Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL


“PERDARAHAN POST PARTUM”

Disusun Oleh Kelompok 1:


1. Irmaya Anggraini
2. Umi Kalsum
3. Siti Nurjanah
4. Teza Bonita
5. Maryani
6. Yusi Anggraini

Dosen Pembimbing: Nuril Absari, SSiT, M. Kes

PROGRAM STUDI JENJANG D IV KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU
TAHUN 2017/2018

1
A. Kegawatdaruratan

Penderita gawat adalah penderita dengan ancaman jiwa atau

ancaman kematian. Kasus darurat adalah penderita dengan kasus yang

memerlukan pertolongan segera. Jadi, penderita gawat darurat adalah

penderita yang memerlukan pertolongan segera karena adanya ancaman

kematian. Pertolongan penderita gawat darurat harus dilakukan dengan

cepat, tepat dan cermat agar tidak terjadi kematian atau kecacatan pada

penderita (PPGD-ON, 2016).

Gawat adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan

kecacatan yang memerlukan penananganan dengan cepat dan tepat.

Kegawatan suatu yang menimpa seseorang yang dapat menimbulkan

proses mengancam jiwa, dalam arti pertolongan tepat, cermat dan cepat

bila tidak dapat menyebabkan seseorang meninggal atau cacat (Depkes,

2003).

B. Perdarahan Post Partum

1. Pengertian

Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 ml yang

terjadi setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1000 ml setelah

persalinan abdominal (Oktarina, 2016).

Perdarahan post partum adalah perdarahan setelah bayi lahir yang

volumenya melebihi 400-500 cc (Manuaba, 2012).

2
Perdarahan pascasalin adalah perdarahan >500 ml setelah bayi

lahir atau yang berpotensi mempengaruhi hemodinamik ibu (WHO,

2015).

Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk

menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah

perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal yang

telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh

lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, tekanan darah sistolik

<90 mmHg, denyut nadi >100 x/menit, kadar Hb <8 g/dL (Nugroho,

2014)

2. Klasifikasi perdarahan post partum dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Perdarahan post partum primer

Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kalla

III (Nugroho, 2014). Perdarah post partum primer terdiri dari :

1) Atonia uteri

a) Pengertian

Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot

miometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal

ini merupakan penyebab perdarahan post partum yang

paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir

hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat

mengarah pada terjadinya syok hipovolemik (Nugroho,

2014).

3
b) Etiologi

Overdistensi uterus, baik absolute maupun relatif,

merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri.

Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan

ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau

abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan

struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta

atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum

maupun sesudah plasenta lahir. Lemahnya kontraksi

miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena

persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar,

terutama bila mendapatkan stimulasi.

Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi

kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen

anestesi terhalogenesasi, nitrat, obat-obat antiinflamsi

nonsteroid, magnesium sulfat, beta simpatomimetik dan

nifedipin.

Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin

bakteri (korioamnionitis, endomiometritis, septikemia),

hipoksia akibat hipoperfusi.

Data terbaru menyebutkan bahwa grande

multiparitas bukan merupakan faktor resiko independen

untuk terjadinya perdarahan post partum (Nugroho, 2014).

4
c) Tanda dan gejala

Tanda dan gejala dari atonia uteri antara lain (PPGD-ON,

2016) :

(1) Uterus tidak berkontraksi dan lembek

(2) Perdarahan banyak

(3) Tidak terdapat perlukaan jalan lahir

(4) Tidak ada sisa plasenta

(5) Kadang-kadang terdapat syok hipovolemik

d) Penatalaksanaan

Penatalaksanaan di BPM :

(1) Bersihkan bekuan darah dan atau selaput ketuban dari

vagina dan lubang serviks.

(2) Pastikan bahwa kandungan kemih ibu kosong.

(3) Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5

menit. Jika muncul kontraksi uterus:

(a) Teruskan KBI selama 2 menit.

(b) Keluarkan tangan perlahan dan pantau kala empat

dengan ketat.

(4) Bila kontraksi belum muncul :

(a) Lakukan kompresi bimanual eksternal (KBE).

Ajarkan keluarga untuk membantu melakukan

(KBE).

5
(b) Berikan ergometrin 0,2 mg IM (kontraindikasi

pada hipertensi).

(c) Ergometrin 0,125 mg IV (1/2 ampul), dosis

maksimal 1,25 g (5 ampul).

(d) Atau misopostol 600-1000 mcg per rektal (tablet

200 mg).

