Anda di halaman 1dari 44

TUGAS

PATOLOGI MANUSIA DASAR


Penyakit Saluran Pencernaan Bagian Bawah
Tifus Abdominalis, Regional Enteritis/Regional Ileitis (Crohn Disease), Kolitis
Ulserativa, Disentri Amoeba, Disentri Basiler

DISUSUN OLEH :
NAMA : DITA CHAIRUNNISA
NIM : 711331115002
PRODI : D-IV GIZI
SEMESTER : IV
TINGKAT : II

POLTEKKES KEMENKES MANADO


DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan......................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
1. Tifus Abdominalis...................................................................................................
2. Regional Enteritis/Regional Ileitis (Crohn Disease)................................................
3. Kolitis Ulserativa.....................................................................................................
4. Disentri Amoeba......................................................................................................
5. Disentri Basiler........................................................................................................
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit gangguan saluran cerna merupakan penyakit yang sering di derita oleh orang
dewasa. Sehingga sering dikatakan bahwa saluran pencernaan merupakan organ yang sangat
vital bagi manusia. Karena apabila sistem pencernaan terganggu, tubuh pun akan mengalami
sakit. Bila hal tersebut terjadi, maka proses metabolisme tidak dapat berjalan dengan baik.
Saluran pencernaan pun tak lepas dari serangan berbagai penyakit diantaranya adalah Tifus
Abdominalis, Disentri Amoeba, Disentri Basiler, Divertikulitis, Divertikulosa, Penyakit
Crohn, dan Kolitis Ulseratif. Menurut Dr H Ari Fahrial SyamSpPD-KGEH MMB, staf Divisi
Gastroenterologi pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM, pemahaman
masyarakat saat ini tentang sistem pencernaan masih sangat rendah. Pada umumnya
masyarakat hanya mengaitkan masalah pencernaan dengan penyakit maag. Padahal jika kita
ketahui penyakit masalah pencernaan tersebut sangat banyak dan kompleks. Sesuai dengan
letaknya saluran cerna pada manusia di kelompokan menjadi dua, yaitu saluran cerna atas dan
bawah. Karena letaknya lebih tinggi maka saluran cerna atas dimulai dari rongga mulut
hingga usus dua belas jari, sedangkan saluran cerna bawah dimulai dari usus dua belas jari
distal hingga anus. Gejala pada gangguan saluran cerna atas meliputi mual, muntah,
kembung, nafsu makan menurun dan sendawa. Sedangkan gejala pada gangguan saluran
cerna bawah meliputi nyeri pada perut, flatulensi, sembelit dan diare.
Diare merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan dalam penyakit gangguan
saluran cerna. Penyakit gangguan saluran cerna yang sering diikuti gejala diare diantaranya
adalah Penyakit Crohn, Kolitis Ulseratif, Karsinoma Kolon-Rektum, Divertikel Kolon,
Sindrom Malabsorbsi, Diare Kronik, dan Irritable Bowel Syndrome (IBS). Sehingga tak salah
jika penanggulangan pada penyakit tersebut adalah dengan melakukan tindakan pencegahan
diare, agar tidak terjadi pertambahan penyakit yang lebih kompleks.
Menurut Waspodo, Peneliti SEAMEO-TROPMED, UI mengatakan Saluran cerna
merupakan organ sistem imun yang paling besar dalam tubuh manusia (80% sistem imun
terdapat dalam saluran cerna) karena saluran cerna paling banyak terpapar dengan berbagai
jenis bakteri, baik bakteri baik maupun bakteri jahat, yang masuk ke dalam tubuh kita.
Saluran cerna sering dikaitkan dengan bakteri baik atau disebut juga probiotik. Keberadaan
probiotik pun tak lepas dari peran serta prebiotik, karena prebiotik berfungsi mengoptimalkan
kerja dari probiotik di dalam usus.
Konsumsi prebiotik yang sering akan membuat kerja probiotik dalam tubuh bekerja
dengan baik, tetapi walaupun konsumsi prebiotik banyak terkandung dalam makanan sehari-
hari jumlahnya belum mencukupi sehingga harus diikuti dengan konsumsi probiotik yang
berkelanjutan. Menurut Moller dan Vrese (2004) beberapa hasil penelitian membuktikan
bahwa bakteri probiotik tertentu seperti bifidobacteria dan lactobacillus dapat memperkuat
sistem imun dan mengatasi diare, baik oleh rotavirus maupun oleh bakteri serta mengatasi
sembelit. Jeremy Nicholson (2008) dalam jurnal Molecular Systems Biology mengatakan
tentang hasil penelitiannya bahwa probiotik seperti dalam minuman yoghurt mengandung
bakteri hidup, mempunyai efek terhadap metabolisme. Penelitiannya ini melihat detil
probiotik yang dapat mengubah biokimia kuman yang dikenal sebagai mikroba saluran cerna,
yang hidup di dalam saluran cerna dan berperan penting dalam metabolisme seseorang.
Menurut Bezkorovainy (2001) Probiotik dapat digunakan untuk pencegahan
terjadinya diare ataupun memperpendek lamanya diare yang disebabkan oleh infeksi, karena
pada kasus ini spesies Lactobacillus dan Bifidobacterium memberikan respon yang baik.
Seperti pada penderita IBS (Irritable Bowel Syndrome) ternyata dapat memperbaiki gejala
klinis tersebut. Black dan Anderson (1989) mengatakan bakteri bifidobacteria dan
lactobacillus dapat memperkuat sistem immun apabila kedua bakteri tersebut memiliki
kemampuan untuk menempel pda mukosa usus sehingga terjadi komunikasi antara sel inang
dengan bakteri probiotik, serta menghambat bakteri penyebab diare seperti Escherichia coli
maupun Clostridium deficile yang menempel pada mukosa usus. Dengan semakin
berkurangnya populasi bakteri penyebab diare dalam saluran cerna, maka diare dapat diatasi.
Banyaknya teori-teori yang telah di kemukakan oleh para ahli mengenai keterkaitannya
antara probiotikdengan saluran cerna, maka dapat dikatakan bahwa probiotik merupakan cara
alamiah dalam mengatasi kejadian diare pada orang dengan gangguan saluran cerna. Karena
dengan mencegah terjadinya diare maka sistem immun pun akan kuat sehingga gangguan
saluran cerna pun tidak terjadi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan tifus abdominalis dan bagaimana konsep dasar tifus
abdominalis ?
2. Apa yang di maksud dengan regional enteritis/regional ileitis (Crohn disease) dan
bagaimana konsep dasar regional enteritis/regional ileitis (Crohn disease) ?
3. Apa yang di maksud dengan kolitis ulserativa dan bagaimana konsep dasar kolitis
ulserativa?
4. Apa yang di maksud dengan disentri amoeba dan bagaimana konsep dasar disentri
amoeba ?
5. Apa yang di maksud dengan disentri basiler dan bagaimana konsep dasar disentri
basiler ?

C. Tujuan

1. Dapat menjelaskan pengertian dan memahami konsep dasar dari penyakit tifus
abdominalis
2. Dapat menjelaskan pengertian dan memahami konsep dasar dari penyakit regional
enteritis/regional ileitis (crohn disease)
3. Dapat menjelaskan pengertian dan memahami konsep dasar dari penyakit kolitis
ulserativa
4. Dapat menjelaskan pengertian dan memahami konsep dasar dari penyakit disentri
amoeba
5. Dapat menjelaskan pengertian dan memahami konsep dasar dari penyakit disentri
basiler
BAB II
PEMBAHASAN

1. DEMAM TIFOID ATAU TYPUS ABDOMINALIS


A. Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid atau typus abdominalis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhii yang ditularkan melalui makanan yang tercemar oleh tinja dan urine
penderita. (Aplikasi Buku Saku Dokter).
Demam tifoid atau typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, terjadi
gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005). Demam tifoid atau
sering disebut dengan tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan
yang berpotensi menjadi penyakit multi sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhi
(Muttaqin & Kumala, 2011).
Demam tifoid atau typhoid fever ialah suatu sindrom sistemik terutama disebabkan oleh
Salmonella typhi. Demam tifoid merupakan jenis terbanyak dari salmonelosis. Jenis lain dari
demam enteric adalah demam paratifoid yang disebabkan oleh S. paratyphi A, S.
schottmuelleri (semula S. paratyphiB), dan S. hirschfeldii (semula S. paratyphi C). Demam
tifoid memperlihatkan gejala lebih berat dibandingkan demam enterik yang lain (Widagdo,
2011). Dari beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa demam tifoid
merupakan penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri
salmonella typhi.

B. Etiologi
Menurut Ngastiyah (2005) dalam buku Perawatan Anak Sakit, penyebab demam tifoid
adalah salmonella typhi, basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora,
yang mempunyai sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen yaitu antigen O (Onhe
somatic terdiri dari lipopolisakarida), antigen H (Houch, terdapat flagella yang termolabil),
antigen Vi (kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi antigen O
terhadap fagositosis). Dalam serum pasien terdapat zat antiaglutinin terhadap ketiga macam
antigen tersebut.
Menurut Widagdo (2011), penyebab dari typoid fever adalah salmonella typhi, termasuk
dalm genus salmonella yang tergolong dalam famili enterobacteriaceae. Salmonela bersifat
bergerak, berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, gram (-). Tahan
terhadap berbagai bahan kimia, tahan beberapa hari/ minggu pada suhu kamar, bahan limbah,
bahan makanan kering, bahan farmasi dan tinja. Salmonella mati pada suhu 54.4º C dalam 1
jam, atau 60º C dalam 15 menit. Salmonela mempunyai antigen O (stomatik), adalah
komponen dinding sel dari lipopolisakarida yang stabil pada panas, dan anti gen H (flagelum)
adalah protein yang labil terhadap panas. Pada S. typhi, juga pada S. Dublin dan S.
hirschfeldii terdapat anti gen Vi yaitu poli sakarida kapsul.
Penyakit tipes Thypus abdominalis merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan
dan minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella typhosa, (food and water borne disease).
Seseorang yang sering menderita penyakit tifus menandakan bahwa dia mengkonsumsi
makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri ini. Salmonella thyposa sebagai suatu
spesies, termasuk dalam kingdom Bakteria, Phylum Proteobakteria, Classis Gamma
proteobakteria, Ordo Enterobakteriales, Familia Enterobakteriakceae, Genus Salmonella.
Salmonella thyposa adalah bakteri gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak
berspora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu: antigen 0 (somatik,
terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen V1 (hyalin, protein
membrane). Dalam serum penderita terdapat zat anti (glutanin) terhadap ketiga macam
anigen tersebut (Zulkhoni, 2011).

C. Tanda dan Gejala


Masa tunas 7-14 hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal (gejala awal
tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) yaitu:
1. Perasaan tidak enak badan
2. Nyeri kepala
3. Pusing
4. Diare
5. Anoreksia
6. Batuk
7. Nyeri otot
8. Muncul gejala klinis yang lain
Demam berlangsung 3 minggu. Minggu pertama: demam ritmen, biasanya menurun
pagi hari, dan meningkat pada sore dan malam hari. Minggu kedua : demam terus. Minggu
ketiga: demam mulai turun secara berangsur-angsur, gangguan pada saluran pencernaan,
lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai
tremor, hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan, gangguan pada kesadaran,
kesadaran yaitu apatis-samnolen. Gejala lain ”RESEOLA” (bintik-bintik kemerahan karena
emboli hasil dalam kapiler kulit).
( Kapita selekta, kedokteran, jilid 2 ).

D. Anatomi Fisiolgi
Menurut dr. Setiadi budiyono (2011) sistem pencernaan terdiri dari :

Gambar 2.1 Sistem pencernaan manusia (Budiyono, 2011)


1. Mulut
Mulut merupakan organ pencernaan yang pertama bertugas dalam proses pencernaan
makanan, fungsi utama mulut adalah untuk menghancurkan makanan sehingga ukurannya
cukup kecil untuk dapat ditelan ke dalam perut (Budiyono, 2011).

Gambar 2.2 Mulut dan lidah (Budiyono, 2011)


2. Lidah
Berfungsi sebagai membolak-balikan makanan sehingga semua makanan dihancurkan
secara merata.selain itu, lidah berfungsi membantu menelan makanan (Budiyono, 2011).
3. Gigi

Gambar 2.3 Gigi (Budiyono, 2011)


Tanpa adanya gigi, manusia akan sulit memakan makanan yang dimakannya.menurut
tugasnya gigi termasuk dari system pencernaan. Gigi tumbuh di dalam lesung pada rahang
dan memiliki jaringan seperti pada tulang, tetapi gigi bukanlah bagian dari kerangka
(Budiyono, 2011).
4. Esofagus/kerongkongan

Gambar 2.4 Esofagus/kerongkongan (Budiyono, 2011)


Setelah dikunyah di mulut, makanan ditelan agar masuk ke lambung melalui suatu
saluran yang disebut kerongkongan.Kerongkonan atau esophagus berfungsi menyalurkan
makanan dari mulut ke lambung. Di dalam leher sesungguhnya terdapat dua saluran, yaitu
kerongkongan (letaknya di belakang) dan tenggorokan atau trakea (letaknya di depan).
Kerongkongan merupakan saluran pencernaan yang menghubungkan antara mulut dengan
lambung.Pada saat melewati kerongkongan, makanan didorong masuk ke lambung oleh
adanya gerak peristaltik otot-otot kerongkongan.Hal ini dikarenakan dinding kerongkongan
tersusun atas otot polos yang melingkar dan memanjang serta berkontraksi secara
bergantian.Akibatnya, makanan berangsur-angsur terdorong masuk kelambung.Di
kerongkongan makanan hanya lewat saja dan tidak mengalami pencernaan (Budiyono, 2011).
5. Lambung

Gambar 2.5 Lambung (Budiyono, 2011)


Lambung merupakan alat pencernaan yang berbentuk kantung. Dinding lambung
tersusun dari otot-otot yang memanjang, melingkar, dan menyerong. Hal ini memungkinkan
makanan yang masuk ke dalam lambung dibolak-balik dan diremas lagi sehingga menjadi
lebih halus. Makanan yang dikunyah di mulut belum cukup halus. Oleh karena itu, perlu
dihaluskan lagi di lambung.Agar lambung tidak bekerja terlalu berat, sebaiknya mengunyah
makanan sampai halus benar sebelum menelannya. Secara mekanisme lambung juga
mencerna makanan secara kimiawi.Lambung menghasilkan suatu cairan yang mengandung
air, lender, asam lambung (HCL), serta enzim renin dan pepsinogen. Karena sifatnya yang
asam, cairan lambung dapat membunuh kuman yang masuk bersama makanan. Sementara
itu, enzim rennin akan mengumpulkan protein susu yang ada di dalam air susu sehingga
dapat dicerna lebih lanjut. Pepsinogen akan diaktifkan oleh HCL menjadi pepsin yang
berfunsi memecah protein menjadi pepton (Budiyono, 2011).
Lambung adalah bagian saluran pencernaan makanan yang melebar seperti kantong,
terletak dibagian atas rongga perut sebelah kiri, dan untuk sebagian tertutup oleh alat-alat
yang letaknya berdekatan seperti hati, usus besar dan limpa (Raven, 2009).
6. Usus Halus

Gambar 2.6 Usus Halus (Budiyono, 2011)


Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang
merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui
sfingter pylorus dalam jumlah yang bias dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan
mengirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan (Budiyono, 2011).
Duodenum menerima enzim pankreatik dari pankreas dan empedu dari hati. Cairan
tersebut (yang masuk ke dalam duodenum melalui lubang yang disebut sfingter oddi)
merupakan bagian yang penting dari proses pencernaan dan penyerapan. Gerakan peristaltic
juga membantu pencernaan dan penyerapan dengan cara mengaduk dan mencampurnya
dengan zat yang dihasilkan oleh usus. Beberapa senti pertama dari lapisan duodenum adalah
licin tetapi sisanya memiliki lipatan-lipatan, tonjoan-tonjolan kecil (vili) dan tonjolan yang
lebih kecil (mikrovili) (Budiyono, 2011).
Sisa dari usus halus, yang terletak dibawah duodenum, terdiri dari jejunum dan
ileum.Bagian ini terutama bertangung jawab atas penyerapan lemak dan zat gizi
lainnya.penyerapan ini diperbesar oleh permukaannya yang luas karena terdiri dari lipatan-
lipatan, vili dan mikrovili. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang menyangkut zat-zat
yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lender (yang melumasi isi
usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding
usu juga melepaskan sejumlah enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.Didalam
duodenum, air dengan cepat dipompa kedalam isi usus untuk melarutkan keasaman
lambung.ketika melewati usus halus bagian bawah, isi usus menjadi lebih cair karena
mengandung air, lender dan enzim-enzim pankreatik (Budiyono, 2011).
7. Pankreas
Pankreas merupakan suatu organ yang terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu asini yang
menghasilkan enzim-enzim pencernaan dan pulau pancreas yang menghasilkan
hormon.Pankreas melepaskan enzim pencernaan kedalam duodenum dan melepaskan hormon
ke dalam darah (Budiyono, 2011).
Enzim-enzim pencernaan dihasilkan oleh sel-sel asini dan mengalir melalui berbagai
saluran ke dalam duktus pankreatikus. Duktus pankreatikus akan bergabung dengan saluran
empedu pada sfingter oddi, dimana keduanya akan masuk kedalam duodenum. Enzim yang
dilepaskan oleh pancreas akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik
memecah protein ke dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai
saluran pencernaan. Pankreas melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi
melindungi duodenum melindungi duodenum dengan cara menetralkan asam lambung
(Budiyono, 2011).
Tiga hormon yang dihasilkan oleh pankreas adalah :
a. Insulin, yang berfungsi menurunkan kadar gula dalam darah.
b. Glucagon, yang berfungsi menaikkan kadar gula dalam darah.
c. Somatostatin, yang berfungsi menghalangi pelepasan kedua hormone lainnya (insulin
dan glucagon) (Budiyono, 2011).
Gambar 2.6 Pankreas (Budiyono, 2011)
8. Kandung dan Saluran empedu
Empedu mengalir dari hati melalui duktus hepatikus kiri dan kanan, yang selanjutnya
bergabung membentuk duktus hepatikus umum.Saluran ini kemudian bergabung dengan
sebuah saluran yang berasal dari kandung empedu (duktus sistikus) untuk membentuk saluran
empedu umum.Duktus pankreatikus bergabung dengan saluran empedu umu dan masuk ke
dalam duodenum (Budiyono, 2011).
Menurut Budiyono (2011), empedu memiliki 2 fungsi penting:
a. Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
b. Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang
berasal dari penghacuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.
Menurut Budiyono (2011), secara spesifik empedu berperan dalam berbagai proses
berikut:
a. Garam empedu meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut
dalam lema untuk membantu proses penyerapan.
b. Garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu
menggerakan isinya.
c. Bilirubin (pigmen utam dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dari
sel darah merah yang dihancurkan.
d. Obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh.
e. Berbagai protein yang berperan dalam fungsi empedu dibuang di dalam empedu.
Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan
kembali kedalam empedu.Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Seluruh garam
empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi,
sejumlah kecil garam empedu masuk kedlam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri
memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini
diserap kembali dan sisanya dibuang bersama tinja (Budiyono, 2011).
9. Usus Besar

Gambar 2.7 Usus besar (Budiyono, 2011)


Menurut Budiyono (2011), usus besar terdiri dari:
a. Kolon asendens (kanan)
b. Transversum
c. Kolon desendens (kiri)
d. Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum).
Apendiks (usus buntu) merupakan suatu tonjolan kecil yang berbentuk seperti tabung,
yang terletak di kolon asendens, pada perbatasan kolon asendens dengan usus halus. Usus
besar menghasilkan lendir dan berfungsi menyerap air dan elektrolit dari tinja. Ketika
mencapai usus besar, isi usus berbentuk cairan, tetapi ketika mencapai rektum bentuknya
menjadi padat. Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.bakteri di dalam usus besar juga
berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi
normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada
bakteri-bakteri di dalam usus besar.Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan
dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare (Budiyono, 2011).
10. Rektum dan Anus

Gambar 2.8 Rektum dan anus (Budiyono, 2011)


Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon
sigmoid) dan berakhir di anus.Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat
yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk
ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar.Orang dewasa dan anak yang
lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami
kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda buang air besar
(Budiyono, 2011).
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar
dari.Sebagai anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari
usus.Suatu cincin berotot (sfingter ani) menjaga agar anus tetap tertutup (Budiyono, 2011).

E. Patofisiologi
Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F
yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui
Feses. Kuman salmonella typhi yang masuk ke saluran gastrointestinal akan di telan oleh sel-
sel fagosit ketika masuk melewati mukosa dan oleh makrofag yang ada di dalam
laminaprophia. Sebagian dari salmonella typhi ada yang dapat masuk ke usus halus
mengadakan invaginasi kejarinagn limfoid usus halus (lakpeyer) dan jaringan limfoid
mesenterika.Kemudian salmonella typhi masuk melalui folikel limfa ke saluran limphatik dan
sirkulasi darah sistemik sehingga terjadi bakterimia. Bakterimia pertama-tama menyerang
sistem retikulo endothelial (RES) yaitu: hati, limpa, dan tulang, kemudian selanjutnya
mengenai seluruh organ di dalam tubuh antara lain system saraf pusat, ginjal, dan jaringan
limpa (Curtis, 2006 dalam Muttaqin & Kumala, 2011).
Usus yang terserang tifus umumnya ileum distal, tetapi kadang bagian lain usus halus
dan kolon proksimal juga di hinggapi.Pada mulanya, plakatpeyer penuh dengan vagosit,
membesar, menonjol, dan tampak seperti infiltrate atau hyperplasia dimukosa usus (Hidayat,
2005 dalam Muttaqin & Kumala, 2011).
Pada akhir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis dan tukak.Tukak ini lebih besar di
ileum dari pada di kolon sesuai dengan ukuran plakpeyer yang ada disana.Kebanyakan
tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan perdarahan.Perforasi
terjadi pada tukak yang menembus serosa.Setelah penderita sembuh, biasanya ulkus membaik
tanpa meninggalkan jaringan parut dan fibrosis (Brusch, 2009 dalam Muttaqin & Kumala,
2011). Masuknya kuman kedalam intestinal terjadi pada minggu pertama dengan tanda dan
gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu akan naik pada malam hari dan akan menurun
menjelang pagi hari. Demam yang terjadi pada masa ini disebut demam interminten (suhu
yang tinggi, naik turun, dan turunnya dapat mencapai normal). Disamping peningkatan suhu
tubuh, juga akan terjadi obstipasi sebagai akibat penurunan motilitas suhu, namun hal ini
tidak selalu terjadi dan dpat pula terjadi sebalinya. Setelah kuman melewati fase awal
intestinal, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dengan tanda peningkatan suhu tubuh yang
sangat tinggi dan tanda-tanda infeksi pada ERS seperti nyeri perut kanan atas, splenomegali,
dan hepatomegali (Chaterjee, 2009 dalam Muttaqin & Kumala, 2011). Pada minggu
selanjutnya dimana infeksi fokal intestinal terjadi dengan tanda-tanda suhu tubuh masih tetap
tinggi, tetapi nilainya lebih rendah dari fase bakterimia dan berlangsung terus menerus
(deman kontinu), lidah kotor, tepi lidah hiperemesis, penurunan peristaltik, gangguan digesti
dan absorpsi sehingga akan terjadi distensi, diare dan pasien merasa tidak nyaman. Pada masa
ini dapat terjadi perdarahan usus, perforasi, dan peritonitis dengan tanda distensi abdomen
berat, peristaltik menurun bahkan hilang, melena, syok, dan penurunan kesadaran (Parry,
2002 dalam Muttaqin & Kumala, 2011).

F. Gambaran Klinis
1. Gambaran klinis bervariasi dari sangat ringan sampai berat dengan komplikasi yang
sangat berbahaya.
2. Biasanya gejala mulai timbul secara bertahap dalam waktu 8-14 hari setelah
terinfeksi.
3. Gejalanya bisa berupa demam intermitten (pagi lebih rendah disbanding sore hari),
sakit kepala, nyeri sendi, sakit tenggorokan, bibir kering dan pecah, lidah kotor
tertutup oleh selaput putih, sembelit, penurunan nafsu makan dan nyeri perut.
4. Kadang penderita merasakan nyeri ketika berkemih dan terjadi batuk serta perdarahan
dari hidung.
5. Jika pengobatan tidak dimulai maka suhu tubuh secara perlahan-lahan akan
meningkat dalam waktu 2-3 hari, yaitu mencapai 39,4-40° C selama 10-14 hari.
Panas mulai turun secara bertahap pada akhir minggu ke-3 dan kembali normal pada
minggu ke-4.
6. Demam sering kali disertai oleh denyut jantung yang lambat dan kelelahan yang luar
biasa.
7. Pada sekitar 10% penderita timbul sekelompok bintik-bintik kecil berwarna merah
muda di dada dan perut pada minggu kedua dan berlangsung selama 2-5 hari.

G. Manifestasi Klinik
Typhus Abdominalis yang tidak diobati seringkali merupakan penyakit berat yang
berlangsung lama dan terjadi selama 4 minggu atau lebih. Adapun manifestasi klinik yang
bisa ditemukan pada demam typhoid menurut. Nelson,(2001) dan Mansjoer (2000), antara
lain:
1. Demam
Demam biasanya berlangsung 3 minggu, bersifat febris remitten dan suhu tidak tinggi
sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Suhu tubuh meningkat
dan dapat terjadi serangan kejang.
2. Gangguan Sistem Pencernaan
Mulut berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah. Lidah tertutup selaput putih
kotor (coated tongue). Ujung dan tepinya kemerahan jarang disertai tremor. Pemeriksaan
abdomen di temukan keadaan perut kembung (meteorismus), hati dan limpa membesar di
sertai nyeri perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi,kadang diare atau BAB tanpa
kelainan. Pasien juga akan mengalami mual, muntah, dan distensi abdomen, selain itu
biasanya juga dijumpai ikterik.
3. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak teraba demam yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau makanan cair melalui sonde lambung. Jika
kesadaran dan nafsu makan baik dapat juga diberikan makanan lunak. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah
selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman.

H. Obat-Obatan
a. Obat-obat anti mikroba yang sering di pergunakan ialah:
1. Kloramfenikol; obat anti mikroba yang dapat meredakan demam dengan cepat.
2. Tiamfenikol; efektifitas tiamfenikol pada demam typoid hampir sama dengan
kloramfenikol.
3. Cotrimoksazol (kombinasi dari Sulfamitoksasol); efektifitas obat ini dilaporkan hampir
sama dengan kloramfenikol.
b. Obat-obat anti biotik yang sering dipergunakan ialah :
1. Ampicillin dan Amoksisilin; indikasi mutlak penggunaannya adalah pasien demam
typhoid dengan leokopenia.
2. Cefalosforin generasi ketiga; beberapa uji klinis menunjukkan Cefalosforin generasi
ketiga antara lain Sefiperazon, Ceftriakson, dan Cefotaxim efektif untuk demam.
3. Fluorokinolon; efektif untuk demam typoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang
optimal belum di ketahui dengan pasti.
I. Komplikasi
Komplikasi Typhus Abdominalis menurut Widodo (2006) dapat terjadi pada usus
halus dan diluar usus halus, antara lain:
1. Komplikasi Pada Usus Halus
a. Perdarahan Usus
Usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak atau luka
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus
dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus
dinding usus maka perforasi dapat terjadi.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita Typhus Abdominalis dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus.
c. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan
gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defence
musculair) dan nyeri tekan.
2. Komplikasi Diluar Usus Halus
a. Komplikasi kardiovaskular meliputi gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis.
b. Komplikasi paru meliputi pneumonia, emphiema, pleuritis.
c. Komplikasi hepatobilier meliputi hepatitis, kolesistitis.
d. Komplikasi ginjal meliputi glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
e. Komplikasi tulang meliputi osteomielitis, periositis, spondiltis, arthritis.
f. Komplikasi neuropsikiatrik atau Typhoid toksik.

J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang
terdiri dari :
a. Pemeriksaan Leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada
kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada
batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi
atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosa demam typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid sering kali meningkat tetapi dapat kembali normal
setelah sembuhnya typhoid.
c. Biakan Darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil
biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan
darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif
kembali.
3. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam
darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4. Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
d. Pemeriksaan daerah tepi : leukopenia, aneosinofilia, anemia, trombositopenia.
e. Pemeriksaan sumsum tulang : menunjukkan gambaran hiperaktif sumsum tulang.
f. Biakan empedu : terdapat basil salmonella typhopsa pada urine dan tinja. Jika pada
pemeriksaan selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan basil salmonella typhosa pada
urine dan tinja, maka pasien dinyatakan betul-betul sembuh.
g. Pemeriksaan widal : didapatkan titer terhadap antigen 0 adalah 1/200 atau lebih sedangkan
titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak bermakna untuk menengakkan
diagnosis karena titer H dapat tetap tinggi setelah dilakukan imunisasi atau bila penderita
telah lama sembuh. (Suriadi, dkk, 2001).

K. Pencegahan
Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah dari
toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum susu
mentah (yang belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan
hindari makanan pedas.
L. Penatalaksanaan
a.    Perawatan
a)    Penderita perlu dirawat di RS untuk diisolasi, observasi, dan pengobatan.
b)   Harus istirahat
i.      5-7 hari bebas demam
ii.    14 hari untuk mencegah komplikasi perdarahan usus
c)    Mobilisasi bertahap, sesuai kondisi.
d)   Bila kesadran menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi dan komplikasi yang lain.
b.    Diet
a)    Makanan mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein (TKTP).
b)   Bahan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang, dan menimbulkan gas.
c)    Susu 2 kali sehari perlu diberikan.
d)   Bila anak sadar dan nafsu makan baik, dapat diberikan makanan lunak

2. REGIONAL ENTERITIS/REGIONAL ILEITIS (CROHN DISEASE)

A. Definisi Penyakit Crohn

Penyakit Crohn adalah kondisi jangka panjang yang menyebabkan peradangan lapisan
pada system pencernaan. Peradangan dapat mempengaruhi setiap bagian dari system
pencernaan, dari mulut ke bagian belakang, tapi paling sering terjadi di bagian terakhir yaitu
pada usus kecil (Ileum) atau usus besar (kolon). (Aplikasi Kamus Penyakit).

Penyakit Crohn (Enteritis Regionalis, Ileitis Granulomatosa, Ileokolitis)


adalalah Peradangan menahun pada dinding usus. Enteritis regional, ileokolitis, atau
Penyakit Crohn merupakan suatu penyakit peradangan granulomatosa kronik pada saluran
cerna yang sering terjadi berulang.

Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi pada bagian
terendah dari usus halus (ileum) dan usus besar, namun dapat terjadi pada bagian manapun
dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan bahkan kulit sekitar anus.

B. Etiologi

Etiologi penyakit crohn tidak diketahui. Penelitian memusatkan perhatian pada 3


kemungkinan penyebabnya, yaitu :

1. Kelainan fungsi system pertahanan tubuh


2. Infeksi
3. Makanan
Walaupun tidak ditemukan adanya autoantibodi, enteritis regional diduga merupakan
reaksi hipersensitivitas atau mungkin disebabkan oleh agen infektif yang belum diketahui.
Teori-teori ini dikemukakan karena adanya lesi-lesi granulomatosa yang mirip dengan lesi-
lesi yang dtemukan pada jamur dan tuberkulosis paru. Terdapat beberapa persamaan yang
menarik antara enteritis regional dan kolitis ulseratif. Keduanya adalah penyakit radang,
walaupun lesinya berbeda. Kedua penyakit ini mempunyai manifestasi di luar saluran cerna
yaitu uveitis, artritis dan lesi-lesi kulit yang identik.

C. Patofisiologi

  Enteritis regional umumnya terjadi pada remaja atau dewasa muda, tetapi
dapat terjadi kapan saja selama hidup. Keadaan ini sering teri!at pada populasi 50-80
tahun. Meskipun ini dapat terjadi dimana saja disepanjang saluran gastrointestinal, area
paling umum yang serin terkena adalah ilium distal dan kolon.

Enteritis regional adalah inflamasi kronis dan subkutan yang meluas keseluruh lapisan
dinding usus dari mukosa usus, ini disebut juga transmural. Pembentukan fistula,
fisura, dan abses terjadi sesuai luasnya inflamasi kedalaman peritoneum, lesi (ulkus)
tidak pada kontak terus menerus, granuloma terjadi pada setengah kasus. Pada kasus lanjut
mukosa usus mempunyai penampilan “Coblestone”. Dengan berlanjutnya penyakit, dinding
usus menebal dan menjadi tibrotit" dan lumen usus menyempit. 

D. Patogenesis

Ileum terminal terserang pada sekitar 80% kasus enteritis regional. Pada sekitar 35%
kasus lesi-lesi terjadi pada kolon. Esofagus dan lambung lebih jarang terserang. Dalam
beberapa hal terjadi lesi “melompat” yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh daerah-
daerah usus normal sepanjang beberapa inci atau kaki. Lesi diduga mulai pada kelenjar limfe
dekat usus halus yang akhirnya menyumbat aliran saluran limfe. Selubung submukosa usus
jelas menebal akibat hiperplasia jaringan limfoid danlimfedema. Dengan berlanjutnya proses
patogenik, segmen usus yang terserang menebal sedemikian rupase!ingga kaku seperti slang
kebun, lumen usus menyempit, sehingga hanya sedikit dilewati barium, menimbulkan “string
sign” yang terlihat pada radiogram. Seluruh dinding usus terserang. Mukosa sering kali
meradang dan bertukak disertai eksudat yang putih abu-abu.

E. Tanda Dan Gejala


Para penderita mengeluh mengenai sakit perut yang berulang-ulang, sering mendapat
serangan diare, atau sebaliknya susah buang air besar, kadang-kadang panas, nafsu makan
berkurang dan penurunan berat badan.

Perdarahan per anum sering disebabkan radang pada kolon. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan benjolan atau rasa penuh pada perut bagian bawah, lebih sering di sisi kanan.
Komplikasi yang sering terjadi dari peradangan ini adalah penyumbatan usus" saluran
penghubung yang abnormal (fistula) dan kantong berisi nanah (abses).
Bila Penyakit Crohn menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita
juga bisa mengalami :

1. Peradangan sendi (artritis)


2. Peradangan bagian putih mata (episkleritis)
3. Luka terbuka di mulut (stomatitis aftosa)
4. Nodul kulit yang meradang pada tangan dan kaki (eritema nodosum)
5. Luka biru-merah di kulit yang bernanah (pioderma gangrenosum).

Jika Penyakit Crohn tidak menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan,


penderita masih bisa mengalami :
1. Peradangan pada tulang belakang (spondilitis ankilosa)
2. Peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis)
3. Peradangan di dalam mata (uveitis)
4. Peradangan pada saluran empedu (kolangitis sklerosis primer).

Pada anak-anak, gejala-gejala saluran pencernaan seperti sakit perut dan diare sering
bukan merupakan gejala utama dan bisa tidak muncul sama sekali. Gejala utamanya mungkin
berupa  peradangan sendi, demam, anemia atau pertumbuhan yang lambat. Pola umum dari
Penyakit Crohn. Gejala-gejala Penyakit Crohn pada setiap penderitanya berbeda, tetapi
ada 4 pola yang umum terjadi, yaitu :
1. Peradangan : nyeri dan nyeri tekan di perut bawah sebelah kanan
2. Penyumbatan usus akut yang berulang, yang menyebabkan kejang dan nyeri hebat
di dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan muntah-muntah.
3. Peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun, yang menyebabkan kurang
gizi dan kelemahan menahun
4. Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi nanah (abses),
yang sering menyebabkan demam, adanya massa dalam perut yang terasa nyeri
dan penurunan berat badan.

F. Komplikasi
Pada kasus yang menahun, timbul striktura yang menyebabkan obstruksi, fistel-fistel
antara ususdan usus kecil atau antara usus dan kandung kemih atau fistel antara usus dan
kulit. Di sekitar anuster dapat fistel-fistel, fisur-fisur dan abses-abses. Perdarahan yang
banyak atau perforasi jarang terjadi. Begitu pula jarang terjadi dilatasi akut. Karsinoma
kolon dulu diduga tidak begitu sering akan tetapi sekarang kasus. Karsinoma lebih sering
ditemukan pada kolitis Crohn. Kadang-kadang timbul hiperoxaluria dan batu oxalat. Proses
radang dapat menjalar ke ureter yang menyebabkan pyelonephritis yang berulang, stenosis
pada ureter dan hidronefrosis.

G. Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kram perut yang terasa nyeri dan diare
berulang, terutama pada penderita yang juga memiliki peradangan pada sendi, mata dan
kulit. Tidak ada pemeriksaan k!usus untuk mendeteksi Penyakit Crohn, namun pemeriksaan
darah bisa menunjukan adanya :

1. Anemia
2. Peningkatan abnormal dari jumlah sel darah putih kadar albumin yang rendah
3. Tanda-tanda peradangan lainnya
Barium enema bisa menunjukkan gambaran yang khas untuk Penyakit Crohn pada usus
besar. Jika masih belum pasti, bisa dilakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus
besar) dan biopsi untuk memperkuat diagnosis. CT scan bisa memperlihatkan perubahan di
dinding usus dan menemukan adanya abses, namun tidak digunakan secara rutin sebagai
pemeriksaan diagnostik awal.

H. Prognosis

Beberapa penderita sembuh total setelah suatu serangan yang mengenai usus halus. Tetapi
Penyakit Crohn biasanya muncul lagi dengan selang waktu tidak teratur sepanjang hidup
penderita.Kekambuhan ini bisa bersifat ringan atau berat, bisa sebentar atau lama

Mengapa gejalanya datang dan pergi dan apa yang memicu episode baru atau yang
menentukan keganasannya tidak diketahui. Peradangan cenderung berulang pada daerah usus
yang sama, namun bisa menyebar pada daerah lain setelah daerah yang pernah terkena
diangkat melalui pembedahan. Penyakit Crohn biasanya tidak berakibat fatal. Tetapi
beberapa penderita meninggal karena kanker saluran  pencernaan yang timbul pada Penyakit
Crohn yang menahun.

I. Pengobatan

Pada dasarnya pengobatan medis-konseratif dengan diit dan obat-obat lebih baik dari
pada pembedahan.

 Diit :

Makanan sebaiknya lunak, tidak merangsang, rendah lemak dan tinggi serat.
Dahulu dianjurkan rendah serat, akan tetapi kemudian ternyata bahwa tinggi serat lebih baik.
Rendah serat hanya diberikan bila ada steatorea atau ada striktura.

 Obat-Obatan :
- Kortikosteroid : baik pada penyakit yang aktif. Dosis sama dengan kolitis ulserosa.
- Salazoprin : juga baik untuk penyakit yang aktif akan tetapi kurang memuaskan
untuk pengobatan”maintenance”.
- Azathioprine : dapat dicoba pada mereka yang tidak menunjukkan perbaikan atau
kambuh lagi dengan obat-obat lain.
- Metronidazole :  dapat memberikan hasil yang baik bila adasepsis. Laporan-laporan
yang terakhir menyebutkan hasil yang memuaskan pada kasus d e n g a n f i s t u l a .
Cistula tersebut menutup setelah pengobatan dengan metronidazole. Dahulu, adanya
fistel merupakan indikasi untuk operasi akan tetapi sekarang metronidazole
merupakan alternatif yang lebih baik.
Pembedahan :

Indikasi untuk pembedahan adalah :

1. Kelainan-kelainan perianal
2. Obstruksi
3. Bila ada perdarahan yang banyak
4. Adanya keganasan
5. Bila pengobatan dengan obat-obat dan diit tidak memberikan hasil yang baik

Pada pembedahan selalu dikerjakan suatu end-to-end anastomosis dan reseksi harus
dibatasi pada bagian yang perlu diangkat saja. Tindakan bypass harus dihindari karena sering
menimbulkan residif dandisertai dengan timbulnya banyak kuman-kuman dan malabsorpsi.
Tiap tindakan pembedahan harus dilindungi oleh kortikosteroid.

J. Penatalaksanaan
 Terapi Medikamentosa

Penatalaksanaan medikamentosa Crohn’s disease dapat dibagi menjadi terapi terhadap


kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam terapi terhadap kekambuhan akut, pemicu
pemicu seperti infeksi yang mendasari, fistula, perforasi, dan proses patologi lainnya harus
dihilangkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya terapi glukokortikoid intravena.

Obat-obatan yang digunakan dalam terapi terapi Crohn’s disease mencakup antibiotika,
aminosalisilat, kortikosteroid, dan imunomodulator.

Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau metilprednisolon


intravena sering digunakan sebagai tambahan terhadap metronidazole dan pengistirahatan
usus. Penggunaan terapi steroid terbatas untuk mencapai respons yang cepat dalam waktu
singkat karena pada penggunaan jangka lama mempunyai berbagai efek samping, seperti
osteonecrosis, myopati, osteoporosis, dan gangguan pertumbuhan. Dapat pula digunakan
inhibitor imunitas yang diperantarai sel yaitu cyclosporine secara intravena jika pasien
menunjukkan respons yang  buruk terhadap terapi kortikosteroid.

Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus. Aminosalisilat


merupakan terapi pilihan karena aktivitas anti inflamasinya. Berbagai obat telah digunakan,
yang masing-masing mempunyai target lokasi yang berbeda pada usus. Sulfasalazine dan
balsalazide terutama dilepaskan di colon. Dipentum dan asacol terutama dilepaskan di ileum
distal dan colon. Pentasa dapat dilepaskan di duodenum hingga colon bagian distal,
sementara Rowasa spesifik digunakan untuk rectum dan colon bagian distal.

Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah modulator system imun non-


steroid yang dapat ditoleransi dengan baik. Azathioprine, yang secara non-enzymatis
dikonversi di dalam tubuh menjadi 6-mercaptopurine, selanjutnya dimetabolisme menjadi
asam thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor sintesa purin. Efek samping dari
azathioprine and 6-mercaptopurine jarang terjadi dibandingkan dengan steroid.
Methotrexate, efektif untuk pasien-pasien yang tidak memberikan respons terhadap
azathioprine dan 6-mercaptopurine. Efek samping utamanya mencakup leukopenia, nyeri
pada saluran /erna" dan pneumonitis hipersensitivitas.

Terapi yang baru adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang merupakan anti
TNF-α yang semakin luas dipergunakan dan menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan
adanya  peningkatan tingkat remisi hingga 48% setelah 4 minggu terapi dan dengan
penutupan fistula secara sempurna pada 55% pasien setelah 80 hari pemberian infliximab.
Obat-obat lain seperti mycophenolate telah dikembangkan untuk menghambat sintesa
nukleotida guanine dan oleh karena itu menghambat limfosit B dan T.

 Terapi Bedah

Antara 70-80% pasien dengan Crohn’s disease membutuhkan terapi bedah. Indikasi
terapi bedah pada Crohn’s disease mencakup kegagalan terapi medikamentosa dan atau
timbulnya komplikasi, seperti obstruksi saluran cerna, perforasi usus dengan pembentukan
fistulaatau abses, perforasi bebas, perdarahan saluran cerna, komplikasi-komplikasi urologis,
kanker, dan penyakit-penyakit perianal. Terapi bedah pada pasien dengan Crohn’s disease
harus ditujukan kepada komplikasinya" hanya segmen usus yang terlibat dalam komplikasi
saja yang direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk menghindari terjadinya  short
bowel syndrome.
Anak-anak penderita Crohn’s disease dengan gejala-gejala sistemik seperti gangguan
tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan dengan menjalani terapi bedah reseksi
usus. Meskipun komplikasi ekstraintestinal Crohn’s disease bukan merupakan indikasi utama
terapi bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah reseksi usus.
Reseksi segmental usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti dengan
anastomosis merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah Crohn’s disease. Alternatif
prosedur lain darireseksi segmental dari lesi-lesi yang mengobstruksi adalah stricturoplasty.
Teknik ini memungkinkan ditinggalkannya daerah permukaan usus dan terutama cocok untuk
pasien dengan penyakit yang menyebar luas dan telah mengalami striktura fibrotik yang
mungkin telah  pernah menjalani operasi sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short
bowel syndrome. Namun teknik stricturoplasty mempunyai risiko kekambuhan yang cukup
tinggi. Prosedur- prosedur bypass usus kadang-kadang perlu dilakukan jika telah terjadi
abses-absesintra mesenterial atau Jika usus yang sakit telah bersatu membentuk massa
inflamasi yang padat, yang tidak memungkinkan dilakukannya mobilisasi usus. Prosedur
bypass (gastrojejunostomy) juga digunakan Jika telah terjadi striktura duodenum, dimana
prosedur stricturoplasty maupun r e s e k s i segmental sulit dilakukan. Sejak tahun 1990-an,
telah dilakukan prosedur operasi laparoskopik terhadap pasien-pasien dengan Crohn’s
disease, namun hasilnya masih belum memuaskan dan teknik operasinya sulit.

K. Komplikasi

Manifestasi ekstraintestinal Crohn’s disease mencakup aptosa oral, ulkus,


eritemanodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari malabsorpsi kronis;
osteonecrosis sebagai akibat terapi steroid kronis: pembentukkan batu empedu sebagai
akibat keterlibatanileus yang menyebabkan gangguan reabsorpsi garam empedu; batu
oksalat ginjal sebagai akibat dari penyakit colon ; pancreatitis sebagai akibat dari terapi
sulfasalazine, mesalamine, azathioprine atau 6-mercaptopurine ; pertumbuhan bakteri yang
berlebihan rebagai akibat reseksi  bedah ; dan manifestasi-manifestasi lainnya seperti
amyloidosis, komplikasi tromboembolik,  penyakit hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis
primer.
 Abses
Abses terbentuk pada sekitar 15-20% pasien dengan crohn’s disease sebagai akibat dari
pembentukkan saluran sinus atau sebagai komplikasi pembedahan. abses dapat ditemukan di
mesenterium, cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi ekstraperitoneal. Lokasi
tersering abses retroperitoneal adalah fossa ischiorectal, ruang presacral, dan regio iliopsoas.
Ileum terminal merupakan lokasi tersering sumber abses. Abses merupakan salah satu
penyebab utama kematian pada crohn’s disease.

 Obstruksi

Abstruksi terjadi pada 20-30% pasien dengan crohn’s disease. Pada awal
perjalanan  penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan hilang timbul pada
saat setelah makan, yang disebabkan oleh edema dan spasme usus. Setelah beberapa
tahun, inflamasi yang menetapini akan secara bertahap memburuk hingga terjadi
penyepitan dan striktur lumen akibat fibrostenotik.
Fistula

Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari crohn’s disease pada
colon. Komplikasi fistula yang disertai abses atau penyakit berat paling sulit ditangani. Jal ini
terjadi pada pasien dengan crohn’s disease. Peranan terapi medikamentosa hanyalah
untuk mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses supuratif sebelum dilakukannya
terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu dilakukan operasi untuk meng-evakuasi abses dan,
jika tidak ada kontraindikasi berupa sepsis, dilanjutkan dengan reseksi usus yang sakit.
Cistula dapat berakibat perforasi usus spontan pada 1-2 % pasien.

 Keganasan

Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada crohn’s


disease.Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah dimana terjadi penyakit kronis.
Sayangnya, sebagian besar kanker yang berhubungan dengan crohn’s disease tidak terdeteksi
hingga tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang buruk. Selain keganasan saluran cerna,
keganasan ekstraintestinal (misalnya, skuamous cell carcinoma pada pasien dengan penyakit
kronis di daerah perianal, vulva atau rectal) dan limfoma Jodgkin atau non-Hodgkin juga
terbukti lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan crohn’s disease.
3. KOLITIS ULSERATIF

A. Definisi Kolitis Ulseratif


Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit ulseroinflamatorik yang mengenai kolon, tetapi
terbatas di mukosa dan submukosa, kecuali pada kasus yang sangat parah. Kolitis ulseratif
berawal di rektum dan meluas perkontinuitatum ke proksimal, kadang-kadang mengenai
seluruh kolon (Robbins, 644,2004).
Kolitis ulseratif adalah kondisi kronis yang tidak diketahui penyebabnya biasanya mulai
pada rektum dan bagian distal kolon dan mungkin menyebar keatas dan melibatkan sigmoid
dan kolon desenden atau seluruh kolon. Ini biasanya hilang timbul ( akut eksaserbasi dengan
remisi panjang), tetapi beberapa individu (30%-40%) mengalami gejala terus menerus
(Doenges, 471, 2000).

B.  Etiologi Kolitis Ulseratif


Penyebab dari kolitis ulseratif sangat beragam, meliputi fenomena autoimun, faktor
genetik perokok pasif, diet, pascapendektomi, dan infeksi.
Pada fenomena autoinum, serum, dan mukosa auto-antibodi akan melawan sel-sel epitel
usus yang mungkin terlibat. Pada studi individu dengan kolitis elseratif sering ditemkan
memiliki antibodi p-antineutrophil cytoplasmic (Fiocchi, 1998).
Pada fenomena yang diperantarai respons imun, terdapat kelainan humoral dan imunisasi
yang diperantarai sel dan reaktivitas umum terhadap antigen bakteri usus. Hilangnya toleransi
terhadap flora usus normal diyakini merupakan peristiwa utama dalam pathogenesis penyakit
inflamasi usus (Khan, 2009).
Faktor kerentanan genetik (kromosom 12 dan 16) adalah factor yang dikaitkan dengan
kolitis ulseratif. Sejarah keluarga yang positif (diamati pada 1 dan 6 keluarga) berhubungan
dengan resiko lebih tinggi untuk terjadinya penyakit (Salby, 1998). Perokok pasif dikaitkan
dengan kolitis ulseratif sedangkan perokok justru lebih rendah untuk terjadinya kolitis
ulseratif. Kondisi ini merupakan fenomena terbalik dibandingkan dengan enteritis regional
(Chron’s disease) (Thoomas, 2000).
Faktor konsumsi makanan, khususnya yang terbuat dari susu dapat meningkatkan respon
penyakit (Jayanthi, 1991). Pascaapendektomi mempunyai asosiasi negatif dengan kolitis
ulseratif (Le, 2008). Infeksi tertentu telah terlibat dalam peyakit inflamasi usus, misalnya
campak, infeksi mikrobakteri atipikal (Tremaini, 2000).

C.  Patofisiologi Kolitis Ulseratif


Kolitis ulseratif hanya melibatkan mukosa; kondisi ini ditandai dengan pembentukan
abses dan deplesi dari sel-sel Goblet. Dalam kasus yang berat, submukosa mungkin terlibat;
dalam beberapa kasus, makin dalam lapisan otot dinding kolon juga terpengaruh.
Kolitis akut berat dapat mengakibatkan kolitis fulminan atau megakolon toksik, yang
ditandai dengan penipisan dinding tipis, pembesaran, serta dilatasi usur besar yang
memungkinkan terjadinya perforasi. Penyakit kronis dikaitkan dengan pembentukan
pseudopolip pada sekitar 15-20% dari kasus. Pada kondisi kronis dan berat juga dihubungkan
dengan risiko peningkatan prekanker kolon, yaitu berupa karsinoma ini situ atau dispalsia.
Secara antomis sebagai besar kasus melibatkan rectum; beberapa pasien juga mengalami
mengembangkan ileitis terminal disebabkan oleh katup oleocecal yang tidak kompeten.
Dalam kasus ini, sekitar 30 cm dari ileum terminal biasanya terpengaruh.
Selanjutnya terdapat beberapa perubahan imunologis akan terlibat, yaitu meliputi hal-hal
sebagai berikut.
1. Akumulasi sel T di dalam lamina propia dari segmen kolon yang mengalami
peradangan. Pada pasien dengan kolitis ulseratif, ini adalah sel T sitotoksik ke epitel
kolon. Perubahan ini disertai dengan peningkatan populasi sel B dan sel plasma,
dengan peningkatan produksi immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin E (IgE).
2. Biopsi sampel kolon dari pasien dengan colitis ulseratif dapat menunjukkan
peningkatan secara signifikan tingkat platelet-activating factor (PAF). Pelepasan PAF
dirangsang oleh leukotrienes, endotoksin atau faktor lain yang mungkin bertanggung
jawab atas peradangan mukosa, namun proses ini tidak jelas.
3. Antibody antikolonik telah terdeteksi pada pasien dengan ulseratif colitis.
Respons awal kolitis ulseratif adalah edema yang berlanjut pada terbentuknya jaringan
parut dan pembentukan ulkus disertai adanya perdarahan. Lesi berlanjut, yang terjadi secara
bergiliran, satu lesi diikuti oleh lesi yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan
akhirnya dapat mengenai seluruh kolon. Pada kondisi ini, penipisan dinding usus atau
ketebalan normal, tetapi dengan adanya respons inflamasi local yaitu edema, serta akumulasi
lemak dan hipertrofi dari lapisan otot dapat memberikan kesan dinding usus menebal
sehingga memberikan manifestasi penyempitan lumen usus dan terjadi pemendakan dari
usus.

D. Gejala Kolitis Ulseratif

Gejala kolitis ulseratif bisa berbeda pada tiap penderita. Perbedaan ini muncul
berdasarkan tingkat keparahan serta lokasi peradangan yang dialami oleh pasien. Berikut
adalah beberapa gejala yang umum terjadi pada kolitis ulseratif:

1. Diare yang disertai darah, lendir, atau nanah.


2. Nyeri atau kram perut.
3. Sering ingin buang air besar, tapi tinja cenderung tidak bisa keluar.
4. Kelelahan.
5. Nyeri pada rektum.
6. Penurunan berat badan.
7. Demam.

Penderita juga terkadang tidak merasakan gejala apa pun atau hanya mengalami gejala-
gejala ringan selama beberapa waktu, sebelum tiba-tiba mengalami serangan yang parah.
Serangan ini umumnya diawali keluhan buang air besar lebih dari 6 kali dalam sehari, detak
jantung yang tidak teratur, serta napas cepat.

Segera periksakan diri ke dokter jika mengalami gejala-gejala kolitis ulseratif. Terutama
serangan yang parah dan terjadi secara tiba-tiba karena kondisi ini membutuhkan penanganan
darurat di rumah sakit.
E. Penyebab dan Faktor Risiko Kolitis Ulseratif

Penyebab kolitis ulseratif belum diketahui secara pasti, namun diduga penyakit ini
disebabkan oleh respons autoimun. Sementara itu, ada faktor lain yang bisa meningkatkan
risiko terjadinya kolitis ulseratif dan keparahan gejalanya, yaitu:

Faktor keturunan : Risiko seseorang untuk mengalami kolitis ulseratif akan meningkat jika
ada anggota keluarganya yang menderita penyakit sama.

Usia : Usia bisa mempengaruhi tingkat keparahan gejala. Makin muda usia penderita saat
mengalami penyakit ini, maka tingkat keparahan gejala yang dialaminya juga akan makin
meningkat.

F. Diagnosis Kolitis Ulseratif

Pada tahap awal diagnosis, dokter akan menanyakan gejala-gejala yang dialami serta
riwayat penyakit dan kesehatan pasien serta keluarga, kemudian melakukan pemeriksaan
fisik guna memastikan kondisi pasien.

Untuk menegakkan diagnosis, dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan yang lebih


mendetail, meliputi:

 Pemeriksaan darah. Langkah ini dilakukan untuk memeriksa apakah pasien


menderita anemia atau infeksi.
 Pemeriksaan sampel tinja. Keberadaan sel-sel darah putih pada tinja akan
mengindikasikan pasien menderita kolitis ulseratif.
 Rontgen atau CT scan. Proses ini dilakukan apabila dokter menduga adanya
kemungkinan komplikasi.
 Kolonoskopi. Pemeriksaan ini digunakan untuk melihat rongga usus besar dan
dinding bagian dalam usus.
 Sigmoidoskopi atau pemeriksaan sigmoid. Pemeriksaan ini dianjurkan jika usus
besar pasien mengalami peradangan yang parah.

Selain untuk pemeriksaan, pada waktu tindakan kolonoskopi dan sigmoidoskopi, dapat
juga dilakukan pengambilan sampel jaringan atau prosedur biopsi.

G. Pengobatan Kolitis Ulseratif

Jenis penanganan pada setiap pasien bisa berbeda-beda, tergantung pada tingkat
keparahan peradangan serta kondisi kesehatan pasien.

Gejala yang ringan hingga tingkat menengah biasanya dapat ditangani dengan berobat
jalan. Tetapi serangan dengan gejala yang parah harus dirawat inap di rumah sakit karena
berpotensi menyebabkan komplikasi yang serius.

Kolitis ulseratif termasuk penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Tujuan pengobatan
yang dilakukan adalah untuk meringankan gejala, khususnya saat serangan terjadi.
Penanganan penyakit ini juga berfungsi untuk mencegah kambuhnya gejala. Langkah-
langkah penanganan tersebut biasanya meliputi:

H. Obat Antiinflamasi

Obat antiinflamasi berfungsi untuk mengurangi peradangan. Contoh obatnya adalah


aminosalicylate dan kortikosteroid.

Imunosupresan, Obat ini akan menekan respons sistem kekebalan tubuh yang memicu
peradangan. Beberapa jenis imunosupresan yang biasanya dianjurkan meliputi azathioprine,
ciclosporin, dan infliximab.

Operasi, Tindakan operasi umumnya dianjurkan bagi pasien yang sering mengalami
serangan parah yang tidak bisa ditangani dengan obat-obatan. Jenis prosedur yang akan
dilakukan adalah proctocolectomy, yaitu pengangkatan seluruh usus besar dan rektum.
Dokter juga akan menyambung ujung usus halus dengan anus untuk menyalurkan kotoran.
Jika tidak memungkinkan, akan dibuat lubang permanen pada perut untuk mengeluarkan
kotoran secara langsung ke dalam kantong kecil di luar tubuh.

Di samping penanganan secara medis, penderita kolitis ulseratif juga sebaiknya


mengubah gaya hidup untuk mencegah kekambuhan atau memburuknya gejala. Beberapa
langkah sederhana yang mungkin bermanfaat adalah:

Mengubah pola makan, misalnya mengonsumsi makanan rendah lemak, memperbanyak


asupan cairan dan serat, mengonsumsi suplemen, membatasi konsumsi produk susu, dan
menghindari minuman keras dan rokok. Jangan lupa untuk mencatat makanan atau minuman
apa saja yang mungkin memperparah gejala, agar dapat dihindari di kemudian hari.

Mengurangi stres. Misalnya dengan berolahraga ringan atau melakukan kegiatan relaksasi.
Olahraga teratur juga bisa membantu penderita untuk mempertahankan berat badan yang
ideal.

I. Komplikasi Kolitis Ulseratif

Jika tidak ditangani secepatnya, kolitis ulseratif dapat berkembang dan memicu
berbagai penyakit lain yang dapat berakibat fatal. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi
meliputi:

1. Terbentuknya lubang pada usus besar.


2. Perdarahan hebat.
3. Osteoporosis. Selain akibat kolitis ulseratif, komplikasi ini juga termasuk dalam efek
samping kortikosteroid.
4. Pertumbuhan yang terhambat atau terganggu. Penderita kolitis ulseratif anak-anak
serta remaja sebaiknya menjalani pemeriksaan berkala untuk memantau pertumbuhan
mereka.
5. Kolangitis sklerosis primer, yaitu terjadinya peradangan dan pembentukan jaringan
parut (fibrosis) di saluran empedu.
6. Megakolon toksik, yaitu membesarnya usus besar karena penumpukan gas dari proses
peradangan. Komplikasi ini bisa menyebabkan pecahnya usus besar dan masuknya
bakteri ke dalam darah (septikemia).
7. Kanker kolorektal. Setelah menjalani proses pengobatan, penderita kolitis ulseratif
dianjurkan untuk lebih sering menjalani pemeriksaan untuk mendeteksi kanker kolon
karena risiko mereka lebih tinggi.

J. Manifestasi Klinik
Gejala yang pertama kali diajukan yaitu keluarnya keluarnya darah segar per rektum
terutama setelah defekasi dan atau adanya diare. Pada akhirnya terjadi diare bercampur darah.
Pada sebagian penderita dapat timbul secara akut dari permulaan dengan disertai diare
berdarah dan penderita terlihat sakit berat untuk beberapa hari atau minggu. Gejala-gejala
akut ini timbul bilamana terjadi perdarahan dari kolon yang difus. Tak jarang penyakit ini
timbul sejak penderita sedang hamil dan menyebabkan keadaan jadi berat. Bilamana penyakit
ini hanya dibagian kolon sigmoid (prokto sigmoiditis), maka terjadi perdarahan kronis
sehingga timbul anemi.
Tapi bila terjadi perluasan dari penyakit dan merupakan stadium akut maka terjadi panas,
takhikardi, Hb menurun (anemia normositik), berat badan menurun, badan merasa lemah dan
lesu, otot-otot lemah. Serangan yang berat dapat disertai dengan diare yang dapat lebih dari
20 kali sehari. Tinja cair dan bercampur dengan darah, mukopurulen. Mungkin disertai
dengan nausea dan vomitus. Disamping itu akan terjadi gangguan elektrolit.
Ada rasa nyeri di perut yang kadang-kadang ada kolik. Pada saat diare juga akan
kehilangan protein, dapat menyebabkan hipoproteinemia dan terjadi edema. Pada
pemeriksaan  fisik pada penderita yang berat terlihat lemah, anemia, tanda-tanda dehidrasi
positif. Dinding abdomen yang lembek, nyeri tekan. Pada penderita yang mengalami dilatasi
dari kolon, maka terlihat abdomen yang mengembung, meteoristik, timpanitik.

K.  Penatalaksanaan
1.      Terapi farmakologi
Tujuan terapi farmakologi adalah untuk mengurangi morbiditas dan untuk mencegah
komplikasi, dengan pertimbangan terapi berikut ini.
a.         Tumor necrosis factor (TNF) inhibitors.
Agen ini mencegah sitokin endogen dari mengikat ke reseptor permukaan sel dan
mengarahkan aktivitas biologis.
b.        Immunomodulators
 Agen ini mengatur faktor-faktor kunci dari sistem kekebalan tubuh.
c.         Antibiotik
 Antibiotik belum terbukti memberikan keuntungan yang konsisten dari beberapa uji
coba terkontrol untuk pengobatan kolitis ulseratif aktif. Akan tetapi, biasanya diberikan pada
dasar empiris pada pasien dengan kolitis yang parah dan dapat membantu menghindari suatu
infeksi yang mengancam jiwa.
d.        Kortikosteroid
Digunakan dalam moderat hingga berat kasus aktif untuk induksi remisi. Agen ini tidak
memiliki manfaat dalam mencegah remisi; penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan
efek samping.
2.      Terapi bedah
Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan kolitis ulseratif untuk mengontrol
dan mengobati gejala komplikasi. Pembedahan dilakukan sesuai dengan kondisi klinik
individu. Beberapa jenis pembedahan pada kolitis ulseratif, meliputi : Subtotal Colectomy
with Ileostomy and Hartmann’s Pouch, Total Proctocolectomy with Ileostomy, Total
Abdominal Colectomy with Ileal Rectal Anastomosis, Total Proctocolectomy with Continent
(Kock) Pouch, Total Proctocolectomy with Ileal Pouch Anal Anastomosis, Anal Transition
Zone Preservation, dan Doverting Ileostomy.
Pertimbangan untuk total kolektomi adalah sebagai berikut (Becker, 1999).
a. Refraktori penyakit dengan kegagalan terapi medis.
b. Terdapat bukti karsinoma atau dysplasia.
c. Pendarahan parah.
d. Kolitis fulminan tidak responsif terhadap pengobatan.
e. Megakolon toksik.
f. Perforasi.
g. Obstruksi dan striktur dengan kecurigaan untuk kanker.
h. Sistemik komplikasi dari obat, khususnya steroid.
i. Gagal tumbuh pada anak-anak.

4. DISENTRI AMOEBA ATAU AMOEBIASIS

A. Definisi Disentri dan Amoebiasis


Disentri adalah infeksi pada usus yang menyebabkan diare yang disertai darah atau lendir.
Diare adalah buang air besar encer yang terjadi 2 kali atau lebih dari 24 jam. Selain diare,
gejala disentri yang lain meliputi kram, perut, mual, dan muntah. (Aplikasi Buku Saku
Dokter).

Disentri berasal dari bahasa yunani, yaitu dys (=gangguan) dan enteron (=usus), yang
berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas, tinja lendir bercampur darah.
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut dan buang
air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur lendir dan darah.

Adanya darah dan lekosit dalam tinja merupakan suatu bukti bahwa kuman penyebab
disentri tersebut menembus dinding kolon dan bersarang di bawahnya. Penyakit ini seringkali
terjadi karena kebersihan tidak terjaga,baik karena kebersihan diri atau individu maupun
kebersihan masyarakat dan lingkungan.

Amoebiasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh amoeba, yaitu Entamoeba


histolytica, namun juga amoebiasis merujuk kepada infeksi dengan amoeba lainnya.
Amoebiasis dapat dilakukan oleh amoeba yang parasit maupun amoeba yang hidup secara
bebas.
Entamoeba histolytica adalah suatu parasit yang sering ditemukan dalam usus besar
manusia, primata tingkat tinggi tertentu, dan beberapa binatang jinak rumahan dan komensal.
Sebagian besar kasus asimptomatik kecuali pada manusia atau di antara binatang yang hidup
dalam keadaan tertekan atau dalam keadaan yang tidak alamiah (misalnya primata di kebun
binatang).

B. Etiologi

Penyebab Disentri yang paling umum adalah tidak mencuci tangan setelah menggunakan
toilet umum atau tidak mencuci tangan sebelum makan. Cukup simpel memang untuk
penyebab disentri sebagai kasus klasik, tapi itulah kenyataannya. Secara garis besar penyebab
penyakit disentri sangat erat kaitannya dengan kebersihan lingkungan dan kebiasaan hidup
bersih.

Bakteri penyebab penyakit disentri antara lain kontak dengan bakteri Shigella dan


beberapa jenis Escherichia coli (E. coli). Penyebab lain bakteri yang kurang umum
dari diare berdarah termasuk infeksi Salmonella dan Campylobacter. Untuk jenis
penyakit disentri amoeba, disebabkan oleh parasit Entamoeba histolytica.

Mikroorganisme penyebab disentri baik itu berupa bakteri maupun parasit menyebar dari
orang ke orang. Hal yang sering terjadi penderita menularkan anggota keluarga untuk
menyebarkannya ke seluruh anggota keluarga yang lainnya. Infeksi oleh mikroorganisme
penyebab disentri ini dapat bertahan dan menyebar untuk sekitar empat minggu.

Disentri juga dapat menyebar melalui makanan yang terkontaminasi. Negara miskin
yang memiliki sistem sanitasi yang tidak memadai menunjukkan angka yang tinggi untuk
kejadian kasus penyakit disentri. Frekuensi setiap patogen penyebab penyakit disentri
bervariasi di berbagai wilayah dunia. Sebagai contoh, Shigellosis yang paling umum di
Amerika Latin sementara Campylobacter adalah bakteri yang dominan di Asia Tenggara.
Disentri jarang disebabkan oleh iritasi kimia atau oleh cacing usus.

C. Klasifikasi Amoebiasis
1. Amoebiasis Intestinal
Klasifikasi amoebiasis menurut WHO (1968) dibagi dalam asimtomatik dan
simptomatik, sedang yang termasuk amoebiasis simptomatik yaitu amoebiasis intestinal yaitu
disentri, non-disentri colitis, amoebic appendicitaske orang lain oleh pengandung kista
Entamoeba histolytica yang mempunyai gejala klinik (simptomatik) maupun yang tidak
(asimptomatik).
Amoebiasis intestinal atau disebut juga sebagai amoebiasis primer terjadi pertama di
daerah caecum, appendix, kolon ascenden dan berkembang ke kolon lainnya. Bila sejumlah
parasit ini menyerang mukosa akan menimbulkan ulkus (borok), yang mempercepat
kerusakan mukosa. Lapisan muskularis usus biasanya lebih tahan. Biasanya lesi aka nterhenti
di daerah membran basal dari muskularis mukosa dan kemudian terjadi erosi lateral dan
berkembang menjadi nekrosis. Jaringan tersebut akan cepat sembuh bila parasit tersebut
dihancurkan (mati). Pada lesi awal biasanya tidak terjadi komplikasi dengan bakteri. Pada lesi
yang lama (kronis) akan diikuti infeksi sekunder oleh bakteri dan dapat merusak muskularis
mukosa, infiltrasi ke sub-mukosa dan bahkan berpenetrasi ke lapisan muskularis dan serosa.
Amoebiasis intestinal bergantung pada resistensi hospesnya sendiri, virulrnsi dari strain
amoeba, kondisi dari lumen usus atau dinding usus, yaitu keadaan flora usus, infek/tidaknya
dinding usus, kondisi makanan, apabila makanan banyak mengandung karbohidrat, maka
amoeba tersebut lebih patogen.
Ameboma adalah sebuah fokus nodular dari radang proliferatif atau menyerupai tumor
yang berisi jaringan granulasi yang berasal dari kolon kadang berkembang pada amoebiasis
yang kronis, biasanya pada dinding dari kolon dengan lokasi tersering terdapat dalam sekum,
tapi bisa pada semua tempat di kolon dan rektum. Pada pemeriksaan barium enema,
ameboma dapat berupa lesi polipoid, dapat dikelirukan dengan karsinoma kolon. Adanya
ulkus pada mukosa usus dapat diketahui dengan sigmoidoskopi pada 25% kasus. Ulkus
tersebar, terpisah satu sama lain oleh mukosa usus yang normal, ukurannya bervariasi dari 2-
3 mm sampai 2-3 cm.
Amoebiasis intestinal terdiri atas 2, yaitu:
a.      Amoebiasis Kolon Akut
Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang dapat berupa tinja
cair, tinja berlendir atau tinja berdarah. Frekuensi diare dapat mencapai 10 x perhari. Demam
dapat ditemukan pada sepertiga penderita. Pasien terkadang tidak nafsu makan sehingga berat
badannya dapat menurun. Pada stadium akut ditinja dapat ditemukan darah, dengan sedikit
leukosit serta stadium trofozoit E.histolytica.
Diare yang disebabkan E.histolytica secara klinis susah dibedakan dengan diare yang
disebabkan bakteri (Shigella, Salmonella, Escherichia coli, Campylobacter) yang sering
ditemukan di daerah tropik. Selain itu juga harsu dibedakan dengan non infectious diare
seperti ischemic colitis, inflammatory bowel disease, diverculitis, karena pada amoebiasis
intestinalis penderita biasanya tidak demam.
b.      Amoebiasis Kolon Menahun
Amoebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya terdapat
gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak diperut, diare yang diselingi obstipasi
(sembelit). Gejala tersebut dapat diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara periodik. Dasar
penyakit ialah radang usus besar dengan ulkus menggaung, disebut juga kolitis ulserosa
amebik.
Pada pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit E.histolytica sulit ditemukan, karena
sebagian besar parasit sudah masuk ke jaringan usus. Karena itu dilakukan uji serologi untuk
menemukan zat anti amoeba atau antigen E.histolytica. Sensitivitas uji serologi zat mencapai
75%, sedangkan deteksi antigen mencapai 90% untuk mendiagnosis amoebiasis menahun.
Pemeriksaan biopsi kolon hasilnya sangat bervariasi, dapat ditemukan penebalan mukosa
yang non-spesifik tanpa atau dengan ulkus, ulserasi fokal dengan atau tanpa E.histolytica,
ulkus klasik yang berebntuk seperti botol (flaskshaped appeareance), nekrosis dan perforasi
dinding usus.
Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali ditemukan di sigmoid.
Komplikasi amoebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing colitis, toxic megacolon,
ameboma, amoebiasis kutis dan ulkus perianal yang dapat membentuk fistula. Penderita
dengan acute necrotizing colitis sangat jarang ditemukan tetapi angka kematin mencapai
50%. Penderita terlihat sakit berat, demam, diare dengan lendir dan darah, nyeri perut dengan
tanda iritasi peritoneum. Bila terjadi perforasi usus atau pemberian anti amoeba tidak
memperlihatkan hasil, lakukan tindakan bedah.
Toxic megacolon juga sangat jarang ditemukan, biasanya berhubungan dengan
penggunaan kortikosteroid. Penderita memerlukan tindakan bedah, karena biasanya
pemberian anti amoeba saja tidak memperlihatkan perbaikan. Ameboma berasal dari
pembentukan jaringan granulasi kolon yang berbentuk seperti cincin (annnuler), dapat
tunggal atau multipel. Biasanya ditemukan di sekum atau kolon asenden. Gambaran histologi
menunjukkan jaringan kolagen dan fibroblas dengan tanda peradangan menahun disertai
granulasi. Ameboma ini menyerupai karsinoma kolon. Amoebiasis kolon bila tidak
diobatiakan menjalar keluar dari usus dan menyebabkan amoebiasis ekstra-intestinal. Hal ini
dapat terjadi secara hematogen (melalui aliran darah), atau perkontinuitatum (secara
langsung). Cara hematogen terjadi bila amoeba telah masuk submukosa kemudian ke kapiler
darah, dibawah oleh aliran darah melalui vena porta ke hati dan menimbulkan abses hati.
2. Amoebiasis Ekstra-Intestinal
Abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang paling sering ditemukan.
Sebagian besar penderita memperlihatkan gejala dalam waktu yang relatif singkat (2-4
minggu). Penderita memperlihatkan gejala demam, batuk dan nyeri perut kuadran kanan atas.
Bila permukaan diafragma hati terinfeksi, maka pada penderita dapat ternjadi nyeri pleura
kanan atau nyeri yang menjalar sampai bahu kanan. Pada 10%-35% penderita dapat
ditemukan gangguan gastrointestinal berupa mual, muntah, kejang otot perut, perut kembung,
diare, dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali. Pada fase sub-
akut dapat ditemukan penurunan berat badan, demam dan nyeri abdomen yang difus. Abses
hati lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan anak – anak. Kebanyakan
abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya soliter. Abses berisi nanah yang berwarnah
coklat.
Pada pemeriksaan tinja, E.histolytica hanya ditemukan pada sebagian kecil penderita
abses hati. Dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan serum alkali fostafase pada
pemeriksaan darah. Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara langsung ke pleura
dan/atau perikardium, abses otak dan amoebiasis urogenitalis. Cara perkontinuinatum terjadi
bila abses hati tidak diobati sehingga abses pecah. Amoeba yang keluar dapat menembus
diafragma, masuk ke rongga pleura dan paru, menimbulkan abses paru. Abses hati dapat juga
pecah ke dalam rongga perut dan menyebabkan peritonitis atau pecah ke dalam dinding perut,
menembus dinding perut samapi ke kulit dan menimbulkan amoebiasis kulit dinding perut.
Amoebiasis rektum bila tidak diobati dapat menyebar ke kulit di sekitar anus menyebabkan
amoebiasis perianal, dapat juga menyebar ke perineum, menyebabkan amoebiasis perineal
atau ke vagina menyebabkan amoebiasis vagina. Di kulit dan vagina amoeba ini
menimbulkan ulkus.

D. Invasi Jaringan Oleh Entamoeba Histolytica


Ditemukan tiga stadium pada Entamoeba histolytica, yaitu amoeba aktif, kista tidak
aktif, dan prekista intermedia. Trofozoit ameboid adalah satu-satunya bentuk yang ada dalam
jaringan. Bentuk tersebut juga ditemukan dalam feses cair selama disentri amoeba.
Ukurannya 15 – 30 µm. Sitoplasma granuler dan dapat mengandung sel-sel darah merah
(patognomonik) tetapi biasanya tidak mengandung kuman. Pewarnaan besi-hematoksilin atau
trikhrom Gomori menunjukkan selaput inti yang dibatasi oleh granula khromatin reguler,
halus, membentuk jala-jala yang nyata sekitar perifer, kariosom sentral, kecil, berwarna
gelap. Pergerakan trofozoit dalam bahan segar relatif cepat dan biasanya tidak searah.
Pseudopodia seperti jari-jari dan lebar, reaksinya tidak ada pada suhu rendah atau pada
amoeba prekista.
Entamoeba histolytica memiliki siklus hidup dengan dua tahap, yaitu tahap trofozoit dan
kista. Pada tahap trofozoit, amoeba tidak bisa bertahan hidup mandiri, sedangkan pada tahap
kista amoeba bersifat sangat menular dan kuat, hidup di Lingkungan yang ekstrim.
Entamoeba histolytica ditularkan melalui rute fecal–oral. Periode inkubasi terjadi mulai dari
hitungan hari sampai tahun (durasi rata-rata 2–4 minggu). Mayoritas mereka terinfeksi 90%
adalah pembawa simtomatik, dan Entamoeba histolytica berada dalam saluran usus dalam
simbiosis dengan host. Infeksi dimulai dari tertelannya kista dalam makanan dan
minumanyang terkontaminasi tinja. Kista yang tertelan mengeluarkan trofozoit dalam usus
besar dan memasuki submukosa. Bentuk kista biasanya sferis, berukuran10-18 µm. Kista
yang matang berisi 2 inti yang akan membelah menjadi 4 intiyang kecil. Selama proses
pematangan vakuola glikogen akan dikeluarkan dan benda kromatoid menjadi makin kabur
dan akhirnya menghilang. Kista sangat tahan terhadap bahan kimia tertentu. Kista bisa tetap
hidup dan infektif dalamkondisi lembab sedangkan dalam feses yang mengering dapat
bertahan sampai12 hari dan dalam air selama 30 hari.
Kista tahan terhadap kadar klorin biasanya digunakan untuk pemurnian air. Kista resisten
terhadap keadaan lingkungan seperti suhu rendah dan kadar klorin yang biasa digunakan pada
pemurniaan air, parasit dapat dibunuhdengan pemanasan 55°C. Bila air minum atau makanan
terkontaminasi oleh kista Entamoeba histolytica, kista akan masuk melalui saluran
pencernaan menuju ileum dan terjadi excystasi, dinding kista robek dan keluar amoeba
multinucleus metacystic yang langsung membelah diri menjadi 8 uninucleat trofozoit muda
yang disebut amoebulae. Amoebulae bergerak ke usus besar, makan dan tumbuh dan
membelah diri asexual.
Multiplikasi (perbanyakan diri) dari spesies ini terjadi dua kali dalam masa hidupnya
yaitu membelah diri dengan binary fission dalam usus pada fase trofozoit dan pembelahan
nukleus yang diikuti dengan cytokinesis dalam kista pada fase metacystic. Pada fase trofozoit
Entamoeba histolytica mempunyai diameter rata-rata 20 µm, sitoplasmanya terdiri atas zona
luar yang jernih dan endoplasma dalam yang granuler padat, mengandung inti
yang berbentuk sferis yang mempunyai kariosom sentral yang kecil dan bahankromatin
granuler yang halus. Endoplasma juga berisi vakuola, dimanaeritrosit dapat ditemukan pada
kasus amoebiasis invasif menyusup masuk kedalam mukosa usus besar diantara sel epitel
sambil mensekresi enzim proteolytik.
Didalam dinding usus trofozoit terbawa aliran darah menuju hati, paru, otak dan organ
lain. Hati adalah organ yang paling sering diserang selain usus. Di dalam hati trofozoit
memakan sel parenkim hati sehingga menyebabkan kerusakan hati. Trofozoit dalam intestinal
akan berubah bentuk menjadi precystic. Bentuknya akan mengecil dan berbentuk spheric
dengan ukuran 3,5-20 µm. Bentuk kista yang matang mengandung chromatoidu ntuk
menyimpan unsur nutrisi glikogen yang digunakan sebagai sumber energi. Kista ini adalah
bentuk inaktif yang akan keluar melalui feses. Para trofozoit metacystic dari progeni mereka
mencapai sektum dan mereka yangdatang dalam kontak dengan mukosa oral menembus atau
menyerang epitel oleh pencernaan litik.
Liang trofozoit lebih dalam dengan kecenderungan untuk menyebar lateral atau
meneruskan kematian sel sampai mereka mencapai sub-mukosa borok membentuk-bentuk
flash. Ada beberapa titik penetrasi dari situs utama invasi, lesi sekunder mungkin dihasilkan
pada tingkat yang lebih rendah dariusus besar. Progeni dari koloni awal yang diperas keluar
ke bagian bawahusus dan dengan demikian, memiliki kesempatan untuk menyerang
danmenghasilkan bisul (borok) tambahan. Akhirnya, seluruh usus besar terlibat.
Trofozoit yang mencapai muskularis sering mukosa mengikis limfatik atau dinding
venula mesenterika di lantai borok, dan dibawa ke vena portalintrahepatik. Jika trombi terjadi
di cabang-cabang kecil dari vena portal, yang trofozoit dalam nekrosis menyebabkan trombi
litik di dinding kapal danmencerna jalur ke lobules. Peningkatan koloni dalam ukuran
dan berkembang menjadi abses. Suatu abses hati khas mengembangkan dan terdiri dari:
Central zona nekrosis, zona Median hanya stoma, Sebuah zona luar dari jaringan normal
yang baru saja diserang oleh amoeba.
Enkistasi, yaitu proses secara alami perubahan tropozoit menjadi bentuk kista
tidak terjadi di dalam jaringan. Tropozoit yang ada di dalam lumen kolon akan berkondensasi
menjadi benda berbentuk sferis, yakni prekista yang kemudian dindingnya relatif tipis dan
halus dilepaskan sehingga terjadilah kista muda. Pada stadium ini terdapat dua macam inklusi
pada kista muda dan kista matang, yaitu inklusi glikogen dengan tepi yang samar-samar dan
bahan yang refraktil, disebut kromatoid, yaitu benda yang dapat berbentuk batang
panjangatau dapat juga pendek, biasanya dengan ujung bundar.
Ekskistasi, yaitu proses ini tidak dapat terjadi secara in-vitro, kecuali bila dalam suasana
yang hampir mendekati keadaan dalam saluran cerna. Begitu kista masuk dalam mulut, akan
terus masuk ke dalam lambung lalu usus kecil. Dalam lingkungan asam, kista tidak akan
berubah tetapi bila lingkungan menjadi netral atau basa, amoeba akan menjadi aktif. Juga
karena pengaruh cairan lambung maka dinding kista menjadi lemah dan amoeba dengan
banyak intinya menjadi pusat metakista tropozoit.
Dalam lingkungan yang tidak cocok untuk ekskistasi yaitu keluar didalam usus kecil,
kista akan dibawa ke usus besar dan kemudian dikeluarkan bersama tinja tanpa mengalami
ekskistasi. Metakista tropozoit tidak akan berkembang biak dan menempel pada mukosa usus
atau tersangkut di dalam kelenjar yang terdapat di dalam kripta usus. Bila amoeba muda
mulai tumbuh, mereka akan menjadi tropozoit yang normal dan lengkaplah
siklus perkembangannya.

D. Tanda-Tanda & Gejala Amoebiasis


Gejala Amebiasis biasanya muncul setelah 2-4 minggu infeksi, atau mungkin beberapa
bulan untuk mendeteksi penyakitnya.

 Gejala umum Amebiasis termasuk :


 Diare (10 hingga 12 kali per hari)
 Diare disertai darah
 Kram pada perut
 Buang air besar yang kental
 Gas dalam perut

Gejala yang umum seperti demam, sakit punggung, dan lelah.

E. Penyebab Amoebiasis

Amebiasis disebabkan oleh parasit yang disebut Entamoeba histolytica. Parasit ini
adalah penyebab utama diare, kerusakan pada perut dan saluran pencernaan. Parasit
menginfeksi tubuh saat Anda minum air yang tidak higienis, atau makan makanan yang
terkontaminasi. Lalat, nyamuk, dan serangga lain juga berisiko menjadi penyalur parasit.
Amebiasis dapat menyebar dari hubungan anal dengan orang yang terinfeksi.

F. Diagnosis
Ditemukan Entamoeba histolytica dalam tinja disentrik, biopsi dinding abses.
Pemeriksaan serologis dapat menunjang diagnosis. Diagnosis terutama dilihat dari gejala
klinis dan reaksi tes imunologi. Pemeriksaan dengan sinar x dapat mendiagnosis adanya
abses dalam hati. Pemeriksaan sampel feses cukup baik dilakukan untuk mendiagnosis
infeksi dalam usus. Pemeriksaan beberapa kali terhadap feses pasien untuk menemukan
trofozoit cukup baik dilakukan. Diagnosis secara imunologik cukup baik hasilnya.
Penggunaan teknik fluoerscens antibodi cukup baik tetapi tidak dapat membedakan antara
E.histolytica dengan E.hartmanni.
Diagnosis yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena 90% penderita
asimtomatik E.histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi sekitarnya.
1.      Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat membedakan E.histolytica dengan E.dispar. Selain
itu pemeriksaan berdasarkan satu kali pemeriksaan tinja sangat tidak sensitif. Sehingga
pemeriksaan mikroskopik sebaiknya dilakukan paling sedikit 3 kali dalam waktu 1 minggu
baik untuk kasus akut maupun kronik. Adanya sel darah merah dalam sitoplasma
E.histolytica stadium trofozoit merupakan indikasi terjadinya invasif amoebiasis yang hanya
disebabkan oleh E.histolytica.
Selain itu, motilitas stadium trofozoit akan menghilang dalam waktu 20 – 30 menit.
Karena itu bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan dalam pengawet polyvinil
alcohol (pva) atau pada suhu 4 °C. Dalam hal yang terakhir, stadium trofozoit dapat terlihat
aktif sampai 4 jam. Selain itu pada sediaan basah dapat ditemukan sel darah merah. Hal yang
dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikroskopik adalah keterlambatan waktu
pemeriksaan, jumlah tinja yang tidak mencukupi, wadah tinja yang terkontaminasi urin dan
air, penggunaan antibiotik (tetrasiklin, sulfonamid), laksatif, antasid, preoarat antidiare
(kaolin, bismuth), frekuensi pemeriksaan dan tinja diberi pengawet.
2.      Pemeriksaan Serologi untuk Mendeteksi Antibodi
Sebagian besar orang yang tinggal di bagian endemis E.histolytica akan terpapar parasit
berulang kali. Kelompok tersebut sebagian besar akan asimtomatik dan pemeriksaan antibodi
sulit membedakan antara current atau previous injections.
Pemeriksaan antibodi akan sangat membantu menegakkan diagnosis pada kelompok
yang tidak tinggal di daerah endemis. Sebanyak 75-80% penderita dengan gejala yang
disebabkan E.histolytica memperlihatkan hasil yang positif pada uji serologi antibodi
terhadap E.histolytica. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam uji serologi seperti
IHA, lateks aglutinasi, counterimmunoelectrophoresis, gel diffusion test, uji komplemen, dan
ELISA. Biasanya merupakan uji standar adalah IHA, sedangkan ELISA merupakan alternatif
karena lebih cepat, sederhana dan juga lebih sensitif. Antibodi IgG terhadap antigen lektin
dapat dideteksi dalam waktu 1 minggu setelah timbul gejala klinis baik pada penderita kolitis
maupun abses hati amoeba. Bila hasilnya meragukan, uji serologi tersebut dapat diulang.
Walaupun demikian, hasil pemeriksaan tidak dapat membedakan current infection dari
previous infection. IgM anti-lektin terutama dapat dideteksi pada minggu pertama sampai
minggu ketiga pada seorang penderita kolitis amoeba.
Titer antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan respons terhadap
pengobatan, sehingga walaupun pengobatan yang diberikan berhasil, titer antibodi tetap tidak
berubah. Antibodi yang terbentuk karena infeksi E.histolytica dapat bertahan sampai 6 bulan,
bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun.
3.      Deteksi Antigen
Antigen amoeba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat diideteksi dalam tinja, serum, cairan
abses, dan air liur penderita. Hal ini dapat dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA,
sedangkan dengan teknik CIEP ternyata sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi antigen pada
tinja merupakan teknik yang praktis, sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis amoebiasis
intestinalis. Walaupun demikian, tinja yang tidak segar atau yang diberi pengawet akan
menyebabkan denaturasi antigen, sehingga hasil yang false negatif. Oleh karena itu, syarat
melakukan ELISA pada tinja seseorang yang diduga menderita amoebiasis intestinal adalah
tinja segar atau disimpan dalam lemari pendingin. E.histolytica tes II dapat dibedakan infeksi
yang disebabkan oleh E.histolytica atau E.dispar.
Pada penderita abses hati amoeba, deteksi antigen dapat dilakukan pada pus abses atau
serumnya.
4.      Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metode PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan deteksi
antigen pada tinja penderita amoebiasis intestinal. Kekurangannya adalah waktu yang
diperlukan lebih lama, tekniknya lebih sulit dan juga mahal. Untuk penelitian polimorfisme
E.histolytica, teknik PCR merupakan metode unggulan. Walaupun demikian, hasilnya sangat
dipengaruhi oleh berbagai kontaminasi pada tinja. Selain itu kemungkinan terjadi false
negatif karena berbagai inhibitor pada tinja. Hal ini dapat dilakukan pada pus penderita
dengan abses hati amoeba. Ekstraksi DNA dapat dilakukan pada tinja yang sudah diberi
pengawet formalin. Dengan cara ini dapat dibedakan infeksi E.histolytica dengan E.dispar.
Sampai saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan dengan kombinasi
pemeriksaan mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada indikasi, dapat dilakukan
kolonoskopik dan biopsi pada lesi intestinal atau pada cairan abses. Parasit biasanya
ditemukan pada dasar dinding abses. Berbagai penelitian memperlihatkan rendahnya
sensitivitas pemeriksaan mikroskopik dalam mendiagnosis amoebiasis intestinal atau abses
hati amoeba. Metode deteksi anti gen atau PCR pada tinja merupakan pilihan yang lebih tepat
untuk menegakkan diagnosis. Walaupun demikian, syarat untuk melakukan uji ini perlu
diperhatikan. Selain itu pemeriksaan mikroskopik tetap dilakukan untuk menyingkirkan
infeksi campuran dengan mikroorganisme lain baik parasit maupun non-parasit.

G. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan pada penderita amoebiasis yang invasif yang berbeda dengan
non-invasif. Pada penderita amoebiasis non-invasif dapat diberikan paromisin. Pada penderita
amoebiasis invasif terutama diberikan paromomisin. Pada penderita amoebiasis invasif
terutama diberikan golongan nitroimidazol yaitu metronidazol. Obat lain yang dapat
diberikan adalah tinidazol, seknidazol, dan ornidazol.
Lebih kurang 90% penderita dengan amoebiasis koli ringan sedang, penyakitnya sembuh
dengan pemberian metronidazol. Pada penderita dengan fulminant colitis, dapat ditambahkan
pemberian nitroimidazol, biasanya sebanyak 40%-60% penderita masih mengandung parasit,
karena itu sebaiknya diikuti dengan pemberian paromomisin atau diloksanid furoat untuk
mengeliminasi infeksi dalam lumen usus . pemberian metronidazol sebaiknya tidak
bersamaan dengan paromomisin, sebab yang terakhir dapat menyebabkan diare sebagai efek
sanping obat,. Pada penderita abses hati amoeba dapat dilakukan drainase abses selain
pemberian obat anti amoeba. Hal ini dapat dilakukan pada penderita abses hati yang setelah
pengobatan 5-7 hari tidak memperlihatkan perbaikan klinis. Pada penderita dengan risiko
tinggi rupture abses misalnya dengan lesi berdiameter 5 cm atau di lobus kiri pemberian
antibiotik pada penderita abses hati dapat dilakukan bila tidak terjadi penyembuhan setelah
pengobatan dengan anti amoeba.
Obat amebisid dapat dikelompokkan menjadi 2 katagori yaitu :
1.      Obat Yang Bekerja Pada Lumen Usus
Obat yang bekerja pada lumen usus merupakan obat yang tidak diabsorpsi dengan baik
dalam usus, sehingga dapat membunuh stadium trofozoit dan kista yang berada dalam lumen
usus.
a.      Paromomisin (Humatin)
Paromomisin (humatin) merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang tidak
diabsorpsi dalam lumen usus. Obat tersebut hanya membunuh stadium yang berada dalam
lumen usus. Digunakan untuk mengeliminasi kista setelah pengobatan dengan metronidazol
atau tinidazol. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan kelainan ginjal. Dosisnya
adalah 25-35 mg/kgbb/hari, terbagi dalam 8 jam selama 7 hari. Tidak dianjurkan penggunaan
dalam jangka panjang karena toksik.

b.      Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol)


Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol) merupakan obat pilihan untuk E.histolytica
yang berada dalam lumen. Efek samping yang sering ditemukan adalah kembung. Mual,
muntah dan diare kadang-kadang dilaporkan. Dosisnya 3 kali 500 mg perhari selama 10 hari.
c.      Iodoquinol (Iodoksin)
Iodoquinol (Iodoksin) termasuk golongan hdroksikuinolin. Tidak boleh diberikan pada
penderita dengan gangguan fungsi ginal. Dosisnya 3 kali 650 mg perhari selama 20 hari
merupakan amebisid luminal yang bekerja dilumen. Dapat digunakan untuk stadium kista
setelah pemberian nitroimidazol.
2.      Obat Yang Bekerja Pada Jaringan
a.      Emetin Hidroklorida
Obat ini berkhasiat terhadap stadium trofozoit E.histolytica. pemberian emetin ini efektif
bila diberikan secara parenteral, karena pada pemberian oral absorpsinya tidak sempurna.
Dapat diberiakan melalui suntikan intramuscular atau subkutis setiap hari selama 10 hari.
Pemberian secara intervena toksisitasnya relative tinggi, terutama terhadap otot jantung.
Dosis maksimum untuk orang dewasa adalah 65 mg sehari, sedangkan untuk anak di bawah 8
tahun 10 mg sehari. Lama pengobatan 4 sampai 6 hari. Pada orang tua dan orang yang sakit
berat, dosis harus dikurangi. Pemberian emetin tidak dianjurakn pada ibu hamil, penderita
dengan gangguan jantung dan ginjal.
Dehidroemetin relative kurang toksik dibandingkan dengan emetin dan dapat diberikan
secara oral. Dosisnya maksimum adalah 0,1 gram sehari, diberikan selama 4 sampai 6 hari.
Emetin dan dehidroemetin efektif untuk pengobatan abses hati (amoebiasis hati).
b.      Metronidazol (Golongan Nitromidazol)
Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amoebiasis koli atau abses hati amoeba,
karena efektif terhadap stadium trofozoit dalam dinding usus dan jaringan. Obat ini tidak
dapat membunuh stadium kista. Efek sampingnya antara lain mual, muntah dan pusing. Pada
infeksi E.histolytica di lumen usus, hanya 50% parasit mati dengan obat metronidazol atau
tinidazol dengan diloksanid furoat ditambah paromomisin atau tetrasiklin. Smapai saat ini
belum dilaporkan resistensi E.histolytica terhadap metronidazol. Tinidazol atau ornidazol
dengan dosis yang berbeda. Dosis metronidazol untuk orang dewasa adalah 3x750 mg/hari 7-
10 hari. Pada ibu hamil hindari pemakaiannya pada trimester 1.
c.      Klorokuin
Klorokuin merupakan amebisid jaringan yang efektif terhadap amoebiasis hati. Efek
samping dan toksisitasnya ringan, antara lain mual, muntah, diare, sakit kepala. Dosisnya
untuk orang dewasa adalah 1 gram sehari selama 2 hari, kemudian 500 grama selama 2
sampai 3 minggu.

H. Epidemiologi
Amoebiasis terdapat diseluruh dunia. Prevalensi tertinggi, terutama di daerah tropic dan
subtropik, khususnya dinegara yang keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio
ekonominya buruk. Di beberapa Negara tropis, prevalensi anti-bodi terhadap E.histolytica
mencapai 50%. Di Indonesia, amoebiasis kolon banyak ditemukan dalam keadaan
endemic.prevalensi E.histolytica di berbagai daerah di Indonesia sekitar 10%-18%. Di RRC,
mesir, india dan belanda brkisar 10,1%-11,5% di eropa utara 5-20% di eropa selatan 20%-
51% dan ameriaka serikat 4%-21%.di negara industry amoebiasis terutama pada kelompok
homoseksusal, imigran, turis yang berpergian ke daerah endemis, orang yang tinggal di
asrama dan penderita positif HIV.
Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa rendahnya status social ekonimi dan
kurangnya sanitasi merupakan factor yang mempengaruhi terjadinya infeksi. Pada kelompok
ini, infeksi terjadi pada umur yang lebih muda. di Meksiko prevalensi ditemukan 11% pada
kelompok umur 5-9 tahun sedangkan di Bangladesh 30% pada kelompok 2-5 tahun.
Frekuensi infeksi E.histolytica diukur dengan jumlah pengandung kista. Perbandingan
berbagai macam amoebiasis di Indonesia adalah sebagai berikut: amoebiasis paru, kulit dan
vagina jarang dan amoebiasis otak lebih jarang lagi dijumpai.
Amoebiasis ditularkan oleh pengandung kista. Pengandung kista biasanya sehat tetapi ia
memegan peranan penting untuk penyebaran penyakit, karena tinjanya merupakan sumber
infeksi. Jadi amoebiasis tidak ditularkan oleh penderita amoebiasis akut.
Stadium kista matang adalah bentuk infektif. Seorang pengandung kista yang
menyajikan makanan (food handler) misalnya koki hotel atau pelayanan restoran, bla
hygiene perorangan kurang baik, dapat merupakan simber infeksi. Bila ia tidak mencuci
tangan ndung setelah buang air besar , maka tangannya akan terkontaminasi dengan tinjanya
sendiri yang mengandung kista, dapat memindahkan kista tersebut ke makanan atau iar
minum.
Kista dapat hidup lama dalam air (10-14 hari). Dalam lingkungan yang dingin dan
lembab kista dapat hidup selama kurang lebih dari 12 hari. Kista juga tahan terhadap klor
yang terdapat dalam air ledeng dan kista akan mati pada suhu 50 C atau dalam keadaan
kering.

I. Pencegahan
Pencegahan amoebiasis terutama di tujukan pada kebersihan perorangan (personal
higiene) dan kebersihan lingkungan (environmental sanitation).
Kebersihan perorangan antara lain mencuci tangan dengan bersih sesudah buang air
besar dan sebelum makan.
Kebersihan lingkungan meliputi: masak air minum sampai mendidih sebelum diminum,
mencuci sayuran sampai bersih atau memasaknya sebelum di makan, buang air besar di
jamban, tidak menggunakan tinja manusia untuk pupuk, menutup dengan baik makanan yang
di hidangkan untuk menghidari kontaminasi oleh lalat dan lipas, membuang sampah di
tempat sampah yang tertutup untuk menghindari lalat.

5. DISENTRI BASILER
A. Pengertian Disentri Basiler

Disentri basiler disebabkan oleh Shigella spp. Shigella adalah binatang tidak
bergerak,gram negatif, bersifat fakultatif anaerobik yang dengan beberapa kekecualian tidak
meragikan laktosa tetapi meragikan karbohidrat yang lainnya, menghasilkan asam tetapi tidak
menghasilkangas. Ada empat spesies Shigella, yaitu Shigella flexneri, Shigella dysentriae
Shigella boydii dan Shigella sonnei. Pada umumnya S. flexneri, S.Boydii dan S. dysentriae
paling banyak ditemukan dinegara berkembang seperti Indonesia. Sebaliknya S. sonnei
paling sering ditemukan danS.dysentriae paling sedikit ditemukan di negara maju.

Bakteri Shigella spp

B. Etiologi Disentri Basiler

Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella,sp

Shigella adalah basil non motil, gram negatif, familienterobacteriaceae. Ada 4


spesiesShigella, yaitu S.dysentriae, S.flexneri,S.bondii dan S.sonnei. Terdapat 43 serotipe O
darishigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang mempunyai serotipe tunggal. Karena
kekebalan tubuh yang didapat bersifat serotipe spesifik, maka seseorang dapat
terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang berbeda. Genus ini memilikikemampuan menginvasi
sel epitelintestinal dan menyebabkan infeksidalam jumlah 102-103 organisme. Penyakit ini
kadang-kadang bersifat ringan dan kadang-kadang berat. Suatu keadaan lingkungan yang
jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara klinis mempunyai tanda-
tanda berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut terasa sakit dan tenesmus.

C. Patogenesis Dan Patologi


Shigellosis disebut juga Disentri basiler . Disentri sendiri artinya salah satu dari berbagai
gangguan yang ditandai dengan peradangan usus , terutama kolon dan disertai nyeri perut ,
tenesmus dan buang air besar yang sering mengandung darah dan lender. Habitat alamiah
kuman disentri adalah usus besar manusia, dimana kuman tersebut dapat menyebabkan
disentri basiler. Infeksi Shigella praktis selalu terbatas pada saluran pencernaan, invasi dalam
darah sangat jarang. Shigella menimbulkan penyakit yang sangat menular. Dosis infektif
kurang dari 103 organisme.
Proses patologik yang penting adalah invasi epitel selaput lendir, mikroab-ses pada
dinding usus besar dan ileum terminal yang cenderung mengakibatkan
nekrosis selaput lendir, ulserasi superfisial, perdarahan, pembentukan “pseudo-membran”
pada daerah ulkus. Ini terdiri dari fibrin, lekosit, sisa sel, selaput lendir yang nekrotik, dan
kuman. Waktu proses berkurang, jaringan granulasi mengisi ulkus dan terbentuk jaringan
parut.

D.  Patofisiologi
Kemasukan hanya 200 basil Shigella dapat mengakibatkan infeksi dan Shigella dapat
bertahan terhadap keasaman sekresi lambung selama 4 jam. Sesudah masuk melalui mulut
dan mencapai usus, bakteri invasif ini di dalam usus besar memperbanyak diri.
Shigella sebagai penyebab diare mempunyai 3 faktor virulensi yaitu : 
1. Dinding polisakarida sebagai antigen halus.
2. Kemampuan mengadakan invasi enterosit dan proliferasi.
3. Mengeluarkan toksin sesudah menembus sel.
Struktur kimiawi dari dinding sel tubuh bakteri ini dapat berlaku sebagai antigen O
(somatic) adalah sesuatu yang penting dalam proses interaksi bakteri shigella dengan sel
enterosit. Dupont (1972) dan Levine (1973) mengutarakan bahwa Shigella seperti Salmonella
setelah menembus enterosit dan berkembang didalamnya sehingga menyebabkan kerusakan
sel enterosit tersebut.
Peradangan mukosa memerlukan hasil metabolit dari kedua bakteri dan enterosit,
sehingga merangsang proses endositosis sel-sel yang bukan fagositosik untuk menarik bakteri
ke dalam vakuola intrasel, yang mana bakteri akan memperbanyak diri sehingga
menyebabkan sel pecah dan bakteri akan menyebar ke sekitarnya serta menimbulkan
kerusakan mukosa usus. Sifat invasif dan pembelahan intrasel dari bakteri ini terletak dalam
plasmid yang luas dari kromosom bakteri Shigella. Invasi bakteri ini mengakibatkan
terjadinya infiltrasi sel-sel polimorfonuklear dan menyebabkan matinya sel-sel epitel tersebut,
sehingga terjadilah tukak-tukak kecil didaerah invasi yang menyebabkan sel-sel darah merah
dan plasma protein keluar dari sel dan masuk ke lumen usus serta akhirnya ke luar bersama
tinja.
Shigella juga mengeluarkan toksin (Shiga toksin) yang bersifat nefrotoksik, sitotoksik
(mematikan sel dalam benih sel) dan enterotoksik (merangsang sekresi usus) sehingga
menyebabkan sel epithelium mukosa usus nekrosis.
Semua Shigella mengeluarkan lipopolisakarida yang toksik. Endotoksin ini mungkin
menambah iritasi dinding usus. Selain itu Shigella dysentriae tipe 1 menghasilkan eksotoksin
yang tidak tahan panas yang dapat menambah gambaran klinik neurotoksik dan enterotoksik
yang nyata.

E. Gejala Shigellosis

Gejala shigellosis antara lain:

1. Diare (yang biasanya mengandung nanah, lendir atau darah).


2. Demam.
3. Kram perut.
4. Mual.
5. Muntah.
6. Pusing saat berdiri.

F. Komplikasi Shigellosis

Anak-anak lebih rentan mengalami komplikasi shigellosis. Diantara kemungkinan


komplikasinya adalah:

1. Kejang yang disebabkan oleh demam tinggi


2. Dehidrasi
3. Sakit kepala
4. Lemah, letih dan lesu
5. Kaku leher
6. Linglung

G. Penyebab Shigellosis

Bakteri Shigella diekskresikan (dikeluarkan) melalui feses (kotoran). Jika orang yang
terinfeksi tidak mencuci tangan mereka setelah dari toilet, bakteri akan menyebar pada saat
mereka menyentuh benda dan permukaan yang akan disentuh oleh orang lain, atau
menyentuh/mengolah makanan yang akan dimakan oleh orang lain. Tangan seseorang yang
mengganti popok bayi yang terinfeksi Shigella juga akan terkontaminasi dengan bakteri
Shigella.

Juga sangat dimungkinkan terkena shigellosis dari air yang terkontaminasi oleh
kotoran manusia yang mengandung bakteri Shigella.

Infeksi Masih Dapat Terjadi Meski Gejalanya Berhenti.

Gejala shigellosis dapat hilang setelah satu minggu atau lebih, tetapi penderitanya
tetap dapat terus mengeluarkan bakteri Shigella melalui kotoran mereka selama setidaknya
empat minggu setelah gejala shigellosis hilang. Bahkan, seseorang dapat mengeluarkan
bakteri Shigella selama berbulan-bulan setelah gejalanya berhenti.

Orang-orang ini disebut sebagai carrier, yang berarti mereka memiliki bakteri di
dalam tubuh mereka, tapi mereka sendiri tidak sakit. Parahnya, orang-orang ini masih bisa
menulari orang lain.

H. Diagnosis Shigellosis

Kultur feses atau penyeka dubur dilakukan untuk mendiagnosis shigellosis.

I. Pengobatan Shigellosis

1. Pilihan pengobatan untuk shigellosis mencakup:


2. Antibiotik yang tepat untuk membunuh bakteri dalam hitungan hari
3. Penderita diberi banyak cairan
4. Minum rehidrasi oral
5. Untuk kasus yang berat, cairan intravena (infus) akan diperlukan
6. Makan makanan padat
7. Menghindari obat anti diare atau anti muntah kecuali bila diresepkan atau
direkomendasikan oleh dokter.
J. Pencegahan Shigellosis

Beberapa saran untuk mengurangi risiko shigellosis antara lain:

1. Mencuci tangan dengan sabun dan air panas setelah dari toilet atau selesai mengganti
popok, dan sebelum makan atau menyiapkan makanan.
2. Gunakan tissue disposible untuk mengeringkan tangan. Jangan menggunakan
handuk/kain karena bakteri Shigella dapat bertahan hidup selama beberapa waktu
pada kain.
3. Pastikan makanan telah dimasak dengan matang.
4. Cuci bersih sayuran mentah sebelum dimakan.
5. Panaskan makanan samapi suhu internalnya mencapai setidaknya 75°C.
6. Bersihkan toilet dan kamar mandi secara teratur, termasuk toilet duduk, gagang pintu
dan keran dengan menggunakan produk pembersih yang mampu membunuh bakteri,
seperti produk pembersih yang mengandung klorin.
7. Bersihkan meja/tempat tidur bayi secara teratur.
8. Air dari sungai dan danau mungkin terkontaminasi oleh kotoran manusia. Rebus air
dari sumber-sumber ini sebelum diminum.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Demam tifoid atau typus abdominalis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhii yang ditularkan melalui makanan yang tercemar oleh tinja dan urine
penderita. Salmonella thyposa adalah bakteri gram negative yang bergerak dengan bulu getar,
tidak berspora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu: antigen 0
(somatik, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen V1
(hyalin, protein membrane).

Penyakit Crohn adalah kondisi jangka panjang yang menyebabkan peradangan lapisan
pada system pencernaan. Peradangan dapat mempengaruhi setiap bagian dari system
pencernaan, dari mulut ke bagian belakang, tapi paling sering terjadi di bagian terakhir yaitu
pada usus kecil (Ileum) atau usus besar (kolon). Terdapat beberapa persamaan yang menarik
antara enteritis regional dan kolitis ulseratif. Keduanya adalah penyakit radang, walaupun
lesinya berbeda. Kedua penyakit ini mempunyai manifestasi di luar saluran cerna yaitu
uveitis, artritis dan lesi-lesi kulit yang identik.

Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit ulseroinflamatorik yang mengenai kolon, tetapi
terbatas di mukosa dan submukosa, kecuali pada kasus yang sangat parah. Penyebab dari
kolitis ulseratif sangat beragam, meliputi fenomena autoimun, faktor genetik perokok pasif,
diet, pascapendektomi, dan infeksi.
Disentri adalah infeksi pada usus yang menyebabkan diare yang disertai darah atau lendir.
Diare adalah buang air besar encer yang terjadi 2 kali atau lebih dari 24 jam. Amoebiasis
merupakan infeksi yang disebabkan oleh amoeba, yaitu Entamoeba histolytica, namun juga
amoebiasis merujuk kepada infeksi dengan amoeba lainnya. Amoebiasis dapat dilakukan oleh
amoeba yang parasit maupun amoeba yang hidup secara bebas.

Disentri basiler disebabkan oleh Shigella spp. Shigella adalah binatang tidak
bergerak,gram negatif, bersifat fakultatif anaerobik yang dengan beberapa kekecualian tidak
meragikan laktosa tetapi meragikan karbohidrat yang lainnya, menghasilkan asam tetapi tidak
menghasilkangas. Shigellosis disebut juga Disentri basiler . Disentri sendiri artinya salah satu
dari berbagai gangguan yang ditandai dengan peradangan usus , terutama kolon dan disertai
nyeri perut , tenesmus dan buang air besar yang sering mengandung darah dan lender.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini saya berharap dapat lebih memahami tentang bagaimana cara
pencegahan dari penyakit penyakit saluran pencernaan bagian bawah seperti tifus
abdominalis, regional enteritis/regional ileitis (crohn disease), kolitis ulserativa, disentri
amoeba, dan disentri basiler ini, dan apa saja tanda dan gejalanya.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-4184-bab1.pdf
2. http://eprints.ums.ac.id/20509/3/BAB_II.pdf
3. http://repository.ump.ac.id/1375/3/FARAH%20HABIBAH%20BAB%20II.pdf
4. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/127/jtptunimus-gdl-wahyuniuta-6308-2-bab2.pdf
5. http://typhusabdominalis.blogspot.co.id/
6. https://www.scribd.com/doc/289928812/Makalah-Penyakit-Crohn-Disease
7. http://ranrintansnote.blogspot.co.id/2014/02/keperawatan-medikal-bedah-kolitis.html
8. http://www.alodokter.com/kolitis-ulseratif
9. http://ariakiki.blogspot.co.id/2016/04/makalah-amoebiasis.html
10. https://hellosehat.com/penyakit/amebiasis/
11. https://www.scribd.com/document/139194220/ETIOLOGI-DISENTRI-BASILER
12. https://www.scribd.com/doc/137016138/Disentri-Basiler

Anda mungkin juga menyukai