Anda di halaman 1dari 5

E.

Proses adaptasi

Proses adaptasi untuk mengembalikan keseimbangan dengan membebaskan diri dari perasaan takut
dan perasaan tidak berdaya, biasanya disebut dengan sindrom trauma tindak kekerasan. Sindrom
trauma tindak kekerasan terdiri atas dua tahap, yaitu tahap akut atau disorganisasi dan tahap jangka
atau organisasi.

1. Adaptasi tahap akut atau disorganisasi

Tahap disorganisasi meliputi reaksi pertama yang diekspresikan atau reaksi yang ditahan/dikendalikan,
reaksi fisik, dan reaksi emosional terhadap situasi yang mengancam kehidupan korban. Pada tahap akut
ini, wanita yang mengalami tindak kekerasan biasanya merasa cemas, marah, merasa bersalah, merasa
terhina, mengingkari, syok, tidak percaya atau merasa takut mati, bahkan merasa ingin membalas
dendam. Perasaan yang dialami korban tindak kekerasan dapat bersifat ekspresif dengan membicarakan
perasaan yang dialaminya, atau sebaliknya berupaya untuk mengendalikan perasaan dengan tetap
tampak tenang. Ketenangan ini tidak berarti bahwa korban tersebut tidak menderita dan merasa takut,
Tetapi hanya cara mengatasi trauma nya saja yang berbeda.

Reaksi fisik pada tahap aku bergantung pada cedera tubuh yang dialami. Merasa sakit pada bagian
tertentu yang terkena serangan atau bersifat umum, seperti merasakan otot yang tegang. Biasanya juga
terdapat gangguan pola tidur dan makan. Pada tahap disorganisasi, reaksi emosional akibat tindak
kekerasan adalah perasaan takut, takut membahayakan tubuh, takut mati, atau mutilasi, disertai
perasaan lain, seperti marah, terhina, dan menyalahkan diri sendiri. Seringkali korban mengalami reaksi
emosional yang kuat dan bereaksi secara berlebihan terhadap situasi lain yang tidak berhubungan
dengan tindakan kekerasan. Misalnya, mudah tersinggung, tidak sabar, cengeng, dan marah yang dapat
menyebabkan korban merasa tidak mampu mengendalikan diri dan merasa berjarak terhadap dirinya
sendiri.

2. Adaptasi tahap jangka panjang atau reorganisasi

Reorganisasi adalah proses penyesuaian atau adaptasi selama beberapa bulan setelah terjadi tindak
kekerasan. Stuart & sundeen (1995) dan johnson (1996) menyatakan bahwa korban tindak kekerasan
mengalami masalah psikologis yang berkepanjangan. Pemulihan keseimbangan fisik, psikologis, sosial,
spiritual, dan seksual terjadi berbulan atau bertahun kemudian. Korban tindak kekerasan kembali pada
kehidupan rutin seperti sebelum terjadi tindak kekerasan. Pada awalnya, bersifat sementara kemudian
disusul dengan masa resolusi, yaitu perasaan terhadap diri sendiri terhadap pelaku tindak kekerasan,
dan perasaan hilang secara bertahap menyatu.

Pada tahap reorganisasi hal penting yang dialami adalah:

1. Mendapatkan kembali rasa aman

2. Mengatasi perasaan takut

3. Mengakhiri perasaan Kehilangan, kehilangan harga diri dan rasa percaya diri
4. Menyatukan kejadian ke dalam diri secara menyeluruh.

Trauma akibat tindak kekerasan yang tidak terselesaikan dapat juga terjadi apabila tidak ada atau
sangat sedikit intervensi yang mendukung korban pada masa akut (disorganisasi), tindak kekerasan
terjadi berulang kali, sebelum terjadi tindak kekerasan korban tersebut sedang menghadapi stressor
kehidupan, dan tidak mempunyai dukungan sosial.

Trauma tindak kekerasan yang tidak teratasi dapat terlihat pada:

1. Individu yang mengalami gejala fobia, seperti rasa takut sendirian atau keluar rumah

2. Menarik diri dari kegiatan sosial, harga diri rendah, dan perasaan bersalah

3. Hanya dengan sedikit pemicu dapat menimbulkan gejala trauma tindak kekerasan

4. Menghindari kontak dengan orang yang identik dengan pelaku tindak kekerasan

5. Menarik diri, pendiam, atau mudah marah terhadap keluarga dan teman.

Kondisi tersebut biasanya terlihat pada korban tindak kekerasan yang tidak pernah membicarakan
kejadian yang dialaminya.