(e) Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau

18 dan berikan 20 IU oksitosin dalam 500 cc

Ranger Laktat. Habiskan 500 cc pertama secepat

mungkin.

(f) Ulangi KBE.

(5) Bila kontraksi telah ada pantau ibu dengan seksama

selama persalinan kala empat.

(6) Bila kontraksi belum juga timbul dalam 1-2 menit, hal

ini bukan atonia sederhana.

(a) Segera rujuk

(b) Dampingi ibu ke tempat rujukan

(c) Lanjutkan infus RL 500 cc + 20 IU oksitosin

dengan kecepatan 500 cc/ jam hingga tempat

rujukan atau hingga menghabiskan 1,5 L infus

(maksimal 60 I oksitosin). Kemudian berikan 125

cc/jam. Jika tidak tersedia cairan yang cukup,

6
beriakn 500 cc kedua dengan kecepatan sedang dan

berikan minuman untuk rehidrasi (Joseph, 2011).

Penatalaksanaan di Rumah Sakit :

(1) Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan

perdarahan yang terjadi tetap >200 ml/jam. Tujuan

laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik

(khusus untuk penderita yang belum punya anak atau

muda sekali).

(2) Bila tidak berhasil histerektomi adalah langkah terakhir

(Oktarina, 2016).

2) Retensio Plasenta

a) Pengertian

Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum

lahirnya plasenta hingga atau lebih dari 30 menit setelah

bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan

plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus

(Nugroho, 2014).

b) Tanda dan gejala


(1) Plasenta belum lahir setelah 30 menit
(2) Perdarahan segera
(3) Uterus berkontraksi dan keras

7
c) Klasifikasi
Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain :
(1) Plsenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari

jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan

kegagalan mekanisme separasi fisiologis.

(2) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion

plasenta hingga mencapai sebagian lapisan

miometrium.

(3) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion

plasenta hingga mencapai/melewati lapisan

miometrium.

(4) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion yang

menembus lapisan miometrium hingga mencapai

lapisan serosa dinding uterus.

(5) Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta

didalam kavum uteri, disebabkan oleh kontraksi

ostium uteri (Nugroho, 2014).

d) Penatalaksanaan

(1) Jika plasenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk

mengejan, jika anda dapat merasakan adanya plasenta

dalam vagina, keluarkan plasenta tersebut.

(2) Pastikan kandung kemih sudah kosong. Jika

diperlukan, lakukan katerisasi kandung kemih.

8
(3) Jika plasenta belum keluar, berikan oksitosin 10 unit

IM, jika belum dilakukan dalam penanganan aktif kala

III.

(4) Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit

pemberian oksitosin dan uterus terasa berkontraksi,

lakukan penarikan tali pusat terkendali.

(5) Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil,siapkan

pasien untuk di rujuk.

(6) Namun bila terjadi tanda perdarahan segera lakukan

manual plasenta (Joseph, 2011).

3) Robekan jalan lahir

Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering

dari perdarahan pasca persalinan. Robekan dapat terjadi

bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan

dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan

oleh, robekan servik atau vagina (Marmi, 2011).

a) Robekan Perineum

(1) Pengertian

Adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik

secara spontan maupun dengan alat atau tindakan.

Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah

dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu

cepat.

9
(2) Etiologi

(a) Kepala janin terlalu cepat lahir

(b) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya

(c) Adanya jaringan parut pada perineum

(d) Adanya distosia bahu (Hernawati, 2017).

(3) Tanda dan gejala

Tanda dan gejala laserasi jalan lahir meliputi,

(Oktarina, 2016):

(a) Darah segar mengalir segera setelah bayi lahir

(b) Uterus berkontraksi dan keras

(c) Plasenta lengkap

(4) Klasifikasi
Ruptura perineum dan robekan dinding vagina. Tingkat
perlukaan perineum dapat dibagi dalam (Nugroho,
2014):
(a) Tingkat I : bila perlukaan hanya terbatas pada

mukosa vagina atau kulit perineum

(b) Tingkat II : robekan ini terjadi pada mukosa vagina

atau kulit perineum dan otot-otot perineum.

(c) Tingkat III : robekan ini terjadi pada mukosa

vagina atau kulit perineum dan otot-otot perineum

dan sfingter ani eksterna.

10
(d) Tingkat IV : robekan ini terjadi pada mukosa

vagina atau kulit perineum dan otot-otot perineum

dan sfingter ani yang meluas sampai ke mukosa.

(5) Faktor resiko

(a) Makrosomia

(b) Malpresentasi

(c) Partus presipitatus

(d) Distosia bahu

(6) Penatalaksanaan

(a) Ruptura perineum dan robekan dinding vagina

(b) Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi

laserasi dan sumber perdarahan.

(c) Lakukan irigas pada tempat luka dan bubuhi

larutan antiseptik.

(d) Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan

kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap.

(e) Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang

paling distal dari operator.

(f) Khusus pada ruptura perineum pelvik (hingga anus

dan sebagian rektum) dilakukan penjahitan lapis

demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sbb :

(g) Setelah prosedur aseptik antiseptik, pasang busi

pada rektum hingga ujung robekan.

11
(h) Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan

jahitan dan simpul submukosa , menggunakan

benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl) hingga

ke sfinghter ani. Jepit keduan sfinghter ani dengan

klem dan jahit dengan benang no.2/0.

(i) Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan

submukosa dengan benang yang sama (atau kromik

2/0) secara jelujur o mukosa vagina dan kulit

perineum dijahit secara submukosal dan

subkutikuler.

(j) Berikan antibiotika profilaksis (ampicilin 2 g dan

metronidazole 1 g per oral). Terapi penuh

antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak

kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau

terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas (Nugroho,

2014).

b) Robekan Serviks

(1) Pengertian

Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan

dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila

terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun

plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah

12
berkontraksi baik perlu diperkirakan perlukaan jalan

lahir, khususnya robekan serviks uteri.

(2) Etiologi

(a) Partus presipitatus

(b) Trauma karena pemakaian alat-alat kontrasepsi

(c) Partus lama (Hernawati, 2017).

(3) Tanda dan gejala

Tanda dan gejala laserasi jalan lahir meliputi,

(Oktarina, 2016):

(a) Darah segar mengalir segera setelah bayi lahir

(b) Uterus berkontraksi dan keras

(c) Plasenta lengkap

(4) Penatalaksanaan

(a) Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral

karena serviks yang terjulur akan mengalami

robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh

kepala bayi.

(b) Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap,

tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera lihat

bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio.

(c) Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang

robek sehingga perdarahan dapat segera

dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak

13
dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan. Jahitan

dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah

luar sehingga semua robekan dapat dijahit.

(d) Setelah tindakan, periksa tanda-tanda vital pasien,

kontraksi uterus tinggi fundus uteri dan perdarahan

pasca tindakan.

(e) Beri antibiotika prifilaksis kecuali bila jelas

ditemui tanda-tanda infeksi.

(f) Bila terdapat defisit cairan, lakukan retorasi dan

bila kadar Hb < 8 g %, berikan transfusi darah

(Nugroho, Taufan, 2014).

4) Kelainan Darah

a) Etiologi

Pada periode post partum awal, kelainan sistem

koagulasi dan platelet biasany tidak menyebabkan

perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada

kontraksi uterus untuk mencegah perdarahan. Defosit

fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan penjendalan

darah memiliki peran penting beberapa jam hingga

beberapa hari setetah persalinan.

Kelainan pada daerah ini dapat menyebabkan

perdarahan post partum sekunder atau perdarahan

eksaserbasi dari sebab lain, terutama trauma. Abnormalitas

14
dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat

persalinan. Trombositopenia dapat berhubungan dengan

penyakit sebelumnya, seperti ITP atau sindroma HELLP

sekunder, solutio plasenta, DIC atau sepsis. Abnormalitas

platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian

besar merupakan penyakit sebelumnya walaupun sering

tak terdiagnosis. Abnormalitas sistem pembekuan yang

muncul sebelum persalinan yang berupa

hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi

abnormalitas yang didapat biasanya yang menjadi

masalah.

Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan dengan

solutio plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air

ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat saat

hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal

seperti pada wanita yang tidak hamil harus mendapat

perhatian.

Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi

setelah perdarahan post partum masif yang mendapat

resusitasi cairan kristaloid dan transfusi PRC. DIC juga

dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh

hipoperfusi jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan

pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus ini terdapat

15
peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen

yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin

time) (Nugroho, 2014).

b) Penatalaksanaan

Jika tes koagulasi darah menunjukan hasil abnormal

dari onset terjadinya perdarahan post partum, perlu

dipertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya

perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindrom

HELLP, fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli air

ketuban dan septikemia.

Ambil langkah spesifik untuk menangani penyebab

yang mendasari dan kelainan hemostatik. Penanganan DIC

identik dengan pasien yang mengalami koagulopati

dilusional. Restorasi dan penanganan volume sirkulasi dan

penggantian produk darah bersifat sangat esensial.

Perlu saran dari ahli hematologi pada kasus

transfusi masif dan koagulopati, konsentrat trombosit yang

diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien

dengan trombositopenia kecuali bila terdapat

penghancuran trombosit dengan cepat.

Satu unit trombosit biasanya menaikan hitung

trombosit sebesar 5000-10.000/ mm3. Dosis biasa sebesar

kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala perdarahan

16
telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/

mm3.

Transfusi trombosit diindikasikan bila hitung

trombosit bila hitung trombosit 10.000-50.000/ mm3, jika

direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau

diperkirakan diperlukan suatu transfusi yang masif.

Transfusi ulang mungkin dibutuhkan karena masa paruh

trombosit hanya 3-4 hari. Plasma segar yang dibekukan

adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII, IX, X dan

fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak

diperlukan adanya kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam

plasma dapat bereaksi dengan sel-sel penerima.

Bila ditemukan koagulopati dan belum terdapat

pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan

harus dipakai secara empiris. Kriopresipitat, suatu sumber

faktor-faktor pembekuan VIII, XIII, dan fibrinogen

dipakai dalam penanganan hemofilia A,

hipofibrinogenemia dan penyakit von Willebrand.

Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat di prediksi untuk

terjadinya suatu pembekuan, serta bervariasi menurut

keadaan klinis (Nugroho, 2014).

17
b. Perdarahan Post Partum Sekunder

Perdarahan post partum sekunder (Late Post Partum

Haemorrage) terjadi setelah 24 jam pertama. Penyebab utama

perdarahan post partum sekunder adalah robekan jalan lahir dan

sisa plasenta atau membrane (Nugroho, 2014).

1) Rest Plasenta (Sisa Plasenta)

a) Pengertian

Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca

persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi

ketempat bersalin dengna keluhan perdarahan setelah

beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi uterus.

b) Penatalaksanaan

(1) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan

gejala metritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisin

dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x 1 g oral di

kombinasikan dengan metronidazol 1 g supositoria

dilanjutkan 3 x 500 mg oral.

(2) Lakukan ekspplorasi digital (bila servik terbuka) dan

mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila servik

hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi

sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase.

18
(3) Bila kadar HB < 8 gr/dL berikan transfusi darah. Bila

kadar HB > 8 gr/dL berikan sulfas ferosus 600 mg/

hari selama 10 hari (Nugroho, 2014).

C. Kesimpulan

Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 ml yang

terjadi setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1000 ml setelah

persalinan abdominal. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan

untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah

perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal yang

telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh

lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, tekanan darah sistolik <90

mmHg, denyut nadi >100 x/menit, kadar Hb <8 g/dL.

Perdarah post partum dibagi menjadi 2 yaitu perdarahan post

partum primer dan sekunder. Penyebab terjadinya perdarahan post partum

adalah atonia uteri, luka jalan lahir, retensio plasenta, gangguan

pembekuan darah dan sisa plasenta.

Faktor Resiko terjadinya post partum yaitu : pengguna obat-obatan

(anestesi umum, magnesium sulfat), partus presipitatus, solusio plasenta,

persalinan traumatis, uterus yang terlalu tegang (gameli, hidramnion);,

adanya cacat parut, tumor, anomali uterus; partus lama, grande

multipara, plasenta previa, plasenta dengan pacuan, riwayat perdarahan

pasca persalinan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Hernawati, Erni dan Lia Kamila. 2017. Buku Ajar Bidan Kegawatdaruratan

Maternal dan Neonmatal (Dengan Soal-soal Latihan Kasus Berbasis Uji

Kompetensi Nasional). Jakarta: CV. Trans Info Medika

Joseph Hk dan M. Nugroho S. 2011. Catatan Kuliah Ginekologi Dan Obstetri

(Obsgyn). Yogyakarta; Nuha Medika.

Nugroho, Taufan. 2014. Buku Ajar Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan.

Yogjakarta: Nuha Medika.

Manuaba, Ida Bagus Gede. 2012. Buku Ajar Pengantar Kuliah Teknik Operasi

Obstetri & Keluarga Berencana. Jakarta: CV Trans Info Medika.

Marmi, DKK. 2011. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pelayanan Penanganan Gawat Darurat Obstetri Neonatal. 2016

20

Anda mungkin juga menyukai