TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1
Sumber : ( Chandrasoma dkk 2016,Anatomi Sistem Pencernaaan Edisi 2)
1. Anatomi
Menurut Sodikin (2016), sistem pencernaan terdiri atas sebuah
saluran panjang yang dimulai dari mulut sampai anus (rectum)
1) Mulut
Mulut merupakan bagian pertama saluran cerna. Bagian atas
mulut dibatasi oleh palatum, sedangkan pada bagian bawah
dibatasi oleh mandibula, lidah, dan struktur lain dari dasar
mulut. Bagian lateral mulut dibatasi oleh pipi. Sementara itu,
bagian depan mulut dibatasi oleh bibir dan bagian belakang
oleh lubang yang menuju faring (Sodikin, 2016).
2) Lidah
Menurut Sodikin (2016), lidah tersusun atas otot yang
dilapisi, pada bagian atas dan samping oleh membrane
mukosa. Lidah menempati rongga mulut dan melekat secara
langsung pada epiglotis dalam faring. Lidah diinervasi oleh
berbagai saraf. Bagian sensorik diinervasi oleh nevrus
lingualis, yang merupakan cabang saraf kranial V
(trigeminal). Nevrus ini menginervasi dua pertiga anterior
lidah untuk pengecapan. Saraf kranial VII (fasialis)
meninervasi dua pertiga anterior untuk rasa kecap. Saraf
kranial IX (glosofaringeal) meginervasi sepertiga posterior
untuk raba dan rasa kecap. Sementara itu, inervasi motorik
dilakukan oleh saraf kranial XII (hipoglosus).
3) Gigi
Pertumbuhan gigi merupakan proses fisiologis dan dapat
menyebabkan salvias yang berlebihan serta rasa tidak nyaman
(nyeri). Manusia mempunyai dua set gigi yang tumbuh
sepanjang masa kehidupan mereka. Set pertama adalah gigi
primer (gigi susu atau desisua) yang bersifat sementara dan
tumbuh melalui gusi selama tahun pertama serta kedua
kehidupan. Gigi susu berjumlah 5 buah pada setiap setengah
rahang (jumlah seluruhnya 20), muncul (erupsi) pada sekitar 6
bulan sampai 2 tahun. Gigi susu berangsur tanggal pada usia 6
sampai 12-13 tahun, kemudian diganti secara bertahap oleh gigi
tetap (gigi permanen) pada orang dewasa. Set kedua atau set
gigi permanen berjumlah 8 buah pada setiap setengah rahang
(jumlahnya seluruhnya 32) dan mulai tumbuh pada usia sekitar
6 tahun. Pada usia 25 tahun ditemukan semua gigi permanen,
dengan kemungkinan pengecualian dari gigi molar ketiga atau
gigi sulung (Sodikin, 2016).
Sebuah gigi mempunyai mahkota, leher, dan akar. Mahkota gigi
menjulang di atas gigi, lehernya dikelilingi gusi, dan akarnya
berada dibawahnya. Gigi dibuat dari bahan yang sangat keras,
yaitu dentin. Di dalam pusat strukturnya terdapat rongga pulpa.
Pulpa gigi berisi sel jaringan ikat, pembuluh darah, dan serabut
saraf. Bagian gigi yang menjulang di atas gusi ditutupi email,
yang jauh lebih keras daripada dentin (Pearce, 2016)
4) Esophagus
Esophagus adalah saluran berotot dengan panjang sekitar 25 cm
dan diameter sekitar 2 cm yang berjalan menembus diafragma
untuk menyatu dengan lambung di taut gastroesofagus. Fungsi
utama dari esofagus adalah membawa bolus makanan dan cairan
menuju lambung (Muttaqin, dkk, 2016)
5) Lambung
Lambung adalah bagian dari saluran pencernan yang dapat
mekar paling banyak. Terletak terutama di daerah epigastrik, dan
sebagian di sebelah kiri daerah hipokondriak dan umbilikal.
Lambung terdiri dari bagian atas yaitu fundus, batang utama, dan
bagian bawah yang horizontal, yaitu antrum pilorik. Lambung
berhubungan dengan esofagus melalui orifisium atau kardia, dan
dengan duodenum melalui orisium pilorik. Lambung terletak di
bawah diafragma, di depan pankreas. Dan limpa menempel pada
sebelah kiri fundus (Pearce, 2017).
6) Usus Halus
Usus halus terbagi menjadi duodenum, jejunum, dan ileum.
Panjang usus halus saat lahir 300-350 cm, meningkat sekitar 50%
selama tahun pertama kehidupan. Saat dewasa panjang usus halus
mencapai ± 6 meter (Sodikin, 2016).
8) Hati
9) Pankreas
Merupakan organ panjang pada bagian belakang abdomen atas,
memiliki struktur yang terdiri atas kaput (didalam lengkungan
duodenum), leher pankreas, dan kauda (yang mencapai limpa).
Pancreas merupakan organ ganda yang terdiri atas dua tipe
jaringan, yaitu jarinagan sekresi interna dan eksterna (Sodikin,
2016).
10) Peritoneum
Peritoneum ialah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam
tubuh. Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum
parietal, yang melapisi dinding rongga abdominal, dan peritoneum
viseral, yang meliputi semua organ yang berada di dalam rongga itu
(Pearce, 2017).
Fisiologi saluran cerna terdiri atas rangkaian proses memakan atau
ingesti makanan dan skresi getah pencernaan kedalam sistem
pencernaan. Getah pencernaan membantu pencernaan atau digesti
makanan. Hasil pencernaan akan diabsorbsi kedalam tubuh, berupa
zat gizi.
Gambar 2.2
Sumber : (Mustaqin A, dkk 2017 medikal bedah edisi 1)
B. DEFINISI
Gastroenteritis adalah suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan cairan
dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih
buang air dengan bentuk tinja yang encer dan cair (Suriadi,2017).
Gastroenteritis adalah Suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal
atau tidak seperti biasanya, ditandai dengan peningkatan volume, keenceran, serta
frekuensi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonatus lebih dari 4 kali sehari dengan
atau tanpa lendir darah (Aziz, 2016).
Gastroenteritis adalah Penyakit yang ditandai dengan bertambahnya
frekuensi defikasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi
tinja (menjadi cair) dengan/tanpa darah atau lendir (Suratmaja, 2016).
Berdasarkan defenisi penyakit gastroenteritis menurut para ahli maka penulis
dapat menarik suatu kesimpulan bahwa penyakit gastroenteritis adalah
meningkatnya frekwensi buang air besar dimana pada bayi > 4x/ hari dan pada
anak >3x/ hari dengan konsistensi tinja encer, cair, dapat disertai lendir dan
darah yang dapat menyebabkan terjadinya kekurangan cairan dan elektrolit
yang berlebihan.
C. ETIOLOGI
Gastroenteritis bukanlah penyakit yang datang dengan sendirinya.
Biasanya ada yang menjadi pemicu terjadinya gastroenteritis. Secara umum,
berikut ini beberapa penyebab gastroenteritis menurut Rofiq (2016), yaitu :
a. Infeksi oleh bakteri, virus atau parasit
b. Alergi terhadap makanan atau obat tertentu
c. Infeksi oleh bakteri atau virus yang menyertai penyakit lain seperti : campak,
infeksi telinga, infeksi tenggorokan, dan malaria.
d. Pemanis buatan, makanan yang tidak dicerna dan tidak diserap usus akan
menarik air dari dinding usus. Dilain pihak, pada keadaan ini proses transit di
usus menjadi sangat singkat sehingg air tidak sempat diserap oleh usus besar.
Hal inilah yang menyebabkan tinja berair pada gastroenteritis. Selain
rotavirus, gastroenteritis juga disebabkan akibat kurang gizi, alergi, tidak tahan
terhadap laktosa, dan sebagainya. Bayi dan balita banyak yang memiliki
intoleransi terhadap laktosa dikarenakan tubuh tidak punya atau hanya sedikit
memiliki enzim laktosa yng berfungsi mencerna laktosa yang terkandung susu
sapi.
e. Faktor Psikologis : Rasa takut dan cemas (jarang tetapi dapat terjadi pada anak
yang lebih cemas).
Menurut Suratmadja (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
gastroenteritis dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Kuman/
Penyebab Masyarakat Carier
Penyakit
gastroenteriti
s
Keadaan Penduduk Sosial EKonomi Lain-lain faktor
GAMBAR 2.3
(Sumber : Suratmaja, 2016)
a. Derajat Dehidrasi
Ada beberapa teori tentang menentukan derajat dehidrasi. Menurut Suratmaja
(2017), menilai derajat dehidrasi dengan kehilangan berat badan yaitu :
i. Dehidrasi ringan : Bila terjadi penurunan berat badan 2½ - 5% dengan volume
cairan yang kurang dari 50 ml/Kg
ii. Dehidrasi sedang : Bila terjadi penurunan berat badan 5 – 10% dengan
volume cairan yang kurang dari 50 ml/Kg
iii. Dehidrasi berat : Bila terjadi penurunan berat badan > 10 %, dengan volume
cairan yang hilang sama dengan atau lebih dari 100 ml/Kg
D. EPIDEMIOLOGI
Badan penelitian kesehatan dunia WHO mengadakan tinjauan
kejadian Gastroenteritis di dunia, diantaranya Insiden terjadi di Asia
Tenggara sekitar 583.635 dari jumlah penduduk setiap tahunnya.
Prevalensi Gastroenteritis yang dikonfirmasi melalui endoskopi pada
populasi di Shanghai sekitar 17,2% yang secara substantial lebih tinggi
daripada populasi di barat yang berkisar 4,1% dan bersifat asimptomatik.
Gastroenteritis biasanya dianggap sebagai suatu hal yang remeh namun
Gastroenteritis merupakan awal dari sebuah penyakit yang dapat berakibat
terjadi komplikasi. Persentase dari angka kejadian Gastroenteritis di
Indonesia menurut WHO adalah 40,8%. Angka kejadian Gastroenteritis
pada beberapa daerah di Indonesia cukup tinggi dengan prevalensi
274,396 kasus dari 238,452,952 jiwa penduduk, Angka kejadian
Gastroenteritis akut di Provinsi kalimantan Selatan sebesar 42% (Khusna,
2016),
Dari data yang di dapatkan di Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Selatan pada tahun 2017 jumlah penderita Gastroenteritis di seluruh
Rumah Sakit di Kalimantan Selatan sebanyak 700 orang. Dan menurut
data Badan Statistik tahun 2013 di Kota Banjarmasin jumlah penderita
Gastroenteritis akut sebanyak 31.290 orang (BPS Kota Banjarmasin, 2016).
Pada tahun 2015 dari data yang di dapatkan di Dinas Kesehatan Provinsi
Kalimantan Selatan Gastroenteritis termasuk dalam 5 penyakit dari 20
penyakit terbanyak yang terjadi di Kota Banjarmasin dengan jumlah
kejadian 25.950 orang. Dan data yang di dapatkan dari data Dinas
Kesehatan Kota Banjarmasin pada tahun 2017 tercatat jumlah kasus baru
penderita Gastroenteritis di Kota Banjarmasin tercatat sebanyak 10.702
orang atau sekitar 2,40% orang (Dinkes Kota Banjarmasin, 2017).
Berdasarkan data-data Hasil medical Record Rumah sakit suaka insan
Banjarmasin selama 6 bulan terakhir (2020) menunjukan pasien yang
mengalami kasus Gastroenteritis akut di rumah sakit suaka insan
Banjarmasin didapatkan sebanyak 497 kasus
E. PATOFISIOLOGI
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya gastroenteritis menurut (Iwansain,
2016) yaitu:
a. Gangguan osmotik
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan
osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit ke dalam lumen usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan
merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul gastroenteritis.
b. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya
timbul gastroenteritis kerena peningkatan isi lumen usus.
c. Gangguan mortilitas usus
Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan sehingga timbul gastroenteritis. Sebaliknya bila peristaltik
usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya
dapat timbul gastroenteritis pula.
GAMBAR 2.4
(Sumber : Suratmaja, 2016)
F. COLABORATIVE CARE MANAGEMENT
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam menegakan diagnosa kausal
yang tepat sehingga kita dapat memberikan obat yang tepat pula. Menurut
Abdurrahman (2016), pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan yaitu :
a. Pemeriksaan tinja
1) Makroskopis dan mikroskopis
2) pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet clinitest,
bila diduga terdapat intoleransi gula.
3) Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.
b. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam-basa dalam darah, dengan
menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan
c. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
d. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan fosfor
dalam serum (terutama pada penderita gastroenteritis yang disertai kejang).
e. Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik atau
parasit secara kualitatif dan kuantitatif, terutama dilakukan pada penderita
gastroenteritis kronik.
2) Medikasi
Prinsip pengobatan gastroenteritis ialah menggantikan cairan yang hilang
melalui tinja dengan atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung
elektrolit dan glukosa karbohidrat lain (gula, air tajin, tepung beras dan
sebagainya).
a. Pemberian cairan
a) Cairan dehidrasi oral (oral dehydration salts)
Formula lengkap mengandung NaC, NaHCO3, KCl dan glukosa. Kadar
natrium 90 mEq/l untuk kolera dan gastroenteritis akut pada anak di
atas enam bulan dengan dehidrasi ringan dan sedang atau tanpa
dehidrasi (untuk pencegahan dehidrasi).
Formula sederhana (tidak lengkap) hanya mengandung NaCl dan
sukrosa atau karbohidrat lain, misalnya larutan gula garam, larutan air
tajin garam, larutan tepung beras garam dan sebagainya untuk
pengobatan pertama di rumah pada semua anak dengan gastroenteritis
akut baik sebelum ada dehidrasi maupun setelah ada dehidrasi ringan.
b) Cairan parenteral
DG aa (1 bagian larutan Darrow + 1 bagian glukosa 5%). RG g (1
bagian Ringer laktat + 1 bagian glukosa 5%). RL (Ringer Laktat). 3 @
(1 bagian NaCl 0,9% = 1 bagian glukosa 55 + 1 bagian Nalaktat 1/6
mol/1). DG 1 : 2 (1 bagian larutan Darrow + 2 bagian glukosa 5%).
RLg 1 : 3 (1 bagian Ringer Laktat = 3 bagian glukosa 5-10%). Cairan 4
: 1 (4 bagian glukosa 5-10% + 1 bagian NaHCO 3 1 ½ % atau 4 bagian
glukosa 5-10% 1 bagian NaCl 0,9%).
c) Pengobatan diatetik
Untuk anak di bawah satu tahun dan anak di atas satu tahun dengan
berat badan kurang dari 7 kg. Susu (ASI dan atau susu formula yang
mengandung laktosa rendah dan asam lemak tidak jenuh, misalnya
LLM, Almiron). Makanan setengah padat (bubur susu) atau makanan
sehat (nasi tim) bila anak tidak mau minum susu karena di rumah
sudah biasa diberi makanan padat. Susu khusus yaitu susu yang tidak
mengandung laktosa atau susu dengan asam lemak bernatia
sedang/tidak jenuh, sesuai dengan kelainan yang ditemukan, untuk anak
di atas satu tahun dengan berat badan lebih dari 7 kg. Makanan padat atau
makanan cair/susu sesuai dengan kebiasaan makan di rumah.
d) Obat anti sekresi
- Asetasol
Dosis: 25 mg/tahun dengan dosis minimum 30 mg.
- Klorpromazin
Dosis: 0,5 – 1 mg/KgBB/hari.
e) Obat anti spasmolitik
Pada umumnya obat anti spasmolitik seperti papaverine, ekstrak
beladona, opium, loperamid dan sebagainya tidak diperlukan untuk
mengatasi gastroenteritis akut.
f) Obat pengeras tinja
Obat pengeras tinja seperti kaolin, pectin, charcoal, tabonal dan
sebagainya tidak ada manfaatnya untuk mengatasi gastroenteritis.
g) Antibiotika
Pada umumnya antibiotika tidak diperlukan untuk mengatasi
gastroenteritis akut, kecuali bila penyebabnya jelas seperti: (a) Kolera,
diberikan tetrasiklin 25 – 50 mgBB/hari; dan (b) Campylobacter,
diberikan eritromisin 40 – 50 mgBB/hari.
