Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “APENDISITIS”.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan makalah ini tidak terlepas dari


bantuan berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penyusun menyampaikan terima
kasih. Semoga amal baik yang diberikan mendapat balasan yang berlipat. Amin

Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna dan terdapat
kekurangan atau kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, masukan,
dan kritikan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tugas Makalah ini untuk
perbaikan dimasa yang akan datang.

Padang,17 Juli 2020

Syafrina Yolanda

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang................................................................................. 1

1.2 Tujuan............................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN TEORITIS...................................................................... 3

2.1 Konsep Dasar Trauma Abdomen..................................................... 3

2.2 Etiologi............................................................................................. 4

2.3 Patofisiologi...................................................................................... 4

2.4 Manifestasi klinik............................................................................. 5

2.5 Pemeriksaan penunjang.................................................................... 7

2.6 Penatalaksanaan................................................................................ 8

2.7 komplikasi........................................................................................ 10

2.8 Pencegahan....................................................................................... 10

2.9 Prognosis.......................................................................................... 10

BAB III TINJAUAN KASUS......................................................................... 11

3.1 Pengkajian..................................................................................... 11

3.2 Analisis data.................................................................................. 14

3.3 Diagnosa Keperawatan.................................................................. 16

3.4 Intervensi....................................................................................... 17

BAB IV PENUTUP......................................................................................... 21

4.1 Kesimpulan....................................................................................... 21

4.2 Saran................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih,
2010)
Menurut syamsyuhidayat(2010) Istilah usus buntu yang dikenal di
masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya
adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalm system imun sektorik di
saluran pencernaan. Namun, pengangkatan apendiks tidak menimbulkan efek
fungsi system imun yang jelas.
Berdasarkan uraian Santacroce(2014).Insiden apendisitis di Negara
maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang. Namun, dalm tiga-empat
dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini di duga
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat pada diit harian
Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia,
apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan
beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen.
Insidens apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus
kegawatan abdomen lainya (Depkes 20012). Dinkes jateng menyebutkan
pada tahun 2009 jumlah kasus apendisitis di jawa tengah sebanyak 5.980
penderita, dan 177 penderita diantaranya menyebabkan kematian. Pada
periode 1 Januari sampai 31 Desember 2011 angka kejadian appendisitis di
RSUD salatiga, dari seluruh jumlah pasien rawat inap tercatat sebanyak 102
penderita appendisitis dengan rincian 49 pasien wanita dan 53 pasien pria. Ini
menduduki peringkat ke 2 dari keseluruhan jumlah kasus di instalsi RSUD
Salatiga. Hal ini membuktikan tingginya angka kesakitan dengan kasus
apendiksitis di RSUD Salatiga.
Tzanakis(2005) menjelaskan bahwa Peradangan pada apendiks selain
mendapat intervensi farmakologik juga memerlukan tindakan bedah segera
2

untuk mencegah komplikasi dan memberikan implikasi pada perawat dalam


bentuk asuhan keperawatan. Berlanjutnya kondisi apendisitis akan
meningkatkan resiko terjadinya perforasi dan pembentukan masa
periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke
rongga abdomen lalu memberikan respons inflamasi permukaan peritoneum
atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan material
abses, maka akan memberikan manifestasi nyeri local akibat akumulasi abses
dan kemudian juga akan memberikan respons peritonitis. Manifestasi yang
khas dari perforasi apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada
abdomen kanan bawah
Tujuh persen penduduk di Amerika menjalani apendiktomi
(pembedahan untuk mengangkat apendiks) dengan insidens 1,1/1000
penduduk pertahun, sedang di negara-negara barat sekitar 16%. Di Afrika dan
Asia prevalensinya lebih rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh karena
pola dietnya yang mengikuti orang barat

1.2. Tujuan
Berdasarkan latar Belakang di atas maka di rumuskan tujuan makalah sebagai
berikut
1. Untuk mengetahui defenisi dari apendisitis ?
2. Untuk mengetahui etiologi dari apendisitis ?
3. Untuk mengetahui patofisiologi apendisitis ?
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis apendisitis ?
5. Untuk dapat memahami Pemeriksaan Penunjang ?
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dari apendisitis ?
7. Untuk mengetahui Komplikasi apendisitis?
8. Untuk mengetahui cara pencegahan apendisitis ?
9. Untuk megetahui contoh asuhan keperawatan apndesitis?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1. Defenisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2010).
Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab
paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen
dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis
adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan
penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.
Menurut Sjamsuhidayat (2010), apendisitis terdiri dari lima bagian
antara lain  :
1. Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di
abdomen kanan bawah.
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis
ganggrenosa  di tutupi pendinginan oleh omentum.
3. Apendisitis perforata
Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan
keterlambatan  diagnosa merupakan faktor yang berperan  dalam
terjadinya perforasi apendiks.
4. Apendisitis rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh
spontan, namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena
4

terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan


lagi sekitar 50%.
5. Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel
inflamasi kronik.

2.2. Etilogi
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi,
terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak
faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen
apendiks, hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing
askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut
(Sjamsuhidayat, 2010).

2.3. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
5

ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai
oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah,
dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan
bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis
perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum
lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis.
Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua,
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah
(Mansjoer, 2010).

2.4. Manifestasi Klinik


Menurut Arief Mansjoer (2010), keluhan apendisitis biasanya
bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan
dengan muntah. Dalam 2 – 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan
bawah yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat
juga keluhan anoreksia, malaise dan demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya
juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen
yang menetap namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan
semakin progresif dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan
satu titik dengan nyeri maksimal perkusi ringan pada kuadran kanan bawah
dapat membantu menentukan lokasi nyeri.
6

Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2010), apendisitis


akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. Nyeri kuadran
bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat
dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada
antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan,
spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada
beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang
sekum, nyeri tekan terasa di daerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis,
tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada
defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. Nyeri pada saat
berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih
atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat
terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran
bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran
kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar.
Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.
Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus
atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai
ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi
pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan
kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.
Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2010),
manifestasi klinis apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat
rendah, mual, dan seringkali muntah
2. Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan
sedikit kaku dari bagian bawah otot rektus kanan
7

3. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri
tekan, spasme otot, dan konstipasi serta diare kambuhan
4. Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah
, yang menyebabkan nyeri kuadran kiri bawah)
5. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar;
terjadi distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.

2.5. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang
diduga appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test
protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar
pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neutrofil
diatas 75 %. Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum
yang mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.
2. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai
gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang
diduga appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-
scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran dari saekum.
4. Pemeriksaan USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya
8

abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis


banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
5. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.

2.6. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah
ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk
membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat
diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan
untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan
resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau
spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan
metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi
Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang
diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan
laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik
pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau
tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2001).
Menurut Arief Mansjoer (2010), penatalaksanaan apendisitis adalah
sebagai berikut:
1. Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis,
sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan
observasi yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat tidur dan tidak
diberi apapun melalui mulut.  Bila diperlukan maka dapat diberikan
cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan,
tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak karena
9

merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel


darah putih dan hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan
foto abdomen dan thorak posisi tegak pada semua kasus apendisitis,
diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran kanan bawah
dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau
toksitas yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat
menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah lambung jika
diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi dengan pipa tetap
terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik
dengan toksitas yang berat dan demam yang tinggi .
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah
terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan
sistematik lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan.
Pembedahan yang direncanakan secara dini baik mempunyai  praksi
mortalitas 1 % secara primer  angka morbiditas dan mortalitas penyakit
ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang
terjadi akibat yang tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan  pernapasan angket
sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung
dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan
baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien
dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi
atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali
normal. Kemudian berikan minum mulai  15 ml/jam selama 4-5 jam lalu
10

naikkan menjadi 30 ml/jam.  Keesokan harinya diberikan makan saring,


dan hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi
pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit.
Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk  diluar kamar. Hari
ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang. 

2.7. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang
dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi
adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia.
Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup
demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri
atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer dan Barre, 2001).

2.8. Pencegahan
Apendisitis dapat di cegah dengan cara
1. Diet tinggi serat akan sangat membantu melancarkan aliran pergerakan
makanan dalam saluran cerna sehingga tidak tertumpuk lama dan
mengeras.
2. Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air
besar juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara
keseluruhan.

2.9. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas
dan morbiditas penyakit apendisitis sangat kecil. Keterlambatan diagnosis
akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi.
Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi
apendisitis kronis sebenarnya tidak ada (Mansjoer, 2010).
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1. Pengkajian

1. Identitas pasien.
Nama : Tn.R
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Umur : 35
Status : kawin
Pekerjaan : Programer
Tanggal lahir : 14 agustus 1985
Alamat : Jl bundo kanduang no 42 f Padang
2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama

Tn R datang dengan ke rumah sakit dengan keluhan nyeri pada daerah


abdomen kanan bawah.

b) Riwayat kesehatan sekarang

Pasien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan bawah yang


menembus kebelakang sampai pada punggung dan mengalami demam
tinggi

c) Riwayat kesehatan dahulu

Pasien mengatakan bahwa pasien pertama kali merasakan hal nyeri


seperti sekarang

d) Riwayat kesehatan keluarga


Pasien mengatakan keluarganya tidak ada yang mengalami penyakit
yang seperti ini
12

3.  Pemeriksaan fisik ROS (review of system)

a) Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai,


konjungtiva anemis.
b) Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD
>110/70mmHg; hipertermi.
c) Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada
simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping
hidung, tidak terpasang O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor.
d) Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan
tanda adanya infeksi dan pendarahan.
e) Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancar
f) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena
proses perjalanan penyakit
g) Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis,
pucat.
h) Abdomen : terdapat nyeri tekan, peristaltik pada usus ditandai dengan
distensi abdomen.

