. (2007). Ilmu Penyakit Dalam. (Ed. ke IV).
Jakarta: Badan Penerbit FK UI
• Corwin, E.J. (2009). Buku saku patofisiologi. Edisi 3. Jakarta. Buku
kedokteran EGC.
• Setiati. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I.
Jakarta: Interna Publishing