2) Diagnosa Keperawatan
memaparkan tentang pengertian dari diagnosa keperawatan, yaitu merupakan
pernyataan yang menggambarkan respons manusia (keadaan sehat atau
perubahan pola interaksi aktual / potensial) dari individu atau kelompok ketika
perawat secara legal mengidentifikasi dan dapat memberikan intervensi secara
pasti untuk menjaga status kesehatan atau untuk mengurangi, menyingkirkan,
atau mencegah perubahan, Perumusan masalah keperawatan ditulis dalam
suatu diagnosa keperawatan yang merupakan pernyataan dan disertai dengan
penjelasan mengenai status kesehatan atau masalah aktual atau resiko.
(Rohmah dkk,2017),
Menurut NANDA dalam Nursalam (2016), Diagnosa keperawatan adalah
keputusan klinik mengenai respons individu keluarga dan masyarakat berkaitan
dengan masalah kesehatan aktual atau potensial, sebagai dasar seleksi
intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai
dengan kewenangan perawat. Diagnosa keperawatan diangkat dari kumpulan
data yang diperoleh dari pengkajian melalui observasi, wawancara dan studi
kepustakaan.
Menurut, M. E. Doenges (2016) diagnosa keperawatan yang sering muncul
pada klien gastroenteritis adalah :
1) Perubahan eliminasi alvi (BAB) gastroenteritis berhubungan dengan
peningkatan peristaltik usus.
2) Perubahan keseimbangan cairan elektrolit kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan out put yang berlebihan.
3) Perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
inadekuat absorbsi nutrisi.
4) Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan frekuensi BAB berlebihan
5) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan seringnya BAB.
6) Resiko terjadinya syok berhubungan dengan kehilangan cairan dan
elektrolit.
7) Ansietas dan takut pada anak/orang tua berhubungan dengan hospitalisasi
kondisi anak.
3) Perencanaan
Perencanaan dalam proses keperawatan dimulai setelah data yang dikumpulkan
sudah dianalisa dan masalah-masalah atau diagnosa keperawatan telah
ditentukan. Secara sederhana perlu cara merumuskan keputusan awal apa yang
akan dilakukan, bagaimana, kapan itu dilakukan, dan siapa yang akan
melakukan kegiatan tersebut.
Perencanaan mencakup diagnosa keperawatan yang telah diprioritaskan,
tujuan, kriteria standart dan rasionalisasi tindakan.
4) Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang disengaja dan sistematik dimana penilaian dibuat
mengenai kualitas, nilai atau kelayakan dari sesuai dengan membandingkan
pada kriteria yang diidentifikasi atau standar sebelumnya. Dalam proses
keperawatan, evaluasi adalah suatu aktifitas yang direncanakan, terus
menerus, aktifitas yang disengaja dimana setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pasien, keluarga dan perawat serta tenaga profesional
lainnya menentukan; kemajuan pasien terhadap outcome yang dicapai dan
keefektifan dari rencana asuhan keperawatan (Nurjanah, 2017).
Menurut Rohmah dkk, (2016), evaluasi adalah penilaian dengan cara
membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan
dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
Menurut Rohmah dan Walid (2009), macam-macam evaluasi antara lain :
(1) Evaluasi proses (formatif) ; evaluasi yang dilakukan setiap selesai
tindakan, berorientasi pada etiologi, dilakukan secara terus-menerus
sampai tujuan yang telah ditentukan tercapai.
(2) Evaluasi hasil (sumatif) :evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan
keperawatan secara paripurna, berorientasi pada masalah keperawatan,
menjelaskan keberhasilan / ketidak berhasilan, rekapitulasi dan
kesimpulan status kesehatan pasien sesuai dengan kerangka waktu yang
ditetapkan.
Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada akhir proses keperawatan
tetapi tahap ini merupakan bagian integral pada setiap tahap proses
keperawatan. Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan
kecukupan data yang telah dikumpulkan dan kesesuaian perilaku yang
diobservasi. Diagnosis juga perlu dievaluasi dalam hal keakuratan dan
kelengkapannya. Evaluasi juga diperlukan pada tahap intervensi untuk
menentukan apakah tujuan intervensi tersebut dapat dicapai secara
efektif (Nursalam 2017).
Untuk memudahkan perawat mengevaluasi atau memantau
perkembangan klien, digunakan komponen SOAP/SOAPIE/SOAPIER.
Penggunaannya tergantung dari kondisi klien.
(1) S : Data Subjektif
Perawat menuliskan keluhan klien yang masih dirasakan setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
(2) O : Data Objektif
Yaitu data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat
secara langsung kepada klien, dan dirasakan klien setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
(3) A : Analisis
Interpretasi dari data subyektif dan data obyektif. Merupakan suatu
masalah atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi, atau juga
dapat dituliskan masalah/diagnosis baru yang terjadi akibat
perubahan status kesehatan klien yang telah teridentifikasi datanya
dalam data subyektif dan obyektif.
(4) P : Planning
Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan,
dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan keperawatan
yang telah ditentukan sebelumnya. Tindakan yang telah
menunjukkan hasil yang memuaskan dan tidak memerlukan
tindakan ulang pada umumnya dihentikan. Tindakan yang perlu
dilanjutkan adalah tindakan yang masih kompeten untuk
menyelesaikan masalah klien dan membutuhkan waktu untuk
mencapai keberhasilannya. Tindakan yang perlu dimodifikasi
adalah tindakan yang dirasa dapat membantu menyelesaikan
masalah klien tetapi perlu ditingkatkan kualitasnya atau
mempunyai alternatif pilihan yang diduga dapat membantu
mempercepat proses penyembuhan. Sedangkan rencana tindakan
yang baru/sebelumnya tidak ada dapat ditentukan bila timbul
masalah baru atau rencana tindakan yang ada sudah tidak kompeten
lagi untuk menyelesaikan masalah yang ada.
(5) I : Implementasi
Adalah tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan
instruksi yang telah teridentifikasi dalam komponen P
(perencanaan). Jangan lupa menuliskan tanggal dan jam
pelaksanaan.
(6) E : Evaluasi
Adalah respons klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
(7) R : Reassesment
Adalah pengkajian ulang yang dilakukan terhadap perencanaan
setelah diketahui hasil evaluasi, apakah dari rencana tindakan perlu
dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan memiliki faktor yang memegang peran penting dalam
menentukan tercapai dan tidaknya potensi yang sudah di miliki. Faktor
lingkungan ini meliputi lingkungan prenatal dan lingkungan postnatal.
Lingkungan prenatal atau lingkungan dalam kandungan juga meliputi gizi
pada saat ibu hamil, lingkungan mekanis, zat kimia atau toksin dan
hormonal. Sedangkan lingkungan postnatal atau lingkungan setelah lahir
dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak seperti budaya lingkungan,
sosia; ekonomi keluarga, nutrisi, iklim atau cuaca, olahraga, posisi anak
dalam keluarga dan status kesehatan (Hidayat, 2016).
3. Faktor Hormonal
Hormon somatotropin (growth hormone) berperan dalam mempengaruhi
pertumbuhan tinggi badan dengan menstimulasi terjadinya proliferasi sel
kartilago dan sistem skeletal. Hormon tiroid berperan menstimulasi
metabolisme tubuh. Hormon glukokortikoid mempunyai fungsi
menstimulasi pertumbuhan sel interstisial dari testis (untuk memproduksi
testoteron) dan ovarium (untuk memproduksi estrogen), selanjutnya
hormon tersebut akan menstimulasi perkembangan seks, baik pada laki-
laki maupun perempuan yang sesuai dengan peran hormonnya
(Kompasiana, 2016).