4. Pola fungsi kesehatan


a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien mengatakan dirinya merupakan perokok dan suka meminum
kopi setelah makan. Pasien juga mengatakan suka berolahraga satu
kali seminggu selama dua jam di pagi hari
b) Pola nutrisi dan metabolisme

Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat


pembatasan intake makanan atau minuman sampai peristaltik usus
kembali normal.

c) Pola Eliminasi
13

Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung


kemih, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur  akan
mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan
mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh
anastesi sehingga terjadi penurunan fungsi.

d) Pola aktifitas

Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa


nyeri, aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu
lamanya setelah pembedahan.

e) Pola sensorik dan kognitif

Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran,


kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang
tua, waktu dan tempat.

f) Pola Tidur dan Istirahat

Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga


dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.

g) Pola Persepsi dan konsep diri

Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak


segala kebutuhan harus dibantu.  Klien mengalami kecemasan tentang
keadaan dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang tidak
stabil.

h) Pola hubungan

Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa


melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat.
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.

i) Pola Reproduksi seksual


14

Adanya larangan untuk berhubungan seksual setelah pembedahan


selama beberapa waktu.

j) Pola penanggulangan  stress

Sebelum MRS :  klien kalau setres mengalihkan pada hal lain.

Sesudah MRS : klien kalau stress murung sendiri, menutup diri

k) Pola tata nilai dan kepercayaan

Sebelum MRS : klien rutin beribadah, dan tepat waktu.

Sesudah MRS : klien biasanya tidak tepat waktu beribadah.

5. Pemeriksaan diagnostik
a) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut
b) Foto polos abdomen : dapat memperlihatkan distensi sekum, kelainan
non spesifik seperti fekalit dan pola gas dan cairan abnormal atau
untuk mengetahui adanya komplikasi pasca pembedahan
c) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan
leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi
d) Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah     : Ditemukan leukosit 10.000 – 18.0000 µ/ml
b. Urine      : Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit.
3.2. Analisis data

NO DATA PENUNJANG MASALAH ETIOLOGI

1 DS : pasien mengatakan Gangguan rasa Adanya


nyeri pada abdomen kanan nyaman (nyeri) perangsangan pada
bawah tembus ke epigastrium
punggung

DO :

Ø Wajah tampak
15

menyeringai

Ø P : nyeri karena adanya


perangsangan

Ø Q : nyeri seperti


tertusuk-tusuk

Ø R : nyeri dibagian kanan


bawah abdomen

Ø S : skala nyeri 8

Ø T : nyeri terjadi saat


ditekan

2 DS : - Resiko terjadi Diskontinuitas


infeksi jaringan sekunder
DO :
terhadap luka insisi
0
Ø TTV : Suhu 38 C; Nadi bedah
>80x/menit; TD >110/70
mmHg; RR >20x/menit

Ø Terdapat luka insisi


bedah

3 DS : Pasien mengatakan Kekurangan volume Pembatasan cairan


haus cairan pascaoperasi
sekunder terhadap
DO :
proses penyembuhan
Ø Ada tanda-tanda
dehidreasi :

Membrane mukosa kering

Turgor kulit menurun


16

>2detik

Ø Urin pekat (oliguri <500


cc/hari)

Ø TTV tidak stabil:

TD  >120/80 mmHg

Nadi >80x/menit

RR : >20x/menit

Suhu : >37,50C

4 DS : Pasien dan keluarga Kurang pengetahuan tidak mengenal


mgatakan tidak informasi tentang
mengetahui tentang proses kebutuhan
penyakit dan pengobatan/
pengobatannya perawatan pasca
pembedahan
DO :

Ø Bertanya mengenai
informasi proses penyakit

Ø Bertanya tentang
perawatan pascaoperasi

Ø Bertanya tentang
pengobatan

3.3. Diagnosa keperawatan


1. Pre-op :

a) Ganggan rasa nyaman (nyeri) b/d adanya perangsangan pada epigastrium


17

2. Post-op :

a) Resiko terjadi infeksi b/d diskontinuitas jaringan sekunder terhadap luka


insisi bedah

b) Kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan pascaoperasi sekunder


terhadap proses penyembuhan

c) Kurang pengetahuan b/d tidak mengenal informasi tentang kebutuhan


pengobatan/ perawatan pasca pembedahan

3.4. Intervensi

NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL

1 1. Ganggan rasa Setelah dilakukan Kaji nyeri, catat Berguna dalam


nyaman (nyeri) tindakan lokasi, pengawasan
b/d adanya keperawatan karakteristik, keefektifan obat,
perangsangan selama 1x24 jam beratnya (skala kemajuan
pada diharapkan nyeri 0-10) penyembuhan.
epigastrium pasien dapat Perubahan pada
berkurang karakteristik nyeri,
menunjukkan
terjadinya
abses/peritonitis.

