Kelompok 2
Fitriana
Wardatullahtiva ak
Radil Arnas
Rahmatiyah
AUTOIMUNE
Penyakit autoimun terjadi ketika respon sistem Autoimun merupakan suatu respon imun terhadap
kekebalan tubuh mengalami gangguan kemudian antigen jaringan sendiri yang terjadi akibat kegagalan
meyerang tubuh itu sendiri sehingga memunculkan mekanisme normal yang berperan untuk
kerusakan jaringan atau gangguan fisiologis,padahal mempertahankan self tolerance atau kekagalan pada
seharusnya sistem imun hanya menyerang organisme toleransi imunitas sendiri sel B, Sel T atau keduanya.
atau zat-zat asing yang membahaynkan
tubuh(Baratawijaya, 2006).
Autoimun
Kegagalan sistem imun mengenali non-self reaktive dan self-reaktive
Mempengaruhi satu organ saja misal, diabetes type 1, berikur beberapa penyakit autoimun organ : 3. Sjorgen syndrome
• Meterang jaringan lakrimal dan
1. Diabetes melitus tipe 1 3. hasimoto’s thyroidtis kelenjar saliva
• Abnormalitas imun pada DM 1 • Meterang kelenjar tiroid terjadi • Terjadinya infiltasi Limfosit
akibat kegagalan toleransi self akumulasi limfosit pada tiroid dengan banyak CD4 dan sel
pada sel T spesifik rehadap • Akan memicu autoimun proses plasma
antigen di sel lengerhans pada • Sehingga terjadilah
pangkreas hyporttyroidism. Hyporttyroidism 4. Multipel Sclerosls
• Sel berpindah ke pangkreas dan adalah kondisi ganguan hormoin - Gangguan mielinasi pada saraf
beraksi terhadap sel B tiroid atau tidak adanya pusat
• Sel T helper 1 akan sekresi IFN- pembuatan hormon tiroid. - Sehingga akan mengakibatkan
gamma da TNF sementara sel T penyakit syaraf
sitotoksik akan membunuh sek B - Mielin dianggap sebagai antigen
secara langsung sehingga menginisiasai T helper
• Sehingga memnyebabkan sel untuk mengeluarka sitokin
tidak memproduksi insulin - Sehingga terjadi autoimun
Patogenesis autoimun
Mekanisme DM tipe 1
DM tipe 1
Patogenesis Autoimun
Gangguan autoimun dapat dikelompokkan dalam
• Penyakit autoimun organ,berarti sistem imun menyerang satu organ tertentu.
• Penyakit autoimun sistemik, berarti sistem imun meyerang beberapa organ atau sistem tubuh yang lebih luas.
Respon imun melawan suatu antigen yang meyerang secara sistemik. Berikut macam-macam penyakit autoimun pada pada non-spesifik atau sitemik
Mekanisme SLE
Mekanisme Rheumatoid Athtritis
Diagnosa penyakit autoimun
1. Complete Blood cound (CBC)
Dihitung leukosi dan trombosit, seseorang yag terkena penyakit
autoimun akan mengalami trombositopenia dan leukopenia
2. Immunofluoroscence assay
Dilakukan dengan mencampu serum pasien pada slide dengan label
flourosense antibodi sekunder yang melawan antibodi manusia. Digunakan
Pewarna untuk mewarnai nukleus. Diamati dibawah mikrosko fliorosens.
3. Flow cytometry
menembakkan laser ke alitan sel-sel limfost pada sistem fluida
Serta dimonitoring di komputer untuk menghotung jumlah sel yang telah diberi
Tanda flourosense.
6. Pemanfaatan Komplemen
Dilakukan teknik CH5O, dengan mengencerkan larutan komplemen sam 50% jika
tetap melisiskan sel darah meah maka aktivitas komplemen masih baik namun jika
Tidak maka kelainana pada sistem komplemen.
REVIEW JURNAL
JURNAL 1
Judul : SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE): KELAINAN AUTOIMUN BAWAAN YANG
(Literature review) yang membahas tentang kelainan autoimun bawaan yang langka Sumber diperoleh dari
literatur meliputi sumber buku, jurnal maupun, sumber dari kementerian kesehatan.
