Anda di halaman 1dari 6

1.

Ainindita Fania Nizatama (1513023035)


2. Firna Hernita (1513023058)

Cerpen

Ternyata… Atom ditemukan di sebuah Angkringan

Rasanya lelah sekali, aku baru saja selesai dengan pekerjaanku. Yang ada di pikiranku hanya
segera sampai kamar dan melepas lelah dengan berbaring di atas kasur. Karena aku harus
sekolah dan pulangnya aku harus bekerja, tentu sudah bisa ditebak rasa lelahnya. Tak
berhenti di situ saja, aku masih perlu menyiapkan tenaga lagi untuk pulang. Maklum, aku
tidak punya kendaraan, jadi mau tidak mau harus pulang dengan jalan kaki.

Aku menyusuri trotoar jalan yang hanya cukup untuk satu pejalan kaki, karena sebagian
trotoar sudah diambil alih oleh pedagang kaki lima. Sesekali aku harus mengalah, terkadang
perlu turun ke jalan karena ada sebagian pedagang yang menggunakan seluruh badan
troatoar. Suara bising knalpot kendaran ditambah gemerlap cahaya lampu kota menemaniku
dalam perjalanan pulang. Di depan toko bangunan sedang berlangsung pertunjukan
pengamen angklung yang cukup menarik. Aku ingin ke sana dan menontonnya, tetapi
keinginan untuk menonton sepertinya masih kalah kuat dengan rasa lelah, sehingga aku
putuskan untuk pulang saja.

Akhirnya sampai juga, aku hidupkan lampu kamar. Tenggorokan sudah kering, aku duduk
dan meminum segelas air untuk melegakan tenggorokan dan mengganti cairan yang keluar.
Segera aku robohkan badan ke atas kasur busa yang sudah tipis. Tiba-tiba hpku bergetar,
tanda ada sebuah pesan masuk. Dilihat dari nomernya, aneh sekali karena yang terlihat hanya
angka satu. Tak mau berfikir panjang, aku buka pesan itu.

Salam Ilmu Pengetahuan

Hai sahabatku, tepat jam 12 malam kita akan berdiskusi. Lokasinya bukan yang biasa,
segera kamu menuju ke taman pinggir kota. Nanti akan ada seseorang yang
menjemputmu di sana.

Tertanda,

Democritos”
Wah, ternyata pesan dari paman Democritos. Dia memang selalu seperti ini, mengajak
diskusi dengan cara dadakan, padahal aku sudah mengatakan sebelumnya kalau aku tidak
kuat diskusi malam-malam akibat lelah bekerja. Aku tak punya pilihan lain kecuali menuruti
kemauannya. Mungkin ada hal penting yang ingin dia diskusikan, toh ini juga sebuah
kesempatan untuk menambah ilmu, husnudzon saja.

Aku sampai di lokasi pertemuan, sebuah taman yang cukup gelap di pinggir kota. Aku
mencari tempat duduk untuk menyandarkan badan yang sudah lelah sambil menunnggu
orang yang akan menjemput. Kursi yang sudah karatan dan reyok menjadi pilihan duduk.
Mataku mulai berat untuk menahan kantuk. Tanpa sadar aku ketiduran.

Seorang dari arah belakang mendekatiku. Dia memegang pundakku dan menggatakan

“hai anak muda, bangun!

“Hahh… siapa kamu?” tanyaku spontan.

Aku kaget bukan kepalang. Gerakan tubuhku yang kaget menyebabkan kursi roboh. Aku
terjatuh, rasanya sakit sekali. Aku belum sepenuhnya sadar. Ku gucek mata agar
mendapatkan penglihatan yang lebih jernih. Dia adalah seorang yang sudah tua dengan
membawa lilin di tangan kiri dan tongkat kayu di tangan kanannya

Bukannya membantuku bangun, malah menertawakan. “hahaha… aku yang akan


mengantarkanmu menemui Democritos” jawab orang tua itu dengan wajah yang masih
menahan tawa.

“Ayo cepat berdiri, kamu sudah ditunggu. Pegang lilin ini buat peneranganmu. Ikuti aku!”

Aku tak bisa berkata-kata, lebih baik menahan nyeri dari pada merespon ajakannya. Aku
berdiri dan mengambil lilinnya. Seperti sapi yang sudah dililitkan tali di hidungnya, aku
menurut, mengikuti langkahnya. Dia menuju ke arah barat, memasuki rimbunan pohon yang
gelap. Kakinya melangkah tanpa ragu meskipun di kegelapan, menandakan dia sudah terbiasa
dengan jalan ini. Aku menggikutinya dari belakang. Semakin cepat dia melangkah, aku juga
semakin cepat. Tentu saja aku tak ingin kehilangannya di tempat seperti ini.

