Anda di halaman 1dari 20

https://www.scribd.

com/doc/289928812/Makalah-Penyakit-Crohn-Disease

BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Penyakit Crohn

Penyakit Crohn (Enteritis Regionalis, Ileitis Granulomatosa, Ileokolitis) adalalah


Peradangan menahun pada dinding usus. Enteritis regional, ileokolitis, atau Penyakit Crohn
merupakan suatu penyakit peradangan granulomatosa kronik pada saluran cerna yang sering
terjadi berulang.

Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi pada bagian terendah
dari usus halus (ileum) dan usus besar, namun dapat terjadi pada bagian
m a n a p u n d a r i s a l u r a n  pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan bahkan kulit sekitar
anus.

B.Etiologi

Etiologi Penyakit Crohn tidak diketahui. Penelitian memusatkan


p e r h a t i a n p a d a t i g a kemungkinan penyebabnya, yaitu :

1.Selainan fungsi sistem pertahanan tubuh.

2. Infeksi

3. Makanan

Walaupun tidak ditemukan adanya autoantibodi, enteritis regional diduga


m e r u p a k a n r e a k s i !ipersensiti8itas atau mungkin disebabkan ole! agen infektif
yang belum diketa!ui. Teori-teori ini dikemukakan karena adanya lesi-lesi
granulomatosa yang mirip dengan lesi-lesi yang dtemukan pada  $amur dan tuberkulosis
paru. Terdapat beberapa persamaan yang menrik antara enteritis regional dan kolitis ulseratif.
Keduanya adala! penyakit radang, walaupun lesinya berbeda. Kedua penyakit ini
mempunyai manifestasi di luar saluran cerna yaitu uveitis, artritis dan lesi-lesi kulit yang identik.

C. Patofisiologi

 Enteritis regional umumnya terjadi pada remaja atau dewasa muda, tetapi dapat
terjadi kapan saja selama hidup. Keadaan ini sering teri!at pada populasi 50-80 tahun.
Meskipun ini dapat terjadi dimana sa$a disepanjang saluran gastrointestinal, area paling umum
yang serin terkena adalah ilium distal dan kolon.

 Enteritis regional adalah inflamasi kronis dan subkutan yang meluas keseluruh lapisan dinding
usus dari mukosa usus, ini disebut juga transmural. Pembentukan fistula, fisura, dan
abses terjadi sesuai luasnya inflamasi kedalaman peritoneum, lesi (ulkus) tidak pada kontak
terus menerus, granuloma terjadi pada setengah kasus. Pada kasus lanjut mukosa usus
mempunyai penampilan “Coblestone”. Dengan berlanjutnya penyakit, dinding usus menebal dan
menjadi tibrotit" dan lumen usus menyempit. 

D. Patogenesis

Ileum terminal terserang pada sekitar 80% kasus enteritis regional. Pada sekitar 35% kasus lesi-
lesi terjadi pada kolon. Esofagus dan lambung lebih jarang terserang. Dalam
beberapa !al terjadi lesi “melompat” yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh daerah-
daerah usus normal sepanjang beberapa inci atau kaki. Lesi diduga mulai pada kelenjar limfe
dekat usus halus yang akhirnya menyumbat aliran s a l u r a n l i m f e . S e l u b u n g s u b m u k o s a
u s u s j e l a s m e n e b a l a k i b a t h i p e r p l a s i a j a r i n g a n l i m f o i d d a n limfedema. Dengan
berlanjutnya proses patogenik, segmen usus yang terserang menebal sedemikian rupase!ingga
kaku seperti slang kebun, lumen usus menyempit, sehingga hanya sedikit dilewati
barium, menimbulkan “string sign” yang terlihat pada radiogram. Seluruh dinding
usus terserang. Mukosa sering kali meradang dan bertukak disertai eksudat yang putih abu-
abu.

E.Tanda Dan Gejala

Para penderita mengeluh mengenai sakit perut yang berulang-ulang, sering mendapat serangan
diare, atau sebaliknya susah buang air besar, kadang-kadang panas, nafsu
m a k a n b e r k u r a n g d a n  penurunan berat badan.

Perdarahan per anum sering disebabkan radang pada kolon. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan benjolan atau rasa penuh pada perut bagian bawah, lebih sering di sisi kanan.
Komplikasi yang sering terjadi dari peradangan ini adalah penyumbatan usus" saluran
penghubung yang abnormal (fistula) dan kantong berisi nanah (abses).

Bila Penyakit Crohn menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita


juga bisa mengalami :

1. Peradangan sendi (artritis)


2. Peradangan bagian putih mata (episkleritis)
3. Luka terbuka di mulut (stomatitis aftosa)
4. Nodul kulit yang meradang pada tangan dan kaki (eritema nodosum)
5. Luka biru-merah di kulit yang bernanah (pioderma gangrenosum).

Jika Penyakit Crohn tidak menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita
masih bisa mengalami :

1.peradangan pada tulang belakang (spondilitis ankilosa)

2.peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis)

3.p e r a d a n g a n d i d a l a m m a t a ( u v e i t i s )

4 . peradangan pada saluran empedu (kolangitis sklerosis primer).

Pada anak-anak, gejala-gejala saluran pencernaan seperti sakit perut dan


diare sering bukan merupakan gejala utama dan bisa tidak muncul sama
s e k a l i . G e j a l a u t a m a n y a m u n g k i n b e r u p a  peradangan sendi, demam, anemia atau
pertumbuhan yang lambat. Pola umum dari Penyakit Crohn. Gejala-gejala Penyakit Crohn pada
setiap penderitanya berbeda, tetapi ada 4 pola yang umum terjadi, yaitu :

1.Peradangan : nyeri dan nyeri tekan di perut bawah sebelah kanan

2.Penyumbatan usus akut yang berulang, yang menyebabkan kejang dan nyeri hebat
di dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan muntah-muntah.

3.Peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun, yang


m e n y e b a b k a n k u r a n g g i z i d a n kelemahan menahun

4.Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi


n a n a h ( a b s e s ) , y a n g s e r i n g menyebabkan demam, adanya massa dalam perut yang terasa
nyeri dan penurunan berat badan.

Komplikasi

Pada kasus yang menahun, timbul striktura yang menyebabkan obstruksi, fistel-fistel antara
ususdan usus kecil atau antara usus dan kandung kemih atau fistel antara usus dan
kulit. Di sekitar anust e r d a p a t f i s t e l - f i s t e l , f i s u r - f i s u r d a n a b s e s - a b s e s .
P e r d a r a h a n y a n g b a n y a k a t a u p e r f o r a s i j a r a n g terjadi. Begitu pula jarang
terjadi dilatasi akut. Karsinoma kolon dulu diduga tidak begitu sering akan tetapi
sekarang kasus. Karsinoma lebih sering ditemukan pada kolitis Crohn. Kadang-
kadang timbul hiperoxaluria dan batu oxalat. Proses radang dapat menjalar ke ureter yang
menyebabkan pyelonephritis yang berulang, stenosis pada ureter dan hidronefrosis.

Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kram perut yang terasa nyeri dan diare
berulang, t e r u t a m a p a d a p e n d e r i t a y a n g j u g a m e m i l i k i p e r a d a n g a n p a d a
s e n d i , m a t a d a n k u l i t . T i d a k a d a pemeriksaan k!usus untuk mendeteksi Penyakit
Crohn, namun pemeriksaan darah bisa menunjukan adanya :

1 a n e m i a

2.peningkatan abnormal dari jumlah sel darah putih k a d a r albumin yang


rendah

3.tanda-tanda peradangan lainnya

Barium enema bisa menunjukkan gambaran yang khas untuk Penyakit Crohn pada
usus besar. Jika masih belum pasti, bisa dilakukan pemeriksaan kolonoskopi
(pemeriksaan usus besar) dan biopsi untuk memperkuat diagnosis. CT scan bisa
memperlihatkan perubahan di dinding usus dan menemukan adanya abses, namun tidak
digunakan secara rutin sebagai pemeriksaan diagnostik awal.

Prognosis

Beberapa penderita sembuh total setelah suatu serangan yang mengenai usus halus.
Tetapi Penyakit Crohn biasanya muncul lagi dengan selang waktu tidak teratur
sepanjang hidup penderita. Kekambuhan ini bisa bersifat ringan atau berat, bisa sebentar atau
lama

Mengapa gejalanya datang dan pergi dan apa yang memicu episode baru atau yang
menentukankeganasannya tidak diketahui. Peradangan cenderung berulang pada daerah usus
yang sama, namun bisa menyebar pada daerah lain setelah daerah yang pernah terkena diangkat
melalui pembedahan. Penyakit Crohn biasanya tidak berakibat fatal. Tetapi beberapa
penderita meninggal karena kanker saluran  pencernaan yang timbul pada Penyakit Crohn
yang menahun.

I. Pengobatan

Pada dasarnya pengobatan medis-konseratif dengan diit dan obat-obat lebih baik
dari pada pembedahan.

Diit : Makanan sebaiknya lunak, tidak merangsang, rendah lemak dan tinggi serat. Dahulu
dianjurkan rendah serat, akan tetapi kemudian ternyata bahwa tinggi serat lebih baik. Rendah
serat hanya diberikan bila ada steatorea atau ada striktura.

Obat-obat :

Kortikosteroid :baik pada penyakit yang aktif. Dosis sama dengan kolitis ulserosa.

Salazoprin : juga baik untuk penyakit yang aktif akan tetapi kurang memuaskan untuk
pengobatan”maintenance”.
Azathioprine: dapat dicoba pada mereka yang tidak menunjukkan perbaikan atau
kambuh lagi dengan obat-obat lain.

Metronidazole :  d a p a t m e m b e r i k a n h a s i l y a n g b a i k b i l a a d a s e p s i s . L a p o r a n -
laporan yang terakhir  menyebutkan hasil yang memuaskan pada kasus
d e n g a n f i s t u l a . C i s t u l a t e r s e b u t m e n u t u p s e t e l a h  pengobatan dengan
metronidazole. Dahulu, adanya fistel merupakan indikasi untuk operasi akantetapisekarang
metronidazole merupakan alternatif yang lebih baik.

Pembedahan :

Indikasi untuk pembedahan adalah :

1.kelainan-kelainan perianal

2.obstruksi

3.bila ada perdara!an yang banyak

4. adanya keganasan

5.bila pengobatan dengan obat-obat dan diit tidak memberikan hasil yang baik

Pada pembedahan selalu dikerjakan suatu end-to-end anastomosis dan reseksi harus dibatasi
pada bagian yang perlu diangkat saja. Tindakan bypass harus dihindari karena sering
menimbulkan residif dandisertai dengan timbulnya banyak kuman-kuman dan
malabsorpsi. Tiap tindakan pembedahan harus dilindungi oleh kortikosteroid.

Penatalaksanaan

Terapi Medikamentosa

Penatalaksanaan medikamentosa Crohn’s disease dapat dibagi menjadi terapi


terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam terapi terhadap
kekambuhan akut, pemicu-  pemicu seperti infeksi yang mendasari, fistula, perforasi, dan
proses patologi lainnya harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya terapi
glukokortikoid intravena.

Obat-obatan yang digunakan dalam terapi terapi Crohn’s disease mencakup antibiotika,
aminosalisilat, kortikosteroid, dan imunomodulator.

Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau metilprednisolon


intravena s e r i n g d i g u n a k a n s e b a g a i t a m b a h a n t e r h a d a p m e t r o n i d a z o l e
d a n p e n g i s t i r a h a t a n u s u s . Penggunaan terapi steroid terbatas untuk mencapai
respons yang cepat dalam waktu singkat karena pada penggunaan jangka lama mempunyai
berbagai efek samping, seperti osteonecrosis, myopati, osteoporosis, dan gangguan
pertumbuhan. Dapat pula digunakan inhibitor imunitas yang diperantarai sel yaitu
cyclosporine secara intravena jika pasien menunjukkan respons yang buruk terhadap terapi
kortikosteroid.

Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus.


A m i n o s a l i s i l a t merupakan terapi pilihan karena aktivitas anti inflamasinya. Berbagai obat
telah digunakan, yang masing-masing mempunyai target lokasi yang berbeda pada usus.
Sulfasalazine dan balsalazide terutama dilepaskan di colon. Dipentum dan asacol
terutama dilepaskan di ileum distal dan colon. Pentasa dapat dilepaskan di
duodenum hingga colon bagian distal, sementara Rowasa secara spesifik digunakan
untuk rectum dan colon bagian distal.

Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah modulator sistem imun


non-steroid yang dapat ditoleransi dengan baik. Azathioprine, yang secara non-enzymatis
dikonversi di d a l a m t u b u h m e n j a d i 6 - m e r c a p t o p u r i n e , s e l a n j u t n y a
d i m e t a b o l i s m e m e n j a d i a s a m thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor sintesa
purin. Efek samping dari azat!ioprine and 6-mercaptopurine jarang terjadi dibandingkan dengan
steroid.

Methotrexate, efektif untuk pasien-pasien yang tidak memberikan respons terhadap


azathioprine dan 6-mercaptopurine. Efek samping utamanya mencakup leukopenia,
nyeri pada saluran /erna" dan pneumonitis hipersensitivitas

Terapi yang baru adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang merupakan anti TNF-α yang
semakin luas dipergunakan dan menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan
adanya peningkatan tingkat remisi hingga 48% setelah 4 minggu terapi dan dengan penutupan
fistula secara sempurna pada 55% pasien setelah 80 hari pemberian infliximab. Obat-
obat lain seperti m y c o p h e n o l a t e t e l a h d i k e m b a n g k a n u n t u k m e n g h a m b a t
s i n t e s a n u k l e o t i d a g u a n i n d a n o l e h karena itu menghambat limfosit B dan T.

Terapi Bedah

Antara 70-80% pasien dengan Crohn’s disease membutuhkan terapi bedah. Indikasi
terapi bedah pada Crohn’s disease mencakup kegagalan terapi
m e d i k a m e n t o s a d a n a t a u timbulnya komplikasi, seperti obstruksi saluran cerna, perforasi
usus dengan pembentukan fistulaatau abses, perforasi bebas, perdarahan saluran cerna,
komplikasi-komplikasi urologis, kanker, d a n p e n y a k i t - p e n y a k i t p e r i a n a l .
T e r a p i b e d a h p a d a p a s i e n d e n g a n C r o h n ’ s d i s e a s e h a r u s ditujukan kepada
komplikasinya" hanya segmen usus yang terlibat dalam komplikasi saja yang
direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk menghindari terjadinya short bowel syndrome.

Anak-anak penderita Crohn’s disease dengan gejala-gejala sistemik seperti


gangguan tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan dengan menjalani terapi
bedah reseksi usus. Meskipun komplikasi ekstraintestinal Crohn’s disease bukan
merupakan indikasi utama terapi  bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah reseksi
usus.

Reseksi segmental usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti dengan anastomosis
merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah Crohn’s disease. Alternatif prosedur lain
darir e s e k s i s e g m e n t a l d a r i l e s i - l e s i y a n g m e n g o b s t r u k s i a d a l a h
s t r i c t u r o p l a s t y . T e k n i k i n i memungkinkan ditinggalkannya daerah
p e r m u k a a n u s u s d a n t e r u t a m a c o c o k u n t u k p a s i e n dengan penyakit yang menyebar
luas dan telah mengalami striktura fibrotik yang mungkin telah pernah menjalani operasi
sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short bowel syndrome. Namun t e k n i k
stricturoplasty mempunyai risiko kekambuhan yang cukup
t i n g g i . P r o s e d u r -  prosedur bypass u s u s kadang-kadang perlu
d i l a k u k a n j i k a t e l a h t e r j a d i a b s e s - a b s e s intramesenterial atau Jika
usus yang sakit telah bersatu membentuk massa inflamasi yang padat, yang tidak memungkinkan
dilakukannya mobilisasi usus. Prosedur bypass (gastrojejunostomy) $uga digunakan Jika telah
terjadi striktura duodenum,dimana prosedur stricturoplasty maupun r e s e k s i s e g m e n t a l
sulit dilakukan. Sejak tahun 1990-an, telah dilakukan prosedur operasi
laparoskopik terhadap pasien-pasien dengan Crohn’s disease, namun hasilnya masih belum
memuaskan dan teknik operasinya sulit.

Komplikasi

Manifestasi ekstraintestinal Crohn’s disease mencakup aptosa oral, ulkus,


eritemanodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari malabsorpsi
k r o n i s  o s t e o n e k r o s i s sebagai akibat terapi steroid kronis: pembentukkan batu
empedu sebagai akibat keterlibatan ileus yang menyebabkan gangguan reabsorpsi garam
empedu; batu oksalat ginjal sebagai akibat d a r i p e n y a k i t c o l o n ; p a n c r e a t i t i s
s e b a g a i a k i b a t d a r i t e r a p i s u l f a s a l a z i n e , m e s a l a m i n e , azathioprine atau
6-mercaptopurine; pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat reseksi bedah; dan
manifestasi-manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi tromboembolik, penyakit
hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis primer.

Abses

Abses terbentuk pada sekitar 15-20% pasien dengan crohn’s disease sebagai akibat
dari pembentukkan saluran sinus atau sebagai komplikasi pembedahan. abses dapat ditemukan di
mesenterium, cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi ekstraperitoneal. Lokasi
tersering abses retroperitoneal adalah fossa ischiorectal, ruang presacral, dan regio
iliopsoas. Ileum terminal merupakan lokasi tersering sumber abses. Abses merupakan salah
satu penyebab utama kematian pada crohn’s disease.
Obstruksi

Abstruksi terjadi pada 20-30% pasien dengan crohn’s disease. Pada awal
perjalanan penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan hilang timbul pada saat
setelah makan, yang disebabkan oleh edema dan spasme usus. Setelah beberapa tahun, inflamasi
yang menetapi n i a k a n s e c a r a b e r t a h a p m e m b u r u k h i n g g a t e r j a d i p e n y e p i t a n
d a n s t r i k t u r l u m e n a k i b a t fibrostenotik.

Fistula

Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari crohn’s disease pada
colon. Komplikasi fistula yang disertai abses atau penyakit berat paling sulit
ditangani. Jal ini terjadi pada pasien dengan crohn’s disease. Peranan terapi
medikamentosa hanyalah untuk mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses
supuratif sebelum dilakukannya terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu dilakukan operasi
untuk meng-evakuasi abses dan, jika tidak ada kontraindikasi berupa sepsis, dilanjutkan
dengan reseksi usus yang sakit. Cistula dapat  berakibat perforasi usus spontan pada 1 G 2;
pasien.

Keganasan

Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada crohn’s disease.
Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah dimana
t e r j a d i p e n y a k i t k r o n i s . Sayangnya, sebagian besar kanker yang berhubungan
dengan crohn’s disease tidak terdeteksi hingga tahap lanjut dan mempunyai
prognosis yang buruk. Selain keganasan saluran cerna, keganasan ekstraintestinal
(misalnya, skuamous cell carcinoma pada pasien dengan penyakit k r o n i s d i d a e r a h
perianal, vulva atau rectal) dan limfoma Jodgkin atau non-Hodgkin juga
terbukti lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan crohn’s disease.
A. Definisi

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran
cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD
teridiri dari 3 jenis, yaitu colitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal
tersebut, maka dimasukkan dalam kategori indeterminate colitis. Hal ini untuk secara praktis
membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya seperti infeksi, iskemia dan radiasi
(Djojoningrat, 2006). Colitis ulseratif merupakan salah satu dari dua tipe Inflammatory Bowel
Disease (IBD), selain Crohn disease. Tidak seperti Crohn disease, yang dapat mengenai semua
bagian dari traktus gastrointestinal, colitis ulseratif seringnya mengenai usus besar, dan dapat
terlihat dengan colonoscopy (Basson, 2011).

http://satyaexcel.blogspot.co.id/2013/04/makalah-penyakit-colitis-ulseratif.html

i. Etiologi

Sampai saat ini etiologi Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa belum jelas. Namun
diduga penyakit ini disebabkan oleh. multifaktor, yang meliputi genetik, pengaruh lingkungan,
integritas mukosa, dan faktor imunologis Beberapa faktor pencetus seperti infeksi, toksin dapat
memicu proses inflamasi dan akan menyebabkan disregulasi respon imunologi mukosa traktus
gastrointestinal pada individu yang rentan.

A. Patogenesis

Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah:

A. Faktor Genetik

Penderita IBD mempunyai faktor predisposisi genetik. Penelitian epidemiologi menunjukkan


bahwa 25% penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD. (penulis lain 10-25%). Pada
kembar monozigot peluang untuk Penyakit Crohn sekitar 42%-58% dan peluang untuk Kolitis
Ulserativa sekitar 6%-17%.

Sampai saat ini telah ditemukan beberapa kelainan kromosom yang berhubungan dengan
Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa atau keduanya. Kromosom 16 (gen IBDI) atau gen
CARD15 berhubungan dengan Penyakit Crohn. Perinuclear antinetrophil antibody (pANCA)
ditemukan pada 70% penderita Kolitis Ulserativa. Kromosom 5 (5q31), 6 (6p21 dan 19p) sering
ditemukan pada penderita IBD.

B. Faktor Lingkungan

Beberapa agen infeksius diduga sebagai penyebab IBD. Akan tetapi, isolasi agen infeksius
dari jaringan IBD tidak dapat membuktikan hubungan antara agen infeksius sebagai etiologi IBD
karena pada IBD sering disertai koloni bakteri oportunistik pada mukosa yang mengalami
inflamasi. Selain itu pemberian antibiotika tidak mempengaruhi perjalanan penyakit IBD.
Sampai ini belum ada data mengenai transmisi secara epidemik agen infeksius pada IBD.

Faktor lingkungan lain yang diduga pencetus IBD adalah stres psikososial, faktor makanan,
seperti pajanan susu sapi atau food additives, asupan serat kurang dan zat toksin lingkungan.

C. Faktor Imunologi

Kelainan respon kekebalan telah diduga mempunyai peranan dalam patogenesis IBD. Pada
IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, sistem kekebalan akan mengalami kelainan regulasi
yang bersifat menetap dan bertindak sebagai lingkaran setan yang mengakibatkan proses
inflamasi. Sel T helper/CD4+ mempunyai peran penting dalam kelainan regulasi sistem
kekebalan pada IBD. Sel Th1 menghasilkan interleukin (IL)-2, interferon (INF)-g, dan tumor
necrosis factor (TNF)-a yang merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin
yang dihasilkan akan merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan granuloma, merupakan
gambaran histologi yang sering ditemukan pada Penyakit Crohn.. Sebaliknya, sel Th2
menghasilkan sitokin seperti IL-4. IL-5, Il-6 dan Il-10, akan merangsang antibody-mediated
immune respons. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan oleh aktivasi antibodi dan
komplemen lebih sering ditemukan pada Kolitis Ulserativa.

Beberapa penelitian telah membuktikan kelainan autoimun dengan adanya antibodi, immune-
complex complement atau aktifitas limfosit terhadap mukosa kolon, namun semua fenomena ini
tidak berlangsung secara konsisten dan tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit. Selain
itu, adanya kerusakan sel mukosa tanpa disertai adanya agen eksogen spesifik, dan respon
terhadap pemberian kortikosteroid dan obat imunosupresif mendukung kemungkinan mekanisme
kelainan kekebalan. Pada Kolitis Ulserativa ternyata berhubungan dengan prevalens atopi
keluarga, dan umumnya disertai dengan kelainan ekstraintestinal seperti eritema nodusum,
artritis, dan uveitis. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum dapat dibuktikan apakah kelainan
kekebalan tersebut mempunyai peranan primer atau sekunder pada patogenesis IBD. Diduga,
kelainan kekebalan poligenik, yang menjelaskan manifestasi klinis yang beragam pada IBD.

Sistem kekebalan humoral lokal saluran gastrointestinal pada IBD diduga mempunyai
kelainan. Pada periode neonatus, defisiensi immunoglobulin A (IgA) sekretori atau fungsi barier
mukosa yang imatur akan menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein di
lumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi peningkatan pajanan terhadap
makromolekul dan sensitasi sistem kekebalan saluran pencernaan terhadap antigen, bakteri atau
alergen makanan dan perubahan sekresi dan komposisi mukus. Pendapat lain mengatakan bahwa
local gut associated lymphoid tissue mengalami sensitasi terhadap antigen, kemudian
membentuk tahapan/dasar yang kemudian hari teraktivasi oleh pajanan cross-reacting antigents
melalui respon imun antibody-dependent cell-mediated.

D. Integritas Epitel
Kelainan barier epitel mukosa akan menyebabkan peningkatan pajanan antigen terhadap
sistem kekebalan traktus gastrointestinal diduga sebagai faktor inisial pada IBD. Pada Penyakit
Crohn dijumpai adanya gangguan integritas mukosa yang menyebabkan meningkatnya
permeabilitas terhadap protein-protein dilumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi
perubahan sekresi dan komposisi mukus. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan antibodi spesifik
terhadap protein susu sapi, produk-produk bakteri enterik, dan protein luminal pada penderita
Penyakit Crohn.

B. Patologi

Inflamasi pada Penyakit Crohn ditandai dengan karakteristik area inflamasi diskret, ulserasi
fokal, aphtae, atau striktur disertai area mukosa yang normal (skip area). Jika mengenai kolon,
sering mengenai kolon ascendens dan jika mengenai daerah anal sering timbul skin tags, fisura
anal, abses serta fistula dan terjadi pada 25% penderita Penyakit Crohn.

Pada Penyakit Crohn terjadi proses inflamasi transmural yang dapat meluas keseluruh lapisan
dinding traktus gastrointestinal dan menyebabkan fibrosis, adhesi striktur, dan fistula. Perubahan
pada mukosa traktus gastrointestinal berupa kriptitis, dan/atau distorsi striktur kripta. Granuloma
nonkaseosus pada lamina propria atau submukosa dapat ditemukan pada lebih dari 50%
penderita. Ditemukannya fibrosis dan proliferasi histiosit di submukosa spesifik untuk Penyakit
Crohn, walaupun perubahan mukosa tersebut dapat terjadi pada penyakit inflamasi usus yang
lain.

Pada Kolitis Ulserativa, proses inflamasi terbatas pada lapisan mukosa rektum dan kolon.
Inflamasi terbatas pada mukosa dan dan secara kontinyu sepanjang kolon dengan berbagai
macam derajat ulserasi, perdarahan, edema, dan regenerasi epitel. Selain itu pada Kolitis
Ulserativa, terjadi kriptitis, abses kripta, dan terjadi distorsi kripta serta hilangnya sel goblet.
Kelainan pada rektum hampir terjadi pada seluruh penderita Kolitis Ulserativa. Inflamsai dapat
terjadi sampai daerah sekum dan mungkin terjadi pada ileum terminal (backwash ileitis).

Pada Kolitis Ulserativa yang berat, setelah epitel mukosa dihancurkan, proses inflamasi
melibatkan daerah submukosa selanjutnya ke bawah menuju daerah muskularis daerah yang
terlibat akan membentuk jaringan pulau-pulau yang dinamakan Pseudopolyps. Penebalan dan
fibrosis dari dinding usus besar sangat jarang terjadi, namun dapat terjadi pemendekan kolon dan
striktur fokal dikolon pada penyakit yang berlangsung lama. Tidak terjadi pembentukan
granuloma dan fibrosis.

C. Epidemiologi.

Insidens IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara berkembang. Di Amerika
Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000 populasi/tahun dan 2,3 kasus
baru Kolitis Ulserativa pada kelompok usia 10-19 tahun. Secara umum, prevalens IBD hampir
sama angka kejadiannya pada laki-laki dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit
putih, didaerah urban, dan terutama bangsa Yahudi, akan tetapi laki-laki mempunyai insidens
20% lebih tinggi pada Penyakit Crohn.

Puncak onset usia IBD bersifat bimodal, dan kasus paling sering terjadi pada usia dekade
ke-2 dan ke-3. Pada anak, Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia 10-16 tahun, dan sekitar
25% kasus baru di populasi berusia <20>.

Pada populasi anak, penelitian epidemiologi pospektif dan retrospektif telah dilakukan di
beberapa negara dalam 10 tahun terakhir. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa insidens
Penyakit Crohn 0,2-5,9 per 100.000 anak/tahun, dan insidens Kolitis Ulserativa 0,5-3,2 per
100.000 anak/tahun.

D. Gejala Klinis

Gejala klinis IBD pada anak berbeda dibanding dewasa. Pada anak, gejala klinis yang
sering dikeluhkan adalah nyeri perut. Selain itu beberapa gejala klinis gastrointestinal yang
sering ditemukan adalah diare, perdarahan rektum, massa abdomen dan kelainan perianal. Onset
klinis IBD dapat terjadi perlahan (insidious), dengan gejala klinis tidak spesifik gastrointestinal
atau gejala ekstraintestinal seperti gagal tumbuh. Hal ini sering menyebabkan terlambat
diagnosis atau diagnosis yang tidak tepat. Gagal tumbuh terjadi pada 10-40% penderita IBD.
Gambaran klinis IBD pada anak tegantung dari lokasi dan luasnsya proses inflamasi traktus
gastrointestinal, gejala klinis ekstrainterstinal, dan akibat penyakit pada tumbuh kembang harus
dipertimbangkan dalam evaluasi diagnosis.

Pada Penyakit Crohn diare, nyeri perut (sering dirasakan setelah makan), kram
periumbilikal, demam, dan penurunan berat badan adalah gejala klinis yang paling umum dan
menandakan adanya inflamasi di usus halus. Perdarahan rektum terjadi jika mengenai kolon.
Gejala klinis ekstraintestinal atau gagal tumbuh mungkin sebagai gejala awal dari Penyakit
Crohn.

Diare yang terjadi terutama disebabkan oleh malabsorbsi akibat inflamasi pada mukosa,
obstruksi parsial yang menyebabkan stasis dan pertumbuhan berlebih dari bakteri, atau dengan
adanya fistula enteroenteral atau enterokolika. Diduga prevalens malabsorbsi pada anak dengan
penyakit Crohn sekitar 17% terhadap laktosa, 29% terhadap lemak, 70% terhadap protein. Diare
berdarah yang menandakan keterlibatan kolon, biasanya disertai nyeri perut dan urgensi untuk
defekasi karena terjadi peningkatan kecepatan transit di kolon dan distensi dari bagian kolon
yang mengalami inflamasi.

Pada umumnya gejala klinis Kolitis Ulserativa berupa diare, peradarahan rektum, nyeri
perut, tenesmus ani dan tinja berdarah yang terjadi secara perlahan (insidious) tanpa disertai
gejala sistemik, berat badan turun, atau hipoalbuminemia. Sekitar 30% anak dengan gejala
sistemik dan disertai diare berdarah, kram, urgensi anoreksi, penurunan berat badan dan demam.
Sebagian dari anak dengan derajat berat akan mengalami kolektomi karena tidak berespon
terhadap terapi medikamentosa.

Gejala ekstraintestinal pada IBD terjadi pada 25-35% penderita. Gejala Klinis
ekstraintestinal yang sering terjadi berupa:

Tempat Manifestasi
Kulit Eritema nodusum, pioderma gangrenosum
Hati Infiltrasi lemak, sclerosing cholangitis, hepatitis kronis
Tulang Kolelitiasis
Sendi Osteopenia, aseptik nekrosis
Mata Artritis, ankylosing spondilitis, sakro-ilitis
Ginjal/urologi Uveitis, episkleritis, kerastitis
Hematologi Nefrolitiasis, hidronefrosis obstruktif, fistula enterovesikal
Vaskular Glomerulonephritis
Pankreas Anemia (defisiensi zat besi, folat, vitamin B12)
Lain-lain Tromboflebitis, vaskulitis, trombosis vena portal
Pankreatitis
Gagal tumbuh, terlambat maturasi seksual

Gejala ekstraintestinal tersebut terbagi menjadi 4 kelompok:

Kelompok 1 :Secara langsung berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus gastrointestinal,


biasanya respon pada terapi kelainan gastrointestinal (seperti demam dan anemia)

Kelompok 2 :Tidak berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus gastrointestinal (seperti


sclerosis cholangitis)

Kelompok 3 :Akibat dari kelainan traktus gastrointestinal (seperti obstruksi uretra)

Kelompok 4 :Timbul akibat dari terapi (seperti drug-induced pancreatitis).

Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah, peripheral form
(10% penderita) umumnya mengenai sendi besar (lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan,
sendi siku) dan biasanya berhubungan dengan inflamasi kolon yang aktif. Yang kedua, adalah
bentuk aksial berupa ankylosing spondilitis atau sakroilitis. Bentuk aksial jarang terjadi pada
anak.
Gambaran ekstraintestinal yang dapat timbul sebagai gejala awal dan petunjuk pada
Penyakit Crohn adalah kelainan perianal, stomatitis, eritema nodusum, eritema sendi besar,
uveitis, dan jari tabuh serta gagal tumbuh. Kelainan perianal lebih sering terjadi pada penyakit
Crohn dibanding Kolitis Ulserativa berupa skin tags, abses perianal, atau fisura dan fistula yang
tidak nyeri. Artritis dapat terjadi pada 11% kasus dan bersifat monoartikular terutama pada lutut
dan pergelangan kaki atau poliartritis migran tanpa disertai kerusakan sendi atau deformitas.
Artritis sering terjadi pada penderita dengan kelainan kolon dan cenderung berhubungan dengan
aktifitas penyakit. Eritema nodusum terjadi pada 5% kasus dan berhubungan dengan aktivitas
penyakit terutama inflamasi pada kolon. Uveitis yang terjadi berupa simtomatik pada 3% anak
dan asimtomatik pada 30% anak. Gagal tumbuh terjadi pada 87% anak, dan disertai dengan
osteoporosis serta gangguan maturasi seksual.

Seperti halnya pada penyakit Crohn, pada Kolitis Ulserativa terjadi gejala klinis
ekstraintestinal. Gejala ekstraintestinal yan sering dijumpai seperti artritis sendi besar, lesi kulit
pioderma gangrenosum atau eritema nodusum (lebih sering pada Penyakit Crohn) dan gagal
tumbuh. Selain itu, insidens kelainan hepatobilier pada Kolitis Ulserativa mencapai 5-10% dan
kelainan yang sering ditemukan adalah sclerosing cholangitis.

Derajat berat gejala klinis Penyakit Crohn terbagi 3 kriteria yaitu:

Ringan-sedang : Dapat mentoleransi diet secara oral tanpa dehidrasi, demam, nyeri perut, massa
abdomen, obstruksi, atau penurunan berat badan >10%

Sedang-berat : Tidak respon terhadap terapi derajat ringan-sedang atau gejala demam menetap,
penurunan berat badan yang tidak signifikan, nyeri perut, mual dan muntah intermiten (tanpa
adanya obstruksi), atau anemia yang signifikan.

Berat-fulminan : Gejala klinis yang persisten meskipun telah mendapat kortikosteroid, atau
penderita dengan demam tinggi, muntah persisten, obstruksi intestinal, kaheksia atau abses intra
abdominal.

Pada Kolitis Ulserativa, setidaknya terdapat 4 bentuk gejala dan tanda klinis yang
berhubungan dengan derajat peradangan mukosa dan gangguan sistemik.

Prodromal (<5%) : Kegagalan pertumbuhan, artropati, eritema nodusum, occult fecal blood.
Peningkatan LED, nyeri perut tidak khas, atau perubahan pola defekasi.

Ringan (50-60%) : Diare, perdarahan rektum ringan, nyeri perut, tidak ada gangguan sistemik

Sedang (30%) : Diare berdarah, kram, urgensi, abdominal tenderness Gangguan sistemik:
anoreksia, penurunan berat badan, panas badan, anemia ringan
Berat (10%) : Defekasi berdarah >6x/hari, abdominal tenderness dengan atau tanpa distensi,
takikardia, panas badan, penurunan berat badan, anemia yang signifikan, lekositosis dan
hipoalbuminemia.

Komplikasi

Inflamasi transmural dari lapisan mukosa hingga serosa merupakan penyebab komplikasi
intestinal tersering pada Penyakit Crohn, sehingga terjadi adhesi, striktur, dan abses, yang
meningkatkan resiko obstruksi serta pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan fistula.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa keganasan, malnutrisi dan gagal tumbuh. Fistula dapat
terjadi enterokutan, enteroenteral, enterokolika, perirektal, labial, enterovaginal, dan
enterovesikal.

Komplikasi Kolitis Ulserativa yang mengancam jiwa adalah megakolon toksik dan
merupakan kasus kegawatan medis dan kegawatan bedah. Anak dengan megakolon toksik
mempunyai risiko tinggi untuk perforasi kolon, sepsis akibat bakteri gram negatif dan
perdarahan masif. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi berupa striktur dan keganasan.

Diagnosis

Diagnosis penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
radiologi, gambaran mukosa dengan endoskopi, dan histopatologi.

A. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis yang lengkap tentang gejala gastrointestinal, gejala sistemik, riwayat keluarga,
gagal tumbuh, adanya keterlambatan perkembangan dan kematangan seksual serta manifestasi
ekstraintestinal. Pemeriksaan fisik tanda-tanda dehidrasi, status nutrisi dan gejala ekstraintestinal.
Adanya hipotensi ortostatik, takikardia, distensi abdomen dan adanya massa merupakan indikasi
parahnya penyakit dan memerlukan perawatan.

B. Pemeriksaan Laboratorium

Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk IBD. Pemeriksaan
laboratorium dapat membantu dalam menilai keberhasilan pengobatan, petanda inflamasi,
petanda gejala klinis ekstraintestinal dan status nutrisi. Pemeriksaan feses rutin dan biakan
mikroorganisme feses dilakukan untuk eksklusi penyakit infeksi.

Dua petanda antibodi spesifik IBD telah diketahui antibodi tersebut adalah perinuclear
antineutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) dan antibodi anti saccharomyces cervisiae
(ASCA). Antibodi pANCA ditemukan pada 80% Kolitis Ulserativa dan 45% pada Penyakit
Crohn. Sedangkan antibodi ASCA ditemukan pada 60-70% Penyakit Crohn dan 14% pada
Kolitis Ulserativa. Pada 2 penelitian seroepidemiologi menunjukkan bahwa kombinasi pANCA
positif dan ASCA negatif mempunyai prediksi positif Kolitis Ulserativa sebesar 88-92%.
Sedangkan kombinasi pANCA negatif dan ASCA positif mempunyai nilai prediksi positif
Penyakit Crohn 95-96%.

C. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi abdomen posisi tegak dan terlentang untuk mengevaluasi dilatasi
kolon dan eksklusi obstruksi yang berhubungan dengan ileus, obstruksi, pneumoperitonium
karena perforasi. Barium enema dapat menilai karakteristik dan luas kelainan kolon, akan tetapi
tidak boleh dilakukan pada penyakit akut (active disease), yaitu kolitis aktif karena dapat
menyebabkan dilatasi toksik. Pada kolitis ringan dan sedang tanpa distensi abdomen, barium
enema dengan double contrast dapat mendeteksi kelainan mukosa berupa karakteristik lesi,
deformitas sekum, kelainan segmental/seluruh kolon. Pemeriksaan barium enema dapat
menentukan adanya pemendekan vili, hilangnya haustrae, pseudopoli, striktur dan spasme pada
IBD. Pemeriksaan radiologi traktus gastrointestinal atas dengan follow trough sampai dengan
usus halus dapat menentukan ada/tidaknya kelainan pada usus halus. Pada Penyakit Crohn, ileum
terminal tampak rigid, konstriksi, dan nodular dengan deformitas akibat proses inflamasi
transmural. Pada Kolitis Ulserativa dapat ditemukan backwash-ileitis, berupa gambaran mukosa
yang menghilang dan ileum terminal dilatasi tanpa disertai penebalan dinding. Selain itu, tidak
ditemukan kelainan lain dari usus halus pada Kolitis Ulserativa.

Kelainan yang dapat dilihat pada pemeriksaan barium enema dengan double contrast
kolon penderita IBD adalah.

 Gambaran stove-pipe
 Gambaran rectal sparing
 Gambaran thumbprinting
 Gambaran skip lesion
 Gambaran string sign
 Gambaran collar button

Pemeriksaan lain yang dapat membantu adalah ultrasonografi dan CT scan. Pemeriksaan
tersebut terutama untuk menentukan adanya abses intra abdomen.

D. Pemeriksaan Endoskopi

Kolonoskopi secara visual langsung mukosa dengan biopsi mukosa pada kolon dan ileum
termminal merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik pada IBD. Kontraindikasi
kolonoskopi pada kolitis yang berat, karena resiko perforasi, perdarahan dan menginduksi
megakolon toksik.
Kelainan mukosa pada Penyakit Crohn berupa lesi diskret atau aphthae pada mukosa
dengan eksudat sentral dan eritema dan gambaran cobblestone-like appearance. Diantara daerah
lesi terdapat daerah mukosa yang normal (skip area). Pada Kolitis Ulserativa, kelainan mukosa
difus dan kontinyu dengan edema, eritema, dan erosi mukosa serta pseudopolyp.

Kolonoskopi pada penderita IBD dapat digunakan untuk tindakan terapi. Tindakan yang
sering dilakukan berupa dilatasi striktur pada Penyakit Crohn dan injeksi intralesi kortikosteroid
(triamnisolon 5 mg pada 4 kuadran) dapat membantu untuk mencegah pembentukan striktur
berulang.

Diagnosis Banding

Gejala klinis dan ektraintestinal yang beragam menyebabkan diagnosis Penyakit Crohn
dan Kolitis Ulserativa sulit ditegakkan. Beberapa kelainan yang menyerupai IBD adalah Chronic
inflamatory-like intestinal disorder seperti enterokolitis karena infeksi (bakteri dan parasit,
kelainan sistem imunitas (seperti gastroenteritis eosinofilik), kelainan vaskular (seperti vaskulitis
sistemik, Henoch-Scholein Purpura, sindrom hemolitik-uremik) dan kolitis Hisrchsprung serta
limfoma intestinal, serta keganasan.

Penatalaksanaan

Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah komplikasi dan
mencegah relaps atau perburukan penyakit, memeperbaiki status nutrisi dan kualitas hidup.

Konsultasi ke bagian Gizi dilakukan karena gagal tumbuh sering terjadi pada penderita
IBD. Tujuan dari dukungan nutrisi adalah pemulihan hemostasis metabolisme dengan koreksi
defisit nutrien dan mengganti ongoing losses; kecukupan energi, protein dan mineral untuk
keseimbangan positif nitrogen dan penyembuhan. Sampai saat belum diketahui zat makanan
tertentu yang menyebabkan aktivasi IBD. Pemberian nutrisi enteral mungkin mempengaruhi
proses inflamasi pada Penyakit Crohn, tetapi tidak mempunyai penranan dalam proses inflamasi
pada Kolitis Ulserativa.

A. Terapi Medikamentosa

Medikamentosa yang digunakan untuk induksi remisi, mempertahankan remisi,


mencegah dan mengurangi relaps adalah:

1. Aminosalisilat (ASA), terutama untuk mempertahankan remisi. Dosis tinggi digunakan


untuk induksi remisi.
a. Sulfasalasin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis, dapat ditingkatkan sampai 75
mg/kg
b. Mesalamin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam2-4 dosis (maksimal 3,2g/hari)
c. Olsalazin, dosis 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis
2. Kortikosteroid, untuk induksi remisi. Tidak berperan dalam mempertahankan remisi.

a. Prednison, dosis: 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal atau dosis terbagi


b. Metilprednisolon, dosis: 2 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis

3. Imunomodulator, digunakan untuk induksi dan mempertahankan remisi.

a. Azathioprine, dosis: 2-2,5 mg/kg/hari dosis tunggal


b. 6-Mercatopurin, dosis: 1,5 mg/kg/hari dosis tunggal

4. Anti-tumor necrosis factor untuk induksi remisi

a. Infliximab merupakan antibodi monoklonal anti-TNF-alfa. Infliximab, dosis: 5 mg/kg


dilarutkan dengan 250 ml NaCl fisiologis secara intravena. Infliximab dosis tunggal
untuk Penyakit Crohn derajat moderat-berat atau pada fistula dengan dosis 5mg/kg dalam
2 jam 3 kali pada minggu 0, 2, dan 6, sering diikuti pemberian setiap 8 minggu. Data
penggunaan infliximab pada Kolitis Ulserativa tidak sebaik pada Penyakit Crohn.

5. Antibiotika

a. Metronidazole, dosis: 30-50 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Metronidazole diberikan pada


kelainan perianal Penyakit Crohn.

Terapi medikamentosa pada Kolitis Ulserativa tergantung dari derajat berat dan luasnya
inflamasi. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk mengendalikan proses inflamasi,
menghilangkan gejala klinis, mencegah komplikasi, dan mencegah relaps, serta mempersiapkan
untuk tindakan bedah karena 20% penderita akan mengalami tindakan bedah. Luasnya inflamasi
terbagi menjadi 2 tipe yaitu:

a. Tipe distal, inflamasi terbatas pada kolon dibawah fleksura llienalis dan dapat dicapai
dengan terapi topical
b. Tipe ekstensif, inflamasi meluas kearah proksimal dari fleksura lienalis dan memerlukan
terapi sistemik.

Pada Penyakit Crohn sampai saat ini belum ada terapi definitif, penatalaksanaan
umumnya terdiri dari terapi medikamentosa dan dukungan nutrisi. Sampai saat ini, belum ada
regimen medikamentosa yang dapat mempengaruhi outcome jangka panjang Penyakit Crohn.
Oleh karena itu, medika mentosa digunakan untuk serangan eksaserbasi dan mengurangi
frekuensi serangan eksaserbasi.

B.Terapi Bedah
Pendekatan terapi bedah pada IBD tergantung dari jenis dan berat penyakit. Tujuan terapi
bedah pada Kolitis Ulserativa dan Penyakit Crohn berbeda. Karena kelainan Kolitis Ulserativa
terbatas pada kolon, maka total kolektomi merupakan terapi definitif. Akan tetapi, pada Penyakit
Crohn dimana kelainan traktus gastrointestinal dapat terjadi mulai dari mulut sampai anus, saat
ini belum ada terapi bedah definitif.

Indikasi bedah Penyakit Crohn adalah:

a. Obstruksi traktus gastrointestinal


b. Fistula
c. Abses
d. Perdarahan yang tidak terkontrol
e. Megakolon toksik
f. Perforasi
g. Penyakit fulminan yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa
h. Gagal tumbuh dengan kelainan mukosa traktus gastrointestinal yang terbatas (localized
disease)

Indikasi bedah untuk Kolitis Ulserativa adalah:

a. Megakolon toksik
b. Perdarahan yang masif/tidak terkontrol
c. Perforasi
d. Prolonged corticostreoid dependent
e. Komplikasi akibat kortikosteroid pada penyakit kronis aktif
f. Gagal tumbuh setelah mendapat dukungan nutrisi
g. Displasia epitel dan resiko tinggi keganasan
h. Penyakit yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa
i. Striktur

C. Peran Probiotik dan Prebiotik

Peranan probiotik dan prebiotik pada IBD masih belum jelas. Akhir-akhir ini banyak
penelitian pemberian probiotik dan prebiotik pada penderita IBD. Probiotik dapat mengubah
flora traktus gastrointestinal dengan mekanisme kompetitif, menghasilkan zat antimikroba, atau
mempengaruhi respon kekebalan lokal. Ada juga yang mengatakan bahwa interaksi probiotik
dengan sel epitel dapat mempercepat penyembuhan proses inflamasi. Efek prebiotik dapat
ditingkatkan dengan pemberian prebiotik yang dapat merangsang pertumbuhan probiotik.

Pada anak, penelitian probiotik pada IBD menunjukkan bahwa pemberian Lactobacillus
casei strain GG pada Penyakit Crohn meningkatkan respons kekebalan IgA traktus
gastrointestinal. Penelitian lain menunjukkan bahwa probiotik dapat memperbaiki gejala kllinis
dan permeabilitas traktus gastrointestinal pada pada penyakit Crohn. Penelitian pemberian
prebiotik dan probiotik (sinbiotik) pada penderita Kolitis Ulserativa mempercepat perbaikan
gejala klinis.

Prognosis

Inflamatory bowel disease ditandai dengan periode eksaserbasi dan remisi. Sebagian
besar anak (70%) dengan Kolitis Ulserativa mengalami remisi dalam 3 bulan setelah terapi
inisial dan kurang lebih 50% remisi dalam 2 tahun. Koletomi dalam 5 tahun setelah diagnosis
terjadi pada 26% kasus derajat berat dibanding 10% kasus derajat ringan. Anak dengan proktitis,
70% akan mengalami penyakit lebih ekstensif dikemudian hari.

Hanya 1% anak dengan penyakit Crohn tidak mengalami relaps setelah didiagnosis dan
terapi inisial. Anak dengan ileokolitis cenderung untuk mengalami respon buruk terhadap terapi
medikamentosa. Sekitar 70% anak dengan Penyakit Crohn akan mengalami tindakan bedah
dalam 10-20 tahun setelah diagnosis.

Selain itu, pada IBD cenderung untuk terjadi keganasan pada kolorektal. Resiko
keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis Ulserativa. Dalam 8-10
tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua
faktor resiko utama untuk adenokarsinoma adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10
tahun) dan luas colitis (pankolitis > left-sided colitis > proktitis).

http://referensikedokteran.blogspot.co.id/2010/07/referat-inflammatory-bowel-disease-ibd.html

Anda mungkin juga menyukai