JURNAL 1
Hasil penelitian :Penelitian membuktikan bahwa penghapusan gen Foxp3 pada mencit menyebabkan mencit kehilangan
sel Tregs. Mutasi pada gen Foxp3 mengakibatkan adanya lesi inflamatorik terkait imun sistemik yang sangat agresif dan
fatal. Defek lain pada gen Foxp3 mengakibatkan immunodeficiency, polyendocrinopathy, enteropathy, X-linked syndrome
(IPEX).25 Analisis terhadap pasien IPEX menunjukkan hilangnya Foxp3 berdampak pada cacatnya sel Tregs dan hilangnya
fungsi Tregs sebagai supresi sel efektor. Akibat hilangnya fungsi supresi Tregs, terjadilah induksi proses autoimun. Mencit
yang mengalami autoimun dapat diselamatkan dengan mentransfer sel Tregs CD4+CD25+Foxp3 dan Penelitian terkini
menunjukkan bahwa Sel T CD4 dapat dimodifikasi dengan penggunaan sistem vektor virus untuk mengekspresikan suatu
chimeric antigen receptor (CAR) yang menargetkan suatu jaringan tertentu in trans dengan gen FoxP3 yang memicu
diferensiasi Tregs.[8] CAR/FoxP3-Engineered Tregs mengkespresikan FoxP3 dan mempunyai afinitas kuat pada self-antigen
melalui reseptor CAR, sehingga memiliki kesamaan dengan natural Tregs. Penelitian tersebut memungkinkan dibuatnya
terapi autoimun yang bersifat selektif dan stabil sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tata laksana autoimun secara efektif
dan mengurangi efek samping terapi konvensional.[9,10]
JURNAL 1
Kesimpulan :CAR/FoxP3-Engineered Tregs mengekspresikan FoxP3 dan mempunyai afinitas kuat pada self-antigen melalui
reseptor CAR, sehingga memiliki kesamaan dengan natural Tregs. Konstruksi juga mengandung gen FoxP3 untuk memicu
Sel T CD4 yang ditransduksi menjadi Tregs yang stabil. Rekayasa sel Tregs dengan koekspresi CAR/FoxP3 terbukti
menunjukkan kapasitas imunosupresif in vitro dan mengurangi gejala inflamasi pada mencit dalam in vivo secara selektif
dan stabil.[8,9,28] Rekayasa Tregs ini memiliki ketrebatasan yaitu pemilihan dan pengembangan populasi sel dikarenakan
FoxP3 sebagai biomarker utama terletak dibagian terdalam yaitu intranuklear. Tantangan lainnya adalah untuk
menghasilkan Tregs yang spesifik terhadap antigen, membutuhkan stimulasi antigen untuk waktu yang lebih lama.
Saran : Gagasan ilmiah dalam karya tulis ini berpotensi untuk diterapkan, sehingga memerlukan kajian dan
penelitian yang lebih mendalam untuk pengembangan populasi sel, pemilihan dosis yang lebih efektif, lama
terapi, serta efek klinis lebih lanjut dalam penatalaksanaan penyakit autoimun, sehingga potensi dari Sel T
Regulator dengan koekspresi Chimeric Antigen Receptor dan gen FoxP3 (CAR/FoxP3Engineered Tregs)
menjadi lebih aplikatif.
JURNAL 2
Judul : HUBUNGAN KEPARAHAN PENYAKIT, AKTIVITAS, DAN KUALITAS TIDUR TERHADAP KELELAHAN
Tujuan : Untuk mengetahui tentang peran imunitas humoral pada penyakit SYSTEMIC LUPUS
ERYTHEMATOSUS (SLE)
Metode Penelitian: Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan rancangan penelitian cross sectional.
Penelitian ini dilakukan di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang. Populasi dalam penelitian ini adalah
pasien SLE di Yayasan Lupus Panggon Kupu. Sampel penelitian berjumlah 30 responden yang memeuhi kriteria inklusi
dan eksklusi sampel penelitian dan diperoleh dengan menggunakan teknik Total Sampling.