Tepat di persimpangan jalan, dia mengambil arah kanan dan menghilang. Dengan langkah
yang tergopoh-gopoh aku mengejarnya. Dia cukup cepat juga untuk ukuran orang tua yang
sudah bertongkat. Syukurlah aku masih bisa menyusulnya. Dari agak kejauhan, aku melihat
cahaya samar-samar dan sekumpulan orang yang sedang duduk santai. Salah satu
sekumpulan orang itu adalah Paman Democritos. Ternyata itu gerobak angkringan 78.
Kedatanganku sudah diketahui Paman Democritos, dari kejauhan dia melambaikan tangan ke
arahku agar segera mendekat. Aku menghampirinya dengan orang tua tadi.

Perkenalkan, namaku Leokippos. Aku murid Democritos” orang tua itu mulai terbuka.

“Iya, salam kenal” jawabku ketus, rasa nyeri ini masih menggingatkan saat dia
menggagetkanku tadi.

Di sisi lain, aku masih tidak habis pikir, bagaimana bisa di tempat seperti ini ada penjual
angkringan 78. Bukankah ini bukan cara berjualan yang benar, berjualan di tempat sepi
malah yang ada hanya rugi, bukan untung.

“Jangan benggong anak muda, silahkan duduk. Dalton, geser sedikit dong” Paman
Democritos membuyarkan lamunanku.

Iy.. iy… iya Paman” jawabku terbatah-batah.

“Pak De, tolong secangkir kopi jos untuk sahabatku ini ya. Jadi begini, aku memanggilmu ke
sini karena ada hal penting yang perlu kita diskusikan segera. Aku juga memanggil beberapa
teman. Sebelumnya aku perkenalkan mereka dulu. Yang berada di sebelahmu itu namanya
Dalton. Dia sangat menyukai berbagai jenis tahu. Sedangkan yang di sebelah Dalton itu
namanya Thomson, kalau dia penggemar roti kismis, lihat saja sepiring roti kismis yang
berada di depannya”.

Thomson membalas “gak usah bilang gitu juga, awas nanti kamu minta roti kismis”.

Lanjut paman Democritos “yang makan sate keong itu, namanya Rutherford. Sedangkan
yang asik makan nasi kucing itu, Chadwick. Terakhir Borh, dia paling muda diantara kita.
Meskipun paling muda, dia pemalu tapi paling banyak kalau urusan makan, lihat saja
tumpukan bungkus nasi kucing yang di depannya. Sebenarnya masih ada satu lagi, Broglie.
Tapi dia tidak bisa hadir karena ada urusan di luar”.
Borh tidak membalas candaan Paman Democritos. Dia hanya tersipu malu. Tangannya
meraih tumpukan bungkus tadi dan membuangnya diam-diam.

“Hahaha…” sontak semua orang tertawa melihat tingkahnya.

Aku menyeruput kopiku. Rasa kopi jos memang berbeda, kopi hitam yang dikombinasikan
dengan arang panas dengan cepat bisa membuat mataku melek. Aku melihat ke arah yang
lain, melihat dengan seksama ke arah teman-teman paman Democritos. Dilihat dari
penampilan, mereka bukan orang sembarangan.

Paman Democritos melanjutkan pembicaraannya “langsung saja teman-teman, dari kemaren


aku ingin membahas ini dengan kalian, aku tidak setuju dengan pendapat Aristoteles dan
Plato tentang teori Empedokles, yang menggatakan kalau ada empat unsur penyusun alam
semesta ini yaitu tanah, api, air, dan udara”.

“Coba kalian perhatikan” paman Democritos mengeluarkan keju dari sakunya. Dia memang
sangat menyukai keju. Keju itu adalah bekalnya. Baginya, makan tanpa keju seperti makan
tanpa kerupuk, kurang lengkap. Karena dia tau kalau di angkringan 78 tidak akan ditemukan
keju, maka dia membawanya dari rumah.

“Jika aku potong keju ini menjadi beberapa bagian, maka akan ada bagian yang tidak dapat
aku potong lagi. Bagian keju yang tidak dapat dipotong ini, tidak ditemukan empat unsur itu.
Maka, pandangan Aristoteles dan Plato pasti salah. Bagian terkecil ini aku sebut Atom atau
dalam bahasa daerahku Atomos. Aku menggumpulkan kalian semua di sini untuk membahas
tentang Atom lebih lanjut”. Paman Democritos membuka bahasan diskusi.

“Menarik juga” respon Rutherford

“Emm… jadi Atom itu seperti tahu bacem ini “ Dalton si penggemar tahu mulai angkat
bicara “jika tahu bacem ini aku potong-potong. Maka, akan ada bagian yang tidak dapat aku
bagi lagi. Dan itu disebut atom juga”.

“Tetapi atom dari tahu bacem ini kalau dicampurkan dengan atom dari keju tadi, kita masih
bisa membedakannya. Karena mereka berasal dari unsur yang berbeda. Kalau aku pikir-
pikir bentuk atom itu. Dia berbentuk bulat dan pejal seperti tahu bulat”. Si pemilik bibir tipis
ini memang ceplosan memberi pendapat.
Thomson tak mau kalah “perlu diperhatikan, segala sesuatu di dunia ini mengandung
muatan positif dan negtif. Tentu saja, Atompun demikian. Dia pastinya mengandung muatan
positif dan negatif juga. Aku setuju, atom berbentuk bulat. Tetapi untuk memberi gambaran
lebih luas tentang atom, aku menggambarkannya seperti roti kismis ini. Bagian roti sebagai
muatan positif, sedangkan kismis yang bertaburan ini sebagai muatan negatif. Aku memberi
nama elektron pada bagian yang bermuatan negatif.” Komentar dia dengan gaya
berbicaranya yang sedikit bijak.

Melihat dari jalannya diskusi, sepertinya mereka sudah sering melakukan diskusi semacam
ini. Paman Democritos hanya diam saja sambil sesekali menyantap aneka gorengan di
depannya. Sebagai orang baru, aku memutuskan untuk diam dulu. Tetapi tak menuntut
kemungkinan aku akan ikut berkomentar jika ada kesempatan.

“Ingat! Segalanya juga pasti melakukan gerakan, termasuk Atom, pasti ada pergerakan”
Rutherford si penyuka sate keong mulai melontarkan komentar “dan yang memiliki pontesi
paling besar untuk bergerak adalah elektron yang bermuatan negatif. Elektron yang
berputar mengelilingi inti di tengahnya. Inti ini aku sebut dengan proton dan muatannya
adalah pofitif”.

Chadwick yang sedari tadi sibuk makan terlihat ingin berkomentar “tapi…, saat ada positif
dan negatif bertemu atau berada dalam satu tempat. Emm… Kita perlu penetral untuk
menstabilkannya” ucapnya dengan mulut yang masih terisi makanan “penetral ini berada di
tengah bersama proton. Jumlahnya tidak harus sama dengan proton atau elektron, karena
sifanya yang netral. Jadi aku menambhakan partikel yang sifatnya netral. Partikel ini aku
sebut dengan neutron”.

“Bagus juga pendapatmu wick. Gambaran tentang atom ini semakin jelas, ada proton dan
neutron di bagian tengah, sedangkan elektron berputar menggelilinginya” paman
Democritos menyampaikan hasil sementara diskusi.

Terbesit sebuah pertanyaan dalam pikiranku. Tetapi aku malu menyampaikannya. Diskusi
dengan mereka membuatku gugup. Dari pada nantinya akan menganggu pikiran, aku paksa
diriku menanyakannya, meskipun dengan perasaan gugup dan gemetaran “maaf sebelumnya,
kalau boleh, ada yang mau saya tanyakan. Bagaimana kalau jumlah elektron banyak?
Bukankah nanti rotasinya tidak akan seimbang”.
Mereka semua menoleh ke arahku. Aku sedikit menundukkan kepala. Paman Democritos ikut
menoleh sembari tersenyum.

“Hahaha… santai saja sahabatku, silahkan yang bisa menjawabnya”

“elektron tentu saja punya energi sehingga dia bisa bermutar. Energi ini yang nantinya akan
membedakan dimana dia akan berputar. Ada tingkat energi yang akan diisi oleh sejumlah
elektron tertentu” komentar Bohr, meskipun dia paling muda, dia adalah orang yang pintar.

“Dari perhitungan yang aku lakukan” Bohr menunjukkan secarik kertas berisi catatan
perhitungannya lengkap dengan gambarnya ”elektron tersebar dengan rumus 2n2 di
beberapa lintasannya. n adalah nomer lintasannya.  Lintasan pertama yaitu lintasan K,
dengan rumus itu, maka pada lintasan K, maksimal harus terisi dua elektron. Lintasan
selanjutnya L, maksimal harus terisi 8 elektron. Lintasan M, maksimal harus terisi 18
elektron. Lintasan N, maksimal harus terisi 32 elekron. Begitupun selanjutnya, jadi atom
akan terus stabil dengan aturan ini”.

Borh memang pendiam. Tetapi saat menjelaskan pendapatnya, dia menjelaskannya secara
panjang lebar dan detail.

“Good job Borh. Hahaha… Jadi dalam pandanganmu,  atom itu memiliki gambaran seperti
ini. Silahkan bagi yang lain jika ingin berpendapat lagi”

Anggota diskusi yang lain tidak memberi tanggapan. Mereka berfikir sejenak lalu
mengangguk tanda setuju.

“Jika tidak ada pendapat lagi, aku tutup diskusi ini. Kita lanjutkan dengan menyantap
makanan” tutup paman Democritos

“Aku pulang saja ya paman, karena besok harus masuk sekolah” pamitku.

“Sepertirnya kamu juga sudah mengantuk. Leokippos, tolong antarkan sahabatku ini ke
taman yang tadi ya”.

Akupun pulang dengan diantar Leokippos. Aku  mencatat semua hasil diskusi tadi. Rasa lelah
ku terganti dengan pengetahuan baru tentang benda terkcil yang tak bisa dibagi lagi.

Anda mungkin juga menyukai