Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Status Gizi

1. Gizi ibu

Masa ibu menyusui sama halnya dengan ibu hamil, membutuhkann tambahan

energy dan zat gizi yang sesuai untuk menjaga agar cadangan energy di tubuhnya cukup

untuk produksi ASI. The intenational federation of gynecology and obstetrics (FIGO)

pada tahun 2015 merekomendasikan beberapa kebutuhan energy dan zat gizi yaitu:

a. Mengoptimalkan status gizi melalui kebiasaan pola makan dan pola hidup yang

baik sebelum kehamilan

b. Menghindari merokok, konsumsi alcohol atau penggunaan obat penenang sebelum

konsepsi

c. Mengonsumsi zat gizi asam folat yang diperoleh dari sayur-sayuran, buah-buahan,

biji-bijian maupun suplemen,

d. Mengonsumsi zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak

e. Mengonsumsi zat gizi mikro (zat besi, asam folat, dll)

(Anggraeny & ayuningtyas, 2017)

2. Gizi Balita

Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, didalam Global Strategy for Infant

and YoungChild Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang

harus dilakukan,yaitu:

a) memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah

bayi lahir;
b) memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif

sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan;

c) memberikan makanan pendamping air susu ibu (MPASI) sejak bayi berusia 6

bulan sampai 24 bulan

d) meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih.

Rekomendasi tersebut menekankan, secara sosial budaya MPASI hendaknya

dibuat dari bahan pangan yang murah dan mudah diperoleh di daerah setempat

(indigenous food) (Wydianingsih dkk, 2018).

3. Cara penilaian status gizi.

Cara menilai status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penilaian langsung

dan penilaian tidak langsung (Cecep, 2015).

a. Penilaian status gizi secara langsung.

penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan empat cara yaitu

antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.

b. Penilaian status gizi secara tidak langsung.

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan cara survey

konsumsi makanan, statistic vital, dan factor ekologi atau lingkungan.Penilaian status gizi

pada anak dengan stunting biasanya dilakukan dengan cara menggunakan indeks

antropometri. Secara umum antropometri berarti ukuran tubuh manusia. Antropometi gizi

berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh

dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk

melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energy. Ketidakseimbangan ini dapat


terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan

jumlah air dalam tubuh(Supariasa, dkk, 2002)

Indeks antropometri yang digunakan dalam menilai status gizi balita yaitu sebagai

beikut: (Kemenkes RI, 2017)

a. Indeks berat badan menurut umur (BB/U)

1) Gizi buruk : BB/U < -3 SD

2) Gizi kurang : BB/U ≥ -3 SD s/d < -2 SD

b. Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)

1) Sangat pendek : TB/U < -3 SD

2) Pendek : TB/U ≥ -3 SD s/d < -2 SD

c. Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

1) Sangat kurus : BB/TB < -3 SD

2) Kurus : BB/TB ≥ -3 SD s/d < -2 SD

3) Gemuk : BB/TB > 2 SD


Table 1.1 : standar panjang badan menurut umur (PB/U)

Anak laki-laki umur 0-24 bulan

Panjang badan (cm)


umu
stunting Normal tinggi
r
-3 SD -2 SD -1 SD Median 1 SD 2 SD 3 SD
0 44,2 46,1 48,0 49,9 51,8 53,7 55,6
1 48,9 50,8 52,8 54,7 56,7 58,6 60,6
2 52,4 54,4 56,4 58,4 60,4 62,4 64,4
3 55,3 57,3 59,4 61,4 63,5 65,5 67,6
4 57,6 59,7 61,8 63,9 66,0 68,0 70,1
5 59,6 61,7 63,8 65,9 68,0 70,1 72,2
6 61,2 63,3 65,5 67,6 69,8 71,9 74,0
7 62,7 64,8 67,0 69,2 71,3 73,5 75,7
8 64,0 66,2 68,4 70,6 72,8 75,0 77,2
9 65,2 67,5 69,7 72,0 74,2 76,5 78,7
10 66,4 68,7 71,0 73,3 75,6 77,9 80,1
11 67,6 69,9 72,2 74,5 76,9 79,2 81,5
12 68,6 71,0 73,4 75,7 78,1 80,5 82,9
13 69,6 72,1 74,5 76,9 79,3 81,8 84,2
14 70,6 73,1 75,6 78,0 80,5 83,0 85,5
15 71,6 74,1 76,6 79,1 81,7 84,2 86,7
16 72,5 75,0 77,6 80,2 82,8 85,4 88,0
17 73,3 76,0 78,6 81,2 83,9 86,5 89,0
18 74,2 76,9 79,6 82,3 85,0 87,7 90,4
19 75,0 77,7 80,5 83,2 86,0 88,8 91,5
20 75,8 78,6 81,0 84,2 87,0 89,8 92,6
21 76,5 79,4 82,3 85,1 88,0 90,9 93,8
22 77,2 80,2 83,1, 86,0 89,0 91,9 94,9
23 78,0 80,0 83,9 86,9 89,9 92,9 95,9
24 78,7 81,7 84,4 87,8 90,9 93,9 97,0