JURNAL 2
Hasil penelitian :Dalam penelitian ini kualitas tidur memiliki hubungan terhadap kelelahan pada pasien Systemic Lupus
Erythematosus, hal ini disebabkan karena pasien yang memiliki kualitas tidur buruk lebih besar dibandingkan pasien
dengan kualitas tidur baik. Kualitas tidur yang buruk pada responden dapat dilihat dari lamanya responden tidur di malam
hari hanya 4-5 jam, masalah-masalah yang sering dirasakan yang mengganggu tidur mereka seperti tidak mampu tertidur
selama 30 menit sejak berbaring, terbangun ditengah malam, terbangun untuk ke kamar mandi, kedinginan atau
kepanasan dimalam hari, dan mengalami mimpi buruk. Penyakit dengan gejala nyeri atau distress fisik juga dapat
menyebabkan gangguan tidur. Individu yang sakit membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak dari pada biasanya. Aspek-
aspek kualitas tidur yaitu : (1) nyenyak selama tidur, (2) waktu tidur minimal enam jam, (3) tidur lebih awal dan bangun
lebih awal, (4) merasa segar setelah bangun tidur, (5) tidak bermimpi (Nashori, 2004; Gaitanis et al, 2005).
Kesimpulan :Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang
berhubungan dengan kelelahan yaitu: tingkat keparahan penyakit (r value = 0,853, p value = 0,00, OR=4,224) dan kualitas
tidur (r value = 0,796, p value = 0,00, OR=4,541), dan faktor yang tidak berhubungan yaitu aktivitas fisik (r value = 0,79, p
value=0,678, OR=1,575). Faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan kelelahan yaitu kualitas tidur (p value =
JURNAL 3
Judul : Pencegahan Transmisi Virus Hepatitis B Pada
Masa Perinatal
(Literature review) yang membahas tentang penularan virus hepatitis B masa perinatal. Sumber diperoleh dari
literatur meliputi sumber buku, jurnal maupun, sumber dari kementerian kesehatan.
Hasil Penelitian JURNAL 3
Risiko penularan Hepatitis B perinatal tertinggi pada wanita dengan tingkat viraemia tinggi, penularan terbesar terjadi kepada bayi
yang dilahirkan oleh ibu dengan positif hepatitis B. Beberapa upaya
a) Pasangan seropositif dan HBsAg seronegatif harus diberikan vaksin hepatitis B. Bila wanita dengan HBsAg positif, maka neonatus harus
menjalani protokol imunoprofilaksis yang terdiri dari imunoglobulin hepatitis B yang diikuti vaksinasi hepatitis B,
b) Seksio Sesar: beberapa penelitian kontradiktif mengenai efektifitas dari seksio sesaria elektif sebagai upaya untuk pencegahan transmisi
vertikal hepatitis B. Hasil penelitian lain menyatakan bahwa seksio sesaria elektif berhasil menurunkan transmisi hepatitis B setengah
dari transimisi persalinan pervaginam.
c) Imunoprofilaksis: beberapa antivirus yang dapat digunakan untuk pencegahan penularan hepatitis B diantaranya lamivudin, telbivudin
dan tenofovir.
2. Masa Laktasi Lamivudin dan Tenofovir sudah diterima sebagai pengobatan pencegahan transmisi
vertikal HIV dan dinyatakan aman digunakan saat menyusui. Namun, belum ada rekomendasi penggunaan lamivudin dan tenofovir pada
masa menyusui. Post Partum Flare: Ibu hamil yang mendapatkan terapi antivirus selama kehamilan berisiko lebih tinggi mengalami post
partum flare dan akan terjadi perbaikan spontan, diperlukan Follow up ketat selama 6 bulan. Manajemen flare harus disesuaikan dengan
JURNAL 3
Kesimpulan :
hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi fibrosis (jaringan parut),
sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai faktor seperti infeksi virus, zat
beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu), dan penyakit autoimun. Risiko penularan
Hepatitis B perinatal tertinggi pada wanita dengan tingkat viraemia tinggi, penularan terbesar
terjadi kepada bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan positif hepatitis B.
REFRENSI
Baratawidjaya, Karnen Garna 2006. Imunologi Dasar. Universitas Indonesia Press.
Branch D, Porter T 2000. Autoimune disease. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option.
2 nd ed. New York: W.B Saunders; p. 853-84.
Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea 2001. Connective tissue disorders. In: Williams Obstetrics. 21 st
ed.
New York: McGraw Hill. p. 1383-99
Underwood JCE 2002. Patologi. Umum dan sistematik. Second Ed. Terjemahan Sarjadi. Penerbit EGC, Jakarta
THANK YOU