F. Asuhan keperawatan

Keperawatan memandang manusia sebagai makhluk yang holistik dan unik. Holistik Karena manusia
mempunyai kebutuhan biofisiologis (fisik). Psikologis/afektif, sosial-kultural, dan spirutual yang utuh,
serta unik karena tiap kebutuhan manusia tidak sama satu dengan yang lain. Dengan demikian dalam
menjalankan perannya, perawat sangat memperhatikan kebutuhan holistik sistem klien (individu,
keluarga, kelompok, dan komunitas) dengan keunikannya melalui pelayanan/ Asuhan Keperawatan yang
manusiawi, komprehensif dan bersifat Individual. Oleh karena itu respon korban tindak kekerasan akan
dibahas dari semua aspek kebutuhan korban sebagai manusia yang utuh dan unik.

Profesi keperawatan sebagai ilmu dan kiat menerapkan landasan teoritis Keperawatan dengan
menggunakan proses keperawatan yaitu pendekatan penyelesaian masalah keperawatan klien yang
terganggu kebutuhan dasarnya. Proses keperawatan terdiri atas serangkaian kegiatan sistematis mulai
dari pengkajian masalah, perencanaan asuhan keperawatan, implementasi rencana, dan evaluasi hasil
implementasi. Pendekatan proses keperawatan yang akan dibahas lebih menekankan pada pengkajian
berbagai aspek dan terapi modalitas dalam menanggulangi kebutuhan keperawatan korban tindak
kekerasan dengan berorientasi pada respon holistik dan unik korban.

Asuhan keperawatan terhadap korban tindak kekerasan atau penganiayaan dibagi dalam dua bagian,
yaitu pertama akan diuraikan asuhan keperawatan terhadap korban tindak kekerasan pada orang
dewasa (wanita dan lansia) selanjutnya Diteruskan dengan Asuhan Keperawatan Jiwa pada anak korban
tindak kekerasan untuk lebih sistematis, asuhan keperawatan bagi korban tindak kekerasan
menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan penyelesaian masalah, mulai dari tahap
pengkajian hingga evaluasi mencakup semua dimensi secara komprehensif dan holistik.
1. Asuhan Keperawatan Jiwa pada wanita dan lansia

Pengkajian

Pengkajian keperawatan korban tindak kekerasan dimulai pada awal kotak perawat dengan korban
pengkajian keperawatan korban tindak kekerasan dimulai pada awal kotak perawat dengan korban.
Korban dapat ditemui pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan seperti unit gawat darurat, Rumah
Sakit, klinik, Puskesmas, atau fasilitas kesehatan lain serta tatanan lain seperti di rumah, dan di
lingkungan masyarakat.

Pengkajian masalah dan kebutuhan kurban dilakukan secara lengkap dan menyeluruh meliputi
pengkajian aspek fisik, perilaku/psikologis, afektif, kognitif, dan sosial budaya spiritual.

Pertama, aspek fisik. Tindak kekerasan pada umumnya menimbulkan cedera fisik. Pengkajian fisik
dilakukan secara lengkap dari ujung kaki hingga kepala terutama difokuskan pada bagian penting dari
tubuh korban. Pengkajian dilakukan dengan kepekaan bahwa pemeriksaan fisik dilakukan pada korban
tindak kekerasan yang tidak hanya sedang mengalami trauma fisik tetapi juga trauma pada aspek lain
dari kehidupannya. Pada bagian kepala korban periksa Apakah ada tanda-tanda trauma, bekas biru pada
wajah, fraktur (patah tulang) wajah, mata bengkak, biru, dan pendarahan. Selanjutnya periksa
permukaan Kadit Apakah ada bekas biru rumah genital dart rektal termasuk rasa nyeri dan bengkak
pada vagina atau Recall bahkan terjadi luka terbuka pada dinding vagina atau rectal akibat pemaksaan.
Tenggorok korban mungkin juga mengalami trauma karena hubungan seks oral apabila tindak kekerasan
diikuti dengan tindak perkosaan yang dilakukan secara paksa. Perhatikan juga kondisi otot dan tulang
kemungkinan terjadi patah tulang iga, lengan, dan tungkai terkilir pada persendian atau mobilitas
korban terganggu. Pada bagian perut lihat kemungkinan adanya bekas biru atau luka serta tanda-tanda
cedera bagian dalam tubuh. Kurban juga mungkin dipukuli digosok dengan benda tajam atau bahkan
ditembak sehingga perdarahan yang cedera pada sebagian tubuh lainnya bisa terjadi.

Selain trauma fisik yang secara langsung diderita korban dampak fisik jangka panjang juga mungkin
terjadi seperti gangguan pola tidur, kehilangan nafsu makan, merasa sangat lelah, sakit kepala, dan
nyeri, bahkan korban mungkin mengalami masalah fisik lain. Kurban juga dapat mengalami psikosomatik
Karena rasa cemas dan takut yang luar biasa.

Apabila tindak kekerasan diikuti dengan tindak kekerasan menurut Wilson dan kneisl (1995), polysexual
korban juga dapat terganggu bergantung pada kualitas pengalaman dan hubungan seksual sebelum
terjadi perkosaan hampir semua wanita menikah yang menjadi korban perkosaan, menghindari
hubungan seksual untuk sementara setelah terjadi perkosaan dengan berbagai alasan. Ada yang merasa
memerlukan waktu untuk dapat mengendalikan situasi tetapi ada korban yang merasa dirinya kotor.
Suami korban perlu memahami penolakan istrinya dan tetap memberikan rasa aman melalui sentuhan
sehingga mengurangi perasaan ditolak dan kotor yang dialami oleh korban perkosaan.

Kedua, aspek perilaku. Pertanyaan yang perlu dijawab ketika mengkaji aspek perilaku korban adalah:

a. Apakah korban mampu menjawab pertanyaan secara verbal?


b. Apakah korban mampu mengikuti petunjuk yang sederhana?

c. Apakah korban telah melakukan tindakan penanggulangan sendiri sebelum datang ke pelayanan
kesehatan?

Ada juga korban yang tidak mampu menjawab pertanyaan atau petunjuk sesederhana apapun, Karena
rasa takut yang luar biasa. Respon perilaku lain dari korban. Ada juga korban tampak mampu
mengendalikan perasaan dan perilakunya serta telah terjadi tindak kekerasan. Ketenangan yang
diperlihatkan oleh korban sebenarnya memanifestasikan rasa tidak percaya dan esok emosional dengan
kejadian yang baru dialaminya. Kebutuhan kurban untuk mengendalikan dirinya perlu didukung sampai
korban merasa mampu untuk menghadapi situasi nyata (wilson & kneisl, 1995).

Ketiga, aspek psikologis/afektif. Pertanyaan yang perlu dijawab dalam pengkajian psikologis/ afektif
adalah:

a. Apa respon emosi yang dialami korban?

b. Uraikan data objektif dan subjektif tentang respon berikut ini: rasa tidak percaya terhadap kejadian,
malu, terhina, putus asa, tidak berdaya, cemas, takut, rasa bersalah, marah, depresi, dan mengisolasikan
diri dari orang lain. Korban tindak kekerasan penderita trauma emosional baik yang langsung dialami
setelah kejadian maupun berkepanjangan selama kehidupannya. Setelah masak syok dan tidak percaya,
banyak korban yang mengalami kecemasan dan depresi. Kecemasan timbul jika integritas individu
terancam dan depresi mungkin merupakan respon terhadap kehilangan yang dialami korban. Kehilangan
rasa kemandirian, rasa kendali, rasa aman dan harga diri. Pelanggaran secara fisik dan emosional
mengakibatkan perasaan kehilangan kendali terhadap tubuhnya sendiri sehingga korban merasa tidak
berdaya dan sangat lemah. Perasaan marah merupakan respon yang sehat terhadap pelanggaran
kepemilikan hanya saja energi marah perlu disalurkan secara konstruksi karena jika tidak dapat
memupuk rasa dendam.

Keempat, aspek kognitif. Dalam pengkajian respon kognitif korban beberapa pertanyaan perlu dijawab
sehingga penggalian kebutuhan korban dapat teridentifikasi secara tepat yaitu:

a. Bagaimana mekanisme pertahanan yang digunakan?

b. Apakah qurban tampak bingung?

c. Apakah korban sudah diberi tahu tentang hak nya?

d. Uraikan kemampuan konsentrasi korban.

e. Apakah korban mampu menguraikan apa yang telah terjadi?

f. Apakah korban mampu membuat keputusan?

g. Siapa yang telah diberitahu korban tentang kejadian tindak kekerasan yang dialaminya?
h. Apakah korban memerlukan bantuan pendamping untuk mengatakan kejadian tindak kekerasan pada
orang lain?

i. Apakah korban menyalahkan dirinya sendiri?

j. Apakah korban mengalami kilas balik serangan tindak kekerasan?

Selamat tindak kekerasan yang sebenarnya terjadi beberapa korban menggunakan mekanisme
pertahanan depersonalisasi atau disosiasi untuk melindungi integritas dirinya. Ada juga korban yang
menggunakan pengingkaran untuk menahan pengalaman traumatik. Mekanisme pertahanan yang
digunakan korban mungkin berlangsung selama tahap awal penanganan korban dan perlu didukung
sampai korban merasa mampu untuk menghadapi kenyataan tentang kejadian perkosaan atau tindak
kekerasan yang sebenarnya. Urban juga sering tampak bingung dan sulit untuk berkonsentrasi hal ini
jangan ditafsirkan bahwa tidak terjadi tindak kekerasan tetapi harus dipandang sebagai syok emosional.
Kemampuan dalam membuat keputusan biasanya menurun karena rasa cemas dan takut yang luar
biasa. korban sering

Anda mungkin juga menyukai