Sumber :(Yuliana & Bawon, 2019).


Table 1.2: standar panjang badan menurut umur (PB/U)
Anak perempuan umur 0-24 bulan

Panjang badan (cm)


umu
stunting Normal tinggi
r
-3 SD -2 SD -1 SD Median 1 SD 2 SD 3 SD
0 43,6 45,4 47,3 49,1 51,0 52,9 54,7
1 47,8 49,8 51,7 53,7 56,6 57,6 59,5
2 51,0 53,0 55,0 57,1 59,1 61,1 63,2
3 53,5 55,6 57,7 59,8 61,9 64,0 66,1
4 55,6 57,8 59,9 62,1 64,3 66,4 68,6
5 57,4 59,6 61,8 64,0 66,2 68,5 70,7
6 58,9 61,2 63,5 65,7 68,0 70,3 72,5
7 60,3 62,7 65,0 67,3 69,6 71,9 74,2
8 61,7 64,0 66,4 68,7 71,7 73,5 75,8
9 62,9 65,3 67,7 70,1 72,6 75,0 77,4
10 64,1 66,5 69,0 71,5 73,9 76,4 78,9
11 65,2 67,7 70,3 72,8 75,3 77,8 80,3
12 66,3 68,9 71,4 74,0 76,6 79,2 81,7
13 67,3 70,0 72,6 75,2 77,8 80,5 83,1
14 68,3 71,0 73,7 76,4 79,1 81,7 84,4
15 69,3 72,0 74,8 77,5 80,2 83,0 85,7
16 70,2 73,0 75,8 78,6 81,4 84,2 87,0
17 71,1 74,0 76,8 79,7 82,5 85,4 88,2
18 72,0 74,9 77,8 80,7 83,6 86,5 89,4
19 72,8 75,8 78,8 81,7 84,7 87,6 90,6
20 73,7 76,7 79,7 82,7 85,7 88,7 91,7
21 74,5 77,5 80,6 83,7 86,7 89,8 92,9
22 75,2 78,4 81,5 84,6 87,7 90,8 94,0
23 76,0 79,2 82,3 85,4 88,7 91,9 95,0
24 76,7 80,0 83,2 86,4 89,6 92,9 96,1

Sumber :(Yuliana & Bawon, 2019).

Anak yang dikatakan stunting bila pada indeks antropometri berdasarkan tinggi badan

menurut umur (TB/U) berada pada ambang batas < -2 SD (standar deviasi) standar WHO-NCHS

(Yudianti & Saeni, 2017)


B. Stunting

1. Pengertian Stunting

Stunting atau biasa disebut tubuh pendek atau sangat pendek merupakan gambaran

terhambatnya pertumbuhan akibat kurangnya asupan zat gizi dalam jangka waktu yang

lama. Kategori stunting menurut WHO Child Growth Standart Stunting yaitu didasarkan

pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur

(TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari −2 standar deviasi (SD). Gangguan pertumbuhan

linear atau stunting, terjadi terutama dalam 2 sampai 3 tahun pertama kehidupan dan

merupakan cerminan dari efek interaksi antara kurangnya asupan energi dan asupan gizi

(Fitri, 2012).

Stunting atau balita pendek adalah balita dengan masalah gizi kronik, yang memiliki

status gizi berdasarkan panjang badan atau tinggi badan menurut umur (TB/U) jika

dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth reference Study)

(2005) memiliki nilai z-score kurang dari -2SD dan apabila nilai z-scorenya kurang dari

-3SD dikategorikan sebagai balita sangat pendek (Kania, 2015)

Depkes (2015) menyatakan bahwa stunting yang dialami anak dapat disebabkan oleh

tidak terpaparnya periode 1000 hari pertama kehidupanmendapat perhatian khusus karena

menjadi penentu tingkat pertumbuhan fisik, kecerdasan, dan produktivitas seseorang di masa

depan. Stunting dapat pula disebabkan tidak melewati periode emas yang dimulai 1000 hari

pertama kehidupan yang merupakan pembentukan tumbuh kembang anak pada 1000 hari

pertama. Pada masa tersebut nutrisi yang diterima bayi saat didalam kandungan dan

menerima ASI memiliki dampak jangka panjang terhadap kegidupan saat dewasa. Hal ini
dapat terlampau maka akan terhindar dari terjadinya stunting pada anak-anak dan status gizi

yang kurang.

Masa 1000 hari pertama kehidupan (HPK), yang bermula sejak saat konsepsi hingga

anak berusia 2 tahun, merupakan masa paling kritis untuk memperbaiki perkembangan fisik

dan kognitif anak. Pertumbuhan pada dua tahun pertama kehidupan dicirikan dengan

pertambahan gradual, baik pada percepatan pertumbuhan linear maupun laju pertambahan

berat badan. Pertumbuhan bayi cenderung ditandai dengan pertumbuhan cepat (growth

spurt) yang dimulai pada usia 3 bulan hingga usia 2 tahun, kemudian pertumbuhan pada

anak pada usia 2 tahun sampai usia anak 5 tahun menjadi lebih lambat dibandingkan dengan

ketika masih bayi, walaupun pertumbuhan terus berlanjut dan akan memengaruhi

kemampuan motoris, sosial, emosional, dan perkembangan kognitif (Djauhari, 2017)

2. Penyebab Stunting

Menurut pernyataan UNICEF dalam BAPPENAS (2011) yang dikutip oleh Mugianti,

pada dasarnya status gizi anak dapat dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung.

a. Faktor langsung meliputi : karakteristik anak berupa jenis kelamin laki-laki, berat

badan lahir rendah (BBLR), konsumsi makanan berupa asupan energi rendah dan

asupan protein rendah, status kesehatan penyakit infeksi ISPA dan diare.

b. Faktor tidak langsung meliputi : pola pengasuhan tidak ASI ekslusif, pelayanan

kesehatan (status imunisasi yang tidak lengkap), dan karakteristik keluarga (pekerjaan

orang tua, pendidikan orang tua dan status ekonomi keluarga).

(Mugianti et al., 2018)

Selain itu adapun pendapat lain oleh Fatimah Hidayati dalam tulisannya mengatakan

bahwa penyebab stunting ialah akibat dari kurangnya asupan gizi pada anak dalam 1000
hari pertama kehidupan, yaitu semenjak anak masih dalam kandungan hingga anak berusia

2 tahun.

Menurut Notoadmodjo (2005) pola asuh ibu merupakan perilaku ibu dalam mengasuh

balita mereka. Perilaku ini dipengaruhi oleh sikap dan pengetahuan. Pengetahuan yang baik

akan menciptakan sikap yang baik, yang selanjutnya apabila sikap tersebut dinilai sesuai,

maka muncul perilaku yang baik pula. Pengetahuan sendiri didapatkan dari pendidikan

formal maupun dari media (non formal), seperti radio, TV, internet, Koran, majalah, dll

(Lailatul & Ni’mah., 2015).

Factor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan factor penyebab tidak

langsung penyebab stunting. Terdapat tiga factor utama yang menyebabkan stunting yaitu

asupan makanan tidak seimbang (termasuk karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin,

dan air), riwayat Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), riwayat penyakit, praktek pengasuhan

yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi

sebelum dan masa kehamilan, serta setelah melahirkan, pemberian ASI eksklusif, tidak

menerima makanan pendamping ASI (MPASI) (Yuliana & Bawon, 2019).

