Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Esotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata
dimana salah satu sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu
penglihatan lainnya menyimpang pada bidang horizontal ke arah medial.(5)
Esotropia adalah jenis strabismus yang paling sering ditemukan.
Strabismus ini dibagi menjadi dua tipe : paretik (akibat paresis atau paralysis satu
atau lebih otot ekstraokular) dan nonparetik (komitan). Esotropia nonparetik
adalah tipe tersering pada bayi dan anak. Tipe ini dapat akomodatif,
nonakomodatif, atau akomodatif parsial. Strabismus paretik jarang dijumpai pada
anak tetapi merupakan penyebab tersering kasus baru strabismus pada orang
dewasa. Esotropia akuisita pada orang dewasa umumnya paretik yang disebabkan
oleh kelemahan otot rektus lateral akibat cedera saraf kranial keenam.(3)

B. Epidemiologi

Esotropia akuisita dapat terjadi pada usia 1-8 tahun dan tidak selalu
respons dengan penggunaan kacamata jauh. Esotropia akuisita biasanya muncul
usia 2-5 tahun dan sering dihubungkan dengan penyakit penyebabnya.(3,4)
Esotropia akuisita terjadi 10,4% Dari seluruh esotropia di dunia. Adanya kelainan
organik sering menimbulkan strabismus. Hasil penelitian akhir-akhir ini
menyatakan 11,52% pasien dengan strabismus ada kelainan di segmen posterior
matanya. Diagnosis yang banyak adalah Toxoplasma khorioretinitis, morning
glory anomaly, Toxocara retinopati, retinopati premature, dan Coats disease.(4)

C.    Etiologi
Penyebab Esotropia adalah(3,6) :
·         Faktor refleks dekat, akomodatif esotropia
·         Hipertoni rektus medius konginetal
·         Hipotoni rektus lateralis akuisita

1
·         Penurunan fungsi penglihatan satu mata pada bayi dan anak

D.   Klasifikasi
Esotropia nonakomodatif
a. Esotropia infantilis (kongenital)
"Bawaan" berarti dari lahir dan, menggunakan definisi yang ketat,
sebagian besar bayi dilahirkan dengan mata yang tidak selaras saat lahir. Hanya
23% bayi dilahirkan dengan mata lurus. Pada kebanyakan kasus, satu mata atau
yang lain benar-benar berubah ke luar selama periode neonatal. Dalam tiga bulan
pertama mata secara bertahap datang ke penyelarasan konsisten lebih sebagai
koordinasi dari dua mata bersama sebagai sebuah tim berkembang.
Hal ini umum bagi bayi untuk tampil seolah-olah mereka telah esotropia, atau
berbelok ke dalam mata, karena jembatan hidung belum sepenuhnya
dikembangkan. Ini penampilan palsu atau simulasi dari balik batin dikenal sebagai
epicanthus. Selama bayi tumbuh, dan jembatan menyempit sehingga sclera terlihat
di sisi dalam, mata akan tampak lebih normal.(4,7)
Esotropia bawaan yang benar adalah berbalik ke dalam dengan jumlah
yang besar, dan terjadi pada anak-anak dengan jumlah sedikit, tetapi bayi tidak
akan tumbuh dari giliran ini. Esotropia kongenital biasanya muncul antara usia 2
dan 4 bulan(4,7)
Hampir separuh dari semua kasus esotropia termasuk dalam kelompok ini.
Pada sebagian besar kasus, penyebabnya tidak jelas. Deviasi konvergen telah
bermanifestasi pada usia 6 bulan. Deviasinya bersifat comitant, yakni sudut
deviasi kira-kira sama dalam semua arahpandangan dan biasanya tidak
dipengaruhi akomodasi.  Dengan demikian, penyebab tidak berkaitan dengan
kesalahan refraksi atau bergantung pada paresis otot ekstraokular. Sebagian besar
kasus mungkin disebabkan oleh gangguan kontrol persarafan, yang mengenai
jalur supranukleus untuk konvergensi dan divergensi serta hubungan sarafnya ke
fasikulus longitudinal medialis. Sebagian kecil kasus disebabkan oleh variasi
anatomik misalanya anomali insersi otot-otot yang bekerja horizontal, ligamentum
penahan abnormal atau berbagai kelainan fasia lainya(2).

2
Juga terdapat banyak bukti bahwa strabismus dapat diturunkan secara
genetis. Esoforia dan esotropia sering diwariskan sebagai sifat dominan autosom.
Saudara kandung mungkin mengalami deviasi mata yang sama. Sering terdapat
unsur akomodatif pada esotropia comitant, yakni koreksi kesalahan refraksi
hiperopik berkurang tetapi tidak menghilangkan semua deviasi(2).
Deviasi itu sendiri sering besar (≥40o) dan biasanya  comitant. Abduksi
mungkin terbatas, tetapi dapat terjadi. Setelah usia 18 bulan, dapat diamati ada
deviasi vertikal. Yakni, kerja berlebihan otot-otot oblikus atau disosiasi deviasi
vertikal. Mungkin dijumpai nistagmus, mansfestasi maupun laten. Kesalahan
refraksi yang paling sering dijumpai adalah hipertropia sedang(2).
 Mata yang tampak lurus adalah mata yang digunakan untuk melakukan
fiksasi. Hampir selalu, mata tersebut adalah mata yang memiliki penglihatan yang
lebih baik atau kesalahan refraksi yang lebih rendah (atau keduanya). Apabila
terdapat anisometropia, mungkin juga terdapat ambliopia. Apabila dalam waktu
yang berlaianan mata yang digunakan untuk fiksasi berbeda-beda, pasien
dikatakan memperlihatkan fiksasi berselang seling spontan; dalam hal ini,
penglihatan kedua mata mungkin samaatau hampi sama. Pada sebagian kasus,
preferensi mata ditentukan oleh arah pandangan. Misalnya, pada esotropia skala
besar, terdapat kecenderungan pasien menggunakan mata kanan sewaktu
memandang ke kiri dan mata kiri  untuk memandang ke kanan (fiksasi silang)(2)
Esotropia infantilis diterapi secara bedah. Terapi awal non bedah dapat
diindikasikan untuk memastikan hasil terbaik yang dapat dicapai. Perlu
ditekankan bahwa amblioplia harus diterapi secara penuh sebelum dilakukan
tindakan bedah.  Pada kesalahan refraksi hipertropik 3 D atau lebih harus dicoba
penggunaan kacamata untuk menentukan  apakah penurunan akomodasi
menimbulkan efek positif terhadap deviasi. Sebagai alternatif untuk penggunaan
kacamata, dapat digunakan miotika(2).
Tindakan bedah biasanya diindikasikan setelah terapi medis dan terapi
ambliopia dilakukan. Setelah dicapai perbaikan terukur, tindakan  bedah harus
segera dilakukan karena terdapat banyak  bukti bahwa semakin cepat mata
disejajarkan hasil sensorik yang diperoleh akan lebih baik. Banyak prosedur yang
telah dianjurkan, tetapi 2 yang paling populer, yakni(2):

3
 Pelemahan otot rektus medialis
 Reseksi otot rektus medialis dan reseksi otot lateralis mata yang sama

b.      Esotropia nonakomodatif yang didapat


Jenis esotropia ini timbul pada anak, biasanya setelah usia 2 tahun. Hanya
sedikit atau tidak terdapat faktor akomodatif. Sudut strabismus sering lebih kecil
daripada yang terdapat pada esotropia infantilis tetapi dapat meningkat seiring
dengan waktu. Di luar hal itu, temuan klinis sama seperti yang terdapat pada
esotropia konginetal. Terapi adalah tindakan bedah dan mengikuti petunjuk yang
samaseperti untuk esotropia konginetal2.
 Esotropia akomodatif
            Esotropia akomodatif terjadi apabila terdapat mekanisme akomodasi
fisiologik normal disertai respon konvergensi berlebihan tetapi divergensi fusional
yang relatif inufisiensi untuk menahan mata tetap lurus. Tetapi dua mekanisme
patologik yang bekerja, bersama-sama atau tersendiri(2) :
1.    Hiperopia yang cukup tinggi, yang memerlukan banyak akomodasi(dan
dengan demikian konvergensi) untuk memperjelas bayangan sehingga timbul
esotropia
2.  Rasio KA/A yang tinggi, yang disertai hiperopia ringan sampai sedang

- Esotropia akomodatif hiperopia


Esotropia akomodatif akibat hiperopia biasanya mulai timbul pada usia 2-3
bulan tetapi dapat muncul lebih dini atau lambat. Sebelum terapi, deviasi
bervariasi. Kacamata disertai refraksi sikloplegik penuh memungkinkan mata
sejajar.
- Esotropia akomodatif akiabat rasio KA/A yang tinggi
Pada esotropia akomodatif akibat rasio konvergensi akomodatif terhadap
akomodasi (rasio KA/A) yang tinggi, deviasi lebih besar pada penglihatan dekat
daripada penglihatan jauh. Kesalahan refraksinya adalah hiperopia. Terapi adalah
kacamata dengan refraksi siklopegik penuh ditambah bifokal atau miotik untuk
menghilangkan deviasi berlebihan pada penglihatan dekat(2).

4
 Esotropia Akomodasi Parsial
            Dapat terjadi suatu mekanisme campuran , sebagian ketidakseimbangan
otot dan sebagian ketidakseimbangan akomodasi/konvergensi. Walaupun terapi
akomodasi menurunkan sudut deviasi, namu esotropianya sendiri tidak
menghilang. Tindakan bedah dilakukan untuk komponen nonakomodatif deviasi
dengan pilihan posedur bedah seperti dijelaskan untuk esoropia infantilis(2).

Esotropia paretik (Incomitant) Kelumpuhan Abducens


            Pada strabismus incomitant, selalu terdapat satu atau lebih otot
ekstraokular yang paretik. Pada kasus esotropia incomitant, paresis biasanya
mengenai satu atau kedua otot rectus lateralis, biasanya akibat kelumpuhan saraf
abducens. Kasus-kasus ini sering dijumpai pada orang dewasa yang mengidap
hipertensi sistemik atau diabetes, tetapi kelumpuhan saraf abducens kadang-
kadangdapat merupakan tanda awal suatu tumor atau peradangan yang mengenai
susunan saraf pusat. Karena itu, tanda-tanda neurologik terkait sangat penting
diperhatikan. Trauma kepala adalah penyebab lain kelumpuhan abducens yang
terjadi(2).
Esotropia incomitan juga dijumpai pada bayi dan anak, tetapi jauh lebih
jarang dibandingkan esotropia comitant. Kasus-kasus ini terjadi akibat cedera
persalinan yang mengenai otot secara langsung, akibat cedera pada saraf, atau
tang lebih jarang, akibat anomali konginetal otot rektus lateralis atau perlekatan
fasianya(2)
Apabila otot rektus lateralis mengalami paralisis total, mata tidak dapat
berabduksi melewati garis tengah. Gambaran khas esotropia lebih besar pada jarak
jauh daripada jarak dekat dan lebih besar pada sisi yang terkena. Paresis otot
rektus  lateralis kanan menyebabkan esotropia yang menjadi lebih besar sewaktu
memandang ke kanan dan, apabila paresisnya ringan sedikit atau tidak terjadi
deviasi sewaktu memandang ke kiri(2).
Apabila dalam 6-8 minggu setelah onset paresis tidak terdapat tanda-
tanda perbaikan, dapat diberikan suntikan toksin botulinum tipe A ke dalam otot
rektus medialis antagonis yang mungkin bermanfaat atau bahkan menyembuhkan
pada kasus-kasus ringan. Pada kasus yang lebih parah, penyuntikan akan

5
memperkecil kemungkinan kontraktur otot antagonis. Apabila tidak timbul
perbaikan setelah 6 bulan, perlu dilakukan tindakan bedah. Apabila sedikit atau
tidak terdapat kontraktur otot rektus medialis, diindikasikan tindakan rersesi otot
tersebut disertai reseksi besar otot rektus lateralis yang paresis. Untuk paralisis
abduksi total, insersi otot rektus inferior dan superior dapat diubah ke insersi otot
rektus lateralis, dan otot rektus medialis dapat diresesi atau dilumpuhkan
sementara dengan toksin Bottulinum A. Penggunaan jahitan yang dapat
disesuaikan memungkinkan bedah resesi otot dilakukan secara halus sehingga
diperoleh daerah penglihatan binokular tunggal terluas. Abduksi otot yang paretik
akan selalu terbatas(2). 

Diagnosis
Anamnesis
Pertanyaan yang lengkap dan cermat tentang riwayat sakit sangat
membantu dalam menentukan, diagnosis, prognosis dan pengobatan strabismus.
Dalam hal ini perlu ditanyakan :
a. Riwayat keluarga : biasanya strabismus diturunkan secara autosomal
dominan.
b. Umur pada saat timbulnya strabismus : karena makin awal timbulnya
strabismus makin jelek prognosisnya.
c. Timbulnya strabismus : mendadak, bertahap, atau berhubungan dengan
penyakit sistemik.
d. Jenis deviasi : bagaimana pasien menyadari strabismusnya? Bagaimana
penglihatan dekatnya? Kapan matanya terasa lelah? Apakah pasien
menutup matanya jika terkena sinar matahari? Apakah matanya selalu
dalam keadaan lurus setiap saat? Apakah derajat deviasinya tetap setiap
saat?
e. Fiksasi : apakah selalu berdeviasi satu mata atau bergantian?

Inspeksi
Dengan inspeksi sudah dapat ditentukan apakah strabismusnya konstan atau
hilang timbul (intermitten), berganti-ganti (alternan) atau menetap

6
(nonalternan),dan berubah-ubah (variable) atau tetap (konstan). Harus
diperhatikan pula ptosis terkait dan posisi kepala yang abnormal. Derajat fiksasi
masing-masing secara terpisah atau bersama-sama. Adanya nistagmus
menunjukkan bahwa fiksasinya buruk dan tajam penglihatannya menurun.
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan
Tajam penglihatannya harus diperiksa walaupun secara kasar untuk
membandingkan tajam penglihatan kedua mata. Kedua mata diperiksa sendiri-
sendiri, karena dengan uji binokular tidak akan bisa diketahui kekaburan pada satu
mata. Untuk anak-anak yang masih sangat muda, yang bisa dilakukan kadang-
kadang hanya berusaha agar mata bisa memfiksasi atau mengikuti sasaran (target).
Sasaran dibuat sekecil mungkin disesuaikan dengan usia, perhatian, dan tingkat
kecerdasannya. Jika dengan menutup satu mata anak tersebut melawan, sedang
dengan menutup mata yang lain tidak melawan, maka mata yang penglihatannya
jelek adalah yang ditutup tanpa perlawanan. Pada uji titik (dot test), anak yang
diperiksa disuruh menaruhkan jari-jarinya pada sebuah titik yang ukurannya telah
dikalibrasi. Ini adalah uji kuantitatif paling awal yang dikerjakan secara berkala
(dimulai pada umur 2-2 ½ tahun). Pada umur 2 ½ - 3 tahun anak sudah mampu
mengenali dan mengerjakan uji gambar-gambar kecil (kartu Allen). Umumnya
anak umur 3 tahun sudah bisa melakukan permainan “E” (E-game) yaitu dengan
kata snellen konvensional dengan huruf E yang kakinya ke segala arah dan sianak
menunjukkan arah kaki huruf E tersebut dengan jari telunjuknya.
Tajam penglihatan dan kemampuan visual bayi lainnya dapat ditentukan
dengan metode melihat apa yang disukai anak (preferential looking method), yang
didasarkan pada kebiasaan bayi yang lebih menyukai melihat lapangan yang telah
dipola (diberi corak) atau melihat lapangan yang seragam.
Pemeriksaan Kelainan Refraksi
Memeriksa kelainan refraksi dengan retinoskop memakai sikloplegik adalah
sangat penting. Obat baku yang digunakan agar sikloplegia sempurna adalah
atropine. Bisa diberikan dalam bentuk tetes mata atau salep mata 0,5 % atau 1 %
beberapa kali sehari selama beberapa hari. Pemberian atropine pada anak-anak
usia sekolah sangat tidak disukai karena sikloplegianya berlangsung lama sampai

7
2 minggu sehingga mengganggu pelajaran sekolah. Pada semua umur bisa
digunakan homatropin 5 % atau siklopentolat 1 atau 2 % dan hasilnya baik.
Menentukan Besar Sudut Deviasi
A. Uji Prisma dan Penutupan
 Uji penutupan (cover test)
 Uji membuka penutup (uncover test)
 Uji penutup berselang seling (alternate cover test)
Penutup ditaruh berselang seling didepan mata yang pertama dan
kemudian mata yang lain. Uji ini memperlihatkan deviasi total
(heterotropia dan heteroforia)
 Uji penutupan plus prisma
Untuk mengukur deviasi secara kuantitatif, diletakkan prisma dengan
kekuatan yang semakin tinggi dengan kekuatan satu atau kedua mata
sampai terjadi netralisasi gerakan mata pada uji penutup berselang-seling.
Misalnya untuk mengukur esodeviasi penuh, penutup dipindah-pindahkan
sementara diletakkan prisma dengan kekuatan base out yang semakin
tinggi didepan salah satu atau kedua mata sampai gerakan re-fiksasi
horizontal dicapai oleh mata yang deviasi.

B. Uji Objektif
Uji prisma dan uji tutup bersifat objektif, karena tidak diperlukan
laporan –laporan pengamatan sensorik Dari pasien. Namun diperlukan
kerjasama dan tajam penglihatan yang utuh. Uji batang Maddox bersifat
subjektif, Karena nilai akhir pelaporan berdasarkan laporan pengamatan
sensorik pasien.
Pada kasus dimana pasien dalam keadaan bingung atau tidak
kooperatif, mungkin tidak respon terhadap uji ini. Cara-cara penentuan
klinis posisi mata yang tidak memerlukan pengamatan sensorik pasien (uji
objektif) jauh kurang akurat, walaupun kadang-kadang masih bermanfaat.
Terdapat dua metode yang sering digunakan yang bergantung pada
pengamatan posisi reflek cahaya oleh kornea, yakni :
1. Metode Hirschberg

8
Pasien disuruh melihat sumber cahaya pada jarak 33 cm kemudian lihat
pantulan cahaya pada kedua kornea mata.
1) Bila letaknya ditengah berarti tidak ada deviasi
2) Bila letaknya dipinggir pupil maka deviasinya 15 º
3) Bila letaknya dipertengahan antara pupil dan limbus maka
deviasinya 30 º
4) Bila letaknya dilimbus maka deviasinya 45 º
2. Metode Refleksi Prisma (modifikasi uji krimsky)
Penderita memfiksasi pada cahaya dengan jarak sembarangan. Prisma
ditaruh didepan mata sedang deviasi. Kekuatan prisma yang diperlukan
agar refleksi kornea pada mata yang juling berada ditengah-tengah pupil
menunjukkan besarnya sudut deviasi.
 Duksi (rotasi monokular)
Satu mata ditutup dan mata yang lain mengikuti cahaya yang digerakkan
kesegala arah pandangan, sehingga adanya kelemahan rotasi dapat
diketahui. Kelemahan seperti ini bisa karena paralisis otot atau karena
kelainan mekanik anatomik.
 Versi (gerakan Konjugasi Okular)
Uji untuk Versi dikerjakan dengan mata mengikuti gerakan cahaya pada
jarak 33 cm dalam 9 posisi diagnosis primer – lurus kedepan; sekunder –
kekanan, kekiri keatas dan kebawah; dan tersier – keatas dan kekanan,
kebawah dan kekanan, keatas dan kekiri, dan kebawah dan kekiri. Rotasi
satu mata yang nyata dan relative terhadap mata yang lainnya dinyatakan
sebagai kerja-lebih (overreaction) dan kerja –kurang (underreaction).
Konsensus : pada posisi tersier otot-otot obliq dianggap bekerja-lebih atau
bekerja-kurang berkaitan dengan otot-otot rektus pasangannya. Fiksasi
pada lapangan kerja otot paretik menyebabkan kerja-lebih otot
pasangannya, karena diperlukan rangsangan yang lebih besar untuk
berkontraksi. Sebaliknya, fiksasi oleh mata yang normal akan
menyebabkan kerja-kurang pada otot yang paretik.
 Pemeriksaan Sensorik
1) Uji stereopsis

9
Digunakan kaca sasaran Polaroid untuk memilahkan rangsangan.
Sasaran yang dipantau secara monokular hampir-hampir tidak bisa
dilihat kedalamannya. Stereogram titik-titik acak (random
stereogram) tidak memiliki petunjuk kedalaman bila dilihat
monocular. Lapangan titik-titik secara acak (A field of random
dots) terlihat oleh mata masing-masing tetapi hubungan titik ke
titik yang sesuai antara 2 sasaran adalah sedemikian rupa sehingga
bila ada stereopsis akan tampak suatu bentuk yang terlihat
stereoskopis.
2) Uji supresi
Adanya supresi bisa ditunjukkan dengan uji 4 titik Worth. Gagang
pencoba dengan 4 lensa merah didepan satu mata dan lensa hijau
didepan mata yang lain. Ditunjukkan senter dengan bulatan-bulatan
merah, hijau dan putih. Bulatan-bulatan berwarna ini adalah tanda
untuk persepsi mata masing-masing dan bulatan putih yang bisa
dilihat kedua mata dapat menunjukkan adanya diplopia. Pemilahan
bulatan-bulatan dan jaraknya Dari mata, menentukan luasnya retina
yang diperiksa. Daerah fovea dan daerah perifer dapat diperiksa
dengan jarak dekat atau jauh.
3) Uji kelainan Korespondensi retina
Kelainan korespondensi retina dapat ditentukan dengan dua cara :
1. dengan menunjukkan bahwa salah satu fovea tidak
tegak lurus didepannya
2. dengan menunjukkan bahwa titik retina perifer pada
satu mata dan fovea mata lainnya mempunyai arah
yang bersamaan.
4) Uji kaca beralur Bagolini
Uji ini merupakan uji metode yang kedua. Kaca bening dengan
alur-alur halus yang arahnya berbeda tiap-tiap mata ditempatkan
didepan mata. Kondisi uji sedapat mungkin mendekati penglihatan
normal. Terlihat sebuah titik sumber cahaya dan seberkas sinar
tegak lurus pada arah alur. Jika unsur retina perifer mata yang

10
berdeviasi menunjuk berkas cahaya melalui titik sumber cahaya
maka berarti ada kelainan korespondensi retina.

E. Penatalaksanaan Esotropia
Tujuan utama pengobatannya adalah mengembalikan efek sensorik yang
hilang karena strabismus (ambliopia, supresi, dan hilangnya stereopsis), dan
mempertahankan mata yang telah membaik dan telah diluruskan baik secara
bedah maupun non bedah. Pada orang dewasa dengan strabismus akuisita,
tujuannya adalah mengurangi deviasi dan memperbaiki penglihatan binokular
tunggal.
 Pengobatan non-bedah
a.Terapi oklusi : mata yang sehat ditutup dan diharuskan melihat dengan
mata yang ambliop
b. Kacamata : perangkat optik terpenting dalam pengobatan strabismus
adalah kacamata yang tepat. Bayangan yang jelas di retina karena
pemakaian kacamata memungkinkan mekanisme fusi bekerja sampai
maksimal. Jika ada hipermetropia tinggi dan esotropia, maka
esotropianya mungkin karena hipermetropia tersebut (esotropia
akomodatif refraktif).
c. Obat farmakologik
1. Sikloplegik – Sikloplegik melumpuhkan otot siliar dengan cara
menghalangi kerja asetilkolin ditempat hubungan neuromuskular dan
dengan demikian mencegah akomodasi. Sikloplegik yang digunakan
adalah tetes mata atau salep mata atropin biasanya dengan konsentrasi
0,5% (anak) dan 1% (dewasa).
2. Miotik – Miotik digunakan untuk mengurangi konvergensi yang
berlebihan pada esotropia dekat, yang dikenal sebagai rasio konvergensi
akomodatif dan akomodasi (rasio KA/A) yang tinggi. Obat yang biasa
digunakan adalah ekotiofat iodine (Phospholine iodide) atau isoflurat
(Floropryl), yang keduanya membuat asetikolinesterase pada hubungan

11
neuromuskular menjadi tidak aktif, dan karenanya meninggikan efek
impuls saraf.
3. Toksin Botulinum – Suntikan toksin Botulinum A ke dalam otot
ekstraokular menyebabkan paralisis otot tersebut yang kedalaman dan
lamanya tergantung dosisnya.
 Pengobatan Bedah
Memilih otot yang perlu dikoreksi : tergantung pengukuran deviasi pada
berbagai arah pandangan. Biasanya yang diukur adalah jauh dan dekat
pada posisi primer, arah pandangan sekunder untuk jauh, dan arah
pandangan tersier untuk dekat, serta pandangan lateral ke kedua sisi untuk
dekat.
Reseksi dan resesi – Cara yang paling sederhana adalah
memperkuat dan memperlemah. Memperkuat otot dilakukan dengan cara
yang disebut reseksi. Otot dilepaskan dari mata, ditarik sepanjang ukuran
tertentu dan kelebihan panjang otot dipotong dan ujungnya dijahit kembali
pada bola mata, biasanya pada insersi asal. Resesi adalah cara
melemahkan otot yang baku. Otot dilepaskan dari bola mata, dibebaskan
dari perlekatan-perlekatan fasial, dan dibiarkan menjadi retraksi.
Kemudian dijahit kembali pada bola mata dibelakang insersi asal pada
jarak yang telah ditentukan.4

DAFTAR PUSTAKA

1 Dharma S, Safwan. Juling dan hubungannya dengan berbagai


macam gangguan penglihatan pada anak. Dalam : The 4th
Sumatera Ophthalmology Meeting. Padang, 4-7 Januari 2006
2 Vaughan D, Asbury T. 1992. Oftalmologi Umum. Jilid 2. Edisi II.
Yogyakarta: Widya Medika
3 Ilyas S, Mailangkay, Hilaman T dkk. Ilmu Penyakit Mata. Edisi
Ketiga. Jakarta : Sangung Seto, 2009.
4 Pascotto A. Acquired esotropia. E-Medicine. 2014
5.      Rusdianto. Diagnosis dan manajemen mikrostrabismus. The 4th
Sumatera Ophthalmology Meeting. Padang, 4-7 Januari 2006
6.      Hamidah, Djiwatmo, Indriaswati L. Pedoman Diagnosis dan
Terapi. Surabaya: SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Dr Soetomo, 2006

12
7. American Academy of Ophtalmology, Pediatric Ophtalmology and
Strabismus. Section 6. San Fransisco: American Academy of
Ophtalmology, 2008.
8. Asbury T. Strabismus. Dalam : Oftalmologi umum. Edisi 14. Widya Medika,
Jakarta. 2000 : 240-60

13

Anda mungkin juga menyukai