NIM : 182219490.
A. Aliran Idealisme.
Idealisme di ambil dari bahasa latin yaitu idea, yang berarti pikiran,
ide, gagasa. Sedangkan dalam KBBI idealisme merupakan sebuah aliran
filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal
yang benar dapat di camkan dan di pahami. Dan yang mengartikan ide
sebagai sesuatu yang hadir dalam jiwa manusia.
Dari penjelasan di aatas dapat di simpulkan bahwa aliran idealisme
adalah aliran dalam filsafat yang mengedepankan akal pikiran manusia, dan
terwujud atau tidaknya sesuatu itu tergantung oleh pemikiran manusia itu
sendiri. Jika di hubungkan dengan dunia pendidikan, idealisme merupakan
aliran yang dapat membewa pengaruh besar terhadap dunia pendidikan,
terlebih dalam pendidikan Indonesia. Karena dalam aliran idealisme ini
terdapat suatu metode yang sangat efisien untuk di terapkan dalam dunia
pendidikan. Yaitu metode dialektrik merupakan suatu metode untuk
memecahkan masalah yang melibatkan tiga unsure, yaitu tesis
(persoalan/permasalahan), antesis (tanggapan/pendapat), dan sintesis
(kesimpulan). Apabila metode yang seperti ini di terapkan dalam pendidikan
maka akan sangat efektif. Karena dengan metode ini mengajarkan bahwa
proses berpikir harus disiplin, ketika berpendapat harus dengan
pertimbangan yang sangat matang.
B. Jenis-jenis idealisme.
1. Idealisme subyektif (Immaterialisme).
Seorang idealis subyektif berpendirian bahwa akal, jiwa dan persepsi-
persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada. Obyek pengalaman
bukan benda material, obyek pengalaman adalah persepsi. Benda-benda
seperti bangunan dan pohon-pohonan itu ada, tetapi hanya ada dalam akal
yang mempersepsikannya. George Berkeley (1685-1753), seorang filosof
dari irlandia. Ia lebih suka menamakan filsafatnya dengan immaterialisme.
Baginya, ide adalah ‘esse est perzipi’ (ada berarti di persepsikan). Tetapi
akal itu sendiri tidak perlu di persepsikan agar dapat berada. Akal adalah
yang melakukan persepsi. Segala yang riil adalah akal yang sadar atau suatu
persepsi atau ide yang memiliki oleh akal tersebut. Berkeley menyatakan
bahwa ketertiban dan konsistensi alam adalah riil di sebabkan oleh akal yang
aktif yaitu akal tuhan, akal yang tertinggi, adalah pencipta dan pengatur
alam.
2. Idealisme obyektif.
Plato menamakan realitas yang fundamental dengan nama ide, tetapi
baginya, tidak seperti Berkeley, hal tersebut tidak berarti bahwa ide itu,
untuk berada, harus bersandar kepada satu akal tuhan. Plato percaya bahwa
di belakang alam perubahan atau alam empiris, alam fenomena yang kita
lihat atau kita rasakan, terdapat dalam ideal, yaitu alam esensi, formatau ide.
3. Idealisme personal.
Personalisme muncul sebagai protes terhadap materialisme mekanik
dan idealisme monitik. Bagi seorang personalis, realitas dasar itu bukannya
pemikiran yang abstrak atau proses pemikiran yang khusus, akan tetapi
seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir. Realitas itu termasuk dalam
personalitas yang sadar. Jiwa (self) adalah satuan kehidupan yang tak dapat
di perkecil lagi, dan hanya dapat di bagi dengan cara abstraksi yang palsu.
Kelompok personalis berpendapat bahwa perkembangan terakhir dalam
sains modern, termasuk di dalamnya formulasi teori realitas dan pengakuan
yang selalu bertambah terhadap tempat berpijaknya si pengamat telah
memperkuat sikap mereka. Realitas adalah suatu sistem jiwa personal, oleh
karena itu realitas bersifat pluraristik. Kelompok personalis menekankan
realitas dan harga diri dari orang-orang, nilai moral, dan kemerdekaan
manusia. Bagi kelompok personalis, alam adalah tata tertib yang obyektif,
walaupun begitu alam tidak berada sendiri. Manusia mengatasi alam jika ia
mengadakan interpretasi terhadap alam ini.
4. Tokoh-tokoh idealisme.
1. Plato (477-347 Sb.M). Menurut plato, kebaikan merupakan hakikat
tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi
manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman.
2. Immanuel kant (1724-1804). Ia menyebut filsafatnya idealis
transcendental atau idealis kritis di mana paham ini menyatakan bahwa isi
pengalaman langsung yang kita peroleh tidak di anggap sebagai miliknya
sendiri melainkan ruang dan waktu adalah forum intuisi kita.
3. Pascal (1623-1662). Pengetahuan di peroleh melalui dua jalan, pertama
akal dan kedua hati. Manusia besar karena pikirannya namun ada hal yang
tidak mampu di jangkau oleh pikiran manusia yaitu pikiran manusia itu
sendiri. Menurut pascal manusia adalah makhluk yang rumit dan kaya
akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu matematika, pikiran dan
logika tidak akan manpu di jadikan alat untuk memahami manusia.
Menurutnya alat-alat tersebut hanya mampu di gunakan untuk memahami
hal-hal yang bersifat bebas kontradiksi,yaitu yang bersifat konsisten.
Karena ketidakmanpuan filsafat dan ilmu-ilmu lain untuk memahami
manusia, maka satu-satunya jalan memahami manusia adalah dengan
agama. Karena dengan agama, manusia akan lebih mampu menjangkau
pikiran sendiri, yaitu dengan berusaha memcari kebenaran, walaupun
bersifat abstrak. Filsafat bisa melakukan apa saja, namun hasilnya tidak
akan pernah sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada iman. Setiap ilmu
pasti ada kekurangannya, tidak terkecuali filsafat.
4. J.G. Fichte (1762-1914 M). ia adalah seorang filsuf jerman. Filsafatnya di
sebut Wissenschaftslehre (ajaran ilmu pengetahuan). Secara sederhana
pemikiran fichte manusia memandang objek benda-benda dengan
indranya. Dalam mengindra objek tersebut, manusia beruhasa mengetahui
yang di hadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk
membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti
yang di pikirannya.
5. F.W.S.Schelling (1775-1854 M.) yang pasti bisa di terima akal sebagai
identitas murni atau indiferensi, yaitu antara subjektif dan objektif sama
atau tidak ada perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau ide)
sebagai subjek, keduanya saling berkaitan. Dengan demikian yang mutlak
itu tidak bisa di katakana hanya alam saja atau jiwa saja, melainkan antara
keduanya.
6. G.W.F.Hegel (1770-1031 M.). inti dari filsafat hegel adalah konsep geists
(roh atau spirit), suatu istilah yang di fahami oleh agamanya. Ia berusaha
menghubungkan yang mutlak dengan yang tidak mutlak.
ALIRAN POSITIFISME
A. Aliran Positifisme.
Dalam filsafat, positifisme berarti suatu aliran filsafat yang
berpangkal pada sesuatu yang pasti, factual, nyata, dari apa yang di ketahui
dan berdasarkan data empiris, menurut kamus besar bahasa Indonesia,
positifisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu
semta-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti, sesuatu yang
maya dan tidak jelas di kesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu
seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi.
Pada dasarnya positifisme adalah filsafat yang meyakini bahwa satu-
satunya pengetahuan yang benar adalah yang di dasarkan pada pengalaman
aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa di hasilkan melalui
penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya
spekulasi metafisis di hindari.
C. Konsep Positifisme.
Bagi comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, di perlukan
metode positif yang kepastiannya tidak dapat di gugat, metode positif ini
mempunyai 4 ciri, yaitu:
Metode ini di arahkan pada fakta-fakta.
Metode ini di arahkan pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat
hidup.
Metode ini berusaha kea rah kepastian.
Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Salah satu anasir dasar adalah perbedaan yang nyata antara gejala
(fenomena) dan bentuk ideal (eidos), di mana plato berpandangan bahwa,
di samping dunia fenomen yang kelihatan, terdapat suatu dunia lain, yang
tidak kelihatan yakni dunia eidos. Dunia yang tidak kelihatan itu tercapai
melalui pengertian (theoria). Apa arti eidos dan hubungannya dengan
dunia fenomena bahwa memang terdapat bentuk-bentuk yang ideal untuk
segala yang terdapat di bumi ini.