Yuliana & Bawon dalam bukunya mengatakan bahwa kejadian stuntingberhubungan

dengan berbagai macam factor yaitu karakteristik orangtua, yaitu pendidikan, pekerjaan,

pendapatan,pola asuh makan dan jumlah anggota dalam keluarga, factor genetic, penyakit

infeksi, kejadian BBLR, kekurangan energy danprotein, sering mengalami penyakit kronis,

praktek pemberian makan yang tidak sesuai. Adapun factor resiko stunting yaitu:

a. pendidikan orangtua.

Dalam arti luas pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang

dengan sengaja mewariskan pengetahuan. Tingkat pendidikan mempengaruhi pola


konsumsi makan melalui cara pemilihan makanan dalam hal kualitas dan kuantitas

yang nantinya berpengaruh terhadap status gizi anak

b. pekerjaan orangtua,

pekerjaan oangtua berkaitan erat dengan penghasilan keluarga yang mempengaruhi

daya beli keluarga karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak.

c. tinggi badan orangtua

tinggi badan merupakan salah satu bentuk ekspresi genetic, dan merupakan faktor

yang diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan kejadian stunting.

d. Status gizi

Hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa berat badan dan tinggi badan orangtua

dengan status gizi, dimana hasil penelitian menjadi gambaran mengenai status gizi

balita berdasarkan berat badan dan tinggi badan orangtua.

(Yuliana & Bawon, 2019).

3. Ciri-Ciri Anak Yang Mengalami Stunting

Stunting pada anak akan terlihat dari perawakan anak yang kerdil saat mencapai usia 2

tahun, atau lebih pendek dibandingkan anak-anak seusianya dengan jenis kelamin yang

sama. Selain pendek ataupun kerdil, anak yang mengalami stunting juga terlihat

kurus.Walaupun terlihat pendek dan kurus, tubuh anak tetap proporsional.

Selain mengalami gangguan pertumbuhan, anak yang mengalami stunting juga akan

mengalami pertumbuhan. Anak akan mengalami penurunan tingkat kecerdasan, gangguan

berbicara, dan kesulitan dalam belajar.


Anak dengan stunting juga memiliki system kekebalan tubuh yang rendah, sehingga

lebih mudah sakit, terutama penakit akibat infeksi. Anak juga akan lebih sulit sembuh ketika

sakit. (Yuliana & Bawon, 2019).

4. Dampak Stunting

Anak stunting beresiko mengalami peningkatan kesakitan dan kematian, terhambatnya

perkembangan motorik dan mental, penurunan intelektual dan produktivitas, peningkatan

resiko penyakit degenerative, obesitas serta lebih rentan terhadap penyakit infeksi,

defesiensi zat gizi dalam jangka lama. Selain itu juga dapat mengalami stunting pada saat

memasuki sekolah dasar. Hal ini merupakan manifestasi dari stunting pada masa

balita(Anugraheni, 2012).

5. Cara Mencegah Stunting Pada Anak

Gangguan tumbuh kembang anak akibat stunting bersifat menetap, yang artinya tidak

dapat diatasi. Namun, hal ini dapat dicegah, terutama pada saat 1000 hari pertama

kehidupan anak, dengan cara sebagai berikut:

a. Penuhi kecukupan nutrisi ibu selama kehamilan dan menyusui, terutama zat esi,

asam folat, dan yodium.

b. Lakukan inisiasi menyusui dini (IMD) dan memberikan ASI eksklusif.

c. Lengkapi pengetahuan tentang MPASI yang baik dan menerapkannya.

d. Biasakan hidup bersih dan sehat dengan mencuci tangan menggunakan sabun dan

air, terutama sebelum menyiapkan makanan dan setelah buang air besar atau kecil,

meminum air yang terjamin kebersihannya, dan mencuci peralatan makan dengan

sabun cuci piring. Hal ini untuk mencegah anak terkena penyakit infeksi.
Orang tua juga perlu memeriksakan anak ke posyandu atau puskesmas secara rutin,

agar kenaikan berat badan dan tinggi badan dapat dipantau.Pemeriksaan dianjurkan untuk

dilakukan setiap bulan bagi anak berusia dibawah 1 tahun, dan setiap 3 bulan bagi anak 1-2

tahun.

Selain pemantauan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, pemeiksaan rutin

juga diperlukan guna melakukan evaluasi kemungkinan terjadinya infeksi pada anak,seperti

cacingan, TBC, infeksi saluran kencing, dan diare berulang.

Menurut kemenkes RI pada tahun 2018 terdapat beberapa pencegahan stunting pada

anak yaitu intervensi sensitive dan intervensi spesifik.

1. Intervensi sensitive

a) Penyediaan akses dan ketersediaan air bersih serta sarana sanitasi (jamban sehat)

di keluarga.

b) Pelaksanaan fortifikasi bahan pangan

c) Pendidikandan KIE gizi masyarakat

d) Pemberian pendidikan dan pola asuh dalam keluarga

e) Pemantapan akses dan layanan KB

f) Penyediaan jaminan kesehatan nasional (JKN) dan jaminan persalinan

g) Pemberian edukasi Kespro

2. Intervensispesifik

a) Suplementasi tablet besi folat pada bumil

b) Pemberian makanan tambahan (PMT) bumil KEK

c) Promosi dan konseling IMD dan ASI eksklusif

d) Pemberian makanan bayi dananak (PMBA)


e) Pemantauan pertumbuhan di posyandu

f) Pemberian imunisasi

g) Pemberian makanan tambahan balita gizi kurang

h) Pemberian vitamin A

i) Pemberian taburia pada baduta

j) Pemberian obat cacing pada bumil.

(Kemenkes, 2018)

C. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh adalah cara, bentuk, atau strategi dalam pendidikan keluarga yang

dilakukan oleh orangtua kepada anaknya. Dengan demikian merupakan suatu hak

kewajiban orangtua sebagai penanggung jawab yang utama dalam mendidik anaknya

(Hakim, 2013).

Pola asuh orangtua adalah pola peilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat

relative konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dan

bisa membei efek negative maupun positif (Purwanti,dkk, 2015).

2. Macam-Macam Pola Asuh

Menurut Sari & purwati (2014) terdapat tiga pola asuh yang sering diterapkan dalam

keluarga.

a) Pola asuh otoriter (Parent oriented)

Pola asuh otoriter (parent oriented) pada umumnya menggunakan pola

komunikasi satu arah (one way communication). Cirri-ciri pola asuh ini menekankan

bahwa segala aturan orangtua harus ditaati oleh anaknya.


Inilah yang dinamakan win-lose solution. Orangtua memaksakan pendapat atau

keinginan pada anaknya dan bertindak semena-mena (semaunya kepada anak), tanpa

dapat dikritik oleh anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap

apa-apa yang diperintahkan atau dikehendaki oleh orangtua. Anak tidak diberi

kesempatan menyampaikan apa yang dipikirkan, diinginkan, atau dirasakannya.

Orangtua cenderung memaksakan disiplin, jika terdapat perbedaan pendapat antara

orangtua dan anak, maka anak dianggap pembangkang.

b) Pola asuh permisif (children centered)

Pada umumnya pola asuh permisif ini menggunakan komunikasi satu arah (one

way communication) karena meskipun orangtua memiliki kekuasaan penuh dalam

keluarga terhadap anak tetapi anak memutuskan apa-apa yang diinginkannya sendiri

baik orangtua setuju ataupun tidak. Pola ini bersifat children centered maksudnya

adalah bahwa segala aturan dan ketetapan keluarga berada berada ditangan anak.

Pola asuh permisif ini kebalikan dari pola asuh otoriter (parent oriented). Dalam

parent oriented. Strategi komunikasi dalam pola asuh ini sama dengan stategi parent

oriented yaitu bersifat win-lose solution. Artinya apa yang diinginkan anak selalu

dituruti dan diperbolehkan oleh orangtua. Orangtua mengikuti segala kemauan

anaknya.

c) Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis meggunakan komunikasi dua arah (two ways

communication). Kedudukan antara orangtua dan anak dalam berkomunikasi sejajar.

Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan (keuntungan) kedua

belah pihak (win-win solution). Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab.
Artinya, apa yang dilakukan anak harus ada dibawah pengawasan orangtua dan dapat

dipertanggung jawabkan secara moral, ciri-ciri pola asuh ini memberikan bimbingan

dengan penuh pengertian dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga, dapat

menciptakan suasana komunikatif antara orangtua dan anak sesama keluarga dan

memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang

tidak baik agar ditinggalkan.

(Noname, 1994)

3. Pola Asuh Makan

Pola asuh dapat berikatan dengan kejadian stunting pada anak. Hal ini

digambarkan pada pola asuh pemberian makan pada anak. Pola asuh pemberian makan

maksudnya adalah perilaku yang dipraktikkan oleh pengasuh dalam memberikan makan,

pemeliharaan kesehatan, memberikan stimulasi serta dukungan emosional yang

dibutuhkan agar anak tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya.

Pola asuh makan yang diterapkan oleh ibu nantinya akan mempengaruhi

petumbuhan dan perkembangan khusunya pada balita jika terjadi kekurangan gizi pada

masa balita akan bersifat irreversible (tidak dapat pulih), sehingga pada masa balita

membutuhkan makanan yang berkualitas. Pola asuh makan yang baik tercermin dari

baiknya asupan makan yang diberikan ibu. Asupan makanan dinilai kualitatif

digambarkan melalui keragaman konsumsi pangan. Keragaman pangan mencerminkan

tingkat kecukupan gizi seseorang (Nabuasa, Huriyati, 2013).

Pemberian asupan dengan menyusui, memberikan makan dengan cara makan

yang sehat, member makan bergizi dan mengontrol porsi yang dihabiskan akan

meningkatkan status gizi anak. Jika pola asuh pemberian makan yang diberikan salah
dapat menyebabkan kurangnya asupan zat gizi yang diterima balita (Sawadogo, et al,

2010).

D. Pengetahuan

1. Defenisi Pengetahuan

Menurut KBBI pengetahuan berarti segala sesuatu yang diketahui; kepandaian;

segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal.

Pengetahuan adalah suatu hasil dari rasa keingintahuan melalui proses sensoris,

terutama pada mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain

yang penting dalam terbentuknya perilaku terbuka atau open behavior (Donsu, 2017).

Pengetahuan atau knowledge adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu

seseorang terhadap suatu objek melalui panca indra yang dimilikinya. Pada waktu

penginderaan untuk menghasilkan pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh intensitas

perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang sebagian besar diperoleh

melalui indra pendengaran dan indra penglihatan (Notoatmodjo, 2014).

2. Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjopengetahuan seseorang terhadap suatu objek mempunyai

intensitas atau tingkatan yang berbeda. Secara garis besar dibagi menjadi 6 tingkat

pengetahuan, yaitu :

a) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai recall atau memanggil memori yang telah ada sebelumnya

setelah mengamati sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang telah dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Tahu disisni merupakan tingkatan yang paling

rendah. Kata kerja yang digunakan untuk mengukur orang yang tahu tentang apa
yang dipelajari yaitu dapat menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi,

menyatakan dan sebagainya.

b) Memahami (Comprehention)

Memahami suatu objek bukan hanya sekedar tahu terhadap objek tersebut, dan

juga tidak sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut dapat menginterpretasikan

secara benar tentang objek yang diketahuinya. Orang yang telah memahami objek dan

materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menarik kesimpulan,

meramalkan terhadap suatu objek yang dipelajari.

c) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud

dapat menggunakan atau pun mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada

situasi atau kondisi yang lain. Aplikasi juga diartikan aplikasi atau penggunaan

hukum, rumus, metode, prinsip, rencana program dalam situasi yang lain.

d). Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang dalam menjabarkan atau memisahkan, lalu

kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen dalam suatu objek atau

masalah yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang telah sampai pada

tingkatan ini adalah jika orang tersebut dapat membedakan, memisahkan,

mengelompokkan, membuat bagan (diagram) terhadap pengetahuan objek tersebut.

e). Sintesis (Synthesis)

Sintesis merupakan kemampuan seseorang dalam merangkum atau meletakkan

dalam suatu hubungan yang logis dari komponen pengetahuan yang sudah
dimilikinya. Dengan kata lain suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari

formulasi yang sudah ada sebelumnya.

f). Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian

terhadap suatu objek tertentu. Penilaian berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan

sendiri atau norma-norma yang berlaku dimasyarakat.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Notoatmodjo. Factor-

faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah sebagai berikut :

a) Pendidikan

Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi berupa hal-hal yang menunjang

kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Menurut YB Mantra yang

dikutip oleh Notoatmodjo, pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga

perilaku akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta

dalam pembangunan pada umumnya. Makin tinggi pendidikan seseorang maka

semakin mudah menerimai nformasi.

b) Pekerjaan

Menurut Thomas yang kutipo leh Nursalam, pekerjaan adalah suatu keburukan yang

harus dilakukan demi menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya.

Pekerjaan tidak diartikan sebagai sumber kesenangan, akan tetapi merupakan cara

mencari nafkah yang membosankan, berulang, dan memiliki banyak tantangan.

Sedangkan bekerja merupakan kegiatan yang menyita waktu.

c) Umur
Menurut Elisabeth BH yang dikutip dari Nursalam (2003), usia adalah umur

individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun . sedangkan

menurut Huclok (1998) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan

masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi

kedewasaannya.

d) FaktorLingkungan

Lingkungan ialah seluruh kondisi yang ada sekitar manusia dan pengaruhnya

dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku individu atau kelompok.

e) SosialBudaya

Sistem sosial budaya pada masyarakat dapat memberikan pengaruh dari sikap

dalam menerima informasi.

4. Kriteria Tingkat Pengetahuan

Menurut Nursalam (2016) pengetahuanseseorangdapat diinterpretasikandenganskala

yang bersifatkualitatif, yaitu :

a) PengetahuanBaik : 76 % - 100 %

b) PengetahuanCukup : 56 % - 75 %

c) PengetahuanKurang :< 56 %

5. Hubungan pengetahuan dengan stunting

Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta

interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Tingkat pengetahuan gizi

seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang

pada akhirnya akan berpengaruh pada status gizinya (Khomsan et al. 2007)
Pengetahuan berikatan dengan kejadian stunting dapat terlihat pada peranan orangtua

terutama ibu dalam pemenuhan gizi anak dalam menghadapi pertumbuhan dan

perkembangan anak. Untuk mendapatkan gizi yang baik diperlukan pengetahuan gizi

yang baik dari orang tua agar dapat menyediakan menu pilihan seimbang (Devi N, 2012).

Seorang ibu yang memiliki pengetahuan dan sikap gizi yang kurang akan sangat

berpengaruh terhadap status gizi anaknya dan akan sukar memilih makanan yang bergizi

untuk anak dan keluarganya.

E. Hubungan pola asuh makan, pengetahuan, dan kejadian stunting

Menurut Notoadmodjo (2005) pola asuh ibu merupakan perilaku ibu dalam mengasuh

balita mereka. Perilaku ini dipengaruhi oleh sikap dan pengetahuan. Pengetahuan yang

baik akan menciptakan sikap yang baik, yang selanjutnya apabila sikap tersebut dinilai

sesuai, maka muncul perilaku yang baik pula. Pengetahuan sendiri didapatkan dari

pendidikan formal maupun dari media (non formal), seperti radio, TV, internet, Koran,

majalah, dll (Lailatul & Ni’mah., 2015)


Kerangka Teori

Faktor utama :

 gizi sebelum dan


selama kehamilan
 asupan makan tidak
seimbang
 BBLR
 Riwayat penyakit
 Praktek pengasuhan
yangkurang baik
 Pengetahuan
 Tidak ASI eksklusif
 Tidak menerima
MPASI

Stunting

Faktor resiko:

 Karakteristik
orangtua
(pendidikan,
pekerjaan,
pendapatan, tinggi
badan orangtua)

Sumber: (Yuliana & Bawon, 2019).

Anda mungkin juga menyukai