Disusun oleh:
Nama : Nofitasari
Nim : P27905119023
Tingkat / Semester : 2 (dua) / III (tiga) TA 2020
A. Pengertian
Perawatan paliatif merupakan perawatan total yang dilakukan secara aktif terutama
pada pasien yang menderita penyakit yang membatasi hidup, dan keluarga pasien, yang
dilakukan oleh tim secara interdisiplin, dimana penyakit pasien tersebut sudah tidak dapat
lagi berespon terhadap pengobatan atau pasien yang mendapatkan intervensi untuk
memperpanjang masa hidup.
Istilah perawatan hospis sering digunakan sebagai sinonim untuk perawatan paliatif.
Namun, di beberapa Negara perawatan hospis merujuk pada perawatan paliatif berbasis
komuniti. secara pilosofi perawatan paliatif dan perawatan hospis memiliki makna yang
sama. Akan tetapi, “semua perawatan hospis adalah perawatan paliaitf, namun tidak semua
perawatan paliatif adalah perawatan hospis.” perawatan paliaitf di sediakan untuk semua
pasien yang menderita penyakit kronis dengan kondisi penyakit yang membatasi masa hidup
atau mengancam jiwa maupun kondisi pasien yang mendapatkan intervensi untuk
memperpanjang masa hidup. Sedangkan perawatan hospis di peruntukkan kepada pasien
dengan kondisi masa harapan hidup yang di perkirakan kurang dari enam bulan.
Sebagaimana perawatan paliatif, perawatan hospis di fasilitiasi oleh tenaga
professional yang bekerja secara tim yang di kenal dengan istilah tim interprofesional atau
tim interdisiplin. Pasien akan mendapatkan pelayanan perawatan paliatif di rumah sendiri
atau di rumah perawatan maupun di fasilitas kesehatan lainnya seperti rumah sakit. Di
Amerika Serikat beberapa rumah sakit telah melakukan kerjasama dan kesepahaman
terhadap kolaborasi pasien rumah sakit yang membutuhkan pelayanan hospis disaat kondisi
pasien membutuhkan penanganan intervensi secara agresif, atau di saat pasien dinyatakan
dalan kondisi sekarat, atau ketika keluarga ingin beristirahat sejenak dari rutinitas mengurus
anggota keluarganya.
Selain itu, supportive care juga sering di gunakan sebagai kata alternative untuk
menggantikan kata perawatan paliatif. Istilah tersebut awal digunakan untuk menjelaskan
kondisi penanganan pasien dengan efek samping yang berat akibat proses terapi, terutama
proses terapi penyakit kanker. Dimana efek samping yang dapat ditimbulkan akibat proses
terapi penyakit kanker tersebut dapat berupa anemia, trombositopenia, dan neutropenic
septicaemia. Namun saat ini, istilah supportive care digunakan lebih luas lagi, termasuk
untuk rehabilitasi dan dukungan psikososial. Jadi supportive care memiliki makna yang
serupa dengan perawatan paliatif dalam arti yang lebih luas dan umum.
Sehingga perawatan paliatif bukan untuk mempercepat proses kematian namun bukan
pula untuk menunda kematian, karena kematian merupakan proses alamiah mahluk hidup.
Sehingga dalam perawatan paliatif, kematian akan berlangsung secara alamiah pada pasien.
penyembuhan merupakan suatu hubungan antara diri sendiri, orang lain, lingkungan dan
Tuhan. Sehingga seseorang tidak akan dapat meninggal dengan di obati, namun seseorang
dapat meninggal dengan kondisi di sembuhkan. Jadi meninggal dengan kesembuhan dapat
dimaknai suatu kematian dimana seseorang mampu mengatakan atau menyatakan, berupa;
• I love you
• Forgive me
• Thank you
• Good-bye
Berdasarkan hal tersebut diatas sehingga perawatan paliatif kadang dikatakan sebagai
“pelayanan yang miskin tehnologi namun kaya akan sentuhan”. Tujuan utama perawatan
paliatif adalah untuk mencapai kualitas hidup sebaik mungkin pada pasien dan keluarganya
(World Health Organization (WHO) 1990).
Pada peraturan tersebut, menjelaskan bahwa kondisi pelayanan kesehatan yang belum
mampu memberikan pelayanan yang dapat menyentuh dan memenuhi kebutuhan pasien
dengan penyakit stadium terminal yang sulit di sembuhkan. pada stadium tersebut prioritas
layanan tidak hanya berfokus pada penyembuhan, akan tetapi juga berfokus pada upaya
peningkatan kualitas hidup yang terbaik pada pasien dan keluarganya. pasien dengan
penyakit kronis pada stadium lanjut maupun terminal dapat mengakses layanan kesehatan
seperti rumah sakit baik umum maupun swasta, puskesmas, rumah perawatan, dan rumah
hospis. Saat peraturan ini di terbitkan ada 5 rumah sakit yang menjadi pusat layanan
perawatan paliatif, dimana rumah sakit tersebut berlokasi di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya,
Denpasar, dan Makassar. Akan tetapi, sekalipun perawatan paliatif telah di perkenalkan dan
di terapkan di beberapa rumah sakit yang tersebut diatas, pelayanan perawatan paliatif belum
menunjukkan signifikansi. Hal ini mungkin di akibatkan oleh minimnya pendidikan dan
pelatihan tentang perawatan paliatif untuk tenaga kesehatan, dan juga jumlah tenaga
kesehatan yang belajar secara formal mengenai perawatan paliatif juga masih sangat sedikit.
Karena saat ini, pendidikan untuk level pascasarjana di bidang perawatan paliatif hanya
tersedia di universitas di Negara maju seperti Australia, Amerika serika, Inggris.
Sejarah perkembangan perawatan paliatif di Indonesia bermula saat sekelompok
dokter di Rumah sakit Dr Sutomo, Surabaya, membentuk kelompok perawatan paliatif dan
pengontrolan nyeri kanker pada tahun 1990 yang selanjutnya kelompok tersebut menjadi
“Tim perawatan paliatif’ pertama di Indonesia. Saat ini kelompok tersebut dikenal dengan
nama “Pusat pengembangan paliatif dan bebas nyeri”,
Pada bulan Februari 1992, secara resmi pelayanan perawatan paliatif di mulai di
Rumah sakit Dr Sutomo, Surabaya. Pelayanan tersebut didukung 11 orang dokter dan
seorang apoteker yang telah menempuh pendidikan perawatan paliatif untuk level
PostGraduate Diploma melalui pendidikan jarak jauh dari salah satu universitas yang berada
di Negara bagian Australia barat, kota Perth. Atas kepemimpinan Dr. R. Soenarjadi
Tedjawinata yang kemudian dikenal sebagai Bapak Paliatif Indonesia menginisiasi sebuah
kegiatan seminar nasional dan workshop yang bertema “manajemen nyeri kanker”. Tujuan
dari kegiatan tersebut untuk memperkenalkan pelayanan perawatan paliatif kepada peserta
seminar dan workshop. kegiatan tersebut dilakukan pada bulan Oktober 1992 yang pada saat
di itu dihadiri oleh sekitar 14 perwakilan rumah sakit pendidikan di Indoensia.
Pada tahun 2006, sebuah organisasi nirlaba membentuk “Rumah Rachel” yang
menyediakan layanan perawatan paliatif khusus untuk anak yang menderita kanker dan
HIV/AIDS. Rumah Rachel merupakan fasilitas perawatan paliatif yang pertama di Indonesia
yang fokus pada anak-anak berlokasi di Jakarta. Pada tahun 2007, atas bimbingan dan
arahan tim paliatif RS Dr Sutomo, pelayanan paliatif di tingkat puskesmas di buka, yaitu
Puskesmas Balongsari Surabaya. setahun kemudian pihak puskesmas mengadakan pelatihan
perawatan paliatif untuk relawan dengan mendapatkan dukungan dari pemerintah kota
Surabaya.
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, minat para tenaga kesehatan di bidang perawatan
paliatif semakin meningkat, dimana secara rutin seminar maupun workshop yang bertema
perawatan paliatif di selenggarakan secara rutin seperti di Yogyakarta, Bandung dan di
beberapa kota lainnya. Pada tahun 2013 Kementerian Kesehatan melalui Direktorat jenderal
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan mengeluarkan panduan teknis pelayanan
paliatif kanker. hal ini menunjukkan bahwa pihak pemerintah semakin serius untuk
memberikan pelayanan perawatan paliaatif bagi masyarakat Indonesia terkhusus yang
menderita kanker.
D. Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan konsep utama sekaligus tujuan dalam proses perawatan
paliatif dan juga di pelayanan kesehatan lainnya. Ide tentang kualitas hidup bukan hal yang
baru, karena di masa Yunani kuno system pelayanan kesehatan telah menetapkan salah satu
tujuan dalam pelayanan adalah untuk meningktkan kualitas hidup pasien. Kualitas hidup
memiliki makna yang sangat luas hal ini berdasarkan perspektif seseorang dalam menilainya.
sehingga kualitas hidup dapat di nilai dari konteks social, psikologis, maupun kedokteran.
Secara umum kualitas hidup merupakan kepuasaan hidup seseorang mengenai
hidupnya yang bersifat subyektif, dan kepuasan tersebut di pengaruh oleh seluruh aspek dari
individu yang mencakup aspek fisik, psikologis, social dan spiritual. Menurut Kepmenkes RI
No.812 tahun 2007 menjelaskan bahwa kualitas hidup merupakan keadaan pasien yang
dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya dan system nilai yang di
anutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya. Dalam teori Gap, Calman
mengemukakan bahwa kualitas hidup merupakan hubungan yang berlawanan dari perbedaan
antara harapan seseorang dengan persepsi pada situasi saat itu. Sehingga semakin kecil gap
atau celah maka semakin baik kualiats hidup seseorang. Berikut Ilustrasi teori Gap di kutip
dari Kaasa & Loge (2015).
Ilustrasi di atas menggambarkan perubahan kualitas hidup dari T0 ke T1 dapat
disebabkan oleh haranpan, pengalaman, atau kedua secara bersamaan. Contoh kasus A dan B
diatas menunjukkan kualitas hidup kedua pasien tersebut pada T0 berada pada level yang
hamper sama, akan tetapi terjadi perubahan kondisi penyakit dari masing-masing pasien yang
boleh jadi mereka memiliki stadium dan komplesitas penyakit yang berbeda sehingga pada
pemeriksaan di T1 menunjukkan kualitas hidup yang berbeda.
Ada beberapa dimensi dari kualitas hidup yang di kemukanan oleh Clinch, Dudgeon
& Schipper (1998) yaitu gejala fisik, kemampuan fungsional, kesejahteraan keluarga,
spiritual, fungsi social, kepuasan terhadap pengobatan, orientasi masa depan, kehidupan
seksual, dan fungsi dalam bekerja. Pada tahun 1948, Karnofsky mengemukakan dimensi
kualitas hidup dalam perawatan paliatif yaitu; perubahan atau peningkat secara subjektif,
perubahan atau peningkatan secara obyektif, status performance. Status performance pasien
dapat di ukur dengan menggunakan the Karnofsky Performance Status Scale. Hasil
pengukuran tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk prognosis masa bertahan hidup
pasien, terutama pada pasien kanker dengan metastasis. Namun, nilai kualitas hidup yang di
ukur dengan menggunakan berbagai macam alat ukur (kuesioner, atau lembar observasi)
cenderung memiliki kekurangan atau kelemahan, karena alat ukur tersebut hanya menilai
aspek-aspek tertentu saja yang di tetapkan sehingga hasil akhir dari pengukuran tersebut
tidak menggambarkan kepuasaan subjektif pasien secara menyeluruh. Beberapa panduan
yang sering di gunakan untuk menilai kualitas hidup pasien, secara umum di kelompok
menjadi Kualitas hidup secara umum atau kualitas hidup yang berhubungan dengan
kesehatan, kualitas hidup yang fokus pada penyakit tertentu, atau kualitas hidup yang pada
domain.
Karena makna kualitas hidup dapat berbeda pada setiap orang, Maka kualitas hidup
hanya dapat di definisikan atau di maknai hanya oleh pasien berdasarkan pengalaman
hidupnya. Sehingga seorang perawat harus dapat memahami factor-faktor yang berkontribus
terhadap kualitas hidup, baik positif maupun negative.
Keterampilan komunikasi
Keterampilan berkomunikasi merupakan hal yang terpenting dalam pelayanan
perawatan paliatif. Perawat mengembangkan kemampuan berkomunikasinya untuk dapat
meningkatkan hubungan yang lebih baik dengan pasien dan keluarga. Sehingga perawat
dapat memberikan informasi yang penting dengan cara yang lebih baik saat pasien
membutuhkannya, atau menjadi pendengar yang baik saat pasien mengungkap keluhannya
tanpa memberikan penilaian atau stigma yang bersifat individual. Komunikasi menjadi
keterampilan yang sangat dasar pada perawat paliatif, dimana dengan keterampilan tersebut
perawat akan mampu menggali lebih dalam mengenai perasaan pasien, keluhan pasien
tentang apa yang dirasakannya. Selain itu dengan keterampilan berkomunikasi tersebut maka
perawat dapat mengidentifikasi untuk memenuhi kebutuhan pasien, kapan saja, atau bahkan
di saat pasien mengajukan pertanyaan yang rumit seperti tentang kehidupan dan kematian.
Kemampuan berkomunikasi juga akan membantu membangun kepercayaan diri perawat,
tahu kapan mengatakan tidak terhadap pasien, dan dengan komunikasi yang disertai dengan
sentuhan, maka hal tersebut dapat menjadi terapi bagi pasien. Untuk lebih detail,
keterampilan komunikasi serta model komukasi di area perawatan paliatif akan di jelaskan
pada bab 4. prinsip komunikasi dalam perawatan paliatif.
Keterampilan psikososial
Untuk dapat bekerja sama dengan keluarga pasien dan mengantisipasi kebutuhannya
selama proses perawatan pasien, maka pelibatan keluarga dalam setiap kegiatan akan dapat
membantu dan mendukung keluarga untuk mandiri. Elemen psikososial merupakan bagian
dari proses perawatan yang biasanya di delegasikan ke pekerja social medic. karena pekerja
social medic memiliki wawasan dan akses yang lebih luas ke berbagai macam organisasi atau
instansi yang dapat diajak bekerja sama untuk memberikan dukungan kepada pasien. karena
mengingat peran perawat dalam tim paliatif begitu banyak sehingga tidak memungkin untuk
melakukannya. Akan tetapi bila, dalam tim interprofesional tidak ada tenaga pekerja social
medic, maka perawatlah yang akan melakukannya. Membangun rasa percaya dan percaya
diri selama berinteraksi dengan pasien dan dengan menggunakan diri sendiri sebagai bentuk
terapeutik melalui proses komunikasi terapeutik maka hal tersebut merupakan inti dari
pendekatan psikososial dalam perawatan paliatif.
Keterampilan intrapersonal
Salah satu area yang menjadi komponen kunci untuk dapat bekerja dengan baik dan
sukses dalam area perawatan paliatif adalah keterampila intrapersonal. karena kematangan
secara pribadi dan professional akan dapat membantu perawat dalam mengatasi masalah
yang terkait dengan isu intrapersonal yang bersifat intrinsic terutama saat melayani atau
melakukan asuhan keperawatan pasien yang menjelang ajal dan keluarganya. perawat harus
dapat mengenali dan memahami reaksi dan perasaan pasien yang merupakan konsekuensi
alamiah dari bekerja dengan pasien sekarat atau keluarga yang mengalami kedukaan,
sehingga perawat mampu menentukan sikap dan menyesuaikan diri dengan kondisi atau
situasi yang sarat dengan emosi dan perasaan sensitive. Jika dibandingkan dengan
keterampilan kompetensi lainnya, maka keterampilan intrapersonal merupakan hal yang
sangat menantang. Dan hal ini juga memiliki andil yang besar untuk membantu membangun
keribadian yang lebih baik. Akan tetapi, kondisi tersebut juga mambawa perawat dalam
posisi dilematis, karena terkadang perawat terlalu terbawa emosi dengan perasaan yang di
alami pasien.
REFERENSI
Aitken, S. (2009). Community palliative care: the role of the clinical nurse specialist. John Wiley
& Sons.
Al-Shahri, M. (2002). The future of palliative care in the Islamic world. Western Journal of
Medicine, 176(1), 60.
Breaden, K. (2011). Teaching palliative care across cultures: The singapore experience. Indian
Journal of Palliative Care, 17(4), 23.
Clinch, J. J., Dudgeon, D., & Schipper, H. (1998). Quality of life assessment in palliative care. In
D. Doyle, G.W.C. Hanks, & N. MacDonald (Eds.), Oxford textbook of palliative medicine
(2nd ed). New York: Oxford University Press.
Effendy, C. (2015). The quality of palliative care for patients with cancer in Indonesia. PhD
Thesis, Radboud Universiteit Nijmegen, the Netherland.
Goh, C. R. (1996). Singapore: status of cancer pain and palliative care. Journal of Pain and
Symptom Management, 12(2), 130-132.
Goh, C. R. (1993). Singapore: status of cancer pain and palliative care. Journal of Pain and
Symptom Management, 8(6), 431-433.
Guido, G. W. (2010). Nursing care at the end of life. Pearson. New Jearsey. USA
Kaasa, S., & Loge, J. H. (2015). Quality of life in palliative care: principles and practice. In
Cherny, N., Fallon, M., Kaasa, S., Portenoy, R. K., & Currow, D. C. (Eds.). (2015). Oxford
textbook of palliative medicine 5th edition. Oxford University Press, USA.
Kaasa, S., & Loge, J. H. (2003). Quality of life in palliative care: principles and practice.
Palliative Medicine, 17(1), 11-20.
Kemenkes RI. (2013). Pedoman teknis pelayanan paliatif kanker. Diakses pada tanggal 23
Agustus 2016. http://bit.ly/2c4YwnM
Lickiss, J. N. (1993). Indonesia: Status of cancer pain and palliative care. Journal of Pain and
Symptom Management, 8(6), 423-424.
Payne, S., & Lynch, T. (2015). International progress in creating palliative medicine as a
specialized discipline and the development of palliative care. In Cherny, N., Fallon, M.,
Kaasa, S., Portenoy, R. K., & Currow, D.
C. (Eds.). (2015). Oxford textbook of palliative medicine 5th edition. Oxford University Press,
USA.
Rajagopal, M. R., & George, R. (2015). Providing palliative care in economically disadvantaged
countries. In Cherny, N., Fallon, M., Kaasa, S., Portenoy, R. K., & Currow, D. C. (Eds.).
(2015). Oxford textbook of palliative medicine 5th edition. Oxford University Press, USA.
Rochmawati, E., Wiechula, R., & Cameron, K. (2016). Current status of palliative care services
in Indonesia: a literature review. International Nursing Review.
Rumah Rachel. Tentang Rumah Rachel. diakses pada tanggal 23 Agustus 2016. http://rachel-
house.org/about-us/who-we-are/
Saleh, M. S., Danantosa, T., & Kusumawardhani, C. (2008). Perawatan Paliatif di Puskesmas
Balongsari Surabaya: Upaya Mendekatkan Layanan Rawat Jalan Kepada Pasien Kanker
Stadium Lanjut. Indonesian Journal of Cancer, 2(1).
Soebadi, R. D., & Tejawinata, S. (1996). Indonesia: status of cancer pain and palliative care.
Journal of Pain and Symptom Management, 12(2), 112115.
Universitas Narotama. (2016). Pemberian Santunan pada Pusat Pengembangan Paliatif RSUD dr
Sutomo. Di akses pada tanggal 26 Agustus 2016. http://bit.ly/2bkaEf9 Yamaguchi, T.,
Kuriya, M., Morita, T., Agar, M., Choi, Y. S., Goh, C., ... & Ocampo, R. (2014). Palliative
care development in the Asia-Pacific region: an international survey from the Asia Pacific
Hospice Palliative Care Network (APHN). BMJ Supportive & Palliative Care,
bmjspcare2013.
Wright, M., Hamzah, E., Phungrassami, T., & Bausa-Claudio, A. (2010). Hospice and palliative
care in southeast Asia: a review of developments and challenges in Malaysia, Thailand and
the Philippines. Oxford University Press.
Wright, M., Wood, J., Lynch, T., & Clark, D. (2008). Mapping levels of palliative care
development: a global view. Journal of Pain and Symptom Management, 35(5), 469-485.