Nyeri hilang, Kolaborasi Menghilangkan dan


skala 0-3, pasien pemberian mengurangi nyeri
tampak rileks, analgetik
mampu tidur/
istirahat selama
7-9 jam dalam
sehari

2 2. Resiko terjadi Setelah dilakukan Awasi TTV. Dugaan adanya


infeksi b/d tindakan Perhatikan infeksi/ terjadinya
18

diskontinuitas keperawatan demam sepsis, abses


jaringan selama 1x24 jam menggigil,
sekunder klien tidak berkeringat,
terhadap luka menunjukkan perubahan
insisi bedah tanda dan gejala mental.
infeksi

Meningkatkan Lakukan Menurunkan risiko


penyembuhan pencucian penyebaran bakteri
luka dengan tangan yang
benar, drainase baik dan
purulen, tidak perawatan luka
ada eritema dan aseptic
tidak ada Lihat insisi dan Memberikan deteksi
demam. Tidak balutan. Catat dini terjadinya
ada tanda-tanda karakteristik proses infeksi
infeksi (rubor, drainase luka
dolor ) luka
Berikan Mungkin diberikan
bersih dan kering
antibiotik secara profilaktik
sesuai indikasi atau menurunkan
jumlah organisme
(pada infeksi yang
ada sebelumnya)
untuk menurunkan
penyebaran dan
pertumbuhannya

3 3. Kekurangan Setelah dilakukan Observasi TTV Tanda yang


volume cairan tindakan membantu
b/d pembatasan keperawatan mengidentifikasi
cairan selama 1x24 jam fluktuasi volume
pascaoperasi diharapkan intravaskuler
19

sekunder pasien dapat Observasi Indikator


terhadap proses mempertahankan membran keadekuatan intake
penyembuhan keseimbangan mukosa, kaji cairan dan elektrolit
cairan turgor kulit dan
pengisian
kapiler

Auskultasi Indikator
bising kembalinya
usus,  catat peristaltik, kesiapan
kelancaran untuk pemasukan
flatus dan, per oral
gerakan usus

Berikan Menurunkan iritasi


sejumlah kecil gaster/muntah untuk
minuman jernih meminimalkan
bila pemasukan kehilangan cairan
peroral dimulai,
dan lanjutkan
dengan diet
sesuai toleransi

7. Kurang Setelah dilakukan Kaji ulang Memberikan


pengetahuan b/d tindakan pembatasan informasi pada
tidak mengenal keperawatan aktifitas pasien untuk
informasi selama 2x24 jam pascaoperasi merencanakan
tentang diharapkan kembali rutinitas
kebutuhan pasien dan biasa tanpa
pengobatan/ keluarga mampu menimbulkan
perawatan pasca memahami dan masalah
pebedahan mengerti tentang Anjurkan Membantu kembali
proses penyakit menggunakan ke fungsi usus,
20

dan laksatif/ mencegah mengejan


pengobatannya pelembek feses saat defekasi
ringan bila
perlu dan
hindari enema

Diskusikan Pemahaman
perawatan peningkatan kerja
insisi, termasuk sama dengan
mengganti program terapi,
balutan, meningkatkan
pembatasan penyembuhan dan
mandi, dan proses perbaikan
kembali ke
dokter untuk
mengangkat
jahitan/pengikat
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2010).
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian
antara lain  :
1. Apendisitis akut
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
3. Apendisitis perforata
4. Apendisitis rekuren
5. Apendisitis kronis
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi,
terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak
faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen
apendiks, hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing
askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.

4.2. Saran
22

Jagalah kesehatan dengan minum air putih minimal 8 gelas sehari dan
tidak menunda buang air besar juga akan membantu kelancaran pergerakan
saluran cerna secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA

Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis


Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil Noc.
Jakarta: EGC.
Rachimadhi, T. & Wiknjosastro, G.H., 2010, Ilmu Kebidanan Edisi IV, 414-695,
Jakarta, Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Reksoprodjo, S, 2010, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, 115, Tangerang, Binarupa
Aksara.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, V., 2010, Buku- Ajar Ilmu Bedah Edisi 3, 757, Jakarta,
EGC.
Mansjoer, Arif. 2010. Kapita Selekta Kedokteran edisi III. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8
Volume 2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai