Anda di halaman 1dari 14

BAB III : PRAPERADILAN

1. Pengertian Praperadilan
Praperadilan dalam KUHAP, ditempatkan pada Bab X, Bagian Kesatu, sebagai salah
satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. Ditinjau dari segi
struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri
sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang
memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperadilan adalah suatu
lembaga yang ciri dan eksistensinya :
a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai
lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan
tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri,
b. Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan
Negeri,
c. Administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan Pengadilan
Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan Ketua
Pengadilan Negeri,
Eksistensi Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri. Tetapi
merupakan pemberian wewenang dan fungsi yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap
Pengadilan Negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah
ada selama ini. Kalau selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili dan
memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas pokok maka terhadap tugas
pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan penyidik atau
penuntut umum, yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada Praperadilan. Hal
yang diuraikan di atas, dapat dibaca dalam rumusan Pasal 1 butir 10, yang menegaskan :
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus :
“Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan, permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan”.

2. Tujuan Praperadilan
Pada prinsipnya tujuan utama Praperadilan dalam KUHAP adalah untuk melakukan
"pengawasan horizontal" atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka
selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar
tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan UU.
Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan
tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum
untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan
sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan terhadap tersangka, pada hakikatnya
merupakan perlakuan yang bersifat :
“Tindakan paksa yang dibenarkan UU demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana
yang disangkakan kepada tersangka, juga sebagai tindakan paksa yang dibenarkan
hukum dan UU, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan
kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka”.
Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan
pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus
dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan UU yang berlaku (due
process of law). Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan
UU merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka oleh sebab itu tersangka dapat
membela diri dengan cara mem-Praperadilan-kan.

3. Wewenang Praperadilan
a. Memeriksa dan Memutus Sah atau Tidaknya Upaya Paksa
Inilah wewenang pertama yang diberikan UU kepada Praperadilan. Memeriksa
dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan. Berarti, seorang
tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan atau
penyitaan, dapat meminta kepada Praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya
tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukan
pemeriksaan kepada Praperadilan, bahwa tindakan penahanan yang dikenakan pejabat
penyidik bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP. Atau penahanan yang
dikenakan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan Pasal 24. Mengenai syarat
penahanan, yang sah sudah diterangkan dalam pembahasan yang bersangkutan dengan
hal-hal tersebut.
b. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian
Penuntutan
Kasus lain yang termasuk ke dalam ruang lingkup Praperadilan ialah memeriksa
dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan pejabat
penyidik maupun tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan
oleh penuntut umum.
Seperti yang sudah diterangkan pada bagian penyidikan dan penuntutan, baik
penyidik maupun penuntut umum berwenang menghentikan pemeriksaan penyidikan
atau penuntutan. Mengenai alasan penghentian sudah dijelaskan. Hasil pemeriksaan
penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang
pengadilan. Atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan
atau pelanggaran tindak pidana.
Mungkin juga penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan penyidik atau
penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena ternyata apa yang disangkakan
kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan
putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian dilakukan
penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada
tersangka terdapat unsur kedaluwarsa untuk menuntut. Oleh karena itu, apabila dalam
pemeriksaan penyidikan atau penuntutan dijumpai unsur kedaluwarsa dalam perkara
yang sedang diperiksa, wajar penyidikan atau penuntutan dihentikan. Apabila
penyidikan atau penuntutan dihentikan perkara yang bersangkutan tidak diteruskan ke
sidang pengadilan.
Akan tetapi, apakah selamanya alasan penghentian penyidikan atau penuntutan
sudah tepat dan benar menurut ketentuan UU ? Mungkin saja alasan penghentian
ditafsirkan secara tidak tepat ! Bisa juga penghentian sama sekali tidak beralasan. Atau
penghentian itu dilakukan untuk kepentingan pribadi pejabat yang bersangkutan. Oleh
karena itu, bagaimanapun mesti ada lembaga yang berwenang memeriksa dan menilai
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, supaya tindakan itu tidak
bertentangan dengan hukum dan kepentingan umum maupun untuk mengawasi
tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of authority). Untuk itu terhadap
penghentian penyidikan, UU memberi hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga
yang berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan kepada Praperadilan tentang sah
atau tidaknya penghentian penyidikan tersebut. Demikian pula sebaliknya, penyidik
atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan sah atau
tidaknya penghentian penuntutan kepada Praperadilan.
c. Berwenang Memeriksa Tuntutan Ganti Rugi
Pasal 95 mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan tersangka,
keluarganya atau penasihat hukumnya kepada Praperadilan. Tuntutan ganti kerugian
diajukan tersangka berdasarkan alasan :
”Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah, atau penggeledahan atau
penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan UU, karena kekeliruan
mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa”.
d. Memeriksa Permintaan Rehabilitasi
Praperadilan berwenang memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang
diajukan tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya atas penangkapan atau
penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan UU. Atau rehabilitasi atas kekeliruan
mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke
sidang pengadilan.
e. Praperadilan Terhadap Tindakan Penyitaan
Dalam KUHAP, penerapan upaya paksa ini diatur dalam dua sistem :
1). Mengenai tindakan upaya paksa yang berkenaan dengan penangkapan (Pasal 16
KUHAP) dan penahanan (Pasal 20 dan seterusnya, KUHAP); merupakan
kewenangan inheren dari setiap aparat penegak hukum berdasar diferensiasi
fungsional secara instansional tanpa campur tangan (intervensi) atau bantuan dari
aparat penegak hukum lain,
2). Sebaliknya, mengenai tindakan upaya paksa penggeledahan (Pasal 32 KUHAP)
dan penyitaan (Pasal 38 KUHAP), memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri
setempat.

4. Proses Pemeriksaan Praperadilan


Proses pemeriksaan sidang Praperadilan diatur oleh KUHAP dlm Bab X, Bagian
Kesatu, mulai dari Pasal 79 s.d. Pasal 83.
Tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan dijelaskan sbg berikut :
a. Yang Berhak Mengajukan Permohonan
1). Tersangka, Keluarganya, atau Kuasanya
Pasal 79 KUHAP, yang mengatur berhak mengajukan permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan. Sedangkan
dalam Pasal 83 ayat (3) huruf d KUHAP, mengatur mengenai sah atau tidaknya
penggeledahan dan penyitaan.
2). Penuntut Umum dan Plhak Ketiga yang Berkepentingan
Menurut Pasal 80, Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan,
dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian
penyidikan. Apabila instansi penyidik menghentikan pemeriksaan penyidikan.
Siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam Pasal
80 tersebut ? Kalau mengenai penuntut umum semua kita sudah mengetahuinya.
Dan memang wajar, hukum memberi hak kepada penuntut umum untuk menguji
sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan penyidik. Malahan hal
ini sesuai dengan prinsip saling mengawasi di antara instansi aparat penegak
hukum. Tetapi mengenai pihak ketiga yang berkepentingan, tidak dijelaskan lebih
lanjut dalam UU, dalam tindakan penghentian penyidikan. Secara umum, pihak
ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan perkara pidana, ialah saksi yang
menjadi korban dalam peristiwa pidana yang bersangkutan. Para saksi korban yang
paling berkepentingan dalam pemeriksaan tindak pidana. Kalau begitu, yang
dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam tindakan penghentian
penyidikan ialah saksi yang langsung menjadi korban dalam peristiwa pidana.
3). Penyidik atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan
Kalau dlm penghentian penyidikan penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan yang tampil mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau
tidaknya penghentian penyidikan, dalam penghentian penuntutan penyidik atau
pihak ketiga yang berkepentingan yang diberi hak untuk mengajukannya. Di sini
terjadi timbal balik. Pada penghentian penyidikan, penuntut umum yang diberi hak
utk mengawasi penyidik, sedang dalam penghentian penuntutan penyidik yang
diberi hak untuk mengawasi.
4). Tersangka, ahli Warisnya, atau Kuasanya
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 95 ayat (2) KUHAP, bahwa tersangka,
ahli warisnya, atau penasihat hukumnya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian
kepada Praperadilan atas alasan :
- penangkapan atau penahanan yang tidak sah,
- penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau
- karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya
tidak diajukan ke sidang pengadilan.
5). Tersangka atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Menuntut Ganti Rugi
Menurut ketentuan Pasal 81, tersangka atau pihak ketiga yang
berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan
atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan.
Kalau Praperadilan memutuskan penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan sah, putusan yang mengesahkan penghentian itu memberi alasan
kepada tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan
permintaan ganti kerugian kepada Praperadilan. Sebaliknya, kalau Praperadilan
menyatakan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah,
sehingga penyidikan atau penuntutan dilanjutkan, dengan sendirinya menutup
pintu bagi tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti
kerugian. Dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, tuntutan
ganti kerugian dapat diajukan tersangka kepada Praperadilan :
a). Jika penghentian itu tidak diajukan ke Praperadilan.
Misalnya penyidik menghentikan pemeriksaan penyidikan. Atas
penghentian itu baik penuntut umum maupun pihak ketiga yang
berkepentingan tidak mengajukannya ke Praperadilan, sehingga dengan
demikian penghentian itu sah di luar putusan Praperadilan. Dalam peristiwa
yang seperti ini, memberi hak kepada tersangka menuntut ganti kerugian atas
alasan penghentian penyidikan.
b). Jika penghentian diajukan ke Praperadilan, dan menyatakan penghentian sah.
Misalnya, penuntut umum menghentikan penuntutan. Atas tindakan itu
penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian dimaksud. Ternyata
Praperadilan memutuskan, penghentian penuntutan sah. Dalam peristiwa yang
seperti ini, memberi hak kepada tersangka mengajukan tuntutan ganti kerugian
ke Praperadilan atas alasan penghentian penuntutan yang sah.

5. Pengajuan dan Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan


a. Permohonan Ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
Permohonan yang diajukan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
meliputi daerah hukum tempat di mana penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau
penyitaan itu dilakukan. Atau diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat di
mana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan atau penuntutan
berkedudukan.
b. Permohonan Diregister dalam Perkara Praperadilan
Setelah panitera menerima permohonan, diregister dalam perkara Praperadilan.
Segala permohonan yang ditujukan ke Praperadilan, dipisahkan registrasinya dari
perkara pidana biasa. Administrasi yustisial Praperadilan dibuat tersendiri terpisah dari
administrasi perkara biasa.
c. Ketua Pengadilan Negeri segera Menunjuk Hakim dan Panitera
Penunjukan sesegera mungkin hakim dan panitera yang akan memeriksa
permohonan, merujuk kepada ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf a, yang menegaskan
bahwa dalam waktu 3 hari setelah diterima permintaan, hakim yang ditunjuk
menetapkan hari sidang. Agar yang dituntut pasal tersebut dapat dilaksanakan
secara tepat setelah pencatatan dalam register, panitera memintakan kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk segera menunjuk dan menetapkan hakim dan panitera yang
akan bertindak memeriksa permohonan. Atau kalau Ketua Pengadilan Negeri telah
menetapkan satuan tugas yang khusus secara permanen, segera melimpahkan
permintaan itu kepada pejabat satuan tugas tersebut.
d. Pemeriksaan Dilakukan dengan Hakim Tunggal
Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang Praperadilan adalah hakim
tunggal. Semua permohonan yang diajukan kepada Praperadilan, diperiksa dan diputus
oleh hakim tunggal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 78 ayat (2), yang berbunyi :
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan
Negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
e. Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan
Pemeriksaan sidang Praperadilan, diatur dalam Pasal 82 serta pasal berikutnya.
Bertitik tolak dari ketentuan dimaksud, pemeriksaan sidang Praperadilan dapat dirinci
sebagai berikut :
1). Penetapan hari sidang 3 hari sesudah diregister. Pasal 82 ayat (1) huruf a, yakni 3
hari sesudah diterima permohonan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
Perhitungan penetapan hari sidang, bukan dari tanggal penunjukan hakim oleh
Ketua Pengadilan Negeri. Akan tetapi dihitung 3 hari dari tanggal penerimaan atau
3 hari dari tanggal registrasi di kepaniteraan.
2). Pada hari penetapan sidang sekaligus hakim menyampaikan panggilan, Tata cara
inilah yang sebaiknya ditempuh, agar dapat dipenuhi proses pemeriksaan yang
cepat seperti yang ditegaskan Pasal 82 ayat (1) huruf c, yang memerintahkan
pemeriksaan Praperadilan dilakukan dengan "acara cepat", dan selambat-
lambatnya 7 hari hakim harus menjatuhkan putusan. Kalau begitu, adalah
bijaksana apabila pada saat penetapan hari sidang, sekaligus disampaikan
panggilan kepada pihak yang bersangkutan yakni pemohon dan pejabat yang
bersangkutan, yang menimbulkan terjadinya permintaan pemeriksaan
Praperadilan. Jadi, yang dipanggil dan yang diperiksa dalam sidang Praperadilan,
bukan hanya pemohon, tapi juga pejabat yang menimbulkan terjadinya alasan
permintaan pengajuan pemeriksaan Praperadilan.
f. Selambat-lambatnya 7 hari putusan sudah dijatuhkan.
Begitulah yang diperintahkan Pasal 82 ayat (1) huruf c. Pemeriksaan dilakukan
dengan "acara cepat", dan selambat-lambatnya 7 hari hakim harus menjatuhkan
putusan. Akan tetapi, ketentuan ini sendiri tidak menjelaskan sejak kapan dihitung
masa tenggang yang 7 hari tersebut. Apakah dihitung dari tanggal penerimaan atau
dari tanggal registrasi, tidak dijelaskan.
Memperhatikan hal tersebut, ketentuan pasal ini kurang jelas. Akibatnya, bisa
menimbulkan selisih pendapat dalam penerapan. Ada yang berpendapat, perhitungan
tenggang waktu 7 hari, dihitung dari tanggal penetapan hari sidang. Sebaliknya pihak
pemohon atau penasihat hukumnya berpendapat, dihitung dari tanggal penerimaan
permohonan atau dari tanggal registrasi.
Barangkali ada dua alternatif yg dpt dipergunakan sbg pedoman dalam
menentukan tenggang waktu dimaksud. Kedua alternatif yang dikemukakan sama-
sama mempunyai dasar alasan yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan.
Alternatif penafsiran dimaksud adalah :
i. Putusan dijatuhkan 7 hari dari tanggal penetapan hari sidang.
Bertitik tolak dari pendapat ini, hakim sudah mesti menjatuhkan putusan 7
hari dari tanggal penetapan hari sidang. Berarti, penetapan, pemanggilan,
pemeriksaan sidang dan penjatuhan putusan, berada dalam jangka waktu 7 hari.
Tidak diperhitungkan tanggal penerimaan dan pengregisteran. Jangka waktu
yang berada antara penerimaan dengan penetapan hari sidang, dikeluarkan dari
perhitungan tenggang waktu yang ditentukan Pasal 82 ayat (1) huruf c. Dalam
pendapat ini, seolah-olah terkandung suatu penyimpangan atas makna proses
pemeriksaan cepat. Bukankah ketentuan pasal dimaksud, sudah menegaskan
bahwa pemeriksaan dilakukan dengan acara cepat ? Kalau begitu jika perhitungan
tenggang waktu 7 hari dimulai dari tanggal penetapan hari sidang, cara
perhitungan yang demikian mengurangi arti kecepatan pemeriksaan dan
penjatuhan putusan. Sebab kalau perhitungan tenggang waktu dimulai dari
penetapan hari sidang, bagaimana halnya jika jarak waktu antara tanggal
penerimaan dengan penetapan hari sidang dua minggu atau satu bulan ? Bukankah
cara perhitungan seperti ini jelas bertentangan dengan ketentuan UU ? Kalau
begitu pendapat ini kurang tepat dan tdk memenuhi perintah UU.
ii. Putusan dijatuhkan 7 hari dari tanggal pencatatan.
Pendapat ini lebih dekat kepada ketentuan yang digariskan dalam Pasal 82
ayat (1) huruf c. Menurut pendapat ini, hakim mesti menjatuhkan putusan 7 hari
dari tanggal permohonan diregister di kepaniteraan pengadilan. Pelaksanaan yang
demikian bersesuaian dengan prinsip peradilan yang cepat. Dan secara rasional,
penerapan yang demikian bisa dipenuhi apabila ada iktikad baik dari semua pihak.
Artinya pada saat hakim yang ditunjuk menerima permohonan, haruss segera
menetapkan hari sidang dan sekaligus memerintahkan panitera menyampaikan
panggilan kepada pihak pemohon dan pejabat yang terlibat.
g. Bentuk Putusan Praperadilan
Untuk menjelaskan bentuk putusan Praperadilan, ada beberapa hal yang perlu
dibicarakan, terutama yang berkenaan dengan masalah bentuk putusan maupun isi
putusan, yaitu :
1). Surat Putusan Disatukan dengan Berita Acara
Bentuk putusan Praperadilan tidak diatur secara tegas dalam UU. Kalau
begitu dari mana menarik kesimpulan bahwa pembuatan putusan Praperadilan
dirangkaikan menjadi satu dengan berita acara pemeriksaan sidang ? Kesimpulan
dimaksud dapat ditarik dari dua sumber :
a. Dari Ketentuan Pasal 82 Ayat (1) Huruf c
Ketentuan ini menjelaskan, proses pemeriksaan sidang Praperadilan
dilakukan dengan acara cepat. Ketentuan ini harus diterapkan secara
"konsisten" dengan bentuk dan pembuatan putusan dalam acara pemeriksaan
singkat dan acara pemeriksaan cepat. Bentuk putusan yang sesuai dengan
proses pemeriksaan cepat, tiada lain daripada putusan yang dirangkai menjadi
satu dengan berita acara. Sedangkan dalam acara pemeriksaan singkat yang
kualitas acara dan jenis perkaranya lebih tinggi dari acara pemeriksaan cepat,
bentuk dan pembuatan putusan dirangkai bersatu dengan berita acara. Apalagi
dalam acara cepat, sudah cukup memenuhi kebutuhan apabila bentuk dan
pembuatan putusannya dirangkaikan dengan berita acara.
b. Bertitik Tolak dari Ketentuan Pasal 83 Ayat (3) Huruf a dan Pasal 96 Ayat (1)
Menurut ketentuan dimaksud bentuk putusan Praperadilan, berupa
"penetapan". Bentuk putusan penetapan pada lazimnya merupakan rangkaian
berita acara dengan isi putusan itu sendiri. Kelaziman yang demikian juga
dijumpai dalam putusan perdata. Penetapan yang bersifat volunter secara
"exparte" dalam proses perdata adalah bentuk putusan yang berupa rangkaian
antara berita acara dengan isi putusan. Berita acara sidang dengan isi putusan
tidak dibuat secara terpisah. Dan memang bentuk putusan Praperadilan, hampir
mirip dengan putusan volunter dalam acara perdata. Boleh dikatakan, putusan
Praperadilan juga bersifat deklarator, yang berisi pernyataan tentang sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan. Tentu tanpa
mengurangi sifat yang kondemnator dalam putusan ganti kerugian, perintah
mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan apabila penahanan
dinyatakan tidak sah. Atau perintah yang menyuruh penyidik untuk
melanjutkan penyidikan apabila penghentian penyidikan dinyatakan tidak sah.
2). Isi Putusan Praperadilan
Penggarisan isi putusan atau penetapan Praperadilan, pada garis besarnya
diatur dalam Pasal 82 ayat (2) dan ayat (3). Oleh karena itu, di samping penetapan
Praperadilan memuat alasan dasar pertimbangan hukum, juga harus memuat amar.
Amar yg hrs dicantumkan dlm penetapan disesuaikan dg alasan permintaan
pemeriksaan. Alasan permintaan yg menjadi dasar isi amar penetapan. Amar yg
tdk sejalan dg alasan permintaan, keluar dari jalur yg ditentukan UU. Kalau begitu
amar penetapan Praperadilan, bisa berupa pernyataan yang berisi :
a. Sah atau tidaknya Penangkapan atau Penahanan
Jika dasar alasan permintaan yang diajukan pemohon berupa permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan yang
disebut Pasal 79 maka amar penetapannya pun harus memuat pernyataan
tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan.
b. Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penuntutan
Jika alasan yang diajukan pemohon berupa permintaan pemeriksaan
tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan, berarti amar penetapan Praperadilan memuat pernyataan mengenai
sah atau tidaknya tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan.
c. Diterima/Ditolaknya Permintaan Ganti Kerugian atau Rehabilitasi
Di sini pun demikian halnya. Jika dasar alasan permintaan pemeriksaan
mengenai tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi, berarti amar
penetapan memuat dikabulkan/ditolak permintaan ganti kerugian atau
rehabilitasi.
d. Perintah Pembebasan dari Tahanan
Mengenai hal ini diatur dalam amar yang memerintahkan tersangka
segera dibebaskan dari tahanan. Amar yang demikian merupakan kemestian
dalam kasus permintaan pemeriksaan yang berhubungan tentang sah atau
tidaknya penahanan. Jika tersangka atau keluarganya mengajukan permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik
atau penuntut umum, dan Praperadilan berpendapat penahanan tidak sah, amar
putusan Praperadilan harus memuat pernyataan dan perintah :
- penahanan tidak sah,
- dan perintah pembebasan tersangka dari tahanan.
Dengan dicantumkannya amar yang berisi perintah pembebasan
tersangka dari tahanan, penyidik atau penuntut umum harus segera
membebaskan dari tahanan.
e. Perintah Melanjutkan Penyidikan atau Penuntutan
Mungkin ada yang berpendapat, amar ini tidak mutlak dicantumkan
dalam penetapan Praperadilan. Alasannya, dengan adanya penetapan yang
menyatakan penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, dalam jiwa
pernyataan putusan yang demikian sudah terkandung perintah yang
mewajibkan penyidik melanjutkan penyidikan atau yang mewajibkan
penuntutan dilanjutkan.
Karena itu, sekiranya Praperadilan menjatuhkan putusan yang
menyatakan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah,
amar penetapan tidak mesti memuat pernyataan yang memerintahkan penyidik
wajib melanjutkan penyidikan atau amar yang memerintahkan penuntut umum
melanjutkan penuntutan. Akan tetapi, untuk sempurna serta berpedoman pada
bunyi rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b, tidak ada salahnya mencantumkan
amar yang demikian.
f. Besarnya Ganti Kerugian
Apabila alasan pemeriksaan Praperadilan berupa permintaan ganti
kerugian baik oleh karena tidak sahnya penangkapan atau penahanan, amar
putusan Praperadilan mencantumkan dengan jelas jumlah ganti kerugian yang
dikabulkan. Dan mengenai masalah tata cara dan besarnya jumlah ganti
kerugian yang dapat dikabulkan Praperadilan dapat dilihat dalam pembahasan
yang berhubungan dengan ganti kerugian.
g. Berisi Pernyataan Pemulihan Nama Baik Tersangka
Mengenai masalah rehabilitasi dapat dilihat dalam uraian yang berkenaan
dg pembahasan rehabilitasi. Oleh karena itu, apa yang dibicarakan di sini
hanya sekadar utk menjelaskan amar apa yang dicantumkan dalam putusan
Praperadilan. Jika alasan permintaan pemeriksaan berhubungan dengan
rehabilitasi, amar putusan memuat pernyataan pemulihan nama baik pemohon
kalau permohonan dikabulkan.
h. Memerintahkan Segera Mengembalikan Sitaan
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 82 ayat (3) huruf d. Apabila alasan
permintaan pemeriksaan Praperadilan menyangkut sah atau tidaknya tindakan
penyitaan yang dilakukan penyidik disebabkan dalam penyitaan ada termasuk
benda yang tidak tergolong alat pembuktian.
6. Gugur Pemeriksaan Praperadilan
Pemeriksaan Praperadilan bisa gugur, artinya pemeriksaan Praperadilan dihentikan
sebelum putusan dijatuhkan. Atau pemeriksaan dihentikan tanpa putusan. Hal inilah yang
diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d, yang berbunyi : “Dalam hal suatu perkara sudah
mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedang pemeriksaan mengenai permintaan
kepada Praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur". Memperhatikan
ketentuan itu gugurnya pemeriksaan Praperadilan terjadi :
- apabila perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dan
- pada saat perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan Praperadilan belum
selesai.

7. Upaya Banding Dan Kasasi atas Putusan Praperadilan


Apakah penetapan atau putusan yang dijatuhkan Praperadilan bersifat final sebagai
putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir ? Apakah UU memperbolehkan permintaan
pemeriksaan banding atau kasasi terhadap putusan Praperadilan ? Apakah tersangka,
penyidik, penuntut umum atau pihak ketiganya yang berkepentingan dapat mengajukan
permintaan banding atau kasasi atas putusan yang dijatuhkan Praperadilan ? Hal ini
penting dipersoalkan, untuk mengetahui upaya hukum apa yang dapat dimintakan
terhadap putusan yang dijatuhkan Praperadilan.
Tinjauan tentang masalah upaya hukum terhadap putusan Praperadilan, mungkin
bisa menimbulkan perbedaan penafsiran, terutama mengenai upaya hukum yang
menyangkut permintaan pemeriksaan kasasi. Barangkali ada yang berpendapat, terhadap
putusan Praperadilan, dapat dimintakan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Perbedaan pendapat ini timbul disebabkan UU tidak memberi penegasan yang jelas
tentang hal ini. Lain halnya dengan upaya hukum banding, Pasal 83 KUHAP telah
memberi penegasan yang jelas, sehingga para pencari keadilan maupun praktisi hukum,
sudah mengetahui dengan terang putusan mana yang dapat dimintakan pemeriksaan
banding. Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti uraian berikut :
a. Putusan Praperadilan yang Tidak Dapat Dibanding
Tidak semua putusan Praperadilan dapat diminta banding. Sebaliknya pula, tidak
seluruhnya putusan Praperadilan yang tidak dapat diminta pemeriksaan banding.
Demikian menurut ketentuan Pasal 83 KUHAP. Dalam Pasal 83 inilah ditentukan
putusan yang menyangkut kasus mana yang dapat dibanding, dan yang tidak dapat
diajukan permintaan banding.
Mari kita perhatikan ketentuan Pasal 83 ayat (1), yang berbunyi : "Terhadap
putusan Praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding." Berdasar Pasal 83 ayat (1),
ditentukan putusan Praperadilan yang menyangkut kasus mana yang tidak dapat
dimintakan pemeriksaan banding. Boleh dikatakan, hampir semua jenis putusan
Praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Memang demikianlah prinsipnya.
Terhadap putusan Praperadilan tidak dapat diajukan permintaan banding. Hal ini
sesuai dengan asas acara yang menyangkut tata cara pemeriksaan Praperadilan,
dilakukan dengan "acara cepat". Demikian juga dari segi tujuan pelembagaan
Praperadilan untuk mewujudkan putusan dan kepastian hukum dalam waktu yang
relatif singkat. Sekiranya terhadap putusan Praperadilan diperkenankan upaya
banding, hal itu tidak sejalan dengan sifat dan tujuan maupun dengan cirinya, yakni
dalam waktu yang singkat putusan dan kepastian hukum sudah dapat diwujudkan.
Lagi pula jika ditinjau kewenangan Praperadilan bertujuan memberi pengawasan
horizontal atas tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penyidik dan penuntut
umum, pada hakikatnya apa yang diperiksa dan diputuskan Praperadilan adalah di luar
ruang lingkup perkara pidana. Praperadilan tidak berwenang memeriksa perkara
pidana. Yang diperiksa dan diputusnya terbatas mengenai tindakan aparat penyidik
dan penuntut umum terhadap tersangka selama pemeriksaan perkara berlangsung pada
instansi yang bersangkutan.
Adapun mengenai putusan Praperadilan yang tidak dapat dimintakan
pemeriksaan banding, telah disebut satu per satu dalam Pasal 83 ayat (1). Yakni
putusan Praperadilan yang menyangkut jenis kasus yang disebut dalam Pasal 79, Pasal
80, dan Pasal 81. Jelasnya, putusan Praperadilan yang tidak dapat dimintakan
pemeriksaan banding.
1) Penetapan Sah atau Tidaknya Penangkapan atau Penahanan
Putusan yang berisi penetapan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan yang dimaksud dalam Pasal 79. Dalam Pasal 79 hanya disebut tentang
sah atau tidaknya penahanan. Di dalamnya tidak termasuk tentang sah atau
tidaknya penggeledahan atau penyitaan.
Tampaknya, pembuat UU kurang konsisten dalam hal ini. Padahal kalau
diikuti lebih lanjut kewenangan Praperadilan sebagaimana yang dijelaskan
penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, kewenangan Praperadilan termasuk meliputi
memeriksa dan memutus permintaan ganti kerugian yang diakibatkan oleh
tindakan pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut
hukum. Kalau begitu kewenangan Praperadilan bukan hanya meliputi pemeriksaan
tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan saja, tapi meliputi
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya pemasukan rumah, penggeledahan, dan
penyitaan.
Seandainya tersangka atau keluarganya mengajukan permintaan pemeriksaan
kepada Praperadilan tentang sah atau tidaknya pemasukan rumah, penggeledahan
atau penyitaan, Praperadilan harus memeriksa dan memutusnya. Terhadap putusan
Praperadilan yang berkenaan dengan sah atau tidaknya pemasukan rumah,
penggeledahan atau penyitaan, tidak dapat diajukan permintaan banding.
2) Putusan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
Putusan lain yang tidak dapat diajukan permintaan banding ialah putusan
yang berkenaan dengan kasus permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi,
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 81. Seperti yang sudah disinggung
terdahulu, wewenang Praperadilan meliputi pemeriksaan tuntutan ganti kerugian
berdasar alasan Pasal 95. Juga berwenang memeriksa permintaan rehabilitasi
berdasar alasan yang ditentukan dalam Pasal 97 KUHAP. Tuntutan atau
permintaan ganti kerugian maupun permintaan rehabilitasi dapat diajukan
pemohon kepada Praperadilan atas alasan tidak sahnya penangkapan, penahanan
atau sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Namun di sini
pun, permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi yang disebut dalam Pasal 81 ini
harus disejajarkan meliputi alasan permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi yang
diatur dalam Pasal 95 dan 97 KUHAP. Bukan hanya permintaan ganti kerugian
dan rehabilitasi yang didasarkan atas alasan penangkapan atau penahanan saja.
tetapi meliputi alasan tidak sahnya pemasukan rumah, penggeledahan atau
penyitaan. Kita heran mengapa Pasal 81 tidak sejalan rumusan dan kaidahnya
dengan Pasal 95 dan 97.
b. Putusan Praperadilan yang Dapat Dibanding
Putusan Praperadilan yang dapat diminta banding ke Pengadilan Tinggi, diatur
dalam Pasal 83 ayat (2). Ditentukan bahwa, putusan Praperadilan yang menetapkan
"tidak sahnya" penghentian penyidikan atau penuntutan saja yang dapat diajukan
permintaan banding. Pasal 83 ayat (2) membedakan antara putusan yang
"mengesahkan" dengan yang "tidak mengesahkan" penghentian penyidikan dan
penuntutan. Oleh karena itu, tidak terhadap semua putusan Praperadilan yang
berkenaan dengan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat
dimintakan pemeriksaan banding. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 83 ayat (2) :
• Terhadap putusan yang menetapkan "sahnya" penghentian penyidikan atau
penuntutan, "tidak dapat" diajukan permintaan banding,
• Terhadap putusan yang menetapkan tentang “tidak sahnya" penghentian penyidikan
atau penuntutan, "dapat" diajukan permintaan banding, Pengadilan Tinggi yang
memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang memeriksa dan
memutus "dalam tingkat akhir".
Demikian ketentuan yang digariskan Pasal 83 ayat (2). Tidak terhadap semua
putusan Praperadilan yang menyangkut sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan dapat diajukan permintaan banding. Hanya terbatas mengenai putusan
yang berisi penetapan tentang "tidak sahnya" penghentian penyidikan atau penuntutan.
Di samping itu, putusan Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan ini adalah merupakan
putusan akhir, bukan putusan tingkat terakhir.
Hal ini perlu diingat. Sifat putusan akhir, berarti putusan yang diambil sudah "final".
Terhadapnya tidak lagi dapat diajukan permintaan pemeriksaan kasasi. Lain halnya
jika sifat putusan itu masih bertaraf putusan tingkat terakhir, terhadapnya masih dapat
diajukan permintaan pemeriksaan kasasi. Kalau begitu, oleh karena Pasal 83 ayat (2)
telah menentukan Pengadilan Tinggi bertindak memeriksa dan memutus tidak sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan dalam bentuk putusan akhir, terhadap
putusan tersebut tidak dapat diajukan permintaan kasasi. Atas kenyataan ini, kurang
tepat mengatakan upaya hukum yang diajukan terhadap putusan Praperadilan yang
berisi penetapan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan sebagai upaya
banding. Lebih tepat jika upaya hukum ini disebut "perlawanan" atau verzet, yakni
perlawanan terhadap penetapan Praperadilan tentang tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan, Sebab, jika upaya hukum itu sebagai upaya banding, sifat
putusan Pengadilan Tinggi bukan putusan akhir, tetapi seharusnya putusan tingkat
terakhir, sehingga tidak tertutup kemungkinan untuk mengajukan permintaan kasasi.
Nyatanya Pasal 83 ayat (2) telah menetapkan secara tegas sifat putusan Pengadilan
Tinggi dalam hal ini sebagai putusan akhir, dan telah menutup kemungkinan
mengajukan permintaan kasasi. Oleh karena itu, lebih tepat upaya hukum dalam
proses ini disejajarkan dengan upaya perlawanan terhadap putusan Praperadilan
tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Hal yang penting juga diperhatikan mengenai hubungan Pasal 83 ayat (1) dengan ayat
(2). Ayat (1) menjelaskan, putusan Praperadilan yang tidak dapat dimintakan
pemeriksaan banding, termasuk putusan yang dimaksud dalam Pasal 80.
Putusan Praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 80 ialah penetapan mengenai sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Berarti, jika an sich bertitik
tolak dari ketentuan Pasal 83 ayat (1), putusan Praperadilan tentang sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penuntutan tidak dapat diajukan permintaan banding.
Karena Pasal 83 ayat (1), telah menegaskan, putusan Praperadilan dalam hal
sebagaimana yang dimaksud Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan
pemeriksaan banding. Padahal nyatanya Pasal 83 ayat (2), memperkenankan
permintaan banding ke Pengadilan Tinggi atas putusan Praperadilan tentang tidak
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Bukankah terdapat saling
pertentangan antara Pasal 83 ayat (1) dengan ayat (2).
Benar sepintas lalu demikian ! Pasal 83 ayat (1) menegaskan, banding terhadap
putusan sah atau tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang dimaksud
dalam Pasal 80 tidak dapat dibanding. Akan tetapi, Pasal 83 ayat (2) malah
memperkenankan permintaan banding tentang "tidak sahnya" penghentian penyidikan
atau penuntutan. Jadi, apa yang tidak diperbolehkan ayat (1), diperkenankan sebagian
oleh ayat (2) yakni sepanjang mengenai "tidak sahnya" penghentian penyidikan atau
penuntutan.
c. Kasasi Terhadap Putusan Praperadilan
Apakah terhadap putusan Praperadilan dapat diajukan permintaan kasasi ? Masih
terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendirian permintaan kasasi atas putusan
Praperadilan, tidak dapat dikasasi, dan ada yang berpendapat cukup alasan untuk
memperkenankan permintaan kasasi atas putusan Praperadilan. Barangkali sumber
selisih pendapat ini terjadi, bertitik tolak tentang "materi" yang diperiksa dan diputus
lembaga Praperadilan. Ada yang berpendirian, apa yang diperiksa dan diputus
Praperadilan, bukan "materi perkara pidana".
Sedang menurut Pasal 244 KUHAP, permintaan kasasi hanya dapat diajukan
terhadap putusan pengadilan yang berbentuk "putusan perkara pidana". Oleh karena
putusan Praperadilan bukan mengenai perkara pidana, akan tetapi hanya tentang sah
atau tidaknya tindakan pejabat yang terlibat dalam pemeriksaan penyidikan atau
penuntutan, berarti putusan Praperadilan benar-benar berada di luar ruang lingkup
Pasal 244 KUHAP. Tetapi ada yang mempersoalkan bukan dari segi materi putusan.
Mereka bertitik tolak dari pengertian fungsi yustisial. Ditinjau dari segi fungsi
yustisial, setiap pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan badan peradilan, dengan
sendirinya termasuk tindakan yustisial. Setiap putusan yang dijatuhkan badan
peradilan tanpa mempersoalkan bentuk dan materi putusan adalah tindakan
penyelesaian fungsi peradilan atau fungsi yustisial. Lain halnya jika tindakan badan
pengadilan itu tidak dituangkan dalam bentuk putusan atau penetapan. Tindakan yang
seperti itu belum
dapat disebut tindakan yustisial. Paling dapat disebut tindakan pelaksanaan
administrasi yustisial. Oleh karena Praperadilan dalam memeriksa hal-hal yang
termasuk ke dalam bidang kewenangannya menjatuhkan putusan yang berbentuk
penetapan, tindakan itu tidak terlepas dari pelaksanaan fungsi yustisial. Kalau begitu.
penetapan yang dijatuhkan Praperadilan, tercakup ke dalam pengertian penjelasan
Pasal 2 UU. No. 14 tahun 1970. Penjelasan tersebut, menyatakan: "Penyelesaian setiap
perkara yang diajukan kepada Badan-badan Peradilan mengandung pengertian di
dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi volunter."
Bukankah ke dalam pengertian penyelesaian yang volunter termasuk putusan
penetapan Praperadilan.
Jika terhadap putusan pengadilan yang bersifat volunter dapat diajukan
permintaan kasasi. kalau begitu cukup dasar alasan untuk memperbolehkan pengajuan
permintaan kasasi atas putusan Praperadilan. Dalam bidang perdata misalnya,
penetapan ahli waris atau mengenai status anak yang dijatuhkan Pengadilan Negeri,
dikategorikan yurisdiksi volunter, dan dianggap sebagai tindakan pengadilan dalam
menyelesaikan perkara. Terhadap putusan yang seperti itu, dapat diajukan permintaan
kasasi. Kalau begitu, bertitik tolak dari penjelasan Pasal 2 UU No. 14/1970 serta
dihubungkan dengan praktek peradilan yang memperkenankan permintaan kasasi atas
penetapan pengadilan yang bersifat yurisdiksi volunter di bidang perdata, tidak salah
jika diterapkan dalam bidang pidana. Kira-kira demikian gambaran jalan pemikiran
yang mendasari argumentasi kelompok yang berpendirian, terhadap putusan
Praperadilan dapat diajukan permintaan kasasi. Pendapat ini memang beralasan,
terutama jika dikaitkan dengan tindakan pengawasan atas putusan Praperadilan.
Dengan diperkenankan permintaan kasasi atas putusan Praperadilan, membuka
kemungkinan adanya koreksi atas putusan Praperadilan. Sekalipun kita beranggapan,
penetapan Praperadilan bukan menyangkut pemeriksaan materi perkara pidana, namun
penetapan itu tidak bisa dipisahkan dengan fungsi yustisial. Dan di dalam setiap
tindakan pelaksanaan fungsi yustisial, tidak bisa terlepas dari pengawasan dan koreksi
penerapan hukum atau cara melaksanakan peradilan menurut ketentuan UU.
Walaupun yang diperiksahanya terbatas menyangkut sah atau tidaknya tindakan
aparat penyidik atau penuntut umum atau tuntutan ganti kerugian ataupun rehabilitasi,
pemeriksaan dan putusan yang diambil tidak terlepas dari masalah penerapan hukum
dan tata cara mengadili. Jika demikian halnya, perlu ada pengawasan dan badan yang
bertindak melakukan koreksi atas kemungkinan kesalahan penerapan hukum maupun
atas kelalaian melaksanakan cara mengadili sesuai dengan yang digariskan UU. Oleh
karena pengawasan dan koreksi atas putusan Praperadilan tidak dapat dilakukan
Pengadilan Tinggi, wajar pengawasan dan koreksi itu langsung diminta kepada
Mahkamah Agung. Sebab Pasal 83 ayat (1) tidak membuka kemungkinan bagi
Pengadilan Tinggi melakukan pengawasan dan koreksi, sebaiknya hal itu diberikan
kepada Mahkamah Agung.
Bagaimana sikap Mahkamah Agung mengenai masalah tersebut ? Sampai saat
sekarang, peradilan tertinggi itu lebih cenderung pada pendirian, tidak
memperkenankan permintaan kasasi atas putusan Praperadilan. Untuk mengetahui
jalan pikiran Mahkamah Agung, dapat dilihat ungkapan pertimbangan yang tertuang
dalam salah satu putusan tanggal 29 Maret 1983, No. 227K/KR/1982. Dari putusan ini
dapat disadur pertimbangan sebagai berikut :
Mahkamah Agung berpendapat, terhadap putusan-putusan Praperadilan tidak
dimungkinkan permintaan kasasi, karena keharusan cepat perkara Praperadilan tidak
akan terpenuhi kalau masih dimungkinkan pemeriksaan kasasi, wewenang
Pengadilan Negeri yang dilakukan oleh Praperadilan, dimaksudkan hanya sebagai
wewenang pengawasan secara horizontal terhadap tindakan pejabat penegak hukum
lainnya, juga Pasal 244 KUHAP, tidak membuka kemungkinan melakukan
pemeriksaan kasasi terhadap putusan Praperadilan, karena pemeriksaan kasasi yang
diatur Pasal 244 hanya mengenai putusan perkara pidana yang benar-benar
diperiksa dan diputus Pengadilan Negeri atau pengadilan selain dari Mahkamah
Agung, selain daripada itu, menurut hukum acara pidana, baik mengenai pihak-pihak
maupun acara pemeriksaannya berbeda sifat dan kedudukannya jika dibandingkan
dalam pemeriksaan Praperadilan.
Itulah kira-kira saduran pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan
tersebut. Dari pertimbangan dimaksud, dapat dilihat pendirian, permintaan kasasi
terhadap putusan Praperadilan "tidak dapat diterima". Pendirian yang seperti ini dapat
juga dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Mei 1984, Reg. No. 680
K/Pid/1983. Salah satu bagian pertimbangannya berbunyi : Menurut yurisprudensi
tetap terhadap putusan-putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi,
sehingga permohonan kasasi dari pemohon kasasi harus dinyatakan tidak dapat
diterima. Dari bunyi pertimbangan ini, semakin memperjelas pendirian Mahkamah
Agung, permintaan kasasi terhadap putusan Praperadilan tidak dimungkinkan, dan
dinyatakan tidak dapat diterima. Bahkan pendirian itu sudah merupakan yurisprudensi
tetap Mahkamah Agung. Kalau begitu, mau tidak mau, praktek peradilan terpaksa
menyesuaikan diri dengan pendirian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai